Only You – Extra Part

5 votes, average: 1.00 out of 1 (5 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

1

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Setelah resepsi panjang nan melelahkan, akhirnya Alex bisa menikmati malam pertamanya dengan Nina sebagai suami istri. Dia mengira setelah semua itu selesai, dia bisa langsung menghabiskan malam dengan istrinya. Nyatanya, Alex masih harus menunggu teman-teman Nina ataupun keluarga yang ingin berbincang-bincang dengannya.

Alex hanya bisa menatap malas pada kumpulan kecil itu. Dia sudah tidak sabar untuk segera menyalurkan hasrat yang sejak tadi ditahannya. Rasanya dia bisa meledak kapan saja kalau perbincangan itu tidak segera berakhir. Alex merasa dia sudah gila. Gila karena mencintai Nina dan sangat menginginkannya.

Nina melirik sejenak kemudian beranjak dengan membawa Lucas. Putranya itu mulai rewel karena lapar dan mengantuk. Seharian menjadi pusat perhatian membuat bayi kecil itu kelelahan. Pujian, cubitan dan ciuman terus membanjirinya dan berhenti ketika Alex menggendong buah hatinya. Sebelum Lucas menangis, Nina membawanya ke kamar dan menyusuinya menjelang tidur.

Alex tentu saja mengikuti mereka dari belakang. Tingkahnya sekarang seperti seorang penguntit yang sedang membuntuti seseorang. Begitu tiba dikamar, Nina meletakkan Lucas di keranjang bayi dan mengganti gaun pengantinya. Gaun yang dikenakan sekarang tidak seperti sebelumnya. Ditengah acara, dia mengganti gaun Ball Gownnya dengan Mermaid Dress agar lebih mudah bergerak.

 Ditengah acara, dia mengganti gaun Ball Gownnya dengan Mermaid Dress agar lebih mudah bergerak

Ide mengganti gaun pengantin berasal dari Anggi. Dia hanya mengatakan secara gamblang kalau pengantin wanita berganti-ganti gaun pengantin untuk menunjukkan kecantikannya. Alex yang mendengarnya menganggap bahwa itu adalah ide yang bagus. Dia ingin semua orang mengetahui betapa cantiknya Nina di hari istimewa itu. Alhasil, Alex menyiapkan puluhan gaun yang akan dikenakan nanti.

Nina tentu saja menolak ide itu. Menurutnya melelahkan harus berganti-ganti pakaian terus-menerus belum lagi dengan riasan yang memakan banyak waktu. Agar tidak terlalu mengecewakan Alex, dia memilih gaun putih itu sebagai pilihannya.

Setelah mengganti pakaiannya dengan gaun tidur satin merah muda, Nina menggendong Lucas dan menyusuinya.

Alex melihat dari samping dengan meneguk ludahnya

Alex melihat dari samping dengan meneguk ludahnya. Nina berpura-pura tidak mengetahuinya dan tidak melepaskan tatapannya dari Lucas. Semenjak Lucas lahir, ada kegiatan baru yang disukai Alex dan itu mirip putranya. Setiap ada kesempatan, Alex pasti akan meminta ASI untuk diminum. Pernah sekali dia kebablasan meminumnya sampai habis. Alhasil, Lucas menangis kelaparan dan diberikan susu formula sebagai pengganti.

Begitu mata Lucas terpejam, Alex menepuk pipi putranya yang ada dalam gendongan Nina. Dia lalu menggendong Lucas dan meletakkannya hati-hati dalam keranjang.

“Tidur yang pulas, nak.” Alex lalu menyelimuti putranya dan menciumnya sekali.

Sekarang, Alex tersenyum lebar. Tidak ada lagi yang mengganggunya dan dia bisa menikmati malam ini. Begitu dia berbalik, raut wajahnya berubah kecewa ketika melihat Nina telah menutup mata dan menyelimuti dirinya.

“Sayang, jangan tidur dulu. Masih ada yang harus kita lakukan.” Alex setengah menggeram saat mengatakannya. Dia juga menekan kata harus untuk memperjelas keinginannya.

Tidak ada jawaban dari Nina dan Alex tersenyum licik. Dia membuka selimut yang menutupi tubuh istrinya dan meraba paha mulus miliknya. Ada pergerakan kecil ketika rabaan itu naik menuju perut dan Alex menggambarkan pola acak dengan jarinya.

Oh, sial! Alex sangat ingin mencumbu Nina sekarang melihat ekspresinya yang menahan geli. Untung dia menyiapkan gaun tidur pendek dan bukan celana. Meskipun Nina sudah berulang kali memintanya untuk membelikannya celana tidur, Alex tidak pernah mengabulkannya.

Sebuah desahan lolos dari mulut Nina ketika Alex memainkan puncak buah dadanya. Dia juga memberikan kecupan pada leher dan menginggalkan tanda-tanda kemerahan. Alex lalu mengubah posisi tidur Nina menjadi telentang. Dielusnya bibir merah Nina lalu meninggalkan ciuman basah disana.

“Hmm, kau benar-benar tertidur ya, Sayang? Tidak apa, karena aku masih bisa menikmati walau matamu terpejam,” ucapnya ketika kelopak mata Nina tampak dipejam kuat.

Alex menjilat bibir bawahnya lalu duduk diatas Nina. Dia kemudian memberikan sebelah lengannya untuk dipangku agar membuat wajah Nina lebih tinggi sebelum menciumnya.

Kali ini ciuman Alex tidak seperti biasanya. Ciumannya begitu panas dan bergairah. Tangannya tidak berhenti meraba dada Nina dan memainkan pinggulnya untuk menyentuh miliknya.

Usahanya berhasil membuat Nina mendesah pelan dan membalas ciumannya. Dengan mata terpejam, Nina melingkarkan kedua lengannya pada leher Alex dan sesekali menjambak rambutnya. Punggungnya melengkung ketika Alex memainkan puncak dadanya dan menghisapnya. Nina langsung membuka mata dan mendorong tubuh Alex menjauh.

“Sekali lagi kau melakukannya, aku tidak akan memberimu jatah sampai berbulan-bulan berikutnya,” ancam Nina.

“Sedikit saja, Sayang. Aku tidak akan menghabiskannya,” pinta Alex dengan wajah memohon.

Nina menggeleng lalu menarik selimut untuk menutupi dadanya. “Tidak. Aku tidak mau kau menghabiskan jatah Lucas!”

Alex menarik rambutnya frustasi lalu membuka semua pakaiannya dan melempar ke sembarang tempat. Dia juga melepas celananya hingga menampakkan miliknya yang besar.

“Kalau begitu, aku ingin bercumbu! Kumohon, setidaknya itu saja atau aku bisa gila!”

Nina sedikit tersentuh karena melihat Alex begitu menderita. Dia juga sama sekali tidak meninggikan suaranya agar tidak membangunkan Lucas.

Alex yang sekarang seperti api yang panas. Ada kalanya dia seperti anak anjing yang memohon untuk diberi makan. Terkadang Nina lucu jika melihat Alex seperti itu dan menasehatinya agar tidak terbakar nafsu. Tetapi sepertinya itu percuma karena sekarang Alex terlihat seperti singa yang siap menyantap makanannya.

“Aku punya syarat.”

“Apapun itu akan kulakan!” Ucapnya mantap.

“Hanya sekali dan kau tidak boleh kasar. Kau harus melakukannya dengan pelan. Kalau nanti Lucas terbangun, kau harus berhenti dan tidak meminta lagi.”

Alex mengerjapkan matanya lalu mendekatkan wajahnya pada Nina. Ditatapnya mata coklat milik istrinya sebelum berhambur memeluknya. “Sure, but this won’t end quick,” seringainya sebelum menyantap istrinya.

***

Malam pertama berakhir dengan baik, tetapi tidak dengan Nina. Alex tidak menepati janjinya untuk melakukan itu sekali. Dia juga bahkan tidak berhenti ketika Lucas menangis dan mengambil kesempatan ketika putranya selesai menyusu.

Nina merasa kesal dan mengantuk akibat kekurangan tidur. Padahal kondisinya sekarang tidak memungkinkan untuk berhubungan. Alex tidak akan membiarkannya begitu saja dalam keadaannya yang sedang dalam puncak. Selama dia mengandung, Alex sudah sangat bersabar hanya saja ketika sedang menyalurkan hasratnya, dia seperti banteng gila.

“Hari ini biar aku saja yang menjaga Lucas. Kau beristirahatlah.” Anna kasihan melihat Nina begitu mengantuk dan hampir menabrak dinding ketika berjalan.

“Tapi nanti Lucas dan tamu-tamu yang lain …” Nina menguap lebar lalu mengucek matanya.

“Tidak perlu khawatir. Aku bisa menangani semuanya dengan baik. Dari pada itu …” Anna memperhatikan sekitarnya sebelum berbisik, “apa perutmu sakit?”

Nina mengangguk sekali lalu balas berbisik. “Ya dan rasanya sedikit perih. Aku ingin menemui dokter Julie tapi Alex pasti tidak akan membiarkanku pergi sendiri dan lagi, semua keluarga ada disini. Mereka pasti akan curiga.”

“Tenang saja, aku akan membantumu. Aku akan memanggil dokter Julie dan mengantarnya diam-diam. Kau hanya perlu menunggu di kamar dan aku akan mengalihkan perhatian mereka semua!” Anna tersenyum bangga dengan rencananya. Mengerjakan beberapa hal sekaligus ataupun sesuatu yang mustahil merupakan suatu kesenangan tersendiri baginya. Ah, andai saja dia sekaya Alex, dia pasti akan mengelilingi dunia dan melakukan hal yang menantang. Tapi sayang, dia hanya seorang Maid dan pekerjaan itu tidak buruk karena Alex memperlakukannya dengan baik.

“Baiklah, untuk kali ini aku berharap padamu. Aku sangat mengantuk dan tidak bisa berpikir jernih. Aku ingin tidur.” Nina menguap lebar dan mengucek matanya berkali-kali. Bisa dilihat kalau dia sangat mengantuk dan bisa tidur kapan saja.

Leave it to me! Sekarang tidur lah dulu. Aku akan membereskan sisanya.”

Nina memberikan senyum tipis sebelum masuk ke kamar. Kelopak matanya sudah berteriak tidak sabar untuk menutup. Kalau menunggu lebih lama lagi, bisa-bisa dia tidur sambil berdiri.

Setelah Nina masuk, Anna mulai memainkan layar handphonenya dan memasang senyum cerah untuk melakukan misinya.

***

“Aw, cucu nenek sangat imut. Ayo panggil Granny.” Elaine tidak berhenti menciumi Lucas dan ikut tertawa setiap kali cucunya mengeluarkan gelak khas bayi. Dia juga memainkan tangan Lucas, mencubiti pipinya dan menggendongnya kesana-kemari. Untungnya, Lucas anak yang berani dan tidak takut sehingga bertemu dengan orang baru ataupun perlakuan extreme tidak akan membuatnya menangis.

Madre, aku tahu Lucas sangat lucu dan tampan tapi jangan sampai seperti itu Madre bermain dengannya.” Begitu Alex ingin merebut putranya, Elaine dengan lincah menghindar dan membuat Lucas tersenyum lebar.

“Lihat, Lucas lebih senang bersamaku. Daripada Madre memberikan Lucas padamu, lebih baik pada Nina.” Elaine lalu melihat sekitarnya dan menyadari kalau Nina tidak ada disana. “Eh, dimana Nina?”

Alex baru menyadari Nina tidak berada di dekatnya. Seingatnya, Randy sedang memani Dian mengambil semua pakaian untuk pindah kemari. Nina sudah berdamai dengan ibunya dan berharap bisa menghabiskan waktu bersama selama di New York. Dia tahu kalau Dian pasti ingin melihat putra mereka setelah menahan diri akibat kesalahannya di masa lalu.

Alex lalu melangkah menuju kamar untuk mencari Nina. Baru memajukannya kakinya, langkahnya terhenti ketika mendengar suara dentingan keras. Buru-buru Alex langsung menuju dapur ketika mencium bau gosong.

“Apa yang terjadi disini?!” Alex membelalakkan mata ketika melihat kondisi dapur yang berantakan. Masakan gosong, air keran yang merembes kemana-mana dan lantai kotor membuat tempat itu seperti gudang daripada dapur. Tidak berselang lama, seseorang yang selalu memakai tempat ini muncul dengan sapu dan pel di tangan.

Alex berjalan mundur ketika menginjak potongan piring pecah. “Apa yang kau lakukan, Anna? Kenapa kau membuat kekacauan seperti ini?”

Well, aku tadi memasak lalu aku mencuci. Saat mencuci ternyata masakannya gosong dan saat ingin mematikan kompor, kakiku tergelincir dan menjatuhkan piring. Jadi aku …”

Stop! Kau sedang bermain-main denganku! Apa yang kau sembunyikan?” tanya Alex penuh selidik. Dia sangat hapal dengan sifat Anna dan tidak mungkin melakukan kesalahan beruntun seperti ini. Anna juga terlihat menghindar dan sengaja mengulur waktu dengan alasan berbelit-belit.

Lucas menoleh ke belakang ketika melihat sosok putih yang mengendap-endap dibelakangnya. Sosok itu meletakkan telunjuk di depan bibirnya dan tersenyum manis, berharap bayi itu mengerti apa maksudnya. Namun, Lucas menganggap itu hal lain. Dia langsung mengeluarkan tawa khas bayi dan melambaikan tangannya kepada sosok itu. Elaine lantas menoleh dan mendapati sesuatu yang menarik perhatian cucunya.

“Dr Julie?” ucap Elaine tidak percaya.

Bagai seorang penguntit yang ketahuan, begitulah wajah dr Julie ketika semua tatapan tertuju padanya. Dia meluruskan punggung yang sebelumnya setengah membungkuk, merapikan jaket putihnya yang telah rapi dan memberikan senyum cerah seolah-olah tidak terjadi apapun.

“Apa yang kau lakukan disini, dr Julie? Setahuku kau tidak ada disini tadi.”

Dr Julie Wood, dokter spesialis kandungan yang direkomendasikan John. Alex tidak mau kejadian dokter sialan yang ingin memperkosa Nina terulang kembali. Dia sengaja mencari dokter perempuan yang akan menangani istri dan anak pertamanya. Selama pemeriksaan, Alex pasti akan selalu menyempatkan waktu untuk menemaninya.

Ditanya seperti itu oleh sang pemilik rumah, dr Julie meneguk ludah sebelum mengeluarkan suara. “Ha ha ha, saya hanya datang untuk melihat pengantin baru. Lagi pula saya juga kangen dengan Lucas dan ingin melihatnya.”

Jawaban singkat seperti itu justru membuat kedua alis Alex bertaut. Sekilas dia melihat pandangan dr Julie yang terarah pada Anna sebelum menjawab. Dia lalu menoleh pada Anna yang mengendikkan bahu dan berekspresi seolah-olah tidak tahu. Alex mencium ada yang tidak beres disini. Kedua wanita itu bersekongkol menyembunyikan sesuatu darinya. Apapun itu, bersangkut paut dengan istrinya.

“Kau mau kemana?” cegat Anna saat melihat Alex melangkah menuju kamar.

“Mencari istriku tercinta. Sudah waktunya Lucas menyusu jadi aku akan memanggilnya,” jawab Alex santai.

“Tidak perlu mencari Nina! Tadi dia sempat memompa ASI untuk Lucas. Dia mengantuk dan sekarang pasti sedang tidur.”

Mengabaikan Anna yang memberikan berbagai alasan, Alex membuka pintu kamar dengan hati-hati dan menemukan pujaan hatinya yang sedang terlelap. Melihat wajah tidur damainya membuat hati Alex ikut merasa tenang.

Pergulatan mereka semalam pasti membuat Nina sangat lelah. Bahkan ketika Alex menepuk ringan wajahnya tidak ada reaksi sama sekali. Semalam, Alex tidak membiarkan semua selesai begitu saja. Dia baru menghentikan kegiatannya ketika hari menjelang pagi dan melihat wajah Nina yang kelelahan. Pandangannya lalu turun pada bibir ranum miliknya.Rasanya Alex ingin mencium bibir merah itu dan membuat Nina mendesah namanya.

Karena tidak ada reaksi, Alex mendekatkan wajahnya pada telinga Nina dan berbisik disana. “Bagun, Sayang. Sudah waktunya Lucas menyusu.”

Nina mengerang singkat namun tidak kunjung membuka matanya. Sebaliknya, dia mengalunkan lengannya pada leher Alex untuk mencari kehangatan dan memeluknya erat.

Mendapat perlakuan seperti itu Alex justru merasa senang. Matanya berkilat penuh gairah melihat Nina yang tertidur pulas. Jika bukan karena semua ada disini, dia pasti akan mencumbu Nina, sekarang juga.

“Tuan Testa, saya tidak menyarankan anda melakukan apa yang anda pikirkan sekarang.” Dokter Julie memberanikan diri untuk membuka suara karena mengetahui kondisi Nina yang tidak memungkinkan.

Alex menoleh dan menaikkan sebelah alisnya saat bertatapan denganya. “Apa maksudmu?”

“Maksud saya, anda harus membiarkan Nyonya Testa beristirahat. Beliau terlihat kelelahan,” jawab dr Julie dengan cengiran di wajahnya.

“Itu bukan urusanmu. Kalau tidak ada urusan lain, kau boleh pergi. Anna, kau bisa membantu Madre untuk menyusui Lucas.” Alex secara terang-terangan mengusir mereka dengan dingin.

Anna dan dr Julie saling berpandangan lalu mengangguk.

“Enak saja kau mengusirku! Kau pikir aku takut denganmu, dasar pria cabul!” seru dr Julie.

“Seharusnya kau yang membantu memberi ASI kepada Lucas, dasar ayah tidak berguna!” sambung Anna.

Seruan mereka berhasil membangunkan Nina. Dia mengucek matanya sekali lalu menatap Alex yang berada disampingnya. “Ada apa?” tanyanya dengan suara serak khas bangun tidur.

“Tidak ada -!”

“Alex ingin minta jatah lagi darimu! Dia sengaja mengusir kami dan ingin membangunkanmu!” potong Anna cepat.

Alex memberikan tatapan maut karena Anna sudah berani memotongnya dan berbicara sembarangan. Maid nya satu ini memang perlu diberi teguran keras, belum lagi dengan dokter Julie yang ikut memarahinya.

“Uhm … Alex, aku tidak bisa melayanimu hingga beberapa bulan kedepan. Kondisiku sedang tidak bagus untuk melakukannya dan bisa membahayakan calon bayi kita.” Menyadari ucapannya, Nina menutup mulutnya dan memandangi Alex.

Alex membatu sejenak setelah mendengar apa yang dikatakan Nina. Pertama, dia tidak langsung percaya dan ingin memastikannya sekali lagi. Namun setelah melihat reaksi Nina dan kedatangan dr Julie, barulah Alex sadar.

“Kau hamil? Sudah berapa lama? Kenapa tidak memberitahuku?” tanyanya bertubi-tubi.

Melihat Alex yang panik dan juga gembira membuat Nina terkikik pelan. Dia menarik tangan kekar suaminya itu dan meletakkannya diatas perut. “Sudah sebulan. Awalnya aku ingin menjadikannya kejutan nanti saat kau berulang tahun tapi sepertinya tidak jadi.”

“Tidak! Ini adalah hadiah terbaik untukku! Terima kasih Nina, terima kasih!” Alex berulang kali menciumi wajah Nina hingga membuatnya geli. Terakhir kali dia sebahagia ini adalah saat Lucas lahir hari pernikahannya dengan Nina.

Sekilas, Alex teringat dengan aksinya semalam. Dia langsung merunduk ke perut Nina dan mengusapnya. “Maafkan Daddy ya nak. Kau baik-baik saja disana kan?”

“Dia baik-baik saja. Dr Julie sudah memeriksaku tadi,” balas Nina.

Alex lalu teringat kalau dr Julie berada disini. Nina pasti sengaja memanggilnya untuk memeriksa keadaan bayinya dan dia bekerja sama dengan Anna demi menutupi hal ini. Agar tidak ketahuan, Anna sengaja membuat kekacauan untuk mengalihkan perhatiannya. Sayangnya insting Alex yang kuat langsung menyadari keanehan dan tidak pernah menduga kalau Nina akan lagi.

“Dr Julie, apa Nina dan bayinya tidak apa-apa? Anda bisa memeriksa mereka lagi untuk memastikan kondisinya,” pinta Alex.

“Tidak perlu. Mereka berdua baik-baik saja. Hanya saja Nyonya Tesla perlu beristirahat dan tidak mengangkat beban berat. Saya juga telah memberitahu Anna apa yang perlu diperhatikan.”

Alex hendak memprotes karena seharusnya dr Julie harus memberitahukannya daripada Anna. Sebelum menyanggahnya, Elaine muncul dari sisi lain dengan senyum yang tidak kalah ceria dari Lucas. Dia lalu melesak masuk dan meletakkan Lucas disampingnya.

“Jadi, Lucas akan memiliki adik? Waw! Semua pasti akan senang mendengarnya!” Elaine bertepuk tangan ria karena akan memiliki cucu lagi. Dia sangat senang karena keluarga mereka akan semakin ramai dan tidak sabar untuk mengabari yang lain.

Lucas yang melihat semua orang tertawa, juga ikut tertawa.

Alex menggendong putra pertamanya itu dan menciumnya sebelum mengelus perut Nina. “Terima kasih, Sayang. Aku mencintaimu.”

“Aku juga dan terima kasih atas semua ini.”

***

Bunyi ketukan sepatu terdengar berirama di depan pintu bersalin. Pemilik suara itu tidak bisa tenang meskipun itu bukan pengalaman pertamanya. Mata abu-abunya tidak bisa lepas dari pintu coklat yang membatasinya dengan pujaan hatinya. Dengan tidak sabar, dia menunggu dokter memanggilnya untuk menemani istrinya.

Sepanjang kursi rumah sakit dipenuhi oleh keluarga yang menunggu kelahiran anak kedua. Mereka antusias dan juga takut secara bersamaan. Bukan tanpa sebab, mereka yang menemani semenjak kelahiran awal mengetahui seberapa sulitnya wanita itu untuk melahirkan.

Ketika pintu terbuka, seorang dokter cantik muncul dari sebaliknya sambil melepaskan masker. Dia melihat ke arah sang suami dan keluarga yang menunggu dengan cemas.

“Mr Testa, anda boleh masuk menemani istri anda. Yang lainnya harus menunggu diluar,” ucap dr Julie.

Tanpa menunggu lama, Alex langsung masuk dan berdiri disamping Nina. Istrinya itu menyambutnya dengan senyum cerah meskipun keringat membasahi dahinya. Alex mengelap dengan ujung lengan bajunya dan memberikan ciuman di dahinya.

“Kau pasti bisa, Sayang. Kau hebat!” ucap Alex memberikan semangat.

“Seharusnya aku yang mengatakannya padamu. Wajahmu bahkan lebih pucat dariku. Tenang saja, aku akan melahirkan Alice dengan selamat.” Alice Testa, nama putri mereka berdua. Begitu mengetahui jenis kelamin anaknya, Nina menamainya dengan Alice.

Alex tidak keberatan dan juga menyukai nama itu yang memiliki arti bangsawan yang mulia. Menurutnya nama apapun yang diberikan Nina pastilah bagus. Dia berharap anak perempuannya nanti memiliki sifat seperti ibunya yang penyayang dan sabar. Lucas pasti senang memiliki saudari perempuan yang cantik.

Nina mencengkram tangan Alex erat ketika mulai merasakan kontraksi yang luar biasa. Dr Julie yang sudah di dalam ruangan, memeriksa bukaan dan memberika aba-aba untuk mengejan.

“Tarik nafas dan dorong!”

Melihat Nina berusaha untuk melahirkan buah hati mereka membuat Alex tidak tahan. Jika bisa, dia ingin menggantikannya merasakan sakit selama persalinan. Walaupun ini kedua kalinya, Alex tetap saja tidak tega melihat Nina kesakitan. Memang dia menginginkan banyak anak tetapi jika Nina harus mengalami rasa sakit seperti ini setiap kali melahirkan, Alex tidak tega.

“Dorong sedikit lagi! Kepalanya sudah terlihat!”

Nina mengejan keras setengah berteriak. Alex yang tidak sanggup melihat hanya bisa menutup mata dan menggenggam tangannya erat. Dia tidak bisa menyaksikan betapa sakitnya Nina melahirkan buah hati mereka. Dia tidak tahu jika wanita begitu kuat menahan semua rasa sakit ketika melahirkan. Setelah ini, dia bersumpah akan memperlakukan Nina dengan baik dan semua pegawai wanita yang bekerja di bawahnya.

Suara tangisan bayi membuatnya membuka mata. Dilihatnya wajah Nina yang kelelahan dengan keringat yang mengucur. Nafasnya putus-putus dan wajahnya tampak letih. Senyum mengembang di wajahnya ketika dr Julie membawa putri pertama mereka.

Dengan hati-hati, Alex menggendong putri pertama mereka dan mengamatinya

Dengan hati-hati, Alex menggendong putri pertama mereka dan mengamatinya. Tanpa sadar, air mata membasahi pipinya. Alice sangat mirip dengan Nina hanya saja dia memiliki mata abu-abu dan hidung mancung miliknya. Ketika dia menjulurkan telunjuknya, Alice menggenggam dan menghisapnya.

“Alice lapar. Tunggu sebentar ya, Mommy akan segera memberikan susu.”

Alex membaringkan Alice hati-hati disamping Nina dan membantunya memberikan ASI. Begitu Alice telah tertidur karena kenyang, dia mencium pipinya sekilas dan membelai kepalanya.

“Dewasa nanti, Alice pasti akan sangat cantik. Aku dan Lucas akan menyayangi dan melindunginya.”

“Kalau kalian terus menempel padanya, nanti tidak ada laki-laki yang berani mendekatinya.” Membayangkan bagaimana Alex nanti menakuti semua pria yang mendekati Alice, pasti akan membuat putrinya sedih dan merasa tersisihkan.

Wajah Alex berubah gelap dan memeluk Alice erat. “Kau tahu kalau aku tidak akan membiarkan laki-laki manapun mendekati Alice begitu saja. She is my princess,” Alex mencium kening Nina dan menatapnya dalam, “and you’re my queen. I love you and only you, my love.

***

5 tahun kemudian . . .

Seorang bocah laki-laki dengan pelan mendekati pintu kamar dan memutar kenopnya. Ketika mengetahui pintu itu tidak berkunci, dia meletakkan telunjuk di depan bibir kepada adik-adiknya. Adik perempuan yang berbeda 1 tahun dengannya memberikan anggukan semangat seraya menahan tawa dengan boneka beruang coklat yang digenggamnya. Sedangkan adik bungsu yang berbeda 3 tahun dengannya itu hanya mengucek matanya karena setengah mengantuk.

Di usianya yang ke 5 tahun, bocah itu sangat hapal dengan kebiasaan orang tuanya. Sehabis makan malam, Daddynya pasti akan membawa mereka semua ke lantai atas dan membacakan dongeng agar mereka cepat tertidur. Padahal mereka baru kenyang dan masih ingin bermain. Mereka juga lebih suka bersama Mommy tetapi Daddy selalu merebutnya duluan. Karena itu mereka bertiga sepakat untuk membalas Daddynya dan menunggu hingga 10 malam.

Mata abu-abu milik bocah itu menangkap 2 gumpalan manusia yang tengah tertidur di atas ranjang. Dengan pelan-pelan dia melangkah ketepi ranjang di ikuti kedua saudaranya. Begitu tiba, dia langsung melompat dan menindih mereka yang dibawah. Kedua orang yang tengah tertidur itu langsung terbangun kaget melihat mereka.

Mommy! Alice mau tidur dengan Mommy!” Anak perempuan bermata abu-abu itu menjulurkan kedua tangannya tinggi, meminta untuk digendong.

“Aku juga! Aku juga mau tidur dengan Mommy!” Lucas berhambur ke pangkuan Nina dan memeluk lehernya dari samping.

“Kakak curang! Alice duluan yang mau tidur dengan Mommy!” Alice juga ikut berhambur ke pangkuan ibunya dan memeluk dari sisi lain.

“Kamu dengan Daddy saja. Mommy untukku.” Lucas menjulurkan lidahnya untuk mengejek. Dia sangat suka mengerjai saudari perempuannya itu. Sekali diganggu, adik perempuannya itu tidak akan menangis, melainkan menjerit sekencang-kencangnya dan melawan. Seperti sekarang, Alice melempar boneka beruang coklatnya dan mengenai wajah Alex.

“Tidak kena, tidak kena. Weeek!”

Ejekan Lucas justru membuat Alice semakin marah. Gadis kecil itu justru melompat ke arah kakanya dan berguling-guling dengannya. Lucas tentu saja tidak akan memukul adik perempuannya itu. Justru dia memeluk Alice dengan erat hingga kehabisan tenaga dengan sendirinya.

“Kalian ini, terus saja berbuat onar. Apa kalian tidak bisa lebih tenang seperti Charles? Lihat, dia bahkan sudah tertidur,” ucap Alex memisahkan mereka.

Mereka berdua lalu beralih kepada saudara bungsu yang sudah tertidur lelap di pangkuan Nina. Dia tertidur dengan posisi tengkurap dan mengisap jempolnya. Tidurnya semakin nyaman dengan tepukan pelan di punggungnya. Keributan kedua kakaknya tadi seolah-olah tidak memberikan pengaruh apapun padanya.

Charles Testa, putra ketiga mereka yang berjarak 2 tahun dengan Alice

Charles Testa, putra ketiga mereka yang berjarak 2 tahun dengan Alice. Dari ketiga anaknya hanya Charles lah yang memiliki mata coklat seperti Nina. Awalnya Alex tidak berencana untuk menambah anak lagi setelah Alice. Namun karena kecerobohannya, dia lupa memakai pengaman dan membuat Nina mengandung.

Nina sendiri tidak masalah dengan kehamilannya yang ketiga. Justru pada kehamilannya ini, rasanya tidak sesulit saat hamil Lucas dan Alice. Selain morning sick, dia tidak mengalami ngidam ataupun muntah-muntah. Hari-harinya dilewati dengan tenang sampai masa kelahirannya.

Mungkin karena pengaruh bayi, Charles juga lebih tenang tidak seperti kedua kakaknya. Jika kedua kakaknya saling memperebutkan mainan ataupun berdebat, dia akan diam atau melerai jika sudah kelewat batas. Sikapnya sangat dewasa, sampai-sampai Alex dibuat takjub ketika Charles tidak mengikuti kedua kakaknya untuk menganggunya saat bekerja seperti mengacak semua laporan bahkan merobeknya. Ketika ditanya Lucas kenapa dia tidak ikut mengerjai ayahnya, Charles hanya menjawab kalau itu tidak menarik dan membuat Alex harus bekerja 2x untuk membereskannya.

“Kalau begitu aku disamping Mommy!” Alice melesat cepat memeluk lengan Nina satunya. Dia bergelayut manja disana dan menjulurkan lidah kepada Lucas karena sudah merebutnya duluan.

“Ya, ya, aku mengalah. Aku tidur disampingmu saja.” Lucas lalu beranjak ke samping Alice dan memeluknya seperti guling hingga membuatnya susah bergerak.

“Ihh kakak!” pekik Alice karena gerah dengan kelakuan kakaknya.

“Ssst, Alice jangan berteriak. Hari sudah malam, Charles juga sudah tidur. Nah, ayo tidur dengan Mommy.” Nina menjulurkan tangannya yang disambut gembira oleh putrinya itu. Alice lalu berbaring disamping Charles dan menutup matanya ketika Nina mengusap rambutnya.

“Lucas disamping Daddy saja supaya kamu tidak menganggu Alice.”

Ketika Alex ingin merangkul putra pertamanya itu, dengan gesit dia menghindar ke belakang punggung Nina dan memeluknya. “Aku disini saja dengan Mommy. Dengan Daddy gak enak.” Setelah mengatakannya, Lucas memejamkan mata dan ikut tertidur menyusul adik-adiknya.

Alex hanya menggeleng melihat tingkah ketiga anaknya. Tidak ada satupun yang ingin dekat dengannya dan lebih suka menempel pada Nina. Terkadang ada rasa sedih ketika Nina juga lebih memperhatikan anak-anak daripada dirinya. Tapi tidak pernah sekalipun membenci darah dagingnya. Dia tetap mencintai mereka, senakal apapun yang mereka lakukan.

Belaian lembut Nina pada wajahnya, membuat Alex memejamkan mata. Baginya, tidak ada yang lebih nyaman selain sentuhan wanita yang dicintainya. Hanya belaian singkat itu, sudah bisa membuat hatinya tenang.

Alex menyentuh tangan itu lalu mendekatkan pada bibirnya dan menciumnya lama. “Aku mencintaimu, Sayang.” Hanya itu kata-kata yang bisa diucapkannya. Jika ada hal lain untuk mengeskpresikan rasa cintanya, Alex akan melakukannya walaupun sesulit apapun.

“Aku juga. Terima kasih sudah memberikan kebahagiaan yang tidak ternilai. Aku mencintaimu, sampai kapanpun.” Nina mencium telunjuknya dan meletakkan di bibir Alex. Dia tidak bisa menciumnya langsung karena ada anak-anak disampingnya.

Alex tersenyum mengerti. Dia menelusupkan lengan kekarnya ke leher Nina untuk memangkunya. Meskipun ada jarak diantara mereka, cinta mereka tetap dekat. Lagipula yang memisahkan mereka adalah anak-anak dan Alex juga mencintai mereka sepenuh hati.

“1 jam lagi, ayo kita pindah ke lantai atas,” ajak Alex dengan cengiran diwajahnya.

Nina mengerti maksud ucapan Alex dan mencubit pinggangnya. “Kau ini, dasar mesum!”

Mereka berdua sama-sama tertawa lalu berhenti ketika Charles menunjukkan tanda-tanda tertanggu. Alex mengelus dahi putra ketiganya itu hingga kerutannya hilang. Dia juga merapikan anak rambut Alice dan mencium pipinya. Sedangkan Lucas, putra pertamanya itu jauh dibelakang Nina dan membiarkannya begitu saja.

Alex tidak akan melupakan momen ini. Kebahagian bersama keluarga tercinta, sampai kapanpun dia tidak akan melupakannya. Begitu juga dengan Nina. Dia bersyukur mendapat suami yang sangat mencintainya dan diberkati anak-anak yang lucu. Sejauh mana mereka berpisah, selama apapun harus menunggu, jika ditakdirkan bersama mereka akan bersatu sampai selamanya.

.

.

.

.

.

Halo kepada pembaca baru atau lama. Ini adalah episode terakhir dari kisah Only You. Maaf lama, soalnya ada kendala (gak usah panjang, ntar dibilang banyak alasan)

Untuk tahun depan, tentu saja saya ada rencana untuk menulis cerita baru. Sequel atau tidak, silahkan lihat nanti. Jangan ditunggu soalnya saya mungkin bakal lama.

Dan yang terakhir, terima kasih sudah membaca sampai akhir. Maaf jika cerita ini banyak absurd, typo dsb. Semoga kedepannya kemampuan saya meningkat dan untuk semua reader diberi kemudahan dalam segalanya (berhubung mau tahun baru)

Sekali lagi, terima kasih semuanya! Tanpa kalian saya bukan apa-apa

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Only You – Epilog

1 vote, average: 1.00 out of 1 (1 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

1

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Anna sibuk memeriksa seluruh ruangan dan merapikan bagian yang dirasa kurang rapi

Anna sibuk memeriksa seluruh ruangan dan merapikan bagian yang dirasa kurang rapi. Setiap ornamen bunga yang dipajang merupakan buatannya sendiri. Melihat hasil karyanya yang menghiasi ruangan, Anna membusungkan dada dengan bangga. Untuk hari istimewa ini, semuanya harus sempurna tanpa ada cela sedikitpun.Sebelum meninggalkan tempat itu, Anna sekali meninjau lalu memberi arahan kepada pelayan yang bertugas. Dengan gembira, dia menaiki lift dan menuju kamar yang akan menjadi pemeran utama.

“Nina! You’re amazing!

Melihat kedatangan Anna, Nina menoleh dan tersipu mendengar pujiannya. Anna tidak berhenti terpukau melihatnya memakai gaun pengantin yang khusus dipesan oleh Alex. Gaun itu begitu indah dengan ball gown yang lebar dan motif bunga besar yang disulam setiap tepinya. Meskipun berlengan, bagian atas dari gaun itu menampakkan leher dan bahunya sedikit. Berbagai sulaman lain menghiasi bagian dada dengan batu swarovski putih agar tampak bersinar. Hiasan rambut berbentuk mahkota tersemat di jalinan rambut hingga membuat Nina tampak seperti ratu.

Gaun itu sengaja dipesan Alex dari desain terkenal. Dihari yang ditunggu-tunggu ini, dia ingin agar Nina tampak sempurna. Bahkan penata rias pun Alex memanggil khusus dari Hollywood. Baginya, hari ini adalah hari yang sakral dan harus menjadi hari yang istimewa agar tidak bisa dilupakan. Karena mulai hari ini, mereka akan menjadi keluarga yang sesungguhnya.

 Karena mulai hari ini, mereka akan menjadi keluarga yang sesungguhnya

"Aku yakin, Alex pasti tidak akan mengedipkan matanya melihatmu

“Aku yakin, Alex pasti tidak akan mengedipkan matanya melihatmu. Dia pasti akan menciummu habis-habisan saat pemberkatan nanti.”

Nina tersenyum kecil dan mengamati pantulan dirinya di cermin. Semua ini seperti mimpi. Rasanya baru kemarin dia terbangun dari tidur dan ingatannya kembali. Kini, setelah semua yang terjadi, dia akan menikah dengan pria yang dicintainya. Rasa gugup menguasainya. Sampai detik ini, dia masih belum mempercayai kalau semua ini adalah kenyataan. Jika bisa, dia ingin mencubit pipinya sendiri untuk memastikan kalau ini bukan mimpi.

