Rattleheart Part 1 : Arti Dari Dunia

3 votes, average: 1.00 out of 1 (3 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

  • Arslan adalah seorang tentara bayaran yang mencari arti dari dunia. Baginya dunia tak lagi sama semenjak dia menjadi tentara bayaran, peperangan, rasa sakit, hubungan antara manusia. Apa sebenarnya itu semua? Dalam usia dewasanya ia terus menanyakan arti hidup.
  • Hingga suatu hari ia bertemu dengan seorang penyihir perempuan bernama Alz yang meminta Arslan untuk memberikan makna hidup kepadanya.

Part 1

Arti dari Dunia

Lagi, tubuh ini telah terbiasa. Menusuk, menghindar, membunuh, menebas, berjalan cepat, menghunus dan menjatuhkan lawan dengan pedang.

Dunia seakan membencimu dalam perang, tiada lawan, tiada kawan. Trauma sudah hilang, menyatu dengan dada, membekas, membelenggu, namun terbiasa. Rasa takut telah hilang, getaran jiwa telah pergi. Tak berdosa, tangan mengayun, menebas lagi, memotong kepala orang, menusuk dada. Membunuh dengan ekspresi yang datar.

Jauh, pandanganku jauh, tak lagi peduli dengan semua, tak lagi tau apa arti dunia. Terbiasa, jika nyawa semurah itu, untuk apa aku hidup. Jika nyawa dapat direnggut dan ditukar dengan mudah, untuk apa aku bertahan? Ini semua salah dan tak benar. Apa arti dari kehidupanku yang sebenarnya?

Mata tak bisa melepaskan pandangannya dari cahaya matahari, ia terbenam, menguning dan membawa segala kesedihan hilang ditelan oleh dunia. Berhenti, semua pertempuran ini telah usai, meninggalkan diriku sambil terdiam tanpa arah, hanya bisa menatap kosong, lalu mempertanyakan, apa yang selama ini kulakukan di hidupku.

Tubuh yang sedari tadi berdiri di ujung tebing, mulai menurunkan tatapannya dari lembah yang diselimuti cahaya keemasan. Merasa cukup, membalikkan badan, dan mulai berjalan perlahan ke tengah hutan. Tak lama dari belakang ada suara yang menggapai telinga, pelan namun terdengar ramah dan menenangkan.

“Sudah mau pergi?” katanya, hanya kubalas dengan senyum. Kaki melanjutkan langkah menuju kegelapan, meninggalkan pria paru baya itu sendirian.

Aku tak ingin merepotkannya. Nampak, desa mereka telah benar-benar kehabisan uang untuk menyewa berbagai tentara bayaran sepertiku. Sehingga, menerima kebaikan itu mungkin akan mengganguku sedikit.

Namun dalam perjalanan aku kembali bertanya…

Untuk apa kehidupan itu ada?

Aku tak mengerti, aku tak tahu. Mata tak bisa menghindar maupun berbohong. Suara dan pemandangan itu masih terbayang, 10 tahun telah berlalu, dan aku masih tidak mengerti. Untuk apa semua ini terus terjadi?

Berjalan, kaki menyusuri hutan, dan menghilang diantaranya. Ingin berkemah, namun tidak memiliki apa-apa untuk dipegang. Hanya sedikit koin emas dan perunggu yang kubawa. Tubuh ingin beristirahat, namun entah kenapa ia menolak. Seharusnya aku bermalam di desa tadi. Tetapi aku sudah memutuskan, tiada istirahat untuk hari ini. Sungguh aneh, sungguh tidak konsisten. Nampaknya, aku benar-benar butuh istirahat.

Cahaya rembulan menyinari penjuru hutan, tenang, redup namun cukup untuk membuka pandangan. Hanya jalan setapak yang berada di hadapanku. Hewan-hewan hutan mulai menampakkan suaranya. Serigala melolong kencang sepanjang jalan, burung-burung berterbangan, ular dan mamalia-mamalia kecil mulai menyebrang dari pinggir jalan.

Benar-benar sebuah suasana yang bisa kau temukan di hutan mana saja.

Hari ini semua berjalan baik, dan aku mulai bertanya kepada diriku atas apa yang terjadi.

Apakah ini semua sudah cukup?

Apakah ini semua telah memenuhi tujuan dari hidupku?

Tidak, seharusnya bukan jalan ini yang kutempuh selama ini.

Cita-cita? Aku bahkan telah lama lupa atas itu, menjadi seorang penyihir nomor satu di Desa? Ah, desaku bahkan telah hilang dari peradaban. Aneh, namun inilah kenyataan pahit yang harus kuterima.

Berjalan, menyusuri jalan setapak yang nampak tak ada hentinya. Gelap, penuh siaga, cengkraman tanganku semakin menguat. Siap menyerang kapan saja. Aku tidak tahu mahluk buas seperti apa yang akan menyerangku. Mata ini cukup terlatih, tak perlu lagi membawa obor seperti dulu.

Pengalaman telah menjadi guru, tak mau meninggalkan jejak, dan tak mau menunjukkan kemana diri ini melangkah. Bagai pembawa obor di malam hari, kurasa diri ini telah benar-benar menutup pintu hatinya.

Obor…

Tenang, menghangatkan. Memberi pandangan di tengah malam, cahaya hangat menuntun perjalanan, ditemani secubung asap kecil yang mengudara diatas bara apinya. Bagai harapan, obor adalah penuntun manusia.

Namun dengan cahaya hangat itu juga manusia akan mati, namun dengan cahaya hangat itu juga manusia akan kehilangan segala yang ia punya. Cahaya itu menarik orang lain datang untuk ikut bernaung dalam hangatnya api kecil itu.

Terkadang mereka baik, terkadang mereka jahat. Siapa yang tahu itu semua? Niat mereka satu, datang dan bercengkerama. Mungkin seperti itu, mungkin. Dengan bodohnya anak kecil itu tersenyum, membuka diri kepada siapa saja yang ingin menghampiri obor itu. Menghamparkan selebar-lebarnya pintu hati dan tata krama kepada orang-orang yang tidak ia kenal.

Bodoh, jangan lakukan itu, engkau sesungguhnya telah menggali lubang kuburanmu sendiri. Engkau telah membangun monumen kematian bagi dirimu sendiri. Bodoh, apa yang kau lakukan. Sadarlah, jangan gegabah. Jangan buka hati dan kebaikanmu pada orang-orang itu, jangan!

Mataku kembali terbuka, tanpa sadar aku telah berjalan jauh dengan hanya mengandalkan alam bawah sadarku. Ujung dari hutan, kini telah nampak di depan mata, berhenti, dengan ditemani cahaya rembulan purnama yang sangat pucat sebuah pemandangan kini terpampang di hadapanku.

Reruntuhan panjang mulai terlihat, dengan hamparan tanah lapang di sekitarnya. Hati terasa sakit, benar-benar terasa sakit. Familiar, tak ingin tahu, dan tak ingin mengakuinya. Tanpa sadar aku telah kembali, aku benar-benar telah kembali ke tempat ini. Ke tempat dimana semuanya dimulai, ke tempat dimana aku menaruh harapan untuk pertama kalinya. Ke tempat dimana seharusnya aku tidak memutuskan kesalahan yang telah ku perbuat itu.

Milten, sebuah desa yang telah hilang dari peradaban dunia, kini berada di hadapanku.

Tak ada yang peduli dengan tempat ini, aku bisa merasakannya. Tak ada yang berusaha untuk menempati daerah ini lagi, aku bisa melihatnya. Berbagai reruntuhan, masih terasa sangat jelas. Kenangan, aku bisa mengingatnya. Jalan kecil ini, dimana aku pernah bermain dulu. Ah, memori mengalir di sekujur tubuhku, meringis dari ujung kaki sampai ke ubun-ubun.

Kepalaku sakit…

Tanpa sadar, aku mulai kehilangan kesadaran atas diri sendiri.

***

Terik matahari mulai menggapai kelopak mata, menyengat, dan membangunkan secara perlahan dari tidurku. Kepala terangkat, pelan, dan mulai menengok ke sekitar. Tak lama, kaki kanan mulai mengambil ancang-ancangnya, menopang, berdiri dan kini kedua tangan membersihkan baju yang sedikit terkena debu.

Aneh, bangunan-bangunan disini tidak sepenuhnya terjamah oleh semak belukar. 10 tahun telah berlalu namun tak ada rerumputan maupun pohon tinggi yang tumbuh diantara bangunan.

Rumah ini sangat familiar, aku bisa merasakannya, bau hangatnya masih tercium jelas. Siapa yang tidak tahu tempat ini. Kelezatan sup dari Ibu Anna, dan riuh anak-anak kecil yang setiap hari datang dan menyapa dirinya masih terekam jelas. Jalan-jalan kecil yang selalu dipadati oleh pedagang, serta taman desa yang terus dihinggapi oleh para penyair-penyair dari penjuru benua masih bisa terbayang.

Di tempat ini, banyak orang berkumpul untuk bermain satu sama lain, menyanyi dan menari, saling berbagi makanan dan melakukan pertunjukan. Sebuah kebahagiaan yang sudah jarang ditemukan di benua ini, dengan teganya harus berakhir begitu saja ditangan orang-orang yang tak bertanggungjawab dan tak bermoral. Setidaknya begitulah pikiranku. Namun kini, aku tak memiliki hak untuk mengatakannya.

Langkah kaki terus berjalan, mengitari desa, menemukan sebuah reruntuhan besar yang masih terjaga bentuknya. Hitam, bekas lalapan api masih terukir jelas di dindingnya. Namun, semua masih dapat teringat, tempat ini. Tempat dimana aku mendapatkan cita-cita untuk pertama kalinya.

Perpustakaan desa, tak salah lagi, atapnya jatuh ke bawah tanah, menimpa pondasinya. Namun tangga melingkar itu masih sama. Dahulu, tumpukan buku tersimpan diantara tangga melingkar itu, seorang wizard desa, Pak Rudolf sering menjaga perpustakaan dan melayani warga desa. Meski sudah tua dan sering mengeluh atas banyaknya pekerjaannya, Pak Rudolf adalah orang yang baik, ia tersenyum kepada anak kecil yang kesakitan, meski setelah itu memarahinya karena kesalahan mereka. Ia membantu berbagai macam proyek desa dengan niatnya, dan masih banyak lain.

Suatu hari, penasaran aku menatap jauh ke rak-rak penuh buku sihir di dalam perpustakaan. Namun aku selalu dimarahi olehnya, katanya buku sihir itu mahal, anak kecil tidak boleh mendekatinya. Tetapi meski begitu, setiap hari aku datang, dan datang lagi. Tidak menyerah, mengintip dari sana dan sini. Sampai akhirnya Pak Rudolf menyerah, dan membiarkanku untuk membacanya, meski aku sendiri tak tahu apa isi darinya.

Hingga tiba waktunya aku menjelaskan cita-citaku padanya, ingin menjadi seorang Wizard yang menyelamatkan banyak orang, membantu tugas warga desa seperti Pak Rudolf, bagiku melihat benda-benda besar dan berat dengan mudahnya berterbangan atau diciptakan oleh seorang wizard seperti pak Rudolf adalah hal yang menarik. Bagai pahlawan, sejak saat itu aku ingin, aku benar-benar ingin menjadi seperti dirinya.

Pak Rudolf menyerah, dan akhirnya sedikit tersenyum saat mendengar cita-citaku. Ia kemudian memberikan sebuah selembaran kertas, dan menyuruh memberikan itu kepada ibu. Aku tersenyum mendengarnya, aku masih ingat, diri ini berlari dengan kencang melalui blok-blok perdesaan, mata melihat kesana kemari, dan mulut mulai berteriak dengan kencangnya. Memanggil ibu yang saat itu sedang membersihkan piring di belakang rumah.

Heran, ia menatapku, dan tangan ini dengan seksama memberi kertas itu kepada ibu. Ibu bingung, namun setelah membaca ia memahami semuanya. Matanya menatap kearahku, memberiku senyuman dan kini terlihat sangat bahagia mendengarnya.

Menjelang beberapa hari, ibu membawaku lagi ke perpustakaan, katanya sebagai usaha pertama dalam melihat potensiku sebagai seorang Wizard. Harum wangi buku tercium dari jauh, memikat, dan membuat diriku ingin segera bertemu dengan Pak Rudolf, terlihat Pak Rudolf menatapku dengan pelan dari mejanya. Kemudian ia terlihat berbincang sebentar dengan ibu. Sebuah lambaian tangan ditunjukkan kepadaku, tanda harus mengikuti mereka kesana. Pelan, berjalan aku mengikuti gerak mereka berdua.

Tak lama aku tiba di ruangan yang sangat bercahaya, katanya ini tempat Pak Rudolf menyimpan alat-alat sihir. Dengan lembut ibu menunjukkan jarinya ke arah sebuah benda yang berada di ujung ruangan, bentuknya bulat dan terbuat dari kaca. Ia bilang bahwa itu adalah alat pendeteksi sihir.

Ibu dan Pak Rudolf melihatku dengan seksama. Tanganku, dibimbing lalu direntangkan keduanya menuju bola kristal itu.

Namun….

Tidak terjadi apa-apa.

Suasana menjadi hening, tidak ada yang berbicara sepatah katapun kepadaku.

Hingga, Pak Rudolf menatap sambil menggelengkan kepalanya ke ibu. Pertanda sesuatu telah terjadi, sesuatu telah diputuskan.

Aku….

Tidak memiliki energi sihir sama sekali…

3 votes, average: 1.00 out of 1 (3 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

How You Feel About Someone vs How Someone Make u Feel

Halo guys

Selamat bulan Juli, gak terasa udah setengah tahun kita lalui. Semoga bulan ini dan ke depannya akan banyak hal baik untuk kita.

Oke, karena sudah lama gak ngepost di blog PSA, kali ini aku datang membawa sebuah kalimat yang menarik banget. Pertama kali aku lihat kalimat ini di video instagram story.

Aku langsung jleb… Wah ini jawaban atas kebingunganku selama ini. Kalian bisa search di tiktok ya dengan username rainertupamahu.

How you feel about someone & How someone make you feel

Teman – teman, sekilas kata – kata itu mirip ya? Tapi kalau ditelaah lebih lanjut, keduanya memiliki makna yang berbeda loh.

Perbedaannya dimana? Dalam videonya, kak Rainer menjelaskan dengan contoh yang mudah dipahami

” Kamu bisa menganggap seseorang karismatik, lovely, pintar, dan bijak, tapi kalau orang itu membuat kita cemas, tidak berharga, insecure tentang diri kita sendiri… Mungkin kita harus memperhatikan itu.

Karena ternyata, how someone make you feel itu realitasnya lebih dirasakan kita secara personal ketimbang how you feel about someone.”

Wow, setelah mendengar penjelasan singkat namun padat kak Rainer, aku pikir aku memahami apa yang aku rasakan beberapa bulan.

Aku sendiri ada di sebuah lingkungan dimana yang menurutku ga nyaman  dan orang – orang yang baik tapi terasa jauh.

Lebih dari 3 bulan, aku selalu bertanya – tanya dalam hati, kenapa ya aku ngerasa kayak gitu? Padahal kalau aku pikir-pikir orangnya sebenarnya enak.

And then, terjawab.. Kalau mungkin perasaan-perasaan gak nyamanku muncul karena mereka secara sadar atau gak sadar membuatku merasakan perasaan-perasaan itu.

Lalu gimana? Lebih awaraness aja dan yah mungkin mulai membangun batasan sehat. Itu aja.

Selain aku, apakah kalian pernah atau sedang mengalami hal ini?

Sebuah Tapak Tilas Masa Lalu

Aku kembali menengok ke belakang, mencoba menelusuri jejak tilas masa lalu, tepatnya beberapa tahun yang silam.

Kilas balik kilatan memori berkelebatan di kepala. Menggerakan raga untuk kembali membuka kenangan-kenangan yang telah lama berdebu tak terjamah

Ada banyak kenangan disini. Aku mulai menelusurinya satu persatu, sampai pada akhirnya aku menemukan satu kisah cerita yang sempat ku buat dulu, namun sayangnya, kini ia tertinggal berkarat dan berakhir dengan kebuntuan semu.

Karena pusat inspirasiku saat itu ialah sesuatu yang sedang berusaha aku pukul paksa dengan palu, untuk meredam munculnya pilu yang seakan menusukku berkali-kali dengan sembilu.

Tokoh itu, Ya. Benar tokoh itu yang pernah mengenalkanku pada rasa baru nan asing, namun membuat candu akan rasanya yang manis bagai madu.

Tetapi di pertengahan jalan tokoh itu memilih berhenti dan berlalu menyisakan sendu hingga luka masa lalu.

Tokoh itu juga yang membunuh perlahan versi diriku yang dulu menjadi beku tak tersentuh layaknya seseorang yang menderita trust issue

Cerpen | Untuk Laura

black-1175218_1920

 

7 votes, average: 1.00 out of 1 (7 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

Kota Ockland dilanda kericuhan. Keamanan kota sedang diobrak-abrik oleh sindikat kriminal yang bergerak secara senyap menculik warga kota di beberapa tempat. Pihak regensi beserta tim investigasi telah menurunkan tim khusus untuk menyelesaikan persoalan tersebut. CCTV dipasang hampir di semua sudut strategis berikut petugas yang disebar hampir di semua wilayah.

Laura berjalan cepat dengan napas terengah saat tiba di pintu gang. Area tempat tinggalnya ini sesungguhnya adalah area yang jauh dari hiruk pikuk serangan para penjahat itu dan termasuk wilayah aman karena berada di lokasi terdekat dengan kantor polisi setempat.

Waktu menunjuk pukul sepuluh malam. Laura merasakan dadanya seolah akan meledak karena sedari tadi menahan rasa cemas sekaligus lelah karena langkahnya yang cepat. Perempuan itu bersandar pada tembok di salah satu sisi tersembunyi sebuah rumah tak jauh dari jalur masuk tempat tinggalnya. Tadi, Laura mengira jika dirinya akan menjadi korban penculikan selanjutnya setelah selama 1 kilometer jauhnya ia dibuntuti oleh seseorang.

Laura membuka ponselnya dan menggerutu. Keegan. Teman lelakinya itu biasanya akan berbaik hati menemaninya pulang mulai dari halte bus kedua hingga depan jalan menuju gang rumahnya ini. Keegan berkata jika rumahnya berada dua kilometer dari tempat Laura turun dari bus sehingga bukan masalah besar jika ia menemani Laura pulang.

Bagi Laura sendiri, Keegan adalah sosok sempurna yang memenuhi segala ekspektasinya tentang lelaki idaman. Keegan adalah lelaki pekerja keras, penyayang, dan peduli dengan orang lain. Hal itu masih ditambah dengan fisiknya yang gagah dan rupawan.

Sejenak Laura tersenyum tipis saat mengingat pendapatnya sendiri tentang lelaki itu, tetapi dengan cepat ia mendecak lantas menyakukan kembali ponselnya dengan gerakan kasar saat tahu jika sepertinya Keegan tak akan datang. Baru saja akan melanjutkan langkah setelah yakin jika tak ada siapa pun yang mengikutinya, Laura justru mendengar suara derapan langkah kaki yang terdengar tegas di belakangnya.

Astaga. Apakah dirinya lengah sehingga membiarkan penguntit itu berhasil menemukannya meski ia bersembunyi di tempat gelap?

Tubuh Laura gemetar dengan antisipasi yang terlambat meski ia pada akhirnya berhasil maju selangkah demi selangkah dengan tersendat-sendat. Langkah kaki itu kian dekat membuat Laura memejam dan bersiap melawan dengan sepenuh kemampuannya yang seadanya apa pun resikonya. Perempuan itu mencengkeram tas yang diselempangkannya dan bersiap melemparkannya ke belakang lantas hendak berlari.

Laura menghitung dalam hati seiring derap langkah kaki di belakangnya yang kian cepat. Perempuan itu secepat kilat melempar tas di tangannya dan seketika itu juga keterkejutan kedua saat tangannya tiba-tiba dicengkeram membuat jantungnya seolah betul-betul terlepas dari tempatnya.

“Laura.”

***

Sudut jalan itu sepi. Lelaki yang tampak mengenakan pakaian serba hitam dan penutup kepala itu menghentikan langkah. Perempuan yang diikutinya tadi sepertinya menyadari jika ada orang yang sengaja membuntutinya dan itu adalah masalah besar.

Pemimpinnya dengan tegas mengatakan jika ia hanya harus mengawasi perempuan itu hingga tiba di rumahnya tanpa ketahuan.

Telanjur. Lebih baik ia segera pergi dari tempat ini.

Lelaki itu menengok penunjuk waktu di pergelangan tangan, menghitung waktu.

Beberapa saat kemudian, sebuah sepeda motor besar dengan warna gelap berhenti persis di depannya. Tak menunggu waktu lebih lama, ia segera membonceng di belakang dan pengendaranya pun segera memutar gas, melaju di jalanan besar itu, menyaru dengan kendaraan lain, membaur dengan mobil petugas yang sesekali membunyikan sirene, menandakan petugas patroli yang benar-benar tak beristirahat malam itu.

***

Laura meletakkan gelasnya dengan tangan gemetar. Bayang-bayang dirinya dibuntuti orang tak dikenal lantas tiba-tiba ditikam benar-benar membuat kepalanya pening.

“Kau dibuntuti?” Keegan mengernyitkan dahi.

Laura mengangguk pelan. “Kau mendadak datang di belakangku. Apa kau tak melihat? Kupikir kaulah orang itu. Sialan!” umpatnya sembari memukul lengan Keegan.

Raut wajah Keegan berubah gelap sesaat sebelum berucap dengan nada getir, “Maafkan aku, Laura. Aku ada lembur hari ini dan tak bisa menemanimu pulang—”

Suara rentetan tembakan dari televisi yang menyala menyela kalimat Keegan. Keduanya menoleh cepat dan melihat jika kanal berita terbaru sedang memperlihatkan suasana keributan di salah satu rumah yang sedang dikepung. Ada begitu banyak polisi dan juga warga kota yang tertarik ingin melihat proses penangkapan di sebuah rumah yang diduga sebagai kediaman pelaku penculikan.

