Only You

Only You – Chapter 44

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

0 votes, average: 0.00 out of 1 (0 votes, average: 0.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

1

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Sudah berapa kali kepala Nina hampir terantuk meja. Rasa kantuk sering menguasainya, kapanpun dan dimanapun. Bukan hanya saat mendata pembukuan, saat melayani pelanggan pun Nina sering menguap tanpa sadar. Karena terlalu sering seperti itu, Anggi memindahkannya lagi ke bagian pembukuan dan akan membantu ketika cafe sedang ramai.

Nina bukannya sengaja. Kehamilannya yang masih muda membuatnya mudah mengantuk. Beruntung dia tidak mengalami komplikasi seperti muntah, tidak selera makan ataupun gangguan lainnya. Jika iya, dia khawatir bila kehamilannya akan diketahui orang lain.

Duduk sendirian di ruangan ber AC membuat kelopak matanya terasa berat. Belum lagi jam-jam sekarang yang merupakan jam rentan untuk tidur siang. Nina ingin sekali memejamkan matanya sejenak dan melupakan semua pekerjaan yang membutuhkan perhatiannya. Ketika matanya hampir tertutup sempurna, suara pintu terbuka langsung menyadarkannya.

“Masih ngantuk Nin? Kamu gak mau pulang aja? Beberapa hari ini kamu keliatan capek banget loh.” Anggi khawatir melihat kondisi Nina yang semakin hari semakin lesu. Sebelumnya, Anggi pernah menyuruhnya untuk memeriksakan diri ke dokter. Nina menolak dan mengatakan kalau dia baik-baik saja. Terkadang Anggi kesal karena Nina terlalu keras kepala. Padahal seharusnya dia lebih memikirkan kesehatannya sendiri dari pada orang lain.

“Udah, kamu pulang aja. Aku gak mau kamu sakit sampe gak masuk berhari-hari.” Kali ini Anggi lebih memaksa. Dia harus bisa membuat Nina pulang agar rencana orang itu berjalan lancar. “Aku antarin pulang supaya gak usah naik bus.” Anggi mulai membereskan barang-barang Nina dan mematikan laptopnya. Sesudah itu, Anggi mengambil kunci mobilnya dan menarik lengan Nina.

“Gi, aku bisa pulang sendiri! Kamu gak perlu repot-repot antarin aku!” Nina harus setengah berteriak agar Anggi berhenti menariknya. Perutnya merasa tidak nyaman karena lengannya ditarik. Dia harus mengalah agar tidak terjadi sesuatu dengan anaknya.

“Kamu tu memang harus dikasari baru dengar! Kalau dari tadi begini kan aku gak perlu narik-narik kamu.”

Nina hanya tersenyum mendengar gerutuan Anggi. Dia lalu mengambil tasnya dari genggaman Anggi dan menyandangnya. “Kalau begitu aku pulang dulu ya. Besok aku pasti masuk.”

“Gak perlu datang kalau kamu masih sakit. Orang sakit malah kerja. Istirahat dirumah yang benar!”

Nina hanya memberikan lambaian tangan sebagai jawaban. Agar tidak menarik perhatian, Nina turun menggunakan pintu belakang. Senyum terbentuk dibibirnya ketika mengingat dulu dia sering melalui pintu itu saat pergi bersama Alex.

Alex selalu mengajaknya makan siang dan tidak pernah kembali sesuai dengan jam yang ditetapkan. Mereka baru akan kembali setelah hari menjelang sore atau ketika kakinya sudah lelah. Kemanapun dia pergi, jika bersama Alex, Nina merasa senang. Bukan karena Alex selalu ingin memanjakannya atau memiliki banyak uang, tetapi karena dia mencintainya dengan tulus.

Nina mengelus perutnya yang masih rata. Dia masih tidak percaya jika didalam perutnya sekarnag terdapat sebuah nyawa yang tengah berkembang. Nyawa yang merupakan buah cinta mereka. Sampai sekarang pun, dia belum memberitahukan Alex mengenai kabar kehamilannya. Nina ingin menjadikannya kejutan saat Alex melamarnya nanti.

Sesampai di rumah, Nina terkejut melihat semua barang-barangnya berserakan di lantai. Bukan hanya pakaiannya, beberapa barang yang diberikan untuk Randy juga ikut tergeletak disana. Sempat terbesit dibenaknya jika itu rumahnya dirampok. Tetapi pemikiran itu hilang dengan cepat saat melihat pintu pagar yang terkunci dan tidak adanya keributan dari tetangga. Jika rumahnya benar-benar dirampok, pasti tetangga akan panik terlebih dengan pintu rumah yang masih terbuka lebar.

Nina masuk ke rumah dengan hati-hati dan mencari sosok mamanya. Ketika melihatnya muncul dari kamar, tangis lega langsung menggantung disudut matanya. “Ma – !”