Suara tawa bayi membuat Nina sadar dari lamunannya. Dia langsung bangkit dari kursinya untuk memeluk bayi dari gendongan Elaine. Bayi laki-laki berumur 6 bulan dengan netra bewarna coklat itu memiliki wajah yang sama persis dengan Alex. Butuh perjuangan besar untuk melahirkannya karena dia memiliki trauma dengan masa lalu. Setelah mendengar tangis anak itu, semua rasa lelah yang dirasakannya.

Nina masih ingat dengan jelas tangisan Alex saat menggendongnya

Nina masih ingat dengan jelas tangisan Alex saat menggendongnya. Ekspresi kebahagiaan yang meluap-luap menyatakan dirinya telah menjadi ayah. Dia bahkan gemetaran dan tidak berani menyentuhnya. Setelah Elaine dan Gustav memberikan semangat, barulah Alex berani mengangkat darah dagingnya sendiri.

“Lucas sayang, kau tidak nakal selama bersama nenek kan?” tanya Nina seraya menimang. Lucas Setiawan Testa, putra pertamanya yang tampan. Alex sengaja tidak mau memberikan nama tengah Black padanya. Gustav sengaja memberikan nama itu padanya sebagai gurauan. Karena selama Elaine mengadung, dia selalu meminta pasta hitam. Namun siapa sangka jika Alex memang menyukai warna itu dan hampir semua perlengkapan miliknya bewarna hitam.

“Ma … Maaa!”

Anna dan Elaine sama-sama terkejut mendengar kata pertama yang diucapkan Lucas. Nina yang mendengarnya pun tidak kalah terkejut. Matanya berkaca-kaca penuh haru dan memeluk Lucas dengan erat.

Mommy mencintaimu, Sayang!” Setelah Lucas lahir, Nina bertekat untuk mencurahkan seluruh kasih sayangnya padanya. Dia akan memperlakukannya dengan adil agar kepahitan yang dialaminya tidak terjadi lagi. Nina akan mengajari, mendidik dan memberikan nasehat agar Lucas kelak dapat tumbuh menjadi pria bertanggup jawab seperti ayahnya.

“Aduh, Nina jangan menangis. Lihat, riasanmu luntur semua!” Elaine menghapus air mata Nina yang masih tertinggal dan mengambil Lucas dari gendongannya.

“Maaf Mom, aku terlalu senang mendengar Lucas memanggilku jadi tanpa sadar aku menangis.” Nina menerima tisu yang diberikan Anna dan mengelap matanya.

“Ini masih belum seberapa. Masih banyak kejutan yang menanti selama Lucas tumbuh. Jadi simpan air matamu dulu. Kau tidak boleh menangis dihari yang bahagia ini!”

“Baik Mom!” jawab Nina dengan senyum lebar diwajahnya.

***

Alex terus bermondar-mandir dikamarnya. Pikirannya tidak tenang karena ingin segera menemui Nina. Dia tidak sabar melihat pengantinnya itu dan menganggumi betapa cantiknya dia memakai gaun putih. Memikirkan betapa cantiknya Nina nanti membuat darahnya bergejolak. Dalam hati, Alex menggerutu betapa tidak kompetennya penata rias yang mendadani Nina begitu lama. Seharusnya dia menyuruh Anna untuk melakukannya tetapi kemampuan maid nya itu tidak membuatnya puas.

Bunyi ketukan sepatu yang terus menerus membuat Gustav menggeram pelan. Anak semata wayangnya itu begitu tidak sabaran untuk melihat istrinya. Dipikir-pikir lagi, dia juga dulu seperti itu saat akan menikahi Elaine. Saat muda dulu, dialah yang mengejar Elaine dan membuat hati keras wanita itu luluh padanya. Alex benar-benar mengikuti sifatnya yang tidak sabaran dan lebih suka langsung menerjang.

“Kau berisik. Apa tidak bisa tenang?” Yang berani menghardik Alex adalah Randy. Dia datang bersama Dian atas undangan Nina.

Alex menahan sabar mendengar perkataan sarkas dari adik iparnya. Berbeda dengan Randy yang menemaninya di ruang pengantin pria, Dian memilih berdiam di kamarnya dan tidak menemui Nina. Dari pernyataan Randy, Dian sudah berubah. Sesekali dia menanyakan kabar Nina meskipun enggan bertemu langsung. Mengingat bagaimana perlakuannya dulu terhadap Nina membuatnya malu. Kebencian membutakannya hingga tidak bisa melihat bagaimana usaha Nina untuk mendapatkan perhatiannya.

Setelah suaminya meninggal, Nina bersedia mengambil alih peran sebagai tulang punggung keluarga. Padahal peran itu seharusnya dipegang olehnya dan menafkahi kedua anaknya dengan adil. Bukannya bersyukur, Dian justru menuntut lebih banyak dan lebih mementingkan Randy. Dian sama sekali tidak pernah memikirkan kebahagiaan Nina dan membencinya karena kejadian masa lalu.

Setelah kepergian Nina yang kedua kalinya, mata Dian akhirnya terbuka. Nina berbakti padanya dan tidak pernah membencinya. Menjelang lahiran pun, Nina masih memikirkannya dan memberikan kabar tentang anaknya. Rasa senang membajiri Dian ketika mengetahui Nina melahirkan dengan semangat. Matanya berkaca-kaca ketika Nina menunjukkan foto cucunya yang tampan.

Kini, Dian menyesal karena telah memperlakukan Nina dengan tidak adil. Apa yang telah dilakukannya dulu tidak mudah dilupakan. Meskipun Nina telah memaafkannya, Dian tidak bisa. Karena itu meskipun telah berada di negara yang sama, Dian menghukum dirinya sendiri dengan tidak menemui Nina dan keluarganya.

“Saat kau menikah nanti, kau akan merasakan apa yang kurasakan dan saat itu aku yang akan menertawakanmu,” balas Alex tak kalah tajam.

“Tunggu saat itu tiba dan kita lihat nanti. Apakah aku akan gelisah sepertimu atau lebih tenang.”

Alex tersenyum mendengar tantangan itu. Bersama Randy, Alex tidak pernah merasa bosan. Adik iparnya itu selalu mempunyai cara untuk memancing emosinya dan bersaing dalam berbagai hal. Alex menyukai cara berpikir Randy yang kritis dan berwawasan luas. Dia mengakui jika Randy memiliki kharisma sebagai seorang pemimipin. Bukan hanya Randy, Nina pun memiliki caranya sendiri sehingga membuat orang kagum padanya.

“Bagaimana ibumu? Apa dia masih tidak mau menemui Nina?” tanya Alex. Meskipun tidak menyukai Dian, dia tetaplah wanita yang telah melahirkan Nina. Alex tetap hormat padanya sebagai ucapan terima kasih karena telah membesarkan wanita hebat seperti Nina.

Randy memberikan gelengan sebagai jawaban. “Mama masih tidak mau bertemu. Dia bilang, dia tidak akan hadir dalam pernikahan kalian. Mama lebih memilih melihat kalian dari kejauhan dan mengurung diri di kamar.”

“Mana bisa seperti itu!” seru Gustav tiba-tiba. Dia beranjak dari kursinya dan menatap 2 pria muda yang sejak tadi berbincang. “Mau bagiamanapun, dia adalah ibu Nina! Bagaimana bisa dia tidak hadir pada pernikahan putrinya sendiri. Ayo, kita jemput dia dan pertemukan mereka! Aku yakin Nina pasti sangat merindukannya.”

Randy segera menyetujui usulan Gustav. Menurutnya tidak baik jika ibunya egois disaat seperti ini. Dian juga pasti ingin menemui Nina dan hadir pada acara penting putri satu-satunya. “Apa yang kau tunggu? Apa kau tidak mau menemui kakak setelah ini?”

Alex yang sebelumnya ragu, mendengus ketika lagi-lagi Randy berhasil memancing emosinya. “Ingat, aku menunggu giliranmu.”

Randy melengos begitu saja tanpa menghiraukan Alex yang menatapnya tajam dibelakang.

***

Gustav mengetuk pintu kamar pengantin wanita dengan semangat. Dibelakangnya ada Alex, Randy dan Dian. Masing-masing dari mereka sibuk dengan pikirannya sendiri. Alex tidak sabar untuk melihat Nina mengenakan baju pengantin, begitu juga Randy. Gustav ingin melihat cucunya yang pastinya ada didalam sedangkan Dian masih bingung dengan apa yang dikatakannya nanti saat bertemu putrinya.

“Lucas! Kakek datang!” seruan Gustav membuat Lucas tertawa dengan suara khas bayinya. Dia mengangkat kedua tangannya meminta untuk digendong oleh kakeknya. “Cucu kakek yang tampan. Lihat, nenekmu dari Indonesia datang melihatmu.”

Seolah-olah mengerti apa yang dikatakan Gustav, Lucas menoleh ke arah Dian dan tertawa. Melihat cucunya secara langsung membuat Dian matanya berkaca-kaca. “Dia tampan seperti papanya. Nina sekarang sudah menjadi ibu.”

Mendengar namanya dipanggil, Nina muncul dari toilet dibantu Anna. Melihat Nina memakai baju penganti, mulut Alex terbuka lebar. Nina benar-benar terlihat sempurna dan cantik. Alex tidak bisa menahan diri untuk tidak menciumnya. Dia tidak peduli jika ada orang lain dikamar itu ataupun membuat riasannya rusak. Alex ingin mencurahkan seberapa bahagianya dia dan ingin menikahinya segera.

“Hey! Ciuman sah kalian belum dimulai! Kau baru saja merusak riasan Nina lagi, dasar pria bar-bar!” Anna menarik kemeja Alex dan memaksanya melepaskan Nina.

Nafasnya Nina sedikit tersenggal-senggal dan wajahnya memerah malu. Namun, itu tidak berlangsung lama ketika tatapannya bertemu dengan Dian. “Mama, tadi itu …”

“Tidak apa-apa,” potong Dian. Dia mendekati Nina untuk melihat putrinya lebih dekat. “Kamu cantik. Papa pasti bangga kalau melihatmu. Maafkan Mama yang selalu buruk padamu. Kamu berhak membenci Mama. Mama tidak akan menyalahkanmu lagi.”

“Aku tidak pernah membenci Mama. Sejak dulu, aku juga telah memaafkan semua kesalahan Mama. Aku ingin kedepannya kita berbaikan dan bisa berkumpul seperti ini.” Nina menggenggam erat kedua tangan Dian menunjukkan kesungguhannya. Keberadaannya disini memberikan semangat baru pada dirinya. Nina ingin jika mereka terus berkumpul seperti ini dan menghabiskan waktu bersama-sama.

“Terima kasih, terima kasih karena sudah memaafkan Mama.” Dian lalu menyerahkan tangan Nina pada Alex yang langsung disambutnya. “Mama harap kalian bahagia bersama dan saling mencintai sampai kapanpun.”

Untuk kesekian kalinya, Nina menangis haru. Kini kebahagiaanya telah lengkap. Dikelilingi keluarga yang disayangi dan laki-laki yang mencintainya sudah membuat hidupnya lengkap. Semuanya semakin lengkap dengan hadirnya Lucas. Nina akan menghargai momen ini dan tidak akan melupakannya.

FIN

Terima kasih sudah bersama saya hingga selesai. Maaf jika banyak yang kurang, typo, bikin bingung dll. Sejujurnya cerita ini merupakan rekor baru yang bisa saya selesaikan kurang dari setahun. Yah, saya juga orangnya kurang fokusan dan tidak bisa selesai menulis 1 part dalam sehari

Bagi yang heran kenapa view dan vote kenapa berbeda jauh, saya juga gak tahu. Saya bukan penulis yang pake target vote. Soalnya kalau begitu kapan selesai kalau target votenya tak tercapai. Terus kalau udah tercapai malah dikejarkejar karena sudah janji

Untuk Extra Part, ntar pikir-pikir dulu hehehe.

Untuk sekarang sampai disini dulu. Semoga saya bisa cepat kembali dengan ide yang lebih segar. Sampai jumpa di cerita selanjutnya dan terima kasih para readers, kalian hebat

Salam dari Author

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Only You – Chapter 56 (End)

0 votes, average: 0.00 out of 1 (0 votes, average: 0.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

1

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Jadi kakak mau menetap di New York sampai lahiran? Baiklah, akan kusampaikan ke Mama dan temanteman kakak.”

Trims, Randy. Tolong jaga Mama. Kalau kau butuh bantuan, jangan lupa untuk menghubungiku.”

Baiklah, kalau begitu selamat istirahat kak.”

Setelah sambungan telepon berakhir, Nina merebahkan punggungnya pada sandaran tempat tidur. Tubuhnya lelah menemani kedua mertuanya yang sangat perhatian padanya dan juga calon cucu mereka. Mereka tidak sabar untuk melihat anaknya lahir dan berniat untuk menetap di New York. Elaine menawarkan diri untuk membatu menjaganya agar Anna tidak kerepotan. Dia rindu dengan masa-masa kehamilannya dan ingin disibukkan dengan segala urusan kehamilan karena menurutnya menyenangkan.

Begitu melihat perlengkapan bayi yang dibeli Alex, Elaine langsung menatap horror, demikian pula dengan Gustav. Semua perlengkapan yang dibelinya bewarna hitam dan terlihat suram. Elaine sampai mengomeli Alex panjang lebar dan menyalahkan Gustav karena memberikannya nama tengah ‘Black’. Tentu saja atas perintah Elaine, semua perlengkapan itu dikembalikan dan diganti dengan warna yang lebih cerah.

Nina memalingkan wajahnya ketika melihat Alex masuk. Dia masih belum sepenuhnya memaafkan pria itu. Nina yakin jika masalah ini hanya sebagian kecil yang ditutupinya. Masih banyak yang disembunyikan darinya dan Alex sama sekali tidak mau berbagi. Jika Alex mengira dirinya akan menjadi istri yang penurut, maka dia salah besar. Mulai hari ini, dia akan menjadi istri pembangkang dan mencari tahu semua rahasia Alex.

“Sayang.”

Nina mengabaikan Alex dengan berpura-pura memejamkan mata. Dari sudut ranjang yang melesak turun, Nina menebak kalau Alex naik ke atas ranjang. Sapuan lembut pada pahanya membuat bulu kuduk Nina meremang. Dia mengernyit ketika belaian itu semakin naik ke atas dan berakhir pada lehernya.

Nina sama sekali tidak berani membuka mata. Detak jantung Alex dan helaan nafasnya terdengar begitu dekat. Debaran jantungnya pun menjadi gila ketika Alex mengelus pipinya dan menciumnya berkali-kali. Ciuman itu lalu berakhir pada bibirnya. Alex menciumnya ringan dan mengulangnya berkali-kali sebelum berbaring disampingnya.

“Apa kau pernah berpikir kenapa Pak Suryo dan Anggi sangat baik padamu? Apa kau tidak pernah heran saat Anggi menaikkan gajimu saat bekerja dulu?”

Mendengar pertanyaan Alex, timbul rasa penasaran dalam benaknya. Namun Nina masih enggan menjawab. Dia tetap kukuh dengan akting tidurnya dan tidak memberikan respon apapun.

“Aku meminta Pak Suryo untuk menjagamu saat meninggalkanmu pertama kali. Aku tidak tenang membiarkanmu sendirian apalagi kau pernah mengalami trauma dengan pria brengsek yang ingin mengantarmu pulang.”

Nina masih tidak bergeming ditempatnya mendengar penjelasan Alex. Dalam hati dia tahu kalau pria itu mulai menyukainya semenjak menghabiskan waktu bersama. Namun Alex tidak pernah mengungkapkan perasaanya. Saat itu, Nina pun tidak berani berharap. Dengan status dan tempat tinggal yang berbeda jauh, dia hanya menganggap kebersamaan itu sebagai mimpi indah semata.

“Saat aku kembali, mudah untuk mencari tempat kerjamu karena Anna telah mencari tahu lebih dulu semua tentangmu. Dengan sifatmu, kau pasti tidak akan menerima bantuanku begitu saja dan mempercayaiku. Karena itu, aku memberikan uang pada Anggi untuk memberikannya padamu. Anggi menggunakan alasan kenaikan gaji dan bonus agar kau menerimanya. Aku juga yang memintanya untuk memindahkanmu ke bagaian pembukuan agar tidak ada laki-laki brengsek yang menggodamu. Kedatanganmu ke New York juga karena campur tanganku. Aku yang mengusulkan pada Anggi agar kau mempelajari latte art disini. Itu semua karena aku ingin bersamamu.”

Ada rasa haru, marah dan lega bercampur menjadi satu. Semua rasa penasarannya sudah terjawab. Sejak dulu, Alex telah mencintainya dan ingin bersamanya. Namun caranya salah. Tindakan Alex membuatnya mengalami kesalahpahaman dengan mamanya yang berujung memilukan. Jika Alex lebih terbuka, mereka semua tidak perlu merasakan kesakitan seperti ini. Nina pasti akan menerimanya dengan tangan terbuka karena juga mencintai laki-laki itu.

“Perbuatanmu salah. Apa kau tahu?” tanya Nina membuka suara.

“Aku tahu, aku bodoh, aku menjadi bodoh karena mencintaimu. Apa kau mau memaafkanku?”

Nina membalikkan badannya dan memeluk Alex. Bibirnya tersenyum tipis ketika Alex membalas pelukannya. Pelukan hangatnya membuat Nina merasa nyaman. Meskipun marah, tidak bisa dipungkiri jika dia merindukan pelukan itu.

“Aku mengantuk. Jadi, aku tidak mau menjawabmu.” Setelah mengatakannya, Nina benar-benar terlelap.

Alex merapikan anak rambut yang menutupi wajahnya lalu mencium keningnya. “Aku anggap itu iya untuk pertanyaan tadi dan juga selanjutnya.”

***

***

Elaine mengajak semuanya makan disalah satu restorant favoritnya yaitu Eleven Madison Park

Elaine mengajak semuanya makan disalah satu restorant favoritnya yaitu Eleven Madison Park. Saat memasuki restorant itu, dia mengetahui kenapa Elaine menjadikannya sebagai tempat favorit. Interior ruangan sangat berkelas dan mewah, senyum ramah yang diberikan, dan berbagai lukisan seni dan hiasan tanaman lainnya membuat tempat itu terasa nyaman. Meja dan kursi pun ditata dengan rapi hingga memanjakan mata yang melihat.

“Ayo kita ke lantai atas. Tinggalkan saja para lelaki kalau mereka lambat.”

Nina dan Anna saling melempar senyum ketika Elaine dengan cepatnya menuju lantai 2. Diumurnya yang menginjak kepala 5, Elaine tampak segar bugar dan cantik. Kebiasaannya berolahraga pagi membuatnya tetap sehat dan lincah hingga sekarang.

“Dear, jangan buru-buru. Bagaimana kalau nanti kau jatuh?” Gustav segera menyusul Elaine dan menautkan jemarinya agar tidak istrinya tidak berkeliaran lagi. Perbuatannya itu membuat Elaine merengut karena harus menyesuaikan langkahnya dengan Gustav. Tapi setelah mendapat ciuman di pipi, wajah Elaine kembali cerah seraya memeluk lengan Gustav.

“Mereka berdua sangat akur. Aku jadi iri setiap melihatnya,” bisik Anna. Dia sebenarnya tidak ingin ikut tetapi Elaine memaksa. Soalnya, hanya dia yang sendirian sedangkan Nina sudah berpasangan dengan Alex walaupun dalam keadaan merajuk.

“Aku yakin kau pasti bisa mendapatkan pria yang baik seperti Dad. Aku pasti akan mendukungmu,” balas Nina.

“Kalau pria seperti Gustav, lebih baik tidak apalagi Alex. Satu ribut dan satu dingin. Aku lebih suka yang bersemangat sepertiku atau kalem sepertimu,” ucap Anna sambil mengedipkan sebelah matanya. Setelah itu, dia berjalan lebih pelan dan mendorong Alex hingga mendekati Nina.

Alex menggenggam tangan Nina Ketika berjalan bersisian dengannya. Nina membalas genggaman tangan itu dan mendekatkan dirinya pada Alex. Dari sudut matanya, dia menangkap wajah senang Alex yang terpampang jelas. Nina memang tidak bisa marah terlalu marah kepada seseorang. Setelah makan malam ini, dia akan berbaikan dengan Alex.

Sesampai di lantai 2 yang telah khusus dipesan Elaine, mereka duduk di meja yang dekat dengan lounge bar nya. Ruangan itu hanya ada mereka berlima karena Elaine telah memesan semuanya. Dia ingin di acara makan malam ini tidak ada orang lain dan khusus hanya mereka. Begitu mereka duduk, seorang pelayan muncul dan menyajikan makanan.

 

Melihat makanan yang disajikan, Nina melirik ke arah Anna

Melihat makanan yang disajikan, Nina melirik ke arah Anna. Semua makanan itu memiliki porsi sedikit dan ditata dengan menarik. Dalam hati, Nina bertanya apakah semua masakan di restoran sesedikit ini? Mengingat harganya fantastis, pastilah bahan yang digunakan berkualitas baik dan segar.

Selama makan, Elaine bercerita tentang pertemuannya dengan Gustav. Semuanya tampak bahagia apalagi dengan Anna yang merespon setiap ceritanya. Nina sesekali juga ikut tertawa dan berkomentar. Dia juga merasa gemas setiap kali Elaine menceritakan pengalamannya merawat Alex. Menurutnya Elaine adalah ibu yang baik dan hangat. Bersamanya, Nina dapat merasakan kasih sayang seorang ibu terhadap anaknya.

“Seharusnya Mommy membawa foto Alexander dulu untuk dibandingkan dengan cucu Mommy nanti. Mommy yakin kalau dia pasti tidak kalah tampan dari Daddynya.” Elaine sesekali mengelus perut Nina dengan lembut dan meninggalkan ciuman disana.

“Tentu saja! Lihat Alexander! Aku membuatnya dari bibit terbaik! Pastinya cucu kita juga tidak akan kalah dan cantik dari orang tuanya!” Tawa Gustav memenuhi seluruh ruangan.

Wajah Nina memerah mendengar perkataan Gustav yang menurutnya vulgar. Di saat dia tidak tahu harus menjawab apa, Alex mengelus pipinya hingga membuatnya tersontak.

“Anak ini pasti seperti ibunya yang luar biasa. Tidak seperti kakeknya yang cabul dan hanya bisa bermain-main.”

Elaine menginjak kaki Gustav untuk menghentikannya berteriak. “Nak, Mommy lihat Nina sudah lelah. Kalian pulanglah dulu untuk beristirahat. Mommy masih mau berbincang-bincang dengan Anna disini.”

Nina ingin menolak tetapi Elaine memberikan isyarat kalau dia tidak apa-apa, begitu juga dengan Anna. Setelah mengucap perpisahan, Nina tidak lagi menghindari Alex dan mengenggam tangannya lebih dulu. Tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut mereka. Namun dari tindakan masing-masing mereka mengerti jika mereka saling mencintai satu sama lain.

***

Pergerakan kasar dan tiba-tiba membuat dahi Nina berkerut. Samar-samar, dia mencium aroma parfum Alex sebelum penglihatannya terbuka sempurna. Perlahan-lahan, saat matanya telah menyesuaikan dengan sekitarnya, Nina mendapati dirinya berada di ruang makan apartement dalam keadaan gelap.

Nina mengucek matanya sembari mengingat kembali apa yang terjadi. Dia dan Alex pulang terlebih dahulu karena Elaine menyuruhnya istirahat. Saat berada di dalam mobil, dia merasa mengantuk dan tertidur. Setelahnya Nina tidak ingat lagi dan tidak tahu bagaimana dia bisa berada disini.

Dalam keadaan gelap, Nina melihat sekelilingnya mencari sosok Alex. Satu-satunya penerangan yang dapat diandalkan adalah cahaya kota yang remang-remang dari jendela. Seingatnya, sebelum pergi jendela itu sudah tertutup. Namun sekarang jendela itu terbuka dan membiarkan angin berhembus sepoi-sepoi menerbangkan tirai tipis yang terbentang.

Dari jendela itu, Nina bisa melihat bulan bersinar penuh dikelilingi bintang-bintang mengelilingi kerlap-kerlip

Dari jendela itu, Nina bisa melihat bulan bersinar penuh dikelilingi bintang-bintang mengelilingi kerlap-kerlip. Cahaya kuning yang tiba-tiba muncul membuat Nina mengalihkan perhatiannya. Diatas meja makan, sebuah serbet putih dengan terbentang dengan rapi. Yang membuatnya menarik adalah kelopak mawar yang ditata dengan kumpulan lilin yang dipajang pada gelas. Bentuk gelas yang tidak sama membuat lilin itu tampak cantik. Ditambah dengan pantulan cahaya pada air membuat seluruh ruangan terang seketika.

Nina tersenyum mendapati sosok siluet pria yang sangat dikenalnya diseberang

Nina tersenyum mendapati sosok siluet pria yang sangat dikenalnya diseberang. “Kau menyiapkan ini semua?”

Dari samping, bayangan pria itu ikut mengangguk mengikuti tuannya. “Kau suka?”

“Aku suka.” Nina menjawab dengan senyum lebarnya. Senyum yang sangat disukai oleh pria yang mencintainya dengan tulus itu. “Mengangkatku pasti berat. Kenapa tidak membangunkanku?”

“Aku tidak mau menganggu tidurmu. Sebaliknya, kalian tidak berat. Aku khawatir kalian tidak memiliki gizi yang cukup sehingga membuat badan kalian ringan.”

Nina hanya memberikan senyum dan memangku wajah dengan kedua tangannya mengamati sosok diseberang yang tidak tidak terlihat jelas. Dalam hati dia sedikit tertawa karena sepertinya Alex salah mengatur pencahayaan sehingga wajahnya tidak terlihat. Melihat semua pengaturan ini, Nina menebak jika ketiga orang lainnya juga ikut terlibat. Mungkin untuk momen ini juga Anna dan Elaine tidak mengijinkannya ke dapur. Alex pasti menyiapkan semua ini sendiri karena sejak sore tidak menemaninya.

Saat sedang menatap bayangan didepannya, tiba-tiba Alex beranjak dari kursi dan mendekatinya perlahan. Ketika Alex berdiri dihadapannya, Nina bisa melihat wajahnya dengan jelas. Sepasang mata abu-abu itu terlihat begitu memesona dan berkilat secara bersamaan.

Nina bisa mengerti kenapa Luisa begitu menginginkan Alex. Sosoknya yang begitu sempurna dengan ketampanan yang luar biasa begitu memikat. Diluar sifatnya yang dingin, Alex adalah sosok yang lembut. Dia akan memberikan perhatian, tatapan hangat dan senyumnya kepada wanita yang dicintai.

Nina beruntung menjadi wanita itu. Sejak awal pertemuan, tidak pernah tepikir olehnya untuk memanfaatkan Alex ataupun dicintai olehnya. Dia yang biasa-biasa saja dengan semua keterbatasan yang dimilikinya bisa mendapat rasa cinta yang luar biasa. Dicintai oleh Alex dan juga mencintainya merupakan kebahagiaan terbesar yang pernah dirasakannya.

“Nina.” Alex tiba-tiba berlutut dan mengeluarkan sebuah kotak hitam berlapis beludru dari kantongnya. Ketika kotak itu dibuka, sebuah cincin emas yang indah terletak disana. Dibandingkan dengan yang dikenakannya sekarang, cincin itu begitu indah dan mewah dengan batu berlian yang menghiasinya. Berlian-berlian lain yang lebih kecil menghiasi tiap tepi dari cincin dan memberikan kesan megah namun tetap sederhana.

 Berlian-berlian lain yang lebih kecil menghiasi tiap tepi dari cincin dan memberikan kesan megah namun tetap sederhana

Alex meraih tangan Nina lalu menciumnya setelah mengamati cincin yang dulu dipasang di jari manisnya. “Dulu aku memberikan cincin dengan maksud untuk menipumu setelah kau sadar. Kau yang amnesia pasti akan mempercayaiku dan aku berharap kau terus seperti itu. Namun, pada akhirnya ingatanmu kembali dan kau berhasil berdamai dengan masa lalumu.”

Alex lalu menatap Nina dan menggenggam tangannya. “Aku juga ingin berbaikan dengan kebencianku. Apa yang terjadi saat aku meninggalkanmu bersama ibumu, aku mengetahui semuanya dan aku tersanjung dengan kebaikanmu.”

Alex lalu mencium setiap jemari Nina dan mengangkat kotak itu dengan kedua tangannya. Apa yang tidak bisa dilakukannya dulu akan dilakukannya sekarang. “Aku mencintaimu. Apa kau mau menikah denganku?”

Nina tidak bisa menahan tangis harunya. Hari itu, jika kecelakaan itu tidak terjadi, Alex akan melamarnya didepan didepan ibunya. Dia berpikir, Alex tidak akan melakukannya karena telah memberikan nama Testa padanya. Nina mengira, dia tidak akan mendapat kesempatan seperti ini. Tetapi Alex melamarnya dan memberinya kesempatan untuk merasakan bagaimana rasanya menjadi pasangan seutuhnya.

“Aku bersedia!”

Jawaban Nina membuat senyum Alex semakin lebar. Dia mengambil cincin itu dan menyematkannya di salah satu jarinya. Setelahnya, Alex menangkup wajah Nina dan memberikan ciuman pada keningnya. “Terima kasih. Aku mencintaimu, dari dulu hingga sekarang.”

“Aku juga, aku sangat mencintaimu. Terima kasih telah mencintaiku.”

Malam itu, kebahagiaan mereka berdua telah lengkap. Alex mencium Nina dengan penuh kasih. Begitu juga dengan Nina. Dia membalas setiap ciuman yang diberikan dan memeluknya dengan erat. Baik Nina dan Alex, semuanya telah terbayar dengan kebahagiaan yang didapat sekarang. Setelah ini, mereka akan terus bersama hingga waktu terus berlalu.

Perjalanan panjang kesedihan akhirnya telah berakhir. Berbagai kesulitan yang datang, dijalani dengan sabar. Kebahagian akan datang pada mereka yang berusaha. Sejauh apapun, selama apapun, jika mereka ditakdirkan untuk bersama maka tidak ada yang bisa memisahkan.

.
.
.
.
.

Next part Epilog ?

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Only You – Chapter 55

0 votes, average: 0.00 out of 1 (0 votes, average: 0.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

1

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Ketika tatapan mereka mereka bertemu, Nina mengabaikan Alex dan mempererat genggamannya pada lengan John. Sekarang, mereka berdua tengah bermain menjadi pasangan yang mesra. Dia tidak peduli jika John sekarang menjadi sasaran tatapan tajamnya. Nina hanya memainkan perannya dan ingin menjadikan ini sebagai peringatan.

John sendiri sudah mengetahui konsekuensi dari kejahilannya. Melihat wajah kesal Alex merupakan suatu hiburan tersendiri baginya. Dia sudah siap mendapat hantaman yang akan mendarat kewajahnya nanti. Untuk mencegah hal itu, John sudah mempersiapkan baju pelindung dan sejumlah obat lainnya untuk mengobatinya nanti.

“Selamat siang Mr dan Mrs Clinton! Kuharap kalian tidak terkejut dengan kedatanganku! Tentu saja aku datang dengan hadiah yang telah dipersiapkan Alex untuk kalian!”

Edward dan istrinya saling berpandangan melihat kedatangan John yang tiba-tiba. Berbeda dengan Luisa yang menatap tajam padanya dan juga Nina. Saat mata mereka bertemu, Nina memberi senyum tipis sebagai balasan yang sukses memancing kemarahannya.

Diantara semua hari, Nina muncul di waktu yang tidak seharusnya. Begitu tahu Alex sangat mencintai Nina, setiap hari Luisa selalu memikirkan cara untuk memisahkan mereka. Tidak mudah bagi Luisa untuk membalaskan dendamnya karena Alex sangat menjaganya. Setiap kali mereka berpegian bersama, Alex selalu menyiapkan bodyguard untuk mengawasi dan menjaga mereka.

Ketika mengetahui ketika wanita itu mengandung anak Alex, Luisa langsung merasa frustasi. Sebelum munculnya sosok Nina, dia selalu berusaha menarik perhatian Alex dengan cara apapun. Lalu, kenyataan pahit menghantamnya saat mengetahui tidak ada tempat baginya di hati Alex.

Dia belum kalah. Luisa tidak akan pernah menyerahkan Alex pada siapapun.

“Siapa wanita cantik disampingmu? Apa dia istrimu? Ku ucapkan selamat karena playboy sepertimu akhirnya memiliki pasangan dan akan menjadi seorang ayah. Aku dan Alex juga sebentar lagi akan menikah dan akan mempunyai anak yang akan melengkapi kehidupan kami.” Luisa sengaja menggandeng lengan Alex dengan mesra dan mencium pipinya. Dia memberikan senyuman lebar ketika bertatapan dengan Nina.

Nina hanya memberikan senyuman seolah-olah tidak terprovokasi olehnya. Dia justru melakukan hal yang sama dengan mengeratkan pegangannya pada lengan John sembari mengelus perutnya. “Sayang, kakiku pegal. Apa aku boleh duduk?”

“Tentu saja, Sayang. Kau boleh duduk dimana saja. Alex tidak akan marah, aku jamin.” John membalas seraya mengedipkan sebelah matanya. Tidak kurang pula dengan senyuman khasnya yang lebar.

“Terima kasih, Sayang.”

Nina memberikan ciuman singkat di pipi John. Hal itu membuat Alex mengepalkan tangannya erat. Nina masih tidak mengindahkan tatapan tajam Alex. Sebaliknya, dia membiarkan John menuntunnya untuk duduk karena berat perutnya.

“Baiklah, agar tidak membuat kalian menunggu lama, aku akan segera memberikan hadiahnya!” Dari balik jasnya, John mengeluarkan amplop dan meletakkannya diatas meja. Dia sengaja sedikit melempar amplop itu hingga mengeluarkan isinya. Foto-foto milik Luisa ketika bertemu dengan lelaki yang mengaku menjadi pemilik lahan dan juga saat bersama dengan Manager Alex ada disana. Tidak hanya itu, ada pula fotonya saat memasuki hotel bersama seorang pria asing dan sejumlah salinan transaksi bank.

“Apa ini?!” Edward tidak menyembunyikan kemarahannya ketika melihat isi amplop tersebut.

“Tentu saja semua kebohongan yang Luisa lakukan. Ah, dan satu lagi,” John mengeluarkan amplop lainnya yang langsung direbut oleh Edward. “Itu adalah hasil tes kandungannya. Alex bukanlah ayah dari anak itu melainkan pria ini,” tunjuk John pada foto Luisa bersama seorang lelaki.

Edward menatap putrinya dengan geram. Tidak pernah dia membayangkan putrinya melakukan hal yang memalukan seperti ini. Edward memang menginginkan Alex menjadi menantu karena kekayaannya dan membiarkan Luisa membuat skenario ini. Dia mengira, putrinya bisa menyelesaikan semuanya tanpa meninggalkan jejak. Tetapi, bukan hanya gagal yang didapat, melainkan anak yang dikandung Luisa bukan milik Alex.

“Siapa sebenarnya anak yang kau kandung itu?! Apa benar anak itu bukan milik Alex?!”

Luisa memeluk lengan ibunya ketakutan melihat amarah Edward. Semua jejak perbuatannya, seharusnya sudah tidak ada. Dia sudah menyuruh orang untuk menghapus semua bukti mengenai dirinya. Orang yang mengaku sebagai pemilik lahan dan Manager yang menerima proyek itu telah diasingkan ke negara lain dengan sejumlah uang tutup mulut. Pria yang ada di foto itu juga telah disingkirkannya. Luisa tidak mengerti kenapa John bisa mendapatkan semua itu.

“Kebenaran akan selalu terungkap. Bagaimana cara anda menyelesaikan semua ini, Mr. Clinton?” Alex yang sedari tadi hanya diam, akhirnya membuka suara. Jika bukan karena Edward lebih senior darinya, dia tidak perlu menahan diri saat pertama kali masuk ke ruang sidang.

“Sebentar, aku bisa menjelaskannya. Aku dan orang tuamu sudah berteman lama. Bagaimana kalau kita menyelesaikan ini baik-baik? Soal denda, kau tidak perlu membayarnya.  Anggap saja ini kesalahpahaman biasa.”

“Biasa? Sebelumnya Luisa begitu menuntut untuk membayar ganti rugi dan sangat yakin kalau dia mengandung anakku. Setelah semua kebusukannya terbongkar, kau ingin aku berpura-pura tidak mengetahui kejadian ini dan menutup mata?”

Badan sedikit bergetar ketika melihat ekpresi serius Alex yang terkenal mematikan. Tidak dipungkiri lagi, Alex adalah sosok yang mengerikan hingga tidak ada yang berani mencari masalah dengannya. “Alex, dengarkan aku. Aku sama sekali tidak tahu Luisa merencanakan semua ini. Aku berjanji kejadian ini tidak akan terulang lagi dan aku akan menghukum Luisa atas kesalahannya.”

“Tapi Daddy …!”

Shut up!” Edward langsung memotong Luisa agar tidak mengatakan sesuatu yang semakin menyudutkan mereka. Bentakkannya juga membuat Luisa ketakutan dan menangis dalam pelukan ibunya. “Alex, mengingat hubungan orang tuamu denganku, tolong lupakan kejadian ini. Aku berjanji akan mengembalikan reputasi perusahaanmu. Bila perlu, aku akan mengganti semua kerugian akibat kesalahpahaman ini!”

“Aku tidak membutuhkan uangmu,” jawab Alex. “Yang kuinginkan adalah kalian menghilang dari hadapanku. Jangan pernah menganggu keluargaku lagi atau kalian akan menyesal.” Peringatan dengan ancaman itu bukan hanya main-main. Alex akan serius menghancurkan mereka jika berani menganggunya ataupun menyentuh Nina. Dia mampu mewujudkannya dan akan melakukannya dengan cara yang paling mengerikan.

“Kumohon Alex, jangan seperti ini. Tolong berikan aku kesempatan untuk memperbaiki semua ini. Aku berjanji setelahnya Luisa tidak akan berani menganggumu lagi.” Edward masih berusaha untuk mendapat belas kasihan Alex. Jika mengakhiri hubungan mereka begitu saja, pihaknya akan mengalami kerugian yang lebih besar. Tidak apa dia mengganti semua kerugian itu. Karena nanti keuntungan yang akan didapatnya lebih besar.

