Only You

Only You – Chapter 42

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

0 votes, average: 0.00 out of 1 (0 votes, average: 0.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

1

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Jam 7.30 wib. Biasanya Randy sudah menyiapkan segala keperluannya dan bersiap berangkat ke kantor. Rutinitasnya setiap hari tidak berubah. Bangun pagi, merapikan tempat tidur, mandi, sarapan dan berangkat ke kantor. Pada malam hari, kegiatannya disambung dengan perkuliahan. Lelah memang melakukan 2 tugas sekaligus ditambah dia harus membagi pikiran dan waktu untuk menyelesaikan semua tugas-tugasnya.

Randy tidak berani mengeluh. Dibandingkan dengan dirinya, kakaknya Nina mempunyai peran yang lebih besar sebagai penopang keluarga. Nina bekerja siang malam untuk membiayai sekolah dan kuliahnya. Sebenarnya Randy sudah bisa membayar pendidikannya sendiri. Namun, tekanan dari mama yang meminta Nina harus bertanggung jawab atas keperluannya.

Nina tidak pernah mengeluh. Kakaknya itu bahkan sudah berkorban banyak untuknya. Agar Nina tidak perlu bekerja keras, dia sengaja memilih universitas biasa dan mengambil kelas malam. Pilihannya tentu saja tidak setujui oleh mamanya. Terkadang Randy tidak habis pikir, kenapa mama begitu keras kepada Nina dan berharap banyak hal padanya? Padahal mereka sama-sama anaknya dan Randy tahu jelas kalau kakanya itu sangat luar biasa.

Ketika Randy ingin memakai sepatu, dia melihat Nina duduk diambang pintu. Dahinya berkerut melihat kakaknya yang memakai seragam lengkap. Seingatnya, kakaknya itu diberi libur tambahan 3 hari karena baru pulang. Namun kelihatannya Nina ingin langsung bekerja.

“Kak, gak mau libur sehari dulu?”

Nina menoleh mendapati Randy yang berdiri dibelakangnya. Wajah kagum tercetak diwajah ketika melihat adiknya memakai sangat cocok mengenakan kemeja biru dengan celana kain hitam. Otak yang cerdas, tinggi yang hampir 180 cm dengan wajah rupawan pasti membuat banyak perempuan tertarik padanya. Tetapi setelah dilihat lagi, Alex masih lebih tinggi dari Randy bahkan jauh.

“Bosan dirumah. Lagi pula dirumah juga gak ngapa-ngapain. Oh ya, kamu pakai saja sepatu yang kakak beli itu. Jangan disimpan terus.”

Nina membelikan sebuah sneakers hitam untuknya. Dia sengaja membeli warna itu agar bisa dikenakan kemana saja. Jika membeli warna yang mencolok, Nina khawatir Randy tidak boleh mengenakannya ke kantor sedangkan warna putih cepat kotor dan tentu saja dia memilih warna itu bukan karena warna favorit Alex.

“Yang ini masih bisa dipakai kok. Tunggu rusak baru ganti baru,” jawabnya seadanya. Sepulang dari dinas untuk belajar membuat kopi, Nina membelikan berbagai macam barang untuknya. Mulai dari sepatu, jam tangan, tali pinggang bahkan dompet. Semua barang-barang itu terlihat berkelas dan mahal. Tetapi Nina menyangkal dengan mengatakan kalau itu merek kw.

“Kak, aku antar sampai ke cafe ya.” Randy segera mengambil kunci motor dan mengenakan jaket ketika melihat Nina sudah siap. Walau sekarang dia tidak bisa berbuat banyak, minimal yang bisa dilakukan adalah mengantarnya. Sudah beberapa kali dia mengabaikan untuk menjemput kakaknya pulang hingga mendapat semprotan pedas dari Anggi. Hal itu dikarenakan dia ingin menghindari Nina dari teman-teman perkuliahan yang mengincarnya.

Randy tahu kalau Nina sangat populer dikalangan remaja kampus. Tidak jarang mereka memakasa meminta nomor teleponnya. Jika tidak mendapatkannya, mereka akan melampiaskan kekesalan dengan mengempeskan ban sepeda motornya. Karena keadaan yang seperti itu, Randy tidak pernah menjemput Nina pulang. Biarlah dia mendapat semprotan dari Anggi dari pada kakaknya harus berhadapan dengan remaja-remaja kurang ajar itu.