Setumpuk baju langsung dilempar kehadapannya dan membuatnya terkejut. Namun hal yang lebih mengejutkan lagi adalah tatapan dingin Dian kepadanya.

“Darimana kamu dapat uang buat beli barang-barang ini? Kamu bohong sama mama kan?! 3 bulan kemaren kamu izin mau dinas karena urusin cabang cafe tapi sebenarnya kamu ke New York kan?!”

Nina terdiam ditempatnya menghadapi amarah Dian yang tertuju padanya. Dari awal dia sudah merasa tidak benar membohongi mamanya. Resiko jika kebohongan itu terbongkar sangat menyakitkan. Mamanya pasti sangat kecewa dengan dirinya sekarang.

“Ma, aku – “

“Diam! Mama gak mau dengar penjelasanmu! Dasar jalang!”

Dada Nina langsung berdenyut sakit. Dia sudah biasa mendapat perlakuan dingin dari Dian namun tidak dengan hinaan yang diberikan. Selama ini, dia selalu berusaha agar Dian mengakui jerih payahnya. Semua biaya yang diperlukan Randy dan juga kebutuhan sehari-hari ditanggungnya. Baginya tidak apa-apa jika dia harus bekerja siang malam untuk memenuhi kebutuhan mereka. Nina hanya ingin keluarganya yang tercinta selalu sehat dan bahagia.

“Belum puas kamu membuat mama malu sekarang kamu juga ingin membuat Randy ikut menanggungnya, hah?! Kamu gak tahu, seberapa malunya mama setiap kali ada yang bertanya tentang kamu! Kamu yang putus sekolah, kamu yang kerja, semuanya tentang kamu! Kamu mikir gak sih, kalau kamu tu buat Randy jadi tertekan dan semua yang kamu lakukan tidak ada yang berguna! Karena kamu juga, Randy sampai harus kuliah di universitas jelek itu! Kamu tahu kan kalau Randy itu pintar. Dia itu seharusnya kuliah di universitas bergengsi dan tidak perlu kerja siang malam hanya untuk membiayai pendidikannya!”

Nina terpaku ditempatnya mendengar semua cacian yang diberikan padanya. Dari awal, dia sudah tahu jika Dian tidak suka padanya. Meskipun begitu, Nina tetap menyayanginya. Wanita itu adalah orang yang telah melahirkan dan membesarkannya. Alasan lain kenapa dia terus bekerja juga karena tidak ingin mamanya kelelahan dan jatuh sakit. Akan tetapi setelah mendengar semua hinaan yang dikatakan, dia menyadari kalau hanya Randy dimatanya. Sekeras apapun dia berusaha, semuanya tidak bernilai apa-apa.

“Aku bukan jalang,” ucap Nina dengan suara bergetar. Tangannya terus terkepal erat menahan emosi yang selama ini dipendamnya. “Randy memilih kuliah disana karena dekat dengan tempat kerjanya sekarang. Aku juga sudah memberinya saran agar memasuki universitas yang lebih baik dengan jalur prestasi tetapi dia tidak mau. Dia memilih tempat itu karena kantornya memberikannya sedikit kelonggoran dengan statusnya yang mahasiswa. Randy sendiri yang memilih tentang masa depannya.”

“Jadi kamu bilang Randy yang sengaja kuliah ditempat itu? Bukan karena kamu yang menghasut? Atau kamu pikir mama yang nyuruh Randy kuliah disana?”

Nina masih diam meskipun Dian sengaja menusuk-nusuk dahinya dengan kuat. Dia tidak peduli lagi dengan apa yang terjadi selanjutnya. Dia manusia, masih memiliki hati dan bisa merasa lelah. Sesabar-sabar dirinya, tetap saja dia punya batasan.

“Kalau ditanya ya jawab, jangan diam! Atau kamu sudah tuli dan bisu sekarang?”

“Aku ngak tuli ataupun bisu. Aku malas menjawab karena mama pasti tidak akan mendengar penjelasanku.” Benar, sekeras apapun dia mengatakan, Dian tidak akan mempercayainya.

“Kamu memang anak kurang ajar! Pergi dari rumah ini sekarang! Mama gak mau perangai burukmu menular ke Randy! Kamu adalah sumber kebusukan dikeluarga ini!”

“Randy, Randy, Randy terus! Mama selalu melihat Randy! Apa Mama pernah melihat usahaku sekali saja? Kebohonganku tidak sebanding dengan perlakuan Mama padaku! Mama tidak pernah menanyai kabarku, tidak pernah khawatir jika aku pulang terlambat ataupun kesulitan dalam bekerja. Mama hanya memikirkan Randy! Apa Mama tidak bisa sedikit saja khawatir padaku? Aku tidak pernah menceritakan apapun karena aku tidak mau kalian khawatir.

