Only You

Only You – Chapter 18

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

1 vote, average: 1.00 out of 1 (1 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

1

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Nina mengeluarkan kunci dari dalam tasnya dan membuka gembok pagar dengan hati-hati. Setelah masuk dalam perkarangan, dia menggembok kembali dan membuka pintu rumah. Sesudah memeriksa semuanya telah terkunci dengan aman, Nina mengistirahatkan badannya sejenak sambil memandang jam. Pukul satu pagi. Jika sedang hujan, maka akan lebih lama atau Nina akan pulang subuh nanti.

Pulang malam setiap hari, membuat tidurnya berkurang drastis. Belum lagi dengan kelelahan yang bertumpuk, membuat tubuhnya seperti remuk. Bekerja hampir 17 jam sehari benar-benar menguras tenaga Nina. Rasanya ingin sekali dia tertidur tanpa mengganti pakaiannya.

“Baru pulang?”

Nina langsung membuka mata ketika mendengar suara mamanya. Mamanya, Helen, sedang menatapnya dengan raut wajah tidak senang. Nina menelan ludahnya ketika merasakan kemarahan dalam nada suaranya.

“Kamu pulang bisa lebih pelan nutup pintu tidak? Suara kamu bikin mama bangun. Mama jadi pusing. Gimana kalau Randy bangun? Besok dia ada ulangan. Kamu mau besok dia terlambat karena terbangun akibat suaramu?” Helen langsung memarahi Nina dengan suara tertahan.

“Maaf ma, aku…”

“Sudah, mama ngantuk dengar alasan kamu. Seharusnya kamu gak usah cuci piring dan pulang malam-malam begini. Buat mama marah saja.” Setelahnya, Helen kembali masuk ke kamar dan meninggalkan Nina sendirian di ruang tengah.

Selepas kepergian Helen, Nina menutup wajah dan menangis dalam diam. Semua hasil jerih payahnya tidak pernah dianggap oleh ibunya sendiri. Keputusannya untuk berhenti sekolah membuat Helen merasa malu karena omongan dari tetangga. Semenjak saat itu, perlakuan yang diterimanya berbeda dengan Randy. Padahal jika hanya Helen yang bekerja, kebutuhan mereka tidak akan terpenuhi.

Nina telah memikirkan semua konsekuensi dari pilihannya. Dia hanya bisa berpura-pura tersenyum dan menyemangati dirinya sendiri agar tidak terjatuh. Setidaknya ketika memikirkan Randy yang masih membutuhkan bantuannya, Nina tidak pernah merasa sedih. Karena, hanya dia satu-satunya alasan untuk bertahan.

***

“Nina, tolong ambil barang di gudang.”

“Nina, tolong sapu teras depan.”

“Nina, tolong jaga kasir.”

Seharian ini, Nina secara tidak langsung dibully oleh pegawai lainnya. Mereka tahu kalau Nina tidak bisa menolak ketika dimintai tolong. Saat Nina sibuk mengerjakan semuanya, mereka malah bersantai-santai dan bersenda gurau.

Nina yang sudah biasa menerima perlakuan seperti itu, mengerjakannya tanpa pamrih dan menikmatinya. Dia butuh kesibukan untuk mengalihkan pikirannya. Sampai pak Suryo datang dan melihat tingkah mereka seperti itu, barulah mereka mendapat teguran keras.

“Kalian bertiga, berani-beraninya menyuruh orang lain menyelesaikan tugas kalian! Mentang-mentang umur Nina lebih muda kalian bisa memperlakukannya seperti pesuruh! Ingat, Nina itu senior kalian! Kalian tidak ada apa-apanya dibandingkan dia. Buktinya sampai sekarang tidak ada satupun dari kalian yang becus memegang mesin kasir! Apa kalian sudah tidak mau bekerja lagi?”

Wajah pak Suryo merah padam akibat kemarahan yang diubun-ubun. Mereka bertiga hanya bisa menundukkan wajahnya dengan mata berkaca-kaca.

“Saya tidak perlu air mata buaya kalian! Saya tahu kalian sering menyuruh Nina melakukan pekerjaan kalian dan ini sudah keterlaluan! Sekarang, apa kalian masih mau bekerja atau tidak? Jika iya, minta maaf pada Nina dan kerjakan tugas kalian dengan benar!” perintah pak Suryo.

Mereka bertiga langsung meminta maaf kepada Nina dan menyalaminya. Nina merasa tidak enak karena pertama kali mendapat perlakuan seperti itu. Belum lagi, Nina merasa tidak yakin kalau mereka benar-benar menyesal. Lebih baik dibenci dari pada mereka melakukan hal bodoh seperti balas dendam.