Suara embusan napas Laura terdengar putus asa. “Apakah menurutmu para polisi akan berhasil menangkap salah satu saja dari mereka malam ini?” tanyanya dengan nada cemas. “Aku ingin sekali pindah dari kota ini tapi seluruh jalan menuju keluar wilayah kota menjadi tempat yang paling tidak aman,” keluhnya dengan senyum kecut. “Teman-teman kerjaku banyak yang kehilangan anggota keluarga mereka. Aku takut.” Laura tanpa sadar mengusap lengannya sembari memeluk badan, menunjukkan ketakutannya yang tak terbendung.

Ada tatapan tak biasa dari kedua mata Keegan mendengar kalimat Laura itu. “Bagaimana jika kita menikah saja sehingga kau hanya harus di rumah dan aku yang akan bekerja?” celetuknya yang berhasil membuat kedua mata Laura melotot marah.

Namun, berbeda dari biasanya di mana Keegan yang setelah mencandai Laura itu akan mengeluarkan suara tawanya, kali ini lelaki itu memasang ekspresi wajahnya yang serius dan menatap Laura dengan penuh harap.
“Aku bersungguh-sungguh, Laura. Kau telah mengenalku dan aku mengenalmu dengan baik. Bukankah aku telah memberi apa yang kaubutuhkan selama ini? Aku akan menjamin keamananmu dan mencukupimu. Apakah itu tak cukup memberimu pertimbangan?” Keegan meraih tangan Laura dan menggenggamnya.

Entah bagaimana hal itu terasa berbeda bagi Laura dari sentuhan Keegan selama ini yang hanya menyentuh lengan saat memanggilnya.

“Keegan. Mungkin ini terlalu terburu-buru. Aku—”

“Aku berjanji atas perihal yang kuucapkan tadi, Laura. Kau akan menjadi satu-satunya. Aku berjanji tak akan meninggalkanmu apa pun alasannya. Aku mencintaimu.” Keegan berucap lembut penuh kesungguhan, menyentuh perasaan Laura hingga perempuan itu berkaca-kaca.

***

Suara tawa terdengar keras di dalam sebuah mobil minivan yang sedang melaju di jalanan lengang pinggir kota. Dua laki-laki tampak berbincang dengan bahasa asing dan entah sedang membicarakan apa.

“Siapa … kalian?” Suara tanya penuh teror dari mulut seorang perempuan yang duduk di kursi tengah mobil itu terdengar parau. Seingatnya, tadi ia sedang berada di meja kerjanya dan menyalakan laptop, tetapi entah bagaimana kini ia sudah berada di kendaraan asing bersama dua laki-laki yang tak dikenalnya!

Salah seorang dari dua laki-laki itu kembali tertawa. “Sebentar lagi kita tiba, Sayang. Kau akan segera tahu,” ucapnya dengan senyum sinis sembari mengangkat ponselnya ke telinga.

“Tuan. Kami sudah membawa target selanjutnya.” Laki-laki itu berkata dengan penuh keangkuhan.

“Ah, bagus. Aku sedang berada di tempat biasa. Kususul kalian sesegera mungkin,” sahut seseorang di seberang telepon lantas memutus sambungan.

“Tuan Lee sedang pergi?” Lelaki yang berada di balik kemudi bertanya.

“Ya. Dia sedang bersama wanitanya. Sebentar lagi akan menyusul kita ke markas.”

Kendaraan roda empat itu terus melaju membelah jalanan mulus di tengah hutan pinus, menuju tempat tujuan.

***

Keegan masih menggenggam tangan Laura ketika pada akhirnya mereka berjalan turun dari mobil yang dikendarai Keegan. Laura tak sempat memperhatikan sekeliling bahkan tak peduli lagi dengan tujuan mereka pergi kali ini karena selama perjalanan tadi, yang ada dalam pikirannya hanyalah pernyataan Keegan yang tak pernah disangka-sangkanya, bercampur aduk dengan kebingungan hatinya sendiri yang tak berkesudahan.

Laura tersentak dari lamunannya ketika mereka berdua tiba di depan sebuah rumah besar di mana sudah ada banyak sekali anggota polisi yang berjajar seolah menunggu mereka berdua.

“Kee-Keegan.” Langkah Laura sontak berhenti dengan wajahnya yang pias. Perempuan itu menyentakkan genggaman tangannya saat mengetahui jika Keegan sama terpakunya seperti dirinya. “Apa … yang terjadi?” tanya Laura terbata, mulutnya terasa kering bahkan untuk sekadar menelan ludah menenangkan diri dan memahami situasi.

Pikiran Laura yang lelah kini tumpul seketika saat tak berhasil mengumpulkan barang satu kemungkinan tentang apa yang sedang dihadapinya.

“Kau … Keegan ….”

Tanpa disangka, dari semua ekspresi gugup dan takut yang bisa ditunjukkan oleh Keegan kepada Laura atas peristiwa ini, lelaki itu justru memiringkan tubuhnya dan tersenyum lebar dengan aura menakutkan hingga membuat Laura tanpa sadar memundurkan kakinya gemetar. Tak berapa lama, sebuah mobil minivan datang membunyikan klakson, mengalihkan perhatian semuanya.

Dua orang lelaki dan satu orang perempuan yang dicekal tangannya turun dari kendaraan itu.

Para polisi yang semula anteng seperti patung itu mendadak menundukkan tubuh mereka yang tentu saja merupakan isyarat tanda menghormat setelah Keegan menatap tajam ke arah mereka semua, setelah itu, serempak para polisi itu melepas resleting baju hingga ke atas kepala, membuat penampilan mereka berubah total menjadi selayaknya seorang pengawal berpakaian serba hitam.

Belum selesai hal itu membuat Laura kembali tertimpa shock, pintu besar rumah itu terbuka lebar, memperlihatkan beberapa pelayan dengan pakaian khasnya yang begitu rapi, berdiri seperti boneka dengan tatapan kosong.

“Tuan Keegan Lee.” Mereka menyapa serempak.

Laura membelalak mendengar suara sapaan itu, wajahnya berubah pucat saat tanpa sadar ia mengamati dan mengenali beberapa perempuan yang beberapa waktu lalu berkali-kali masuk ke dalam saluran berita televisi, menjadi berita utama perempuan hilang yang menghebohkan.

Laura jatuh terduduk dengan dadanya yang sesak diikuti kedua matanya yang membasah. Tak mampu berkata-kata.

“Selamat datang di rumah, Laura. Bagaimana? Apakah kau menyukai mereka? Kalau kau tak setuju, aku bisa dengan mudah mengganti mereka semua.”

Tangis Laura pecah, diikuti isakannya yang berujung pada suara teriakan putus asa penuh kengerian yang tak bisa ditutup-tutupi lagi.

 

TAMAT

 

My First Love

3 votes, average: 1.00 out of 1 (3 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Aku bertemu dengan cinta pertamaku

Aku terakhir bertemu dengannya lebih dari 10 tahun yang lalu

Aku hanya ingin memastikan apakah rasa ini masih sama

Aku tidak berharap dia masih merasakan apa yang ku rasakan

Aku hanya ingin tahu bagaimana rasanya bertemu kembali setelah sekian lama tidak melihatnya

Aku bahkan tidak pernah mencari tahu media sosialnya, bahkan nomor wa saja pun aku tidak punya

Ini benar-benar pertama kalinya aku melihatnya setelah 10 tahun lebih

Aku pernah memiliki seseorang tentu saja dalam rentang waktu yang cukup lama itu

Baik dalam status berhubungan secara resmi maupun kedekatan tanpa status dengan beberapa orang

Tetapi semua itu tidak dapat dibandingkan dengan perasaanku ketika melihatnya kembali

Aku rela hanya melihatnya sekali ini saja lalu ku simpan di dalam lubuk hatiku yang paling dalam

Dimana aku tidak membiarkan seorang pun mengisi tempat itu

Ironisnya aku baru mengetahuinya ketika aku bertemu kembali dengannya

Aku pernah menjalin hubungan dengan orang lain tetapi kandas di tengah jalan

Setelah itu aku belum pernah mencoba untuk berhubungan serius lagi dengan siapa pun

Ku kira itu karena aku masih belum move on dari mantan ku

Tetapi sekarang aku tersadar alasanku tidak mampu membuka hati

Sekalipun dengan mantanku itu yang ku pikir aku telah menyayanginya sepenuh hati

Tetapi setelah bertemu dengan cinta pertamaku aku menyadari

Bahwa hatiku masih ku kunci dan aku tidak tahu cara membuka kuncinya

Sampai aku melihatnya kembali dan kunci hatiku terbuka dengan sendirinya

Rasanya tidak dapat ku jelaskan dengan kata-kata

Tetapi satu hal yang dapat aku katakan

Bahwa aku masih mencintainya dengan rasa yang sama seperti dulu

Seolah tidak ada jarak ruang dan waktu yang telah memisahkan

Aku bersyukur kalaupun kami tidak berjodoh dan ini merupakan pertemuan terakhir kami

Aku tetap menyimpan rasa ini di dalam hatiku

Aku tahu bahwa tidak akan mudah bagiku untuk kembali menata hati ini

Sekian tahun lamanya aku menata hatiku dan hanya dalam sekali pertemuan semua usahaku seperti tidak ada artinya

Tetapi aku tetap memilih untuk bertemu dengannya lagi dan lagi

Karena saat itu adalah saat dimana hatiku dapat merasa kembali

Karena tanpa sadar aku telah memberikan kunci hatiku kepadanya

Dia memiliki ruang yang khusus di dalam hatiku

Yang tidak dapat tergantikan oleh siapa pun sampai kapan pun

Aku masih mencintainya

 

#4 – Percakapan

****
Samar-samar suara gemerisik angin yang menerbangkan dedaunan kering menelusup dan mengantarkan gelombang suara yang menggetarkan kedua membran timpani di dalam sepasang telinga milik Yvonne.

Terasa sedikit berisik namun tak mengusik dan sedikitpun tak melunturkan semangat Yvonne untuk tetap memfokuskan kedua bola matanya membaca setiap deretan kata-kata yang membentuk kalimat-kalimat indah dari novel berbentuk buku tebal yang tengah ia baca dan terpaksa ia cintai dari hari ke hari tanpa henti.

Terpaksa mencintai, awalnya tidak mudah namun lambat laun, kebiasaan yang terpaksa itu membuat Yvonne terbiasa dan menemukan keindahan-keindahan tersembunyi di dalamnya ketika ia mulai belajar mencintai secara tertatih-tatih.

 

“Jika kau tak belajar mencintai sesuatu yang dengan terpaksa harus kau hadapi tanpa bisa berlari sedikitpun, lambat laun hanya kehampaan yang membutakanmu, lantas tak sedikitpun keindahan yang mampu kau rasakan, sedangkan di dunia ini, bahkan malam yang gelap gulita hingga begitu pekat yang terasa meremangkan bulu kudukmu, nyatanya mampu menjadi situasi yang membuatmu melihat jutaan bintang-bintang yang berpendar indah di langit, jika kau menyadarinya.”

Hari itu, di suatu suasana menjelang siang yang hampir sama seperti saat sekarang, entah sudah beberapa hari yang lalu hal itu terjadi, namun Yvonne sangat ingat bagaimana ia tengah terperanjat hingga kedua bola matanya mematung sempurna dan menatap dalam tanpa berkedip sedikitpun kepada sosok pria yang tengah duduk di depan matanya dengak kekaguman yang menyerang benaknya secara bar bar.

Pupil matanya terasa mengecil bagai lensa kamera yang sedang menjalankan mode mikro karena begitu fokus menatap sosok Nathan yang baru saja selesai melontarkan kata-katanya. Betapa fokusnya menatap Nathan sampai Yvonne bisa melihat garis senyum hangat milik Nathan sedang mengembang perlahan dengan kaku sebagai sebentuk cara yang bisa dipikirkan Nathan secara cepat untuk mencairkan suasana yang membingungkan dalam sepersekian detik ke menit yang begitu canggung di antara mereka berdua.

“Ah, itu bukan kata-kata yang kubuat sendiri, tapi dari novel itu, sekitar beberapa halaman lagi di belakang.”

Nathan mulai terkekeh dan dengan malu-malu mengucapkan kalimatnya secara perlahan yang menurutnya pantas untuk mencairkan suasana sembari menggaruk pelipisnya yang tidak gatal sedikitpun, melainkan hanya sebuah bentuk pengendalian diri saja.

Yvone mengerjapkan matanya dengan cepat, kesadaran segera meremanginya lantas wajahnya memerah menahan malu atas tindakan impulsif yang tercipta tanpa izin.

“Oh, begitu kah? Bagus sekali.” celetuk Yvone dengan cepat dan mengakhiri kalimatnya dengan tawa kecil yang begitu canggung.

Entah bagaimana situasi hari itu yang terasa canggung bisa kemudian berakhir dengan situasi yang kembali menyenangkan, namun Yvonne sangat tahu dan tak akan lupa bahwa Nathan selalu menempatkan dirinya menjadi nahkoda yang menyeimbangkan kapal yang terombang-ambing oleh gelombang rasa canggung yang menggelayuti perasaan dengan membabi buta saat mereka sedang duduk berdua.

Setiap kali gelombang pasang mulai bermain-main, dengan tenang Nathan mengatur kendali hingga Yvonne kembali fokus dengan tujuan.

Kenyataan yang terlampau banyak terjadi membawa Yvonne nyaris menghabiskan berlembar-lembar halaman novel yang menjadi tanggungjawabnya untuk saat ini kepada Lucas dan saat ini Yvonne termangu sendiri mendapati dirinya menemukan deretan kata-kata indah yang pernah diucapkan Nathan.

Nathan ternyata tidak berbohong.

Bagaimana bisa pria itu menyatakan dengan sempurna kalimat yang terpatri indah dalam selembar novel itu?

Seakan-akan ia mengucapkan dari hatinya?

Yvonne meletakkan novel dalam genggamannya ke atas meja kafe dan mengusap wajahnya beberapa kali dengan kedua telapak tangan mungilnya tanpa menghiraukam sedikitpun bahwa yang ia lakukan bisa memudarkan lapisan bedak tipis yang membantu mencerahkan wajahnya. Pada akhirnya ia mendaratkan kedua telapak tangannya di dasar rahangnya sehingga ia mulai terlihat tengah menopang dagu dan mengarahkan wajahnya ke luar jendela kafe.

Kedua matanya kini mulai meredup sembari mengamati dengan tenang suasana di luar kafe. Meski ia sedang berada di dalam ruangan yang suhunya dimanipulasi oleh pendingin ruangan yang bertengger di setiap sisi dinding kafe, ia bisa merasakan suasana di luar sana begitu hangat oleh cahaya matahari yang berpendar redup, tak terasa terik menyengat, dan berkolaborasi dengan semilir angin yang meniup daun-daun kering hingga berterbangan tak tentu arah dan dengan pasrah berlabuh di manapun angin dengan jahil membawa mereka.

Rasa bosan mulai menyelimuti Yvonne, ia telah selesai menunaikan tugasnya membaca lembaran novel yang menjadi tugasnya hari ini, namun ia terasa terlalu lama menanti kehadiran Nathan dan itu benar-benar tak seperti biasanya. Padahal Yvonne bermaksud menyampaikan sesuatu yang sangat tak sabar untuk ia ungkapkan kepada Nathan. Pagi tadi Yvonne terkejut oleh informasi yang disampaikan oleh Lucas kepadanya dan itu membuatnya begitu ingin segera bertemu Nathan juga menjadi alasan hari ini Yvonne menghabiskan lebih banyak lembaran halaman novel untum dibaca.

Tapi, di mana Nathan?

Yvonne terlalu lama menunggu, ia tahu dari posisi matahari yang nyaris sepenggalah naik hingga mencapai ubun-ubun, biasanya Nathan tak membuatnya lama menunggu seperti saat ini. Mereka biasa menyelesaikan diskusi mereka sebelum jam makan siang. Tapi saat ini bahkan Yvonne bisa merasakan lambungnya mulai meronta-ronta oleh gerak peristaltik yang mulai mencari korban untuk digerus dan Yvonne khawatir enzim dalam lambungnya mulai salah sasaran.

“Astaga, aku mulai lapar. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan saat ini?” gumamnya dengan perasaan sedih.

Yvonne tidak tahu apa sebaiknya ia segera pulang saja atau tetap menunggu Nathan?

Apakah sebaiknya Yvonne memesan makanan atau memilih pulang untuk menikmati sajian dari jasa katering yang selalu disiapkan Lucas untuknya?

Yvonne tidak biasanya memesan makanan siang di kafe Nathan karena ia selalu mengingat sajian makanan yang pasti sudah tersedia di apartemen yang ditinggalinya dengan Lucas. Yvonne biasanya hanya memesan kopi atau makanan ringan seperti kue red velvet yang menjadi favoritnya untuk menemaninya membaca novel.

“Ya ampun, kenapa otakku terasa buntu? Aku bahkan tidak bisa memutuskan sesuatu untukku sendiri saat ini?”

Yvonne merasa bodoh, begitu miris dengan situasinya saat ini dan itu membuatnya terdiam beberapa saat dan meletakkan kepalanya di meja kafe dengan begitu menyedihkan.

“Ya ampun, Yvonne!” rutuknya dalam hati.

Yvonne teringat kartu nama yang pernah diberikan Nathan saat pertama kali mereka bertemu. Sedikit banyak Yvonne ingin sekali menghubungi Nathan melalui deretan nomor telepon yang tertera rapi di lembar kartu nama mungil yang masih tersimpan awet di dalam tas mungilnya namun Yvonne terlalu sungkan untuk melakukannya.

Interaksi mereka selama ini hanya sebatas bertemu di kafe tersebut, meski Nathan sudah pernah memberi kartu namanya, bukankah itu sebuah formalitas bentuk kesopansantunan dalam sebuah bentuk perkenalan resmi saja?

Tidakkah terlalu melampaui batas rasanya jika Yvonne menghubunginya saat ini hanya untum sekadar bertanya apa Nathan tidak berniat untuk menemuinya hari ini?

Setelah sekian banyak hari yang dilalui, bukan, lebih tepatnya setiap hari yang telah mereka lalui bersama, rasanya tetap saja seperti tidak tahu diri jika Yvonne mengusik rutinitas Nathan lebih jauh, ia sudah cukup bersyukur Nathan selalu ada membantunya dan menghiburnya ketika penat membaca novel.

Ya, rasanya begitu.

“Permisi…”

Yvonne terperanjat ketika suara yang terasa asing menyapanya. Seorang pramugara kafe datang menghampirinya dengan membawa sepiring spaghetti carbonara hangat yang wanginya begitu semerbak hingga semakin membangunkan rasa lapar yang berusaha ditahan Yvonne sedari tadi.

Tersadar akan sesuatu yang janggal, Yvonne segera menolak dengan cepat sajian nikmat yang disodorkan kepadanya sebab ia sangat yakin meski sedari tadi tengah melamun kikuk, itu tak membuatnya sudah gila untuk bertindak di bawah alam sadarnya memesan makanan tiba-tiba karena terganggu oleh rasa lapar.

“Maaf, kurasa kau salah menyajikan ini kepadaku. Aku tidak memesan makanan apapun.” tolak Yvonne dan sedikit melirik ke arah secangkir cappuccino-nya yang nyaris tandas dari cangkirnya lalu kemudian ia beralih melirik sepotong kue red velvet yang dipesannya sejak awal datang sudah tak lagi nampak wujudnya di atas piring kue miliknya kecuali sisa krimnya saja yang seperti melukis permukaan piring kue secara berantakan.

“Apa ini sebuah teguran karena aku tak juga pergi dari sini setelah semua menu yang kupesan sudah habis?” ucap Yvonne dalam hatinya yang begitu bertanya-tanya.

“Oh, ini diberikan secara gratis atas perintah Tuan Nathan,” ucap pramugara tersebut dengan singkat namun nada yang digunakan terasa santun.

“Tuan Nathan juga berpesan untuk menyampaikan permintaan maafnya karena tak bisa menemui Nona Yvonne hari ini sebab ada kegiatan yang harus dilakukannya sejak sedari pagi di luar kafe. Semoga sajian ini bisa menghibur Nona Yvonne yang tengah sendirian, selamat menikmati, saya permisi.” terangnya lagi lantas segera meninggalkan Yvonne yang masih diam membisu.

“Bagaimana jika aku yang tidak hadir hari ini?” gumam Yvonne sembari masih dalam kependiaman yang kokoh.

“Bagaimana jika sebelum sajian ini datang, aku sudah angkat kaki dari sini?”

“Bagaimana bisa Nathan seperti cenayang yang begitu percaya diri mampu membaca tindakan yang akan kulakukan, seakan ia tahu aku tetap menunggunya di sini?”

“Sialan! Aku seperti terlalu mudah ditebak!” hardiknya begitu memekik dalam hati dan menutup rasa haru yang baru saja merasukinya karena selalu merasa bingung oleh sikap baik Nathan.

Perasaan yang begitu campuraduk mulai menggelayuti benaknya, tapi yang pasti Yvonne mau tak mau harus tinggal lebih lama lagi untuk menikmati sajian yang sudah dihidangkan di depannya. Senyum tipis mulai mengembang di wajahnya, betapa ia merasa beruntung bertemu Nathan dan ia tahu ia harus merasa cukup sampai disitu saja, Yvonne sungguh tak berani berharap lebih dengan pertemanan mereka yang terjalin setiap harinya.

Bukankah pria tidaklah serumit wanita?

Ketika pria merasakan sesuatu pada hatinya maka ia menyatakan dengan pasti.

Ketika sesuatu itu terasa rumit pada diri seorang pria, maka cukuplah berpikir ia hanya pria yang sedang melakukan perannya, yakni berbuat baik, tidak lebih.

Yvonne memahami itu dengan baik dari hari ke hari, rasa nyaman dan kagum akan nahkoda yang tengah menaklukkan lautan hatinya tak seharusnya ingin dimiliki oleh penumpang gelap sepertinya, meski hal itu terkadang mengusik egonya.

“Sialan!” hardiknya lagi masih berisik di dalam benaknya sendiri.

“Bisa-bisanya aku kagum dan benci padamu, Nathan!” pekiknya lagi namun Yvonne segera larut menikmati makanan yang sudah cukup kurang ajar menggodanya.

Yvonne begitu menikmati makanannya hingga ia tak sadar dua orang wanita berpenampilan modis masuk ke dalam kafe dan mengambil posisi duduk tepat di sebelah meja miliknya.
Tentu saja Yvonne tidak peduli, tampilan mereka berdua yang terlihat mewah bukanlah indikator yang bisa membuat Yvonne menoleh ke arah mereka.
Tapi, ketika ia mendengar nama Nathan terucap dari bibir merah merona salah satu dari mereka, Yvonne melambatkan gerakan makannya, membiarkan seluruh fokusnya tertuju pada indera pendengarannya untuk terus mendengar percakapan di antara keduanya.

