Only You

Only You – Chapter 19

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

1 vote, average: 1.00 out of 1 (1 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

1

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Melihat mobil sedan hitam yang terparkir diseberang betamart membuat semangat Nina merosot. Untungnya pak Suryo menerima izinnya via telepon dan tidak keberatan dengan dengan permintaannya yang tiba-tiba. Tidak ada niat untuk Nina untuk pulang. Jika Helen melihatnya tidak bekerja, pasti dia akan dianggap malas dan menimbulkan gosip tidak penting.

Sudah biasa menghabiskan waktu dengan bekerja, Nina bingung harus kemana dengan waktunya yang kosong ini. Ingin ke sekekolah tapi Nina takut ada yang melihatnya dan melaporkannya pada Helen. Dia juga tidak bisa mengunjungi saudara-saudara lainnya karena tidak mempunyai uang yang cukup menuju kesana.

Rasa kantuk yang tiba-tiba menyerang membuat Nina teringat dengan papanya. Biasanya papa suka memainkan rambutnya ketika sedang duduk bersama. Nina sampai mengomel karena takut sebelah rambutnya menjadi ikal karena sering dipelintir. Papa hanya membalas tertawa dan terus memainkan rambutnya.

Sambil mengenang masa lalu, Nina melangkah menuju tempat peristirahan terakhir ayahnya. Dia mengusap batu nisan dan duduk bersila didepannya. Rumah yang dulunya terasa hangat, kini menjadi dingin tanpa kehadiran papa. Terkadang, ada pikiran Nina untuk menyusul papanya. Nina sudah lelah dengan semua yang terjadi padanya.

Sikap Helen yang selalu menomor satukan Randy selalu membuatnya kesepian, Randy pun bersikap tidak peduli setiap kali melihatnya, cibiran dari para tetangga dan teman-teman yang selalu mengolok-ngoloknya. Meskipun memikirnya, Nina tidak pernah melakukannya. Disaat-saat tersulit yang sedang dihadapi, selalu ada orang yang membantunya. Hal itulah yang membuatnya bertahan dan menjadi pegangan hidupnya.

“Pa, aku kangen,” ucap Nina sambil mengelus nisan didepannya. “Kami semua baik-baik saja. Papa jangan khawatir.”

Langit yang berawan dan angin yang bertiup semilir membuat mata Nina terasa berat. Dia bersandar pada bahu nisan milik papanya dan tersenyum kecil. “Pa, aku ngantuk. Aku boleh tidur disini sebentar kan?” tanya Nina dengan mata berkaca-kaca. Setelahnya Nina memejamkan matanya dan membiarkan kegelapan menguasainya.

***

Pukul 3 siang, semua proses kegiatan mengajar telah berakhir. Murid-murid bersorak gembira karena akhirnya bisa bebas dari kurungan sekolah. Mereka semua telah memiliki tujuan masing-masing. Ada yang berkumpul dengan teman lainnya, ada yang berjalan-jalan melepas penat, ada yang pergi kursus dan ada juga yang langsung pulang untuk tidur atau bermain.

Seperti biasa, Tommy begitu bersemangat jika sudah pulang sekolah. Masa bodoh dengan peringatan dari wali kelas yang selalu mengingatkan tentang ujian akhir. Kepalanya sudah terasa mau pecah jika harus belajar lagi. Terlebih lagi dengan orang tuanya yang selalu mengomel dan memintanya untuk rajin belajar.

Work hard play hard. Itulah moto Tommy. Untuk meredakan kejenuhan, dia akan melampiaskannya dengan bermain. Ayahnya memanfaatkan ruko bawah tempat tinggalnya dengan membuka warnet. Tommy yang sejatinya suka bermain, tentu tidak dapat menahan godaan game online dan membuatnya menjadi kecanduan. Hal itu tentu saja membuat nilainya merosot tetapi dia tidak peduli. Toh, sebenarnya dia tidak bodoh, hanya malas belajar.

