Only You

Only You – Chapter 30

Bookmark
Please login to bookmarkClose

No account yet? Register

1 vote, average: 1.00 out of 1 (1 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

1

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Pukul 6 pagi, Alex telah menunggu Nina ditempat biasanya. Karena cafe cinta menyediakan sarapan, para pegawai harus datang sebelum jam 7 untuk menyiapkan semuanya. Nina pun selalu berangkat lebih awal agar tidak terlambat. Dia harus bekerja ekstra karena banyaknya pelanggan yang membeli kopi di pagi hari.

Semalam, dia menawarkan untuk menjemputnya dan Nina setuju. Sepanjang perjalanan, mereka berdua bernostalgia mengenang masa lalu. Nina bersemangat menceritakan pengalamannya bekerja di cafe dan Alex dengan setia menjadi pendengar yang baik. Baginya melihat Nina tersenyum sudah lebih dari cukup untuknya.

Tidak lama kemudian Nina muncul dengan wajah segarnya. Seragam hitam yang memperlihatkan lekuk pinggangnya terlihat sangat pas ditubuhnya. Alex mengernyit tidak suka. Seharusnya seragam bekerjanya lebih rapi dan tidak memperlihatkan keindahan tubuhnya pada orang lain. Setelah ini, Alex akan mencari Anggi dan berbicara padanya untuk mengganti seragam Nina.

“Menunggu lama?” tanya Nina seraya mengenakan seatbelt. Dia kemudian melepaskan ikatan rambutnya dan menyisir dengan jemarinya.

Alex meneguk air liurnya ketika memperhatikan Nina merapikan rambutnya. Aromanya yang tidak berubah membuat imajinasinya kembali liar. Dia lalu mengalihkan pikirannya dengan melajukan mobil menuju jalan raya. “Tidak. Bagaimana tidurmu?”

“Sangat nyenyak.” Nina memandangi wajah Alex dan mengelus wajahnya yang telah dicukur rapi. “Kalau seperti ini kau kelihatan tampan.”

Alex menikmati sentuhan yang Nina berikan padanya. Rasanya dia ingin memejamkan mata dan menenggelamkan wajahnya pada tubuh Nina, menikmati setiap aroma dan kehangatan yang terpancar darinya.

“Tapi selera bajumu tetap tidak berubah ya,” lanjut Nina sambil menunjuk setelan jas hitam yang dikenakan Alex.

Ada rasa kecewa ketika Nina berhenti mengelusnya. Tetapi dengan ahli Alex menyembunyikannya dengan wajah tersenyumnya. “Kau yang berubah. Kau menjadi lebih cantik dan dewasa dari sebelumnya.”

Pujian Alex membuat Nina merasa senang. Diraihnya lengan kiri Alex dan meletakkannya di pipinya. Tangan Alex masih sebesar dan sehangat yang di ingatnya. Tiba-tiba Nina merasakan pelukan disekitar perutnya. Dia menoleh dan menemukan Alex yang menatapnya penuh kerinduan.

“Nina.” Alex mendekatkan wajahnya untuk meraih bibir Nina. Dia sudah tidak dapat menahan keinginannya untuk mencium Nina. Sudah lama Alex ingin mencicipi bagaiman rasanya bibir ranum itu. Ciuman perpisahan di sudut bibirnya masih teringat dengan jelas. Namun itu masih belum cukup. Alex ingin merasakan, bagaimana lembut dan manisnya bibir Nina yang begitu menggoda.

Ketika Alex hampir melakukannya, rambu telah berganti bewarna hijau. Bunyi klakson mobil langsung menyadarkannya dan membuatnya menjauh dari Nina. Alex lalu menjalankan mobilnya dan mengumpat pelan karena waktu yang tidak tepat.

Ditempatnya Nina terkekeh geli. Dia lalu mengalihkan padangannya ke jalan untuk menutupi rasa malunya. “Jangan terburu-buru. Kurasa kita harus mengulang semuanya lagi dari awal, seperti sebelumnya.”

Alex langsung menoleh ke arah Nina dan membuatnya panik. Pasalnya mereka masih berada di jalan raya dan tidak berhenti. Nina lalu menyuruh Alex memusatkan pikirannya pada jalanan dan mengomelinya. “Hati-hati mengemudi! Kau ini, kita masih dijalanan! Bagaimana kalau terjadi sesuatu?”

