Only You

Only You – Chapter 48

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

0 votes, average: 0.00 out of 1 (0 votes, average: 0.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

1

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Memasuki 4 bulan lebih, perut Nina mulai membuncit. Belum lagi dengan rutinitasnya yang hanya berdiam didalam kamar, membuat berat badannya bertambah lebih banyak dari biasanya. Sudah 2 minggu lamanya, mereka berada di kota ini dan selama itu pula Nina belum menemui keluarganya. Walau sudah meyakinkan diri untuk melakukannya, rasa cemas terus saja melanda dan membuat semangatnya mundur.

Alex mengetahui kalau dirinya belum siap dan tidak mendesaknya. Dia memberikannya waktu dan semangat, sebanyak yang dibutuhkan.

Nina berjalan menuju balkon hotel dan memandangi pemandangan dibawahnya. Dia tersenyum kecil melihat jalanan yang penuh dengan kendaraan. Jajanan kecil di samping jalan, bunyi klakson yang terdengar dan polusi udara membuatnya yakin kalau sekarang dia berada di tempat kelahirannya.

Sampai sekarang, Nina masih tidak percaya kalau dia berada di Jakarta. Sejak kecil hingga dewasa, tidak pernah terpikir sekalipun dia akan meninggalkan kota ini dalam waktu yang lama. Semua yang disayanginya berada disini. Teman-teman, panutan dan kerabatnya, semua ada disini. Jika suatu saat dia menikah, Nina pun berpikir dia tetap berada disini dan sewaktu-waktu dapat berkunjung menemuinya ibunya. Namun takdir berkata lain. Dia jatuh cinta pada Alex. Hubungan dengan ibunya memburuk dan berakhir dengan kecelakaan yang menewaskan calon bayinya.

Nina meremas penyangga balkon untuk meredam kesedihannya. Setiap kali memikirkan pertengkaran itu, dadanya selalu terasa sesak. Bohong jika Nina tidak merasa benci. Semenjak ingatannya kembali, kedengkian mulai menguasai dirinya bersamaan dengan rasa cemburu terhadap Randy.

Seiring dengan tumbuhnya kerinduan, rasa marah dan cemburu ikut berkembang. Awalnya Nina mengira kalau itu hanya amarah sesaat. Namun, semakin berusaha untuk memaafkan, semakin kuat pula emosi negatif tersebut.

Selama ini, ibunya lebih memperhatikan Randy dibandingkan dirinya. Ibunya juga selalu mengutamakan kepentingan Randy, lebih dari apapun. Jika saat itu dia lebih egois, apakah semua malapetaka ini akan terjadi? Nina hanya menginginkan perhatian dari ibunya, tidak lebih. Dia juga ingin dicintai dan mendapatkan perlakuan yang sama dengan adiknya.

Mengingat masa lalu membuat mata Nina berkaca-kaca. Dengan punggung tangannya dia menghapus air mata yang mengalir. Mulutnya terus bergumam pada dirinya sendiri agar tidak bersedih. Nina sudah berjanji untuk berdamai dengan keluarganya dan melupakan masa lalu. Perjalanannya masih panjang dan dia tidak ingin karena hal ini membuat langkahnya terhenti.

Saat memperhatikan jam, Nina merasa waktu berjalan dengan lambat. Terlalu lama berdiam dikamar membuat pikirannya menjadi jenuh. Bukannya ingin mengabaikan peringatan Alex, hanya saja Nina ingin berjalan-jalan sejenak menghilangkan rasa jemunya.

“Kalau hanya sebentar, kurasa tidak apa-apa. Aku akan meninggalkan catatan untuk jaga-jaga.” Setelah berkata pada dirinya sendiri, Nina meletakkan memo diatas meja sebelum meninggalkan kamar. Begitu udara segar menerpa wajahnya, perasaanya sedikit terasa lega. Dia melihat langit biru sejenak sebelum langkahnya membawanya pergi.

***

Terus melangkah tanpa tujuan membawa Nina pada rumah Tommy. Tidak ada yang berubah dari tempat tinggalnya. Ruko berlantai 2 itu masih membuka warnet sebagai mata pencaharian. Sayangnya keadaan warnet itu tidak seramai dulu, terlihat dari sedikitnya motor yang terparkir. Dulu saat game online sedang marak, warnet Tommy tidak pernah sepi. Para anak muda pun sampai berebut untuk mengantri agar dapat bermain.

Dengan langkah ringan, Nina mengintip dibalik kedalam warnet dan menemukan Tommy sedang duduk disalah satu kursi komputer. Laki-laki masih tidak berubah dari dulu, bertubuh kurus dan mengenakan kacamata bulat yang tebal. Kebiasaannya masih saja tidak berubah, selalu berkata kasar setiap kali bermain. Sangking kasarnya, Nina hanya bisa terdiam.