“Apa kau tahu kalau kafe ini milik Nathan?”

“Yaa, aku tahu karena itulah aku mengajakmu kemari, kau suka kan?”

“Yaa, aku suka. Tapi bukankah terasa canggung jika kita berada di sini? Kau sungguh tidak tahu malu untuk bertemu muka dengan Nathan.”

“Kenapa aku harus malu? Justru dia harus melihat perempuan cantik yang telah ditolaknya dulu ini sekarang semakin mempesona. Dia pasti menyesal.”

“HAHAHA, kau pikir begitu? Kau lupa dia itu patung es, sangat dingin. Bisa-bisanya kau tertarik padanya dan berusaha menarik perhatiannya bahkan dulu di saat perempuan yang dicintainya masih hidup.”

“Hidup seperti apa jika tidak berdaya? Lagipula sekarang perempuan yang ia cintai setengah mati itu sudah meninggal.”

“Hei, hormatilah mendiang.”

“Memangnya aku bicara apa? Itu kan fakta. Lagipula kau jangan khawatir, aku bukannya ingin mencari perhatian Nathan lagi, aku hanya mau melihat keadaannya sekarang saja, kudengar setelah kejadian itu dia hanya menyibukkan dirinya di dalam kafe ini.”

“Tapi, aku tidak melihat Nathan sedikitpun, bagaimana kalau kita memesan makanan sekaligus bertanya kepada pramugara?”

“Bagus juga, sia-sia riasan cantikku hari ini kalau Nathan tidak melihatku dengan pandangan penuh penyesalan, dasar patung es!”

Kedua perempuan itu mulai memanggil pramugara dengan lambaian tangan yang gemulai namun Yvonne sudah bisa menebak kekecewaan yang akan terpatri di wajah mereka karena Yvonne sudah tahu lebih dulu bahwa Nathan takkan hadir hari ini.

“Rasakan!” hardik Yvonne dalam hatinya.

Yvonne segera menghabisi makan siangnya dengan cepat, ia tak lagi ingin berlama-lama di kafe tersebut, lebih tepatnya ia merasa muak mendadak berada satu ruangan dengan kedua perempuan yang baru saja bercakap-cakap dengan sinis itu.

Selain itu, Yvonne merasa terganggu dengan beberapa kalimat yang telah sampai di telinganya.

“Nathan memiliki perempuan yang dicintai?”

“Pertanyaan macam apa ini? Hei, Yvonne, tentu saja itu wajar untuk seorang Nathan.”

“Tapi, meninggal? Siapa? Kekasihnya? Kejadian apa?”
Yvonne sedikit linglung dalam perjalanan pulangnya ke apartemen dan untungnya di siang hari apartemen kosong hingga membuat Yvonne bisa lebih terlena dengan pertanyaan-pertanyaan yang berkecamuk dalam ingatannya.

Yvonne merebahkan tubuhnya dengan begitu pasrah di atas kasur empuk di dalam kamarnya. Ia tak suka dengan percakapan yang telah ia dengar, itu membuatnya berpikir berat hingga ia tak bisa menemukan solusi apapun untuk memuaskan hasrat keingintahuannya.

Mana mungkin ia bertanya kepada Nathan hal yang begitu sensitif semacam itu?

Kenapa aku harus mendengarnya? Aku tak ingin ikut campur!

Yvonne benar-benar lelah, ia terlalu letih setelah sibuk membaca beberapa lembar novel dan berusaha keras menenangkan jiwanya saat menanti tanpa kepastian akan kehadiran Nathan, kemudian ia terpaksa mendengarkan percakapan rumit yang kini mengganggu pikirannya.

 

Yvonne memilih memejamkan matanya rapat-rapat, menyerahkan sepenuhnya jiwanya untuk terlelap agar energi jiwa dan raganya bisa kembali membaik setelah istirahat yang cukup.

Ia tidak lupa bahwa ketika malam menjelang ia masih harus menunaikan kewajibannya menyampaikan ringkasan-ringkasan cerita dari beberapa lembar halaman novel yang telah selesai dibacanya hari ini.

“Sebaiknya aku tidur, aku harus istirahat.”

 

Puisi | Lentera

png_20230325_103353_0000

Aku masih merangkum sepi yang kautinggalkan
Berteduh memeluk namamu yang masih basah dalam ingatan
Hujan kini memercik rindu yang perlahan menghunjamkan kepedihan
Lihatlah, hatiku tinggal separuh meski cintaku masih utuh seluruh

Dalam mataku saat ini dunia hanya temaram, kosong, penuh serpihan debu masa lalu yang menyapu-nyapu tubuh dengan kegelisahan

Masih kusimpan lembaran cerita itu dalam sebuah ruang rahasia
Kuletakkan senyummu pada sepohon kandil sebagai lentera
Lantas kuhias seluruhnya dengan kesibukan-kesibukan….

 

PROSA HATI #3

Tuan, kau itu beruntung sekali.

Kau tak perlu bersusah payah memupuk cinta perempuanmu, ia sendiri yang susah payah memupuk dan menyirami hatinya meski sejatinya telah berupa tanaman yang mati hingga kering kerontang.

Bahkan air yang menyejukkan hanya akan membusukkan dahan-dahannya.

Pupuk yang menyuburkan hanya meracuni sirkulasi resapan akar-akar penopang hidupnya.

Perempuanmu itu hatinya tak pantas kau rengkuh, tak layak kau dengar bisiknya sebab hanya ada jeritan menyayat hati di relung-relungnya bersemayam.

Perempuanmu itu hina, sudah tak tahu lagi arti mencinta.

Perempuanmu bahkan tak tahu lagi menempatkan hati pada kekaguman, cinta, atau hanya sebatas kenyamanan dari rasa sepi yang diketuk-ketuk keramaian dari sosok-sosok tuan lainnya dengan berbagai topeng.

Tidakkah kau dengar jerit permintaan tolongnya, Tuan?

Ia takut sendiri dengan nestapa hatinya dan memintamu menumbuhkan cinta yang mati kepadamu, sebab sekali lagi, Kau-lah Tuannya.

Tapi kau buta dan tuli, Tuan.

Kau membangun cinta dengan caramu yang keliru dan berbangga diri diatas kebodohanmu sendiri.

Kau sangka membangun cinta, nyatanya kau menoreh luka nan berbisa.

Perempuanmu pun hampir kehilangan akal sehatnya, merapal mantra sekeras baja agar selalu mencintaimu dari lisannya yang membeku biru.

 

Dan sekali lagi kau dengan bangga berpikir itu hasil usahamu sendiri, nyatanya kau tak lebih dari tertipu, hanya menerima kepalsuan senyum hangatnya.

Kau tidak tahu betapa keras ia berjuang, memeluk tubuhnya sendirian, menangis dalam sepi oleh hati yang patah berulang kali, ketakutan membangun penolakan oleh kehangatan yang ditawarkan di luar sana,

Ia tak memanggil siapapun, meski ingin sekali ditemukan.

Ia tak meminta siapapun, meski hatinya merindu entah untuk siapa.

Tuan, tidakkah kau tahu kau seberuntung itu?

Ia tetap indah dimatamu, agar kau senang.

 

Gita Cinta Pertama (Part. Saat Mengantar Pulang)

7 votes, average: 1.00 out of 1 (7 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Women-are-Fierce-Made-with-PosterMyWall-211x300

Bab 3.

Pagi ini, Gladys sarapan dengan kedua orang tuanya. Hal yang sangat jarang dilakukan mengingat keduanya kerap tak berada di rumah.

“Gimana sekolah kamu?” tanya Ferdinand pada putrinya yang sedang mengoleskan butter ke roti.

“Baik, Pi,” jawab Gladys santai.

“Oh ya, kamu udah ngirim formulir untuk kuliah di Leiden kan? Cepet lho, nanti kamu malah terlambat dan gak keterima.” Gladys menghela napasnya. Pembicaraan bulan lalu ternyata masih belum selesai. Padahal ia sudah menolak untuk kuliah di kota asal Ayahnya itu.

“Pi, Gladys kan udah bilang, Gladys gak mau kuliah di Leiden. Gladys mau kuliah di Jakarta aja!” Ferdinand menghela napas dan meletakkan peralatan makannya lalu mengelap sedikit mulutnya. Istrinya Claudia sudah melirik pada Gladys yang mulai memancing kekesalan Ayahnya lagi.

“Gladys, kita sudah bicarakan ini selama satu bulan lalu. Papi mau kamu pulang ke Leiden untuk kuliah. Universitas disana bagus, top. Dan pulang dari sana kamu bisa urus perusahaan Papi disini dan disana sekaligus!”

“Pi, apa bedanya sih sama kuliah disini? Gladys juga masuknya ke Universitas negeri paling top di Indonesia!”

“Negeri? Kamu gak salah!” Gladys makin mendengus kesal. Ayahnya tak pernah mau mengerti keadaan dan keinginannya.

“Pokoknya Gladys gak mau berangkat ke Leiden. Gladys mau kuliah disini aja!” ujar Gladys mengambek.

“Sayang… memangnya kamu udah persiapan masuk Universitas disini?” tanya Claudia, Ibunda Gladys.

“Iya, Mi. Tinggal dikit lagi, Gladys bisa dapat undangan masuk ke fakultas ekonomi. Biarin Gladys kuliah disini, Mami… Papi!” Ferdinand tetap menggelengkan kepalanya.

“Gak, gak bisa… kamu tetap harus kuliah di Leiden!” Gladys kesal dan berdiri dari kursinya mengambek.

“Gak. Pokoknya Gladys gak mau pergi dari Jakarta. Gladys tetap mau kuliah di sini. Titik!” Gladys langsung mengambil tas sekolahnya dan pergi meninggalkan ruang makan dan orang tuanya begitu saja.

“Lho, Gladys… sayang!” panggil Claudia pada putri satu-satunya itu sementara Ferdinand hanya bisa menggelengkan kepalanya.

“Ini semua pasti gara-gara anak laki-laki itu!” sahut Ferdinand dengan kesal.

“Maksud Papi?”

“Itu yang ngaku-ngaku pacarnya Gladys. Aku gak tau siapa namanya itu, anak miskin itu!” Claudia hanya diam dan mencoba menenangkan suaminya.

“Sabar ya, Pi. Kita ngomong sama Gladys pelan-pelan!”

“Gladys itu harus ngerti kalo dia adalah pewaris keluarga Hoen. Dia gak boleh main-main sama hidupnya lagi. Pokoknya dia harus berangkat ke Leiden secepatnya!” sekali lagi Claudia hanya bisa menghela napas melihat Suami dan Anaknya sama-sama keras kepala.

Sementara itu di sekolah, Gladys tak menunjukkan sama sekali pada Rahmat bahwa ia habis berdebat dengan orang tuanya. Terlebih Rahmat tidak mengetahui jika Gladys berniat dikuliahkan di luar negeri. Gladys masih seperti biasa, layaknya siswa kelas 3 lainnya yaitu mengurus masuk ke universitas.

“Aku lulus, Dys. Aku diterima di Teknik Arsitektur!” ujar Rahmat membawa sebuah surat undangan masuk Universitas pada Gladys. Gladys langsung semringah dan memegang tangan Rahmat. Ingin rasanya memeluk tapi kontak fisik mereka selama pacaran hanya sebatas berpegangan tangan. Rahmat mungkin tampan, tapi ia masih memegang nilai-nilai yang selalu diajarkan orang tuanya.

“Aku ikut senang, Rahmat. Selamat ya!” Rahmat mengangguk mantap dan tersenyum lebar.

“Kamu gimana?” Rahmat balik bertanya dan senyum Gladys perlahan hilang tapi ia menaikkan kembali lengkungan di bibirnya.

“Mungkin aku sebentar lagi juga ada pengumumannya. IPS kan terakhir biasanya, hehehe!” Rahmat ikut tersenyum dan mengangguk.

“Mana suratnya?” Rahmat memberikannya pada Gladys dan dengan senyuman kedua sama-sama membaca isi surat pemberitahuan untuk Rahmat tersebut.

“Ehmm… kalo gitu nanti sore aku jemput kamu ya. Aku mau traktir kamu makan!” ujar Rahmat masih dengan senyumannya. Gladys menaikkan alis dan mengangguk.

“Kamu udah gajian ya?” goda Gladys sambil menunjuk Rahmat yang sedikit malu.

“Yah gitu deh kira-kira.” Gladys mengangguk setuju dan menyerahkan kembali surat milik Rahmat.

“Jangan buang-buang uang kamu, Mat. Kamu kan harus nabung untuk pendaftaran ulang nanti,” ujar Gladys.

“Ya kan gak apa sekali-kali aku traktir kamu. Biarpun hanya makan bakso!”

“Iya. Makan bakso juga aku suka kok. Asal sama kamu!” Rahmat jadi makin tersipu dan menunduk.

“Ya udah, nanti sore aku jemput yah. Aku mau ke ruangan OSIS dulu, ada rapat sebelum penyerahan ketua baru.” Gladys mengangguk dan tersenyum. Rahmat pergi melambaikan tangan dan setengah berlari ke arah teman-temannya.

Sementara senyuman Gladys perlahan melihat kekasihnya yang pergi menyusul teman-temannya. Gladys tau bahwa jalannya dan Rahmat akan sangat sulit. Rahmat tidak pernah tau jika orang tua Gladys menentang mati-matian hubungan mereka, ditambah mereka berbeda keyakinan.

“Aku gak ninggalin kamu, Mat. Aku sayang sama kamu,” gumam Gladys sambil menyandarkan sisi kepalanya di dinding sebelahnya.

Sore hari seperti janji, Rahmat menjemput Gladys di rumahnya. Begitu Rahmat datang, Gladys langsung keluar dengan pakaian santai dan sangat cantik.

“Yok… aku udah laper!” ajak Gladys sambil mengambil tangan Rahmat menggandengnya keluar dari rumah.

Rahmat mengajak Gladys makan di salah satu warung bakso sederhana tak jauh dari komplek rumah mewah gadis itu. Selama makan, keduanya kerap bercanda dan tertawa saling bercerita satu sama lain.

Waktu berlalu begitu cepat bagi Gladys. Bahkan dari sore sampai malam mereka masih mengobrol. Rahmat hanya sempat pamit sesaat untuk Shalat Magrib di mushala dalam warung tersebut lalu melanjutkan mengobrol meski mangkuk bakso sudah kosong.

Pukul 7 malam, Rahmat mengantarkan Gladys kembali ke rumahnya sambil berjalan kaki. Keduanya berpegangan tangan sambil masih bercerita.

“Dys… kalo kamu jadi masuk ke kampus yang sama denganku, kita bisa pulang bareng yah!” ujar Rahmat masih semringah. Gladys masih tersenyum dan mengangguk.

“Aku juga pengen makan siang sama kamu trus pulang bareng kamu juga. Sesekali nanti aku ke rumah kamu deh, kangen sama sayur asem buatan ibu kamu!” Rahmat tergelak.

“Ah, itu kan cuma sayur asem. Apa enaknya sih!”

“Enak lho… beda banget sama bikinan Bibi di rumah.”

Tak terasa mereka sudah tiba di depan rumah Gladys dan Rahmat pun berhenti meski masih memegang tangan pacarnya itu.

“Ayo masuk!” ajak Gladys.

“Gak usah deh, udah malem. Aku anter ke depan aja ya!” Gladys tersenyum dan mengangguk. Rahmat dan Gladys kemudian masuk dan berdiri di depan teras masih berpegangan tangan.

“Makasih ya, Mat atas traktirannya. Baksonya enak,” ujar Gladys masih tersenyum lebar. Ia begitu bahagia bisa menghabiskan waktu bersama Rahmat.

“Ah cuma bakso doang. Nanti kalo aku udah kerja, aku pasti akan traktir kamu makan di restoran mahal.”

“Ah kamu… makan bakso di pinggir jalan juga aku udah seneng kok. Makasih!” Rahmat mengangguk. Gladys terdiam sesaat memandang Rahmat dan kesedihan perlahan masuk ke dalam hatinya. Ia tak bisa menahan diri dan perasaannya. Gladys lalu memajukan diri dan memeluk Rahmat.

Mata Rahmat sedikit membesar dan ia tak bisa bergerak. Jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. Baru kali ini ia dipeluk seorang gadis cantik yang bahkan sudah menjadi kekasihnya hampir dua tahun terakhir.

“Aku sayang sama kamu. Sayang banget!” gumam Gladys dari balik pelukannya. Rahmat akhirnya membalas pelukan Gladys dengan meletakkan kedua tangan di punggungnya.

“Aku juga sayang sama kamu. Beneran!” balas Rahmat lembut.

“HEH… APA INI!” suara Ferdinand, Ayah Gladys mengejutkan keduanya. Gladys melepaskan pelukannya dari Rahmat dan keduanya saling melihat Ferdinand yang keluar dari pintu rumah dengan wajah kesal.

Gita Cinta Pertama (Part. Bertemu Orang Tua)

3 votes, average: 1.00 out of 1 (3 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Women-are-Fierce-Made-with-PosterMyWall-211x300

Bab 2.

“Ada kerjaan sedikit di belakang.” Rahmat menjawab dengan senyuman. Gladys tersenyum dan tak lama datang adik Rahmat yang pertama, Fitri membawa secangkir teh untuk Gladys.

“Aduh, jadi repot-repot,” ujar Gladys lembut dibawakan minuman oleh Fitri. Fitri membalas senyuman Gladys dan meletakkan cangkir teh diatas meja beranda depan.

“Cuma teh doang kok, Kak. Gak ngerepotin!”

“Makasih ya, Fit!” Fitri mengangguk.

“Fitri masuk dulu ya, ngobrol deh!” ujarnya sekilas menaikkan alis pada Rahmat, Kakaknya ikut menggoda dengan menyengir lebar. Rahmat sempat mendelik dan ia sudah bisa menduga jika akan ada bisik-bisik adiknya nanti.

“Diminum, Dys!” ujar Rahmat mempersilahkan Gladys.

“Kamu gak keluar, Rahmat?” tanya Gladys usai meminum tehnya.

“Mungkin nanti sore, mau bantuin Mang Jupri ngumpulin sampah di komplek depan. Lumayanlah nambah-nambah duit buat ongkos. Kenapa memangnya?”

“Gak, aku kesini mau ngajak kamu ke toko buku trus kita bisa jalan-jalan.”

“Toko buku? Kamu mau beli buku apa?” Gladys menggeleng sambil tersenyum.

“Bukan buat sekolah, cuma pengen baca Novel aja!”

“Baca Novel?” Gladys mengangguk.

“Mau ya temenin aku?” Rahmat menghela napas lalu mengangguk.

“Sebentar ya, aku mandi dulu.” Gladys mengangguk dan tersenyum. Sementara di dalam, ternyata Ayahnya, Marzuki malah menguping lewat jendela dan begitu tertangkap basah Rahmat, Pak Marzuki menyengir.

“Tsk… tsk!” decak Rahmat keheranan melihat Ayahnya.

“Babe ngapain!?”

“Kagak, gue gak ngapa-ngapain. Eh, itu si Non Belande mau ngapain ma elo!” tanya Pak Marzuki berbisik-bisik sambil celingukan.

“Mau ngajak ke toko buku!”

“Ah lagu lo! Maenan ke toko buku mulu, ke bioskop dong sekali-kali!”

“Duit darimane!”

“Yah, lo cari dong. Elo kan ngebantuin si Jupri ngangkatin sampah. Sekali-kali ajak dong demenan lo ke Bioskop nyang ada AC nye!”

“Babe mah gampang kalo ngomong. Bioskop kan mahal Be. Lagian buang-buang duit kesana.”

“Ato mau yang gratisan, lo ajak aja nonton orkes dangdutan!”

“Yee, Babe. Emangnya si Gladys itu demen dangdut apa!”

“Hehehe… ya kali aja dia demen.” Rahmat menggelengkan kepala melihat tingkah Ayahnya yang suka usil.

“Ya udah deh, Be. Mamat mau mandi dulu!” Pak Marzuki pun mengangguk dan membiarkan Rahmat berjalan ke belakang rumah untuk masuk ke kamar mandi. Beberapa kali Pak Marzuki mencoba mengintip Gladys yang tengah duduk di beranda depan rumahnya sebelum kemudian masuk kembali ke kamarnya.

Rahmat kembali sekitar 15 menit kemudian sudah rapi dan siap untuk pergi. Ia hanya memakai kaos Tshirt, kemeja sebagai lapisan luar dan celana jeans denim.

“Yuk…”

“Kita naik mobilku aja ya?” ujar Gladys dengan wajah semringah berdiri dan akan pergi dengan Rahmat. Rahmat hanya diam mengatupkan bibirnya dan mengangguk.

Di dekat warung milik Ibunya, parkir mobil mewah dengan seorang supir yang menunggu Gladys siap mengantarkannya kemana pun.

“Bu, saya pamit pergi ya, mau ajak Rahmat ke toko buku!” ujar Gladys dengan ramah lalu meraih tangan ibunya Rahmat dan menciumnya.

“Oh iya Neng!” balas bu Fatimah sambil tersenyum lalu ikut memberikan tangannya untuk dicium oleh Rahmat.

“Mamat pergi dulu Nyak!”

“Iye… hati-hati ye!”

“Iye, Nyak. Assalamualaikum!”

“Walaikum salam!” Bu Fatimah berdiri di depan warungnya sampai Rahmat dan Gladys masuk ke mobil lalu pergi meninggalkan pekarangan rumah Rahmat. Dari dalam, Pak Marzuki berjalan ke araha warung istrinya dengan wajah semringah.

“Ah… bener-bener keren anak gue. Sekali maen dapet kakap, cihuy!” ujar nya sambil sedikit berjingkrak lalu duduk di dekat warung istrinya.

“Ah, abang gimana sih? Pan mereka masih SMA Bang! Kok udah dikatain yang gak-gak sih!”

“Dikatain yang gak-gak pegimane! Gue sedang ngedoain yang baik-baik buat anak gue, emang gue salah!”

“Ya kagak sih bang … tapi pan perjalanannya si Mamat masih panjang. dia kudu masih kuliah, trus cari kerjaan baru deh pikirin jodoh. Emangnye abang setuju kalo si Mamat tamat SMA langsung kawin ma Non Gladys?”