“Tom, ganti baju dan makan dulu! Kamu ini bener-bener!” Ibu Tommy mulai mengomel ketika melihatnya langsung membuka komputer lengkap dengan seragam dan tas dipunggung.

“Ya mak! Buka komputer dulu sebentar!” sahutnya tidak kalah keras.

“Kamu ini main mulu! Ya sudah, mamak pergi arisan dulu. Bapak sedang rapat sama pak RT. Makan ada didalam. Jaga rumah ya!”

“Siap mak!” Tommy langsung bergegas mengganti pakaiannya dan mengambil nasi dan lauk lalu menuju meja komputer. Semua itu dilakukannya kurang dari dua menit. “Sip, saatnya mulai war! Hahaha!” Ketika Tommy ingin menyuapkan nasi, bahunya ditepuk dari belakang.

“Oy Tom,” sapa Nina yang berdiri dibelakangnya.

“Eh Nin, tumben gak kerja. Kalau gitu ayo war mumpung lu libur. Untung gua belum mulai nih,” ajak Tommy dengan mulutnya yang penuh.

“Ngak deh. Gua mau numpang tidur sebentar boleh? Tadi gua tidur sambil duduk jadi leherku masih pegel.” Nina menggerakkan lehernya ke kiri dan ke kanan untuk membuatnya lebih nyaman.

“Ya udah deh. Pake kamar gua aja. Sory ye kalau kamar gua berantakan. Terus ada makan di belakang. Makan aja dulu terus tidur.”

“Hahaha kalu gitu entar aku gendutan. Thanks ya, ntar kamar lu gua rapiin biar lebih nyaman.”

“Suka-suka kau lah. Dah, aku mau war gi!”

Nina terkekeh dan naik menuju kamar Tommy. Dia menggeleng-geleng melihat seragam dan tas berserakan. Setelah merapikan semuanya, Nina membaringkan tubuhnya di lantai dengan lengan yang dilipat ke kepalanya sebagai bantal. Lantai kamar tidur Tommy tidak terlalu dingin jadi Nina tidak perlu khawatir kalau dia akan masuk angin. Dia merasa tidak enak jika tidur di kasur Tommy terlebih dia hanya menumpang.

Tommy memang laki-laki yang baik. Jika bukan karena mulutnya yang kasar dan hobinya yang suka bermain game, banyak anak perempuan yang suka padanya. Bagi Nina, Tommy hanyalah sahabat tetapi bukan berati tidak ada kemungkinan juga kalau dia akan melakukan hal-hal yang tidak senonoh.

Dalam sekejab, kelopak mata Nina terasa berat. Dia mengosongkan semua pikirannya dan kembali melanjutkan tidur yang belum puas.

***

“Nin, bangun lagi.”

Nina merasa seseorang memanggilnya dan menggoyangkan kakinya. Merasa tidurnya terusik, dia berbalik ke arah berlawanan dan melipat kedua kakinya hingga keperut dan terlihat seperti janin.

“Dih, nyenyak banget tidurnya. Nin, bangun lagi udah malam oy.”

Perlahan-lahan Nina membuka matanya dan menemukan Tommy yang berdiri didekat kakinya. Dia menguap lebar dan mengucek matanya sebelum terduduk. “Udah jam berapa Tom?” tanyanya dengan suara serak khas bangun tidur.

“Dah jam 7 lagi,” jawab Tommy seadanya.

“Hah! Kok lu gak bangunin gua dari tadi sih? Dari sini ke jajanan pusat kan jauh, udah payah nyari angkot lagi.” Nina menggerutu panik dan mengikat rambutnya secara asal lalu membereskan semua barang-barangnya yang sebenarnya tidak ada.

“Lu nya tidur nyenyak kali. Gua panggilin gak bangun-bangun. Capek banget ya?”

Pertanyaan Tommy membuat Nina menghentikan semua kegiatannya. Dia duduk terdiam dengan kepala tertunduk.