“Woy, kekiri dasar tolol! Main tu yang becus dasar bego!” Tommy terus meracau seolah-olah teman satu teamnya bisa mendengarnya.

“Woy, darah dah tipis tu! Cepat kill gak usah hemat-hemat skill!  Dasar orang-orang goblok!”

Skill one.

“Oh iya, masih ada skill satu. Nah, mampus kau! Aku yang dapat kill ha ha ha!” Setelah menyelesaikan gamenya, Tommy menoleh dan langsung melompat dari kursi ketika melihatnya. “Buset! Hantu!”

“Aku bukan hantu. Lihat, aku punya kaki.” Nina menunjukkan kakinya yang menginjak tanah sambil menahan tawa. Tommy yang dikiranya berani ternyata bisa setakut itu melihatnya. Jika sekarang posisi mereka tertukar, dia juga pasti merasa takut.

“Lu Nina kan? Nina Setiawan yang dulu suka main gua kan?” tanyanya tak percaya.

“Benar. Aku Nina yang dulu satu SMP denganmu, yang suka pr nya kamu contek dan sering minta jawaban saat ulangan.”

Setelah mendengar jawaban Nina, Tommy kembali memandanginya dari atas kebawah. Dia mencubit pipinya untuk membuktikan kalau sekarang tidak sedang bermimpi. Sahabat yang dulu dikira telah tiada, kini berdiri dihadapannya dengan perut yang sedikit membuncit.

“Kau kemana saja, hah?! Kami kira kau tu udah mati! Kau tahu ndak, kalau aku nangis waktu dengar kabar tu! Mereka bilang kau kau ditabrak lalu menghilang dari rumah sakit! Aku sampai dihajar sama satpam karena meminta tanggung jawab mereka!”

Dada Tommy kembang-kempis meluapkan emosinya. Dari balik kacamatanya, Nina bisa melihat kalau dia sedang menahan tangis. Ada rasa bersalah ketika melihatnya begitu khawatir. Tetapi jika Alex tidak bergerak cepat, saat ini dia tidak mungkin berada disini.

“Maaf, aku membuatmu khawatir. Aku koma selama 5 tahun dan sempat mengalami amnesia. Baru-baru ini ingatanku kembali dan aku baru tiba disini.”

“Lalu, siapa yang bawa kamu pergi dari rumah sakit? Gua sama Randy sampai keliling Jakarta buat nyariin elu. Randy sampai stress pas tahu lu hilang. Dia juga kena surat peringatan dari kantornya karena absent berhari-hari.”

“Lalu gimana Randy sekarang?” tanyanya resah. Dia tidak menyangka jika kepergiannya saat itu membuat adiknya menderita.

“Gimana lagi, ya kerja lah! Kuliahnya pas tu juga belum selesai. Tiap hari libur dia pasti keliling nyariin lu. Sampai sekarang aja dia masih sering nanyain gua apa ada kabar lu atau ngak. Randy tu ternyata peduli sama kamu!”

‘Randy peduli padaku?’

Nina masih tidak percaya dengan apa yang baru didengarnya. Randy yang diketahuinya terkenal karena sifat cuek dan pendiamnya. Saat dia dulu memutuskan untuk berhenti sekolah, Randy tidak mengatakan apapun tentang. Randy bahkan tidak pernah menanyakan kabarnya setiap kali pulang malam ataupun bertegur sapa. Saat dia bekerja di cafe pun, Randy lebih sering mengabaikannya dan berpura-pura tidak melihatnya.

Selama ini, Nina mengira kalau Randy membencinya karena itu dia juga mengambil jarak untuk memberinya ruang. Mungkin ada suatu alasan hingga Randy bersikap seperti itu padanya. Buktinya, Randy tidak pernah membuang barang pemberiannya. Pikirannya selama ini tentang Randy ternyata salah.

“Jadi kemana lu 5 tahun ni? Ada yang bilang lu diculik sama bule yang naksir sama kamu. Terus siapa bapak dari anak ini?”

“Dia bukan orang jahat. Alex adalah suamiku dan dia ayah dari anak ini. Sorry Tom, aku belum bisa menceritakan apapun padamu. Aku janji, aku akan cerita setelah waktunya tepat.”

“Ok, tapi jangan hilang-hilang lagi ya.”

Nina memberikan senyum tipis sebagai jawaban lalu berpisah dengan Tommy. Setelah cukup jauh, Nina masih memikirkan perkataan Tommy tentang Randy. Ada rasa tidak percaya dan haru secara bersamaan. Adik yang dikira membencinya, ternyata menyayanginya. Mengetahui kenyataan itu, dada Nina terasa ringan. Sebelum kembali, masih ada satu tempat lagi yang ingin dikunjunginya. Selepas bertemu mereka, barulah Nina merasa yakin untuk menentukan langkah selanjutnya.