“Yah bukannya begitu, Fatime. Gue pengen si Mamat bisa nerusin sekolahnye ampe jadi ape tu… nyur… nyur, ah die pengen jadi ape tu… nyang nyur… nyur!”

“Nyur… nyur? Insinyur!”

“Iye entu, lo tau! Hehehe… maksud gue kalo emang mereka jodoh kan kagak ape-ape gue nagrep besanan ma orang kaya, iya kan?”

“Idih… abang mah emang mata duitan!”

“Yeee… lo juga kalo liat duit juga mata lo ijo. Dikira gue kagak ngerti!” Bu Fatimah sampai manyun menanggapi suaminya.

“Tapi emangnye abang setuju sama Non Gladys?” tanya Bu Fatimah lagi.

“Yah setuju… udah cantik, kaya, baik lagi. Calon mantu hehehehe…”

“Kan Bang katenye si Mamat, Non Gladys entu kan gak sama agama nye ama kite? Pegimane tu bang!”

“Buset dah, nyang bener lo!”

“Bener, orang aye si Mamat yang cerita kok!”

“Yah, batal deh gue besanan ma orang kaya,” sahut Pak Marzuki kecewa.

“Tapi kan kita gak tau Bang, jodoh entu kan di tangan Allah. Siapa tau si Mamat ame Non Gladys ada jodohnye, kan kita kagak pernah tau bang!” Pak Marzuki hanya menghela napas dan mengangguk sambil membuka peci lalu memakainya kembali.

Sementara di toko buku, Gladys begitu bahagia ditemani pacarnya, Rahmat memilih buku yang ia inginkan. Dengan sabar, Rahmat meladeni semua celotehan Gladys yang bisa bermanja-manja padanya.

“Kalo kamu masuk ke fakultas teknik nanti, kamu pasti udah sibuk banget. Jadi gak punya waktu untuk aku, iya kan?” ujar Gladys menoleh pada Rahmat yang tengah memilih buku. Rahmat hanya mengatupkan bibirnya dan tersenyum.

“Gak cuma aku yang sibuk. Kamu juga bakalan sibuk? Fakultas ekonomi itu juga repot lho!” balas Rahmat.

“Itu makanya kita harus nikmatin sisa-sisa waktu sebelum tamat. Kita jalan-jalan kek, liburan!” Rahmat terkekeh dan menggeleng.

“Dys, aku kan harus kumpulin uang untuk biaya kuliah nanti. Sekalipun aku dapat beasiswa tapi yah, aku kan harus mikirin ongkos ke kampus dan biaya lainnya.” Gladys langsung ngambek dan cemberut. Ia membuang muka dan setengah melempar buku yang dipegangnya.

“Dys, jangan ngambek dong. Aku bukannya gak mau ikut kamu, aku juga pengen liburan tapi yah kondisiku sekarang sedang gak memungkinkan untuk itu.” Gladys mengambek dan langsung pergi meninggalkan Rahmat di salah satu lorong. Rahmat menghela napas dan menggelengkan kepalanya. Ia akhirnya menyusul Gladys yang berdiri mengantri di kasir untuk membayar buku yang telah dipilihnya.

“Abis dari sini kamu mau kemana?” tanya Rahmat.

“Emangnya kenapa, kamu mau pulang ya?”Gladys balik bertanya.

“Yah, gitu deh. Aku kan udah janji sama Mang Jupri.” Gladys mengangguk mengerti.

“Ya udah, aku antar kamu pulang tapi sebelumnya kita makan dulu yah!” Rahmat tak mengangguk selain hanya mengikuti Gladys. Selama ia pacaran dengan gadis itu, Gladys selalu jadi pihak yang paling sering membayari makanan mereka. Rahmat kerap malu karena tak punya cukup uang untuk memberi.

Gita Cinta Pertama (Part. Cinta Pertama Masa SMA)

3 votes, average: 1.00 out of 1 (3 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Women-are-Fierce-Made-with-PosterMyWall-211x300

Bab 1.

“Luruskan saf!” ujar ketua OSIS yang hari ini menjadi imam shalat berjamaah di mushala sekolah salah satu SMA Negeri di Jakarta.

“Allaaahu Akbar!”

Keadaan langsung tenang usai sang imam mengucapkan takbir tanda shalat dzuhur berjamaah dimulai. Tak hanya memulai shalat tapi juga mulai menertibkan siswa kelas 3 yang hari ini kena giliran menegakkan shalat berjamaah sewaktu jam istirahat terakhir.

Hanya butuh kurang lebih hampir 7 menit untuk menyelesaikan shalat dan memberi salam. Rahmat, sang wakil ketua OSIS berdiri paling akhir setelah teman-temannya bubaran dari saf. Ia bangun setelah berdoa dan meminta kelancaran pada masa-masa akhir sekolahnya. Kurang dari satu bulan ia akan menempuh ujian akhir untuk bisa lulus.

“Mat, lo mau pulang sekarang?” tanya Ketua OSIS, Alex Darmawan yang yang tadi memimpin Shalat.

“Gak, gue masih ada tugas dari Pak Tono. Katanya buat ujian minggu depan,” jawab Rahmat sambil membereskan sajadah panjang yang digunakan sebagai alas Shalat tadinya. Alex pun mengangguk dan ikut membantu Rahmat membereskan sajadah-sajadah meski tak diminta.

Di luar, seorang gadis celingukan mencoba mencari-cari seseorang yang ia kenal masih berada di dalam Mushala. Ia bahkan berjinjit dan terus melihat-lihat apakah yang ditungguinya keluar. Tapi sedari tadi yang keluar hanyalah siswa lain selain yang ia tuju. Tak lama, yang ia tunggu akhirnya datang juga. Bibirnya langsung mengembangkan senyuman manis.

Ia menunggu dengan sabar sampai kekasih pujaan hatinya selesai memasang sepatu sambil duduk di tangga mushala. Terlihat si ketua OSIS yang keluar berbarengan dengan Rahmat, wakilnya menyenggol temannya.

“Tuh, cewek lo!” Rahmat menaikkan wajahnya dan tersenyum pada kekasihnya, Gladysa Sarah Angelica Hoen. Rahmat mempercepat mengikat tali sepatunya dan pamit pada temannya.

“Duluan ya, Lex!” Alex mengangguk saat Rahmat setengah berlari pada kekasihnya Gladys.

“Udah lama?” tanya Rahmat sambil tersenyum.

“Gak kok, baru sepuluh menit. Kamu baru selesai shalat ya?” tanya Gladys dengan senyuman manisnya yang selalu bisa membuat hati Rahmat meleleh bagai es krim terkena sinar matahari di siang bolong.

“Iya,” jawab Rahmat singkat. Padahal Gladys sudah tau Rahmat pasti habis shalat dzuhur kalau tidak untuk apa dia di Mushala tapi ya namanya juga basa basi pacaran SMA.

“Yuk!” ajak Rahmat berjalan di sebelah Gladys dengan sambil tersenyum. Gladys jadi makin tersipu dan ikut berjalan masuk kembali ke lingkungan sekolah usai Shalat Dzuhur.

“Oh iya, aku ada bawa makanan jadi aku mau makan siang sama kamu,” ujar Gladys sewaktu mereka sedang berjalan masuk ke dalam kelas.

“Oh. Aku masih ada tugas dari Pak Tono, Dys,” jawab Rahmat membuat Gladys sedikit merengut. Rahmat jadi tak tega menolak perhatian gadis itu padanya.

“Ngg… gini aja. Kamu tinggalin bekal itu nanti aku akan makan. Jadi kamu pulang aja duluan, bukannya kamu ada les hari ini?” ujar Rahmat memberikan usulan pada Gladys. Gladys jadi sedikit manyun karena ia ingin bisa menemani Rahmat makan siang.

“Ya udah deh kalo kamu gak mau aku temenin,” ujar Gladys lalu berbalik. Tangan Rahmat dengan cepat menarik lengan Gladys menghalanginya pergi.

“Jangan marah. Aku bukannya gak mau, tapi kalo kamu nemenin aku makan nanti kamu bisa telat mau pergi ke tempat les. Sebentar lagi kan kita ujian, sayangkan kalo gak lulus!”

“Emangnya kalo gak ikut les sehari, bisa gak lulus ujian!”  Rahmat tersenyum dan menggeleng pelan.

“Aku tau kamu pinter tapi gak ada salahnya kan mempersiapkan ujian dengan lebih matang. Supaya kamu bisa maksimal.” Gladys terdiam lagi dengan nasehat Rahmat. Pacarnya itu memang siswa teladan di sekolah. Jadi ia memang selalu mengarahkan Gladys agar menjadi pelajar yang lebih baik serta berprestasi. Akhirnya Gladys mengangguk dan tersenyum pada Rahmat.

Ia setuju tak menemani Rahmat makan siang agar tak terlambat pergi les. Usai meletakkan bekal makan siang di atas meja Rahmat, Gladys pun keluar dan pulang untuk belajar kembali di tempat les. Ia bahkan tidak mengganti pakaian jika ada pelajaran tambahan di salah satu bimbel paling bonafid di Jakarta.

Gladysa Sarah Angelica Hoen adalah salah satu siswi tercantik dan terpintar di sekolahnya. Ia anak dari pengusaha properti dan pertambangan terkenal keturunan Belanda, Ferdinand Hoen. Tapi Gladys tidak seperti anak-anak pengusaha yang biasanya manja dan suka bermalas-malasan. Ia bahkan selalu mendapat peringkat pertama di kelasnya. Tak hanya itu, Gladys juga merupakan salah satu dari anggota dari tim debat Bahasa Inggris yang sudah menyabet banyak penghargaan dari berbagai lomba debat Bahasa Inggris yang diikuti sekolahnya.

Dibalik kepintaran dan kecantikannya, Gladys malah berpacaran dengan Rahmat, siswa yang sama tingkatan dengannya yaitu di kelas 3. Rahmat adalah siswa sederhana yang juga merupakan pemilik peringkat pertama di sekolahnya. Rahmat adalah wakil ketua OSIS selain ia adalah penerima beasiswa berprestasi selama bersekolah.

Perbedaan mereka sangat mencolok jika dibandingkan dari segi ekonomi. Orang tua Rahmat hanyalah supir angkot sementara Gladys adalah pengusaha terkenal. Fisik mereka pun cukup jauh berbeda. Rahmat yang berkulit sawo matang layaknya orang Indonesia pada umumnya berpasangan dengan Gladys yang memiliki kulit bersih dan putih layaknya orang Eropa karena ia memang keturunan Belanda.

Akan tetapi, Gladys sangat menyukai Rahmat. Belakangan Rahmat juga pernah mengunjungi rumah Gladys tapi tak mendapat sambutan yang baik dari orang tua pacarnya. Terutama sang Ayah, Ferdinand yang langsung tidak menyukai Rahmat.

Keesokan harinya, Gladys memanfaatkan hari minggunya dengan datang ke rumah Rahmat. Gladys paling senang berkunjung ke rumah pacarnya itu. Rumah sederhana di pinggiran Jakarta Selatan yang masih terdapat sisa-sa kampung di tengah megahnya pembangunan Ibukota.

Dengan langkah riang, Gladys diantar supirnya ke rumah Rahmat. Ia keluar dari mobil dengan senyuman lebar menghampiri warung kecil di depan rumah Rahmat.

“Pagi, Bu!” sapa Gladys pada Ibu kandung Rahmat, Bu Fatimah. Fatimah langsung tersenyum dan keluar dari warungnya menyapa Gladys. Gladys menjulurkan tangan dan mencium punggung tangan Fatimah.

“Eh, Non Gladys. Apa kabarnye ni?” tanya Bu Fatimah dengan logat betawinya yang kental.

“Baik, Bu. Rahmatnya ada?”

“Ade… bentar ye Ibu panggilin dulu!” Gladys tersenyum dan mengangguk.

“Nah… Nah… panggilin abang lo, dicariin Non Gladys ni!” teriak Bu Fatimah pada salah satu anak perempuannya yang tengah menyapu halaman. Enah, adik kedua Rahmat lalu menegakkan tubuhnya dan tersenyum pada Gladys yang datang.

“Eh, ada Kak Gladys. Masuk Kak… bentar ya, aye panggilin Bang Rahmat dulu!”

“Makasih ya, Nah!” Enah mengangguk dan buru-buru masuk ke dalam. Dari luar terdengar lagi teriakan Enah memanggil Kakak laki-lakinya. Rumah Rahmat selalu ramai karena celotehan seluruh anggota keluarganya. Itulah yang sangat disukai Gladys. Keluarga Rahmat begitu hangat tak seperti rumahnya yang selalu sepi karena orangtuanya yang hampir tak pernah ada di rumah.

Tiba-tiba, Ayah Rahmat, Marzuki keluar sambil memakai peci dan mengeratkan lilitan sarung di pinggangnya.

“Eh, ada Non Gladys… hehehe… udah lame, Non!” Gladys mengangguk dan tersenyum. Ia bangun seperti biasa ia mencium tangan orang tua Rahmat.

“Baru, Pak. Baru aja nyampek. Bapak mau kemana?” tanya Gladys berbasa-basi.

“Ah, gak kemana-mana. Baru selesai sholat, hehehe… nyari si Mamat yak!” Gladys mengangguk. Pak Marzuki mengangguk dan tersenyum lalu ikut berteriak memanggil anaknya di depan pintu rumah.

“Mat… sini lo! Non Gladys datang ni!” Rahmat baru muncul di depan pintu dengan baju setengah basah oleh keringat dan diberi gelengan kepala oleh Ayahnya.

“Lama banget sih lo! Orang jadi lumutan nunggunya!” hardik Pak Marzuki pada putranya.

“Pan tadi Babe nyang nyuruh aye gerekin nangka!” jawab Rahmat cepat.

“Ngejawab aja lo, tuh demenan lo dateng, hehehe!” sahut Pak Marzuki menaikkan alis menggoda Rahmat.

“Ah, Babe…” Pak Rahmat masih saja terkekeh melirik Rahmat sebelum ia kemudian masuk dan meninggalkan Rahmat yang sedikit salah tingkah melihat Gladys.

“Udah lama ya?” tanya Rahmat menyeka peluh di keningnya.

“Gak kok, baru aja. Kamu lagi ngapain?” Gladys memperhatikan Rahmat yang keringatan dengan kaos yang cukup lusuh. Tapi bagi Gladys, Rahmat jadi terlihat sangat tampan.

Aku dan “Temanku”

“Hai, sepertinya akhir-akhir ini kamu lebih baik ya?” Tanyanya padaku.

“Kamu yakin kalau aku lebih baik dari kemarin?” Tanyaku padanya.

Kembali ke empat tahun belakang, saat aku akhirnya mengetahui “temanku” yang selalu ada bersamaku, namun baru kusadari akhir-akhir ini.

Lalu proses mengenali “teman” berlanjut, dibantu oleh ahlinya. Naik turunnya fase kulalui. Ada saatnya ingin menyerah namun berkat dukungan semua pihak, aku masih tetap disini.

Sungguh, perjalananku hingga sampai di titik ini, kulalui dengan segala macam perasaan, entah itu perasaan senang yang terkadang sebentar atau terkadang lama, atau perasaan sedih yang juga tidak pasti munculnya.

“Apakah kamu sudah benar-benar mengakuiku sebagai “temanmu” yang akan ada bersamamu sampai akhir hidupmu?”

“Ya, aku telah mengakuimu sebagai “temanku”, bagian dari diriku yang akan terus menemaniku hingga akhir hidupku.”

Dengan mengenali diriku, aku dapat menemukan apa kesukaanku, siapa yang benar-benar ada untukku, adanya harapan bahwa hari esok akan lebih baik dari hari kemarin, bertemu para orang baik yang kusyukuri kehadirannya di hidupku.

Aku tak menyesali keputusan yang telah kuambil ini. Seandainya aku masih menganggap aku baik baik saja, maka aku yang sekarang tak akan ada.

^_^

PROSA HATI #2


Backsound: Atlantis by Seafret

 

Mengapa kau menelisik jauh ke dalam relung hatiku?

Mengapa kau mencari-cari retakan berserak yang kusimpan jauh dalam palung sukmaku?

Dan mengapa aku bertanya?

Sedang cinta yang kau miliki untukku adalah yang terbaik dari semua cinta manusia yang pernah tercipta dalam garis takdirku?

Kau mencinta dengan segenap jiwa dan ragamu,

Kau menyayangi ketidakberdayaan yang kumiliki tanpa ragu,

Kau dipenuhi dengan harapan-harapan bahagia yang kau hujani bertubi-tubi padaku dan terpancar nyata di bola-bola matamu yang luruh,

Aku si pendosa,

Yang merangkai dusta dalam bentangan garis-garis senyum kepalsuan serta menyenandungkan tawa riuh rendah yang kubenci semata-mata sebagai penghiburan sia-sia.

Dan kau tak butuh itu.

Kau menggapai jauh ke dalam diriku bagai cahaya terik yang jatuh tepat ke dalam retina mataku dengan pelik.

Aku memeluk diriku yang berserabut oleh penyangkalan-penyangkalan mengenai betapa rapuhnya diriku.

Aku ingin kuat,

Aku ingin kuat,

Aku ingin kuat.

Lantas kau berucap kata-kata mantra penenang yang bermuara dari kesunyian yang kubangun dengan kokoh dan bisu.

Aku malu,

Kepada manusia-manusia lain aliran saliva-ku nyaris mengering hingga mengerak perih hanya ‘tuk meratap kosong.

Setiap kali aku membenci diriku yang lemah, aku tak jemu mengadu pilu pada manusia-manusia lain yang kupikir akan menjadi penolong jiwaku yang letih.

Tapi kau bahkan mampu mengira dengan pasti setiap asa yang mengaduk-aduk relung jiwaku.

Kau tahu,

Kau selalu tahu,

Bahkan sebelum aku memberi tahu.

Kau melihat lelah dari senyum yang terpatri di wajahku,

Kau mendengar pilu dari tatapan mataku yang nanar,

Kau merasakan kekosongan dari jiwaku yang hampa,

Pada hati yang sudah mati ini, kau bisikkan harapan indah yang aku sendiri tak merasa ingin memilikinya.

Kau bilang hatiku tak pantas tercabik oleh belati yang merajam waktu yang telah berlari menjauh di belakangku.

Kau bilang hatiku selalu hidup setali tiga uang dengan udara yang kuhela sepanjang waktu.

Dan aku terisak dalam diam yang rumit.

Maafkan aku.

Maafkan aku.

Maafkan aku.

Aku si pendosa yang merangkai dusta sebagai penghiburan kosong pada indahnya harapan tulusmu.

Tentang rahasia hati yang kupaksa mati untuk selamanya.

Mati, selamanya.

 

***

Ditulis di penghujung September,

Dimabukkan oleh deras hujan yang dingin menusuk,

Ditemani sendu yang terlanjur menjadi candu yang kubenci dengan payah.

 

 

 

Selembut Sutra {6} Aku Ingin Makan

5 votes, average: 1.00 out of 1 (5 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

WhatsApp Image 2022-03-24 at 11.43.39

Siang itu matahari masih terlihat sangat terik hal itu terlihat dari pantulan panas dari celah jendela kaca, setelah acara mandinya di ganggu oleh  Jhovan, Ayya buru-buru menghindar saat ini dia sudah memakai baju gamis berbahan lembut, baju itu jatuh dengan indah menjuntai di ujung kaki miliknya. Dia menyisir rambutnya yang sudah setengah kering, rambut itu hanya sebahu tapi memiliki ketebalan yang cukup Ayya benar-benar merawat rambut miliknya itu. Meskipun memakai kerudung dia tetap menjaga kesehatan rambutnya. Bertepatan dengan itu Jhovan keluar dari kamar mandi hanya mengenakan handuk dan dia seolah tidak perduli dengan penampilannya itu. Ayya spontan memalingkan muka karena malu dan Jhovan tidak perduli itu.

 

“Cepat sekali kamu kabur.” Jhovan berkomentar dengan sikap istrinya tadi. Padahal dia ingin berlama -lama mandi dengan istrinya.

 

“Aku hanya berusaha menyelamatkan diriku.” Ayya menimpali komentar Jhovan.  Lelaki itu kemudian berjalan menuju lemari untuk mengambil baju. Saat itu arah mata Ayya tertuju pada punggung Jhovan yang masih mengeluarkan darah meski sudah disiram dengan air.

 

“Itu, punggungmu kenapa?” Ayya berkomentar, Jhovan melihat pantulan punggungnya pada cermin besar yang di lalui nya dan benar saja darah itu masih merembes.

“tidak apa-apa?” Jawab Jhovan singkat.

“Tapi itu berdarah.”  Ayya terlihat khawatir hanya saja di dapat menyembunyikan itu dengan rapi. “Aku akan mengambil P3k”  Ayya berjalan menuju lemari kecil dekat yang biasanya menyimpan peralatan P3K. Entah apa yang dia rasakan, saat ini hanya saja dia tidak ingin melihat siapapun terluka di depannya. Jhovan mengurungkan niatnya untuk memakai baju, dia berjalan mendekati istrinya dan duduk manis di tepi ranjang, menunggu istrinya datang membawa kotak p3k.

 

Ayya mendekat dengan membawa kotak p3k dia terlihat mungil dengan gamis yang dia pakai. Jhovan menyukai warna biru muda yang saat ini dipakai oleh istrinya.

“Kamu kenapa sampai seperti ini?” Ayya berkomentar sambil mencoba untuk membersihkan luka itu. “Apa ini sakit?” Tanya Ayya lagi.

 

“Ini tidak sakit” Jhovan hanya menjawab singkat, tapi Ayya sewot dengan jawaban singkat itu, apa dia tidak merasa kalau luka itu mengeluarkan darah, dan dia terlihat cuek saja dengan keadaan seperti itu. Terbuat dari apa orang ini.

“oh, jadi tidak sakit, ya.” Ayya menekan lebih kuat di luka tersebut hingga Jhovan meringis akibat ulah istrinya.

 

“Apa yang kau lakukan?, itu sakit”  Jhovan meringis sambil protes dengan kelakuan istrinya, luka itu cukup menyakitkan jika di tekan lebih kuat, apa dia fikir itu tidak sakit, perempuan ini benar-benar cari masalah dengannya.

“Katanya tadi tidak sakit” Ayya menimpali lagi. “Sejak kapan luka berdarah seperti ini tidak sakit” Ayya terus saja berbicara seolah-olah dia lupa luka di hatinya sendiri.