“Alexander tidak membutuhkan uangmu. Tanpa bantuan dariku pun, aku yakin dia mampu melewati semuanya sendiri.” Semua mata lalu tertuju pada seorang pria paruh baya yang tiba-tiba muncul. Diantara mereka semua, Alex lah yang paling terkejut hingga berdiri dari kursinya. Dari sosoknya, usia pria itu tidak jauh berbeda dengan Edward. Dengan santai, pria itu mendekati mereka bersama dengan istrinya yang tak kalah cantik.

Wajah Edward berbinar cerah. Dia langsung menghampiri pria itu dengan senyuman lebarnya. “Gustav, Kau datang diwaktu yang tepat! Kita sudah berteman lama. Tolong katakan pada Alex melupakan kejadian ini. Aku berjanji akan menebus semuanya!”

Pandangan Gustav tidak tertuju pada Edward. Sebaliknya dia menatap perempuan yang duduk disamping John dengan senyum tipis. Bukan hanya Gustav, istrinya, Elaine tersenyum lebar sembari mengeratkan pegangannya.

Ditatap seperti itu, Nina membalas dengan senyuman dan menundukkan kepalanya sedikit menunjukkan rasa sopan.

“Gustav! Apa kau mendengarku?!” Edward yang merasa diabaikan tidak bisa menahan diri untuk tidak memanggilnya.

“Aku sudah mengatakannya dengan jelas. Alexander tidak membutuhkan batuanmu atau bantuanku untuk membangun usahanya. Dia bisa melakukannya sendiri tanpa bantuan ular sepertimu!”

“A-apa maksudmu?” tanya Edward tidak mengerti.

“Masih pura-pura bodoh? Kau kira aku tidak mengetahui rencana busukmu? Kau sengaja membiarkan anakmu untuk menjalankan rencananya. Niatmu yang sebenarnya adalah ingin mengakuisisi perusahaan Alexander dan memaksanya menikah dengan Luisa! Aku berani bertaruh, pengacara ini pasti membawa surat nikah untuk segera ditandatangani bukan?”

Pengacara itu langsung mengambil tasnya, seolah-olah takut direbut. Tindakannya yang seperti itu membuat tebakan Gustav adalah benar.

“Alexander sudah mengatakan dengan jelas tidak ingin berurusan lagi dengan kalian, begitu juga denganku. Hubungan kerja sama kita berakhir disini. Silahkan pergi dari ruangan ini sebelum aku menyuruh satpam untuk melakukannya.”

Edward hanya bisa mengepalkan tangannya seraya menyeret Luisa keluar. Tangisannya menggema keras hingga terdengar pilu.

Nina merasa kasihan melihat Luisa seperti itu. Mereka berdua sama-sama tengah hamil. Jika Edward benar-benar akan menghukum Luisa, Nina khawatir itu juga akan berdampak buruk bagi anaknya. Anak lahir tanpa bisa memilih orang tuanya. Karena permasalahan orang dewasa, anak juga ikut merasakan akibatnya. Nina mengelus perutnya yang sedikit membuncit. Dia berharap jika Edward bermurah hati pada Luisa dan memberikan perhatian yang dibutuhkan olehnya.

“Nona, apakah namamu Nina Kurniawan?” Elaine menghampirinya setelah semua keluarga Luisa pergi.

Nina tidak bisa menyembunyikan keterjutannya ketika namanya disebut. Dia mengingat-ngingat dimana pernah bertemu wanita yang merupakan ibu Alex. Namun sayang, dia sama sekali tidak ingat kapan mereka bertemu.

“Benar, senang bertemu dengan tante.” Nina menyalami dan mencium punggung tangan Elaine hingga membuat senyumnya semakin lebar.

“Panggil aku Mommy. Mulai sekarang kita adalah keluarga. Sudah lama kami ingin menemuimu tapi Alexander tidak pernah mengabulkannya. Dia selalu memberikan berbagai alasan untuk mencegah kami berkunjung. Bahkan saat kalian di Italia, dia tidak mengantarmu untuk mengunjungi kami,” ucap Elaine dengan wajah sedih.

“Benar. Kalau kami tahu mempunyai menantu sepertimu, kami pasti sudah menculikmu dari dulu untuk disayangi,” sambung Gustav.

Padre, Madre, tolong jangan katakan yang tidak-tidak. Nina bisa salah paham.” Alex menatap Nina meminta untuk percaya padanya.

Nina memalingkan wajahnya mengabaikan Alex. Sekarang dia masih merajuk dengannya. Dia tidak mau memaafkan Alex begitu saja karena selalu menyembunyikan segala hal darinya, termasuk dengan tidak mempertemukannya dengan kedua orang tuanya.

“Sayang, jangan abaikan aku. Aku senang melihatmu disini. Aku merindukanmu.” Alex kembali memelas, berharap jika Nina melihatnya.

“Aku tidak merindukanmu dan tidak ingin berbicara dengamu. Aku marah karena kau menyembunyikan hal ini dariku.”

Ucapan tegas dari Nina membuat Alex panik. “Sayang, aku tidak bermaksud membohongimu. Aku hanya …”

“Bukan hanya Nina yang marah padamu, kami juga!”potong Gutav.

“Benar. Padahal kau bisa meminta bantuan kami. Tapi kau lebih memilih John dan meninggalkan Nina sendirian,” tambah Elaine. “Nina Sayang, abaikan saja anak keras kepala itu. Kami ingin mendengar banyak tentangmu dan juga kabar cucu kami. Bagaimana kalau kita ke hotel? Kau pasti lelah kan? Biar Mommy bantu papah ya.” Elaine berjalan bersisian dengan Nina dengan senyum lebar di wajahnya.

“Kalau begitu aku yang menyetir! Nak, Padre ambil kunci mobilmu ya!” seru Gustav seraya memainkan kunci mobil.

Entah sejak kapan kunci itu berpindah, Alex tidak menyadari jika sakunya kini telah kosong. Dia menggeram kesal ketika orang tuanya telah pergi begitu saja membawa Nina. Sebelum menyusul mereka, Alex harus membuat perhitungan dulu kepada seseorang.

“John, kuharap kau tahu apa yang terjadi selanjutnya.”

“Tu – tunggu sebentar. Aku bisa jelaskan.” Disaat seperti ini, penjelasan seperti apapun tidak akan didengarkan olehnya. John menelan ludahnya sebelum kabur menyusul yang lainnya menghindari amukan Alex.

.

.

.

Padre = Ayah dalam bahasa italia

Madre = Ibu dalam bahasa italia

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Only You – Chapter 54

0 votes, average: 0.00 out of 1 (0 votes, average: 0.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

1

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Kesadaran Nina perlahan kembali saat merasa sesuatu menepuk-nepuk pipinya. Ketika melihat langit-langit yang berbayang, Nina langsung teringat dengan pembicaraan terakhir John melalui telepon. Buru-buru, Nina mencoba duduk meskipun rasa pusing menderanya. Melihat pria yang dicari berada disampingnya, dia langsung mencengkram lengannya seoalah-olah tidak ingin membiarkannya lepas.

“Hei, tenanglah dulu! Kau baru saja siuman. Kalau kau pingsan lagi, Alex pasti akan membunuhku!” John setengah panik menyandarkan Nina pada bahunya yang masih setengah terhuyung. Jika Alex melihatnya, kepalanya pasti akan copot. Tapi dia juga tidak bisa membiarkan perempuan terbaring begitu saja dilantai, terlebih dalam kondisi hamil.

“Alex … Aku ingin bertemu dengannya! Aku harus menemuinya!” Nina berontak bangkit dari posisinya dan hampir terjatuh jika John tidak menangkapnya.

“Berhenti meronta! Apa kau lupa kau sedang hamil?!” Seruan John berhasil membuat Nina berhenti. Tapi tidak lama setelah itu, air mata membasahi wajahnya. John bukannya sengaja ingin meninggikan suara. Dia hanya ingin agar Nina berhenti melakukan hal berbahaya yang bisa melukai dirinya dan calon bayinya.

John menjadi saksi, bagaimana gigihnya Alex saat menjaga Nina. Rasa sakit akibat kehilangan buah hati mampu membuatnya terguncang. Disaat wanita yang dicintainya kembali mengandung, semangat diwajah Alex kembali, bahkan melebihi ketika Nina membuka mata.

Pada waktu seperti ini, tidak mungkin dia membiarkan sahabatnya mengalami rasa sakit seperti dulu. Cukup hanya sekali sahabatnya itu terluka. John tidak mau melihat Alex terpuruk lagi, ditambah dengan Nina. Sebagai dokter dan juga sahabat, dia akan menjaga Nina dan juga bayinya.

“Maaf membentakmu tapi apa kau bisa berhenti menangis? Kau sedang hamil. Ingat kondisimu bisa mempengaruhi anakmu.”

Mendengar penuturan John, Nina berusaha menghentikan tangisnya. Nina mengerti jika dia tidak boleh seperti ini. Tetapi tanpa kehadiran Alex disisinya, semua terasa sulit. “John, Alex … ” Matanya kembali berkaca-kaca, tidak bisa melanjutkan kalimatnya.

John mengerti apa yang ingin ditanyakan Nina. Dia menghela nafas panjang sembari menyusun kata-kata yang tepat untuk menjelaskan. “Pertama-tama, kau salah paham. Apa yang kau dengar tadi tidak seluruhnya. Aku disini untuk membantu Alex. Apa kau tahu masalah yang sedang dihadapinya?”

John tidak terkejut ketika Nina menggeleng sebagai jawaban. Mengenal sifat Alex, dia tidak akan memberitahu masalahnya pada orang lain dan berniat mengatasinya sendiri. Kalaupun membutuhkan bantuan, orang pertama yang dicari pasti adalah dirinya. John menjadi bangga karena Alex selalu mengandalkannya.

“Selama kalian berdua berlibur ke Indonesia, salah seorang Manager mengambil proyek tanpa persetujuan Alex. Manager itu langsung menjalankan proyek tanpa mencari tahu lebih jauh mengenai pekerjaan itu. Saat pembangunan sudah berjalan setengah, pemilik asli dari lahan itu tiba-tiba muncul dan meminta ganti rugi dengan jumlah yang besar. Perkara itu pun dengan cepat tersebar luas sehingga beberapa pengerjaan yang sedang dilakukan terpaksa berhenti. Karenanya, keuangan perusahaan menjadi bermasalah.

Semuanya tidak ada yang mudah. Alex harus meyakinkan investor untuk kembali bekerja sama dengannya dan menangani kasus dalam waktu yang bersamaan. Yang membuatnya semakin sulit karena pekerjaan itu dilakukan diatas lahan milik keluarga Clinton. Putri mereka, Luisa, sangat menyukai Alex. Dengan kekuasaannya, dia mempengaruhi para investor itu untuk tidak menerima tawaran Alex. Belum lagi, dia membuat rumor palsu tentang Alex yang menghamilinya. Nama baik Alex menjadi jatuh di dunia bisnis. Tujuan Luisa melakukannya agar membuat Alex tunduk dan memilikinya.”

Nina mendengar dengan rinci setiap penjelasan yang diberikan John. Luisa Clinton. Wanita itu pernah menampar dan menghina dirinya karena dianggap telah merebut Alex. Tamparan Luisa berhasil membangkitkan salah satu kenangan buruk masa lalunya. Saat itu, setiap hari dia selalu merasa takut. Dia takut dengan masa lalu yang tidak diketahuinya dan juga dengan Luisa.

Namun sekarang semua telah berubah. Dia telah mengingat masa lalunya dan menjadi pasangan sah Alex. Nina percaya jika Alex tidak pernah melakukan hal yang akan menyakitinya. Luisa tidak mungkin mengandung anak Alex, karena Alex tidak pernah mencintainya.

“Luisa tidak mungkin mengandung anak Alex. Dia pasti mengada-ngada! Dari pada itu, apa Alex bisa mengatasi hal ini? Apakah begitu sulit hingga harus memecat semua karyawannya? Lalu bagaimana jika harus menjual gedung ini juga terjual?!” Nina tidak bisa membayangkan kalau Alex akan kehilangan semua hasil kerja kerasnya dalam sekejab. Perusahaan ini dibangunnya dengan susah payah dan usahanya sendiri. Meskipun tidak menyaksikan secara langsung, Nina tahu pasti banyak suka duka yang dialaminya selama menbangung perusahaan ini.

“Wow, wow, wow, pikirannmu terlalu liar Nyonya Testa. Alex tidak akan terpuruk sampai harus menjual perusahaanya. Dia, Alexander Black Testa! Pria yang digilai karena ketampanan dan kekayaanya yang melimpah ruah!” seru John semangat.

Mendadak, Nina merasa buntu karena tidak mengerti apa yang dimaksud John. Dari caranya menjelaskan sebelumnya, masalah yang dialami Alex terdengar gawat hingga membuatnya harus kehilangan segalanya. Namun, cara berbicaranya kali ini justru mengatakan sebaliknya.

Melihat wajah kebingungan Nina, John membulatkan matanya lebar. “Maaf jika aku pertanyaanku menyinggungmu. Apa kau tahu siapa Alex?”

“Alexander Black Testa, itu adalah nama lengkapnya. Dia lahir di Italia tetapi dibesarkan di New York. Dia adalah suamiku dan juga ayah dari anak ini.” Nina mengelus perutnya untuk mempertegas jawaban terakhir.

“Kau benar, tapi sayangnya kurang lengkap! Oh, Nina, aku jadi ingin menjitak Alex karena menyembunyikan hal ini juga. Kau adalah wanita yang menyedihkan sekaligus wanita yang paling beruntung dicintai olehnya.”

Bukannya mendapat penjelasan, Nina semakin bingung oleh ocehan tidak jelas John. Dia tidak tahu, rahasia apa yang disembunyikan Alex darinya.

“Dengar, Alex itu sangaaaaat kaya! Tanpa membangun perusahaan ini pun, dia tetap akan menjadi Most Wanted Man diseluruh benua Amerika. Itu karena keluarganya memiliki kekayaan yang luar biasa! Tidak ada satupun yang tidak dapat diraih oleh keluarga Testa! Tapi Alex memilih untuk mencari jalannya sendiri daripada mewarisi semua kekayaan orang tuanya. Dia ingin menunjukkan bahwa dia bisa memulai kariernya tanpa bantuan dari keluarganya, dan ya, Alex berhasil membuktikannya!”

Setelah mendengar penjelasan John, ada rasa kosong yang mengisi hatinya. Dia berpikir dia telah mengenal Alex sepenuhnya, nyatanya tidak. Nina hanya mengetahui apa yang dilihatnya. Usaha yang dilakukan secara nyata, perhatian yang diberikan dan cinta yang begitu besar. Tidak pernah terpikir olehnya untuk mengetahui latar belakakang kekasihnya. Baginya, dicintai oleh Alex merupakan kebahagiaan terbesar dalam hidupnya.

“Jadi, Alex sama sekali tidak ada masalah?” Nina berusaha menormalkan suaranya meskipun sebenarnya dia cukup terluka.

No problem! Aku sudah menemukan semua bukti kebohongan Luisa. Setelah ini, semua akan aman dan Luisa tidak akan berani lagi menganggu kehidupan kalian,” jawab John dengan bangga.

Nina tersenyum kecil mendengar jawaban itu. Setidaknya Alex baik-baik saja dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Sekarang Nina hanya perlu memikirkan alasan saat bertemu dengannya. Apakah Alex akan marah melihatnya disini? Apakah Alex akan jujur padanya tentang permasalahan ini dan menceritakan siapa sebenarnya dirinya? Nina tidak mau berperan menjadi istri yang tidak tahu apa-apa tentang suaminya. Dia ingin menjalankan perannya sebagaimana mestinya tanpa ada rahasia diantara mereka.

“Apa kau kecewa karena Alex menyembunyikan semuanya darimu?”

Pertanyaan spontan dari John berhasil membuat Nina tersentak. Merasa seperti penjahat yang ketahuan, Nina menundukkan wajahnya menghindari kontak mata.

“Bagaimana kalau kau mengerjainya? Alex sangat mencintaimu, pasti kau akan dimaafkan.”

Mendengar usulan John, semangat di wajah Nina kembali. Tidak ada salahnya sekali-kali mengerjainya. Nina juga ingin menjadikan ini peringatan agar Alex tidak lagi bertindak sendirian.

“Apa rencamu?”

Senyuman di wajah John mengembang dengan lebar. Dia lalu menjelaskan secara singkat, padat dan pelan agar tidak ada yang mendengarnya. Setelah selesai, Nina menggangguk setuju dan menunggu saat rencana itu dijalankan.

***

Berada satu ruangan dengan Luisa membuat Alex merasa muak. Sudah cukup mata dan telinganya merasa sakit setiap kali melihat wanita itu berada di ruang sidang dan berakting didepan hakim. Tatapan jenuh dan bosan selalu tercetak diwajahnya jika sudah bertemu dengannya. Dari wajah Luisa menyiaratkan jika pertemuan mereka tidak cukup hanya berada dibalik hukum. Dia juga ingin mengusiknya diwaktu lain, seperti sekarang, dengan membawa pengacara ke kantornya.

Luisa yakin dirinya akan menang. Keyakinannya berasal dari sikap Alex yang tidak pernah membantah tuduhan yang berikan. Belum lagi dengan perintahnya yang tiba-tiba menyuruh karyawan untuk tidak masuk, sampai jangka waktu yang tidak ditentukan. Alex pasti begitu kesulitan sehingga membuat keputusan seperti itu.

Sikap Alex yang dingin membuat Luisa semakin tergila-gila. Dengan status yang dimilikinya, banyak laki-laki yang mengejarnya dan memperlakukannya seperti ratu. Kaya atau miskin, semua pria berlomba-lomba mendapatkannya. Tentu saja Luisa memilih yang tampan dan juga kaya. Selain untuk memuaskan hasratnya, dia juga membutuhkan mereka untuk melancarkan bisnis keluarga.

Diantara mereka semua, Alex berbeda. Belum pernah dia bertemu dengan pria yang secara terang-terangan menolaknya. Selain kaya dan juga tampan, sikap dingin selalu menyertainya. Bukan hanya padanya, tetapi pada semua wanita yang mendekatinya. Semakin sulit mendapatkan, semakin semangat pula dirinya untuk mendapatkan Alex. Dia menginginkan Alex. Bukan hanya sementara tetapi selamanya.

Luisa mendambakan semua yang ada pada Alex. Kekayaan, tubuh dan juga cinta, dia menginginkan semuanya. Walaupun harus mengemis, Luisa rela. Hanya sedikit pengorbanan tidak sebanding dengan apa yang didapatnya nanti.

Namun, Alex dengan tegas menolaknya. Bukan hanya itu, dia juga telah memberikan hatinya pada wanita murahan yang tidak ada apa-apanya. Luisa membenci Nina. Susah payah dia menyingkirkan setiap wanita yang berusaha mendekatinya, pada akhirnya Alex jatuh cinta pada orang lain, bukan padanya.

Karena tidak bisa mendapatkan Alex, dia terpaksa menggunakan cara licik walau harus mengorbankan dirinya. Harga diri Alex yang tinggi, pasti tidak akan memberitahukan masalahnya pada siapapun. Tapi jika persoalannya sudah besar, kedua orang tuanya pasti akan turun tangan ditambah dengan isu dirinya yang mengandung cucu mereka.

Luisa tidak peduli siapa ayah dari anak yang dikandungnya. Dia tidak pernah mengingat wajah pria yang berhubungan dengannya dan selalu mencampakkan mereka begitu saja. Asal tujuannya telah tercapai, dia bisa membuang anak itu kapan saja dan mengandung lagi buah hatinya dengan Alex.

Melihat wajah Luisa yang tersenyum penuh kemenangan, membuat Alex ingin mengusirnya. Dia yakin jika para hakim telah disuap untuk memenangkannya dalam perkara ini. Jika keinginan Luisa tercapai, bukan hanya perusahaan ini yang jatuh, dia juga terpaksa untuk menikahinya dan membuat Nina terlihat sebagai penjahat.

Tentu saja Alex tidak membiarkan hal itu terjadi. Saat mengetahui Luisa akan datang menemuinya, dia sudah mempersiapkan serangan balasan. Dengan bantuan John, Alex berhasil mengumpulkan semua bukti kecurangan Luisa. Hanya tinggal menunggu waktu yang tepat hingga memulai rencananya dan saat itu dia berjanji akan membuat Luisa tidak bisa muncul lagi dalam kehidupannya untuk selamanya.

“Alex Sayang, bagaimana kalau kita sudahi saja permasalahan ini? Aku tahu jika perusahaanmu sedang kesulitan untuk membayar denda. Karena aku tengah mengandung anakmu, bagaimana kalau kita selesaikan semua ini dengan pernikahan? Kau tidak suka merepotkan orang tuamu kan? Jadi, sebaiknya kita menikah dan aku dengan senang hati akan membantumu.”

Alex mendengus kasar sebagai jawaban. Dia sengaja mengalihkan pandangannya pada tumpukan dokumen tanpa mempedulikan Luisa yang masih terus menatapnya dari kursi tamu.

Merasa diabaikan, Luisa berjalan mendekati Alex dan mengitari kursi kerjanya. “Sayang, apa kau tidak kasihan padaku? Aku tengah mengandung dan membutuhkan perhatianmu. Anak kita akan merasa sedih diabaikan oleh daddy nya.”

“Sekeras apapun kau mengatakan, anak itu bukanlah anakku. Kau terlalu banyak bermimpi.” Jawaban ketus Alex membuat Luisa tersinggung.

“Anda tidak boleh seperti itu Mr Testa. Foto-foto bukti menjadi bukti jika anda menemani Mrs Clinton untuk mengecek kandungan. Kenapa anda bersikeras menyangkal jika anak itu bukanlah milik anda?” Pengacara yang menemani Luisa ikut angkat bicara setelah Alex memberikan perlakuan dingin.

Alex sama sekali tidak menjawab seolah-olah tidak mendengarnya. Baginya tidak ada gunanya menanggapi mereka. Waktunya lebih berharga dihabiskan bersama Nina dari pada mereka.

Luisa memberikan tatapan nyalang pada pengacaranya, memberi isyarat untuk diam. Dia lalu tersenyum cerah saat menoleh kepada Alex dan memeluk sebelah lengannya. “Sayang, sekeras apapun kau menolak, aku sudah menelepon Daddy dan Mommy untuk datang. Aku juga mendapat kabar jika orang tuamu akan datang hari ini! Malam nanti, mereka akan membicarakan pernikahan kita. Aku tidak sabar karena sebentar lagi kita akan menikah!”ucapnya girang.

Dahi Alex berkerut mendengar sesuatu yang janggal. Orang tuanya akan datang? Alex sudah menyusun jika ini akan berakhir dengan munculnya orang tua Luisa. Alex tidak menyangka jika orang tuanya tetap datang meskipun dia telah mengatakan akan membereskan semuanya. Kalau pun iya, kedatangan mereka tidak akan mempengaruhi rencananya. Justru dengan begitu, Alex bisa membuktikan kalau dia mampu dan bisa berdiri sendiri.

Tidak lama setelahnya, pintu ruang kerja Alex diketuk dari luar. Wajah Luisa menjadi berbinar-binar melihat kedua orang tuanya datang.

Daddy! Mommy!” Luisa berhambur ke pelukan kedua orang tuanya yang disambut dengan riang.

“Apa tidak ada sambutan untuk kami, nak? Bukankah sebentar lagi kita akan menjadi keluarga?” Edward Clinton, selaku ayah Luisa memberikan senyuman lebar ketika melihat Alex masih duduk di kursi kerjanya.

Untuk menunjukkan rasa hormat, Alex beranjak dari kursinya dan menyalami Tuan dan Nyonya Clinton. Perbuatannya membuat Luisa senang dan bergelayut manja pada lengannya.

“Aku sudah mendengar dari Luisa mengenai permasalahan pada proyekmu. Aku tidak tahu kalau perusahaanmu lah yang telah merusak lahanku. Tidak kusangka akan ada orang yang berani mengklaimnya dan menggunakannya untuk menipumu. Karena sebentar lagi kita akan menjadi keluaga, aku akan membantumu mengatasi masalah ini.”

“Aku bisa mengatasi masalahku, Paman. Kehadiran kalian disini sudah sangat membantu.” Ya, kehadiran mereka membantunya untuk membuka topeng palsu Luisa dan menyelesaikan semua ini dalam satu kali sapuan.

“Aku harap kalian menyukai hadiah yang telah aku siapkan khusus untuk kalian!” Setelah mengatakannya, pintu ruangan Alex terbuka dan memunculkan seseorang. Namun, ada orang lain yang tak diduganya juga berada disana. Tanpa sadar senyum bahagianya muncul ketika melihat sosok wanita yang dirindukannya. Namun, ada yang berbeda darinya. Tatapannya tampak begitu asing dan senyum yang hanya untuknya kini diberikan kepada pria disampingnya, John.

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Only You – Chapter 53

0 votes, average: 0.00 out of 1 (0 votes, average: 0.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

1

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Setelah memberanikan diri, Randy mengetuk pintu kamar Nina dan menunggu jawaban dari seberang. Tidak butuh waktu lama untuk mendapat balasan. Begitu mendapat sahutan, Randy segera masuk dan menemukan kakaknya tengah duduk ditepi ranjang.

Meskipun Nina tengah tersenyum padanya, itu tidak bisa menyembunyikan kesedihan dan kegelisahan diwajahnya. Pertengakaran mereka tempo hari masih menyisakan luka. Belum lagi dengan isu perusahaan dan tidak adanya kabar dari Alex yang membuatnya cemas.

“Kakak nunggu telepon dari Alex?” tanya Randy membuka pembicaraan ketika melihat ponsel dalam genggamannya.

“Ah, tidak.” Nina meletakkan ponsel itu secara asal diatas kasur. “Aku hanya bosan jadi melihat video-video lucu.”

Nina jelas tengah mengelaknya. Dia tidak mau menunjukkan kalau sedang menunggu balasan dari Anna. Saat telepon pertamanya tidak diangkat oleh Alex, Nina berulang kali terus menghubunginya. Tidak ada jawaban dari seberang, membuatnya berpikir jika yang dikatakan ibunya adalah benar. Nina mencoba mengirimi pesan kepada Anna untuk bertanya keadaan disana. Namun, sampai saat ini balasan itu belum juga tiba.

“Kakak gak perlu bohong. Aku tahu apa yang kakak pikirkan.” Randy duduk disamping Nina dan memberikan sebuah amplop putih.

“Apa ini?” tanya Nina.

“Tiket untuk kakak ke New York,” jawab Randy santai. “Kakak mencemaskan Alex, bukan? Daripada kakak menunggu disini, lebih baik langsung menemuinya. Kakak juga bisa langsung memukulnya kalau merasa di abaikan. Yang penting kakak bisa bertemu dengannya.”

“A-aku tidak bisa menerimanya! Kau pasti mengeluarkan banyak uang untuk membelinya. Aku tidak bisa menerima tiket ini.”

Nina ingin mengembalikan amplop itu tetapi Randy menolak. “Selama ini, kakak sudah melakukan banyak hal untukku sedangkan aku sama sekali tidak melakukan apapun. Yang bisa kulakukan sekarang hanyalah membeli tiket ini untuk kakak. Aku tidak mau melihat kakak bersedih lagi. Aku ingin kakak bahagia.”

Nina tidak bisa menyembunyikan rasa harunya. Matanya berkaca-kaca karena ketulusan Randy. Adiknya kini telah dewasa. Dia tidak perlu mengkhawatirkannya. Kedua lengannya terulur, memeluk punggung yang sekarang ini lebih besar darinya. “Terima kasih, Randy. Aku menyayangimu.”

“Aku juga,” balas Randy seraya membalas pelukan kakaknya. Setelah beberapa saat, Randy menguraikan pelukannya. “Kalau begitu, ayo kita berangkat. Pesawatnya akan berangkat sebentar lagi. Kakak tidak mau ketinggalan kan?”

“Eh, tapi aku belum berkemas.” Nina segera membuka amplop dan melihat jam yang tertera. Pukul 12 siang dan sekarang waktu menunjukkan pukul 8. Nina baru sadar jika Randy belum berangkat bekerja. Kalaupun mengesampingkan hal itu, dia tetap tidak akan sempat membenahi barang-barangnya.

“Tidak usah memikirkan hal itu. Aku bisa mengirimkannya dengan ekspedisi. Yang penting, ayo kita berangkat! Kakak ingin segera bertemu Alex kan?”

Ucapan Randy mengingatkannya dengan yang Alex katakan dulu. Jika biasanya wanita sering disebut makhluk yang ribet, maka laki-laki adalah orang yang simple, seperti Randy dan Alex. “Tunggu! Bagaimana dengan Mama? Aku belum berpamitan dengannya.”

Randy mengernyit tidak percaya mendengar kakaknya. Kakaknya itu masih perhatian dengan Dian walaupun selalu mendapat perhatian kurang baik darinya. Meskipun begitu, kakaknya menyayangi Dian dengan tulus. “Sejak pagi, Mama belum keluar dari kamar. Aku akan menyampaikannya agar kakak tidak merasa canggung.”

“Tidak apa-apa. Aku akan berpamitan di luar. Ini tidak akan lama, tunggu sebentar ya.”

Nina lalu berjalan menuju kamar Dian dan berdiri diseberang. Dengan pelan, dia mengetuk pintu itu tanpa berniat untuk masuk. Tidak ada sahutan dari dalam. Dian pasti masih marah padanya dan tidak ingin melihatnya. Nina tidak ingin membuatnya marah dan ingin menyampaikan perpisahan dengan baik.

“Ma, aku tahu Mama masih marah padaku. Aku minta maaf atas semua kesalahan yang dulu aku lakukan. Ketahuilah kalau aku tidak pernah membenci Mama. Aku sayang pada Mama karena telah membesarkanku hingga saat ini. Sebelumnya, kita berpisah selama 5 tahun. Kali ini, aku tidak tahu berapa lama kita berpisah. Karena itu aku ingin mengucapkan terima kasih. Aku harap Mama selalu sehat. Sampai jumpa.”

Setelah mengatakannya, Nina berjalan ke arah Randy. Sebelum menginjakkan kakinya ke luar, dia menoleh untuk terakhir kalinya. Saat 5 tahun lalu melangkah dari rumah ini, hatinya dipenuhi dengan kemarahan dan kesedihan. Jika kecelakaan itu tidak terjadi, apakah jalan hidupnya akan berbeda? Apakah dia akan lebih bahagia jika saat itu melamarnya atau tidak?

Tidak ada yang tahu mengenai masa depan. Tapi Nina berharap jika apapun yang terjadi selanjutnya adalah hal yang baik, termasuk perpisahan yang sekarang. Dia tidak ingin mengulang penyesalan yang terjadi 5 tahun yang lalu. Karena itu, kali ini dia akan melangkah tanpa ada satu pun penyesalan dalam dirinya.

***

Ketika pesawat yang dinaikinya lepas landas, Nina menoleh ke jendela berharap bisa menemukan sosok Randy untuk terakhir kalinya. Percakapan terakhir mereka sebelum berpisah membuatnya tenang. Dia berjanji akan melupakan pertengkaran yang terjadi sebelumnya dan merawat Dian dengan baik. Sekesal-kesalnya Randy padanya, dia masih bisa mengesampingkan egonya dan berpikir jernih. Randy juga berjanji tidak akan mengungkit kejadian yang tidak menyenangkan dan hidup rukun dengannya.

Sedikit banyak, beban Nina telah berkurang. Sekarang yang dipikirkannya adalah Alex.

Nina tidak tahu seberapa parah masalah yang dialaminya hingga menyembunyikan hal itu darinya. Bukannya tidak mempercayai kemampuan Alex, Nina yakin jika dia sanggup mengatasi semua masalah persoalan dengan baik. Alex tidak pernah mengecewakannya. Yang ingin dilakukannya adalah berada disampingnya dan memberi semangat yang dibutuhkan.

Saat kembali ke Indonesia, Alex menemaninya hingga membuatnya lupa dengan rasa lelah dan perjalanan yang panjang. Kini, dia mengalami hal yang sebaliknya. Tanpa Alex disisinya, semua terasa kosong. Tidak ada pelukan hangat, tidak ada yang memperhatikannya dan tidak ada yang menjaganya sewaktu tidur. Tiada Alex disampingnya, waktu berjalan sangat lambat dengan rasa gelisah yang tak kunjung surut.

Sekarang, Nina mengerti bagaimana perasaan Alex melewati 5 tahun lamanya tanpa dirinya. Rasa sendiri tanpa orang yang dicintai, rasanya begitu dingin. Setiap hari, dia selalu berharap kalau matanya akan terbuka. Selama apapun, Alex tetap menunggu. Tidak peduli seberapa lelah dia menunggu, Alex tidak pernah menyerah untuk mempertahankannya.

Kali ini, Nina akan berjuang untuk Alex. Tidak peduli sesulit apapun, dia akan membantunya dengan segenap tenaga. Jalannya mungkin akan sulit tapi Nina tidak akan menyerah. Apapun yang terjadi dia tidak akan meninggalkan Alex begitu saja. Karena pria itu adalah sumber kebahagiannya.

Wait for me, my Dear.

***

Mata abu-abu milik pria itu menatap nanar pada wanita diseberangnya yang tersenyum penuh kemenangan. Rambut pirang wanita sengaja dikibaskan ketika berdiri dari kursi. Bunyi ketukan hak tinggi sepatunya yang berirama menyertai setiap langkahya. Jemari cantik yang selalu dirawat dan dipoles mengelus rahang pria itu. Warna merah menyala pada kukunya tampak mencolok saat meletakkan jarinya pada jas hitam yang dikenakan pria itu.

“Kau sudah kalah, Sayang. Tidak ada yang akan mempercayaimu, terlebih dengan anak yang berada dalam kandunganku ini. Dia sangat merindukan Daddy nya.”

“Kau bisa membohongi semua orang, tetapi aku tidak akan termakan tipuanmu, Luisa! Sampai kapanpun aku tidak akan menyerahkan diriku padamu! Kau hanyalah perempuan licik!”

Mendengar bentakkan Alex, Luisa berpura-pura memasang wajah sedih. “Baby, Daddy membenci Mommy. Apa yang harus Mommy lakukan untuk membuat Daddy kembali? Apa Mommy harus memberi pelajaran pada wanita pengganggu itu?”

Alex langsung menghentak permukaan meja dengan keras. Tatapannya berubah tajam menatap penuh kemarahan pada Luisa. “Kalau kau berani  menyentuh Nina sedikit saja, aku pastikan kau akan menyesal!”

“Aw, Daddy mengancam Mommy karena wanita lain. Mommy menjadi sedih!” Sebelah tangannya berpura-pura mengusap air matanya yang tidak ada dan satunya lagi mengelus perutnya yang sedikit membuncit.

Dari sudut matanya, dia mengintip ekspresi Alex yang seperti ingin mencekiknya. Luisa kemudian tersenyum senang seraya menarik dasi yang dikenakannya. “Lebih baik kau menyerah, Sayang. Kau tidak akan menang. Lebih baik kau kembali padaku sehingga aku bisa membatalkan tuntukanku. Lagi pula … ” Luisa mendekatkan bibirnya ditelinga Alex, “Wanita itu pasti akan meninggalkanmu setelah kau jatuh miskin dan mencari pria lain.”

Alex mengepal tangannya erat menahan kemarahannya. Dia tidak menyangka jika lahan itu adalah milik keluarga Clinton. Luisa sengaja berpura-pura menyuruh orang sebagai pemilik dari lahan itu dan ingin membangun perumahan. Setelah proyek berjalan setengah, dia muncul sebagai pemilik sah dan menuntun perusahaannya. Semua ini jelas adalah jebakan yang disusun untuk menjeratnya dan semua dijalankan saat dia meninggalkan negara ini.

Tidak ada bukti kuat membuat Alex sulit memenangkan pengadilan ini. Semua orang yang terlibat dalam proyek menghilang begitu saja. Luisa pasti telah menyuap mereka, atau yang lebih buruk melenyapkan mereka yang berhubungan.

Kemunculan Luisa dengan kondisi hamil membuat posisinya semakin sulit. Luisa mengklaim bahwa anak yang dikandung adalah miliknya dan memberikan tuduhan kalau dia tidak mau bertanggung jawab karena berselingkuh dengan wanita lain. Dia memberikan beberapa foto kepada hakim sebagai bukti kalau Alex pernah menemaninya ke rumah sakit dan fotonya sat bersama wanita lain.

“Hasil dari pengadilan ini belum ditentukan. Aku pasti akan menemukan bukti atas semua kelicikanmu.”

“Silahkan berbuat sesukamu, Sayang. Jangan lupa, orang tuamu akan datang menemui orang tuaku. Mereka pasti senang kalau mengetahui sebentar lagi akan memiliki cucu.” Luisa tertawa riang mengatakannya. Setelah puas, dia berjalan meninggalkan ruangan dan memberikan kedipan genit padanya. “Sampai jumpa, calon suamiku!”

Ketika Luisa telah meninggalkan ruangan, Alex meninju meja dihadapannya melampiaskan emosinya. Amarahnya pada Luisa mampu membuatnya lupa pada rasa sakit jemarinya.

Alex tidak akan membiarkan semua ini berjalan sesuai dengan keinginan Luisa. Walaupun semua kekayaannya lenyap, dia tidak akan menjual dirinya pada wanita itu. Wanita yang dicintainya hanya Nina dan hanya dialah satu satunya wanita yang dicintainya.

Alex lalu melihat panggilan yang diabaikannya sejak semalam. Melihat nama Nina yang muncul membuatnya tersenyum miris. Dia harus melakukan itu agar bisa keluar dari masalah ini. “Maafkan aku, Sayang.”

***

Begitu sampai di New York, Nina langsung menuju kantor Alex. Dia tahu, pada jam seperti ini Alex pasti berada di kantor. Nina tidak menunda-nunda pertemuannya. Dadanya terus berdebar tidak nyaman semenjak menginjakkan kaki di negara ini. Dia merasa jika tidak segera menemui Alex sekarang, maka tidak ada kesempatan kedua kalinya.