***

Saat memasuki cafe, hal yang Nina lakukan adalah mengamati seluruh ruangan. Banyak wajah baru yang tidak dikenalnya dan hanya beberapa orang lama yang masih ada. Keadaan cafe begitu sepi, berbeda saat dia bekerja dulu. Antrian panjang yang biasa selalu ada, kini menjadi kosong. Beberapa menu yang dulu mereka sajikan pun telah digantikan dengan menu yang lebih sederhana.

“Selamat siang nona, ada yang bisa saya bantu?” Seorang pelayan perempuan datang menyapanya.

Dari parasnya, Nina menebak jika perempuan itu berumur 20 tahunan. Melihat pelayan itu membuatnya teringat dengan masa lalunya yang juga telah bekerja diwaktu muda. “Saya mau bertemu Anggi. Apa dia ada?”

Pelayan itu mengernyit sejenak mendengar bahasa indonesianya yang kaku lalu kembali bersikap biasa. “Baik, saya antarkan.”

Nina mengangguk sebagai jawaban dan mengikuti pelayan itu menuju lantai dua. Perlakuan pelayan itu membuat senyumnya mengembang karena memperhatikan kondisinya yang tengah hamil. Pelayan itu membantunya membawakan tas dan memperingatinya untuk hati-hati dengan lantai yang licin.

“Bu, ada yang mencari Ibu,” ucapnya setelah mengetuk pintu.

“Siapa?” tanya suara dibaliknya.

Pelayan itu lalu menoleh ke arah Nina dan memberikan tatapan tanya.

“Nina. Nina Setiawan.”

Pelayan itu mengangguk lalu menjawab, “Nona Nina Setiawan, Bu.”

Suara langkah kaki terdengar sangat keras di ikuti dengan pintu yang terbuka dengan kasar. Sosok yang sangat dikenalnya dengan baik berdiri disana. Anggi masih mungil seperti dulu. Tapi ada sedikit yang berbeda darinya. Wajahnya terlihat lelah dengan kantung mata yang menggantung disekitarnya.

Ketika melihatnya, reaksi Anggi sama seperti Tommy. Anggi menatapnya tidak percaya dengan mata yang membulat lebar. Ekspresi terkejut tidak sirna walau pelayan perempuan itu telah pergi meninggalkan mereka. Seakan-akan tidak percaya dengan apa dilihatnya, Anggi mencubit pipinya sendiri, sama seperti Tommy.

“Kamu tidak bermimpi. Ini aku, Nina,” ucapnya memecah keheningan.

“Kamu benar-benar Nina? Nina yang menjadi guru dan sahabatku?”

Nina mengangguk sekali lalu meraih tangan Anggi. “Ya, aku Nina. Maaf telah membuatmu khawatir selama 5 tahun ini.”

“Ya! Seharusnya kamu tahu seberapa khawatirnya kami! Kami mengira kau telah pergi selama-lamanya!” Mata Anggi berkaca-kaca saat mengeluarkan teriakan khasnya. Dia memeluk Nina erat untuk melepaskan kerinduannya. “Aku rindu denganmu! Kamu kemana saja selama ?!”

Nina mengelus rambut Anggi sekilas lalu menguraikan pelukannya. “Boleh bicara di dalam? Perutku yang sekarang membuat kakiku pegal karena berdiri terlalu lama.”

Anggi sontak menyadari perut Nina yang membuncit. Matanya melotot memperhatikan perutnya lalu membawanya masuk. Anggi masih bisa bersabar untuk menuangkan air dan memberikan jeda untuk mengambil nafas.

“Jadi, kemana kamu selama 5 tahun ini? Aku terkejut waktu dengar kamu kecelakaan lalu menghilang dari rumah sakit. Ada yang bilang kamu udah meninggal karena kecelakaan parah. Tentu aja aku gak percaya. Aku dan Randy sampai memohon-mohon sama pihak rumah sakit buat ngasih tahu kamu dimana. Tapi mereka bilang kamu udah dipindahkan dan gak tahu kemana. Randy sampai bertengkar sama mereka dan temanmu yang namanya Tommy itu sampai dihajar sama satpam.”

Nina hanya meringis mendengar Anggi. Cara Alex membawanya pergi seolah-olah ingin menyembunyikannya dari orang-orang terdekatnya. Dengan segala koneksi yang dimilikinya, Alex pasti mengetahui kalau sebelum kecelakaan itu terjadi, dia sedang bertengkar dengan ibunya.