 

“bawel, yang namanya luka kalau di tekan itu sakit.” Jhovan berkomentar tidak mau kalah dengan wanitanya itu.

 

“katanya tadi tidak sakit.” Seru Ayya. Tapi perempuan itu tetap membatu untuk membersihkan lukanya.

 

Ayya sudah selesai membersihkan luka itu dan dan dia juga membalut luka itu dengan rapi.  Dia pun beranjak berdiri untuk meletakkan kembali kotak p3k itu tapi pergelangan tangannya dicekal dengan kuat oleh Jhovan.

“Mau kemana?” Tanya lelaki itu.

“Ini, mau menaruh ini. Kenapa? mau iku!”

Jhovan mengambil kotak P3k yang ada di tangan istrinya itu dan menaruhnya sembarangan di dekat meja lampu tidur.

“kenapa…” Belum sempat Ayya berkomentar lebih jauh Jhovan dengan cepat menarik pinggang istrinya dan membaringkan tubuh Ayya.

“Apa yang kau lakukan?” Ayya bertanya dengan panik. Jhovan tidak berkomentar dia sibuk memberikan kecupan singkat pada leher dan menarik sedikit baju istrinya itu hingga menampilkan bahu putih milik istrinya.

 

“Berhenti!” Ayya mencoba mendorong dengan kekuatan yang ada dan berhasil. Jhovan mengerutkan kening melihat istrinya bersikap mulai menentang lagi. Dorongan dari tangan mungil perempuan itu berhasil mengusik hasratnya yang tadi terbangun.

“Apa?” Jhovan mulai tidak suka dengan sikap menentang dari perempuan ini.

“Aku… aku lapar, aku belum makan apapun.” Jawab Ayya gugup, meski begitu Jhovan mengangkat alisnya.

“kamu belum makan dari tadi pagi?” Tanya Jhovan. Ayya menggeleng kepala tanda dia menjawab jujur dengan keadaanya sekarang. Memang betul dia tidak makan apapun, bahkan ketika lelaki itu mencuri pelukan miliknya tadi dia belum makan apapun.

 

“Baiklah.” Jhovan bangkit dan berjalan menuju lemari untuk mengambil bajunya karena dari tadi dia berkeliaran hanya menggunakan handuk yang terlilit kuat pada pinggulnya.

 

****

ketika lelaki itu pergi Ayya dengan sigap bangun dan membetulkan baju yang sedikit terbuka pada bagian bahunya. Bahkan dalam keadaan terluka saja lelaki itu tidak melepaskannya, beruntung ketika dia mengutarakan keinginan untuk makan lelaki itu menekan keinginannya untuk menyentuhnya.

“pakai ini” Jhovan mengulurkan sebuah kerudung yang baisanya di pakai perempuan di dalam rumah, kerudung itu tidak terlalu besar dan tidak memerlukan apapun untuk menyatukannya.  Ayya mengambil kerudung itu dan mendongakkan kepala, dia terlihat bingung karena sangat jarang lelaki ini bersikap seperti ini.

“Apa kamu ingin berkeliaran dengan keadaan tanpa menutup kepalamu, jangan mimpi. Adi dan yang lainnya masih ada di bawah, dan aku tidak ingin milikku dilirik orang lain.” Jhovan menimpali lagi.

Ayya diam saja tanpa ikut berkomentar karena dia tahu bahwa lelaki ini tidak suka di bantah. Ayya memakai kerudung itu dengan cepat karena dia sudah sangat lapar. Dia juga beranjak dari duduknya tanpa memperdulikan Jhovan yang belum selesai memakai bajunya.

“mau kemana kamu?”

“Ya.. keluar.. ”

“Kamu tidak lihat kalau aku belum selesai”

Ayya sewot mendengar penuturan Jhovan. Menunggu sebentar akhirnya Jhovan selesai dengan aktifitasnya melihat itu Ayya dengan cepat membuka pintu kamar dan keluar dengan sumringah. Akhirnya dia bisa bebas dari cengkraman lelaki itu.

Langkah mungilnya sangat cekatan turun dari tangga, rumah Jhovan cukup besar tapi tidak sembarang orang bisa berkeliaran di rumah itu, para pembantu pun memiliki seleksi ketat untuk tinggal di dalam rumah besar milik keluarga Jhovan.

 

“aku akan meminta pelayan untuk memasakkan sesuatu! ” Jhovan bersiap untuk memanggil pelayan yang ada di rumah itu tapi Ayya mencegah itu.

 

“Aku ingin memasak sendiri”

“apa yang kamu masak?”

“apapun… apa saja yang ada di dapur ini aku akan masaknya”

“aku tidak yakin itu” Jhovan menimpali

“kamu meremehkan ku, sebelum aku di sekap di sini aku hidup di perantau dan disana aku selalu memasak sendiri.”

“oh… jadi kamu merasa di sekap di sini” Jhovan memutus jarak dengan istrinya dan perempuan itu mendongak menatap tajam ke mata suaminya.

“terus apalagi? bukankah kamu tidak mengizinkanku keluar.”

Secara tiba-tiba Jhovan mengangkat tubuh perempuan itu dan mendudukkannya di atas meja makan.

“apa yang kau lakukan?” Ayya berteriak kaget karena di angkat tiba-tiba seperti itu.

“Lupakan makan, aku malah lebih bernafsu untuk memakanmu”

“kamu jangan aneh-aneh, ini di ruang terbuka” Ayya panik, bagaimana mungkin lelaki ini mau melakukan sesuatu di sini, ditempat terbuka dia tidak ingin ada orang lain melihat itu.

Ayya mencoba melindungi dirinya dengan menyilang kan tangannya di dada untuk melindunginya sebagai bukti pertahanan dirinya. Melihat itu Jhovan malah senyum-senyum sendiri melihat istrinya melindungi diri sambil menyilangkan tangan di dada dengan mata terpejam.

“Tunggu disini, biar aku yang memasak untukmu” Dia kemudian mengecup kening Ayya dengan cepat dan berlalu untuk memasakkan sesuatu untuk istrinya. Merasakan tidak terjadi sesuatu yang sedari tadi menghantui fikirannya ternyata tidak terbukti.

 

 

martapura

12 agustus 2022

Selembut Sutra [II] Bagian 5 : Mangsa Terlepas

#3 – PENGALIHAN

“Hai, apa kegiatan membacamu lancar hari ini?”

Yvonne tersentak dari lamunannya ketika mendapati Nathan sudah berdiri di sampingnya. Senyum ramah milik Nathan menjadi pemandangan yang menyenangkan untuk Yvonne ketika ia menatap lekat pada wajah Nathan yang kemudian segera duduk di hadapan Yvonne.

 

Sedari tadi Yvonne memang menunggu Nathan menghampirinya, namun karena Nathan tak kunjung datang maka Yvonne memilih untuk melamun agar dapat membunuh waktu yang membosankan sebab ia sudah selesai membaca satu bab dari novel dalam genggamannya. Dan tidak seperti sebelumnya, kali ini Yvonne memang harus sedikit lebih berusaha untuk fokus membaca sehingga ia menjadi lebih lelah daripada sebelumnya dan rasanya seperti ia sedang berada di bawah tekanan. Ia kesulitan untuk fokus karena di dalam kepalanya terus menanti Nathan hadir lagi seperti kemarin, pertama kali mereka bertegur sapa. Tak jarang selama membaca Yvonne menebak-nebak alasannya sendiri karena begitu menanti kehadiran Nathan.

“Karena novel. Yaa, karena aku butuh teman untuk berdiskusi, itu saja.” ucap Yvonne pada dirinya sendiri setiap kali rasa penantian mulai mengganggunya.

“Yvonne, apa kegiatan membacamu lancar hari ini?” Nathan mengulang lagi pertanyaannya sebab ia tak mendapati Yvonne menjawab meski Nathan sudah memberi jeda waktu untuk mendengarkan jawaban dari Yvonne sehingga ia berasumsi Yvonne tadinya tidak dengar apa yang ia katakan dan ia perlu mengulangnya lagi.

Yvonne sedikit gelagapan setelah menyadari bahwa Nathan mengulang lagi pertanyaannya. Bukanlah itu artinya Nathan sungguh-sungguh menanti jawaban darinya? Sungguh tak elok rasanya kalau Yvonne tak segera memberi tanggapan atas pertanyaan tersebut.

“Oh, iya, lumayan, ada beberapa hal yang kurasa perlu kutanyakan, itu pun kalau kau bisa membantuku,” ucap Yvonne dengan cepat dan sedikit canggung lantaran ia sendiri menyadari bahwa jawabannya terlalu dibuat-buat, terlalu beralasan untuk menahan Nathan bersamanya dan ia khawatir Nathan menyadari hal itu.

Berada di tempat baru yang asing sendirian tentu rasanya sebuah kesempatan yang berharga mendapati seseorang untuk diajak bicara dengan nyaman, terlebih lagi Nathan tampak seperti manusia yang aman untuk diajak berinteraksi, setidaknya sejauh ini Yvonne merasa tak ada yang perlu dikhawatirkan dari kehadiran Nathan.

Manusia makhluk sosial, bukan?

Cepat atau lambat Yvonne akan membutuhkan teman, itu saja alasan Yvonne bersyukur bertemu dengan Nathan.

Karena pada akhirnya ada seorang teman untuk diajak bercerita terlepas Nathan adalah pria yang memberi kesan menarik sejak pertama bertemu. Kesan yang menarik itu anggap saja bonus dari sebuah bentuk pertemanan baru.

“Aku tidak yakin apa aku bisa begitu membantumu, tapi akan kucoba sebaik mungkin. Boleh aku membacanya sekilas? Aku khawatir sedikit banyak terlupa dengan alurnya. Terakhir aku membacanya sepertinya beberapa tahun yang lalu.”

Yvonne menyerahkan novel miliknya, membiarkan Nathan meraihnya dan mulai membuka lembaran yang sudah ditandai oleh Yvonne. Nathan merogoh saku di bajunya, tepatnya di bagian dada sebelah kiri. Ia mengambil sebuah kaca mata baca dan mengenakannya, sedang Yvonne sedikit menahan rasa terkejut yang terpatri jelas di raut wajahnya hingga Nathan segera menyadarinya.

“Ada apa?” tanya Nathan sembari menelisik wajah Yvonne dengan khawatir.

“Ah, tidak ada apa-apa. Hanya kaget saja, ternyata kau berkaca mata, haha.” Yvonne mengakhiri kalimatnya dengan tawa yang sangat canggung bahkan ia sendiri merasa tidak enak dengan reaksinya yang mungkin akan disalahpahami oleh Nathan sebagai sikap yang tak sopan atau barangkali terkesan mengejek.

“Oh, kadang-kadang aku perlu memakainya untuk membaca tulisan-tulisan kecil seperti yang ada di novel ini. Kenapa? Wajahku jadi terlihat berbeda yaa? Mungkin karena frame-nya terlalu tebal dengan garis tegas atau lensanya berpengaruh dan memberi kesan berbeda pada mataku, kurang lebih semacam itu. Lagipula kau pertama kali melihatku tanpa kaca mata sebelumnya, jadi wajar saja yaa agak terkejut, aku bisa memaklumi itu.”

Tidak ada kalimat lainnya yang ingin didengar oleh Yvonne, bahkan ia tidak ingin mendengar penjelasan apapun dari Nathan serta bagi Yvonne saat ini hanya ada keinginan untuk menjerit dalam hatinya,

“Cukup! Jangan jelaskan apapun, hentikan topik tentang kaca mata ini! Jangan lanjutkan atau aku akan berlebihan memperhatikan wajahmu!”

Yvonne memutar otaknya untuk membuat pengalihan topik yang sempurna dan ia segera menemukan bahan ketika menatap secangkir cappuccino di depan matanya,

“Ah, kopi! Iya, kopi!” pekiknya dalam hati dengan girang karena menemukan sebuah solusi untuk menghindari ketidaknyamanan yang tercipta dalam dirinya.

“Cappuccino ini sungguh enak, kau tidak mau memesan satu untukmu?” sela Yvonne secepat kilat dan berhasil membuat topik baru sebagai pengalihan.

“Aku tidak minum kopi,” jawab Nathan singkat namun cukup membuat Yvonne terperanjat dan sepasang matanya yang sedari tadi dialihkannya dari wajah Nathan terpaksa menatap lekat kembali untuk mencari jawaban yang ia butuhkan di wajah pria itu.

“Kau bodoh yaa Yvonne? Mana mungkin kau berpikir akan muncul jawaban di wajahnya itu ‘kan? Kau sengaja melihat ke sana, kan? Cepat buang pandanganmu! Kau itu lemah dengan pemandangan semacam itu!” hardik Yvonne pada dirinya sendiri yang tentu saja hanya bergaung di dalam hatinya dan tak terungkap sedikitpun.

Yvonne segera membuang tatapannya ke arah meja bar kafe, membiarkan sepasang mata hazel-nya kini termanjakan oleh barisan mesin-mesin kopi yang terlihat indah untuk dipandangi. Tentu saja rasa terkejut atas jawaban Nathan masih mengganjal di hatinya, sebab Yvonne merasa heran bagaimana bisa seorang pemilik kafe yang didominasi oleh menu varian kopi mengatakan dirinya tak minum kopi? Rasa penasaran yang menguasai Yvonne akhirnya membuatnya angkat bicara kembali.

“Kau bercanda yaa? Kau benar-benar tidak minum kopi?” tanya Yvonne lagi sembari menopang dagu dan tetap membiarkan wajahnya menatap seluruh hiruk pikuk di balik meja bar kafe.

“Aku tidak bercanda. Aku sungguh-sungguh, nona Yvonne. Tubuhku tidak kompromi dengan kopi, aku lebih nyaman minum secangkir teh oolong dan sebenarnya aku sudah memesannya sebelum menghampirimu tadi. Pramusaji akan mengantarkannya nanti, aku memang bilang agar prioritaskan saja pesanan para pengunjung. Penikmat kopi saat ini sangat menjamur dan meminum kopi sudah menjadi gaya hidup yang sedang naik daun, jadi aku hanya mengikuti selera pasar saja. Dunia bisnis harus tahu memanfaatkan kesempatan demi keuntungan yang maksimal,” terang Nathan dengan ramah lalu mulai memasang wajah serius untuk mulai membaca novel.

 

“B-be-gitu yaa?” Yvonne menyeruput cappuccino miliknya dengan lambat-lambat seolah ia sedang sangat menikmati sesapannya padahal ia hanya berusaha mencari kesibukannya sendiri sembari membiarkan Nathan membaca novel dengan fokus, sedang pikirannya sendiri mulai melayang dan berkabut, menari-nari di dalam ruang pikirannya.

Pria itu baru dua hari ditemuinya tapi cukup banyak memberi kesan mengejutkan dan membuat Yvonne merasa lucu atas dirinya sendiri. Yvonne tak biasanya menerima dengan tangan terbuka saat pria-pria mencoba menghampirinya, bahkan jika itu hanyalah salam sapa penuh formalitas yang sepintas lalu. Meski ia sendiri tak punya alasan jelas bisa menyambut baik kedatangan Nathan, namun ia cukup yakin ia tidak salah membuat keputusan untuk berteman dengan Nathan.

Yvonne saat ini benar-benar tak berani melihat ke arah Nathan. Saat ini dihadapannya sedang ada seorang pria menggunakan T-shirt warna abu-abu polos berkerah lantas sedang fokus membaca sebuah buku lengkap dengan kaca mata bertengger di batang hidungnya. Cukup, Yvonne tidak boleh terlalu memandang ke arah Nathan, karena ia tahu akan ada degup tidak wajar di jantungnya yang tercipta oleh rasa terpesona. Itu bukan sebuah rasa yang terbawa oleh perasaan, namun hanya sesuatu yang disukai oleh Yvonne dan ia lebih suka tidak menunjukkannya agar tak ada salah paham yang disimpulkan dari sikapnya yang ambigu.

Tak berapa lama kemudian seorang pramusaji datang membawa secangkir teh hitam panas untuk Nathan. Setelah menyempatkan diri untuk mengucapkan terima kasihnya, Nathan kembali tenggelam membaca novel. Dan saat itu pula, Yvonne sempat berpikir bahwa ia sedang disajikan pemandangan indahnya rutinitas pria berkelas. Yvonne bahkan seakan terdistraksi sepersekian detik dengan imajinasinya di mana Nathan menyesap secangkir teh miliknya dengan elegan lantas berkata dengan aksen british sembari membenarkan sedikit letak gagang kacamatanya,

“I don’t drink coffee, I prefer a cup of tea, darling.”

“Astaga, apa aku pergi saja dari sini? Memalukan!” rutuk Yvonne dalam hatinya dan merasa sangat malu akan pikirannya sendiri yang tak tahu diri berputar-putar di ruang imajinasinya sekarang.

Yvonne benar-benar berusaha mengosongkan pikirannya dan mengalihkan segalanya dengan fokus mencecap berbagai kolaborasi rasa dalam secangkir cappuccino miliknya meski tanpa harus ditelisik lebih jauh, sebenarnya sudah jelas semua rasa yang tercipta berasal dari keseimbangan antara espresso, steamed milk, dan foam yang menjadi takaran paten untuk secangkir cappuccino.

Nathan tiba-tiba menutup buku novel yang ia baca dan meletakkan perlahan di atas meja, sangat hati-hati seakan ia takut buku itu memecahkan kaca meja kafe. Sebelum ia berbicara, ia menyesap beberapa kali pada secangkir teh miliknya lantas melepaskan kembali kacamata yang sedari tadi dipakainya untuk dimasukkan ke dalam saku bajunya lagi.

“Apa kau kesulitan lagi membayangkan beberapa latar tempat atau karakter yang dipaparkan oleh penulis? Apa kau mau aku menggambarkannya untukmu?” tanya Nathan sungguh-sungguh.

“Emm, tidak juga. Aku hanya ingin berdiskusi saja. Apa kau bisa mendengarkanku mencoba menceritakan kembali? Jika ada yang salah, kau bisa koreksi.” pinta Yvonne.

“Tentu saja, aku dengan senang hati akan mendengarkanmu. Kupikir kau akan memintaku menggambar beberapa hal sehingga aku sudah terlalu percaya diri membawa kertas dan alat tulis sejak awal menghampirimu,” ucap Nathan lagi sembari terkekeh.

“Kau sangat suka menggambar yaa? Kau sepertinya lebih tertarik menggambarkan sesuatu untukku daripada kuajak berdiskusi? Aku jadi iri padamu. Aku tidak pandai menggambar, tapi ada kalanya aku juga ingin bisa menggambar. Terutama ketika aku membaca komik, kadang itu memancingku berandai-andai menjadi ahli menggambar, paling tidak untuk satu gambar saja yang ingin kubuat seindah mungkin, sesuai seleraku, sesuai imajinasiku,” celetuk Yvonne sembari wajahnya menatap pada langit-langit kafe dan sama seperti sebelum-sebelumnya, matanya selalu dengan senang hati tertambat pada setiap tulisan-tulisan penuh makna yang terbingkai indah di setiap sisi dinding-dinding kafe.

“Memangnya apa yang ingin kau gambar?” tanya Nathan.

“Ah, bukan apa-apa, aku hanya ingin menggambar karakter keren dari pria ber- ….” Yvonne segera bungkam, hampir saja ia keceplosan.

“Eh?! Astaga! Nyaris saja!” pekik Yvonne dalam hatinya dan tubuhnya mulai membeku dingin.

“Pria bertubuh atletis! Iya, seperti itu!” sergap Yvonne segera melanjutkan kalimatnya yang sempat terjeda tanpa pikir panjang.

Memalukan!

Bahkan mengalihkan ke kalimat lain hanya membuatnya semakin merasa tampak buruk di depan Nathan. Rasanya seperti perempuan yang tak tahu malu mengatakan hal semacam itu!

Terpesona oleh tubuh?

Sungguh menggelikan dan sama sekali bukan selera Yvonne.

 

Nathan terkekeh mendengar penjelasan Yvonne dan ia juga bukan pria kemarin sore yang sedari tadi tak menyadari sikap Yvonne yang canggung dan salah tingkah. Nathan bukan pria yang tidak peka dengan perilaku Yvonne yang mudah sekali terbaca hanya dari raut wajahnya saja.

Terlalu mudah.

Meski sebenarnya Nathan ingin sekali mengerjai Yvonne seperti membalik kata-kata Yvonne mengenai tubuh pria atletis namun Nathan memilih mengurungkan niatnya. Walaupun rasanya sayang sekali mengingat itu bahan yang tepat untuk membalik kata mesum yang kemarin dilontarkan Yvonne mengenai opininya terhadap penulis novel yang mungkin akan membuat gambaran wanita seksi dari imajinasi yang mesum hingga berpuluh lembar, tapi Nathan tetap memilih membiarkan saja.

Nathan sudah cukup melihat Yvonne sangat kikuk dan ia tak ingin membuat Yvonne tidak nyaman sama sekali bersamanya.

 

Entah mungkin perasaan Nathan saja, namun ia menangkap situasi di mana sebenarnya Yvonne bukan perempuan yang suka didekati pria asing dan mungkin dirinya juga kebetulan saja beruntung di mana kehadirannya disambut hangat oleh Yvonne walau awalnya juga jelas sekali Yvonne terlihat membuat sikap waspada yang terlalu berlebihan.

Dan begitulah Nathan terus berhati-hati, sebab ia ingin membantu Yvonne hingga perempuan itu menyelesaikan novel yang ia baca. Tidak ada kepentingan lainnya, ia hanya tergerak karena novel itu, tidak lebih.

Lagipula jika memang Yvonne adalah seorang perempuan yang tak mudah menyambut pertemanan pria, maka Nathan tak lebih baik dari Yvonne. Butuh pemicu yang berbeda dari biasanya untuk membuat Nathan tertarik mendekat, sebab Nathan sendiri bukan pria yang sembarangan berkawan, terlebih terhadap perempuan.

Nathan cukup terkenal oleh orang-orang disekitarnya sebagai pria dingin yang tak boleh diusik untuk urusan hatinya, bahkan kehidupannya sepenuhnya adalah miliknya yang tak boleh dicampuri siapapun.

Nathan, pria keras kepala yang hanya ramah atas kehendaknya sendiri, bukan karena ingin menyenangkan orang lain.