Aku selalu berjuang memberikan yang terbaik untuk kalian, tapi apa yang kudapat! Mama membuat kesimpulan sepihak lalu mengatakan kalau aku adalah jalang dan uang yang kudapatkan adalah haram. Mama tidak mau mendengar penjelasanku dan ingin mengusirku. Baiklah jika Mama menganggap aku adalah aib, maka dengan senang hati aku meninggalkan rumah ini dan mencari kebahagian ku sendiri!”

Ya, tidak ada yang perlu dipertahankan lagi. Rumah yang dulu menjadi tempatnya berlindung kini telah tiada. Nina tidak bisa terus menerus melakukan pekerjaan sia-sia dan mengorbankan kebahagiannya. Sosok yang dulu selalu menjadi pahlawannya juga telah meninggalkannya. Jika tidak ada yang menghargainya, lebih baik dia pergi.

Darah Dian mendidih karena Nina semakin berani kepadanya. Dia tidak terima dilawan seperti itu terlebih oleh anaknya sendiri. Nina perlu diberi pelajaran. Dia lantas mengambil sebuah kotak yang berisi sebuah jam tangan dan membantingnya.

Nina yang melihat hal itu langsung menangis menatap jam tangan yang telah rusak itu. Jam yang menjadi hadiah pertama dari Alex telah berhenti berdetak dan hancur tidak berdaya. Saat jam itu hancur, saat itu jugalah hatinya ikut hancur. Dikeluarga ini, dia tidak memiliki pilihan. Sampai kapanpun, hatinya akan terus dianiaya oleh Mamanya sendiri.

“Mama kejam! Sebencinya Mama padaku, Mama tidak perlu merusak barang pemberian Alex!”

“Oh, jadi kau menjadi jalang dari bule bernama Alex? Bagus! Sekarang sudah kelihatan sifat busukmu. Kau benar-benar hina!”

Dian lalu menoleh kepada jemari Nina yang berkilau. Dilihatnya sebuah cincin yang melingkar disana dan merebutnya. Rasa iri karena kecantikan cincin itu membuatnya menghempas benda itu lalu menginjaknya hingga tidak berbentuk. Tidak puas sampai disitu, dia juga menampar pipi Nina dan mendorongnya keluar.

“Keluar kamu dari rumah ini! Dasar anak tidak berguna! Mulai detik ini aku tidak mau melihat wajahmu lagi! Kau bukan anakku!”

Meskipun matanya memanas, Nina menahan diri agar tidak menangis. Sudah cukup harga dirinya dijatuhkan. Dia tidak mau semakin merendah dengan menangis dihadapan Dian.

Tanpa mengatakan apapun, Nina langsung pergi dari rumah itu. Dia tidak peduli dengan tetangga yang melihat ataupun pandangan orang lain padanya. Ketika sudah cukup jauh, barulah air mata jatuh meluapkan kesedihannya.

Nina sangat kecewa dengan perlakuan Dian kepadanya. Jauh di lubuk hatinya dia juga tidak ingin bermusuhan dengan wanita yang telah berjasa melahirkannya. Tetapi dia juga tidak bisa terus menerus menahan perlakuan tidak adil tersebut. Dia juga memiliki perasaan dan tidak bisa diperlakukan semena-mena.

Saat menyebrang, Nina tidak memperhatikan kendaraan yang berlalu-lalang. Dia terlalu bersedih sehingga tidak menyadari ada sebuah mobil yang melaju dengan cepat ke arahnya. Tetapi saat dia menyadarinya, semua sudah terlambat. Tubuhnya terhempas jauh ketika mobil menabrak tubuhnya.

Nina tidak merasakan apapun. Matanya begitu kabur hingga tidak bisa melihat apa yang didepannya dengan jelas. Sekilas, bayangan Alex yang tersenyum cerah muncul dalam benaknya. Dibelakangnya sebuah cahaya bersinar begitu terang hingga membuat matanya silau. Rasa hangat langsung menjalar ke seluruh tubuhnya seiring dengan pelukan Alex. Sebelum matanya tertutup, Nina tersenyum dan bergumam sesuatu.

“Aku mencintaimu.”

"

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

8 Komentar

  1. Fransiscalavoie menulis:

    wah jadi karena ini nina amnesia. sebernernya itu ibu kandungnya bukan sih, jahat bgt

    1. hohoho, nantikan cerita selanjutnya

  2. dyah ayu monika menulis:

    Feel ku sih itu bukan ibu kandung nya deh .
    Gk ada ibu kandung model begitu. Kasian tau gk . Lebih kasian aku yg kebawa baper ?

    1. sebenarnya ada tapi tidak terlihat, contoh nyata aku pernah ketemu lagi
      hohoho, bisa bikin baper ya? saya jadi bangga

    2. Ada kok ibu yang seperti itu, tapi kasusnya memang jarang.

  3. Walaupun tidak secara langsung, Sukma dan ibunya Nina turut andil dalam kecelakaan yang dialami Nina. Alex ke mana nih?

  4. Indah Narty menulis:

    Ibu seperti itu ada

  5. Huhuhuhuhu :aw..aw