Only You

Only You – Chapter 45

Bookmark
Please login to bookmarkClose

No account yet? Register

0 votes, average: 0.00 out of 1 (0 votes, average: 0.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

1

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Sudah sekalian kalinya, Alex memperbaiki letak dasi yang tidak miring. Berulang kali dia memeriksa penampailannya agar terlihat rapi, terutama di hari yang penting ini. Hatinya semakin berdebar ketika mobil yang ditumpanginya hampir mencapai kediaman kekasihnya. Senyumnya terus mengembang, membayangkan bagaimana wajah Nina ketika melihatnya nanti.

 Senyumnya terus mengembang, membayangkan bagaimana wajah Nina ketika melihatnya nanti

Alex sudah menyelesaikan pekerjaannya lebih cepat dari yang diperkirakan. Dia sengaja lembur agar bisa segera bertemu dengan kekasihnya. Hari-hari tanpa Nina disisinya, membuat batinnya terasa disiksa. Alex sangat merindukan kehangatannya, bibirnya yang manis dan aromanya yang memabukkan. Setiap hari membuka mata tanpa Nina disampingnya, membuat hari-harinya terasa kosong. Dia ingin segera mengikat wanitanya itu agar menjadi pendamping seumur hidupnya.

 Dia ingin segera mengikat wanitanya itu agar menjadi pendamping seumur hidupnya

Sebuket mawar merah yang indah berada disampingnya. Di dalam buket itu terdapat kartu ucapan dan kotak cincin yang akan diberikannya kepada Nina nanti saat melamarnya. Disamping buket itu, terdapat beberapa hadiah yang akan diberikannya kepada calon Ibu Mertua dan Adik Iparnya. Alex sendiri yang memilih hadiah itu dan mencarikan yang terbaik untuk diberikan kepada mereka.

Semakin mendekati tempat tinggal Nina, semakin sering pula Alex berkeringat. Jemarinya pun terasa dingin akibat kegugupan yang melanda. Dia sudah meminta Anggi untuk menyuruh Nina pulang lebih cepat. Tentu saja dia sudah memberitahukan rencananya untuk melamar yang langsung disetujuinya.

Alex tidak pernah segelisah ini dalam hidupnya. Saat pertama kali memimpin perusahaannya, saat bertemu dengan orang-orang yang lebih senior dalam bidangnya, ataupun saat dia meyakinkan orang lain dengan kemampuannya, dia tidak pernah setakut ini. Dia tidak boleh membuat kesalahan di mata Ibu Nina. Karena kesalahan sekecil apapun akan membuat citranya buruk dan menyulitkan hubungan mereka.

Sebelumnya, Nina sudah menceritakan sekilas tentang hubungannya dengan ibunya, Dian. Hubungan mereka tidak terlalu baik karena Dian merasa kecewa dengan keputusannya untuk berhenti sekolah. Dian juga lebih memperhatikan Randy karena dianggap sebagai penerus keluarga dan lebih baik darinya dalam segi pelajaran.

Dada Alex berdenyut nyeri mengingat ekspresi Nina ketika menceritakannya. Saat itu, Nina tampak begitu sedih. Semenjak Ayahnya meninggal, dia tidak pernah mendapatkan perhatian Ibunya. Semasa Ayahnya masih hidup pun, Nina mengakui kalau dia memang kurang berinteraksi dengan Ibunya tetapi itu bukan karena ia membencinya. Hanya saja, sejak dulu mereka hubungan mereka sudah renggang.

Berbeda ketika Nina menceritakan Ayahnya, dia tampak begitu bersemangat. Dari caranya membicarakan ayahnya, Alex mengetahui kalau Nina sangat menyukai sosok Ayahnya. Ayahnya selalu memuji setiap kali dia mencapai suatu hal baru dan menyemangati ketika dirinya bersedih.

Alex menjadikan Ayah Nina sebagai target yang harus dilampaui. Saat Nina menjadi istrinya, saat itulah tugas yang dulu diemban Ayahnya berpindah padanya. Alex akan menjaganya, memberikan kasih sayang dan kebahagiaan yang sebelumnya tidak pernah dirasakannya. Alex akan membuat Nina bahagia karena dia adalah wanita yang dicintainya.

“Pasti gugup karena mau melamar anak gadis orang. Tuan harus tenang supaya bisa lancar. Ingat, Tuan harus membuat kenangan yang tidak akan dilupakan oleh Nina. Saya yakin, Nina pasti akan menjadi istri yang baik.”