***

#2 – SOFA MERAH

Yvonne merebahkan tubuhnya di atas kasur empuk yang terletak di tengah ruang kamar pribadinya. Sudah memasuki hitungan seminggu Yvonne tinggal di apartemen milik Lucas. Walaupun mereka tinggal bersama dalam satu atap, mereka tidak pernah banyak bertemu di dalam apartemen tersebut. Lucas lebih sering beraktivitas di luar dan berada di lokasi syuting dengan waktu yang tak menentu, namun saat ia memiliki kesempatan untuk pulang di malam hari, ia selalu menyempatkan diri untuk meminta Yvonne menceritakan hasil bacaannya dari novel yang telah dia berikan tempo hari, setidaknya sudah dua hari ini Lucas selalu pulang di malam hari dan menanyakan perkembangan Yvonne melaksanakan tugasnya membaca novel tersebut.

Tiga hari pertama kedatangan Yvonne, Lucas lebih banyak mencuri waktu dari kesibukan syutingnya untuk mengajak Yvonne jalan-jalan agar bisa mengenal lebih dekat suasana kota metropolitan yang dibanggakannya dan sudah berapa tahun belakangan ini menjadi rumah kedua bagi Lucas. Yvonne berterima kasih atas inisiatif Lucas meski jalan-jalan bersama Lucas juga tidak bisa dikatakan kegiatan yang menyenangkan bagi Yvonne karena Lucas selain bersikap dingin dan semaunya, ia juga terlalu banyak waspada hingga membuat Yvonne muak hingga rasanya ia ingin mengeksplorasi kota itu sendirian saja.

Tidak menyenangkan.

Kendati lebih banyak menumpuk kesal, Yvonne tak menuntut apapun, karena ia mau tidak mau harus mengerti bahwa untuk seorang Lucas, berhati-hati ketika berada di tempat umum sangatlah penting. Seorang publik figur tidak pernah tahu kapan ia bertemu dengan penggemarnya atau orang-orang yang bahkan berpotensi merusak popularitasnya sehingga menjadi waspada dan sangat berhati-hati sangatlah wajar untuk seorang Lucas.

Tiga hari rutinitas berkeliling kota yang diberikan Lucas tentu saja bukan sesuatu yang bisa diterima cuma-cuma oleh Yvonne. Setelah tiga hari yang tidak begitu menyenangkan bagi Yvonne, Lucas mulai memintanya untuk membuat ringkasan dari novel yang diberikannya sebagai imbalan atas kebaikan hatinya versi pola pikirnya sendiri, padahal Yvonne sama sekali tidak merasa berhutang budi apapun. Namun ketika Lucas membawa perihal tidak mengizinkan Yvonne tinggal di apartemennya apabila tidak bersedia membaca novel pemberiannya untuk meringkas alur cerita yang Lucas tak ingin membuang waktunya untuk duduk manis membaca semuanya, maka Yvonne terpaksa bertekuk lutut dan mengibarkan bendera putih, menyerah.

Yvonne tidak ingin pulang kembali ke kota kecilnya setelah akhirnya ia mampu terbang melintasi cakrawala untuk menjejakkan kaki di kota impiannya dan jika itu berarti ia harus bertahan dengan syarat dari orang tuanya untuk tinggal satu atap dengan Lucas, maka ia akan berjuang menyanggupinya sampai titik darah penghabisan, tekad bulat. Ia juga akan bertahan dengan sikap Lucas yang tak bisa ditebak terhadapnya.

Lucas mulai menunjukkan betapa sibuknya ia dengan pekerjaannya dan Yvonne yang masih belum punya arah tujuan mau tidak mau mulai membangun rutinitasnya sendiri yang didominasi dengan kegiatan membaca novel itu sebagai prioritas utama dan untungnya ia menemukan kafe yang nyaman untuknya, kafe milik Nathan.

Yvonne sebenarnya bisa saja menghabiskan waktunya di dalam apartemen seharian, hanya saja dia belum terbiasa dengan rasa sepi dan hidup sendiri di apartemen milik Lucas yang mewah tapi terasa hampa. Tidak ada siapapun kecuali asisten rumah tangga yang selalu datang untuk bersih-bersih di pagi hari selama beberapa jam. Untuk makan sehari-hari sudah tersedia jasa catering yang dipesan oleh Lucas hingga Yvonne benar-benar tak perlu mengkhawatirkan apapun untuk tuntutan hidup sehari-hari. Tapi semua itu tak membantu dalam mengatasi rasa jenuh dan hampa yang dirasakan Yvonne. Karena itu lah, Yvonne lebih memilih mencari suasana yang terasa nyaman dan menyenangkan di luar sana, menyusuri trotoar dari depan apartemen hingga mencari ujung jalan yang sanggup dilaluinya dengan berjalan kaki dan menyadari betapa banyak kafe di deretan apartemen tempat ia tinggal saat ini.

Meski ia sudah mengunjungi beberapa kafe yang berjejer rapi tersebut, hanya kafe milik Nathan yang membuatnya merasa nyaman. Sepasang matanya terasa dimanjakan, sepasang telinganya terbuai, sepasang kakinya tertuju tanpa perlawanan, rasanya ia bahkan ingin tambatkan hatinya saja di tempat itu sebab menghabiskan waktu seharian penuh di tempat itu rasanya sangat menyenangkan. Sudah tiga hari ini perasaan itu tidak memudar dan ia masih ingin terus berkunjung. Kebetulan sekali ternyata kesan pertama bertemu pemilik kafe itu terasa menyenangkan.

“Rasanya aku ingin cepat pergantian hari dan kembali ke kafe itu,” gumam Yvonne sembari menatap langit-langit kamarnya yang membiaskan cahaya lampu terang lantas menjelma menjadi kilat halus di mata hazelnya.

“Hari ini menyenangkan, beruntung rasanya bertemu dengan Nathan.”

Kedua kelopak mata Yvonne mulai meredup dan rasa kantuk mulai membuai kesadarannya. Pekat malam yang ia lihat dari balik kaca jendelanya seakan membujuknya agar segera mencicip lelap yang menjanjikan hari esok akan lebih menyenangkan untuk disambut dengan tubuh dan jiwa yang lebih kuat dan segar karena cukup beristirahat. Jadi, istirahatlah.

Rasanya Yvonne baru saja terlelap dalam hitungan sepersekian detik sesaat sebelum bunyi ketukan pintu yang keras dan tegas menyadarkan dalam satu sentakkan. Dan suara yang menyusul memanggil-manggil namanya disela jeda ketukan pintu kamarnya membuatnya memutar bola matanya dengan kesal.

“Lucas!” celetuk Yvonne dalam hatinya lantas senyum kecut ikut menghiasi bibir mungilnya.

“Yvonne! Apa kau sudah tidur? Kau belum laporan hasil bacaanmu hari ini, cepat ke ruang tengah!” teriak Lucas dari balik pintu dan langkahnya terdengar menjauh.

Yvonne mengusap kedua matanya dengan malas, rasanya ia baru saja akan masuk ke dunia mimpi yang menyenangkan namun segalanya rusak karena Lucas mengusiknya. Meski ia mengambil waktu lama untuk bangkit dari tempat tidurnya, pada akhirnya ia menyeret langkahnya dengan berat untu menuju ruang tengah di mana Lucas berada. Tak lupa ia mengambil buku novelnya untuk dibawa bersamanya saat menemui Lucas.

Mata Yvonne tertuju pada secarik kertas yang tergeletak di mejanya, gambar naga buatan Nathan. Yvonne meraih gambar tersebut, namun ia ragu membawanya. Ia tak ingin ada pembicaraan tentang gambar itu bersama Lucas, sehingga keraguannya membuatnya mengembalikan kertas tersebut di meja lantas berlalu menuju ruang tengah hanya dengan buku novelnya saja.

Rupanya Lucas tengah berbaring di sofa. Sebotol air mineral yang sudah tandas isinya tergeletak di atas meja tepat di dekat Lucas berbaring. Pantas saja meskipun Yvonne tidak menanggapi panggilan Lucas serta tak segera beranjak menemuinya, Lucas tak meneriakinya sama sekali. Hening, seakan menghilang begitu saja.

Yvonne mendekati dengan perlahan, sedikit berjingkat lalu mengambil tempat duduk di sofa lainnya yang hanya untuk satu orang. Yvonne menipiskan bibirnya ketika melihat betapa tenangnya Lucas berbaring di sofa tersebut. Sofa panjang berwarna merah menyala dan memiliki bentuk yang terkesan mewah, elegan dan harus Yvonne akui sangat cocok menjadi tempat untuk seseorang dengan tampang seperti Lucas berbaring di sana. Seperti singgasana, seperti pembaringan yang nyaman.

Yvonne mengernyitkan dahinya karena Lucas tak kunjung membuka matanya meski Yvonne sudah duduk manis dan siap memberi laporan atas bacaannya hari ini.

“Apa dia begitu lelah?” Yvonne mempertanyakan dalam hatinya lalu memerhatikan wajah Lucas yang tertidur dengan sangat lelap.

Benar-benar pantas, begitulah yang dipikirkan Yvonne. Ini adalah malam ketiganya melihat Lucas berbaring di sofa merah itu, namun biasanya Lucas hanya merebahkan tubuhnya dan tetap terjaga mendengarkan Yvonne bercerita. Hari ini Yvonne baru memperhatikan Lucas yang terlelap dengan saksama, pria itu benar-benar artis. Wajahnya nyaris sempurna untuk kategori pria tampan, jadi bagaimana mungkin Yvonne sedikitpun tak merasa beruntung mengenal Lucas dalam hidupnya?

Sudah hitungan tahun tidak melihat Lucas, dunia perantauan dan pekerjaan nampaknya telah banyak mengubah penampilan Lucas yang sekarang terlihat semakin berkelas. Wajahnya semakin tampan meski tak jauh berbeda dengan wajah Lucas di masa lalu yang dikenal Yvonne sebab memang seolah sudah menjadi takdir seorang Lucas untuk lahir dan tumbuh menjadi lelaki tampan yang mempesona.

Hidup di kota metropolitan memang pilihan yang tepat untuk Lucas hingga ia bisa menjadi salah satu dari jejeran artis papan atas yang digemari masyarakat.

Lucas dan Yvonne sudah bertemu sejak mereka masih kecil meski mereka memiliki rentang usia yang sedikit jauh. Lucas lebih tua beberapa tahun dari Yvonne, namun keduanya selalu terlibat dalam beberapa kegiatan masa kecil bersama lantaran ibu mereka bersahabat sangat kental dan mereka berdua juga tahu bagaimana terobsesinya ibu mereka untuk menjodohkan mereka di masa depan.

“Aku ini lebih tua darimu lima tahun, kau seharusnya memanggilku kakak,” gerutu Lucas di suatu hari ketika mereka berusia belasan tahun.

“Tidak mau. Tinggimu saja hanya berbeda sedikit dariku, kau juga tidak terlihat dewasa karena suka menggangguku, jadi untuk apa?” rutuk Yvonne sembari membusungkan dadanya dengan angkuh.

Yvonne teringat bahwa tubuh Lucas tidaklah setinggi sekarang bahkan nyaris dijangkau oleh Yvonne ketika mereka berada di usia remaja. Dan sekarang melihat Lucas terbaring di sofa merah andalannya hingga sepasang kakinya yang semampai melewati batas sofa dan tergantung bebas hingga nyaris menapakkan kakinya di lantai membuat Yvonne tersadar bahwa Lucas tak lagi bocah yang pantas ia rendahkan ukuran tubuhnya. Yvonne bahkan jadi tersenyum lucu setelah memperhatikan tubuh Lucas sekarang, lengan yang berotot khas para lelaki jantan dan dadanya yang terlihat bidang membuat Yvonne terkekeh.

“Sejak kapan tubuhnya jadi seperti itu? Dia pasti berusaha keras mendapatkannya?” gumam Yvonne sambil terkekeh kecil.

“Heh, apa yang kau tertawakan? Apa kau sudah puas memperhatikanku seperti itu? Wajahmu itu seperti mau melahap orang, tahu!” celetuk Lucas tiba-tiba sembari membuka matanya sedikit dan melirik tajam ke arah Yvonne.

Yvonne segera merengutkan wajahnya, menunjukkan rasa kesal yang terang-terangan dan meraih bantal sofa yang berada di balik punggungnya lantas melempar dengan keras ke arah wajah Lucas.

“Aduh! Sakit! Wajahku ini berharga!” celetuk Lucas dan segera terduduk sembari mengusap wajahnya.

“Bersyukurlah aku tidak melempar buku novel yang kubawa ini ke wajahmu melainkan hanya bantal empuk.”

“Iya, iya. Sudahlah, aku lagi lelah. Jadi, apa hasil bacaanmu hari ini?” Lucas kembali membaringkan tubuhnya di sofa sembari menunggu jawaban Yvonne.

 

“Kalau kau lelah, sebaiknya kau pergi tidur. Kau pikir sofa itu tempat tidur kedua? Lama-lama warna merahnya memudar dan bentuknya rusak karena selalu kau tempati seperti itu.” omel Yvonne lagi.

“Akuakan pergi tidur di kamarku setelah mendengar laporanmu hari ini, cepatlah, aku tidak punya banyak tenaga untuk mendengar hal lain.” Lucas mendengkus karena tak sabar.

“Memangnya kalau kau berbaring seperti itu, apa bisa menjamin kau tidak tertidur dan meninggalkanku berceloteh sendirian?” tanya Yvonne lagi bersikeras menjadi kritis.

“Astaga, Yvonne, dari kemarin dan kemarinnya lagi aku selalu berbaring di sofa ini mendengarkanmu dengan penuh perhatian. Hari ini aku memang sangat lelah tapi aku takkan meninggalkan satu hari untuk menunda memahami isi novel itu. Kau tahu kan aku mendapat kesempatan dari produser untuk memerankan tokoh utama dari novel itu dan hanya punya waktu satu bulan untuk memahami segala isinya agar aku bisa mendalami peran dengan baik. Setidaknya begitulah yang diharapkan produser dariku, sebuah pengalaman membaca dan pemahaman yang baik akan seluruh jalan ceritanya. Jadi, ceritakanlah.”

Yvonne terdiam, ia tersadar hal-hal yang terlupa karena selalu menganggap Lucas makhluk yang menyebalkan. Benar, Lucas selalu berusaha keras seperti itu menjalani kehidupannya, bersungguh-sungguh dan mampu fokus dalam keadaan apapun. Yaa, wajar segala sesuatu yang diraihnya memang sepadan dengan apa yang ia usahakan. Menjadi artis bukan tentang merawat diri, bersenang-senang, hidup berlebihan atau bermalas-malasan berbaring di sofa merah nan mewah sepanjang hari. Ada usaha, ada upaya, ada kerja keras hingga semua mampu diraih seperti sekarang.

“Yvonne, aku menunggu.”

Yvonne tersadar dari renungannya ketika Lucas berkata singkat dan dingin seperti itu. Pria itu masih berbaring sembari memejamkan matanya rapat-rapat namun Yvonne bisa merasakan betapa telinga pria itu menanti untuk menangkap getaran yang menjelma menjadi kalimat-kalimat yang bersumber dari suara Yvonne.
Sebelum akhirnya Yvonne bersuara, ia membuka novelnya dan menyadari suatu hal ketika ia menatap lembaran yang telah ia tandai. Ia terlupa, bahwa hari ini tidak ada alur cerita yang perlu dipahami melainkan hanyalah deskripsi-deskripsi makhluk naga yang digambarkan dengan detail hingga beberapa halaman.

“Lucas, sepertinya hari ini kau memang bisa segera istirahat. Hari ini aku membaca bagian yang terbaru tapi itu hanya menggambarkan sosok seekor naga yang muncul di sebuah hutan terlarang dan warnanya hitam pekat.” terang Yvonne bersemangat.

“Begitu kaah? Baiklah, aku mau tidur.” celetuk Lucas setelah mendengarkan penjelasan Yvonne dan rasanya ia bersyukur bahwa ia bisa segera melengos pergi ke kamarnya.

Lucas pergi menuju kamarnya, meninggalkan Yvonne yang masih terduduk sendirian sembari melihat punggung Lucas yang semakin menjauh dan menghilang dibalik pintu kamarnya sendiri.

Keheningan terbentang, Yvonne sendirian dan merutuk dalam gumaman yang hanya terdengar di telinganya sendiri, “Dasar, bisa-bisanya dia yang tadi memanggil sekarang malah pergi meninggalkan. Cih.”

Yvonne kembali ke kamarnya, merebahkan kembali tubuhnya ke kasur empuk yang dirindukan. Melepas penat dan kesal lantas pikirannya melayang menanti hari esok.

“Kenapa rasanya ingin segera hari esok? Aku ingin ke kafe itu, membaca dan berdiskusi dengan Nathan.” gumam Yvonne lagi lalu lambat laun ia tertidur bersiap menjelajahi alam mimpi yang bisa mengejutkannya dengan alur cerita apapun.

***

#1 – BUKU TEBAL

“Kau harus membaca novel ini sampai selesai, setidaknya setiap hari kau harus ceritakan ringkasan satu bab-nya di malam hari. Kau harus membuatku memahami isi ceritanya, kau mengerti?”

Yvonne menutup dengan keras buku novel tebal yang tengah ia baca. Kalau saja ia tidak sedang berhutang budi pada Lucas, ia pasti tidak akan repot-repot mengisi waktunya sepanjang hari untuk mencoba memahami isi cerita dalam novel di genggamannya yang sama sekali membuatnya tak berminat. Buku novel itu sangat tebal, bahkan bagi Yvonne novel itu lebih cocok menjadi bantal tidurnya jika saja buku novel itu mampu menjelma menjadi tumpukan bulu angsa nan empuk yang menumpuk dalam satu buntalan kantung kain putih lembut.

Buku novel itu memang terkesan seperti buntalan kain berbentuk kotak layaknya bantal, hanya saja ukurannya lebih kecil seperti bantal kuno milik masyarakat Jepang di zaman Edo. Bagi Yvonne yang tidak begitu tertarik dengan cerita fiksi fantasi, membaca satu bagian saja cukup membuat dia lelah dan selalu ingin segera menutup buku novel tersebut. Sampulnya sendiri dari material yang keras, sehingga saat Yvonne menutupnya dengan kesal, bunyinya cukup menarik perhatian orang lain di sekitarnya termasuk oleh pria yang tiba-tiba muncul di depan matanya.

“Hai, kau baik-baik saja?”

Yvonne terperanjat menyadari pria yang asing baginya tiba-tiba menyapanya dan sudah berada di depan mejanya entah sejak kapan.

“Siapa? Apakah pelayan kafe?”

Yvonne memerhatikan dengan saksama sosok pria di hadapannya. Kedua bola matanya yang membulat penuh dengan iris warna hazel yang indah memindai dari ujung rambut hingga ujung kaki tanpa memperhitungkan kesopansantunan yang harus ia jaga. Pria itu tidak terlihat seperti para pelayan kafe yang sudah tiga hari ini berinteraksi dengan Yvonne. Tidak memakai seragam khas para pelayan kafe seperti papan nama, sepatu sneakers, maupun baju T-shirt berwarna cokelat cappuccino polos yang biasanya ia lihat. Perasaannya seketika merasa was-was dan ia berusaha membentengi diri dengan tatapan tak bersahabat dan berpikir jika pria itu maju selangkah lagi untuk berniat jahat kepadanya, maka buku novel menyebalkan di gengggamannya akan segera menjadi senjata untuk melindungi dirinya.

Setidaknya sekali saja buku novel itu akhirnya bisa berguna baginya, kan?

“Oh, maaf, aku tidak bermaksud jahat. Aku pemilik kafe ini. Ini kartu namaku, Nathan.”

Seakan memahami sikap Yvonne yang tidak bersahabat, pria yang mengenalkan dirinya sebagai Nathan buru-buru memperkenalkan dirinya dan menyodorkan kartu namanya dengan cepat. Yvonne sendiri mengambil kartu nama tersebut dengan hati-hati dan membaca setiap tulisan yang tercetak di permukaan kartu dengan saksama. Setelah memahami deretan tulisan yang tercetak di kartu mungil tersebut, barulah Yvonne menyadari bahwa ia sedang berhadapan dengan pemilik kafe, bukan pria pengunjung tak bermoral yang sering kali mendatangi sebuah kafe hanya untuk iseng menghampiri perempuan-perempuan yang duduk sendiri di sudut ruangan seperti yang Yvonne lakukan saat ini. Yvonne lantas berdiri dan menundukkan sedikit kepalanya untuk memberi hormat karena ia sadar diri bahasa tubuhnya beberapa detik yang lalu terang-terangan mencurigainya pria itu, Nathan.

“Maaf, saya sudah berprasangka buruk. Maaf atas tindakan saya barusan, apa saya melakukan kesalahan sampai anda mendatangi saya? Apa saya membuat ketidaknyamanan di sini?”

Keheningan tercipta sesaat karena Nathan hanya terdiam dengan senyum tipis melengkung di bibirnya meski tak nampak oleh Yvonne yang masih tertunduk malu. Yvonne sendiri masih tenggelam dalam dugaan-dugaan buruk yang bisa ia bayangkan atas dirinya. Ini sudah hari ketiganya menghabiskan waktu di kafe itu dan ia akui sepanjang waktunya mungkin ia banyak mendengkus kesal dan bolak-balik membuka tutup buku novel dihadapannya yang tentunya seringkali menimbulkan bunyi dentuman keras.

Apa mungkin karena Yvonne selalu duduk di bangku yang sama?

Apa mungkin karena Yvonne terlalu lama duduk dan tak sebanding hanya dengan memesan secangkir cappuccino saja?

Yvonne masih tenggelam dalam pikirannya hingga rambut panjang lurus berwarna kecokelatan miliknya yang terurai sebagian telah menenggelamkan wajahnya hingga Nathan tak dapat melihat raut wajah perempuan itu meski ia sangat yakin perempuan itu pastinya sedang cemas karena kehadirannya saat ini.

“Kau tidak perlu merasa bersalah begitu, aku tidak bermaksud kesini untuk menegur apapun, aku hanya ingin menghampirimu saja.”

Yvonne mengangkat kepalanya dengan cepat, matanya menatap lekat pada wajah Nathan yang ternyata memang menunjukkan kesungguhan atas kata-kata yang ia ucapkan. Setidaknya Yvonne melihatnya seperti itu, ia tak menemukan kebohongan di sana, pada raut wajah Nathan.

“Boleh kah aku duduk di sini?” ucap Nathan memecah keheningan yang masih dibangun oleh Yvonne.