“Ini terakhir kalinya. Jika kalian kedapatan seperti ini lagi, saya tidak akan segan-segan memecat kalian!”

“Baik pak,” jawab mereka serentak.

“Nina, kamu jaga kasir depan dulu sambil istirahat selagi toko lagi sepi,” pesan pak Suryo.

“Baik pak,” jawab Nina singkat.

“Untuk kalian bertiga rapikan gudang belakang! Jika terjadi selisih, kalianlah yang harus bertanggung jawab!”

Mereka bertiga menunduk pasrah mendengar perintah. Pasalnya barang digudang belakang sangat berantakan dan sering terjadi selisih stock. Itu karena pegawai-pegawai jahil sering mencuri dan menyebabkan kerugian.

Semenjak Nina bekerja, pencurian barang bisa dikendalikan karena pak Suryo selalu menyuruh Nina untuk mengecek stock dan menjaga arus keluar masuk barang. Tetapi Nina tidak bisa merapikan semuanya sekaligus. Karena itu meskipun tidak ada pencurian tetap saja gudang belakang masih berantakan.

Nina duduk di kursi kasir seraya menuliskan pikirannya kedalam binder. Sesekali Nina menguap bosan dan ngantuk yang bercampur. Ingin rasanya memejamkan matanya sejenak. Tetapi Nina takut hal itu akan membuat kinerjanya turun ataupun citra buruk pada pelanggan yang datang.

Ketika pintu dibuka, Nina langsung berdiri dan memasang senyum ramahnya. Senyumnya menghilang ketika siapa yang datang.

“Kita bertemu lagi, untuk yang ketiga kalinya.” Suara bule bermata abu-abu itu begitu tegas dan menawan. Senyumnya yang mampu meluluhkan hati setiap wanita tampak sangat menawan. Siapapun yang berada di posisinya pasti akan merasa sangat senang karena bertemu bule tampan sepertinya tiga kali tetapi tidak dengan Nina.

“Ada yang bisa saya bantu?” tanya Nina dengan senyum ramahnya. Karena masih jam kerja, Nina harus menjaga sopan santunnya. Dia tidak boleh menunjukkan wajah tidak sukanya seperti semalam dan harus menahan rasa tidak sukanya.

“Apa ada kopi instan disini? Bisa rekomendasikan mana yang enak?” tanyanya dengan senyuman tidak luntur dari wajahnya.

Nina beranjak dari tempat kasir menuju kulkas minuman. Tanpa menoleh, dia tahu kalau bule itu mengikutinya. Terdengar dari suara ketukan sepatu yang nyaring dibelakangnya. Nina mengingat-ngingat review dari orang-orang yang pernah membelinya. Dia melirik kumpulan kaleng yang tersusun sejajar dan mengambil salah satunya.

“Ini. Aku pribadi tidak pernah mencobanya. Hanya mendengar komentar bagus dari orang-orang yang meminumnya,” aku Nina.

Bule itu melihat kaleng minuman ditangan Nina dengan pandangan tidak terbaca. “Kalau begitu, apa minuman kesukaanmu?”

Alis Nina berkerut dan lantas menunjukkan ekspresi kebingungannya. “Air?” jawabnya dengan tak yakin.

Nina sempat mendengar suara seperti kentut yang berasal dari bule itu. Namun setelah diperhatikan lagi, itu bukan suara kentut melainkan suara tawa yang tertahan.

“Sir?” Nina mulai berasumsi yang tidak-tidak melihat perubahan dari bule itu. Dia khawatir kalau bule itu terkena pelet dari orang-orang yang suka padanya atau kesambet setan.

“I’m fine.”  Bule itu melihat kearah kumpulan air mineral dan mengambil salah satunya. “Kalau begitu aku mau beli air,” jawabnya kemudian.

Nina mengangguk dan membawa air mineral itu ke kasir. “Anything else?” Tanyanya sebelum mencetak struk belanja.

“Boleh aku minta nomor teleponmu?” tanya bule itu dengan senyuman khasnya.

“Maaf, saya tidak punya telepon. Jika sudah selesai silahkan pergi. Masih ada pelanggan lain yang perlu dilayani,” usir Nina halus.

Bule itu menoleh kebelakang dan mendapati seorang nenek yang tengah mengantri dibelakangnya. Mau tidak mau, Alex mengalah dan membiarkan nenek itu membayar.

“I hope we meet again.”

Ucapan bule itu hanya dianggap angin lalu oleh Nina. Dia tidak berharap untuk bertemu dengan bule sialan itu. Sudah cukup bule itu mengganggu ketenangannya. Semuanya tidak akan terjadi jika dia tidak mengembalikan dompet sialan itu. Dalam hati, Nina mengutuk hati nuraninya yang terlalu baik dan selalu membuat dirinya kesusahan.