“Ngak usah. Aku naik bus aja. Toh gak sejalan sama kantormu. Nanti sore kalau kamu lapar singgah cafe dulu sebelum kuliah. Kakak buatkan resep dan kopi baru buat kamu.”

“Tapi kak, kan – “

“Biarkan aja dia naik bus.”

Randy menoleh keasal suara yang memotongnya. Di depan pintu kamar, sosok mama mereka berdiri dan menatap Nina dengan pandangan menyipit. Wanita bernama Dian itu melihat kedua anaknya bergantian sambil berkacak pinggang. “Tempat kerja kalian gak searah. Kalau kamu antar dia, kamunya bisa terlambat.”

Nina menundukkan wajahnya, tidak berani menatap mamanya. Dari tatapan matanya, Randy mengetahui kalau mamanya tengah memberikan peringatan secara tak langsung.

“Ngak terlambat kok ma. Cuma mutar dikit gak akan bikin terlambat.” Randy masih berusaha meyakinkan mama dan kakaknya. Dia tidak habis pikir kenapa mereka diperlakukan sangat berbeda.

“Oh, sekarang kamu sudah berani melawan. Pagi-pagi mau bikin mama marah?” Dian, mulai mengeluarkan aura kemarahan yang tertuju pada Nina. Dia menduga anak perempuannya ini telah mengajarkan yang tidak-tidak padanya.

“Bukan ma. Aku cuma – “

Sebelum Randy menyelesaikan kalimatnya, Nina lebih dulu menyelanya. “Randy, dengerin kata mama. Aku naik bus aja. Toh, ada tempat yang mau aku singgah. Nanti kamu terlambat kalau ngantarin aku.” Nina langsung meninggalkan rumah setelah mengatakannya.

“Dasar, anak kurang ajar! Pergi pun tidak salam!” gerutu Dian yang pergi ke arah dapur.

Randy mengerti alasan Nina kenapa tidak ingin berada dirumah. Baginya, rumah bagaikan neraka yang siap membakarnya tanpa ampun. Selama perlakuan mama padanya tidak berubah, Nina akan terus seperti ini, bekerja dan menuruti semua keinginannya bagaikan robot.

‘Suatu hari, aku pasti akan membuatmu bangga kak!’ janjinya dalam hati.

***

Kedatangan Nina membuat pegawai-pegawai yang lain terkejut. Mereka berlomba-lomba untuk menyambutnya dan membuat keributan kecil. Anggi yang juga sudah berada di cafe dibuat terkejut. Pasalnya, dia sudah memberi liburan tambahan, terlebih lagi itu permintaan dari Alex karena khwatir Nina masih belum pulih dari jet lag. Tetapi lihatlah sekarang, sahabat yang merangkap menjadi guru dan karyawannya itu tetap masuk dan menyapa semua orang.

“Hey! Balik kerja tempat masing-masing! Yang mau cerita-cerita sama Nina, antri! Selesaikan dulu semua orderan pagi ini!” Suara khas Anggi yang memekakkan telinga membuat semua pegawai kocar-kacir. Mereka semua kembali pada tempatnya dan melanjutkan tugas yang sebelumnya tertunda.

Nina hanya terkikik kecil melihat teman-temannya yang kembali bekerja. Semuanya masih takut ketika Anggi telah bersuara. “Pagi gi, suaramu masih nyaring seperti dulu.”

“Kamu aja tambah gendutan pulang dari sana. Masa baru 3 bulan suaraku udah hilang,” balas Anggi sambil menyilangkan kedua lengannya di dada.

Nina mengakui kalau berat badannya bertambah. Selama di New York, Alex selalu mengajaknya berkeliling menikmati setiap restorant dan street food yang berada disana. Anna juga selalu memasakkan yang enak-enak sehingga dia tidak pernah puas hanya memakannya satu kali.

“Karena kamu udah masuk, sana bereskan bon dulu. Udah banyak dan bikin numpuk. Kalau udah selesai baru tunjukin latte artnya,” instruksinya.

Nina tersenyum mendengar arahan Anggi. Dia sengaja menyuruhnya membereskan bon agar bisa beristirahat. Meskipun mulut Anggi begitu pedas, sifatnya sangat imut hingga Nina ingin memeluknya.

“Kamu manis banget, Gi. Nanti siang aku tunjukkan kemampuanku!” ucap Nina dengan bangga.

“Yup! Nah, sekarang cepat bereskan bon-bon itu. Bikin pusing lihatnya,” gerutu Anggi.