Tersadar akan sikapnya yang masih mematung, Yvonne segera kembali duduk dan mempersilakan Nathan untuk duduk di bangku kosong yang terletak di hadapannya.

Nathan tersenyum kembali dan itu cukup mencairkan suasana canggung sebelumnya. Yvonne sendiri hanya diam menunggu Nathan untuk mengatakan sesuatu, sebab Nathan yang datang menghampirinya, itu artinya dia yang ingin bicara, bukan?

Nathan berdehem sebelum mulai bicara kembali, “Sudah tiga hari ini kau datang kemari, duduk di tempat yang sama dan membaca buku yang sama, tapi, sepertinya kau tidak terlalu menikmati apa yang kau baca? Apa kau kesulitan?”

Yvonne hanya menatap buku yang tergeletak di depan matanya, ia tidak tahu apa ia perlu cerita pada pria yang baru hitungan menit muncul di hadapannya? Tapi kehadiran Nathan seperti angin segar di saat dia sedang suntuk karena beban yang menggelayutinya saat ini.

Karena perintah yang diberikan Lucas kepadanya!

Tak kunjung menjawab pertanyaannya, Nathan beralih menanyakan hal lain, sebab ia hampir saja lupa setidaknya ia harusnya bertanya nama lebih dulu.

“Kalau kau tidak mau menceritakannya, tidak apa-apa. Maaf aku sudah bertanya. Aku hampir lupa untuk menanyakan namamu, maafkan aku.”

“Eh?” Yvonne tertegun karena ia baru sadar bahwa Nathan sudah memperkenalkan dirinya sedangkan ia sendiri malah belum memberi tahu namanya bahkan masih mengisi celah dengan menimbang-nimbang banyak hal.

“Oh, namaku Yvonne. Emm, itu, aku, sejak tiga hari yang lalu punya tugas untuk membaca novel ini dan membuat ringkasannya, jadi aku datang ke sini untuk mencari tempat nyaman untuk membaca. Dan iya, aku memang kesulitan. Sebenarnya ini bukan novel yang ingin kubaca, aku bahkan tidak biasanya membaca novel. Sejujurnya aku lebih suka membaca cerita bergambar seperti komik. Melihat barisan tulisan yang menumpuk rasanya mataku ingin muntah, otakku jadi rabun harus membayangkan gambaran-gambaran karakter fantasi yang diceritakan. Ah, menyebalkan!”

Entah dorongan apa yang membuat Yvonne yang tadinya was-was berubah mengutarakan segala kekesalannya. Ya, Yvonne memang seperti itu, begitu mudah mengutarakan yang ia rasakan tanpa dinding batasan kokoh yang seharusnya ia bangun dan seketika saja Nathan terkekeh mencerna kata-kata Yvonne yang terasa ganjil, selain itu ia tak menyangka Yvonne bereaksi seperti itu hingga ia tak mampu lagi menahan diri untuk tak melepas tawa renyahnya.

Mata mau muntah?

Otak rabun?

“Hahaha, yaa ampun, aku tidak menyangka kau akan berkata seperti itu, apa novel itu benar-benar membuatmu kacau?”

Nathan masih tertawa sedangkan Yvonne mengangguk dengan mantap sembari menunjukkan raut wajah yang serius akan kata-katanya. Perlahan-lahan tawa Nathan pun mereda, ia mulai mengernyitkan dahinya karena rasa ingin tahu mulai menyerangnya.

“Maafkan aku, setahuku novel yang kau baca itu kabarnya akan dirilis menjadi sebuah film. Yaa, itu hanya kabar burung yang kudengar. Bukan kah itu berarti novel itu bagus?”

Iya, benar. Yvonne bukannya tidak tahu kalau novel itu akan menjadi film layar lebar yang diprediksi akan menguntungkan pihak perfilman, oleh karena itu sejak sekarang mereka berusaha mencari pemeran terbaik untuk film tersebut. Justru saat ini Yvonne harus menghabiskan waktunya untuk membaca novel itu secara terpaksa karena ia sangat tahu novel itu akan menjadi sebuah film yang tokoh utamanya digambarkan sebagai pria gagah berani, tegas, tampan nan rupawan, dan akan diperankan oleh Lucas.

Lucas, aktor yang sedang naik daun dan juga pria yang sekarang sedang tinggal bersamanya. Lebih tepatnya sejak kedatangan Yvonne di kota metropolitan ini, ia harus tinggal seatap dengan Lucas karena kemauan kedua ibu mereka yang bersahabat sejak kecil dan terobsesi untuk menjodohkan mereka berdua hingga dengan tidak masuk akal memaksa mereka berdua untuk tinggal bersama. Mereka pikir melakukan itu akan membuat benih-benih cinta akan timbul diantara Yvonne dan Lucas yang bersikeras tidak ingin dijodohkan sejak mereka beranjak dewasa.

Tentu saja, itu tidak mungkin. Lucas mungkin aktor yang tampan dan mempesona, tapi Yvonne tak melihatnya seperti itu. Lucas hanya pria brengsek yang memanfaatkan kehadirannya Yvonne saat ini.

Yvonne tidak ingin kembali ke rumahnya di kota kecil nun jauh di sana, impiannya memang tinggal di kota metropolitan ini dan itu berarti saat ini ia harus bersedia menerima syarat yang dibuat oleh ibunya, yaitu harus tinggal bersama Lucas setidaknya selama tiga bulan. Lucas sendiri, tentu saja tinggal di apartemennya berarti harus ada imbalannya. Pria itu tidak pernah mau rugi dan sebagai gantinya Yvonne harus membaca novel tebal yang sekarang ini dalam genggamannya dan menceritakan ringkasannya kepada Lucas sedetail mungkin. Sial!

“Kau harus membaca novel ini sampai selesai, setidaknya setiap hari kau harus ceritakan ringkasan satu bab-nya di malam hari. Kau harus membuatku memahami isi ceritanya, kau mengerti?”

Gila! Bukankah seharusnya para ibu itu khawatir jika anaknya tinggal bersama? Ini malah memberi peluang seakan siap menyambut dengan tangan terbuka jika Lucas dan Yvonne datang menghadap dan berkata, “Izinkan kami menikah, kami sudah saling mencintai.”

Membayangkan hal itu membuat Yvonne bergidik ngeri hingga ia terlupa bahwa Nathan sedari tadi masih memperhatikannya dan tak satupun gerak gerik aneh Yvonne yang terlewat dari pandangan Nathan saat ini.

“Yvonne,” panggilnya hati-hati.

“Ah, maaf, aku melamun. Otakku merasa buntu. Kau mau tahu sesuatu? Aku sedang membaca bab tiga dari novel ini yang berjudul Naga Penjaga Telaga Berjelaga. Kau sadar rima itu? Naga Penjaga Telaga Berjelaga. Itu aneh. Bukan hanya itu, penulisnya bahkan menggambarkan sosok naga tersebut sebanyak tiga sampai empat halaman, astaga! Mungkin berikutnya dia akan menulis penggambaran dari sosok wanita cantik bertubuh molek dengan pakaian mini sebanyak sepuluh halaman karena nafsu yang membuncah dalam imajinasinya yang mesum!”

“Pffft!” Nathan sangat ingin tertawa terbahak-bahak namun ia menahannya sekuat tenaga karena tak ingin merusak suasana tenang di kafe yang ia bangun sebagai tempat para pengunjung menenangkan diri dengan menyeruput secangkir minuman hangat sembari mendengar alunan akustik yang menyejukkan suasana hati. Tentu saja itu seperti bunuh diri jika Nathan sendiri yang malah menjadi biang keributan tak menyenangkan di kafe itu.

Perempuan itu, Yvonne, membuat Nathan tidak menyesal menghampirinya. Nathan memang sudah diam-diam memperhatikan kedatangan Yvonne sejak pertama berkunjung sedangkan Yvonne tidak tahu bahwa tak semudah itu untuk seorang Nathan yang berkepribadian serius tertawa renyah tiba-tiba, namun ajaib berhadapan dengan Yvonne secara langsung terus membuat Nathan merasa tergelitik setiap kali perempuan itu bicara. Tidak, lebih tepatnya sedang mengomel.

Yvonne sendiri tak menyadari kelakuannya karena perasaan kesal tengah campuraduk dalam benaknya, tentang orang tuanya, tentang Lucas, hingga novel yang terpaksa dibacanya.

Nathan berdehem kembali. Kali ini ia mencoba bicara serius setelah menenangkan dirinya meski masih harus melihat Yvonne yang bersungut-sungut kesal. Tapi Nathan menguatkan dirinya untuk tidak terpancing untuk tertawa bahkan terkekeh apalagi jika harus sampai terbahak-bahak.

Fokus, Nathan!

“Yvonne, mungkin yang membuatmu tersiksa membaca novel itu karena sejak awal kau sudah tidak berminat, kau juga tidak membangun niat, kau apatis hingga tak mau melihat hal-hal indah yang bisa kau baca, kau sengaja membutakan matamu dari hal-hal menarik yang bisa kau lihat. Yaa, aku tidak bisa menyalahkanmu karena kau sendiri bilang bahwa kau terpaksa membacanya, jadi bukan seperti pembaca yang memang tertarik dan penasaran ingin membacanya sehingga ada perasaan nikmat yang terbangun oleh rasa ingin tahu yang menggebu, kau mengerti maksudku?”

Yvonne tertegun mendengar kata-kata Nathan yang diucapkan dengan perlahan namun terasa melekat dalam otaknya yang rasanya masih buntu sebelumnya. Mudah dipahami tapi terasa berbobot dan Yvonne menyukainya.

Sosok yang menyenangkan!

“Kalau kau mau, aku bisa membantumu memahami setiap tulisan yang kau baca. Maksudku kita mungkin bisa berdiskusi bersama setiap kau selesai membaca bagian-bagiannya, itu pun jika kau memang bermaksud rutin datang kemari, kupikir kau sudah menjadikan kedatanganmu kemari sebagai rutinitas,”

“Ah, kau menyadari itu yaa?” gumam Yvonne terperangah oleh dugaan Nathan yang tepat.

“Iya, aku melihat kau datang berturut-turut dalam tiga hari ini, duduk di tempat yang sama, melakukan hal yang sama, sepertinya ini rutinitas yang kau bangun dan kau sepertinya suka keteraturan.”

Yvonne terkekeh dan mengangguk penuh semangat, “Kau benar, selain itu sebenarnya ada tiga kafe yang kudatangi sederet dengan apartemen tempatku tinggal, tapi aku suka di sini.”

“Oh yaa? Aku sebagai pemilik kafe ini merasa tersanjung. Kenapa begitu?” tanya Nathan penuh antusias. Suatu kehormatan baginya mendapat pujian atas kafe yang ia bangun dengan penuh kemandirian ini.

“Aku suka pot bunga putih mungil yang diletakkan di setiap meja. Aku suka interior nuansa cokelat oak yang mendominasi. Aku suka aroma kopi yang menguar lembut dan tidak membuatku pusing seperti kafe-kafe kelas internasional yang beberapa kali kudatangi dan aku suka alunan musik akustik yang mengalun sayup-sayup di telinga. Selain itu, aku suka bahkan sangat suka dengan semua pigura yang dipenuhi tulisan-tulisan menyenangkan untuk dibaca. Setiap kali aku mau menyerah membaca novel itu, aku juga melihat tulisan di dinding bagian situ,”

Yvonne menunjuk sebuah pigura yang terisi tulisan sederhana, “Don’t Give Up, Miracles Created On Your Bones.”

“Aku jadi kembali semangat, hehe.” Yvonne terkekeh pendek untuk mengakhiri penjelasannya.

“Kau tidak tahu betapa sangat tersanjungnya aku, karena semua penataan dari kafe ini adalah sesuai seleraku dan kau memujinya dengan sungguh-sungguh, terima kasih.” ucap Nathan dengan serius.

“Aku yang seharusnya berterima kasih karena kau sudah menghampiriku dan memberiku motivasi,”

“Ngomong-ngomong tadi kau kesulitan dengan penggambaran naga yaa? Aku rasa aku punya sesuatu yang bisa membantumu,”
Nathan bergegas meninggalkan Yvonne sejenak lalu ia kembali membawa sebuah pensil dan secarik kertas putih polos.

“Coba kau baca perlahan setiap kalimatnya, aku akan menggambarkannnya untukmu.”

Meski sedikit ragu dengan perintah Nathan, Yvonne mencoba mengikuti tanpa bantahan dan mulai membaca dengan pelan dan perlahan setiap kalimat yang tertulis untuk menggambarkan sosok naga dalam cerita tersebut sedangkan Nathan perlahan-lahan menggoreskan pensilnya, hati-hati dan begitu tenang hingga Yvonne merasa semakin lama semakin takjub dengan apa yang saat ini dia baca. Membaca perlahan untuk menyampaikan pada Nathan membuatnya mengematkan baik-baik apa yang sedang ia baca dan setiap melirik apa yang tengah dilakukan Nathan, Yvonne semakin merasa takjub. Gambar yang dibuat Nathan sungguh indah, bahkan meski hanya dengan sebuah pensil dan berupa sketsa kasar.

“Itu naga yang dimaksud dalam cerita ini?” Yvonne tertegun.

“Bagus, bukan?” tanya Nathan dengan percaya diri.

“Kau pandai menggambar? Keren!” Mata Yvonne berbinar penuh kekaguman pada gambar yang ditunjukkan Nathan.

“Kau suka? Kau boleh menyimpannya,” Nathan memberikan kertasnya kepada Yvonne.

Yvonne menerima dengan senang, ia memandangi gambar pemberian Nathan dengan saksama, lalu mata hazelnya tertuju pada tulisan beberapa huruf yang terletak di sudut kertas.

“NTNL? Kenapa kau memberi inisial seperti ini?” tanya Yvonne dengan gamblang dan hanya dipenuhi rasa ingin tahu.

“NTNL adalah nama pena penulis novel yang kau baca itu. Kau sudah membacanya hingga hari ini tapi kau tidak memperhatikan siapa penulisnya yaa?” Nathan terkekeh kembali.

“Buat apa aku peduli? Aku mau baca tulisannya, bukan mau tahu siapa penulisnya. Kau juga bukannya seharusnya menulis namamu saja di gambarmu ini?” celoteh Yvonne yang membuat Nathan semakin terkekeh.

“Tidak, tidak perlu. Biarkan saja tertulis seperti itu, anggap saja aku sedang menghargai imajinasi penulisnya. Apa kau tahu? Sosok naga itu adalah tokoh penting di novel itu, setara sama tokoh utamanya, nanti kau akan mengerti jika kau sudah selesai membacanya.”

Yvonne mengernyitkan dahinya sembari kembali menatap gambar yang diberikan Nathan.

Tokoh penting?

Begitu kah?

“Nathan, apa menurutmu tidak sebaiknya tanduk naga ini dibuat lurus saja seperti tanduk pegasus, mungkin?”.

“Apa? Kenapa kau ingin begitu? Bukankah memang sudah tertulis itu adalah dua tanduk kokoh bercabang serupa tanduk kijang yang menghiasi bagian atas kepalanya yang bersisik keras, bentuknya berulir dan ujungnya runcing,”

 

“Iya, aku tahu. Tapi aneh.” celetuk Yvonne keras kepala.

“Yvonne, memang makhluk dalam cerita itu diceritakan memiliki bentuk yang aneh dalam imajinasi yang liar, sebab cerita fantasi memang seperti itu,” Nathan menerangkan kembali dengan hati-hati dan merasa canggung sembari menggaruk pelipisnya yang tidak gatal.

“Benar juga, tapi sepertinya akan bagus kalau tanduknya lurus seperti pegasus lalu ujungnya memiliki bola terang, jadi bersinar dalam gelap malam. Latar waktu dalam novel ini kebanyakan malam gelap gulita dan selalu mencekam, dengan tanduk seperti lampu pastinya memudahkan si naga untuk terbang di kegelapan malam yang seperti itu, kasihan sekali ketika di hutan terlarang, naganya bisa tertabrak batang pepohonan tua yang rimbun. Warnanya juga gelap, digambarkan hitam pekat sepekat malam yang mengalami gerhana matahari penuh, dia sangat tidak terlihat, padahal saat kau menggambarnya naga itu punya lekuk tubuh yang mengagumkan, menguarkan aura bengis tapi berkilau,” celetuk Yvonne dengan penuh percaya diri yang membuat Nathan lagi-lagi menahan tawanya.

“Astaga, Yvonne.” batinnya.

Padahal pertama kali melihat Yvonne datang di kafenya, Yvonne terlihat seperti perempuan anggun pada umumnya, berkaki jenjang menggunakan gaun selutut yang terkesan lembut didukung oleh rambut panjang lurusnya yang tergerai indah. Tapi tak disangka Nathan yang awalnya hanya tertarik mendekati karena ini ketiga kalinya Yvonne bertandang dan kelihatan kesulitan membaca novel dalam genggamannya malah mendapat banyak hal yang menarik, setidaknya ia tak habis tergelitik oleh sikap Yvonne yang terlalu lugas.

Ya, novel itu.

Pemicu tekad Nathan untuk mendatangi Yvonne hingga berakhir dengan menawarkan diri secara impulsif untuk membantu Yvonne membacanya hingga tuntas adalah novel dalam genggamannya itu.

“Besok aku datang lagi yaa, terima kasih hari ini sudah membantuku.” pamit Yvonne setelah menyadari sudah waktunya ia harus kembali pulang dan ia harus beristirahat sejenak sebab malamnya ia harus menemui Lucas untuk menceritakan apa yang dia baca hari ini.

Nathan melepas kepergian Yvonne dengan senyuman ramah, melepas dengan tanda tanya yang menggelayuti perasaannya.

Apa tidak apa-apa jika aku bertindak seperti ini?

***

SEBENING CINTA – Bab 7

sebening cinta

2 votes, average: 1.00 out of 1 (2 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Bab 7

Ini waktu yang pas, Guntur membuka bagasi mobil untuk menyimpan barang belanjaan mereka. Bening, melangkahkan kakinya mundur. Driver ojol sudah menelponnya menanyakan dimana ia berada.

1,2,3 lari!!!!!

Guntur terkejut melihat Bening yang melesat jauh, tapi apalah arti wanita itu berlari. Sangat lamban. Bahkan, hanya beberapa menit, Guntur sudah bisa mengejarnya.

Guntur menarik lengan Bening, memeluk perutnya dan mengangkatnya dikarenakan perbedaan tinggi badan yang sangat signifikan.

“Mau ke mana?” tanya Guntur dengan suara rendah, pertanda bahaya.

Bening masih berusaha untuk melepaskan pelukan Guntur, sedangkan ponselnya terus berdering. Guntur merampas ponsel itu dari genggaman Bening.

“Halo Pak, maaf. Sepertinya saya tidak jadi memesan jasanya Bapak. ” Bening terus saja menggeliat, berusaha menghentikan apa yang dilakukan lelaki itu. Guntur terus mengetatkan pelukan mereka. Membuat Bening makin tidak karuan.

“Saya akan bayar kerugian Bapak, saya akan bayar. Mohon maaf ya Pak.” Selesai Guntur berbicara, ia membalikkan tubuh Bening menghadapnya. Guntur menyeringai.

Bening terkesiap melihatnya.

“Ja-ng-an me-la-ri-kan di-ri.” Guntur mengucapkan dengan pelan dan lambat. Selepasnya, Guntur membopong Bening. Bersyukurlah, basement sangat sepi sehingga tidak melihat drama yang dilakukan Bening.

Guntur melempar Bening ke jok mobil dan memasangkan seatbelt.

“Ingat, jangan melarikan diri Bening.” Guntur meninggalkan Bening untuk beralih ke sisi satunya.

Guntur duduk di sisi Bening, menjalankan mobil dalam keadaan senyap.

Setelah sampai, Guntur membukakan pintu mobil. Mempersilahkan Bening.

“Jangan menatapku seperti itu.”

“Terlanjur sudah di RUMAHMU, mari kita berbicara.”

“Baik, tapi bukankah akan mengasyikkan jika kita meminum teh terlebih dahulu.”Bening tertegun, Guntur tahu jika ia tidak menyukai kopi dan minuman manis lainnya. Hanya teh minuman kesukaan Bening.

Guntur mempersilahkan Bening. Sedangkan Bening berusaha untuk mengusir kenangan yang muncul saat ia memasuki rumah ini. Kenangan yang menyakitkan dan menyesakkan. Yang ia lakukan hanyalah mencoba untuk bernafas dengan baik dan menyembunyikan rasa takut dan sengsaranya dengan wajah datar tanpa ekspresi.

Guntur meletakkan teh di hadapannya. Bening hanya menatap lelaki itu, menunggu apa yang akan dilakukan oleh Guntur selanjutnya.

“Cobalah santai sedikit Bening.” Guntur mencoba memecahkan suasana yang tidak mengenakkan.

“Sampai kapan? Sampai kapan kau bersikap egois, Guntur.” Bening berusaha menahan laju air mata yang ingin menyeruak keluar.

“Dulu, kau memanggilku dengan sebutan Kakak, sekarang hanya Guntur. Tidak apa, kalau seperti ini malahan bagus. Seperti suami istri yang sebenarnya.”

Lagi, Bening menatap Guntur lekat. Meringis dan tersenyum pilu.

“Kapan kita seperti suami istri, kapan?” Suara Bening semakin lirih. “Berhenti bersikap egois, Guntur. Sampai kapan?”

Rahang lelaki itu mengetat. Melihat Bening yang semakin terisak, begitu sulitkah untuk ia dan Bening bersatu kembali.

“Kau tahu, kau sangat egois Guntur! Untuk apalagi kita bersama? Untuk apa?! Untuk memuaskan egomu? Atau kau ingin tubuhku lagi, kau ingin memperkosaku lagi?” Bening menarik nafas panjang, “Aku tahu selama ini kau mengancam Kak Monika. Apa salahku, apa salahku Guntur, apa! Aku hanya ingin kita berpisah dengan baik-baik, aku akan pergi dan tidak akan pernah terlihat olehmu lagi.”

“Itu yang tidak ingin kuhendaki, kau! Pergi menghilang dariku. Cukup satu kali saja bulan, cukup! Tidak untuk kedua kali.” Guntur berdiri dari tempat duduknya. “Kau tidak akan kuceraikan -”

“Egoisss! Setelah semuanya terjadi kau masih ingin menyiksaku?! Kehilangan orangtua, harta benda, bahkan bayi tidak membuatmu merasa kasihan kepadaku?” Bening berlutut, bersujud di kaki Guntur. “Aku mohon, mohon dengan sangat atas nama ba-”

“Tidak, tidak untuk bersumpah untuk perpisahan kita dengan mengatasnamakan buah hati kita, Bening. Tidak akan kubiarkan kau berucap itu dengan mulutmu.” Guntur membungkuk, wajahnya merah menahan amarah. Tapi, Bening terlanjur buta akan hal itu. Dia hanya ingin melarikan diri dari Guntur, ia hanya ingin pergi, pergi sejauh mungkin.