Melihat Nina cemas, Alex jadi merasa bersalah. Nina pasti mengkhawatirkan keselamatannya sedangkan dia terlalu buta dengan perasaannya. Alex mengetatkan rahangnya dan berkata pada dirinya sendiri untuk lebih berhati-hati. Sejenak, sebuah ide terlintas dibenaknya untuk membuat Nina kembali ceria. Alex tersenyum kemudian melirik ke arah Nina sejenak. “Apa aku boleh meminta nomormu?”

Mendengar pertanyaannya, Nina menjadi teringat saat pertama kali Alex meminta nomornya. Saat itu, menurutnya Alex sangat menyebalkan dan berani meminta nomornya. Padahal mereka baru bertemu dua kali dan Alex selalu mengekorinya kemana-mana. Jika dipikir-pikir lagi, Alex seperti anak ayam yang selalu mengikuti induknya.

Nina terkikik dengan pemikirannya lalu mengeluarkan kertas dan merobeknya menjadi lembaran kecil. Setelahnya, Nina menuliskan sesuatu dan menyelipkannya pada kantong jas Alex. “Nah, hubungi aku nanti ya tapi jangan terlalu sering. Kau tahu aku sibuk kan.”

Sebelum Nina menarik tangannya, Alex lebih dulu menahannya dan memberikan ciuman disana. “Terima kasih dan ini untuk yang tadi.”

Pipi Nina kembali bersemu merah dan menyandarkannya bahu kokoh Alex. Alex tidak merasa kesusahan, melainkan dia merasa bahagia karena Nina mau bergantung padanya. Ketika sudah sampai, Nina mengajaknya turun untuk menikmati sarapan bersama.

Tentu saja Alex menyetujuinya. Tetapi ketika Nina memberi peringatan untuk tidak bersikap mesra, semangatnya kembali turun. Nina menjelaskan kalau dia tidak ingin menimbulkan gosip karena dekat dengan dirinya dan tidak ingin adiknya mengetahuinya.

Alex lalu teringat dengan email yang dikirim detektif swasta kepadanya. Hanya dalam semalam, dia sudah mendapatkan informasi yang dibutuhkannya. Alex mengira kalau detektif itu handal karena bisa mengumpulkan semuanya dalam waktu dekat. Rupanya Anna yang lebih dulu memintanya mencari semua tentang Nina dan tinggal menyerahkan padanya.

Alex menggeleng melihat Anna yang selalu mempersiapkan segalanya lebih dulu. Dia yakin jika Nina bertemu dengannya, keduanya pasti akan cocok. Tiba-tiba saja, Alex berpikir untuk membawa Nina ke New York. Sebuah seringaian terbentuk diwajahnya tanpa diketahui Nina. Dia akan mewujudkan keinginannya itu, tetapi pertama-tama dia harus bisa menaklukan pemilik kecil itu, Anggi.

***

Diruangannya, Anggi duduk dengan wajah masam melihat Alex yang berada dihadapannya. Alex tampak begitu tinggi dan membuatnya terlihat semakin kecil. Auranya sebagai pemimpin tidak bisa dibohongi. Anggi semakin merasa kesal ketika melihatnya duduk begitu sempurna layaknya seorang penguasa di zaman dulu.

Setelah selesai membantu melayani pelanggan yang sarapan, Alex tiba-tiba meminta untuk berbicara dengannya secara pribadi. Anggi bisa-bisa saja membentak atau mengusirnya. Tetapi mengingat setiap kelakuannya yang akan dilaporkan kepada om Suryo, Anggi mengurungkan niatnya.

“Jadi ada apa? Kalau kau meminta nomor Nina, satu jawabanku, jangan harap!” ucapnya ketus.

Alex masih duduk dengan wajah tenangnya menunggu kedatangan seseorang. Ketika terdengar ketukan pintu, senyum kemenangan langsung tercetak diwajahnya.

“Ngapain senyum-senyum! Dasar gila!” Anggi lalu turun dari kursinya dan membuka pintunya dengan kasar. “Siapa si-” Mata Anggi membulat ketika melihat sosok pamannya yang berdiri dihadapannya.

Suryo berbalik melotot melihat keponakannya dan tersenyum sambil menyambut jabat tangan Alex. “Lama tak berjumpa, tuan.” Suryo lalu berbalik menatap Anggi dan memintanya untuk mengartikannya.

“Panggil saja Alex. Saya bisa berbahasa indonesia jadi tidak perlu menyuruh Anggi untuk mengartikannya.”