***

Sepanjang perjalanan pulang, sebuah mobil hitam terus mengikuti Nina. Tidak perlu susah payah menebak. Mobil itu pasti milik bule gila itu bersama supirnya. Merasa capek, Nina duduk disebuah bangku dan mendengus kasar ketika mobil itu berhenti.

Selama bekerja tadi, Nina tidak bisa menyelesaikan tugasnya dengan benar-benar. Sebentar-sebentar bule itu terus memanggilnya untuk menanyakan menu, minuman atau hal tidak penting lainnya. Lutut Nina sampai terasa sakit karena berkali-kali duduk dan berdiri.

Bos sampai menyuruhnya tidak usah mencuci dan melayani pelanggan lainnya sedangkan istrinya terus mengomel hingga Nina pulang. Nina mengusap kedua lututnya yang masih berdenyut. Bule itu bisa-bisa saja menyuruh supir yang bersamanya untuk membacakan menu tetapi dia tidak mau. Supir itu sampai memberikan tatapan belas kasihan karena bule itu seperti sedang mempermainkannya.

“Lututmu sakit?”

Nina tidak mau menoleh. Dia memilih diam ditempat dan memejamkan matanya. Udara malam yang dingin membuatnya sedikit kedinginan. Ada baiknya dia melayani pelanggan. Hari ini Nina pulang lebih cepat dari biasanya karena tidak perlu mencuci piring-piring itu.

Tiba-tiba, Nina merasakan punggungnya menghangat. Dia mendongakkan wajahnya dan menemukan jas hitam milik bule itu telah melekat ditubuhnya.

“Aku tidak butuh jasmu.”

Sebelum Nina melepaskan jas, bule itu telah duduk disampingnya dan meletakkan tangannya di punggung sehingga tidak bisa dilepaskan. “Kau kedinginan. Apa kau tidak mau ku antar pulang?” tawarnya.

Nina membuang wajahnya ke arah berlawanan sembari merapatkan jas itu pada tubuhnya. Ukuran jas itu yang kebesaran serta wangi parfum yang masih melekat membuat Nina merasa nyaman. Dia menguap tanpa sadar dan langsung menutup mulut dengan tangannya.

“Tidak perlu malu. Sekarang sudah malam wajar kalau kau mengantuk.”

Mau tidak mau Nina menoleh dan pandangannya bertubrukan dengan bule bermata abu-abu itu. Sikapnya yang tiba-tiba baik padanya membuat Nina takut. Takut akan terlena akan kebaikan dan perhatiannya. Takut setelah berharap terlalu jauh, kenyataan pahit kembali menghantamnya.

“Terima kasih atas jas dan tumpangannya. Aku bisa pulang sendiri. Selamat malam, tuan.”

Nina membungkuk memberi hormat sebelum berbalik meninggalkan bule itu. Seperti malam sebelumnya, lengannya kembali ditahan. Bule itu berjalan dan berdiri didepannya dengan senyuman khasnya. Jika sikap bule itu tidak mengesalkan, Nina yakin dia akan menikmati senyum itu.

“Namaku Alexander Black Testa. Panggil aku Alex, bukan tuan atau yang lainnya. Setelah kau memanggil namaku, aku akan mengantarmu pulang.”

Nina terdiam mendengar penjelasannya. Dalam satu tarikan kasar, Nina menarik lengannya kasar hingga membuat Alex terhuyung. “Terima kasih atas kebaikan tuan tetapi maaf saya tidak bisa menerimanya. Saya harap malam ini adalah pertemuan terakhir kita. Saya permisi dulu.”

Setelah membungkuk formal layaknya karyawan dan atasan, Nina segera pergi meninggalkan Alex yang masih terdiam ditempatnya. Dari pancaran matanya, Nina tahu kalau semua yang bule itu tulus. Hanya saja Nina tidak ingin terlalu larut dalam perasaanya. Cepat atau lambat, bule itu akan kembali ke negaranya sedangkan dirinya harus terus berjuang demi keluarganya.

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

5 Komentar

  1. Minuman favorit saya juga air, sama kayak Nina. ?
    Reaksi Nina ke Alex itu wajar sih. Beberapa orang asing atau orang rantau kadang mempermainkan wanita yang pada akhirnya mereka tinggalkan ketika mereka pulang ke negara atau daerah asalnya. Tak sedikit kejadian begitu terjadi di sekitar lingkungan saya. #miris ?

    1. Juniar Vina menulis:

      Yup begitulah, hati” kalau mau pacaran sama bule, karena kebanyakan manis di depan pahit di akhir

  2. riska Wulandari menulis:

    nice

  3. riska Wulandari menulis:

    :kisskiss

  4. Indah Narty menulis:

    Mineral water the best