Nina langsung berdiri tegak dan memberi hormat, “Siap bos!”

***

Semuanya pegawai serius memperhatikan Nina yang tengah menggambar sesuatu diatas kopi buatannya. Mereka semua takjub melihatnya yang membuat berbagai gambar tanpa kesulitan apapun. Setelah selesai, Nina memajang kopi-kopi buatannya dan mempersilahkan mereka untuk mencicipi.

“Wow, keren banget nih! Nin, request bikin gambar ini donk!”

“Kopinya enak. Aku mau tambah lagi satu!”

“Nina, buatin yang keq begini dong!”

Mendengar namanya yang terus dipanggil, kepala Nina terasa pusing. Dia senang jika mereka menyukai kopinya bahkan Nina harus mencatat semua pesanan temannya karena terlalu banyak.

“Satu orang satu! Gak boleh berebut! Yang udah dapat gak boleh lagi!” Teriakan Anggi yang menggelegar, langsung membuat semuanya menutup telinga. “Kalian berdua, belajar latte art sama Nina. Aku mau minggu depan kalian sudah bisa!” ucap Anggi pada 2 orang pegawai yang sebelumnya menggantikan Nina.

“Kami gak janji bu. Kelihatannya saja mudah tetapi sebenarnya susah. Nina saja butuh 3 bulan buat kuasai masa kami dikasih 1 minggu?” protes salah satunya.

“Nina itu sehari udah bisa loh. Dianya aja yang ngak umbar-umbar,” balas Anggi.

Kedua laki-laki itu langsung menganga lebar mendengar jawaban Anggi. Nina sendiri hanya tersipu malu karena Anggi mengatakannya. Anggi selalu mendapat laporan perkembangannya dari Antonio. Mereka berdua sesekali bertukar pesan untuk menanyakan keadaannya. Bukannya Nina sombong atau tidak mau membalas pesan Anggi. Hanya saja jika Nina sudah fokus bekerja, dia tidak akan melihat handphone nya sampai pekerjaan selesai. Perbedaan waktu yang jauh pun membuat Anggi malas menunggu dan langsung mencari jawaban dari Antonio.

“Waktu pertama kali aku belajar, hasilnya juga tidak bagus kok. Nanti pas kita tambahkan latte art ke dalam menu, aku bakal bantu kerjain kok supaya kalian tidak keteteran.”

Kedua pegawai itu terharu dan bersuka cita. Bukan hanya mereka, pegawai-pegawai lain pun ikut merasa senang karena Nina akan kembali bergabung dengan mereka.

Keberadaan Nina merupakan pembawa semangat. Dia selalu sabar mengarahkan dan membantu orang lain. Pelanggan-pelanggan yang dilayani olehnya pun selalu merasa puas. Nasehat yang diberikannya sangat membantu mereka yang kesusahan. Mereka semua tentu saja merasa senang kecuali Sukma.

Rasa bencinya pada Nina semakin menjadi belum lagi dengan semua perhatian yang didapatnya. Dia muak melihat Nina yang selalu unggul dalam apapun. Ditambah parasnya yang rupawan membuatnya mudah menarik perhatian orang-orang sekitarnya. Dalam hati Sukma mengutuk Nina mendapat kesialan yang tidak terduga dan tertawa atas penderitaannya.

“Oh ya, Anggi, aku juga ada ide menu tambahan lain dan cara efektif agar pelanggan lebih mudah memesan makanan kita,” ucap Nina.

“Oh ya? Sini cerita sama kita biar pada bisa kasih masukan!” jawab Anggi dengan antusias.

Nina tertawa melihat kebersamaan mereka yang semakin erat. Dia merindukan masa-masa yang seperti ini. Meskipun rasa rindunya terhadap Alex lebih besar, Nina masih bisa menunggu. Dia yakin jika pria itu akan menepati janjinya karena itu untuk sekarang, biarlah dia mengerjakan tugasnya terlebih dahulu dan menikmati saat-saat sekarang.

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

4 Komentar

  1. dyah ayu monika menulis:

    Tumben satu2 kak munculinnya. Tapi gpp sih . Btw bingung gk ada tanda love nya jadi hanya bisa kasih support lewat komen ajah yaaa. Semangat teru qaqaaa ??

    1. gak tau cara munculin love nya wkwkwk

  2. Indah Narty menulis:

    Semangat :lalayeye