Alex tersenyum mendengar kalimat penenang dari supir itu. Supir yang sekarang membawanya adalah supir yang sama saat dia pertama kali ke Jakarta. Saat memintanya kembali untuk bekerja padanya, bapak itu menerimanya dengan senang hati.

Ketika telah mencapai persimpangan jalan menuju rumah Nina, jalanan menjadi macet karena segerombolan warga dan pengendara berkumpul ditengah jalan. Alex mengira ini hanyalah kemacetan biasa. Sebagai ibukota negara, sudah biasa kemacetan sering terjadi. Alex sedikit kesal karena perjalanannya terhambat. Untuk meredakan rasa jenuhnya, Alex menyibukkan diri dengan memeriksa penampilannya.

Mobil ambulans yang lewat membelah kerumunan itu. Ternyata kecelakaanlah yang menyebabkan macet. Mendengar bunyi sirene yang memekakkan telinga membuat Alex tak nyaman. Ada sesuatu yang membuatnya gelisah dan jantungnya berdebar dengan cepat. Tiba-tiba, Alex terdorong ingin mengetahui siapa yang mengalami kecelakaan itu. Dia turun dari mobil dan berjalan menuju kerumunan itu untuk melihat.

Lutut Alex lemas ketika melihat siapa yang terbujur disana. Tanpa banyak berpikir, dia langsung menghampiri sosok Nina yang tergeletak. Langkahnya dihadang oleh sekumpulan petugas yang sedang memapahnya. Tanpa mempedulikan peringatan yang mereka berikan, Alex mendobrak masuk dan memanggil namanya.

“Nina! Buka matamu, Sayang! Jangan membuatku takut!” Alex terus memanggil yang tidak direspon olehnya. Wajah Nina tampak begitu sedih, terlihat dari genangan air mata yang masih berbekas diwajahnya. Pipi Nina yang dulunya putih, kini tertutupi oleh noda daranya. Nina yang dulunya bersemangat, kini terbaring di tandu dengan kondisi kritis.

Seorang Paramedis mendorong Alex menjauh agar bisa memberikan pertolongan pertama. Sebelum mereka membawa Nina menuju rumah sakit, Alex menarik kerah baju Paramedis yang tadi mendorongnya. “Selamatkan dia, bagaimanapun caranya!”

Petugas itu hanya mengangguk sebelum menutup pintu dan memberi isyarat kepada supir untuk jalan. Setelah kepergian ambulans, Alex mengerang keras. Rasa marah, sedih dan frustasi semuanya bercampur menjadi satu. Dia mengacak-ngacak rambutnya hingga supir yang mengatarnya menghentikannya.

Alex menatap kedua tangannya yang bersimbah darah. Bukan hanya tangannya, pakaiannya pun dipenuhi dengan darah Nina ketika memeluknya tadi. Tangis Alex langsung pecah setelah mencerna apa yang terjadi. Ninanya kini tengah sekarat dan akan meninggalkannya.

“Tenang dulu, Pak. Sekarang kita susul dulu ke rumah sakit. Ini barang Nona Nina yang dipungut sama warga.”

Alex meraih tas Nina yang selalu dibawanya. Dia memeluk tas itu erat-erat dan menyusul Nina ke rumah sakit.

***

Hawa dingin menemani Alex setiap waktu yang dilaluinya. Lampu merah tanda Emergency belum juga padam sejak 5 jam yang lalu. Para suster selalu hilir mudik mengambil persediaan obat-obatan ataupun memanggil dokter lainnya. Setiap kali mereka keluar, Alex selalu berharap mereka memberikan berita bagus. Hal itu tidak kunjung datang hingga membuatnya terpaksa menunggu pasrah.

Perbincangan para suster yang lalu-lalang membuatnya semakin kalut. Dari percakapan mereka, Alex mengetahui jika Nina kehilangan banyak barah dan mengalami cedera yang serius.

Membayangkan Nina meninggalkannya membuat Alex bergidik ngeri. Dia menyalahkan dirinya atas apa yang terjadi padanya. Seharusnya dia tidak membiarkan Nina pulang. Seharusnya dia menemaninya. Seharusnya dia langsung mengikatnya dan membawanya kembali setelah mereka bersama.

Kalimat itu terus berulang dibenak Alex hingga membuatnya gila. Air mata turun membasahi pipinya ketika membayangkan kemungkinan itu akan terjadi. Untuk pertama kali dalam hatinya, Alex melipat tangan dan berdoa. Seumur hidupnya, dia tidak pernah berdoa dengan sungguh-sungguh.