Ketika tiba dikantor, rasa bingung langsung menyerang ketika tidak melihat satupun satpam yang berjaga. Dengan bergegas, Nina masuk kedalam dan juga tidak menemukan satu orang pun.

Nina masih ingat dengan jelas jika biasanya lantai ini penuh dengan banyak orang. Karyawan yang mondar mandir melayani tamu, resepsionis yang selalu memberi sambutan ramah dan orang-orang yang datang untuk diwawancarai kerja.

Sekarang, lantai itu sangat sepi. Tidak hanya disitu, lantai-lantai selanjutnya juga tampak kosong dengan berkas-berkas yang ditinggalkan begitu saja diatas meja. Jika sekarang adalah malam hari, kantor ini tampak menyeramkan dengan hawa dingin yang begitu mencekam.

Nina melangkah cepat menuju lift dan menekan tombol lantai tertinggi. Dia bernafas lega karena lift itu masih bekerja meskipun tidak ada siapapun disana. Menaiki lift sendiri dengan suasana yang sepi memberikan kesan horror. Begitu tiba di lantai tempat Alex bekerja, Nina langsung berjalan cepat keluar.

Nafas Nina sempat berhenti ketika melihat sosok bewarna putih yang berdiri tidak jauh dari ruangan Alex. Ketakutannya seketika sirna ketika mengetahui sosok itu adalah John. Nina semakin mempercepat langkahnya untuk menanyakan keadaan Alex. Namun langkahnya tiba-tiba berhenti ketika mendengar pembicaraannya melalui telepon.

“Dia sudah tidak bisa lolos lagi. Kali ini, dia pasti akan hancur.”

Tas yang berada dalam genggaman Nina terlepas begitu saja. Bunyi akibat dentuman itu berhasil mengagetkan John hingga ponsel terlepas dari genggamannya. Matanya membulat sempurna ketika melihat sosok Nina yang berdiri dihadapannya. Wajahnya ikut memucat ketika melihat Nina yang berdiri menatapnya kosong.

“Alex, dia … “

Sebelum Nina menyelesaikan kalimatnya, dunia terasa bergoyang. Hal yang terakhir di ingatnya adalah John yang berteriak menangkapnya dan namanya yang terus dipanggil.

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Only You – Chapter 52

1 vote, average: 1.00 out of 1 (1 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

1

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Begitu melihat ibunya pulang, Nina langsung membukakan pintu dan membantu membawa belanjaannya. Meski dilarang, dia tetap melakukannya karena kasihan dengan ibunya yang telah berjalan jauh untuk membeli belanjaan tersebut. Nina tidak tahu, bagaimana ekspresi wajah Dian ketika melihatnya.

“Nina, kamu tahu kapan suamimu datang lagi?” tanya Dian setelah Nina meletakkan kantong belanja.

“Tidak tahu. Alex hanya bilang jika urusannya sudah selesai, dia akan pulang.” Nina menjawab sebenar-benarnya. Dia tidak tahu berapa lama yang dibutuhkan Alex untuk menyelesaikan urusan di sana dan kapan ia akan datang. Sekelebat, Nina melihat tatapan ibunya yang menajam. Dia masih mengingat dengan jelas kalau tatapan itu mengisyaratkan ketidaksukaan.

“Ada apa, Ma?” tanya Nina memberanikan diri.

Dian mendengus tak suka sambil membuang muka. “Mama dengar dari tetangga sebelah kalau perusahaan suamimu ada masalah. Sebagai seorang istri, bagaimana bisa kau tidak mengetahuinya? Apa karena sudah biasa dilayani membuatmu berleha-leha?”

Ucapan Dian justru membuat Nina terkejut. Dia sama sekali tidak mengetahui hal itu. Alex tidak pernah menceritakan urusan pekerjaan padanya secara detail. Setiap kali bertanya, Alex akan menjawab tidak masalah atau biasa saja.

Dadanya berdenyut sakit saat Dian melayangkan pandangan tidak suka padanya. Nina mengira jika hubungan dengan ibunya sudah membaik. Itu bukan hanya anggapan. Ibunya sungguh memperlakukannya dengan baik dan memperingatinya tentang pantangan selama hamil. Dia juga memasak dan menemaninya ke dokter saat pemeriksaan.

Sikap Dian yang tiba-tiba berubah justru membuat Nina kebingungan. Setelah kepergian Alex, perlakuan Dian pada dirinya berubah dingin. Sebenarnya apa kesalahan yang dulu diperbuatnya sehingga ibunya sendiri begitu memusuhinya?

“Coba kamu telepon suamimu dan tanya kapan dia pulang. Kalau tidak ada masalah, dia akan menjawab. Jika tidak, pasti perusahaannya benar-benar ada masalah.”

“Tapi Ma, jam di sana sekarang – “

“Kalau suamimu benar-benar peduli pasti akan angkat! Tidak peduli disana mau malam, hujan atau bahkan sedang gempa sekalipun, dia pasti akan angkat teleponmu!” potong Dian sarkas.

Nina menelan ludahnya gugup sebelum melakukan apa yang disuruh. Dia mencari nomor Alex dan menelepon di depan ibunya.

Telepon tidak diangkat, begitu juga dengan telepon kedua dan seterusnya. Nina mulai cemas karena tidak biasanya Alex mengabaikan panggilannya. Rasa cemas mulai menguasai dirinya dan berbagai pikiran buruk mulai melintas.

“Dia tidak angkat? Berati benar usahanya sedang goyang!” Tiba-tiba, tatapan dingin Dian berubah menjadi menuduh. “Jangan-jangan kamu sudah tahu hal itu lalu merayunya untuk membawa kamu pulang! Karena sewaktu-waktu suamimu akan bangkrut, kamu pulang supaya mama dan Randy yang menanggung biaya kamu dan persalinan anak kan?!”

“Bukan begitu Ma, aku tidak – “

“Cukup! Mama tidak mau dengar alasan kamu! Lebih baik kamu pikirkan bagaimana caranya kamu membesarkan anak itu dari sekarang. Mama ataupun Randy tidak bisa membantumu!”

Setelah mengatakannya, Dian melenggang pergi meninggalkan Nina sendirian. Mendapat ucapan kasar seperti itu, Nina berusaha untuk tidak menangis. Dia mengenang masa-masa sulitnya dulu yang pernah mendapat makian yang lebih kasar dari pada ini.

Apa yang dikatakan ibunya tidak benar, Alex baik-baik saja dan sungguh menyelesaikan masalahnya. Alex tidak akan meninggalkannya. Pria itu telah berjanji untuk selalu bersamanya, sampai kapanpun.

Nina harus kuat. Ini adalah cobaan lain untuk mengujinya. Walau rasa percayanya perlahan berkurang, dia akan tetap bertahan, demi dirinya sendiri dan juga anak dalam kandungannya.

***

Begitu melihat kakaknya, Randy tahu jika ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Kakaknya itu sangat mudah untuk ditebak. Walau menutupnya dengan senyuman, semuanya terukir dengan jelas diwajahnya.

“Kak, ada apa?” Pertanyaan ringan darinya mampu membuat Nina tersontak. Dari reaksinya itu, Randy menduga jika apa yang dipikirkannya pasti sangat besar.

“Bukan apa-apa. Kamu lapar? Makan saja dulu kalau begitu. Kakak bereskan barang-barangmu ya.”

Nina masih mencoba terlihat santai sambil membereskan kotak bekal dan minumannya. Randy pun tidak berniat untuk bertanya lebih lanjut. Kakanya itu sangat sulit untuk mengungkapkan masalah yang merundungnya. Dia tidak seperti Alex yang langsung mengetahui apa yang dipikirkan Nina. Tapi, itu bukan berarti membuatnya menyerah. Dia akan bertanya lagi setelah ini dan mencoba mencari penyebab atas dilemanya.

“Randy sudah pulang? Gimana pekerjaanmu hari ini?” Dian yang baru keluar dari kamar langsung menyambut anak keduanya dengan sumringah. Saat tatapannya berpapasan dengan Nina, dia mendengus kasar lalu memalingkan wajahnya.

Melihat sikap dingin ibunya kepada Nina membuat Randy kebingungan. Kenapa ibunya kembali bersikap seperti itu? Padahal selama Alex masih ada, dia selalu memperlakukan Nina dengan baik. Bahkan, Randy mengira jika ibunya sudah berubah dan menyesal atas perlakuannya dulu. Namun setelah melihat perubahannya yang tiba-tiba, Randy berpikir jika ibunya hanya mencari muka didepan Alex.

“Ma, kenapa Mama begitu sama kakak? Kakak ipar baru pergi beberapa hari, Mama langsung seperti itu. Kakak kan sedang hamil. Apa Mama mau nanti kakak ipar bawa kakak ke New York lagi?”

“Sebagai suami, sudah tugasnya menafkahi anak dan istri. Kalau dia bisa membawa kakakmu pergi, silahkan saja. Itupun jika perusahaannya tidak bangkrut dan tidak lari begitu saja.”

Mendengar ucapan ibunya membuat Randy menyerit kebingungan. “Perusahaan siapa yang bangkrut? Kakak ipar? Mama dengar dari mana berita itu?”

“Tentu saja dari Bu Nini!” jawabnya cepat. “Mama ketemu Bu Nini dipasar. Dia bilang sama mama kalau perusahaan Alex ada masalah. Anaknya kan satu team audit sama kamu. Masa kamu ngak tahu? Atau sebenarnya kamu tahu lalu menyembunyikannya dari Mama?” tanya Dian penuh selidik.

Kepala Randy langsung berdenyut mendengar deretan pernyataan yang tidak benar itu. Anak Bu Nini, Eka memang satu team dengannya. Eka suka menceritakan pekerjaanya kepada Bu Nini dan membuat hal itu menjadi bahan perbincangan dengan tetangga lainnya. Gara-gara itu, salah satu rahasia perusahaan ritel yang sedang diaudit, bocor begitu saja. Eka sudah mendapat teguran keras karena kecerobohannya itu dan berjanji tidak akan mengulanginya. Tapi ternyata ucapannya sama sekali tidak bisa dipegang.

“Dengar ya, keluarga kita itu susah. Melahirkan itu perlu biaya besar, belum lagi popok, susu dan lain sebagainya. Gaji kamu pas-pasan, belum lagi Nina juga tidak bisa kerja karena ngurusi anaknya. Kalau uangmu nanti habis, bagaimana?”

“Uang, uang, uang terus yang Mama permasalahkan! Apa Mama tidak bisa memikirkan persaan kakak yang mendengarnya?!” bentak Randy.

Benar, sejak dulu ibunya selalu mempermasalahkan uang. Saat ayah meninggal, Dian kerap mengatakan jika tidak ada cukup uang menyekolahkan mereka berdua. Meskipun sudah memberi masukan dengan pindah ke sekolah negeri, Dian tetap bersikukuh ingin sekolah swasta. Menurutnya, sekolah negeri tidak menyediakan fasilitas lengkap seperti sekolah swasta dan hal itu lah yang membuatnya sering meributkan iuran bulanan yang tinggi.

Kakaknya yang kala itu juga masih bersekolah, menyadari hal itu. Dia memilih untuk berhenti dan mencari uang agar bisa menyokong biaya sekolahnya. Meskipun Dian selalu mencemooh Nina karena keputusannya itu, dia tidak pernah mencegahnya. Pernah sekali dia mendengar pembicaraan mereka kalau Dian meminta lebih agar bisa memasukkannya ke salah satu universitas yang bergengsi. Karena itulah Nina mengambil pekerjaan tambahan sebagai buruh cuci piring di pasar malam dan selalu pulang larut.

Sewaktu ia menentang keputusan untuk masuk universitas pilihan Dian, setiap hari dia selalu mengeluh jika pendapatannya kecil. Dian juga keberatan dengan keinginannya yang ini bekerja sambil kuliah. Karena tidak bisa menentang keinginannya, Dian menyuruh Nina membelikannya sebuah motor dan membayar cicilan bulanannya.

Kala itu, Randy ingin memprotes. Dengan kemampuannya, dia sanggup untuk membeli motor itu sendiri. Namun, Dian selalu meminta saat dia tidak ada dirumah. Kakaknya pun selalu menuruti setiap permintaan Dian tanpa memprotes.

“Kakak juga anak Mama! Kenapa Mama benci sama kakak? Memangnya kakak salah apa? Bukankah kakak dulu selalu menuruti keinginan Mama? Kakak juga anak Mama!” Randy tidak bisa menahan amarah yang sudah ditahan sejak lama. Hari ini, dia harus menyelesaikan semuanya. Jika harus memilih, dia akan lebih memilih kebahagiaan Nina daripada menuruti Dian.

“Jangan kurang ajar kamu!” bentak Dian tidak kalah tingginya. “Nina pantas berkorban untukmu! Kamu lupa, gara-gara dia, kamu hampir saja ditabrak! Mama hampir saja kehilangan kamu!”

Pikiran Randy melayang saat umurnya berumur 7 tahun. Masa itu, dia sangat menyukai bermain bola. Setiap sore, dia selalu bermain bola bersama anak-anak tetangga seumurannya. Pernah sekali, mereka nekat main di depan gang. Karena saat itu hari raya, jalanan pun sepi. Seorang anak tidak sengaja menendang bola itu ke jalan raya. Randy berinisiatif ingin mengambil bola itu.

Siapa sangka, sebuah mobil tiba-tiba melesat dengan cepat. Nina yang saat itu juga tengah bermain, segera berlari ke arahnya dan mendorongnya ke seberang. Bunyi klakson panjang menggema sepanjang jalan. Pria yang mengendarainya sempat mengerem sebelum menabarak Nina. Saat Dian datang, pria itu justru marah-marah dengan mengatakan kalau Nina sengaja mendorong Randy ke jalan. Dia yang syok karena kejadian itu juga hanya bisa menangis dan membuat Nina kelihatan seperti orang yang bersalah.

Karena saat itu mereka masih anak-anak, penjelasan Nina tidak didengar. Anak-anak yang lain juga tidak berani membelannya dan hanya menangis. Nina lalu dituduh ingin mencelakainya dan mendapatkan pukulan rotan. Sejak hari itu, tidak ada yang mau berteman dengan Nina dan perlakuan Dian padanya pun berubah dingin. Nina pun berubah menjadi lebih pendiam dan menjaga jarak darinya.

“Kakak tidak salah! Aku yang ingin mengambil bola dan mobil tiba-tiba datang. Kakak sengaja mendorongku agar tidak tertabrak. Kakak menolongku! Kakak sama sekali tidak pernah jahat padaku! Kalau ada yang jahat, itu adalah Mama!”

Sebuah tamparan lalu melayang di wajah Randy. Dia melihat Nina berdiri dihadapannya dengan mata berkaca-kaca. “Kau tidak boleh mengatakan seperti itu pada Mama. Dia sudah susah payah merawat dan membesarkanmu. Kau seharusnya bersyukur.” Setelah mengatakannya, Nina lalu pergi meninggalkan mereka berdua dengan berlinang air mata.

Baik Randy dan Dian, keduanya mematung setelah kepergian Nina. Randy memandang wajah wanita yang telah melahirkannya. Perkataan Nina benar-benar membekas dihatinya. Amarah menguasinya hingga membuatnya lupa diri. Tidak seharusnya dia seperti itu. Dia juga harus memikirkan perasaan Nina.

Memyadari kesalahannya, Randy memilih untuk meninggalkan Dian yang tenggelam dengan pikirannya.

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Only You – Chapter 51

0 votes, average: 0.00 out of 1 (0 votes, average: 0.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

1

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

“Kalian sudah pulang.” Nina menyambut kepulangan Alex dan Randy dengan wajah berseri-seri. Rambutnya yang basah sehabis mandi menampakkan sisi lain dalam dirinya. Punggung dress biru kemeja itu sedikit basah karena rambutnya yang belum kering. Alex sampai terpana melihatnya. Jika mereka berada di hotel, dia pasti sudah menyerangnya.

 Jika mereka berada di hotel, dia pasti sudah menyerangnya

“Duh, rambut kakak masih basah. Aku bantu keringkan ya biar gak masuk angin.” Randy lalu menggandeng lengan kakaknya dan membawanya duduk.

“Biar aku saja yang melakukannya. Kau mandi saja dulu, pasti lelah karena seharian diluar tadi.” Alex merebut handuk dari tangan Randy dan memberikan kode secara tidak langsung untuk mengusirnya.

Meskipun tidak suka, Randy tetap memasang wajah ramahnya. Dia sangat tahu jika Alex ingin berduaan dengan Nina. Bahkan dari wajah mesumnya sudah kelihatan niat tersembunyinya. Randy tidak akan membiarkan Alex berbuat sesuka hatinya selama mereka di rumah.

“Gapapa, kakak ipar aja yang mandi dulu. Kakak ipar kan bos perusahaan, pasti lebih capek.”

Sudut bibir Alex berkedut menahan kekesalan. Adik iparnya ini sengaja mengusirnya dan ingin berduaan dengan Nina. Lihat, cengirannya bahkan sudah muncul. Kalau bukan karena Nina, dia pasti sudah menghajar Randy.

“Alex mandi saja dulu,” ucap Nina tiba-tiba. “Randy benar, kau pasti lebih letih, jadi mandilah lebih dulu.”

Randy tersenyum penuh kemenangan sedangkan Alex sebaliknya. Dengan langkah gontai, dia mengambil handuk dan melangkah menuju kamar mandi. Ada sedikit rasa terbaikan ketika melihat Nina yang bersenda gurau bersama Randy. Mau bagaimanapun, dia harus mengalah dan memberikan mereka waktu bersama.

Alex tidak tahu bagaimana rasanya memiliki saudara karena dia adalah anak tunggal. Dia berpikir pasti menyenangkan kalau memiliki adik karena bisa bermain bersama selama orang tuanya tidak ada. Yang pasti, Alex paling tahu bagaimana rasanya ditinggal sendirian dan menunggu seorang diri. Agar kepahitannya tidak terulang, dia sudah bertekat untuk memiliki banyak anak dan tidak membiarkan Nina bekerja agar bisa memberi perhatian kepada anak-anaknya kelak.

“Kakak senang loh liat kamu sama Alex akur. Soalnya kamu waktu ketemu dia, seperti mau menerkamnya bulat-bulat.” Nina senang melihat hubungan keduanya yang membaik. Menurutnya, saat pertama kali mereka bertemu, ada aura tidak yang tidak menyenangkan terutama dari Randy. Tapi setelah melihat berdua yang akrab, membuat hatinya lega.

“Karena dia pria pilihan kakak, tentu saja aku rukun dengannya. Aku kan tidak mau membuat kakak khawatir. Lagi pula, aku juga sudah mengetahuinya dari Anggi jadi aku tidak terkejut.”

Nina tersenyum kecil ketika mendengarnya. Dia tidak tahu Anggi menceritakan seberapa banyak tentang hubungannya dengan Alex. Yang pasti, mendengar kakaknya berpacaran dari orang lain pasti tidak menyenangkan.

“Aku tidak marah kok soal kakak merahasiakan hubungan dengan Alex. Dia memperlakukan dengan baik meskipun membawa kakak pergi begitu saja.” Ya, hanya itu yang tidak disukainya dari Alex. Awalnya dia berpikir kalau laki-laki itu akan bersikap arogan seperti orang kaya pada umumnya. Nyatanya Alex adalah orang yang ramah, meskipun menurutnya menyebalkan.

Randy lalu mengelus perut Nina. Walaupun Alex telah menghamili kakaknya terlebih dahulu, pria itu termasuk bertanggung jawab. Jika kecelakaan itu tidak terjadi, mereka pasti tengah berbahagia dengan anak pertama mereka. Bukan hanya itu, dia pun memiliki kesempatan untuk melihat keponakan pertama dan memanjakannya.

“Tumbuhlah dengan sehat agar bisa bertemu paman. Jangan takut kalau Mommy atau Daddy memarahimu. Paman pasti akan membela dan menyanyangimu.”

Nina terkikik ketika elusan Randy membuatanya tergelitik. “Nanti dia jadi besar kepala kalau kamu memanjakannya.

“Kalau dia jadi besar kepala, aku akan memukul pantatnya dan memberikannya pelajaran ekstra agar jera.”

Keduanya kemudian tertawa bersama memikirkan apa yang terjadi setelah anak itu lahir. Semuanya menunggu hari ketika anak itu datang ke dunia. Banyak hal indah yang menanti dan kasih sayang nan berlimpah dari orang-orang disekitarnya. Mereka akan menghargai setiap waktu yang dilalui, untuk menunggu anugerah yang datang membawa harapan baru.

***

Ketika merasa semuanya telah berjalan dengan baik, sebuah bencana baru datang tanpa diundang. Didalam ruangan yang dikhususkan untuknya, Alex meremas ponsel yang digenggamnya. Rasanya dia ingin melempar ponsel itu jika bukan karena masih membutuhkannya.

Alex mendapat laporan jika perusahaanya di New York mendapat masalah. Salah seorang Manager mengambil proyek tanpa persetujuannya. Proyek yang diambilnya ternyata memiliki masalah kepemilikan. Seseorang datang mengaku sebagai pemilik sah dari tanah tersebut dan membawa kasus tersebut hingga kepengadilan. Orang tersebut memenangkan pengadilan dan terbukti sebagai pemilik sah tanah tersebut.

Masalah semakin bertambah saat orang tersebut menuntut perusahaannya. Yang membuatnya semakin rumit adalah orang tersebut meminta ganti rugi dengan nominal yang tidak masuk akal. Dia menggunakan alasan karena pembangunan telah berjalan setengah dan merusak alam sekitarnya. Sebagai direktur dari perusahaan, Alex harus bertanggung jawab penuh atas masalah itu.

Manager yang bertanggung jawab atas pengerjaan itu telah kabur entah kemana. Mau tidak mau, Alex harus segera kembali ke New York karena orang tersebut mengancam akan menuntut perusahaanya ke pengadilan. Karena masalah ini, reputasi perusahaannya menjadi terancam. Beberapa kontrak yang sedang dikerjakannya, memutuskan secara sepihak. Para investor menarik dana secara bersamaan dan tidak ada yang berani bekerja sama dengannya. Operasional perusahan menjadi terganggu karena kekurangan dana secara mendadak.

Perkara ini tidak boleh sampai diketahui oleh Nina. Dia pasti akan bersikeras untuk membantunya walaupun dalam kondisi hamil. Alex tidak mau membuatnya susah karena dirinya. Dia akan memikirkan jalan keluarnya agar semua kembali seperti sedia kala.

Walau berat, Alex harus meninggalkan Nina disini bersama dengan keluarganya. Bersama mereka, sedikitnya membuat dirinya lebih tenang karena mereka akan menjaga Nina. Nina tidak perlu bersusah payah mengurusi semua kebutuhannya dan Randy akan menjaganya. Setelah semua masalah ini selesai, Alex berjanji akan menjemputnya lagi dan menyiapkan kejutan yang tidak akan dilupakannya.

***

“Eh, kau mau kembali ke New York? Apa ada masalah disana?” Nina tidak bisa menyembunyikan keterjutannya saat Alex mengatakan ingin kembali ke New York seorang diri. Pikirannya langsung saja tertuju pada masalah perusahaan yang perlu diselesaikan sehingga membuat Alex terlihat buru-buru.

“Bukan masalah besar, Sayang.” Alex berusaha untuk setenang mungkin agar Nina mempercayainya. “Mereka membutuhkan kehadiranku disana karena mendapatkan proyek baru. Aku tidak akan lama. Setelah selesai, aku akan kembali menjemputmu.” Alex mencium kening Nina mencurahkan betapa besar kasih sayangnya.

“Baiklah, aku akan menunggumu disini. Jangan gegabah dalam mengambil keputusan. Ingat, keputusanmu menyangkut masa depan orang lain. Aku yakin kau pasti bisa membuat keputusan yang terbaik untuk semuanya.”

Nina memberikan senyum terbaiknya tanpa mengetahui jika perasaan Alex kini tengah bimbang. Dia tidak tega meninggalkannya meskipun itu yang terbaik. “Terima kasih, Sayang. Selama aku pergi, gunakan uang ini. Aku berjanji akan segera menyelesaikannya agar kita bisa bersama kembali.”

Alex memeluk Nina erat untuk mengingat setiap kehangatan yang ada pada dirinya. Dia tidak akan pernah lupa dengan setiap sentuhan dan aroma khasnya. Jika waktu bisa berhenti, Alex ingin lebih lama seperti ini dengannya. Perpisahan mereka hanya sementara. Setelah semua berlalu, mereka akan kembali bersama seperti yang seharusnya.

***

Semenjak Nina pulang bersama laki-laki yang mengaku sebagai suaminya, Dian mulai memperhatikannya dengan baik. Dari tetangga sebelah yang bekerja satu kantor dengan Randy, dia mengetahui kalau menantunya itu orang yang sangat kaya. Usaha yang dimilikinya sangat besar hingga siapapun berlomba-lomba bekerja padanya. Bukan hanya itu, dia juga salah satu pengusaha sukses dan sangat terkenal di negaranya.

Bisa mendapat menantu seperti itu, dalam mimpi pun Dian tidak pernah berpikir untuk mendapatkannya. Namun Nina berhasil menemukan laki-laki itu. Selain kaya, dia juga tampan. Dian menjadi bangga mempunyai menantu sepertinya dan selalu memujinya didepan tetangga. Melihat mereka yang iri, membuat hatinya merasa senang.

Dian berpikir, jika sudah mengambil hati Alex, dia bisa memintanya untuk membangun satu perusahaan untuk Randy. Dengan begitu, anak laki-lakinya tidak perlu bekerja dan cukup membangun usaha sendiri. Apabila nanti Randy sukses dengan usahanya, dia sudah bisa menjalani masa tuanya dengan tenang dan menikmati hidup.

Dian tidak tega tiap kali melihat Randy pulang dengan wajah lelah. Setiap hari berangkat pagi pulang sore, panas-panasan dan terkena hujan, dimarahi klien atau bos, membuatnya merasa iba. Sebagai satu-satunya anak laki-laki, Dian ingin agar Randy mendapatkan yang terbaik karena nantinya, dialah yang akan meneruskan nama keluarga.

Karena sulit untuk meminta langsung, Dian mendekati Nina. Anak perempuannya itu sangat menurut padanya dan pasti juga ingin yang terbaik untuk adiknya. Dari pengamatannya, Alex sangat menuruti Nina. Jika Nina yang meminta, pasti akan dikabulkan.

“Eh, Bu Dian lagi belanja juga. Saya kira gak akan ketemu ibu lagi soalnya ibu kan dapat menantu luar biasa jadi semuanya udah diurusin sama pembantu.” Bu Nini, tetangganya yang suka mengetahui urusan orang lain tiba-tiba muncul dan menyapanya. Bu Nini termasuk orang yang banyak mulut. Dari dia jugalah Dian mengetahui nominal kekayaan Alex karena anaknya juga ikut dalam tim audit yang sama dengan Randy.

Sapaan yang berisi sindiran itu sama sekali tidak berpengaruh. Dian justru merasa senang karena menantunya sangat terkenal. Bahkan, para tetangga berlomba-lomba meminta untuk dikenalkan agar mendapatkan pekerjaan yang lebih baik.

“Ngak kok, Bu Nini. Kalau soal begini, gak perlu pakai pembantu. Saya bisa pilih sendiri bahan-bahan yang bagus. Kalau suruh pembantu, biasanya suka sembarangan beli. Jadi lebih baik saya sendiri saja sekalian kan bisa ketemu sama ibu.” Melihat senyum masam dari Bu Nini sudah cukup membuatnya puas. Karena suasana hatinya sedang baik, dia tidak mau terlalu lama melayani tetangganya yang banyak mulut itu.

“Oh ya, katanya menantu ibu balik ke kampungnya ya? Kata anak saya, dia lagi ada masalah. Masalahnya gede sampai pake pengadilan-pengadilan gitu! Semoga aja gak bangkrut ya, soalnya kan anaknya belum lahir. Nanti gak tahu mau kasih anak istri makan apa,” cerocosnya panjang lebar.

Mendengar hal itu, kemarahan Dian langsung terpancing. Tetangganya yang kurang ajar ini, beraninya mengatakan hal seperti itu kepada menantunya. “Jangan sembarang ngomong ya! Jangan karena iri ibu jadi sumpahi menantu saya kena sial! Menantu saya usahanya baik-baik saja, tidak ada masalah!”

“Loh Bu Dian, saya ngak nyumpahi loh ya, saya cuma kasih tahu. Coba aja ibu suruh Nina telepon buat minta penjelasan. Kalau ngak kan, ibu gak perlu pusing. Atau itu beneren makanya ibu marah?”

Pertanyaan itu sukses mengenainya dengan telak. Dian memilih untuk pergi dan menghiraukan bisik-bisik akibat adu mulutnya tadi. Lebih baik dia memastikan sendiri kebenaran itu daripada mendengarnya dari orang lain.

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Only You – Chapter 50

1 vote, average: 1.00 out of 1 (1 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

1

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Pagi-pagi setelah bangun, Nina langsung membantu ibunya membersihkan rumah dan menyiapkan sarapan. Dia melakukan semuanya dengan hati-hati dalam pengawasan Dian. Dian tidak mau terjadi sesuatu pada Nina atau cucunya. Setelah sarapan selesai, Alex dan Randy ikut bergabung.

“Sayang, nanti seseorang akan datang mengantar koper. Aku lebih tenang meninggalkanmu disini daripada sendirian di hotel.”

“Benarkah? Jadi kita tidak perlu tinggal di hotel lagi?” tanya Nina memastikan.

Alex memberikan senyumannya sebagai jawaban. “Ya, Sayang. Jika bersama ibu kau tidak perlu merasa bosan sendirian. Kalian bisa melakukan hal yang disukai bersama.”

Nina memeluk Alex untuk meluapkan rasa terima kasihnya. Saking senangnya, dia lupa jika Dian dan Randy juga berada diruangan itu. Dian hanya tersenyum melihat mereka berdua yang akur sedangkan Randy hanya acuh.

“Aku sudah selesai. Hari ini tidak perlu bawa bekal. Aku ingin makan diluar.” Setelah mengatakannya, Randy membereskan barang-barangnya dan berangkat ke kantor.

Nina yang melihat kepergiannya sedikit merasa bingung. Randy yang dilihatnya semalam berubah menjadi Randy yang dingin. Dia bingung dengan sikap adiknya dan merasa gagal sebagai kakak karena tidak tahu apa yang dipikirkannya.

“Randy sekarang kerja di konsultan. Dengar dari temannya, katanya Randy sedang mengerjakan proyek audit baru. Kliennya kali ini bule loh, pasti nanti bonus nya banyak.” Dian dengan semangat menceritakannya sambil menyuapakan makanan.

Nina hanya mengangguk lemah sebagai respon dan kembali melanjutkan sarapannya.

Alex tahu betul kenapa Randy bersikap seperti itu. Agar tidak membuat Nina bersedih, dia perlu meluruskan masalah ini. Melihat Nina yang sangat berharap mendapatkan perhatian dari keluarganya, membuat Alex tidak tega jika melihatnya muram hanya karena sikap mereka. Sekarang, dia memilih untuk diam agar tidak menimbulkan masalah.

***

Sepanjang hari, Randy berusaha untuk memfokuskan pikiran pada pekerjaannya. Walau sudah melakukan berbagai macam hal seperti mendengar musik ataupun menyibukkan diri, benaknya masih tidak lepas pada sosok Alex yang kini telah menjadi kakak iparnya. Rasa kesalnya tidak bisa hilang setelah mengetahui bahwa pria itu yang telah menyembunyikan kakaknya.

Sebelumnya dia telah mengetahui tentang Alex dari Anggi. Dari ceritanya, Randy mengetahui kalau kakaknya tengah menjalin asmara dengan seorang bule. Dari pengamatan Anggi, Alex sangat memperhatikan Nina. Dia juga ikut andil dalam menyembunyikan hubungan mereka. Namun, saat kakaknya menghilang, Anggi terpaksa menceritakan semuanya, termasuk rencana Alex untuk melamarnya.

Semakin memikirkannya, dadanya bergemuruh marah. Selama ini dia telah melakukan apapun untuk mencari kakaknya. Randy berpikir jika Alex lah yang menculik Nina. Tidak mungkin jika kakaknya hilang begitu saja dari rumah sakit dan jejaknya sama sekali tidak terekam oleh CCTV ataupun data rumah sakit.

Dengan segala upaya, Randy berhasil mencari tahu tentang Alex dan mengetahui dimana dia berada. Dari hasil pencariannya, dia menemukan fakta jika Alex adalah salah satu orang terkaya dan berpengaruh di New York. Randy tidak tahu dari mana Nina bisa mengenalnya tapi yang satu pasti, dengan segala kekuasaan yang dimilikinya, laki-laki itu bisa dengan mudah memanipulasi pihak rumah sakit dan mendapatkan apa yang diinginkan.

Randy tidak mau jika perasaan kakaknya dimainkan oleh seorang pria asing. Dia sudah bekerja keras agar bisa menemui laki-laki itu dan membawanya pulang. Namun sebelum keinginannya terwujud, kakaknya telah kembali bersama pria yang telah menculiknya.

Ingin rasanya dia memukul wajah Alex hingga babak belur dan mengusirnya. Tidak hanya menculik kakaknya, dia juga telah menghamilinya dan menikah tanpa sepengetahuan siapapun.

Suatu saat, Alex pasti akan membuang Nina setelah bosan dan membuatnya menderita.

“Ran, ada yang nyariin diruang tamu.”

Panggilan yang ditujukan padanya membuat lamunannya buyar. Randy membereskan mejanya dan mengunci komputernya sebelum menuju ke ruang tamu. Langkahnya sempat terhenti di ambang pintu saat melihat siapa yang menemuinya.

“Oh, itu dia orangnya sudah datang. Sebentar ya, Sir. Randy, cepat kesini!” Mau tidak mau, Randy terpaksa memasuki ruang itu saat atasannya memanggil.

Alex duduk disofa panjang dengan kaki yang disilangkan. Dengan setelan jas mahal dan sepatu mewah, penampilannya sekarang sangat mirip dengan orang yang berkuasa. Sedikitpun, Randy tidak merasa minder. Dia hanya enggan duduk berhadapan dengan Alex yang terus menatapnya sedangkan atasannya duduk di sofa lainnya.

So if anything don’t understand, you can ask Randy. He’s very good, very good.” Atasannya terus tersenyum sambil mengacungkan jempol meskipun inggrisnya acak-acakkan.

Setelah kepergian atasannya, Randy mengambil berkas yang ditinggalkan dan membukanya secara acak. “Jadi, apa yang ingin anda ketahui, Mr. Testa?” tanyanya sopan.

“Tidak perlu sopan saat berdua denganku. Kau bisa memanggilku Alex,” jawabnya ramah.

Randy langsung menutup berkas-berkasnya dan melepaskan kancing kemeja teratasnya. “Kalau begitu ada perlu apa, penculik?”

Tidak ada keterkejutan pada raut wajah Alex ketika melihat perubahan sikap Randy. Dia justru lebih menyukai sikapnya sekarang karena membuat suasana tidak terlalu tegang. “Apa kau sudah makan?”

“Tidak perlu basa-basi! Jika tidak ada yang kau tanyakan, aku akan pergi!”

“Aku membawa bekal yang dititipkan untukmu.” Gerakan Randy terhenti ketika hendak beranjak dari tempat duduknya. Dia menatap tote bag yang berada disamping Alex dengan tajam. “Nina membawanya tadi kekantorku. Dia juga membawa bagianmu. Bagaimana kalau kita makan siang bersama?”

Mata Randy menyipit, mencari kebohongan disana. “Apa kau bercanda?”

“Apa aku kelihatan bercanda?” Alex beranjak dari tempatnya seraya menyerahkan tote bag kepada Randy. “Ini masakan kakakmu. Kau bisa menelepon untuk menanyakan kepastiannya. Kalau kau masih tidak mau, aku dengan senang hati memakan bagianmu.”

Randy ingin merebut tote bag itu namun Alex masih lebih cepat untuk menariknya kembali. “Kuanggap itu iya. Bagaimana kalau kita ke cafe cinta? Sudah lama aku tidak kesana.” Tanpa menunggu jawaban Randy, Alex berjalan meninggalkannya dengan senyum ringan.

Randy menggeram kesal karena sudah masuk dalam permainannya. Terpaksa dia mengikuti Alex karena bekal buatan Nina ada padanya.

***

***

Melihat Alex yang makan dengan santai membuat Randy tidak habis pikir, bagaimana bisa ada manusia tidak tahu malu sepertinya? Contohnya saat berpapasan dengan Anggi tadi, Alex dengan santai menyapa dan meminta meja khusus untuk berdua

Melihat Alex yang makan dengan santai membuat Randy tidak habis pikir, bagaimana bisa ada manusia tidak tahu malu sepertinya? Contohnya saat berpapasan dengan Anggi tadi, Alex dengan santai menyapa dan meminta meja khusus untuk berdua. Ocehan Anggi sama sekali diabaikannya dan Alex justru memperlakukannya sebagai anak kecil.

Yang membuatnya semakin dongkol, Alex sama sekali tidak mengatakan apapun dan terlihat sangat menikmati bekal buatan Nina. Walau tatapan tajam selalu tertuju padanya, Alex tetap bersikap biasa, seolah-olah tidak terpengaruh olehnya.

“Apa tujuanmu mengajakku kesini? Kau bukan hanya sekedar ingin mengajak makan siang, bukan?” Randy tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya. Dia perlu mengetahui apa tujuan Alex dan bagaimana cara mengusirnya dari kehidupan kakaknya.

“Apa kau tidak mau menghabiskan makananmu dulu? Nina sudah susah payah membuatnya, jadi jangan menyia-nyiakan masakannya,” jawabnya tenang.

“Jangan bercanda!” Randy menggebrak meja dengan kasar hingga semua yang berada diatasnya bergetar. “Mau sampai sejauh mana kau mempermainkanku?! Apa kau pikir semuanya bisa diselesaikan dengan uang?! Asal kau tahu, aku bisa mengusirmu dengan paksa, penculik!”