Tommy yang berdiri disebelahnya ikut duduk dengan membawakan nampan yang berisikan nasi, lauk dan air. “Makan dulu. Lu pucat banget pasti belum makan dari tadi kan? Ntar gua yang antarin ke sana. Lu gak usah pusing.”

“Tapi…”

“Gak ada tapi-tapian!” potong Tommy. “Lu tu dah susah. Gua tau lu gak suka repotin orang tapi sekarang lebih baik lu terima kebaikan yang dikasih orang ke lu. Ngak usah pikirin mereke repot atau ngak yang penting lu terbantu. Pentingin dulu kebahagian lu daripada lu mikirin tu adik bangsat!” seru Tommy menggebu-gebu.

“Hey! Adik gua punya nama ya!” balas Nina tidak terima adiknya dihina.

“Peduli banget! Bocah songong yang apa-apa cuma bisa nerima tanpa usaha, ngak sudi gua ingat namanya! Bukannya gua ngehina tapi emak sama adikmu tu memang gak otak! Coba lu gak kerja, memangnya bisa dia sekolah di swasta mahal tu? Mentang-mentang nilai bagus jadi nomor satu lah, gitu? Ya sudah, sekalian aja lu sekolah gak usah kerja lagi. Lu kerja pun gak dihargai kan?”

Perkataan Tommy menohok hati Nina yang terdalam. Memang benar semua yang dikatakan Tommy. Jika dulu Randy bersekolah di negeri, maka iuran bulanan tidak akan berat. Nina juga bisa bersekolah dan bekerja sambilan pada sore harinya untuk memenuhi kebutuhan. Tetapi Helen menginginkan Randy masuk ke sekolah swasta yang elit.

Helen tidak mau Randy bersekolah di negeri yang menurutnya tidak bagus. Dia juga takut Randy salah pergaulan karena pengaruh dari orang-orang disekelilingnya. Gara-gara itu Helen selalu mengeluh tentang biaya sekolahnya dan membandingkannya dengan Randy yang lebih berprestasi. Mau tidak mau, Nina pun mengalah dan berhenti sekolah untuk membantu membiayai sekolahnya.

Air mata jatuh membasahi pipi Nina. Dia menggigit bibir bawahnya menahan isak yang keluar. Semua yang dikatakan Tommy benar. Mamanya memang egois tetapi Nina tidak bisa membencinya. Dia juga tidak membenci Randy. Doktrin yang ditanamkan jika Randy lebih baik membuatnya juga ikut berpikir demikian dan merendahkan dirinya.

Tommy menjadi merasa bersalah membuat Nina menangis. Dia mengambil beberapa lembar tisu dan memberikannya pada Nina. “Sorry, lu tau mulut gua gimana.”

Nina menggeleng dan menyeka air matanya dengan punggung tangan. “Ngak apa-apa. Yang lu bilang benar. Gua memang bodoh.”

“Bodoh-bodoh lima besar juga lu dulu,” tawa Tommy.

Nina pun ikut tertawa dan sedikit beban hatinya telah berkurang. Tertawa memang obat yang mujarab.

“Ya dah, lu makan dulu. Dah siap letak aja, gak usah dicuci. Biar gua antar lu pergi kerja.”

Thanks Tom.”

Tommy mengacungkan jempolnya sebagai jawabannya sebelum turun. Setelah kepergian Tomny, Nina mulai menyantap nasi pemberiannya. Saat menyantap nasi yang hangat, air mata Nina kembali turun. Sudah lama dia tidak menyantap nasi hangat bersama mama dan adiknya. Pekerjaannya yang membutuhkan waktu panjang, membuatnya sulit untuk makan bersama dengan keluarganya.

Nina kembali menyeka air matanya dan minum untuk meredakan tenggorokkannya yang sakit. Dengan perlahan, Nina menikmati santapan makan malamnya dan berharap suatu hari nanti keluarganya dapat makan bersama.

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

4 Komentar

  1. Indah Narty menulis:

    :aw..aw :aw..aw :aw..aw

  2. Si tommy baik banget :berikamiadegankiss!

  3. Tks ya kak udh update.