 

Guntur memandang Bening, yang berlinangan air mata. Tidak, ia tidak sanggup kehilangan Bening lagi. Tidak.

Guntur menangkupkan tangannya ke wajah bulan, melindungi, menghapus air mata yang terus keluar. Menyatukan dahi mereka seperti saat kehilangan buah hati mereka.

“Aku tidak sanggup untuk berjauhan denganmu lagi, Bening. Tidak…. Dadaku rasanya sesak, sulit bernafas saat tidak bisa menghirup aromamu.” Bening hanya bisa terisak mendengarnya. Dan merasakan letupan-letupan dahsyat saat Guntur menyatukan bibir mereka, melumatnya pelan. Terpadu air mata, rasa frustasi dan rindu.

“Meski terlambat, aku akan mengucapkannya….” Guntur memandang Bening dengan lembut. “aku mencintaimu. Bening.”

“Aku memang egois terhadap cinta, aku baru menyadari saat kau jauh. Tidak, tidak untuk kedua kalinya. Kumohon, ini sangat menyiksa. Melihatmu menangis sembari memegang kertas laknat itu membuatku takut sekujur tubuh, Bening.” Guntur tercekat mengungkapkan perasaannya.

Bening mendengar pengakuan itu semakin menangis menjadi jadi, Guntur mencintainya, mencintainya bahkan menyatakan cinta kepadanya. Menurunkan gengsinya setinggi langit hanya untuk Bening tidak pergi. Tapi, rasanya sangat sulit untuk bersama lagi bersama Guntur. Terlalu banyak yang ia pikirkan. Ketakutannya yang tak berujung sungguh sulit dihindari.

Guntur terdiam, hanya isak tangis Bening yang terdengar. “Kalau itu yang kau inginkan, minggu depan akan ada pengacaraku yang menghubungi … pengacaramu. Pak Ibnu akan mengantarmu pulang.” Suaranya tercekat, Guntur memalingkan wajahnya, beranjak dari ruang tamu. Masuk mendekam ke kamar. Tempat satu-satunya aman untuk mencurahkan segala kesedihannya. Tidak salah jika Bening ingin berpisah darinya, menilik sikap kurang ajarnya selama ini. Ia tidak mampu mempertahankan apa yang ingin ia pertahankan saat Bening bersujud di kakinya bahkan menangis terisak. Dadanya rasa sakit, sesak. Nafasnya benar-benar tercekat.

 

Bening memandang foto usg bayinya. Bahkan, saat Guntur melepaskan kenapa ia tidak merasa lega? Apakah ini benar-benar keputusan yang terbaik bagi dirinya?

Ia selalu berpendapat bahwa Guntur adalah lelaki egois, padahal sebenarnya ia yang egois dalam cerita ini.  Bening baru menyadari, Guntur menangis saat menyetujui perpisahan ini. Guntur tidak kasihan padanya, Guntur mencintai Bening sesuai apa yang ia katakan. Ya Tuhan, kenapa ia baru sadar sekarang.

Guntur benar-benar mencintainya, bukan karna kasihan, bukan karna bayinya, dan bukan karna kebenaran dibalik kecelakaan Tiara.

Ia tertegun sesaat, Bening keluar dari kamarnya. Ia harus ke suatu tempat.

Bening masuk ke taksi yang sudah ia pesan melalui aplikasi. Ia mengigit kuku tanda resah.

Sesampainya di alamat yang ia tuju, Bening membeli beberapa bunga. Ia terus berjalan.

Tidak disangka, Guntur ada di sini. Mengunjungi makan anak mereka, menangis. Tidak kuasa Bening menahan air mata. Ayah dari anak yang ia kandung, bahkan tidak sempat untuk dilahirkan.

Guntur selesai, lelaki itu sama terkejutnya saat bertemu dengan Bening. Ia bahkan tidak tahu harus menyapa bagaimana.

Bening mendekat ke arah Guntur, tiba-tiba memeluk erat tubuh lelaki itu. Membuat Guntur terperanjat. Tidak mengantisipasi apa yang dilakukan oleh Bening. Ia mengelus lembut rambut panjang Bening.

“Maafkan aku, maafkan semua sikap egoisku. Aku hanya tidak menyangka, jika kau mencintaiku juga, Kak.” Panggilan itu, sudah lama Guntur tidak mendengarnya. Ia tersenyum, memeluk erat tubuh Bening, melesakkan ke dalam dada hangatnya.

“Jangan pernah begitu lagi, Bening. Aku tidak sanggup.” Suara Guntur bergetar. “Terimakasih, terimakasih.”

Bening mengurai pelukan mereka. “Mari kita mulai dari awal, awal yang baru.”

“Awal yang baru. Sedih dan senang, berdua.” Guntur mencium lembut kening Bening.

“Nak, ini Ibu dan Ayah. Apa kabar?” Tanya Bening, “Ibu bawa bunga yang wangi sekali, untuk merayakan kita, kamu, Ibu dan Ayah.” Guntur kembali memeluk Bening, mengucapkan janji di depan makan anak mereka. Tidak ada lagi perpisahan, mereka akan selalu berdua sampai maut memisahkan mereka.

-TAMAT-

 

Halooo, untuk melihat cerita yang lebih banyak lagi, silahkan mampir ke wattpad aku ya, alderaminChepeus. Bye-bye sampai bertemu dicerita selanjutnya….

KONTEN PREMIUM PSA


 

Semua E-book bisa dibaca OFFLINE via Google Playbook juga memiliki tambahan parts bonus khusus yang tidak diterbitkan di web. Support web dan Authors PSA dengan membeli E-book resmi hanya di Google Play. Silakan tap/klik cover E-book di bawah ini.

Download dan install PSA App terbaru di Google PlayWelcome To PSAFolow instagram PSA di @projectsairaakira

Baca Novel Bagus Gratis Sampai Tamat – Project Sairaakira

SEBENING CINTA – Bab 6

sebening cinta

2 votes, average: 1.00 out of 1 (2 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Bab 6

Bening mengetuk pintu rumah itu pelan. Melangkahkan kakinya kembali.

“Halo, Bi Surti.”

“Non Bening! Ya ampun non, kenapa kurusan sekali. Non baik-baik aja kan yah?”

Bening tertawa mendengarnya. “Bening baik-baik saja kok Bi, sekarang lagi diet biar kayak artis korea.”

“Ah Non bisa aja. Eh ayo masuk-masuk hehehe. Mau minum apa Non?”

“Enggak Bi, aku mau ke ruang kerja Kak Guntur aja. Ada berkas yang ketinggalan.” Bening masuk ke ruang kerja Guntur dan mencari dimana surat nikah beserta kartu keluarga yang Guntur simpan.

Berkas-berkas seperti itu yang dibutuhkan untuk mengajukan gugatan. Bening mengambil foto dari beberapa berkas tersebut. Untuk meminimalisir keheranan Guntur akibat berkas-berkasnya hilang.

Bening bergerak cepat, membuka laci, mengeluarkan berkas-berkas yang ia butuhkan untuk menggugat Guntur. Tidak luput Bening dengan tanda tangan Guntur, ia percaya Guntur pasti tidak ingin menandatangani surat perceraian mereka. Bening akan memanipulasi tanda tangan Guntur. Semuanya, Bening sudah memikirkan semuanya.

“Tidak kusangka, ada penyusup kecil di ruangan kerjaku.”

Brak….

Ponsel Bening terjatuh, ia menengadah. Guntur berdiri gagah dihadapannya. Berlutut, mensejajarkan tinggi badannya.

Bening tiba-tiba merasa mulas. Kenapa Guntur sudah pulang, padahal masih jam dua siang. Ia sangat ketakutan sekarang.

“Tidak baik menyelinap di ruang kerja seseorang.” Bening tetap diam, ia tidak berani bergerak seinci pun.

Guntur merapikan semua berkas yang sudah berhamburan di lantai. Melihat Guntur yang sibuk menyusun semua berkas, Bening berdiri untuk melarikan diri dari hadapan Guntur. Sebelum mencapai pintu, tangannya sudah digenggam Guntur erat.

“Ingin melarikan diri, Bening?” Guntur menghimpit Bening, mengurungnya dengan kedua lengan kekarnya tanpa ada celah sedikitpun. Bening menggenggam ponsel seakan itu adalah pegangannya atas jurang antara Guntur. Menjatuhkan ke dalam pusaran yang sulit untuk keluar. Bening tidak berani untuk menatap mata kelam itu, tatapan yang diberikan Guntur membuat Bening sulit untuk bernafas dengan benar.

Lengan kekar yang mengelilinginya mengingatkan Bening pada malam itu, malam di saat ia kehilangan mahkota yang telah ia jaga. Ingatan itu terus berputar, selayaknya kaset tua rusak. Keinginan Bening untuk menjauh dari pusaran sangat kuat, tapi dinding menghalangi apa yang ada dipikirannya.

“Apa yang kau cari?” Tanya Guntur mendekatkan wajahnya ke arah Bening yang menunduk. Bening semakin terdesak. Dengan sisa keberanian, Bening menatap mata kelam Guntur. Seakan memberitahukan Guntur jika ia tidak lemah seperti yang dulu. Ia akan berusaha sekuat tenaga untuk melawan Guntur. Ia tidak ingin dikasihani. Tidak sebagai ibu yang gagal menjaga benih dari pria ini.

“Tentu saja berkas untuk perceraian kita, Guntur.” Bening menyeringai, menutupi rasa gugup yang menggerogotinya hingga ke tulang. Tanpa Guntur sadari, tangan Bening mengeluarkan keringat dingin. Ia harus menyembunyikan semua hal yang membuat Guntur sadar, bahwa sebenarnya ia hanyalah gadis rapuh yang masih mencintainya dengan sepenuh hati. Menahan sakit, untuk terbebas dari belenggu cinta yang membuatnya semakin bodoh. Bahkan, mengorbankan bayi yang bahkan tidak bisa terlahir ke dunia karena kebodohannya.

Guntur terkejut dengan jawaban Bening, bagaimana wanita ini dengan beraninya menatap matanya langsung bahkan memanggil namanya tanpa embel-embel ‘Kak’ seperti biasanya. Rahangnya mengetat, wanita yang dulunya selalu menurut sekarang bisa seberani ini, adalah pencapaian luar biasa untuk Bening.

“Menurutmu, apakah kita akan bercerai?” Pancing Guntur.

“Tentu saja, aku yang akan menggugat. Tenang saja.” Guntur tertawa, terbahak-bahak mendengar pernyataan dari Bening.

Sedangkan Bening, memperhatikan lengkungan bibir itu. Guntur tidak pernah tertawa tulus lagi saat bersamanya. Hanya ada tertawa palsu yang dimaksudkan untuk menekan Bening, membuat Bening takut.

“Menurutmu, kau mempunyai uang untuk membayar pengacara Bening? Aku tidak akan membuatnya menjadi mudah. Ingat, perusahaan Monika membutuhkan bantuanku. Atau…” Guntur semakin mendekatkan wajahnya ke arah Bening, sedikit lagi bibir mereka akan bersentuhan.

Bening menahan nafas saat aroma mint tercium dengan sangat jelas.

“Atau aku hancurkan perusahaan Monika sampai tidak bersisa. Aku hancurkan semua orang yang membantumu, sehingga tidak ada jalan lain selain berpulang pada pelukanku. Ingat itu Bening.” Ancaman Guntur membuat Bening terdiam mematung.

Guntur mengambil ponsel Bening, menghapus semua foto berkas yang sudah Bening himpun. Tidak bersisa, semua usahanya tidak bersisa.

Guntur mengembalikan ponsel milik Bening dan kembali menghilang dari balik pintu.

Bening menghembuskan nafas keras. Bersandar pada dinding, tubuhnya sangat lemas. Tanpa terasa, air matanya jatuh.

“Maafkan Mama Nak, maafkan Mama.” Isak Bening.

 

Bening terdiam, kejadian di rumah Guntur membuatnya berpikir. Entah apa yang diinginkan oleh Guntur, ia hanyalah ingin menjauh dari pria itu. Ia tidak akan lagi menempel pada Guntur seperti yang ia lakukan saat dulu. Ia hanya ingin memulai kehidupan yang baru, kehidupan tanpa adanya Guntur.

Suara pintu kamarnya mengagetkan Bening dari lamunannya. Monika berjalan perlahan.

“Persediaan makanan sudah habis, berbelanjalah.” Monika memberikan kartu kepada Bening, sedangkan Bening hanyalah menatap lekat.

“Carilah kesibukan untuk mengobati lukamu, tidak ada gunanya berdiam diri dan merenung. Waktu tidak bisa diputar. Carilah kegiatan yang membuatmu bahagia.” Sekarang ia tahu maksud dari Monika. Peralihan rasa sakit yang ia tanggung.

Air matanya menggenang, rasanya sakit sekali mengingat bagaimana rasa cintanya terhadap Guntur. Saat Guntur membuatnya menangis, saat Guntur tidak memperdulikan, sampai ia menyerah dan akhirnya kehilangan bayi yang ia kandung. Rasanya, semua yang ia miliki sengaja dirampas darinya. Tidak ada satu pun yang tersisa.

Bening hanya ingin melarikan diri, tapi apalah arti melarikan diri. Permasalahan tidak akan selesai.

Bening mengambil kartu itu. Menggenggamnya, sepertinya berbelanja akan sedikit mengalihkan rasa sakit yang ia rasakan.

“Apakah Guntur  mengancammu, Kak?” Tanya Bening, ia mengalihkan pandangannya. Melihat perubahan gerak tubuh Monika.

“Tenang saja, bisa teratasi kok. Berbelanjalah.” Bening memandang lekat Monika dengan raut wajah putus asa.

“Aku terlalu nyusahin ya Kak? Terlalu membuatmu sulit ya?” Ia meringis, menggenggam kartu dan memainkannya untuk menutupi rasa sesaknya.

Monika terdiam, menatap Bening yang menunduk. Ia hanya bisa terdiam, tidak tahu harus mengatakan apa lagi.

“Guntur mengancam ‘kan?”

“Bening, kau tidak perlu risau. Fokus pada pemulihanmu saja.” Bening mengangkat wajahnya, dan memaksa wajahnya untuk tersenyum. Meski terlihat aneh, ia memaksakan diri.

Monika tersenyum dan membalikkan badan. Menghilang dari balik pintu.

Bening menghela nafas, beranjak dari tempat tidur. Sepertinya tidak buruk untuk berbelanja.

Bening mengelilingi etalase, memilih apa yang ia butuhkan. Saat memilih saus, ada tangan lain yang meraih botol saus yang ia pilih.

“Ini cukup bagus.” Guntur mengambil troli belanja Bening, bukan mengambil lebih ke merampas.

“Kau!”

“Apa? Mari belanja, mau apa lagi. Buah?”

“Kau membuntutiku ya!”

“Kalau aku jawab iya, bagaimana? Ada masalah?” Bening mau tidak mau mengikuti langkah kaki Guntur, ia tidak habis pikir Guntur membuntutinya sampai sebegininya. Saat Guntur memilih-milah apel, tidak sengaja Bening menatap lekat buah strawberry yang ada di dekatnya.

“Mau strawberry?” Tanya Guntur. Bening menyentuhnya dengan lembut.

“Dulu, aku pernah ngidam strawberry saat di desa, tapi saat itu cukup sulit mendapatkan buah ini.” Guntur terdiam, menatap Bening. Menggenggam tangannya, yang membuat Bening terkejut akan perlakuan Guntur.

“Baiklah, kita ambil tiga bungkus.”

“Tapi sekarang aku tidak ingin buah strawberry.”

“Tiba-tiba aku jadi ingin, sudah lama rasanya tidak memakan buah ini.” Bukan sudah lama, tapi Guntur tidak menyukai strawberry. Bahkan, saat menikah Bening tidak pernah membeli buah ini. Guntur lebih sudah buah pisang atau apel yang ada di genggamannya tadi.

“Tapi, bukankah ini terlalu banyak?” Gumam Bening.

“Tidak, ayo kita lanjutkan belanjanya. Sepertinya belanja kebutuhan dapur sudah selesai, ayo kita berbelanja pakaian.”

“Tapi, aku tidak membutuhkannya.”

“Apa aku tadi bertanya pendapatmu?”

“Karna kau tidak pernah bertanya pendapatku, lebih baik kau saja yang berbelanja pakaian. Sehabis ini aku akan pulang.” Bening merebut troli dan bergegas untuk membayar ke kasir. Apa-apaan ia, memaksanya untuk mengikuti sepanjang hari. Bening tidak sudi. Lebih tepatnya ia tidak bisa menciptakan kenangan yang begitu intim bersama Guntur. Tidak, sudah cukup. Ia takut tidak bisa membendung rasanya lebih dari ini. Dasar wanita bodoh. Sudah disakiti berkali-kali tapi tetap saja mencintai sebegitunya.

Bening mengeluarkan kartu yang diberikan oleh Monika.

“Pakai yang ini saja Mbak.” Bening menatap Guntur dengan tatapan bertanya, apa maksud dari lelaki ini.

“Aku harus menafkahi istriku, bukan? Jangan berdebat.” Membuat Bening tidak bisa mengeluarkan kalimat yang sudah ingin ia keluarkan sejak tadi. Lebih baik ia memilih diam daripada berdebat dan dilihat oleh banyak orang, itu cukup memalukan.

Setelah menyimpan belanjaannya, Guntur menarik Bening untuk berjalan beriringan.

Mereka bergerak ke arah toko pakaian. Entah apa yang ingin dilakukan oleh Guntur, Bening hanya mengikuti langkah kaki lelaki itu saja. Berdebat pun rasanya percuma, lelaki keras kepala.

Pramuniaga mendekat mendatangi mereka, sesuai dengan SOP yang sudah ada.

“Ada yang bisa saya bantu, Pak?”

“Carikan pakaian yang cocok dengan istri saya ya Mbak, kalau bisa cari yang model gaun sederhana ya, saya suka melihat istri saya memakai gaun.” Guntur memandang ke arah Bening, sedangkan wanita itu hanya mengernyitkan dahi. Kenapa lelaki ini menjadi selembut dan semanis ini? Kemana Guntur yang selalu membentaknya dan selalu memandangnya rendah, bukan pandangan penuh kelembutan seperti sekarang.

“Ah… Ternyata Bapak pasangan yang romantis juga, mari Bu. Kita akan lihat-lihat baju yang cocok dengan Ibu.” Layaknya robot, Bening mengikuti saja semoga segalanya cepat selesai dan ia bisa beristirahat dengan tenang di kamarnya dengan tentram.

Guntur menyaksikan Bening membuntuti pramuniaga, hatinya merasa menghangat. Saat ini, mereka berdua layaknya sepasang suami istri pada umumnya. Bening menekuk wajahnya, wajah yang sangat imut. Sepertinya Guntur benar-benar telah masuk ke jurang pesona Bening. Selalu saja, ada hal baru yang ada pada Bening yang membuat ia jatuh cinta. Bukan, ia jatuh cinta dengan Bening bersama semua sifat dan tingkah imutnya.

Entah apa yang akan Guntur lakukan jika ia berpisah dari Bening, tidak ia tidak sanggup untuk membayangkannya. Penyesalan selalu menghantuinya sepanjang malam, tidak pernah sekalipun ia melewati malam tanpa mimpi buruk lalu terbangun di tengah malam.

Ketakutan, rasa bersalah, penyesalan menjalar di tubuh Guntur. Tidak, ia tidak bisa melepaskan Bening. Ia tidak sanggup.

Tanpa sadar arah mata Guntur mengarah ke manekin ada tiga pasang baju couple ayah, ibu dan anak yang sangat lucu. Guntur menyentuhnya dan membayangkan betapa cocoknya jika ia dan Bening memakai baju ini bersama anaknya kelak. Tanpa sadar ia tersenyum.

“Mbak, saya beli yang ini juga ya.” Ia memanggil pramuniaga yang lain.

“Baik Pak.” Setelahnya, Bening mendekat ke arahnya dengan wajahnya yang kuyu.

“Capek?” Pertanyaan seperti apa yang diajukan oleh Guntur, tentu saja ia sangat kelelahan sekarang.

“Bisa dilihat secara jelas melalui wajahku.”

“Tentu saja.” Lalu, kenapa bertanya jika sudah tahu.

Guntur, mendekat ke arah Bening mengelus kepalanya dengan sayang. “Mari kita istirahat setelah ini.”

“Tidak, antar aku pulang!” Bening mengikuti Guntur saat membayar di kasir dan ia terkejut dengan nominal yang dikeluarkan Guntur untuk membeli pakaiannya. Meskipun ia juga orang berada, ia tidak pernah berbelanja semahal yang dilakukan oleh Guntur.

“Dari wajahku sudah terlihat jelas, bukan?” Tidak, ia tidak akan diantar ke rumah Monika melihat isyarat dari Guntur. Bening harus melarikan diri, wanita itu mengecek apakah ia bisa memesan ojek online. Sepertinya itu ide yang bagus sekarang. Karena ia adalah spesialis untuk melarikan diri, khususnya melarikan diri dari Guntur dan segala yang berkaitan dengan lelaki itu.

Bening tetap mempertahankan wajah kuyu dan datarnya. Berharap Guntur tidak menyadari ada yang aneh padanya.

Guntur menahan tawanya dengan menutupi mulutnya dengan tangan, melihat Bening mencuri-curi pandang ke arahnya. Bagaimana ia tidak gemas sekarang, bisakah ia menculik istrinya ini dan menghabiskan waktu bersama.

KONTEN PREMIUM PSA


 

Semua E-book bisa dibaca OFFLINE via Google Playbook juga memiliki tambahan parts bonus khusus yang tidak diterbitkan di web. Support web dan Authors PSA dengan membeli E-book resmi hanya di Google Play. Silakan tap/klik cover E-book di bawah ini.

Download dan install PSA App terbaru di Google PlayWelcome To PSAFolow instagram PSA di @projectsairaakira

Baca Novel Bagus Gratis Sampai Tamat – Project Sairaakira