Alex meletakkan sendoknya dan menyimpan kotak bekal dengan rapi. Tidak ada rasa takut dalam dirinya setelah mendengar ancaman Randy. Baginya, ancaman itu hanyalah omong kosong yang sia-sia. “Apa kau tahu apa yang menyebabkan Nina kecelakaan?”

“Berhenti menjawab dengan bertanya berputar-putar!” bentak Randy.

Mendengar bentakannya, Alex justru menyandarkan punggungnya pada kursi mencari posisi yang nyaman. “Kau pasti sudah mendengar dari Anggi jika aku ingin melamar Nina. Ya, hari itu aku meminta Anggi untuk menyuruhnya pulang agar bisa memberi kejutan dengan melamar didepan ibu kalian. Kau pasti menganggap itu hanya kecelakaan biasa tapi menurutku tidak.”

Randy masih menyimak apa yang diucapkan Alex. Dia sama sekali tidak mengerti apa yang ingin dikatakannya. Nina kecelakaan saat menyebrang. Sebuah mobil melintas dengan cepat dan menabraknya. Itulah kejadian yang didengarnya dari orang-orang disekitar.

“Setelah pulang, Nina bertengkar dengan Dian. Ibumu, telah mengusirnya dari rumah itu dan membuatnya bersedih. Menurutmu kenapa? Karena Dian lebih menyayangimu dari Nina.”

Randy tidak bisa berkata-kata. Dia memang mendengar dari tetangga jika ibu dan kakaknya bertengkar. Tetapi apa yang menjadi pemicu pertengkaran mereka, dia tidak tahu.

“Dari penyelidikanku, Dian menganggap Nina anak yang durhaka karena telah membohonginya. Saa itu, Nina memang berbohong. Nina berbohong dengan mengatakan kalau dia hanya keluar kota selama 3 bulan, tapi sebenarnya dia bersamaku, di New York. Disana, Nina mempelajari latte art yang membuat bisnis cafe ini semakin lancar. Kau bisa menanyakan kepada Anggi mengenai benar atau tidaknya perkataanku ini.” Alex meminum kopinya memberikan jeda kepada Randy untuk berpikir.

“Lalu apa hubungannya kebohongan kakak dengan kecelakaan itu? Jika soal berbohong, kakak hanya perlu meluruskannya saja sehingga ibu tidak perlu marah.”

“Sayangnya ibumu tidak berpikir demikian.” Raut wajah Alex berubah muram ketika mengingat laporan yang didapat dari anak buahnya. “Dian menganggap Nina pelacur karena mendapatkan barang-barang mewah. Dia tidak mau mendengar penjelasan Nina dan langsung mencap jelek tentang dirinya. Terakhir, Dian menampar dan mengusir Nina dengan mengatakannya sebagai pelacur. Nina yang sakit hati memilih untuk pergi. Rasa sakit yang terlalu perih membuat Nina tidak memperhatikan sekitarnya dan menyebabkan kecelakaan. Nina kehilangan segalanya dan semua itu karena kasih sayang Dian terhadapmu!”

Randy membeku ditempatnya setelah mendengar semua itu. Bibirnya tidak bisa menahan tawa yang akhirnya terlepas begitu saja. Tawanya begitu menyakitkan hingga tanpa sadar air mata jatuh membasahi pipinya. Ini bukan kesalahan Dian melainkan dirinya.

Karena dirinya, Dian selalu menuntut Nina untuk memenuhi segala kebutuhannya. Tanpa mengeluh, Nina selalu bekerja keras tanpa mengenal waktu. Kebutuhannya sendiri bahkan diabaikan. Randy masih mengingat, kalau Nina selalu mengenakan sepatu yang sama meskipun sudah kumal. Nina selalu mengutamakan dirinya diatas apapun.

Sekarang, Randy menyadari, kenapa Dian tidak terlalu bersedih saat Nina menghilang. Hari saat dikabarkan Nina menghilang dari rumah sakit, Dian tampak biasa saja bahkan lega. Berbeda dengan dirinya yang terus mencari keberadaan Nina hingga membuatnya gila. Dian bahkan menyuruhnya untuk merelakan kepergian Nina begitu saja walau belum melihat wajah terakhirnya.

“Bagiku, Dian tidak lebih dari seorang pembunuh. Karena dia telah membunuh calon anakku dan hampir merengut nyawa Nina.”

Randy langsung tersentak ketika Alex mengatakan hal yang janggal. “Apa maksudmu?”

Sebuah senyum menghiasi wajah Alex. Senyum itu bukanlah senyum kebahagiaan, melainkan senyum kepahitan. “Disaat aku berpikir menjadi orang yang paling bahagia, saat itulah aku kehilangan segalanya. Nina hamil, dia mengandung anak pertamaku dan kecelakaan itu membunuhnya. Aku tidak bisa kehilangan Nina setelah anakku jadi aku membawanya pergi. Dian pasti tidak keberatan jika aku melakukannya. Dia bahkan tidak melakukan apapun, bukan begitu?”

Diamnya Randy sudah menjadi jawaban. Satu sisi, dia marah terhadap Alex karena sudah memisahkan mereka selama 5 tahun. Namun sisi lainnya, dia tidak bisa berbuat apa-apa. Saat itu dia hanyalah orang biasa tanpa kekuatan apapun. Seperti sekarang, setelah mengetahui kebenaran, dia tetap tidak bisa melakukan apapun untuk kakaknya.

“Aku mengabulkan permintaan Nina untuk membawanya kemari karena dia merindukan kalian. Terlepas dari apa yang terjadi di masa lalu, Nina ingin bertemu terlebih denganmu. Kuharap setiap kali kita bertemu, kau bisa menahan kemarahanmu di depan Nina.”

“Apa kau sungguh mencintai kakakku?” tanya Randy saat Alex hendak beranjak.

“Tentu saja, aku sangat mencintainya. Aku bersedia memberikan apapun untuk membuatnya bahagia,” jawab Alex mantap.

Randy lalu beranjak dari kursinya dan menjulurkan tangan. “Aku menyutujui hubungan kalian. Kalau kau membuat kakakku menangis, ke ujung duniapun, aku pasti akan menghajarmu.”

Alex menerima uluran tangan itu dan menjabatnya. “That same goes with you.

Dengan ini, Randy bisa memastikan kebahagian Nina. Setidaknya, Alex berbeda dengan laki-laki yang dulu mengejarnya. Jika mereka hanya memperhatikan Nina sebagai objek, Alex memperlakukannya seperti belahan jiwanya. Justru seharusnya dia berterima kasih pada Alex karena telah menyelamatkan Nina dan mencintainya dengan sepenuh hati. Kali ini Randy sungguh-sungguh berharap, jika kakaknya akan mendapatkan kebahagiaan yang di impikannya.

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Only You – Chapter 49

0 votes, average: 0.00 out of 1 (0 votes, average: 0.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

1

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Alex terus bermondar-mandir dilobby hotel sampai sesekali melirik jam. Begitu mengetahui Nina tidak ada, Alex langsung menyuruh orang mencarinya. Walau sudah memberi catatan, tetap saja dia tidak merasa tenang terlebih dengan kondisi Nina yang tengah hamil dan menjelang petang.

Tidak mendengar saran Anna untuk memberikan ponsel merupakan suatu kesalahan. Seharusnya dia mendengarkan Anna sehingga tidak perlu panik seperti ini. Kalaupun Nina tidak menelponya, dia bisa melacak lokasinya dengan GPS. Kegelisahannya menguap begitu melihat sosok Nina yang berjalan memasuki lobby. Alex langsung memeluknya penuh kelegaan tanpa mempedulikan tatapan orang-orang yang melihat.

“Kau kemana, Sayang? Aku mengkhawatirkanmu.” Alex mengecup pipi Nina beberapa kali sebelum melepasnya.

“Aku menemui Tommy dan Anggi. Sebelumnya kau belum bertemu dengan Tommy kan? Lain kali aku akan mengenalkan kalian.”

Dahi Alex berkerut tak suka ketika mendengar nama asing seorang laki-laki. Rasa cemburunya masih sangat besar hingga sanggup membuatnya kehilangan akal. “Kau tidak boleh bertemu dengan laki-laki lain, seorang diri lagi.” Alex sengaja menekankan kata-kata terakhir untuk memperingatinya.

Nina berpura-pura tidak mengetahuinya dengan mencium pipi Alex. Setelah suasana hatinya membaik, Nina kembali berwajah serius seraya menggandeng lengannya. “Alex, ada yang ingin kubicarakan denganmu. Ayo kita kembali.”

Tanpa banyak bertanya, Alex mengangguki permintaan Nina. Saat berada di lift, dia dapat melihat perubahan ekspresi Nina yang menjadi lebih baik. Selama jalan-jalan tadi, pasti terjadi sesuatu yang membuatnya senang. Alex bisa melihat jika Ninanya yang dulu telah kembali. Nina yang semangat dan penuh percaya diri.

“Alex, aku ingin menemui keluargaku. Tommy dan Anggi mengatakan kalau Randy selalu mencariku selama 5 tahun ini. Dia selalu mengkhawatirkanku. Aku merasa menjadi kakak yang jahat karena membuatnya resah. Meskipun ibu tidak menerimaku, tujuanku kembali adalah Randy. Aku ingin menemuinya.”

“Apa kau sudah yakin dengan keputusanmu, Sayang?” tanya Alex memastikan.

“Aku yakin!”

Jawaban dan tatapannya yang tajam sudah menjadi bukti kalau dia sudah siap. Apapun keputusan Nina, Alex akan mendungkung penuh. Jika mereka menyakiti hatinya, dia hanya perlu membawa Nina menjauh dan menyenangkan hatinya.

“Baiklah, aku akan menemanimu menemui keluargamu. Tapi ingat, jika mereka membuatmu bersedih lagi, aku akan langsung membawamu pergi dari negara ini.”

Nina mengangguk lalu memeluk Alex. Dia sangat berterima kasih memiliki pria yang sangat mencintainya. Jika dia tidak bertemu Alex, entah bagaimana nasibnya sekarang. Berkat Alex juga, Nina bisa bertahan sampai sekarang dan merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya.

***

Sepanjangan perjalanan, mulut Nina terus berkomat-kamit mengucapkan kata sapaan dalam bahasa indonesia. Setiap kali salah pengucapan ataupun tercampur dengan bahasa inggris, dia akan mengulangnya sekali lagi sampai benar. Jika belum puas, Nina akan terus mengulangnya hingga menurutnya sempurna.

Semakin dekat menuju rumahnya, rasa gugup semakin menguasainya. Sebelah tangannya terus menggenggam tangan Alex untuk menghilangkan rasa gelisahnya. Dalam hati, Nina berharap jika pertemuan ini berjalan lancar. Rasanya dia bisa menangis sekarang juga walau belum bertemu dengan keluarganya.

“Santai Sayang. Kau terlalu kaku. Lihat, tanganmu sampai berkeringat.” Alex mengelap permukaan tangan Nina yang basah oleh keringat.

“Maafkan aku. Aku hanya … ” Belum sempat Nina menyelesaikan kalimatnya, Alex mencium bibirnya.

Alex melakukannya dengan pelan dan berkali-kali hingga pundak Nina melemas. Nina menikmati setiap sentuhan yang diberikannya hingga lupa jika ada supir diantara mereka. Setiap sentuhan Alex membangkitkan gairah dalam dirinya. Biasanya, Nina tidak akan mudah terpancing. Namun kali ini berbeda, dia sangat menginginkan Alex hingga melupakan tujuan utamanya.

“Sayang.” Alex memutuskan ciuman mereka secara sepihak ketika merasa Nina semakin berani. Dia bisa merasakan jika Nina ingin melakukan itu. Jika bukan karena mereka sedang menuju rumahnya, Alex bisa saja menyuruh supir untuk mencari hotel terdekat untuk melayaninya.

“Sepertinya rasa gugupmu sudah hilang. Kau yang sekarang justru mengharapkan hal yang lain.”

Wajah Nina memerah seketika dan menjauh dari Alex. Astaga, dia telah membuat hal yang memalukan didepan orang. Pasti sekarang dia dicap sebagai wanita tak tahu malu karena mencium suaminya dengan vulgar. Meskipun begitu, hatinya merasa ringan setelah ciuman itu. Rasanya seperti sesuatu yang berat terlepas dari pundaknya.

You will be fine.

Perkataan lembut Alex mampu membuatnya tersenyum. Ya, dia akan baik-baik saja karena Alex bersamanya. Sekarang dia tidak sendirian lagi. Pria itu akan selalu menjaganya dan memberi perlindungan yang dibutuhkan.

Tidak terasa setelah beberapa waktu, mereka hampir tiba dikediamannya. Nina memperhatikan perumahan disekitarnya yang sedikit berubah. Tanah kosong yang dulu dibiarkan, kini telah dibangun ruko-ruko bertingkat. Beberapa rumah petak yang menghadap kejalan juga telah berubah menjadi kios seperti Betamart dulu.

Nina memperhatikan gang menuju rumahnya. Jalannya yang dulu kasar dan berbatu, sekarang telah diperbaiki. Gang itu buntu dan hanya terdapat 10 rumah yang ditempati. Dari sela-sela gang, Nina dapat melihat rumah yang dulu ditempatinya. Rumah itu masih sama seperti dulu, tidak banyak yang berubah begitu juga dengan sekitarnya.

Alex memberikan isyarat agar supir membawa mobil masuk kedalam gang. Setelah memarkir mobil, Alex membimbing Nina turun dan membawa bingkisan yang telah disiapkan. Tangannya terus menggenggam lengan Nina erat. Nina membalas genggamannya dan bersama-sama mereka menuju tempat tinggalnya.

Berdiri di depan pagar rumahnya membuat jantung Nina berdebar kencang. Samar-samar dia melihat bayangan seorang pria yang tengah memperhatikan mereka dari dalam. Perlahan-lahan pria itu membuka pintu dan menampakkan wajahnya lebih jelas. Randy, adiknya itu telah tumbuh dewasa.

Randy tampak lebih tinggi dari pada yang terakhir di ingatnya. Penampilannya sedikit acak-acakkan karena baru pulang bekerja. Tidak ada lagi pipi yang chubby, melainkan wajah yang tirus. Di bawah matanya, terdapat kantong hitam yang menggantung dan tubuhnya yang dulu atletis, kini telah mengurus.

“Kakak,” panggilnya tidak percaya. Melihat senyum kakaknya yang masih sama dengan ingatannya, tangis Randy pun tumpah. Dia berhambur ke pelukan Nina dan memeluknya erat. “Kak, aku merindukanmu. Selama ini, kau kemana saja?”

Melihat Randy yang begitu terluka membuat hatinya ikut merasa pilu. “Aku minta maaf. Aku sudah membuatmu khawatir.”

“Yang penting, kakak sudah kembali. Kakak sudah kembali … ” isaknya.

“Nina?”

Panggilan seorang wanita paruh baya membuat Nina menoleh ke asal suara. Diseberang, ibunya Dian, mematung melihat dirinya. Perlahan-lahan, Dian mendekati dan melihat wajah putrinya lekat-lekat. Matanya berkaca-kaca melihat anaknya yang dulu telah tiada kini tengah berdiri dihadapannya.

“Ini bukan mimpi kan? Kamu benar-benar Nina?”

“Ini bukan mimpi.” Nina meraih tangan kurus ibunya dan menggenggamnya. “Aku pulang, Mama.”

***

***

Pertemuan mengharukan mereka harus ditunda sebentar akibat tetangga yang penasaran mulai berdatangan. Dian dan Randy juga tidak menyadari keberadaan Alex sampai dia menyela untuk meminta masuk. Yang membuat mereka lebih terkejut adalah saat melihat perut Nina yang membesar. Menyadari hal itu, Dian langsung Nina masuk dan beristirahat.

“Kak, mau kubuatkan jus? Pasti kakak capek tadi berdiri terus atau kakak mau berbaring?” tawar Randy.

“Tidak perlu repot-repot. Aku minum air hangat saja. Kalau boleh, tolong bawakan 2 untuk Alex juga.”

Randy melirik ke arah Alex sekilas dengan wajah datar lalu melengos begitu saja. Nina sedikit bingung dengan sikap Randy yang berubah tidak ramah terhadap orang asing. Biasanya, dia tidak akan seperti itu. Randy akan selalu bersikap sopan kepada siapa saja dan akan bersikap cuek jika lawannya tidak menghormatinya. Setahu Nina, ini adalah pertama kalinya mereka bertemu. Mustahil jika ada sesuatu diantara mereka sedangkan Alex tidak pernah berjumpa dengannya.

“Jadi, bisa ceritakan apa yang terjadi selama 5 tahun ini? Kenapa kamu tiba-tiba menghilang dan siapa pria disamping kamu?” Dian lah yang pertama kali membuka suara ketika duduk dihadapan mereka. Pandangannya tidak lepas dari Alex yang berpakaian mewah dan seorang bule. Dari cincin yang mereka kenakan, Dian mengambil kesimpulan jika mereka telah menikah dan Nina tengah mengandung anaknya.

Ditatap seperti itu oleh Dian tidak membuat Alex gentar. Sebagai ibu mertua, sudah seharusnya dia menghormatinya. Tetapi rasa hormat itu telah runtuh semenjak kecelakaan Nina 5 tahun lalu. Sekarang, Alex berusaha bersikap sebaiknya karena Dian merupakan ibu Nina. Jika Nina tidak merindukan keluarganya, Alex tidak akan pernah menginjakkan kaki di rumah ini.

“Saya yang bertanggung jawab atas Nina selama 5 tahun ini. Kecelakaan yang dialaminya sangat parah sehingga dokter menyerah untuk mengobatinya. Saya membawanya ke New York untuk mendapatkan pengobatan lebih baik. Nina mengalami koma panjang dan amnesia. Baru-baru ini ingatannya kembali dan saya memutuskan untuk membawanya kembali.”

Penjelasan Alex sedikit berbeda dengan apa yang mereka sepakati sebelumnya. Sebelumnya, Nina akan mengatakan alasan yang sebenarnya kalau dia merindukan mereka. Tetapi Alex mengatakan seolah-olah, dialah yang membuat keputusan. Caranya mengatakan seperti itu, seolah-olah dialah yang berperan sebagai penjahat.

“Jadi kamu langsung membawanya begitu saja tanpa mengatakan apapun pada saya? Boleh ku katakan kalau sekarang anda sedang berperan sebagai suami Nina?” Kali ini pertanyaan Dian lebih menohok daripada sebelumnya. Nina sampai meremas ujung gaun dressnya karena takut ibunya akan kembali mengusirnya seperti dulu.

“Ya, aku suaminya. Namaku Alexander Black Testa, aku adalah suami sah Nina Setiawan dan ayah dari anak yang dikandungnya. Alasan saya membawa Nina tanpa memberi kabar karena saya tidak mau memberikan harapan palsu. Saat itu, keadaan Nina sangat parah hingga tingkat kesembuhannya kecil. Saya tidak ingin membuat kalian bersedih untuk kedua kalinya karena itu saya membawanya diam-diam.”

Jawaban tegas Alex membuat Dian menahan nafas. Dia berusaha untuk tetap tenang setelah mendengar jawaban yang begitu menusuk. “Terima kasih atas perhatiannya dan terima kasih karena sudah merawat Nina dan bersedia menjadi suaminya. Bagaimana kalau kalian bermalam disini? Ibu masih mau bercerita banyak hal dengan Nina dan ingin mengetahui kondisi cucu.”

Setelah Nina kecelakaan dan menghilang, ada rasa menyesal dalam hati Dian karena telah mengusirnya. Sikapnya selama ini terhadap Nina juga tidak pernah baik dan selalu dingin. Sebelumnya dia selalu membuat Nina kecewa, namun kali ini dia akan berubah, terlebih sekarang dia akan menjadi seorang nenek.

Nina menatap Alex penuh harap. Seumur hidupnya, dia sangat menantikan hal ini, berbicara bersama ibunya dan mendapatkan perhatian darinya. Ibunya sudah berubah. Nina dapat merasakan tatapan lembut dari ibunya dan perhatian yang tulus. Sungguh, Nina tidak mengira kalau hari ini akan tiba.

“Baik, kami akan bermalam disini. Saya juga ingin belajar dari anda tentang apa yang perlu diperhatikan selama masa kehamilan Nina. Karena anda adalah ibu Nina, itu membuat anda juga menjadi ibu saya sendiri.”

Dian tersentuh dengan ucapan Alex. Menantunya ini selain tampan tetapi juga sopan. Nina beruntung mendapatkan pria yang akan memenuhi semua keinginannya seumur hidup. Kali ini, dia akan berperan sebagai ibu yang baik untuk menarik hati keduanya.

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Only You – Chapter 48

0 votes, average: 0.00 out of 1 (0 votes, average: 0.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

1

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Memasuki 4 bulan lebih, perut Nina mulai membuncit. Belum lagi dengan rutinitasnya yang hanya berdiam didalam kamar, membuat berat badannya bertambah lebih banyak dari biasanya. Sudah 2 minggu lamanya, mereka berada di kota ini dan selama itu pula Nina belum menemui keluarganya. Walau sudah meyakinkan diri untuk melakukannya, rasa cemas terus saja melanda dan membuat semangatnya mundur.

Alex mengetahui kalau dirinya belum siap dan tidak mendesaknya. Dia memberikannya waktu dan semangat, sebanyak yang dibutuhkan.

Nina berjalan menuju balkon hotel dan memandangi pemandangan dibawahnya. Dia tersenyum kecil melihat jalanan yang penuh dengan kendaraan. Jajanan kecil di samping jalan, bunyi klakson yang terdengar dan polusi udara membuatnya yakin kalau sekarang dia berada di tempat kelahirannya.

Sampai sekarang, Nina masih tidak percaya kalau dia berada di Jakarta. Sejak kecil hingga dewasa, tidak pernah terpikir sekalipun dia akan meninggalkan kota ini dalam waktu yang lama. Semua yang disayanginya berada disini. Teman-teman, panutan dan kerabatnya, semua ada disini. Jika suatu saat dia menikah, Nina pun berpikir dia tetap berada disini dan sewaktu-waktu dapat berkunjung menemuinya ibunya. Namun takdir berkata lain. Dia jatuh cinta pada Alex. Hubungan dengan ibunya memburuk dan berakhir dengan kecelakaan yang menewaskan calon bayinya.

Nina meremas penyangga balkon untuk meredam kesedihannya. Setiap kali memikirkan pertengkaran itu, dadanya selalu terasa sesak. Bohong jika Nina tidak merasa benci. Semenjak ingatannya kembali, kedengkian mulai menguasai dirinya bersamaan dengan rasa cemburu terhadap Randy.

Seiring dengan tumbuhnya kerinduan, rasa marah dan cemburu ikut berkembang. Awalnya Nina mengira kalau itu hanya amarah sesaat. Namun, semakin berusaha untuk memaafkan, semakin kuat pula emosi negatif tersebut.

Selama ini, ibunya lebih memperhatikan Randy dibandingkan dirinya. Ibunya juga selalu mengutamakan kepentingan Randy, lebih dari apapun. Jika saat itu dia lebih egois, apakah semua malapetaka ini akan terjadi? Nina hanya menginginkan perhatian dari ibunya, tidak lebih. Dia juga ingin dicintai dan mendapatkan perlakuan yang sama dengan adiknya.

Mengingat masa lalu membuat mata Nina berkaca-kaca. Dengan punggung tangannya dia menghapus air mata yang mengalir. Mulutnya terus bergumam pada dirinya sendiri agar tidak bersedih. Nina sudah berjanji untuk berdamai dengan keluarganya dan melupakan masa lalu. Perjalanannya masih panjang dan dia tidak ingin karena hal ini membuat langkahnya terhenti.

Saat memperhatikan jam, Nina merasa waktu berjalan dengan lambat. Terlalu lama berdiam dikamar membuat pikirannya menjadi jenuh. Bukannya ingin mengabaikan peringatan Alex, hanya saja Nina ingin berjalan-jalan sejenak menghilangkan rasa jemunya.

“Kalau hanya sebentar, kurasa tidak apa-apa. Aku akan meninggalkan catatan untuk jaga-jaga.” Setelah berkata pada dirinya sendiri, Nina meletakkan memo diatas meja sebelum meninggalkan kamar. Begitu udara segar menerpa wajahnya, perasaanya sedikit terasa lega. Dia melihat langit biru sejenak sebelum langkahnya membawanya pergi.

***

Terus melangkah tanpa tujuan membawa Nina pada rumah Tommy. Tidak ada yang berubah dari tempat tinggalnya. Ruko berlantai 2 itu masih membuka warnet sebagai mata pencaharian. Sayangnya keadaan warnet itu tidak seramai dulu, terlihat dari sedikitnya motor yang terparkir. Dulu saat game online sedang marak, warnet Tommy tidak pernah sepi. Para anak muda pun sampai berebut untuk mengantri agar dapat bermain.

Dengan langkah ringan, Nina mengintip dibalik kedalam warnet dan menemukan Tommy sedang duduk disalah satu kursi komputer. Laki-laki masih tidak berubah dari dulu, bertubuh kurus dan mengenakan kacamata bulat yang tebal. Kebiasaannya masih saja tidak berubah, selalu berkata kasar setiap kali bermain. Sangking kasarnya, Nina hanya bisa terdiam.

“Woy, kekiri dasar tolol! Main tu yang becus dasar bego!” Tommy terus meracau seolah-olah teman satu teamnya bisa mendengarnya.

“Woy, darah dah tipis tu! Cepat kill gak usah hemat-hemat skill!  Dasar orang-orang goblok!”

Skill one.

“Oh iya, masih ada skill satu. Nah, mampus kau! Aku yang dapat kill ha ha ha!” Setelah menyelesaikan gamenya, Tommy menoleh dan langsung melompat dari kursi ketika melihatnya. “Buset! Hantu!”

“Aku bukan hantu. Lihat, aku punya kaki.” Nina menunjukkan kakinya yang menginjak tanah sambil menahan tawa. Tommy yang dikiranya berani ternyata bisa setakut itu melihatnya. Jika sekarang posisi mereka tertukar, dia juga pasti merasa takut.

“Lu Nina kan? Nina Setiawan yang dulu suka main gua kan?” tanyanya tak percaya.

“Benar. Aku Nina yang dulu satu SMP denganmu, yang suka pr nya kamu contek dan sering minta jawaban saat ulangan.”

Setelah mendengar jawaban Nina, Tommy kembali memandanginya dari atas kebawah. Dia mencubit pipinya untuk membuktikan kalau sekarang tidak sedang bermimpi. Sahabat yang dulu dikira telah tiada, kini berdiri dihadapannya dengan perut yang sedikit membuncit.

“Kau kemana saja, hah?! Kami kira kau tu udah mati! Kau tahu ndak, kalau aku nangis waktu dengar kabar tu! Mereka bilang kau kau ditabrak lalu menghilang dari rumah sakit! Aku sampai dihajar sama satpam karena meminta tanggung jawab mereka!”

Dada Tommy kembang-kempis meluapkan emosinya. Dari balik kacamatanya, Nina bisa melihat kalau dia sedang menahan tangis. Ada rasa bersalah ketika melihatnya begitu khawatir. Tetapi jika Alex tidak bergerak cepat, saat ini dia tidak mungkin berada disini.

“Maaf, aku membuatmu khawatir. Aku koma selama 5 tahun dan sempat mengalami amnesia. Baru-baru ini ingatanku kembali dan aku baru tiba disini.”

“Lalu, siapa yang bawa kamu pergi dari rumah sakit? Gua sama Randy sampai keliling Jakarta buat nyariin elu. Randy sampai stress pas tahu lu hilang. Dia juga kena surat peringatan dari kantornya karena absent berhari-hari.”

“Lalu gimana Randy sekarang?” tanyanya resah. Dia tidak menyangka jika kepergiannya saat itu membuat adiknya menderita.

“Gimana lagi, ya kerja lah! Kuliahnya pas tu juga belum selesai. Tiap hari libur dia pasti keliling nyariin lu. Sampai sekarang aja dia masih sering nanyain gua apa ada kabar lu atau ngak. Randy tu ternyata peduli sama kamu!”

‘Randy peduli padaku?’

Nina masih tidak percaya dengan apa yang baru didengarnya. Randy yang diketahuinya terkenal karena sifat cuek dan pendiamnya. Saat dia dulu memutuskan untuk berhenti sekolah, Randy tidak mengatakan apapun tentang. Randy bahkan tidak pernah menanyakan kabarnya setiap kali pulang malam ataupun bertegur sapa. Saat dia bekerja di cafe pun, Randy lebih sering mengabaikannya dan berpura-pura tidak melihatnya.

Selama ini, Nina mengira kalau Randy membencinya karena itu dia juga mengambil jarak untuk memberinya ruang. Mungkin ada suatu alasan hingga Randy bersikap seperti itu padanya. Buktinya, Randy tidak pernah membuang barang pemberiannya. Pikirannya selama ini tentang Randy ternyata salah.

“Jadi kemana lu 5 tahun ni? Ada yang bilang lu diculik sama bule yang naksir sama kamu. Terus siapa bapak dari anak ini?”

“Dia bukan orang jahat. Alex adalah suamiku dan dia ayah dari anak ini. Sorry Tom, aku belum bisa menceritakan apapun padamu. Aku janji, aku akan cerita setelah waktunya tepat.”

“Ok, tapi jangan hilang-hilang lagi ya.”

Nina memberikan senyum tipis sebagai jawaban lalu berpisah dengan Tommy. Setelah cukup jauh, Nina masih memikirkan perkataan Tommy tentang Randy. Ada rasa tidak percaya dan haru secara bersamaan. Adik yang dikira membencinya, ternyata menyayanginya. Mengetahui kenyataan itu, dada Nina terasa ringan. Sebelum kembali, masih ada satu tempat lagi yang ingin dikunjunginya. Selepas bertemu mereka, barulah Nina merasa yakin untuk menentukan langkah selanjutnya.

***

Saat memasuki cafe, hal yang Nina lakukan adalah mengamati seluruh ruangan. Banyak wajah baru yang tidak dikenalnya dan hanya beberapa orang lama yang masih ada. Keadaan cafe begitu sepi, berbeda saat dia bekerja dulu. Antrian panjang yang biasa selalu ada, kini menjadi kosong. Beberapa menu yang dulu mereka sajikan pun telah digantikan dengan menu yang lebih sederhana.

“Selamat siang nona, ada yang bisa saya bantu?” Seorang pelayan perempuan datang menyapanya.

Dari parasnya, Nina menebak jika perempuan itu berumur 20 tahunan. Melihat pelayan itu membuatnya teringat dengan masa lalunya yang juga telah bekerja diwaktu muda. “Saya mau bertemu Anggi. Apa dia ada?”

Pelayan itu mengernyit sejenak mendengar bahasa indonesianya yang kaku lalu kembali bersikap biasa. “Baik, saya antarkan.”

Nina mengangguk sebagai jawaban dan mengikuti pelayan itu menuju lantai dua. Perlakuan pelayan itu membuat senyumnya mengembang karena memperhatikan kondisinya yang tengah hamil. Pelayan itu membantunya membawakan tas dan memperingatinya untuk hati-hati dengan lantai yang licin.

“Bu, ada yang mencari Ibu,” ucapnya setelah mengetuk pintu.

“Siapa?” tanya suara dibaliknya.

Pelayan itu lalu menoleh ke arah Nina dan memberikan tatapan tanya.

“Nina. Nina Setiawan.”

Pelayan itu mengangguk lalu menjawab, “Nona Nina Setiawan, Bu.”

Suara langkah kaki terdengar sangat keras di ikuti dengan pintu yang terbuka dengan kasar. Sosok yang sangat dikenalnya dengan baik berdiri disana. Anggi masih mungil seperti dulu. Tapi ada sedikit yang berbeda darinya. Wajahnya terlihat lelah dengan kantung mata yang menggantung disekitarnya.

Ketika melihatnya, reaksi Anggi sama seperti Tommy. Anggi menatapnya tidak percaya dengan mata yang membulat lebar. Ekspresi terkejut tidak sirna walau pelayan perempuan itu telah pergi meninggalkan mereka. Seakan-akan tidak percaya dengan apa dilihatnya, Anggi mencubit pipinya sendiri, sama seperti Tommy.

“Kamu tidak bermimpi. Ini aku, Nina,” ucapnya memecah keheningan.

“Kamu benar-benar Nina? Nina yang menjadi guru dan sahabatku?”

Nina mengangguk sekali lalu meraih tangan Anggi. “Ya, aku Nina. Maaf telah membuatmu khawatir selama 5 tahun ini.”

“Ya! Seharusnya kamu tahu seberapa khawatirnya kami! Kami mengira kau telah pergi selama-lamanya!” Mata Anggi berkaca-kaca saat mengeluarkan teriakan khasnya. Dia memeluk Nina erat untuk melepaskan kerinduannya. “Aku rindu denganmu! Kamu kemana saja selama ?!”

Nina mengelus rambut Anggi sekilas lalu menguraikan pelukannya. “Boleh bicara di dalam? Perutku yang sekarang membuat kakiku pegal karena berdiri terlalu lama.”

Anggi sontak menyadari perut Nina yang membuncit. Matanya melotot memperhatikan perutnya lalu membawanya masuk. Anggi masih bisa bersabar untuk menuangkan air dan memberikan jeda untuk mengambil nafas.

“Jadi, kemana kamu selama 5 tahun ini? Aku terkejut waktu dengar kamu kecelakaan lalu menghilang dari rumah sakit. Ada yang bilang kamu udah meninggal karena kecelakaan parah. Tentu aja aku gak percaya. Aku dan Randy sampai memohon-mohon sama pihak rumah sakit buat ngasih tahu kamu dimana. Tapi mereka bilang kamu udah dipindahkan dan gak tahu kemana. Randy sampai bertengkar sama mereka dan temanmu yang namanya Tommy itu sampai dihajar sama satpam.”

Nina hanya meringis mendengar Anggi. Cara Alex membawanya pergi seolah-olah ingin menyembunyikannya dari orang-orang terdekatnya. Dengan segala koneksi yang dimilikinya, Alex pasti mengetahui kalau sebelum kecelakaan itu terjadi, dia sedang bertengkar dengan ibunya.

“Hari itu, kalau saja aku tidak menuruti kemauan Alex buat nyuruh kamu pulang, kamu pasti tidak akan mengalami kecelakaan itu. Dia bilang ingin melamarmu karena itu aku menyetujuinya. Tetapi bule sialan itu malah menghilang begitu saja! Awas saja kalau aku ketemu lagi, akan aku remukkan dia!”

Minuman Nina hampir tumpah ketika mendengar suara Anggi yang mendadak meninggi. Dia juga perlu meluruskan kesalahpahaman yang tejadi supaya Alex tidak terlihat seperti penjahat. “Gi, Alex yang nolongin aku. Setelah kecelakaan itu, aku koma selama 5 tahun dan mengalami amnesia. Selama itu juga, Alex yang mengurusiku. Jangan membencinya, dia hanya melakukan yang terbaik.”

“Jadi benar bule sialan itu yang nyulik kamu?! Sialan! Dimana dia?! Berani-beraninya bawa kamu pergi tanpa persetujuan orang! Dia gak tahu kami disini cemas setengah mati nyariin kamu sampai Randy stress keq mayat! Kamu juga dihamilinya kan? Dasar lelaki bejat!”

Muka Anggi memerah dengan makian yang menjadi-jadi. Sampai hari ini, penyesalannya karena membiarkan Nina pulang sangat membekas dihatinya. Anggi sampai menyalahkan dirinya karena menganggap secara tidak langsung, dialah yang membuat Nina kecelakaan. Dari awal dia juga kurang menyukai Alex. Hanya karena lelaki itu juga ingin membuat Nina bahagia, makanya dia menyetujui setiap rencananya. Tetapi siapa sangka jika bule itu mengkhianati kepercayaannya dengan membawa Nina pergi dan menyembunyikannya dari semua orang.

I love him.

Anggi menatap Nina tidak percaya. “Apa katamu?”

I love him very dearly and he accept me whatever i am.” Nina membawa tangan Anggi menyentuh perutnya. “Aku kehilangan bayi pertamaku saat kecelakaan itu. Sekarang, aku mengandung lagi. Kau tahu, Alex sangat menatikan anak ini. Dia memperlakukan dengan baik dan merawatku dengan sabar disaat-saat aku koma. Alex tidak pernah melakukan hal membuatku bersedih. Bersamanya, aku menemukan kehangatan dan kebahagiaan yang kuimpikan.”

Amarah Anggi perlahan lenyap mendengar penjelasan Nina. Dari matanya, Anggi mengetahui seberapa beruntungnya Nina dicintai oleh Alex. Alex juga beruntung bisa mendapatkan hati Nina. Mungkin mereka memang ditakdirkan bersama. Dimanapun dan kapanpun, sejauh apapun mereka pada akhirnya tetap akan bersatu.

“Baiklah, aku tidak akan mempermasalahkannya lagi. Tapi tetap saja, kalau aku ketemu dengannya, aku akan memukulnya sekali sebagai balasan karena sudah membuat kami cemas!”

“Baik, tapi jangan keras-keras ya,” kekeh Nina.

Melihat senyum Nina yang berada dihadapannya, membuat Anggi merasa lega. Wanita yang dihadapannya sekarang benar-benar sahabatnya. Tanpa sadar, Anggi memeluknya dan menitikkan air mata. Wanita yang sangat dikaguminya kini telah kembali dengan keadaan selamat.

“Oh ya ngomong-ngomong, kamu belum ketemu Randy? Ternyata dia gak seburuk yang aku kira loh. Dia sayang banget sama kamu. Pas kamu hilang dari rumah sakit, dia kalang-kabut nyariin kamu sambil nangis. Kasihan loh dia, cepat temui. Dia pasti kangen banget sama kamu.”

Nina mengangguk dan memberikan senyum kecil. Anggi juga mengatakan hal yang sama tentang Randy. Mendengar seberapa keras usaha Randy mencarinya sudah cukup membuat tekadnya bulat.

“Terima kasih sudah mengerti. Tolong rahasiakan pertemuan kita dari Randy. Aku akan menemuinya nanti setelah hatiku siap.”