Ekspresi Suryo sama dengan Nina dan Anggi saat mendengarnya berbicara bahasa indonesia. Dia terlihat kaget dan tidak menyangka kalau dia bisa berbahasa indonesia. Setelahnya Suryo kembali tersenyum dan mengajak Alex duduk.

“Om kenapa kesini? Anggi kan gak nyuruh om datang,” celetuk Anggi saat melihat Suryo duduk dengan santainya seolah-olah ruangan ini miliknya.

“Gi, mana sopan santun kamu? Kamu masih ingatkan sama janji kamu. Kalau kamu gak sopan, om akan tarik Nina lagi untuk bekerja sama om,” peringat Suryo.

“Hmph! Betamart udah tutup karena kontrak sewanya juga udah habis. Dipikir-pikir lagi, ngapain Anggi takut. Toh om kan sekarang berkebun. Memangnya om mau suruh Nina ikut berkebun? Terus om jangan lupa, Anggi juga udah bantu om nampung karyawan bekas betamart,” balas Anggi untuk mematahkan perjajiannya. Tidak lama setelah Nina pindah, kontrak sewa dengan betamart sudah habis. Saat itu, terpaksa seluruh karyawan yang masih ingin bekerja dipindah ke cafe Anggi.

“Anggi! Mulut kamu itu ya! Apa kamu tidak bisa menghargai orang-orang yang ingin bekerja?!” Suryo meninggikan suaranya hingga membuat Anggi takut.

Anggi menundukkan kepala menyadari kesalahannya. Ucapannya tadi terlalu kasar. Sebenarnya dia sangat senang menampung semua karyawan betamart. Saat itu, dia tidak menyangka jika cafenya akan laku keras. Anggi dan Nina kewalahan menghadapi pelanggan yang datang. Untungnya saat itu sewa dengan betamart sudah selesai dan Suryo datang untuk menawarkan pegawai yang ingin bekerja. Dengan senang hati, Anggi menerima mereka dan bisnisnya berlangsung dengan lancar.

“Maaf om. Anggi tahu Anggi salah. Anggi gak akan ulangi lagi,” ucapnya sungguh-sungguh.

“Om maafkan. Ingat Gi, hargai orang lain. Nah, sekarang kamu dengarkan permintaan Alex. Ini soal Nina.”

“Hah? Nina kenapa?” wajah Anggi langsung berubah cemas menatap dua pria dihadapannya bergantian.

“Nina tidak apa-apa. Jangan khawtir,” ucap Alex. “Anggi, berapa gaji Nina per bulan?”

Anggi lalu menyipitkan matanya dan kembali memandang Alex tidak suka. “Buat apa, hah? Kamu mau ngasih gaji Nina lebih tinggi?”

“Anggi,” tegur Suryo. Dia hanya menggeleng-geleng melihat kelakuan keponakannya yang kasar.

Alex tersenyum lalu mengeluarkan selembar cek dan menyerahkannya pada Anggi. Mata Anggi langsung melotot dan melompat dari tempatnya. “What?! 100 juta? Kau pikir Nina barang? Dasar bule sialan!”

Kali ini Anggi tidak bisa menahan kekesalannya dan melemparkan cek itu ke tanah. Tangannya bersiap untuk menampar Alex dan menjambak-jambak rambutnya. Dia sudah melihat banyak cara yang dilakukan pelanggannya untuk menarik perhatian Nina tetapi tidak ada yang sepertinya. Alex salah jika mengiranya akan memberikan Nina layaknya sebuah barang.

Alex masih mempertahankan senyumnya dan mengambil cek itu. “Ini untuk gaji Nina. Dia sudah bekerja keras selama 4 tahun terakhir ini. Aku ingin Nina bisa sedikit lebih bersantai dan tidak memikirkan biaya kuliah adiknya,” jelas Alex.

“Kau stalker! Memangnya kau pikir Nina akan menerimanya begitu saja?! Nina tidak bodoh! Dia mengetahui semua pendapatan cafe karena dia yang mengerjakannya. Dia juga tahu jumlah bonus yang kuberikan lebih dari yang seharusnya. Kau pikir Nina akan terima begitu saja jika aku memberinya uang 100 juta?!” Teriakkan Anggi semakin kencang dari sebelumnya. Urat-urat di lehernya bahkan sudah tampak dan bersiap melepaskan pekikkan yang lebih tinggi.