Alex percaya jika semua dapat dipercaya dengan usaha, bukan dengan keyakinan semata. Namun kali ini dia serius untuk meminta. Tidak apa-apa jika dia harus berkorban, keinginannya hanya satu, yaitu keselamatan Nina.

Selesai berdoa, pandangan Alex beralih pada tas hitam disampingnya. Nina sangat menyukai tas itu dan selalu membawanya kemana-mana karena merupakan tas favoritnya. Bau darah menguar kuat dari tas itu. Warnanya yang hitam menutupi noda darah yang tercemar. Alex membuka tas itu dan sebuah binder yang terdapat bekas merah pasa sampulnya. Spiral pada binder itupun telah rusak dan tidak bisa tertutup rapat.

Alex tahu jika Nina suka mencatat tentang kesehariannya. Beberapa hari sekali, dia akan menulis pengalaman yang dilaluinya. Pernah sekali dia mendapat Nina sedang menulis diary-nya. Ketika Alex ingin membaca, Nina buru-buru menyimpanya dengan alasan malu.

Jemarinya dengan hati-hati membuka membuka halaman demi halaman agar tidak terjatuh sembari mengamati tulisan tangan Nina. Tulisannya begitu rapi dan bersih. Beberapa dari halaman itu juga berisi coretan asal dan gambar-gambar lucu. Alex tertawa melihat gambar-gambar yang menurutnya sangat kekanak-kanakan. Sosok Nina yang selalu sempurna ternyata tidak mahir dalam menggambar.

Alex mencari tanggal setelah kepulangan Nina dari New York. Tanggal yang berbeda jauh menandakan dia tidak sempat menulis setelah pulang. Telihat dari tanggal yang terlompat hingga berminggu-minggu lamanya. Biasanya Nina tidak akan melewatkan hingga sejauh itu. Paling tidak, seminggu sekali dia akan menulisnya dan paling cepat dua hari.

Pelan-pelan, Alex membaca apa yang ditulisnya. Dia memang belum mengenali semua kosa kata yang menjadi bahasa nasional Nina. Tetapi Alex mengerti sedikit demi sedikit terutama kata yang digunakan tidaklah rumit.

Setelah membacanya, Alex mengetahui jika Nina sibuk mengurusi cafe. Ide barunya selama magang, diterima baik oleh Anggi. Bukan hanya latte art, mereka juga sukses dengan menu baru mereka dan pelayanan berbasis online untuk meningkatkan penjualan. Disela-sela melayani tamu, Nina mengeluh kalau dia terus menguap hingga Anggi memindahkannya ke pembukuan. Ada rasa sedih karena tidak bisa lagi berinteraksi dengan pelanggan, namun Nina juga tidak bisa membantah. Dia tidak mau kondisinya yang tidak prima menganggu aktivitas yang lainnya.

Saat membaca halaman selanjutnya, rahang Alex mengetat. Dibacanya halaman itu hingga 2 kali dan meremas pinggiran binder itu hingga lemnya terlepas. Sebuah test pack terjatuh dengan memunculkan 2 buah garis yang jelas. Dengan gemetar, Alex meraih test pack itu dan menggenggamnya erat-erat.

Lampu Emergency yang semula terus menyala, kini telah padam. Alex bangkit dari kursinya menunggu siapapun keluar dari sana. Setelah 5 menit, seorang dokter keluar dengan baju hijau khas operasinya. Alex lantas menghampiri dokter itu tanpa mempedulikan wajah letihnya.

“Anda keluarganya?” tanya dokter itu ketika hanya melihat Alex sendiri disana.

“Benar, aku suaminya! Bagaimana kabar istriku? Dia baik-baik saja, kan?!” tanyanya panik.

“Istri anda keguguran. Kami tidak bisa mempertahakannya karena kecelakaan yang dialami mengenai rahimnya.”

Berita yang didengar Alex membuat lututnya lemas dan membuatnya terjatuh. Test pack yang berada dalam genggamannya pun ikut terlepas. Nina hamil dan dia akan menjadi seorang ayah. Namun kesempatan itu tidak akan datang karena anak mereka telah tiada. Air mata kembali membasahi pipinya.

Penyesalan selalu datang terlambat. Seharusnya Nina tidak perlu mengalami semua ini jika tetap tinggal. Nina tidak perlu kehilangan bayinya dan menikmati masa-masa menjadi seorang Ibu. Jika Alex merasa begitu terluka, bagaimana dengan Nina? Dia pasti tidak akan bisa menerima semua ini.