Anggi mengacungkan jempol sebagai jawaban. Nina menolak tawarannya saat Anggi ingin mengantar. Setelah mengetahui banyak hal tentang adiknya, Nina ingin merenungkannya sendiri. Keinginannya untuk bertemu Randy kian besar seiring dengan langkahnya. Jika sikap Randy padanya telah berubah, mungkin sikap ibunya juga telah melunak. Secarah harapan membuat senyumnya mengembang semakin lebar. Dengan wajah berseri-seri Nina menantikan, pertemuan dengan keluarganya.

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Only You – Chapter 47

0 votes, average: 0.00 out of 1 (0 votes, average: 0.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

1

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Memikirkan kebahagian Nina adalah selalu yang dipikirkan Alex. Tidak pernah terpikir dalam benaknya untuk membuatnya tidak nyaman dan selalu memenuhi kebutuhannya. Namun, Nina tidak seperti wanita lainnya. Dia selalu jujur terhadap keinginannya dan juga perasaannya.

Nina merindukan keluarganya.

Alex menghela nafas kasar setiap kali memikirkannya. Sampai sekarang Nina masih belum mengatakannya. Alex tidak tahu harus bagaimana jika Nina sampai meminta untuk bertemu keluarganya. Dia sudah berjanji akan selalu mengabulkan segala permintaanya. Jika dia menolak, apakah Nina akan membencinya?

Nina wanita yang cerdas. Dia pasti mengetahui betapa sulitnya meminta hal itu. Karena itu, dia tidak pernah membahasnya. Nina terbiasa menutupi masalahnya dengan senyuman sampai Alex mengetahui mana senyum tulus dan kebohongannya. Baginya tidak apa-apa jika dia sendiri yang terluka asal tidak dengan orang lain.

Alex sudah bertekad menjadi orang jahat agar Nina tetap disampingnya. Tetapi melihat Nina yang terus menerus menahan rasa rindu membuat dadanya perih. Disatu sisi dia merasa iba, terlebih dengan kondisinya yang tengah mengandung. Wajar jika Nina sangat berharap untuk bertemu dengan ibunya dan berbagi cerita.

Namun disisi lain, Alex juga tidak mau Nina bertemu dengan keluarganya. Alex tidak mau jika Nina dicemooh karena tiba-tiba menghilang dan datang bersama seorang pria asing dengan kondisi hamil. Alex tahu betul jika mereka kembali sekarang, Nina pasti akan merasakan pukulan yang lebih menyakitkan daripada sebelumnya.

Desahan panjang meluncur saat melihat sebuah map yang berisi perancangan. Baru-baru ini perusahaannya mendapat sebuah proyek baru untuk mendirikan sebuah bangunan. Lokasi pembangunan itu berada di kota tempat kelahiran Nina. Alex bisa saja menolaknya walaupun harus mengalami kerugian. Sudah beberapa kali dia menolak tawaran itu dan proposal yang sama selalu datang.

Darah lebih kental dari air. Sekuat apapun dia mencoba untuk memisahkan Nina dari keluarganya, semakin kuat pula dorongan untuk membawanya kembali. Setelah bertahun-tahun berpisah, sikap mereka mungkin telah berubah. Mereka berhak untuk mengetahui keadaan Nina sekarang. Bagaimanapun juga mereka adalah keluarga Nina dan anak yang dikandungnya merupakan cucunya.

“Aku akan langsung membawamu pergi jika mereka membuatmu menderita. Kau boleh membenciku karena itu dan aku akan tetap mencintamu.”

***

“Sayang, aku ingin mengatakan sesuatu padamu.”

Nina yang sedang mencuci piring, langsung menoleh padanya. Dia hanya mengangguk sebagai jawaban tanpa bertanya. Berikutnya, dia membiarkan Anna mengambil alih pekerjaannya dan mengikuti Alex menuju kamar.

“Sayang, kemari.” Alex menepuk sisi ranjangnya yang kosong. Setelah Nina duduk, Alex mengeluarkan sebuah proposal dan memberikannya pada Nina. “Aku mendapatkan proyek baru. Keuntungan dari pekerjaan ini mencapai ratusan dollar. Bagaimana menurutmu mengenai rencana ini?”

Nina membaca proposal itu sekilas lalu menutupnya. “Aku kurang paham mengenai pembangunan. Tapi menurut pendapatku, jika ingin mendirikan sesuatu harus memperhatikan lokasi dan sengketa tanah.”

“Kau benar, lokasi sangat berpengaruh dalam pembangunan apalagi jika yang dibangun di daerah bisnis. Desain dan interior bangunan harus diperhatikan untuk menarik perhatian konsumen. Akan bermasalah jika ijin dari tanah itu tidak jelas. Selain pengurusan yang panjang, kita juga perlu memberikan uang kompensasi. Proyek seperti itu, sama sekali tidak menguntungkan.”

“Kalau begitu apa proyek ini kurang bagus?” tanya Nina.

Inilah yang Alex sukai dari Nina. Dia wanita yang kritis dan penuh dengan keingintahuan. Hanya penjelasan singkat tidak akan memuaskannya. Nina akan mencari tahu hingga sedalam-dalamnnya dan membuat keputusan yang terbaik.

“Tidak ada masalah dengan proyek ini. Tapi ada satu hal yang membuatku ragu yaitu lokasi proyek ini.”

Nina menaikkan sebelah alisnya kebingungan. Dia lalu membuka proposal itu kembali dan membacanya lebih seksama. Saat membaca lokasi pembangunan itu, tanpa sadar Nina meremas kedua sisinya. Perasaannya berkecamuk sehingga sulit untuk berpikir.

Alex mengambil proposal itu dan menatap mata coklat Nina. “Sayang, aku tahu kau merindukan keluargamu. Kau tidak membohongiku. Aku tidak mau kau menyiksa dirimu sendiri. Kau boleh bertemu mereka, aku tidak akan melarang. Yang aku inginkan adalah kau bahagia.”

Mata Nina berkaca-kaca mendengar penuturan Alex. Pria itu mencintainya dengan tulus dan bersedia melakukan apapun untuknya. Nina tidak ingin membuatnya khawatir dengan rasa rindunya. Alex telah melakukan banyak hal untuknya sehingga dia tidak tahu cara untuk membalas selain mencintainya dengan sepenuh hati dan membuatnya senang.

Nina masih merasa takut untuk bertemu dengan keluarganya setelah sekian lama terpisah. Pertemuan terakhir dengan ibunya yang berujung buruk masih membekas dalam hatinya. Nina takut kalau ibunya akan menolaknya seperti dulu. Jika dia tetap mendapat penampikan seperti dulu, Nina akan kehilangan satu-satunya keluarga terdekatnya. Saat itu, Nina tidak yakin kalau dia tetap sanggup menjadi dirinya sendiri setelah semua yang dialaminya.

“A … aku takut. Aku tidak yakin kalau aku bisa menemui mereka. Hatiku belum siap.”

“Kau tidak perlu takut.” Alex memberikan ciuman ringan di punggung tangan Nina dan menggenggamnya. “Aku bersamamu. Kau tidak perlu menghadapinya seorang diri. Jika kau merasa kalah, aku akan selalu menyemangatimu agar semangatmu kembali.”

Karena motivasi Alex, dada Nina terasa hangat dan membangkitkan keberanian dalam dirinya. Menghindari masalah tidak akan menyelesaikan apapun. Cepat atau lambat, dia harus menghadapinya.

“Terima kasih. Aku akan berusaha mengatasi masa laluku sampai saat itu, kumohon kau tetap berada disisiku.”

“Kita akan terus bersama sampai kapanpun.”

***

Sesampai di hotel, Nina langsung merebahkan tubuhnya di atas kasur. Perjalanan panjang yang mereka tempuh ditambah dengan perutnya yang terus mual membuat kesehatannya sedikit menurun. Pada fase kehamilan pertama, Nina memang dilarang untuk naik pesawat. Alex meminta kepada developer proyek untuk menunda persetujuan hingga 3 bulan kedepan. Developer itu dengan senang hati menyetujuinya terlebih dia sangat menyukai hasil kerja Alex dan sangat berterima kasih karena dia mau menerima tawarannya. Setelah usia kandungannya cukup, barulah mereka berdua berangkat.

Rasa resah juga selalu melingkupi Nina ketika menginjakkan kaki di kota kelahirannya. Karena sudah lama tidak disana, banyak perubahan yang terjadi sehingga membuatnya terasa asing. Sejenak ada rasa rindu melanda saat mengingat teman-temannya. Nina juga merindukan ayahnya. Terkadang, Nina menangis ketika suasana hatinya berubah-ubah. Dia perlu belajar menata perasannya kembali agar tetap kuat saat bertemu dengan keluarganya.

“Seharusnya aku mengajak Anna kemari. Aku tidak tega membiarkanmu sendirian disini.”

“Aku tidak apa-apa.” Nina merapikan dasi yang Alex kenakan lalu mengancing kemejanya. “Kalau bosan, aku bisa menonton tv. Aku juga perlu menyegarkan pikiranku soal bahasa. Lama tidak menggunakannya aku jadi lupa.” Nina terkekeh sendiri dengan perkataanya. Selain banyak struktur kota yang berubah, berbagai macam bahasa gaul juga bermunculan. Dia juga lupa bagaimana mengucapkan kalimat umum yang dulu sering diucapkan.

“Jangan terlalu memaksakan dirimu. Jika ada yang kau membutuhkan sesuatu, segera hubungi aku. Ingat, jangan berkeliaran sendiri.”

“Baik, komandan!” Nina memberikan penghormatan ala tentara sebelum mengantar kepergian Alex. Selepas kepergiannya, barulah dia merasa sedikit sepi. Untuk sekarang dia tidak boleh merasa gentar. Dia sudah kembali ke tempat kelahirannya. Yang harus dilakukannya adalah tetap kuat, agar bisa mengalahkan rasa takutnya, baik itu dulu ataupun nanti.

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Only You – Chapter 46

1 vote, average: 1.00 out of 1 (1 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

1

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Sebuah sentakan memaksa Nina membuka matanya. Dengan susah payah, dia bangkit dari posisi terbaring menjadi duduk. Keringat dingin mengucur membasahi wajahnya. Kepalanya terasa sakit dan nafasnya tersenggal-senggal. Tubuhnya terus bergetar, mengingat mimpi yang baru saja dialaminya.

Itu bukan mimpi. Itu adalah ingatan masa lalunya.

Pandangan Nina lalu turun kepada perutnya yang rata. Dengan gemetar, dia mengelus perutnya yang rata. Seharusnya ada nyawa kecil disana, nyawa yang menjadi sumber kebahagiannya. Setiap hari, Nina selalu berdoa dan berharap nyawa kecil itu dapat tumbuh dengan sehat. Dia sudah mempersiapkan diri menjadi seorang ibu dan berjanji akan mencurahkan seluruh kasih sayangnya.

Namun, harapan itu telah pupus. Kehidupan kecil yang seharusnya berkembang dalam perutnya, kini telah tiada.

Air mata kesedihan mengalir deras membasahi wajahnya. Teriakan frustasi menggema keseluruh ruangan. Raungannya begitu menyakitkan, mengeluarkan semua kepahitannya. Semua kebahagiannya telah direngut paksa, rumah yang satu-satunya menjadi tempat kembali telah tiada dan wanita yang sudah melahirkannya, telah membuangnya.

Dada Nina terasa sesak. Dia sudah tidak sanggup menahan semua kepahitan ini. Seharusnya dia juga mati. Seharusnya dia menemani anaknya yang telah tiada dan tidak meninggalkannya sendiri. Nina tidak ingin hidup. Dia ingin bebas, bebas dari semua penderitannya. Baginya tidak ada gunanya dia hidup jika semua orang tidak menginginkannya.

“Nina!” Alex langsung berhambur ke arah Nina dan menghentikannya menjambak rambutnya. Wajah kesakitan Nina membuat dada Alex merasa nyeri. Inilah yang Alex takutkan. Dari tatapan Nina, dia tahu jika ingatannya telah kembali. Nina pasti merasa hancur setelah mengingat semuanya.

“Aku lelah. Biarkan aku mengakhiri semua ini. Aku ingin bertemu ayahku. Aku juga ingin menemani anak kita. Aku… aku… ” Nina memekik kencang lalu tangisannya kembali pecah.

Alex terus memeluk Nina, tidak peduli sekeras apapun dia meronta. Perasaannya ikut hancur melihat keadaan Nina yang seperti ini. Semestinya, dia tidak meninggalkan Nina sendiri. Karena kelalaiannya, dia membuat Nina mengingat kejadian-kejadian pahit. Seharusnya dia mendengar saran Anna agar tidak menyimpan catatan Nina di rumah. Catatan itu menjadi kunci kembalinya ingatan Nina dan hal itu pula lah yang tidak diinginkan.

Alasan Alex tidak mau menyingkirkan catatan itu karena hanya itulah yang selalu mengingatkannya pada sosok Nina yang sebenarnya. Catatan itu jugalah yang senantiasa menemani selama Nina tertidur. Alex tidak bisa membuang semua milik Nina, karena jika dia melakukannya, dia takut, akan melupakan semua tentangnya.

“Kumohon tenanglah, Sayang. Jangan membuatku tersiksa seperti ini. Ni – !”

Sebuah goresan mengenai wajah Alex ketika Nina terus meronta. Saat pelukannya mengendur, Nina menggunakan kesempatan itu untuk melepaskan diri. Alex yang lebih cekatan, dengan cepat menangkap Nina dan menjatuhkannya ke atas ranjang.

“Berhenti seperti ini! Apa kau tidak mau melihat anak kita nanti?!”

Dalam sekejab, Nina berhenti memberontak dan menatap Alex. Dia bukannya takut karena tiba-tiba suara Alex yang meninggi, melainkan perkataannya yang menarik perhatiannya.

“Apa … maksudmu … ?”

Pandangan Alex langsung melunak dan mengelus perut rata miliknya. “Disini, ada anak kita. Kau sedang hamil, Sayang. Jadi kumohon, jangan menyakiti dirimu.”

Tanpa sadar, Nina mengelus perutnya. Sebuah nyawa tengah berkembang di sana. Untuk kesekian kalinya, mata Nina berkaca-kaca. Dia tidak sendirian. Alex selalu berada disampingnya, menjaga dan mencintainya dengan tulus. Dia masih memiliki kesempatan untuk merasakan bagaimana menjadi seorang ibu dan mendapatkan kebahagiaan dari pria yang setia menunggunya membuka mata.

“Maafkan aku … Aku hanya bingung … Aku tidak bermaksud … ” Nina kesulitan melanjutkan kata-katanya setelah semua yang terjadi. Rasa senang, benci dan lega bercampur menjadi satu. Dia tidak tahu harus bersikap bagaimana. Sekarang ini, yang di inginkannya hanyalah menangis dalam pelukan pria yang dicintainya.

“Kumohon … jangan tinggalkan aku. Aku membutuhkanmu.” Nina meremas kemeja yang dikenakan Alex dan terus menatapnya dengan linangan air mata.

Alex memberikan senyuman terbaiknya. Senyuman yang sangat disukai olehnya hingga membuatnya tidak pernah bosan untuk menatapnya. Dengan pelan, Alex membawanya kedalam pelukan dan membelainya dengan hangat. “I won’t leave you. Cause you’re the only one i love.

***

Dua minggu telah berlalu semenjak ingatan Nina kembali. Karena kondisi tubuhnya yang lemah, dokter menyuruhnya untuk bed rest. Alex menjadi sangat sensitif ketika Nina berjalan untuk mengambil air ataupun sekedar ke toilet. Dia takut jika terjadi sesuatu pada Nina dan menyuruh Anna untuk selalu berada disampingnya ketika dia bekerja.

Sebenarnya, Alex berniat menelantarkan perusahaan yang dibangunnya dengan susah payah agar bisa menjaga Nina selama masa kehamilannya. Dia ingin menjadi pria nomor satu yang selalu memenuhi keinginan Nina ataupun anaknya. Alex juga ingin mengawasi perkembangan Nina dan memastikannya beristirahat dengan benar. Alex yang seperti itu, menjadi lebih hati-hati dan posesif jika sudah menyangkut Nina dan calon anaknya.

‘Jangan lupa istirahat, Sayang. Aku akan segera pulang untuk menemanimu.’

“Fokus pada pekerjaanmu terlebih dahulu. Aku tidak apa-apa, ada Anna yang menemani. Pulang nanti, berhati-hatilah di jalan.”

‘Baik, Sayang. Aku mencintaimu.’

Setelah sambungan telepon terputus, Nina mengembalikan ponsel Anna dan mengalihkan pandangannya pada gedung-gedung pencakar langit. Nina tidak pernah bosan mengamati pemandangan itu. Menurutnya, cahaya yang terpantul dari cermin membuat bangunan terlihat berkilauan. Belum lagi langit yang bersinar cerah, membuat semuanya tampak seperti lukisan hidup.

“Alex ini, selalu saja menelepon. Untung saja tidak ada kamera disini. Jika iya, dia pasti akan mengomeliku kalau tahu kau berada disini,” gerutu Anna.

Nina hanya tersenyum mendengar celotehan Anna. Dokter memang menyuruhnya untuk bed rest, tetapi Nina adalah orang yang mudah bosan. Dia tidak bisa hanya berdiam ditempat tidur. Sesekali dia juga ingin bergerak dan melakukan hal yang disukainya. Lagi pula, dokter juga menyarankan untuk sesekali jalan-jalan sebagai olahraga. Hanya saja, Alex terlalu protektif dan tidak mengizinkannya berbuat apapun.

Well, Alex hanya khawatir. Jangan marah padanya, ya.” Nina lalu mengelus perutnya yang masih rata. Dia bisa merasakan jika bayi dalam kandungannya tengah berkembang. Ada rasa sedih ketika mengingat anaknya yang dulu telah tiada. Alex mengatakan jika anak itu telah kembali dan kini tengah tumbuh dalam perutnya. “Tumbulah dengan sehat. Mommy dan Daddy menunggu kehadiranmu.”

Anna pun ikut mengelus perut Nina. “Aunty juga menunggumu. Jadi cepatlah lahir agar Aunty bisa melihat wajahmu. Tapi ingat, jangan ikuti sifat Daddy mu yang jelek itu. Ikutilah sifat Mommy yang ceria dan pantang menyerah ya.”

Nina pun tertawa mendengar perkataan Anna. Berkatnya, perasaannya menjadi membaik. Nina bersyukur mempunyai sosok kakak seperti Anna yang selalu menghiburnya. Anna sangat peka terhadap suasana hatinya. Dia selalu berhasil memperbaiki moodnya dan membuatnya menjadi lebih baik.

“Anna, aku lapar. Aku mau bubur ayam,” pintanya.

Anna langsung beranjak dari kursinya dan tersenyum bangga. “Serahkan padaku! Bubur ayam dengan bawang goreng dan kerupuk udang yang banyak kan? Tunggu sebentar, aku akan segera membuatkannya!”

Nina tersenyum kecil melihat kepergian Anna. Setelah kepergiannya, perlahan wajah Nina berubah muram. Alex dan Anna memperlakukannya dengan baik sehingga dia dapat merasakan hangatnya keluarga. Nina juga tahu kalau Alex ingin membuatnya tidak mengingat tentang keluarga kandungnya. Namun, Nina merindukan Ayah dan juga adiknya.

Sudah lima tahun lamanya mereka berpisah dan selama itu pula dia tertidur. Bagi Nina, pertengkaran dengan Ibunya terasa seperti kemarin. Semua berlalu dengan cepat termasuk saat-saat dia kehilangan ingatan. Waktu yang dilaluinya bersama Alex saat hilang ingatan pun hanya sebentar. Namun Nina menikmati masa-masa itu dan mengetahui alasan Alex tidak ingin memorinya kembali.

Masa lalunya terlalu pahit untuk di ingat. Memang lebih baik dia tidak mengingatnya, sehingga tidak merindukan keluarga dan teman yang ditinggalkan. Sekalipun iya, Nina merasa tidak rela harus melupakan kenangannya bersama orang yang peduli padanya dan saat-saat yang dilewati bersama Alex.

“Lebih baik seperti ini, jauh dari mereka yang menyakitiku. Aku bahagia disini, bersama pria yang mencintaiku.”

***

Setelah makan malam, Nina mencuci piring sedangkan Anna membereskan kamar. Nina ingin sedikit bergerak agar badannya tidak kaku karena kebanyakan duduk dan tidur. Untungnya Alex tidak melarang dan hanya mengawasinya dari belakang.

“Sayang, bagaimana kalau kita jalan-jalan untuk membeli perlengkapan bayi?” bisik Alex setelah Nina membersihkan piring terakhir.

“Bukankah sekarang terlalu cepat? Lagi pula kita belum tahu anak ini laki-laki atau perempuan.”

Alex sengaja memanyunkan bibirnya dan memeluk Nina dari depan. “Ayolah, aku hanya ingin memanjakan anak kita. Aku yakin, anak kita pasti laki-laki dan memiliki mata yang sama denganmu.”

Nina hanya tersenyum pasrah ketika Alex sudah merengek. Jika sudah menginginkan sesuatu, keinginannya harus dituruti. Itulah sifat Alex yang tidak berubah dari dulu. Terkadang, keinginan Alex bermacam-macam seperti ingin mengikuti apa yang  dimakannya ataupun meminta yang aneh-aneh. Nina sampai mengira jika Alex lah yang mengidam, bukan dirinya.

“Baik-baik. Aku ganti baju dulu ya Tuan Ngidam. Tunggu disitu dan duduk yang manis.” Nina terkekeh sembari mengusap-usap kepala Alex layaknya anak kecil. Alex justru berwajah cemberut lalu memajukan wajahnya meminta untuk dicium. Nina hanya menggeleng melihat tingkahya yang kekanak-kanakan lalu memberikan ciuman sekilas. “Sudah ya, kalau aku tidak ganti baju sekarang nanti kita malah tidak jadi pergi.”

Alex tersenyum puas lalu melepaskan pelukannya, membiarkan istrinya untuk berganti pakaian. “Jangan terlalu cantik, Sayang. Aku cemburu jika ada laki-laki lain yang menatapmu.”

Nina hanya mengedipkan sebelah matanya sebagai jawaban dan masuk ke kamar.

***

Melihat berbagai perlengkapan bayi yang dipajang membuat Alex bersemangat. Setiap ada sesuatu yang menurutnya menarik, tanpa pikir panjang dia akan langsung membelinya. Dengan sikapnya yang seperti itu, para pramuniaga juga ikut aktif merekomendasikan barang.

Nina hanya menggeleng melihat Alex yang sangat antusias membeli perlengkapan bayi. Dengan perlahan, dia mengusap perutnya sembari tersenyum. Anak dalam kandungannya akan tumbuh dengan mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari kedua orang tuanya. Baik dia dan Alex akan merawat mereka dengan penuh cinta. Nina tidak mau jika anak itu mengalami nasib yang sama sepertinya ataupun kesepian seperti Alex karena merupakan anak tunggal.

Sebuah kekehan terlepas dari mulut Nina ketika mengingat perkataan Alex tadi yang menginginkan banyak anak agar rumah terasa ramai. Alex bersedia mengganti popok, menyuapi makan dan kekurangan tidur. Tapi dibalik semua itu, Alex juga menginginkan sesuatu sebagai balasan. Sesuatu yang bisa di dapat selama dirinya menyusui.

“Sayang, bagaimana ayunan ini? Kau tidak perlu capek-capek mengayunkan anak kita saat tidur nanti dan semuanya aman. Aku sudah mengecek tegangan listrik dan bahan yang digunakan. Ayunannya juga mudah dibersihkan jika terkena tumpahan lalu kita bisa menggantukan mainan disini dan – “

“Alex.” Satu panggilan Nina membuatnya berhenti dan langsung menoleh ke arahnya.

“Ya, Sayang? Apa kau ingin ayunan yang lebih bagus lagi? Aku bisa menyuruh orang untuk membuatnya agar – “

“Bukan itu,” potong Nina. Satu yang Nina sadari semenjak mereka memasuki toko, Alex semakin cerewet. Bukan hanya cerewet memilih barang, dia juga aktif bertanya sampai ke detail-detailnya. Nina jadi tidak bisa membayangkan bagaimana Alex menghadapi kliennya dengan sikap seperti ini. “Kita bisa angsur-angsur membelinya nanti. Lagi pula kita belum tahu jenis kelamin anak kita. Lihat, warna yang kamu pilih semuanya hitam. Apa kau tidak mau memilih warna lain?”

Alex memperhatikan barang-barang yang dipilihnya. Keranjang bayi, Stroller dan ayunan, semuanya berwarna hitam. Belum lagi dengan setelan pakaian yang dipilihnya, semuanya juga warna hitam. “Kau benar. Kalau begitu warna apa yang menurutmu cocok dengan anak kita nanti? Bagaimana kalau biru?”

Nina mendesah pelan sembari merangkul lengan Alex. “Kau cerewet sekali. Kita belum mengetahui jenis kelamin anak kita. Apa kau tidak terlalu buru-buru?”

Alex hanya tersenyum memamerkan deretan gigi putihnya. Nina yakin jika tadi dia melihat pramuniaga yang berada didekatnya tersipu ketika melihat senyuman suaminya. “Aku yakin anak kita laki-laki. Aku justru ingin mempersiapkan semuanya sekarang agar nanti kedepannya kau tidak terlalu lelah. Aku ingin menghabiskan waktu denganmu selama kehamilanmu.”

Nina menyerah jika Alex sudah bersikap manis seperti ini. Selama hamil, Nina tidak pernah menang berdebat dengan Alex. Dia justru tidak pernah marah dan semakin lengket dengannya. Saat tidur pun, dia harus dipeluk Alex. Jika tidak, dia tidak akan bisa tidur dan terus uring-uringan.

“Baiklah. Kalau sudah selesai, ayo pulang. Kakiku mulai pegal.”

Mendengar itu, Alex langsung menyuruh pramuniaga mencarikan kursi untuknya. Setelah kakinya membaik, barulah mereka mengantri untuk membayar. Saat sedang menunggu, Nina melihat dua orang perempuan yang tengah melihat-lihat barang. Salah satu diantara wanita itu terlihat tengah hamil dengan perut yang sedikit membuncit. Sedangkan yang lainnya tampak telah lanjut usia.

“Ma, kurasa ini sudah cukup. Tidak perlu membeli banyak-banyak.”

No, Dear. Ini kehamilan pertamamu. Tentu saja kau membutuhkan banyak hal. Percaya pada Mommy. Suatu saat, kau pasti membutuhkannya.”

Melihat keakraban ibu dan anak itu, Nina teringat dengan ibunya. Jika hubungan mereka tidak buruk, apakah dia bisa mendapatkan kasih sayang ibunya?

Nina mau melupakan semua yang terjadi. Semua hal buruk yang menimpanya termasuk pertengkaran mereka saat itu. Setelah kecelakaan 5 tahun yang lalu, keluarganya pasti khawatir ditambah dengan Alex yang membawanya pergi. Dalam lubuk hatinya, Nina berharap jika keluarganya selalu sehat walau tidak mengetahui tentang dirinya.

Dalam lamunannya, Nina tidak sadar jika Alex terus memperhatikannya dengan raut tak terbaca. Alex lebih memilih diam dan pura-pura tidak mengetahui keinginan Nina. Dia tidak bisa mengambil resiko kehilangan Nina dan calon anaknya untuk yang kedua kalinya. Biarlah kali ini dia berperan sebagai penjahat asal Nina selalu disisinya.

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Only You – Chapter 45

0 votes, average: 0.00 out of 1 (0 votes, average: 0.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

1

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Sudah sekalian kalinya, Alex memperbaiki letak dasi yang tidak miring. Berulang kali dia memeriksa penampailannya agar terlihat rapi, terutama di hari yang penting ini. Hatinya semakin berdebar ketika mobil yang ditumpanginya hampir mencapai kediaman kekasihnya. Senyumnya terus mengembang, membayangkan bagaimana wajah Nina ketika melihatnya nanti.

 Senyumnya terus mengembang, membayangkan bagaimana wajah Nina ketika melihatnya nanti

Alex sudah menyelesaikan pekerjaannya lebih cepat dari yang diperkirakan. Dia sengaja lembur agar bisa segera bertemu dengan kekasihnya. Hari-hari tanpa Nina disisinya, membuat batinnya terasa disiksa. Alex sangat merindukan kehangatannya, bibirnya yang manis dan aromanya yang memabukkan. Setiap hari membuka mata tanpa Nina disampingnya, membuat hari-harinya terasa kosong. Dia ingin segera mengikat wanitanya itu agar menjadi pendamping seumur hidupnya.

 Dia ingin segera mengikat wanitanya itu agar menjadi pendamping seumur hidupnya

Sebuket mawar merah yang indah berada disampingnya. Di dalam buket itu terdapat kartu ucapan dan kotak cincin yang akan diberikannya kepada Nina nanti saat melamarnya. Disamping buket itu, terdapat beberapa hadiah yang akan diberikannya kepada calon Ibu Mertua dan Adik Iparnya. Alex sendiri yang memilih hadiah itu dan mencarikan yang terbaik untuk diberikan kepada mereka.

Semakin mendekati tempat tinggal Nina, semakin sering pula Alex berkeringat. Jemarinya pun terasa dingin akibat kegugupan yang melanda. Dia sudah meminta Anggi untuk menyuruh Nina pulang lebih cepat. Tentu saja dia sudah memberitahukan rencananya untuk melamar yang langsung disetujuinya.

Alex tidak pernah segelisah ini dalam hidupnya. Saat pertama kali memimpin perusahaannya, saat bertemu dengan orang-orang yang lebih senior dalam bidangnya, ataupun saat dia meyakinkan orang lain dengan kemampuannya, dia tidak pernah setakut ini. Dia tidak boleh membuat kesalahan di mata Ibu Nina. Karena kesalahan sekecil apapun akan membuat citranya buruk dan menyulitkan hubungan mereka.

Sebelumnya, Nina sudah menceritakan sekilas tentang hubungannya dengan ibunya, Dian. Hubungan mereka tidak terlalu baik karena Dian merasa kecewa dengan keputusannya untuk berhenti sekolah. Dian juga lebih memperhatikan Randy karena dianggap sebagai penerus keluarga dan lebih baik darinya dalam segi pelajaran.

Dada Alex berdenyut nyeri mengingat ekspresi Nina ketika menceritakannya. Saat itu, Nina tampak begitu sedih. Semenjak Ayahnya meninggal, dia tidak pernah mendapatkan perhatian Ibunya. Semasa Ayahnya masih hidup pun, Nina mengakui kalau dia memang kurang berinteraksi dengan Ibunya tetapi itu bukan karena ia membencinya. Hanya saja, sejak dulu mereka hubungan mereka sudah renggang.

Berbeda ketika Nina menceritakan Ayahnya, dia tampak begitu bersemangat. Dari caranya membicarakan ayahnya, Alex mengetahui kalau Nina sangat menyukai sosok Ayahnya. Ayahnya selalu memuji setiap kali dia mencapai suatu hal baru dan menyemangati ketika dirinya bersedih.

Alex menjadikan Ayah Nina sebagai target yang harus dilampaui. Saat Nina menjadi istrinya, saat itulah tugas yang dulu diemban Ayahnya berpindah padanya. Alex akan menjaganya, memberikan kasih sayang dan kebahagiaan yang sebelumnya tidak pernah dirasakannya. Alex akan membuat Nina bahagia karena dia adalah wanita yang dicintainya.

“Pasti gugup karena mau melamar anak gadis orang. Tuan harus tenang supaya bisa lancar. Ingat, Tuan harus membuat kenangan yang tidak akan dilupakan oleh Nina. Saya yakin, Nina pasti akan menjadi istri yang baik.”

Alex tersenyum mendengar kalimat penenang dari supir itu. Supir yang sekarang membawanya adalah supir yang sama saat dia pertama kali ke Jakarta. Saat memintanya kembali untuk bekerja padanya, bapak itu menerimanya dengan senang hati.

Ketika telah mencapai persimpangan jalan menuju rumah Nina, jalanan menjadi macet karena segerombolan warga dan pengendara berkumpul ditengah jalan. Alex mengira ini hanyalah kemacetan biasa. Sebagai ibukota negara, sudah biasa kemacetan sering terjadi. Alex sedikit kesal karena perjalanannya terhambat. Untuk meredakan rasa jenuhnya, Alex menyibukkan diri dengan memeriksa penampilannya.

Mobil ambulans yang lewat membelah kerumunan itu. Ternyata kecelakaanlah yang menyebabkan macet. Mendengar bunyi sirene yang memekakkan telinga membuat Alex tak nyaman. Ada sesuatu yang membuatnya gelisah dan jantungnya berdebar dengan cepat. Tiba-tiba, Alex terdorong ingin mengetahui siapa yang mengalami kecelakaan itu. Dia turun dari mobil dan berjalan menuju kerumunan itu untuk melihat.

Lutut Alex lemas ketika melihat siapa yang terbujur disana. Tanpa banyak berpikir, dia langsung menghampiri sosok Nina yang tergeletak. Langkahnya dihadang oleh sekumpulan petugas yang sedang memapahnya. Tanpa mempedulikan peringatan yang mereka berikan, Alex mendobrak masuk dan memanggil namanya.

“Nina! Buka matamu, Sayang! Jangan membuatku takut!” Alex terus memanggil yang tidak direspon olehnya. Wajah Nina tampak begitu sedih, terlihat dari genangan air mata yang masih berbekas diwajahnya. Pipi Nina yang dulunya putih, kini tertutupi oleh noda daranya. Nina yang dulunya bersemangat, kini terbaring di tandu dengan kondisi kritis.

Seorang Paramedis mendorong Alex menjauh agar bisa memberikan pertolongan pertama. Sebelum mereka membawa Nina menuju rumah sakit, Alex menarik kerah baju Paramedis yang tadi mendorongnya. “Selamatkan dia, bagaimanapun caranya!”

Petugas itu hanya mengangguk sebelum menutup pintu dan memberi isyarat kepada supir untuk jalan. Setelah kepergian ambulans, Alex mengerang keras. Rasa marah, sedih dan frustasi semuanya bercampur menjadi satu. Dia mengacak-ngacak rambutnya hingga supir yang mengatarnya menghentikannya.

Alex menatap kedua tangannya yang bersimbah darah. Bukan hanya tangannya, pakaiannya pun dipenuhi dengan darah Nina ketika memeluknya tadi. Tangis Alex langsung pecah setelah mencerna apa yang terjadi. Ninanya kini tengah sekarat dan akan meninggalkannya.

“Tenang dulu, Pak. Sekarang kita susul dulu ke rumah sakit. Ini barang Nona Nina yang dipungut sama warga.”

Alex meraih tas Nina yang selalu dibawanya. Dia memeluk tas itu erat-erat dan menyusul Nina ke rumah sakit.

***

Hawa dingin menemani Alex setiap waktu yang dilaluinya. Lampu merah tanda Emergency belum juga padam sejak 5 jam yang lalu. Para suster selalu hilir mudik mengambil persediaan obat-obatan ataupun memanggil dokter lainnya. Setiap kali mereka keluar, Alex selalu berharap mereka memberikan berita bagus. Hal itu tidak kunjung datang hingga membuatnya terpaksa menunggu pasrah.

Perbincangan para suster yang lalu-lalang membuatnya semakin kalut. Dari percakapan mereka, Alex mengetahui jika Nina kehilangan banyak barah dan mengalami cedera yang serius.

Membayangkan Nina meninggalkannya membuat Alex bergidik ngeri. Dia menyalahkan dirinya atas apa yang terjadi padanya. Seharusnya dia tidak membiarkan Nina pulang. Seharusnya dia menemaninya. Seharusnya dia langsung mengikatnya dan membawanya kembali setelah mereka bersama.

Kalimat itu terus berulang dibenak Alex hingga membuatnya gila. Air mata turun membasahi pipinya ketika membayangkan kemungkinan itu akan terjadi. Untuk pertama kali dalam hatinya, Alex melipat tangan dan berdoa. Seumur hidupnya, dia tidak pernah berdoa dengan sungguh-sungguh.

Alex percaya jika semua dapat dipercaya dengan usaha, bukan dengan keyakinan semata. Namun kali ini dia serius untuk meminta. Tidak apa-apa jika dia harus berkorban, keinginannya hanya satu, yaitu keselamatan Nina.

Selesai berdoa, pandangan Alex beralih pada tas hitam disampingnya. Nina sangat menyukai tas itu dan selalu membawanya kemana-mana karena merupakan tas favoritnya. Bau darah menguar kuat dari tas itu. Warnanya yang hitam menutupi noda darah yang tercemar. Alex membuka tas itu dan sebuah binder yang terdapat bekas merah pasa sampulnya. Spiral pada binder itupun telah rusak dan tidak bisa tertutup rapat.

Alex tahu jika Nina suka mencatat tentang kesehariannya. Beberapa hari sekali, dia akan menulis pengalaman yang dilaluinya. Pernah sekali dia mendapat Nina sedang menulis diary-nya. Ketika Alex ingin membaca, Nina buru-buru menyimpanya dengan alasan malu.

Jemarinya dengan hati-hati membuka membuka halaman demi halaman agar tidak terjatuh sembari mengamati tulisan tangan Nina. Tulisannya begitu rapi dan bersih. Beberapa dari halaman itu juga berisi coretan asal dan gambar-gambar lucu. Alex tertawa melihat gambar-gambar yang menurutnya sangat kekanak-kanakan. Sosok Nina yang selalu sempurna ternyata tidak mahir dalam menggambar.

Alex mencari tanggal setelah kepulangan Nina dari New York. Tanggal yang berbeda jauh menandakan dia tidak sempat menulis setelah pulang. Telihat dari tanggal yang terlompat hingga berminggu-minggu lamanya. Biasanya Nina tidak akan melewatkan hingga sejauh itu. Paling tidak, seminggu sekali dia akan menulisnya dan paling cepat dua hari.

Pelan-pelan, Alex membaca apa yang ditulisnya. Dia memang belum mengenali semua kosa kata yang menjadi bahasa nasional Nina. Tetapi Alex mengerti sedikit demi sedikit terutama kata yang digunakan tidaklah rumit.