“Kalau begitu jangan biarkan Nina mengerjakan pembukuan bulan ini,” usul Suryo. “Kamu bisa naikkan gaji dan bonusnya. Lalu carilah orang lain untuk mengerjakan pembukuan. Anda tidak keberatan jika uang itu digunakan untuk mencari karyawan lain kan?”tanya Suryo kepada Alex.

“Tidak masalah. Selama bisa meringankan beban Nina, kalian bebas menggunakan uang itu sesukanya. Tetapi aku ingin kalian lebih mengutamakannya,” terang Alex.

Suryo mengangguk mengerti dan menyerahkan cek itu kepada Anggi. “Terima saja Gi. Kamu juga dari dulu pengen kasih Nina lebih kan? Sekarang kamu ada kesempatan itu untuk melakukannya.”

Anggi menatap cek itu bersungut-sungut dan mengambilnya. “Baiklah, untuk Nina.”

“Satu lagi, setiap makan siang aku ingin mengajak Nina keluar,” lanjut Alex.

Wajah Anggi langsung menjadi merah padam. Dia melempar cek itu diwajah Alex dan mendampratnya habis-habisan. “Bule sinting! Dikasih hati minta jantung! Kamu sengaja buat aku marah ya?! Dasar breng-!”

Anggi langsung berhenti ketika mendengar ketukan pintu. Setelahnya pintu terbuka dan memunculkan Nina dari baliknya.

“Nina, ngapain datang?” Suara Anggi langsung berubah manis ketika melihatnya. Dia memberikan tatapan peringatan kepada Alex ketika melihatnya ingin tertawa.

“Tadi ada yang bilang pak Suryo datang. Jadi saya bawakan kue dan kopi sebagai cemilan.” Nina meletakkan tiga potong apple pie dan kopi di meja. Sebelum pergi, Nina menyalami pak Suryo dan bertatapan dengan Alex. Alex mengedipkan sebelah matanya yang dibalas dengan senyuman.

Interaksi singkat mereka tidak lepas dari pengamatan Anggi dan Suryo. Anggi memakan pie nya untuk menambah asupan gula ke otak dan membantunya berpikir. “Nina tidak bisa pergi saat jam istirahat. Cafe ramai dijam segitu,” ucapnya sambil mengunyah makanan.

Kerutan di dahi Alex bertambah memikirkan jalan keluar dari permasalahannya. Wajahnya yang serius, membuat Anggi tahu kalau Alex sangat peduli pada Nina. Setelah menghabiskan pienya, Anggi meminum kopi sambil menyilangkan kakinya.

“Ada solusi lain sih. Ada dua orang yang bisa membuat kopi tapi belum semahir Nina. Aku minta Nina ajari mereka untuk menggantikan tugasnya dan mencari orang lain untuk mengisi kekosongan. Lalu Nina akan beralih ke bagian pembukuan. Aku ngak mau sembarangan orang yang isi posisi itu karena pernah kecolongan.”

Pembukuan mereka yang lama, melakukan penggelapan uang dengan memperbesar biaya mereka. Penggelapan itu diketahui Nina setelah menyadari adanya pembengkakkan biaya. Karena Anggi yang menyuruhnya berbelanja, Nina mengetahui kalau biaya yang dikeluarkan seharusnya tidak sebesar itu. Setelah ditinjau ulang, barulah penggelapan itu terbongkar.

Alex langsung memeluk Anggi hingga membuatnya kaget. Pegangannya pada gelas juga terlepas dan membuat isinya jatuh berserakan. “Nice idea! Dengan menyuruhnya mengerjakan pembukuan, Nina tidak perlu dengan pria lain. Dia juga bisa istirahat tepat waktu dan keluar denganku!”

Setelah pelukan Alex lepas, Anggi merasa pusing karena goncangan yang diterimanya begitu kuat. Dia mengibaskan tangannya saat Alex ingin berterima kasih dan menyuruhnya menjauh.

“Oh ya dan satu lagi. Pakaian Nina -“

Belum sempat Alex menyelesaikan perkataannya, Anggi telah naik pitam. Dia melempar bantal sofa dan pas mengenai wajahnya. “Dasar bule sialan!”

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

4 Komentar

  1. Alex banyak maunya. Beli aja cafenya Anggi sekalian supaya bisa atur jadwal Nina sesukanya. ?

    1. wkwkwk ide bagus, tapi sayangnya Anggi gak mau

  2. Beli…beli alex

  3. Tks y kak udh update.