“Pak, bapak harus kuat. Istri anda belum melewati masa kritis.”

Alex langsung berdiri menatap dokter itu. “Apa maksudmu?”

“Istri anda mengalami benturan di kepala dan membuatnya pendarahan. Kami sudah melakukan yang terbaik. Dengan peralatan yang kami miliki, kami hanya bisa memberikan perawatan sementara. Jika bapak membawanya ke rumah sakit yang memiliki peralatan lengkap, ada kemungkinan jika nyawanya bisa tertolong.”

Belum cukup kehilangan calon anak mereka, kini Nina pun ingin meninggalkannya. Alex tidak akan membiarkan itu terjadi. Bagaimanapun caranya, dia akan menyelamatkan Nina.

“Boleh aku menemui istriku?”

“Silahkan. Kami sudah memindahkannya ke ruangan lainnya. Saya harap bapak segera memindahkannya agar mendapat perawatan lebih lanjut.”

Alex mengikuti arahan dokter menuju kamar yang Nina tempati. Selama menuju ke sana, dia membaca pesan yang dikirim oleh suruhannya untuk menyelidik kecelakaan itu. Berdasarkan laporan itu, kejadian yang menimpa Nina murni karena kecelakaan tanpa ada unsur kesengajaan. Namun sebelum insiden itu terjadi, Nina sempat bertengkar dengan Ibunya. Dari keterangan tetangga, Ibu Nina tiba-tiba memarahinya dan membuang semua barang-barangnya. Dia juga menampar Nina dan mengusirnya dari rumah.

Ketika sampai di kamar Nina, Alex segera menghampiri ranjang dan melihat matanya yang terpejam rapat. Selama dia memperhatikan Nina, baru kali ini wajah tidurnya begitu damai. Jika bukan karena hembusan nafas dan bunyi mesin EKG, orang-orang akan mengira Nina sudah tiada. Dengan perlahan, Alex merapikan anak rambut Nina yang berantakan di lilit perban. Dia juga mengelus pipi Nina yang terdapat beberapa luka goresan.

Hati Alex terasa perih melihat semua luka yang dialaminya. Dia tidak mengerti, kenapa Nina harus mengalami semua ini. Nina tidak pernah melakukan kesalahan apapun. Dia selalu melakukan yang terbaik untuk membuat orang-orang disekitarnya bahagia. Dia selalu berusaha keras meskipun telah lelah. Kenapa setelah semua yang dilakukannya, kejadian buruk tidak pernah berhenti menimpanya.

Sudah cukup. Sudah cukup Nina mengalami semua ini. Jika tidak ada yang menghargai Nina, maka dia akan membawanya pergi. Alex sanggup membuat Nina bahagia. Dia menerima semua kekurangannya dan mencintainya apa adanya. Dia bisa memberikan apapun yang diinginkannya termasuk sebuah keluarga.

Nina tidak membutuhkan keluarga yang membuangnya. Keluarga yang memperlakukannya seperti sampah dan tidak menghargainya.

“Aku akan membawamu pergi dari sini, dari semua yang membuatmu menderita. Kau boleh membenciku setelah ini. Suatu saat kau akan menyadari, jika aku melakukannya demi kebaikanmu.”

Alex memberikan ciuman ringan di pipi Nina sebelum memerintahkan anak buahnya untuk menyiapkan pesawat. Dia akan membawa Nina pergi dari negara ini agar mendapatkan perawatan lebih baik. Kesalahan yang sama tidak akan terulang untuk dua kalinya. Kali ini, Alex akan menjaga Nina baik-baik dan tidak akan membiarkannya pergi dari sisinya lagi.

.

.

.

.

.

Flashback selesai! Bagaimana perasaan kalian setelah membaca sejauh ini?

Nantikan chapter selanjutnya ya!

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

5 Komentar

  1. Bab ini bikin sedih ?

    1. hehehe, berati aku berhasil bikin bab yang sedih donk

  2. dyah ayu monika menulis:

    sedih banget . apakah ibu nya akan menyesal setelah mengetahui nina mengalami kecelakaan ya. aku masih penasaran knpa ibunya nina begitu. dan feel ku masih sama klo sepertinya nina bukan anak kandungnya

    1. mari kita tunggu bab selanjutnya

  3. Indah Narty menulis:

    Sedih :nangiskeras