“Hari itu, kalau saja aku tidak menuruti kemauan Alex buat nyuruh kamu pulang, kamu pasti tidak akan mengalami kecelakaan itu. Dia bilang ingin melamarmu karena itu aku menyetujuinya. Tetapi bule sialan itu malah menghilang begitu saja! Awas saja kalau aku ketemu lagi, akan aku remukkan dia!”

Minuman Nina hampir tumpah ketika mendengar suara Anggi yang mendadak meninggi. Dia juga perlu meluruskan kesalahpahaman yang tejadi supaya Alex tidak terlihat seperti penjahat. “Gi, Alex yang nolongin aku. Setelah kecelakaan itu, aku koma selama 5 tahun dan mengalami amnesia. Selama itu juga, Alex yang mengurusiku. Jangan membencinya, dia hanya melakukan yang terbaik.”

“Jadi benar bule sialan itu yang nyulik kamu?! Sialan! Dimana dia?! Berani-beraninya bawa kamu pergi tanpa persetujuan orang! Dia gak tahu kami disini cemas setengah mati nyariin kamu sampai Randy stress keq mayat! Kamu juga dihamilinya kan? Dasar lelaki bejat!”

Muka Anggi memerah dengan makian yang menjadi-jadi. Sampai hari ini, penyesalannya karena membiarkan Nina pulang sangat membekas dihatinya. Anggi sampai menyalahkan dirinya karena menganggap secara tidak langsung, dialah yang membuat Nina kecelakaan. Dari awal dia juga kurang menyukai Alex. Hanya karena lelaki itu juga ingin membuat Nina bahagia, makanya dia menyetujui setiap rencananya. Tetapi siapa sangka jika bule itu mengkhianati kepercayaannya dengan membawa Nina pergi dan menyembunyikannya dari semua orang.

I love him.

Anggi menatap Nina tidak percaya. “Apa katamu?”

I love him very dearly and he accept me whatever i am.” Nina membawa tangan Anggi menyentuh perutnya. “Aku kehilangan bayi pertamaku saat kecelakaan itu. Sekarang, aku mengandung lagi. Kau tahu, Alex sangat menatikan anak ini. Dia memperlakukan dengan baik dan merawatku dengan sabar disaat-saat aku koma. Alex tidak pernah melakukan hal membuatku bersedih. Bersamanya, aku menemukan kehangatan dan kebahagiaan yang kuimpikan.”

Amarah Anggi perlahan lenyap mendengar penjelasan Nina. Dari matanya, Anggi mengetahui seberapa beruntungnya Nina dicintai oleh Alex. Alex juga beruntung bisa mendapatkan hati Nina. Mungkin mereka memang ditakdirkan bersama. Dimanapun dan kapanpun, sejauh apapun mereka pada akhirnya tetap akan bersatu.

“Baiklah, aku tidak akan mempermasalahkannya lagi. Tapi tetap saja, kalau aku ketemu dengannya, aku akan memukulnya sekali sebagai balasan karena sudah membuat kami cemas!”

“Baik, tapi jangan keras-keras ya,” kekeh Nina.

Melihat senyum Nina yang berada dihadapannya, membuat Anggi merasa lega. Wanita yang dihadapannya sekarang benar-benar sahabatnya. Tanpa sadar, Anggi memeluknya dan menitikkan air mata. Wanita yang sangat dikaguminya kini telah kembali dengan keadaan selamat.

“Oh ya ngomong-ngomong, kamu belum ketemu Randy? Ternyata dia gak seburuk yang aku kira loh. Dia sayang banget sama kamu. Pas kamu hilang dari rumah sakit, dia kalang-kabut nyariin kamu sambil nangis. Kasihan loh dia, cepat temui. Dia pasti kangen banget sama kamu.”

Nina mengangguk dan memberikan senyum kecil. Anggi juga mengatakan hal yang sama tentang Randy. Mendengar seberapa keras usaha Randy mencarinya sudah cukup membuat tekadnya bulat.

“Terima kasih sudah mengerti. Tolong rahasiakan pertemuan kita dari Randy. Aku akan menemuinya nanti setelah hatiku siap.”

Anggi mengacungkan jempol sebagai jawaban. Nina menolak tawarannya saat Anggi ingin mengantar. Setelah mengetahui banyak hal tentang adiknya, Nina ingin merenungkannya sendiri. Keinginannya untuk bertemu Randy kian besar seiring dengan langkahnya. Jika sikap Randy padanya telah berubah, mungkin sikap ibunya juga telah melunak. Secarah harapan membuat senyumnya mengembang semakin lebar. Dengan wajah berseri-seri Nina menantikan, pertemuan dengan keluarganya.

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

1 Komentar

  1. Indah Narty menulis:

    Only you