Setelah membacanya, Alex mengetahui jika Nina sibuk mengurusi cafe. Ide barunya selama magang, diterima baik oleh Anggi. Bukan hanya latte art, mereka juga sukses dengan menu baru mereka dan pelayanan berbasis online untuk meningkatkan penjualan. Disela-sela melayani tamu, Nina mengeluh kalau dia terus menguap hingga Anggi memindahkannya ke pembukuan. Ada rasa sedih karena tidak bisa lagi berinteraksi dengan pelanggan, namun Nina juga tidak bisa membantah. Dia tidak mau kondisinya yang tidak prima menganggu aktivitas yang lainnya.

Saat membaca halaman selanjutnya, rahang Alex mengetat. Dibacanya halaman itu hingga 2 kali dan meremas pinggiran binder itu hingga lemnya terlepas. Sebuah test pack terjatuh dengan memunculkan 2 buah garis yang jelas. Dengan gemetar, Alex meraih test pack itu dan menggenggamnya erat-erat.

Lampu Emergency yang semula terus menyala, kini telah padam. Alex bangkit dari kursinya menunggu siapapun keluar dari sana. Setelah 5 menit, seorang dokter keluar dengan baju hijau khas operasinya. Alex lantas menghampiri dokter itu tanpa mempedulikan wajah letihnya.

“Anda keluarganya?” tanya dokter itu ketika hanya melihat Alex sendiri disana.

“Benar, aku suaminya! Bagaimana kabar istriku? Dia baik-baik saja, kan?!” tanyanya panik.

“Istri anda keguguran. Kami tidak bisa mempertahakannya karena kecelakaan yang dialami mengenai rahimnya.”

Berita yang didengar Alex membuat lututnya lemas dan membuatnya terjatuh. Test pack yang berada dalam genggamannya pun ikut terlepas. Nina hamil dan dia akan menjadi seorang ayah. Namun kesempatan itu tidak akan datang karena anak mereka telah tiada. Air mata kembali membasahi pipinya.

Penyesalan selalu datang terlambat. Seharusnya Nina tidak perlu mengalami semua ini jika tetap tinggal. Nina tidak perlu kehilangan bayinya dan menikmati masa-masa menjadi seorang Ibu. Jika Alex merasa begitu terluka, bagaimana dengan Nina? Dia pasti tidak akan bisa menerima semua ini.

“Pak, bapak harus kuat. Istri anda belum melewati masa kritis.”

Alex langsung berdiri menatap dokter itu. “Apa maksudmu?”

“Istri anda mengalami benturan di kepala dan membuatnya pendarahan. Kami sudah melakukan yang terbaik. Dengan peralatan yang kami miliki, kami hanya bisa memberikan perawatan sementara. Jika bapak membawanya ke rumah sakit yang memiliki peralatan lengkap, ada kemungkinan jika nyawanya bisa tertolong.”

Belum cukup kehilangan calon anak mereka, kini Nina pun ingin meninggalkannya. Alex tidak akan membiarkan itu terjadi. Bagaimanapun caranya, dia akan menyelamatkan Nina.

“Boleh aku menemui istriku?”

“Silahkan. Kami sudah memindahkannya ke ruangan lainnya. Saya harap bapak segera memindahkannya agar mendapat perawatan lebih lanjut.”

Alex mengikuti arahan dokter menuju kamar yang Nina tempati. Selama menuju ke sana, dia membaca pesan yang dikirim oleh suruhannya untuk menyelidik kecelakaan itu. Berdasarkan laporan itu, kejadian yang menimpa Nina murni karena kecelakaan tanpa ada unsur kesengajaan. Namun sebelum insiden itu terjadi, Nina sempat bertengkar dengan Ibunya. Dari keterangan tetangga, Ibu Nina tiba-tiba memarahinya dan membuang semua barang-barangnya. Dia juga menampar Nina dan mengusirnya dari rumah.

Ketika sampai di kamar Nina, Alex segera menghampiri ranjang dan melihat matanya yang terpejam rapat. Selama dia memperhatikan Nina, baru kali ini wajah tidurnya begitu damai. Jika bukan karena hembusan nafas dan bunyi mesin EKG, orang-orang akan mengira Nina sudah tiada. Dengan perlahan, Alex merapikan anak rambut Nina yang berantakan di lilit perban. Dia juga mengelus pipi Nina yang terdapat beberapa luka goresan.

Hati Alex terasa perih melihat semua luka yang dialaminya. Dia tidak mengerti, kenapa Nina harus mengalami semua ini. Nina tidak pernah melakukan kesalahan apapun. Dia selalu melakukan yang terbaik untuk membuat orang-orang disekitarnya bahagia. Dia selalu berusaha keras meskipun telah lelah. Kenapa setelah semua yang dilakukannya, kejadian buruk tidak pernah berhenti menimpanya.

Sudah cukup. Sudah cukup Nina mengalami semua ini. Jika tidak ada yang menghargai Nina, maka dia akan membawanya pergi. Alex sanggup membuat Nina bahagia. Dia menerima semua kekurangannya dan mencintainya apa adanya. Dia bisa memberikan apapun yang diinginkannya termasuk sebuah keluarga.

Nina tidak membutuhkan keluarga yang membuangnya. Keluarga yang memperlakukannya seperti sampah dan tidak menghargainya.

“Aku akan membawamu pergi dari sini, dari semua yang membuatmu menderita. Kau boleh membenciku setelah ini. Suatu saat kau akan menyadari, jika aku melakukannya demi kebaikanmu.”

Alex memberikan ciuman ringan di pipi Nina sebelum memerintahkan anak buahnya untuk menyiapkan pesawat. Dia akan membawa Nina pergi dari negara ini agar mendapatkan perawatan lebih baik. Kesalahan yang sama tidak akan terulang untuk dua kalinya. Kali ini, Alex akan menjaga Nina baik-baik dan tidak akan membiarkannya pergi dari sisinya lagi.

.

.

.

.

.

Flashback selesai! Bagaimana perasaan kalian setelah membaca sejauh ini?

Nantikan chapter selanjutnya ya!

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Only You – Chapter 44

0 votes, average: 0.00 out of 1 (0 votes, average: 0.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

1

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Sudah berapa kali kepala Nina hampir terantuk meja. Rasa kantuk sering menguasainya, kapanpun dan dimanapun. Bukan hanya saat mendata pembukuan, saat melayani pelanggan pun Nina sering menguap tanpa sadar. Karena terlalu sering seperti itu, Anggi memindahkannya lagi ke bagian pembukuan dan akan membantu ketika cafe sedang ramai.

Nina bukannya sengaja. Kehamilannya yang masih muda membuatnya mudah mengantuk. Beruntung dia tidak mengalami komplikasi seperti muntah, tidak selera makan ataupun gangguan lainnya. Jika iya, dia khawatir bila kehamilannya akan diketahui orang lain.

Duduk sendirian di ruangan ber AC membuat kelopak matanya terasa berat. Belum lagi jam-jam sekarang yang merupakan jam rentan untuk tidur siang. Nina ingin sekali memejamkan matanya sejenak dan melupakan semua pekerjaan yang membutuhkan perhatiannya. Ketika matanya hampir tertutup sempurna, suara pintu terbuka langsung menyadarkannya.

“Masih ngantuk Nin? Kamu gak mau pulang aja? Beberapa hari ini kamu keliatan capek banget loh.” Anggi khawatir melihat kondisi Nina yang semakin hari semakin lesu. Sebelumnya, Anggi pernah menyuruhnya untuk memeriksakan diri ke dokter. Nina menolak dan mengatakan kalau dia baik-baik saja. Terkadang Anggi kesal karena Nina terlalu keras kepala. Padahal seharusnya dia lebih memikirkan kesehatannya sendiri dari pada orang lain.

“Udah, kamu pulang aja. Aku gak mau kamu sakit sampe gak masuk berhari-hari.” Kali ini Anggi lebih memaksa. Dia harus bisa membuat Nina pulang agar rencana orang itu berjalan lancar. “Aku antarin pulang supaya gak usah naik bus.” Anggi mulai membereskan barang-barang Nina dan mematikan laptopnya. Sesudah itu, Anggi mengambil kunci mobilnya dan menarik lengan Nina.

“Gi, aku bisa pulang sendiri! Kamu gak perlu repot-repot antarin aku!” Nina harus setengah berteriak agar Anggi berhenti menariknya. Perutnya merasa tidak nyaman karena lengannya ditarik. Dia harus mengalah agar tidak terjadi sesuatu dengan anaknya.

“Kamu tu memang harus dikasari baru dengar! Kalau dari tadi begini kan aku gak perlu narik-narik kamu.”

Nina hanya tersenyum mendengar gerutuan Anggi. Dia lalu mengambil tasnya dari genggaman Anggi dan menyandangnya. “Kalau begitu aku pulang dulu ya. Besok aku pasti masuk.”

“Gak perlu datang kalau kamu masih sakit. Orang sakit malah kerja. Istirahat dirumah yang benar!”

Nina hanya memberikan lambaian tangan sebagai jawaban. Agar tidak menarik perhatian, Nina turun menggunakan pintu belakang. Senyum terbentuk dibibirnya ketika mengingat dulu dia sering melalui pintu itu saat pergi bersama Alex.

Alex selalu mengajaknya makan siang dan tidak pernah kembali sesuai dengan jam yang ditetapkan. Mereka baru akan kembali setelah hari menjelang sore atau ketika kakinya sudah lelah. Kemanapun dia pergi, jika bersama Alex, Nina merasa senang. Bukan karena Alex selalu ingin memanjakannya atau memiliki banyak uang, tetapi karena dia mencintainya dengan tulus.

Nina mengelus perutnya yang masih rata. Dia masih tidak percaya jika didalam perutnya sekarnag terdapat sebuah nyawa yang tengah berkembang. Nyawa yang merupakan buah cinta mereka. Sampai sekarang pun, dia belum memberitahukan Alex mengenai kabar kehamilannya. Nina ingin menjadikannya kejutan saat Alex melamarnya nanti.

Sesampai di rumah, Nina terkejut melihat semua barang-barangnya berserakan di lantai. Bukan hanya pakaiannya, beberapa barang yang diberikan untuk Randy juga ikut tergeletak disana. Sempat terbesit dibenaknya jika itu rumahnya dirampok. Tetapi pemikiran itu hilang dengan cepat saat melihat pintu pagar yang terkunci dan tidak adanya keributan dari tetangga. Jika rumahnya benar-benar dirampok, pasti tetangga akan panik terlebih dengan pintu rumah yang masih terbuka lebar.

Nina masuk ke rumah dengan hati-hati dan mencari sosok mamanya. Ketika melihatnya muncul dari kamar, tangis lega langsung menggantung disudut matanya. “Ma – !”

Setumpuk baju langsung dilempar kehadapannya dan membuatnya terkejut. Namun hal yang lebih mengejutkan lagi adalah tatapan dingin Dian kepadanya.

“Darimana kamu dapat uang buat beli barang-barang ini? Kamu bohong sama mama kan?! 3 bulan kemaren kamu izin mau dinas karena urusin cabang cafe tapi sebenarnya kamu ke New York kan?!”

Nina terdiam ditempatnya menghadapi amarah Dian yang tertuju padanya. Dari awal dia sudah merasa tidak benar membohongi mamanya. Resiko jika kebohongan itu terbongkar sangat menyakitkan. Mamanya pasti sangat kecewa dengan dirinya sekarang.

“Ma, aku – “

“Diam! Mama gak mau dengar penjelasanmu! Dasar jalang!”

Dada Nina langsung berdenyut sakit. Dia sudah biasa mendapat perlakuan dingin dari Dian namun tidak dengan hinaan yang diberikan. Selama ini, dia selalu berusaha agar Dian mengakui jerih payahnya. Semua biaya yang diperlukan Randy dan juga kebutuhan sehari-hari ditanggungnya. Baginya tidak apa-apa jika dia harus bekerja siang malam untuk memenuhi kebutuhan mereka. Nina hanya ingin keluarganya yang tercinta selalu sehat dan bahagia.

“Belum puas kamu membuat mama malu sekarang kamu juga ingin membuat Randy ikut menanggungnya, hah?! Kamu gak tahu, seberapa malunya mama setiap kali ada yang bertanya tentang kamu! Kamu yang putus sekolah, kamu yang kerja, semuanya tentang kamu! Kamu mikir gak sih, kalau kamu tu buat Randy jadi tertekan dan semua yang kamu lakukan tidak ada yang berguna! Karena kamu juga, Randy sampai harus kuliah di universitas jelek itu! Kamu tahu kan kalau Randy itu pintar. Dia itu seharusnya kuliah di universitas bergengsi dan tidak perlu kerja siang malam hanya untuk membiayai pendidikannya!”

Nina terpaku ditempatnya mendengar semua cacian yang diberikan padanya. Dari awal, dia sudah tahu jika Dian tidak suka padanya. Meskipun begitu, Nina tetap menyayanginya. Wanita itu adalah orang yang telah melahirkan dan membesarkannya. Alasan lain kenapa dia terus bekerja juga karena tidak ingin mamanya kelelahan dan jatuh sakit. Akan tetapi setelah mendengar semua hinaan yang dikatakan, dia menyadari kalau hanya Randy dimatanya. Sekeras apapun dia berusaha, semuanya tidak bernilai apa-apa.

“Aku bukan jalang,” ucap Nina dengan suara bergetar. Tangannya terus terkepal erat menahan emosi yang selama ini dipendamnya. “Randy memilih kuliah disana karena dekat dengan tempat kerjanya sekarang. Aku juga sudah memberinya saran agar memasuki universitas yang lebih baik dengan jalur prestasi tetapi dia tidak mau. Dia memilih tempat itu karena kantornya memberikannya sedikit kelonggoran dengan statusnya yang mahasiswa. Randy sendiri yang memilih tentang masa depannya.”

“Jadi kamu bilang Randy yang sengaja kuliah ditempat itu? Bukan karena kamu yang menghasut? Atau kamu pikir mama yang nyuruh Randy kuliah disana?”

Nina masih diam meskipun Dian sengaja menusuk-nusuk dahinya dengan kuat. Dia tidak peduli lagi dengan apa yang terjadi selanjutnya. Dia manusia, masih memiliki hati dan bisa merasa lelah. Sesabar-sabar dirinya, tetap saja dia punya batasan.

“Kalau ditanya ya jawab, jangan diam! Atau kamu sudah tuli dan bisu sekarang?”

“Aku ngak tuli ataupun bisu. Aku malas menjawab karena mama pasti tidak akan mendengar penjelasanku.” Benar, sekeras apapun dia mengatakan, Dian tidak akan mempercayainya.

“Kamu memang anak kurang ajar! Pergi dari rumah ini sekarang! Mama gak mau perangai burukmu menular ke Randy! Kamu adalah sumber kebusukan dikeluarga ini!”

“Randy, Randy, Randy terus! Mama selalu melihat Randy! Apa Mama pernah melihat usahaku sekali saja? Kebohonganku tidak sebanding dengan perlakuan Mama padaku! Mama tidak pernah menanyai kabarku, tidak pernah khawatir jika aku pulang terlambat ataupun kesulitan dalam bekerja. Mama hanya memikirkan Randy! Apa Mama tidak bisa sedikit saja khawatir padaku? Aku tidak pernah menceritakan apapun karena aku tidak mau kalian khawatir.

Aku selalu berjuang memberikan yang terbaik untuk kalian, tapi apa yang kudapat! Mama membuat kesimpulan sepihak lalu mengatakan kalau aku adalah jalang dan uang yang kudapatkan adalah haram. Mama tidak mau mendengar penjelasanku dan ingin mengusirku. Baiklah jika Mama menganggap aku adalah aib, maka dengan senang hati aku meninggalkan rumah ini dan mencari kebahagian ku sendiri!”

Ya, tidak ada yang perlu dipertahankan lagi. Rumah yang dulu menjadi tempatnya berlindung kini telah tiada. Nina tidak bisa terus menerus melakukan pekerjaan sia-sia dan mengorbankan kebahagiannya. Sosok yang dulu selalu menjadi pahlawannya juga telah meninggalkannya. Jika tidak ada yang menghargainya, lebih baik dia pergi.

Darah Dian mendidih karena Nina semakin berani kepadanya. Dia tidak terima dilawan seperti itu terlebih oleh anaknya sendiri. Nina perlu diberi pelajaran. Dia lantas mengambil sebuah kotak yang berisi sebuah jam tangan dan membantingnya.

Nina yang melihat hal itu langsung menangis menatap jam tangan yang telah rusak itu. Jam yang menjadi hadiah pertama dari Alex telah berhenti berdetak dan hancur tidak berdaya. Saat jam itu hancur, saat itu jugalah hatinya ikut hancur. Dikeluarga ini, dia tidak memiliki pilihan. Sampai kapanpun, hatinya akan terus dianiaya oleh Mamanya sendiri.

“Mama kejam! Sebencinya Mama padaku, Mama tidak perlu merusak barang pemberian Alex!”

“Oh, jadi kau menjadi jalang dari bule bernama Alex? Bagus! Sekarang sudah kelihatan sifat busukmu. Kau benar-benar hina!”

Dian lalu menoleh kepada jemari Nina yang berkilau. Dilihatnya sebuah cincin yang melingkar disana dan merebutnya. Rasa iri karena kecantikan cincin itu membuatnya menghempas benda itu lalu menginjaknya hingga tidak berbentuk. Tidak puas sampai disitu, dia juga menampar pipi Nina dan mendorongnya keluar.

“Keluar kamu dari rumah ini! Dasar anak tidak berguna! Mulai detik ini aku tidak mau melihat wajahmu lagi! Kau bukan anakku!”

Meskipun matanya memanas, Nina menahan diri agar tidak menangis. Sudah cukup harga dirinya dijatuhkan. Dia tidak mau semakin merendah dengan menangis dihadapan Dian.

Tanpa mengatakan apapun, Nina langsung pergi dari rumah itu. Dia tidak peduli dengan tetangga yang melihat ataupun pandangan orang lain padanya. Ketika sudah cukup jauh, barulah air mata jatuh meluapkan kesedihannya.

Nina sangat kecewa dengan perlakuan Dian kepadanya. Jauh di lubuk hatinya dia juga tidak ingin bermusuhan dengan wanita yang telah berjasa melahirkannya. Tetapi dia juga tidak bisa terus menerus menahan perlakuan tidak adil tersebut. Dia juga memiliki perasaan dan tidak bisa diperlakukan semena-mena.

Saat menyebrang, Nina tidak memperhatikan kendaraan yang berlalu-lalang. Dia terlalu bersedih sehingga tidak menyadari ada sebuah mobil yang melaju dengan cepat ke arahnya. Tetapi saat dia menyadarinya, semua sudah terlambat. Tubuhnya terhempas jauh ketika mobil menabrak tubuhnya.

Nina tidak merasakan apapun. Matanya begitu kabur hingga tidak bisa melihat apa yang didepannya dengan jelas. Sekilas, bayangan Alex yang tersenyum cerah muncul dalam benaknya. Dibelakangnya sebuah cahaya bersinar begitu terang hingga membuat matanya silau. Rasa hangat langsung menjalar ke seluruh tubuhnya seiring dengan pelukan Alex. Sebelum matanya tertutup, Nina tersenyum dan bergumam sesuatu.

“Aku mencintaimu.”

"

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Only You – Chapter 43

0 votes, average: 0.00 out of 1 (0 votes, average: 0.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

1

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Seminggu setelah meluncurkan latte art dan menu sarapan baru, cafe cinta selalu diserbu oleh pelanggan. Menu paket sarapan mereka laku dengan pesat. Tiramisu yang merupakan kue perpaduan kopi, coklat dan krim vanilla yang lembut menjadi makanan terfavorit. Rasanya yang manis dan sedikit pahit merupakan kombinasi terbaik apalagi ditambah dengan secangkir cappucino. Roti Bruschetta pun tidak kalah. Roti yang bisa disantap sekali habis itu ditabur dengan bawang putih lalu dipanggang hingga crispy. Setelah itu, potongan tomat, bawang bombai, lada dan minyak zaitun ditambah di atasnya.

Mereka bukan hanya melayani pesanan ditempat. Untuk mengikuti perkembangan zaman sekarang, mereka pun melakukan perluasan dengan menerima pesanan online. Teknologi sekarang membuat pelanggan lebih mudah membeli makanan tanpa harus datang ke tempat dan menunggu antrian. Nina sadar akan hal itu ketika melihat Anna memesan beberapa barang. Karena itu dia menyarankan ide tersebut agar tidak ketinggalan dengan cafe-cafe lain yang menerapkan ide serupa.

Tiga hari pertama saat mereka merilis menu-menu tersebut, Nina dan pegawai lainnya kewalahan menghadapi pelanggan yang datang silih berganti. Tiramisu dan Roti Bruschetta selalu habis di awal jam. Banyak dari mereka yang kecewa namun bersedia menunggu hingga esok harinya.

Anggi terpaksa menambah beberapa pegawai baru dan seorang koki untuk membantu memasak menu tersebut. Dia tidak bisa memaksa Nina melakukan semua pekerjaan sekaligus. Mengajari membuat kopi sekaligus menu baru merupakan hal yang berat. Nina sampai tidak pernah duduk karena harus memberi arahan dan melayani pelanggan.

“437 Tiramisu, 354 Roti Bruschetta dan 751 latte art. Ini rekor baru mengalahkan yang kemaren.”

"

Para pegawai bersorak gembira mendengar Anggi membacakan hasil pencapaian mereka pagi ini

Para pegawai bersorak gembira mendengar Anggi membacakan hasil pencapaian mereka pagi ini. Mereka sudah menerka-nerka berapa banyak bonus yang akan diterima bulan ini dan berharap bisa terus seperti ini. Meskipun melelahkan karena mereka harus bekerja extra dan datang lebih awal, semua jerih payah mereka terbayarkan.

“Ok, sekarang kalian istirahat bergantian. Ando dan Rita kalian cek stock terlebih dahulu dan laporkan bahan-bahan yang kurang. Sisanya kembali ke posisi masing-masing.”

Semuanya mengangguk dan melaksanakan arahan Anggi. Ketika dia ingin kembali ke ruangannya, Anggi Nina duduk disalah satu kursi bar sambil menyandarkan kepalanya pada meja. Seluruh rambutnya tampak mengkilap oleh keringat. Samar-samar, baju yang dikenakannya pun basah. Jika bukan karena warnanya yang hitam, pasti pakaian dalamnya terlihat.

Anggi memaklumi jika Nina kelelahan. Setiap hari dia harus membuat ratusan latte art dengan permintaan yang macam-macam. Belum lagi, Nina harus mengajari dan mengawasi pegawai lain yang mengerjakannya. Pekerjaannya semakin berat karena harus membereskan pembukuan pada sore harinya. Sebenarnya Anggi menyuruhnya untuk menunda hingga besok. Namun Nina tidak mau karena menurutnya tidak baik menunda pekerjaan.

“Nin, ayo bangun.” Anggi mengguncang bahu Nina pelan yang tidak direspon. “Nina, bangun!” panggil Anggi lebih keras.

Panggilan Anggi sontak membuat Nina terlonjak dari tempatnya. Dia langsung menoleh ke kiri dan kanan lalu menundukkan wajahnya. Menurut Anggi, Nina tampak seperti orang linglung.

“Istirahat di ruanganku saja. Kamu pasti capek banget kan?”

Nina kembali terlonjak di tempatnya dan menoleh ke arah Anggi. “Oh, Anggi. Sorry, aku gak tahu kamu disini.”

Kerutan di dahi Anggi bertambah berkali-kali lipat. Dia langsung menarik lengan Nina dan menyeretnya ke ruanganya. “Kamu pakai ini dulu soalnya bajumu basah. Terus tidur aja di sofa dan lupakan pembukuan soal pembukuan. Gak pake tapi!” Anggi sudah tahu kalau Nina akan menolak dan segera berlalu dari ruangannya.

Nina hanya tersenyum seraya mengamati jaket pink bermotif beruang pemberiannya. “Anggi benar-benar lucu.”

***

‘Maafkan aku, Sayang. Aku belum bisa menemuimu. Aku janji akan segera menyelesaikan semuanya dan melamarmu. Kau sehat-sehat saja kan, Sayang?’

‘Tidak apa-apa, aku sehat disini. Selesaikan dulu pekerjaanmu dan jangan lupa dengan kesehatanmu.’

‘Terima kasih, Sayang. Aku mencintaimu.’

‘Aku juga.’

Setelah membalas pesan Alex, Nina melanjutkan menulis catatan hariannya. Perbedaan waktu antara 11 jam membuatnya menyesuaikan waktu agar Alex tidak kelelahan. Dia sengaja mengirim pesan saat sore hari karena waktu di New York sedang pagi. Nina tidak mau membuat Alex harus bergadang menunggu pesannya disela-sela istirahatnya.

Nina mencurahkan semua pengalamannya selama di New York, kecuali pengalamannya bersama Alex. Hanya mengingatnya saja mampu membuat wajahnya merah. Setiap sentuhan yang Alex berikan begitu panas dan lembut. Sensasi yang diberikan membuat dirinya sangat bergairah dan tidak bisa menolak. Seperti sekarang, tubuhnya begitu berhasrat menginginkan sentuhan Alex.

Hari hampir malam ketika Nina selesai menorehkan isi hatinya. Ketika dia memeriksa jadwal bulanannya, dahinya berkerut melihat ada yang janggal. Dia sudah terlambat 4 hari lamanya. Biasanya, jadwal kedatangannya selalu beraturan. Nina selalu mencatat kapan dia datang dan selesai sebagai pengingat.

Sejenak terbesit kemungkinan alasan keterlambatannya. Rasa takut dan senang bercampur aduk. Dia mencoba berpikir positif jika dia hanya kelelahan sehingga menyebabkannya terlambat. Namun dugaan yang lain juga tidak berhenti menyerang pikirannya.

Untuk membunuh rasa penasarannya, Nina pergi ke apotek yang terletak tidak jauh dari cafe. Dia membeli test pack dengan 3 merk yang berbeda sekaligus dan langsung menyimpannya agar tidak ketahuan. Setelah kembali ke cafe, Nina pun langsung menuju kamar mandi dan mengunci pintu. Dalam hati dia berdoa, meminta ketenangan sekaligus jawaban dari dugaannya.

5 menit kemudian, hasil dari test pack itu terlihat. Nina menutup mulutnya menahan jeritan yang ingin keluar. Matanya memanas ketika melihat 2 garis jelas yang muncul. Dia hamil.

Nina senang karena dia mengandung anak Alex

Nina senang karena dia mengandung anak Alex. Pria itu pasti akan senang mendengar kabar kehamilannya ini. Jika menghitung sejak kembalinya dari New York, usia kandungannya sekitar 2 minggu atau kurang. Tapi ada rasa takut yang juga melandanya. Nina takut jika Alex tiba-tiba berubah pikiran dan meninggalkannya.

Cepat-cepat Nina menggeleng kepalanya menepis pemikiran itu. Diusapnya cincin yang melingkar di jari manis kanannya dan memberikan ciuman. Alex tidak mungkin meninggalkannya. Pria itu sudah berjanji akan menikahinya. Dia tidak akan menarik kata-katanya secara tiba-tiba. Setelah pikirannya kembali tenang, Nina kembali mengirim pesan.

‘Alex, aku sangat mencintaimu. Sangat, hingga rasanya aku ingin menciummu sekarang juga.’

‘Aku juga mencintaimu, Sayang. Aku merindukan ciumanmu. Juniorku juga merindukanmu.’

Nina terkekeh membaca pesan Alex yang begitu vulgar. Tanpa sadar air mata jatuh membasahinya. Entah sudah berapa kali dia mendengar Alex mengatakan cinta padanya tapi tidak pernah sebahagia ini. Dia sangat merindukan Alex dan ingin memberitahu pria itu tentang kehamilannya sekarang.

‘Terima kasih, terima kasih karena sudah mencintaiku dan membuatku bahagia. Aku akan selalu mencintaimu sampai kapanpun.’

***

Mendapat giliran untuk membeli persediaan, Sukma memanfaatkan kesempatan itu dengan mengambil beberapa keperluan pribadinya. Setiap kali dia membeli, bon belanjanya akan digabung dengan bon milik cafe. Perbuatannya tidak pernah ketahuan dan tentu saja itu membuatnya ketagihan dan diuntungkan. Tetapi setelah Nina memegang pembukuan, dia mulai kesulitan menggunakan uang tersebut.

Tangan Sukma terkepal erat saat mendorong kereta troli dan memasukkan barang dengan kasar tanpa peduli jika itu akan membuatnya rusak atau tidak. Setiap kali memikirkan Nina darahnya mendidih. Semenjak Nina menyusun pembukuan, semua bon yang dulu diselipkan menjadi pertanyaan. Semua kecurangan yang dilakukannya dulu terungkap dan Anggi hampir memecatnya jika bukan karena Nina mencegahnya.

Sukma menganggap jika Nina membelanya adalah hal yang pantas. Nina tahu kalau dia sangat membencinya dan selalu saja mencuri perhatian yang seharusnya tertuju padanya. Sukma tidak merasa bersalah. Seharusnya semua hak istimewa yang diberikan kepada Nina adalah miliknya. Nina tidak lebih dari seorang pencuri berhati busuk yang bersembunyi dibalik senyum cantinya.

Kebenciannya semakin memuncak ketika mengetahui jika Nina ke New York hanya untuk mempelajari kopi. Bukan hanya itu, kepergian Nina ke New York karena diminta oleh laki-laki bule yang ternyata adalah pacarnya. Sudah mendapat kesempatan liburan selama 3 bulan dan mempunyai seseorang kekasih yang tampan membuatnya semakin iri. Sukma bersumpah jika dia akan membalas Nina dan membuatnya menderita.

“Oh, ini kue kesukaan Randy. Dia pasti akan senang jika aku membelikannya.”

Sukma menoleh tanpa sadar ketika mendengar nama familiar yang disebutkan. Dia menoleh dan mendapati wanita paruh baya yang dikenalnya. Wanita itu, Dian adalah ibu dari Nina dan Randy.

Sukma pernah bertemu dengannya beberapa kali saat berbelanja dengan ibunya ke pasar. Wanita itu terlihat ramah pada awalnya. Namun ketika menyinggung Nina yang berhenti sekolah, raut wajahnya berubah.

Dian tidak suka setiap kali ada bertanya mengenai Nina. Menurutnya, anak itu adalah aib karena mempermalukan keluarga. Perlakuan yang diberikan kepada kakak beradik itu sangat berbeda. Sudah menjadi rahasia umum jika Dian lebih menyayangi Randy ketimbang melihat usaha Nina.

Senyum licik terukir di wajah Sukma. Keberuntungan berpihak padanya kali ini karena menemukan Dian disini. Jika dia tidak bisa membalas Nina selama di lingkungan kerja, maka dia bisa membuatnya menderita di tangan ibunya. Membayangkan hal itu mampu membuat tubuhnya bergejolak riang. Dia tidak sabar melihat Nina yang hancur oleh ibu yang sangat disayanginya.

“Hai, tante! Masih ingat aku?”

Merasa dipanggil, Dian menoleh ke asal suara. “Kamu Sukma, anaknya bu Nini kan? Tumben ketemu kamu disini. Kamu gak kerja?”

“Saya kerja kok, Tante. Ini lagi dapat giliran tugas belanja. Cafe lagi sibuk karena menu baru yang Nina usulkan. Jadinya saya belanja sendiri. Biasanya berdua sama teman.”

Wajah Dian berubah masam ketika nama Nina disebutkan. Tanpa menyembunyikan rasa tidak sukanya, Dian melipat tangannya di dada. “Hanya membuat kopi itu gampang. Tidak ada susah-susahnya seperti Randy yang harus kerja pagi kuliah malam. Belum lagi tugas-tugas yang menumpuk dan harus dinas!”

Sesuai dugaan Sukma, Dian tidak suka dengan Nina. Dia hanya perlu menambah sedikit agar kebencian itu bertambah. “Membuat kopi memang mudah, tapi Nina harus sampai ke New York untuk mempelajarinya. Kalau sudah belajar ke luar negeri, hasilnya memang beda ya. Apalagi sampai punya pacar orang bule.”

Mata Dian melotot mendengar penjelasan Sukma. Tangannya terkepal menahan amarah yang tersulut. “Apa maksudmu?! Ke New York? Kapan Nina kesana dan sejak kapan dia berpacaran?!” tanyanya bertubi-tubi.

“Tante gak tahu? Nina pergi ke New York selama 3 bulan loh. Terus sebelum kesana, ada bule yang naksir sama Nina sampe tiap hari datang buat nyariin dia. Lalu pas Nina ke New York, bule itu juga loh yang nemanin dia. Terus ada lagi – “

“Cukup!” seru Dian memotong ucapan Sukma. Telinganya panas setelah mengetahui kebenaran yang  sebenarnya. 3 bulan yang lalu, Nina memberikan surat dinas yang menugaskannya untuk keluar kota mengurus cabang cafe yang lainnya. Karena Nina selalu mengirimkan uang padanya, Dian tidak pernah curiga bahkan tidak tahu jika Nina memiliki kekasih bule.

Dian meletakkan keranjangnya sembarang tempat dan tidak melanjutkan belanjanya. Kebenaran yang baru diketahui membuatnya gelap mata. Tujuan saat ini adalah memastikan apa yang dikatakan Sukma benar atau tidak. Sampai kapanpun Dian tidak akan membiarkan jika Nina lebih bahagia dari pada Randy.

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Only You – Chapter 42

0 votes, average: 0.00 out of 1 (0 votes, average: 0.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

1

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Jam 7.30 wib. Biasanya Randy sudah menyiapkan segala keperluannya dan bersiap berangkat ke kantor. Rutinitasnya setiap hari tidak berubah. Bangun pagi, merapikan tempat tidur, mandi, sarapan dan berangkat ke kantor. Pada malam hari, kegiatannya disambung dengan perkuliahan. Lelah memang melakukan 2 tugas sekaligus ditambah dia harus membagi pikiran dan waktu untuk menyelesaikan semua tugas-tugasnya.

Randy tidak berani mengeluh. Dibandingkan dengan dirinya, kakaknya Nina mempunyai peran yang lebih besar sebagai penopang keluarga. Nina bekerja siang malam untuk membiayai sekolah dan kuliahnya. Sebenarnya Randy sudah bisa membayar pendidikannya sendiri. Namun, tekanan dari mama yang meminta Nina harus bertanggung jawab atas keperluannya.

Nina tidak pernah mengeluh. Kakaknya itu bahkan sudah berkorban banyak untuknya. Agar Nina tidak perlu bekerja keras, dia sengaja memilih universitas biasa dan mengambil kelas malam. Pilihannya tentu saja tidak setujui oleh mamanya. Terkadang Randy tidak habis pikir, kenapa mama begitu keras kepada Nina dan berharap banyak hal padanya? Padahal mereka sama-sama anaknya dan Randy tahu jelas kalau kakanya itu sangat luar biasa.

Ketika Randy ingin memakai sepatu, dia melihat Nina duduk diambang pintu. Dahinya berkerut melihat kakaknya yang memakai seragam lengkap. Seingatnya, kakaknya itu diberi libur tambahan 3 hari karena baru pulang. Namun kelihatannya Nina ingin langsung bekerja.

“Kak, gak mau libur sehari dulu?”

Nina menoleh mendapati Randy yang berdiri dibelakangnya. Wajah kagum tercetak diwajah ketika melihat adiknya memakai sangat cocok mengenakan kemeja biru dengan celana kain hitam. Otak yang cerdas, tinggi yang hampir 180 cm dengan wajah rupawan pasti membuat banyak perempuan tertarik padanya. Tetapi setelah dilihat lagi, Alex masih lebih tinggi dari Randy bahkan jauh.

“Bosan dirumah. Lagi pula dirumah juga gak ngapa-ngapain. Oh ya, kamu pakai saja sepatu yang kakak beli itu. Jangan disimpan terus.”

Nina membelikan sebuah sneakers hitam untuknya. Dia sengaja membeli warna itu agar bisa dikenakan kemana saja. Jika membeli warna yang mencolok, Nina khawatir Randy tidak boleh mengenakannya ke kantor sedangkan warna putih cepat kotor dan tentu saja dia memilih warna itu bukan karena warna favorit Alex.

“Yang ini masih bisa dipakai kok. Tunggu rusak baru ganti baru,” jawabnya seadanya. Sepulang dari dinas untuk belajar membuat kopi, Nina membelikan berbagai macam barang untuknya. Mulai dari sepatu, jam tangan, tali pinggang bahkan dompet. Semua barang-barang itu terlihat berkelas dan mahal. Tetapi Nina menyangkal dengan mengatakan kalau itu merek kw.

“Kak, aku antar sampai ke cafe ya.” Randy segera mengambil kunci motor dan mengenakan jaket ketika melihat Nina sudah siap. Walau sekarang dia tidak bisa berbuat banyak, minimal yang bisa dilakukan adalah mengantarnya. Sudah beberapa kali dia mengabaikan untuk menjemput kakaknya pulang hingga mendapat semprotan pedas dari Anggi. Hal itu dikarenakan dia ingin menghindari Nina dari teman-teman perkuliahan yang mengincarnya.

Randy tahu kalau Nina sangat populer dikalangan remaja kampus. Tidak jarang mereka memakasa meminta nomor teleponnya. Jika tidak mendapatkannya, mereka akan melampiaskan kekesalan dengan mengempeskan ban sepeda motornya. Karena keadaan yang seperti itu, Randy tidak pernah menjemput Nina pulang. Biarlah dia mendapat semprotan dari Anggi dari pada kakaknya harus berhadapan dengan remaja-remaja kurang ajar itu.

“Ngak usah. Aku naik bus aja. Toh gak sejalan sama kantormu. Nanti sore kalau kamu lapar singgah cafe dulu sebelum kuliah. Kakak buatkan resep dan kopi baru buat kamu.”

“Tapi kak, kan – “

“Biarkan aja dia naik bus.”

Randy menoleh keasal suara yang memotongnya. Di depan pintu kamar, sosok mama mereka berdiri dan menatap Nina dengan pandangan menyipit. Wanita bernama Dian itu melihat kedua anaknya bergantian sambil berkacak pinggang. “Tempat kerja kalian gak searah. Kalau kamu antar dia, kamunya bisa terlambat.”

Nina menundukkan wajahnya, tidak berani menatap mamanya. Dari tatapan matanya, Randy mengetahui kalau mamanya tengah memberikan peringatan secara tak langsung.

“Ngak terlambat kok ma. Cuma mutar dikit gak akan bikin terlambat.” Randy masih berusaha meyakinkan mama dan kakaknya. Dia tidak habis pikir kenapa mereka diperlakukan sangat berbeda.

“Oh, sekarang kamu sudah berani melawan. Pagi-pagi mau bikin mama marah?” Dian, mulai mengeluarkan aura kemarahan yang tertuju pada Nina. Dia menduga anak perempuannya ini telah mengajarkan yang tidak-tidak padanya.

“Bukan ma. Aku cuma – “

Sebelum Randy menyelesaikan kalimatnya, Nina lebih dulu menyelanya. “Randy, dengerin kata mama. Aku naik bus aja. Toh, ada tempat yang mau aku singgah. Nanti kamu terlambat kalau ngantarin aku.” Nina langsung meninggalkan rumah setelah mengatakannya.

“Dasar, anak kurang ajar! Pergi pun tidak salam!” gerutu Dian yang pergi ke arah dapur.

Randy mengerti alasan Nina kenapa tidak ingin berada dirumah. Baginya, rumah bagaikan neraka yang siap membakarnya tanpa ampun. Selama perlakuan mama padanya tidak berubah, Nina akan terus seperti ini, bekerja dan menuruti semua keinginannya bagaikan robot.

‘Suatu hari, aku pasti akan membuatmu bangga kak!’ janjinya dalam hati.

***

Kedatangan Nina membuat pegawai-pegawai yang lain terkejut. Mereka berlomba-lomba untuk menyambutnya dan membuat keributan kecil. Anggi yang juga sudah berada di cafe dibuat terkejut. Pasalnya, dia sudah memberi liburan tambahan, terlebih lagi itu permintaan dari Alex karena khwatir Nina masih belum pulih dari jet lag. Tetapi lihatlah sekarang, sahabat yang merangkap menjadi guru dan karyawannya itu tetap masuk dan menyapa semua orang.

“Hey! Balik kerja tempat masing-masing! Yang mau cerita-cerita sama Nina, antri! Selesaikan dulu semua orderan pagi ini!” Suara khas Anggi yang memekakkan telinga membuat semua pegawai kocar-kacir. Mereka semua kembali pada tempatnya dan melanjutkan tugas yang sebelumnya tertunda.

Nina hanya terkikik kecil melihat teman-temannya yang kembali bekerja. Semuanya masih takut ketika Anggi telah bersuara. “Pagi gi, suaramu masih nyaring seperti dulu.”

“Kamu aja tambah gendutan pulang dari sana. Masa baru 3 bulan suaraku udah hilang,” balas Anggi sambil menyilangkan kedua lengannya di dada.

Nina mengakui kalau berat badannya bertambah. Selama di New York, Alex selalu mengajaknya berkeliling menikmati setiap restorant dan street food yang berada disana. Anna juga selalu memasakkan yang enak-enak sehingga dia tidak pernah puas hanya memakannya satu kali.

“Karena kamu udah masuk, sana bereskan bon dulu. Udah banyak dan bikin numpuk. Kalau udah selesai baru tunjukin latte artnya,” instruksinya.

Nina tersenyum mendengar arahan Anggi. Dia sengaja menyuruhnya membereskan bon agar bisa beristirahat. Meskipun mulut Anggi begitu pedas, sifatnya sangat imut hingga Nina ingin memeluknya.

“Kamu manis banget, Gi. Nanti siang aku tunjukkan kemampuanku!” ucap Nina dengan bangga.

“Yup! Nah, sekarang cepat bereskan bon-bon itu. Bikin pusing lihatnya,” gerutu Anggi.

Nina langsung berdiri tegak dan memberi hormat, “Siap bos!”

***

Semuanya pegawai serius memperhatikan Nina yang tengah menggambar sesuatu diatas kopi buatannya. Mereka semua takjub melihatnya yang membuat berbagai gambar tanpa kesulitan apapun. Setelah selesai, Nina memajang kopi-kopi buatannya dan mempersilahkan mereka untuk mencicipi.

“Wow, keren banget nih! Nin, request bikin gambar ini donk!”

“Kopinya enak. Aku mau tambah lagi satu!”

“Nina, buatin yang keq begini dong!”

Mendengar namanya yang terus dipanggil, kepala Nina terasa pusing. Dia senang jika mereka menyukai kopinya bahkan Nina harus mencatat semua pesanan temannya karena terlalu banyak.

“Satu orang satu! Gak boleh berebut! Yang udah dapat gak boleh lagi!” Teriakan Anggi yang menggelegar, langsung membuat semuanya menutup telinga. “Kalian berdua, belajar latte art sama Nina. Aku mau minggu depan kalian sudah bisa!” ucap Anggi pada 2 orang pegawai yang sebelumnya menggantikan Nina.

“Kami gak janji bu. Kelihatannya saja mudah tetapi sebenarnya susah. Nina saja butuh 3 bulan buat kuasai masa kami dikasih 1 minggu?” protes salah satunya.

“Nina itu sehari udah bisa loh. Dianya aja yang ngak umbar-umbar,” balas Anggi.

Kedua laki-laki itu langsung menganga lebar mendengar jawaban Anggi. Nina sendiri hanya tersipu malu karena Anggi mengatakannya. Anggi selalu mendapat laporan perkembangannya dari Antonio. Mereka berdua sesekali bertukar pesan untuk menanyakan keadaannya. Bukannya Nina sombong atau tidak mau membalas pesan Anggi. Hanya saja jika Nina sudah fokus bekerja, dia tidak akan melihat handphone nya sampai pekerjaan selesai. Perbedaan waktu yang jauh pun membuat Anggi malas menunggu dan langsung mencari jawaban dari Antonio.

“Waktu pertama kali aku belajar, hasilnya juga tidak bagus kok. Nanti pas kita tambahkan latte art ke dalam menu, aku bakal bantu kerjain kok supaya kalian tidak keteteran.”

Kedua pegawai itu terharu dan bersuka cita. Bukan hanya mereka, pegawai-pegawai lain pun ikut merasa senang karena Nina akan kembali bergabung dengan mereka.

Keberadaan Nina merupakan pembawa semangat. Dia selalu sabar mengarahkan dan membantu orang lain. Pelanggan-pelanggan yang dilayani olehnya pun selalu merasa puas. Nasehat yang diberikannya sangat membantu mereka yang kesusahan. Mereka semua tentu saja merasa senang kecuali Sukma.

Rasa bencinya pada Nina semakin menjadi belum lagi dengan semua perhatian yang didapatnya. Dia muak melihat Nina yang selalu unggul dalam apapun. Ditambah parasnya yang rupawan membuatnya mudah menarik perhatian orang-orang sekitarnya. Dalam hati Sukma mengutuk Nina mendapat kesialan yang tidak terduga dan tertawa atas penderitaannya.

“Oh ya, Anggi, aku juga ada ide menu tambahan lain dan cara efektif agar pelanggan lebih mudah memesan makanan kita,” ucap Nina.

“Oh ya? Sini cerita sama kita biar pada bisa kasih masukan!” jawab Anggi dengan antusias.

Nina tertawa melihat kebersamaan mereka yang semakin erat. Dia merindukan masa-masa yang seperti ini. Meskipun rasa rindunya terhadap Alex lebih besar, Nina masih bisa menunggu. Dia yakin jika pria itu akan menepati janjinya karena itu untuk sekarang, biarlah dia mengerjakan tugasnya terlebih dahulu dan menikmati saat-saat sekarang.

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Only You – Chapter 41

0 votes, average: 0.00 out of 1 (0 votes, average: 0.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

1

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Sudah beberapa hari ini, Nina menyadari ada ke anehan pada Alex. Walaupun dia bersikap biasa dan tersenyum padanya, Nina tahu jika ada sesuatu yang membuatnya murung. Sesekali, dia juga mendapati Alex menatap sedih ketika melihat tanggal. Nina ingin bertanya apa yang mengganggu pikirannya. Tapi dia takut jika itu melanggar privasi Alex dan membuatnya marah.

“Nina, apa ada yang terjadi diantara kalian berdua?” tanya Anna yang juga menyadarinya.

Nina menggeleng sebagai jawaban lalu kembali memotong sayuran. “Dia tidak menceritakan apapun padaku,” balasnya muram.

“Aneh. Tidak biasanya dia seperti ini. Apa kau tidak mencoba bertanya?”

Nina meletakkan pisaunya dan kembali menggeleng. “Aku takut Alex akan marah kalau aku melakukannya.”

“Oh, Sayang. Kalau kau yang bertanya, Alex pasti tidak akan marah. Ingat! Tidak ada rahasia dalam hubungan. Lagi pula, sebentar lagi kau akan menjadi nyonya Testa. Kau berhak mengetahui segala tentangnya.”

Wajah muram Nina seketika berubah cerah. Alex adalah kekasihnya dan dia berhak mengetahui apa yang terjadi dan membantu mengatasinya. Nina tidak mau hanya berdiam diri dan membiarkan Alex menanggung semuanya.

Setelah memberanikan diri, Nina menyiapkan kopi untuk menemui Alex. Seperti hari-hari sebelumnya, Alex berada di ruang kerjanya dan berkutat dengan laptop. Nina menduga jika perusahaannya sedang mengalami sesuatu. Dia mungkin tidak bisa berbuat banyak untuk memberikan solusi. Namun, Nina ingin menghibur dan membuatnya tenang walau hanya sesaat.

Wangi kopi membuat Alex mengalihkan pandangannya dari laptop. Senyuman menghiasi wajah lelahnya ketika melihat dia datang.

Nina meletakkan kopi di atas meja dan memeluk kepala Alex hingga membuatnya rilex. “Apa perusahaanmu ada masalah? Apa yang bisa kubantu?”

“Tidak ada apa-apa, Sayang. Perusahaan baik-baik saja,” jawabnya sambil menikmati aroma Nina.

“Jangan berbohong. Aku tahu kau terlihat kesusahan beberapa hari ini. Ceritakan padaku. Siapa tahu aku bisa membantumu.”

Tawaran Nina membuat Alex tersenyum kecil. Dia lalu mendudukkan Nina di pangkuannya dan memeluknya. “Nina, apa kau mau menikah denganku?”

Nina tidak terkejut dengan permintaan Alex. Sebaliknya dia justru membaringkan kepalanya di bahu pria itu dan memainkan kancing kemejanya. “Tentu saja. Aku sudah menjadi milikmu.”

Nina mendengar hembusan nafas lega dari Alex. Alex pasti merasa takut kalau dia akan meninggalkannya karena perbuatanya waktu itu. Padahal Nina sudah memaafkannya dari dulu. Dia bahkan telah melupakan kejadian malam itu dan menyukai setiap waktu yang mereka habiskan bersama.

“Kalau begitu, besok, ayo kita menikah! Aku sudah mengurus semuanya jadi tidak ada yang perlu kau cemaskan. Kumohon, jangan menolak, Sayang.”

Ada rasa ketakutan dan sakit yang begitu dalam ketika Alex mengatakannya. Nina tidak tahu apa yang membuatnya menjadi seperti ini. Namun satu yang pasti, Alex tidak mau kehilangannya.

“Alex, apa kau mau mengatakan padaku apa yang sebenarnya terjadi?”

Nina bisa melihat rahang Alex yang mengeras. Pria itu terlihat ragu sejenak sebelum akhirnya menyerah. “Sebentar lagi masa belajarmu disini akan selesai. Kau akan kembali ke negaramu. Aku tidak mau kau pergi. Aku mau kau tinggal disini, bersamaku.”

Mata Alex berkaca-kaca saat mengatakannya. Dia merasa frustasi karena hari kepulangannya semakin dekat. Alex tidak rela jika harus berpisah walau hanya sementara waktu. Dia membutuhkan Nina, seolah-olah itu adalah nafasnya. Bila Nina tidak ada, Alex tidak tahu kegilaan apa yang akan menimpa dirinya.

Nina membelai kepala Alex penuh kasih. Dia mengerti perasaan Alex karena dirinya sendiri juga demikian. Perpisahan yang menyesakkan dan kerinduan yang tak berujung rasanya begitu menyakitkan. Nina ingin bersama Alex. Tetapi dia tidak boleh egois. Dia masih memiliki adik dan sahabat yang membutuhkan bantuannya.

“Alex, aku juga ingin bersamamu. Karena itu, lamarlah aku di depan Ibuku agar kita bisa terus bersama.”

Alex segera mengangkat wajahnya dan menatap Nina dengan pandangan berbinar. “Kalau aku melamarmu di depan Ibumu, kita akan tinggal bersama selamanya? Di sini, di New York dengan anak-anak kita nantinya?”

Nina mengangguk sebagai jawaban dengan senyum cerahnya. “Iya! Aku akan tinggal disini, bersamamu dan anak-anak kita kelak.”

Alex langsung mengangkat tubuh Nina tinggi-tinggi dan memberikan ciuman bahagianya. Tawa bahagianya pun ikut menular padanya. Mereka berdua sama-sama bersuka cita menunggu hari itu tiba. Hari dimana keduanya saling mengenakan cincin dan mengatakan pada dunia kalau mereka telah bersatu. Hingga hari itu tiba, mereka berjanji akan saling mencintai sampai kapanpun.

***

Detik-detik menjelang kepulangan Nina, Alex selalu saja melakukan sesuatu yang membuatnya sebal. Pria itu selalu menganggunya setiap kali dia membereskan barang, mengalihkan pikirannya dengan hal lain dan menghabiskan waktunya untuk hal yang tidak berguna. Pertama-tama, Nina tidak menganggap serius setiap perbuatannya. Tetapi lama-lama Nina menjadi jengkel karena ulahnya yang tidak berkesudahan.

Seperti sekarang, 1 jam sebelum pesawat terbang, Nina masih bergelut dengan kopernya. Tiga jam sebelumnya, Alex meminta jatah padanya. Nina tentu saja menolak karena mereka baru saja melakukannya semalam. Karena salah satu sifat Alex adalah tidak menerima penolakan, dia sedikit memaksa dengan memberikan alasan yang menurutnya logis.

“Hanya satu kali, Sayang. Lagi pula kau tidak perlu membawa pulang semua barangmu. Sebentar lagi juga kau akan tinggal disini.”

Ucapan Alex berhasil membuatnya lengah dan menuruti keinginannya. Bukan hanya sekali, mereka melakannya berkali-kali hingga lupa waktu. Hal itu tentu saja membuat Nina marah karena Alex sengaja membuatnya terlambat dan ketinggalan pesawat.

“Jangan marah, Sayang. Hanya 30 menit, kita akan tiba di airport. Kau tidak akan ketinggalan pesawat. Kalaupun ya, kau masih bisa bermalam disini.”

Nina melempar pakaian Alex yang tergeletak di lantai untuk menutupi seringaiannya yang menyebalkan. Dia memilih untuk diam membereskan barang-barangnya daripada mengindahkan pria yang tengah menatap nakal padanya. Setelah selesai, Nina mengganti pakaiannya dengan yang lebih nyaman dan mengangkat kopernya keluar.

“Oh, Sayang. Aku akan merindukanmu.” Anna memberikan pelukan hangat dan mencium kedua pipi Nina. “Sering-seringlah mengirimi pesan padaku agar aku tidak kesepian.”

“Tentu saja. Jangan sengaja begadang hingga larut untuk membalas pesanku. Aku juga akan merindukanmu,” balas Nina sambil memeluk Anna.

“Sayang, ayo, sudah waktunya.” Alex tiba-tiba muncul dan memeluk pinggangnya dari belakang. Dia mengecup pipi kanannya sebelum mengambil kopernya turun.

Bye-bye, Anna.” Nina melambaikan tangannya sebelum menyusul Alex.

“Until we meet again, Madam Testa.”

***

Sebelum menaiki pesawat, Alex menahan lengan Nina dan memeluknya erat. Dia menghirup aroma Nina dan merasakan kehangatan kekasihnya. Karena pekerjaannya, Alex tidak bisa segera ke Indonesia. Dia sempat marah dan ingin membatalkan proyek yang baru didapatnya. Namun, Nina dengan lembut menasehatinya dan membuat pikirannya tenang.

Jangan hanya karena aku, kau merusak hubungan dengan relasimu. Aku bisa menunggu hingga semua pekerjaanmu selesai. Ingat, kau akan menjadi kepala keluarga. Jangan biarkan dirimu terlihat kekanakkanakan.”

Alex sadar jika perjalanan mereka nantinya masih panjang. Dia ingin membahagiakan Nina dan anak-anaknya kelak. Meskipun tidak bisa langsung melamarnya, Alex tetap bersabar dan mendengar nasehat Nina.

“Tunggulah aku. Aku pasti akan segera melamarmu. Selama itu kumohon, jangan lupakan aku.”

Dada Nina berdenyut melihat ekspresi Alex yang begitu kesakitan. Tanpa sadar, tangannya terulur menangkup wajah pria itu dan menciumnya. Ciuman mereka semakin dalam ketika Alex tidak rela melepaskannya. Ketika bunyi pengumuman terdengar, Alex melepaskan ciuman itu dengan tidak rela.

“I love you.”

Kata-kata Alex merupakan kesungguhan, begitu juga dengan dirinya. Perpisahan mereka hanya sementara. Pada saatnya mereka akan bersatu dan tetap mencintai satu sama lain.

“I love you too.”

.

.

.

Balik kampung ?

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Only You – Chapter 40

1 vote, average: 1.00 out of 1 (1 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

1

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Bravo, Nina! Bravo! Kemampuanmu benar-benar meningkat pesat! Aku bangga sebagai gurumu!” Antonio bertepuk tangan riang melihat hasil latte art Nina. Dia sudah menguasai berbagai teknik membuat latte art dan membuat pola rumit. Kopi buatan Nina pun lebih enak dari buatan miliknya. Antonio tentu saja berbangga hati karena berhasil mendidik seorang barista yang berbakat.

“Ah, pangeranmu sudah datang. Sebaiknya kau segera pulang, biar aku yang membereskannya. Aku tidak mau pangeranmu itu menusukku dengan mata tajamnya,” ujar Antonio sambil terkekeh pelan.

“Baiklah, kalau begitu aku pulang dulu. Sampai jumpa besok.” Nina melambaikan tangannya sebelum keluar dari cafe. Senyumnya mengembang ketika pandangannya bertemu dengan Alex yang berada diseberang. Dengan hati-hati Nina menyebrang lalu duduk dengan manis disampingnya.

“Sayang.” Alex mendekatkan wajahnya meminta ciuman darinya.

Nina sudah hapal perilaku Alex jika meminta sesuatu darinya. Contohnya seperti sekarang, Alex akan bersikap manis untuk mendapatkan ciuman. Bukan hanya itu, Alex juga akan bertingkah seperti anak kecil untuk mendapatkan perhatiannya. Bahkan jika Alex telah memanggil namanya, maka dia meminta sesuatu yang lebih.

“Bagaimana kalau kita melakukannya setelah sampai? Aku ingin beristirahat dulu sebentar.”

Alex mengangguk mengerti kemudian mengelus kepala Nina sebelum menyalakan mobilnya. “Tidurlah dulu, Sayang. Kau harus mengumpulkan tenaga untuk malam nanti.”

Nina hanya tersenyum malu, mengerti arti tersirat dalam ucapan Alex. Dia lalu menggenggam tangan Alex, menikmati rasa hangat yang menjalar lalu memejamkan matanya.

***

“Baru pulang, kalian sudah semangat sekali. Apa aku perlu menyiapkan dessert tambahan kalau kalian lapar tengah malam nanti?”

Pertanyaan sekaligus sindiran itu membuat Alex terpaksa menghentikan kegiatannya untuk mencium Nina lebih jauh. Setelah sampai, Alex langsung menyerang Nina tanpa melepaskan sepatunya. Dia sangat candu dengan bibirnya hingga tidak bisa sehari tanpa menciumnya.

Nina tentu saja tidak bisa menolak. Bahkan dia sudah berjanji akan memberikannya saat Alex meminta tadi. Hanya saja, Alex menciumnya tiba-tiba hingga tidak memberikan waktu untuk mengambil nafas. Untung saja Anna datang dan membuat Alex berhenti untuk sesaat.

“Kau itu tenaganya tidak bisa kira-kira ya? Lihat, Nina sampai terengah-engah karena ulahmu.” Anna menunjuk ke arah Nina yang sedang mengambil nafas dengan mulutnya seolah-olah pasokan oksigen direngut paksa.

Nina langsung memberikan senyuman mengatakan dirinya baik-baik saja ketika Alex menangkup wajahnya. “Aku mau membantu menyiapkan makan malam. Kau mandilah dulu.”

Sebelum Nina melepaskan diri, Alex lebih dulu menggenggam tangannya dan membawanya ke kamar. “Anna, kau bisa melakukannya sendiri kan?”

Anna hanya mendesah kasar dan memberikan isyarat tangan sebelum berlalu.

“Sayang.” Alex memberikan senyum khasnya sebelum Nina hendak memprotes. “Ayo, kita mandi bersama.”

Pipi Nina memerah mendengar ajakan Alex. Dia langsung meraih gagang pintu untuk keluar dari kamar. Namun usahanya gagal. Alex lebih dulu mengunci pintu dan menyimpan kuncinya.

“Jangan macam-macam Alex! Aku mau mandi di kamarku!”

“Kamarmu?” Alex memejamkan matanya, berpura-pura untuk berpikir sebelum menyeringai. “Seingatku, semua yang ada disini adalah milikku dan kau juga selama ini tidur dikamarku. Jadi tidak ada bedanya.”

“Maksudku kamar yang kutempati! Berhenti ber – !”

Alex langsung menggendong tubuh Nina dengan mudahnya. Baginya, tubuh kekasihnya ini begitu ringan dan sama sekali tidak masalah untuknya. Tindakannya membuat Nina menjerit dan mengalungkan lengan disekitar lehernya. Alex semakin bersemangat ketika wajah mereka begitu dekat.

“Sebentar lagi kamar ini juga akan menjadi milikmu. Setiap malam kau akan tidur bersamaku dan menghangatkan ranjangku.”

Wajah Nina benar-benar panas melihat kenakalan prianya. Dia tidak menyangka, Alex akan menunjukkan sifat aslinya yang ternyata sangat genit. Selama ini, Alex selalu menunjukkan sifat coolnya sehingga menutupi karakter yang sebenarnya. Alex juga tidak sembarangan memperlihatkan kepribadiannya jika belum mengenal baik orang tersebut. Namun karena Nina akan menjadi istrinya, dia merasa tidak perlu menutupinya sifatnya lagi.

“Nina, sebentar saja ya. Aku janji tidak akan lama,” pinta Alex dengan suara serak tertahan. Kemudian tawanya terdengar keseluruh kamar mendengar reaksi yang tidak mungkin ditolak.

***

Tidak terasa sudah 2 bulan lebih Nina tinggal bersamanya. Selama itu pula, mereka selalu tidur bersama dan melakukannya setiap malam. Alex selalu sabar menuntun Nina dan melakukannya dengan lembut agar tidak menyakitinya. Dia tidak mau menyakiti Nina seperti sebelumnya dan membuatnya menangis. Baginya cukup sekali itu dia melakukan kesalahan. Dia juga tidak akan memaksa kehendaknya jika Nina tidak menginginkannya.

Senyuman terpatri di wajahnya ketika mengamati foto-foto Nina yang terlelap. Menurutnya, wajah tidur Nina yang damai membuatnya tenang. Pernah sekali, Alex mendapati Nina tersenyum dalam mimpi. Cepat-cepat dia mengambil ponsel untuk mengabadikan moment langka itu dan menyimpannya. Alex mengira itu adalah terakhir kalinya dia melihat senyum itu. Tetapi Nina sering memperlihatkannya terutama setiap kali Alex memberikan kejutan.

Kekasihnya ini termasuk unik. Dia selalu menolak berupa tas atau perhiasan lainnya. Jika wanita pada umumnya menyukai barang-barang mewah, Nina lebih menyukai buku dan mampu membacanya hingga lupa waktu. Bukan tanpa sebab Nina gemar membaca. Alex tahu kalau Nina ingin untuk bersekolah lagi. Dia bisa saja mengabulkan keinginan itu namun Nina menolak karena tidak mau merepotkan dirinya.

Nina juga setia mengenakan jam yang diberikannya dulu dan selalu mengenakannya kemanapun. Begitu pula dengan cincin yang dikenakannya. Alex pernah mendapatinya memandangi cincin itu dan selalu tersenyum setiap kali melihatnya. Sesekali, Nina akan mengelus bahkan mencium cincin itu seoalah-olah benda yang paling berharga.

Baginya cincin itu tidaklah seberapa. Tapi, bagi Nina cincin itu sangat berharga. Cincin itu merupakan bukti cintanya dan Nina menjaganya dengan sepenuh hati. Sifatnya yang menghargai apapun dan selalu menyayangi itulah yang membuat Alex semakin jatuh hati padanya.

Alex sangat mencintai Nina. Rasa cintanya begitu kuat hingga membuatnya gila jika tidak melihatnya walau hanya sejenak. Keberadaan Nina mampu memberi pengaruh besar dalam kehidupannya. Kehampaan yang selama ini bersarang dihatinya, perlahan-lahan mencair. Alex bahkan telah menyiapkan semuanya untuk melamar ulang Nina setelah yang sebelumnya gagal.

Alex tidak mengetahui kalau Nina lemah terhadap alkohol. Malam saat dia ingin melamarnya, Nina langsung tumbang setelah meminum wine. Toleransinya terhadap alkohol begitu rendah hingga membuatnya mabuk dalam sekali teguk. Dia tambah panik ketika Nina muntah parah dan kehilangan kesadaran dalam waktu yang lama.

Alex tidak sabar menunggu hari itu tiba. Membayangkan Nina mengenakan gaun pengantin, membuat mata Alex berbinar-binar. Nina pasti terlihat menakjubkan di hari istimewa itu. Alex juga menginginkan banyak anak darinya. Hari-hari pasti akan selalu ramai dengan tawa anak-anak dan merasa bangga melihat mereka tumbuh dewasa.

Bunyi pesan masuk langsung membuyarkan lamunannya. Wajah cerahnya berubah muram setelah membaca isi pesan itu.

Bapak kaya disana, jangan lupa Nina 2 minggu balik ke sini ya. Oh ya, jangan lupa suruh Nina balas pesanku kalau sudah pulang ya.

Anggi

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Only You – Chapter 39

0 votes, average: 0.00 out of 1 (0 votes, average: 0.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

1

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Begitu membuka mata, Nina mendapati dirinya tidur di kamar Alex. Dia menoleh kepada pria yang tertidur disampingnya tanpa mengenakan sehelai benang pun, begitu juga dengan dirinya. Nina meringis ketika melihat sekujur lengannya penuh dengan memar. Ketika ingin bangun dari tempat tidur, rasa sakit langsung menjalari sekujur tubuh hingga membuatnya ingin berteriak. Nina menatap nanar pria yang berada disampingnya, pria yang membuatnya hingga seperti ini.

Alex memperkosanya!

Kata-kata itu berulang kali terngiang di kepalanya setelah apa yang diperbuat pria itu padanya. Alex memaksakan kehendaknya, merengut sesuatu yang akan diberikannya kelak.

Air mata langsung membanjiri wajahnya. Dia sangat mencintai Alex. Namun apa yang pria itu lakukan membuatnya merasa hancur. Nina ingin sekali menganggap kalau itu semua adalah mimpi tetapi rasa sakit disekujur tubuhnya menandakan itu adalah nyata.

Isakan tangisnya membuat Alex membuka mata. Nina berteriak sekencang-kencangnya dan meronta untuk melepaskan tarikan pria itu. Akan tetapi, Alex lebih kuat. Dia berhasil menjatuhkan tubuhnya di atas kasur dan mengurungnya dibawah.

“Menjauh dariku! Aku membencimu!” Ya, dia membenci Alex sekarang. Keinginannya adalah pergi dari tempat ini dan tidak ingin bertemu pria yang hanya menginginkan tubuhnya.

“Nina, aku …”

“Jangan panggil namaku!” potong Nina. “Jangan memanggil namaku. Kau menghancurkanku!” Tangisan dan rintihan kesakitan bercampur menjadi satu. Nina tidak tahu harus bagaimana setelah ini. Batinnya telah lelah. Ingin rasanya dia mengakhiri hidupnya dan bertemu dengan ayahnya di akhirat sana.

Dada Alex remuk melihat wajah kesakitan kekasihnya. Apa yang dilakukannya telah menyakiti perasaan Nina.

Alex sungguh mencintai Nina. Dia dibutakan oleh gairah sesaat dan menyakitinya. Erangan frustasi keluar dari mulutnya ketika membayangkan Nina meninggalkan dirinya. Kesalahan yang diperbuatnya terlalu fatal dan tidak mungkin dimaafkan.

“Nina, dengarkan aku. Aku …”

“Cukup!” Kali ini Nina berseru lebih keras hingga menyakiti tenggorokannya. Tatapannya yang tajam mampu membuat Alex memperlihatkan ekpresi terlukanya. Nina tidak bergeming melihat raut permohonan dari wajah Alex. Sebaliknya, dia kembali meronta hingga mencakar dada bidang miliknya.

“Lepaskan aku bajingan! Lebih baik aku mati dari pada harus menjadi jalangmu!”

You are not a bitch!

Teriakan Alex sanggup membuat jantungnya berdegup kencang. Ketika Alex menaikan sebelah tangannya, Nina menutup mata rapat-rapat bersiap menerima tamparan. Rasa sakit tidak kunjung datang menerpa wajahnya. Justru Nina merasakan usapan lembut di jemari kanannya dan sehingga cengkramannya mengendur. Setelahnya sesuatu yang dingin melingkar di jari manisnya.

“I-ini …” Mata Nina terbelalak ketika melihat sebuah cincin yang melingkar sempurna disana. Cincin itu sangat sederhana dengan bentuk untaian yang menjalin satu sama lain. Disela-sela untaian itu, terhiaskan kristal-kristal kecil yang memenuhinya. Secara keseluruhan, cincin itu adalah benda terindah yang baru pertama kali dilihatnya.

"Aku ingin memberikannya saat ulang tahunmu nanti dan saat itu, aku juga ingin melamarmu

“Aku ingin memberikannya saat ulang tahunmu nanti dan saat itu, aku juga ingin melamarmu. Tapi aku telah melakukan kesalahan besar. Aku tahu, pasti tidak mudah bagimu untuk memaafkanku.” Alex menyembunyikan wajahya di ceruk leher Nina kemudian memeluknya erat. “Aku mencintaimu. Kumohon, jangan membenciku. Aku sungguh mencintaimu dengan tulus.”

Sebutir air mata lolos dari wajahnya. Dia masih tidak percaya dengan apa yang baru didengarnya. Alex mencintainya dan ingin melamarnya. Nina memandang cincin yang tersemat di jarinya kemudian menangis sekencang-kencangnya.

Alex, pria itu membuat perasaannya naik turun dengan perlakuannya. Nina tidak tahu apakah dia bisa mempercayai pria itu setelah apa yang dilakukan padanya. Dia ingin sekali mengetahui jika Alex tidak berbohong. Karena jika pria itu hanya mempermaikan perasaannya, Nina tidak tahu harus bagaimana lagi.

“Jangan menangis Sayang, kumohon. Maafkan aku yang sudah menyakitimu,” pintanya dengan wajah terluka.

“Kau … kau … tidak berbohong kan? Karena kalau kau meninggalkanku … aku … aku …”

“Aku tidak akan meninggalkanmu sampai kapanpun. Jika kau mau, ayo kita menikah, sekarang!”

Nina dapat melihat kesungguhan dimata Alex. Pria itu sungguh mencintainya dan menerimanya apa adanya. Selama ini, sudah banyak pria yang menyatakan perasaan padanya. Tetapi tidak ada dari mereka yang setulus Alex. Mungkin memang benar, jika Alex adalah penantian yang ditunggunya selama ini.

“Jangan meninggalkanku. Sampai kapanpun, kumohon, tetaplah disampingku,” ucap Nina disela-sela tangisannya.

“Aku tidak akan meninggalkanmu karena aku mencintaimu.”

Nina menutup matanya dan tersenyum. Sebelum kegelapan menguasinya, dia bisa mendengar bisikan cinta yang dikatakan Alex padanya. “Aku mencintaimu, Sayang.”

***

“Apa yang kau lakukan?! Dasar pria cabul!” Anna tidak berhenti berteriak setelah mengetahui apa yang dilakukan Alex pada Nina.

“Anna, Alex sudah minta maaf. Jangan memarahinya lagi.” Lerai Nina yang terbaring dikasur. Setelah menangis, dia tertidur dan berikutnya mengalami demam. Alex menjelaskan kondisinya pada Antonio dan mendapat izin untuk tidak masuk selama beberapa hari hingga kondisinya pulih.

“Oh, Sayang. Kau terlalu mudah memaafkannya. Seharusnya kau menghajar miliknya hingga dia tidak berani mengulanginya,” ucap Anna menggebu-gebu.

Pipi Nina memerah mendengar ucapan blak-blakkan dari Anna. Dia segera menyembunyikan wajah dibalik selimut ketika pandangannya bertemu dengan Alex. Nina masih malu dengan kejadian semalam belum lagi Anna yang dengan mudah menebak apa yang terjadi diantara mereka.

“Anna, buatkan bubur untuk Nina. Dia pasti lapar karena belum makan dari tadi.”

“Jangan macam-macam selama aku memasak kalau masih ingin juniormu utuh!” peringat Anna. “Nina sayang, kalau ada apa-apa langsung teriak ya. Aku akan langsung menyelematkanmu.” Anna mencium pipi Nina sebelum keluar.

Setelah ruangan hanya tinggal mereka berdua, Alex perlahan duduk ditepi ranjangnya. Bukan, lebih tepatnya ranjang miliknya. Nina sekarang tidur di ranjang Alex. Karena tubuhnya terasa sakit, Alex menyuruhnya tidur di kamar miliknya. Tentu saja dia merasa malu ditambah dengan kejadian yang menurutnya buruk.

“Sayang, apa kakimu masih sakit?” tanya Alex khawatir.

Melihat Alex yang begitu berpengalaman ada sedikit rasa sakit didadanya. Alex pasti pernah melakukannya beberapa kali dengan wanita lain sebelum dirinya. Memikirkan dia melakukan hal sama dengan wanita lain membuat dadanya bergemuruh.

“Hanya sedikit. Sebentar lagi juga sembuh,” jawabnya acuh.

“Sayang, kau masih marah?” Alex membelai punggung Nina membuatnya geli sekaligus nyaman.

Nina sengaja memejamkan matanya berpura-pura tertidur agar Alex segera meninggalkannya. Alih-alih Alex pergi, dia justru naik ke atas ranjang dan memeluknya dari belakang. Nina hampir tertawa geli ketika lengan Alex menyusup di pinggangnya. Kehangatan tubuh Alex membuatnya lupa dengan rasa cemburunya.

“Kau memikirkan apa Sayang? Apa kau cemburu memikirkan berapa wanita yang kutiduri?”

Tebakan Alex sangat tepat. Hal itu membuat Nina teringat kembali dengan rasa cemburunya. Sebagai balasan, Nina meronta untuk melepas pelukan Alex dan memeluk dirinya sendiri.

“Sayang, meskipun ini bukan pertama kalinya bagiku, kau adalah wanita pertama yang mengisi hatiku.”

“Benarkah?” tanya Nina tanpa menyembunyikan rasa tertariknya.

Sebuah lengkungan terbentuk di bibir Alex ketika Nina menoleh padanya. Dengan perlahan, dia bergerak mendekati Nina dan merapikan anak rambutnya. “Aku pernah melakukannya 2 kali. Pertama sewaktu aku SMA, kedua saat aku kuliah dan kau yang ketiga.”

“Kalau kau pernah melakukannya, bukankah itu berati kau mencintai mereka?”

Alex menggeleng. Pandangannya meredup sejenak sebelum melanjutkan. “Tidak sayang. Aku melakukannya hanya untuk melampiaskan nafsuku. Aku memang pria yang brengsek, tetapi aku tidak sebusuk mereka yang hanya mengincar hartaku. Aku sungguh bodoh, melakukannya hanya karena mereka cantik tanpa mengetahui niat mereka yang sebenarnya. Semenjak saat itu, aku menutup hatiku hingga aku bertemu denganmu.”

“Tetapi aku tidak cantik. Lalu, bukannya kau hanya pegawai kantoran?”

Alex tetawa mendengar pertanyaan Nina. Dia lupa kalau belum menjelaskan siapa dirinya. “Sayang, kekasihmu ini bukan seorang pegawai kantoran biasa. Kekasihmu ini seorang pimpinan perusahaan, seorang CEO.”

Nina terdiam sejenak kemudian membelalakkan matanya. Rintihan kemudian lolos dari mulutnya ketika ingin menggerakkan tubuhnya. “K-kau seorang pimpinan perusahaan?! Bukan pegawai biasa?” tanya Nina memastikan.

“Bukan Sayang. Aku bahkan pernah masuk majalah. Apa kau mau membacanya?”

“Mau! Aku mau!” jawabnya semangat. Tetapi kemudian semangat Nina turun. Dia menatap Alex dengan cemas dan menjauhkan dirinya. “Aku hanya perempuan biasa dan tidak cantik. Setelah mengetahui kau seorang CEO, aku tidak yakin kalau aku pantas bersanding denganmu.”

“Sayang.” Alex mengusap gemas pipi Nina sebelum memeluknya. “Aku memilihmu bukan karena kau cantik atau tidak. Aku jatuh cinta padamu karena hati dan sifatmu. Kau tegar, mandiri dan selalu membantu orang lain yang kesusahan. Aku menyukai kepribadianmu yang seperti itu.”

Nina terharu mendengar pujian Alex. Dia lalu membenamkan wajahnya di dada Alex untuk menyembunyikan mata yang berkaca-kaca. Samar-samar dia mendengar bisikan hangat sebelum kantuk menguasainya.

“Aku mencintaimu. Sampai kapanpun.”

Baca Parts Lainnya Klik Di sini