Only You

Only You – Chapter 33

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

0 votes, average: 0.00 out of 1 (0 votes, average: 0.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

1

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Akhir bulan, semua pegawai antusias menerima gaji. Mereka sengaja pulang sedikit lebih lambat untuk menunggu pembagian penghasilan. Bagi para pegawai, upah bulanan ini sangat penting karena untuk menghidupi kebutuhan mereka satu bulan berikutnya. Dalam pengelolaannya, mereka harus berhati-hati jika tidak maka akan sulit untuk bertahan di hari-hari berikutnya.

Pegawai yang sudah mendapatkan gaji, berpencar ke seluruh cafe yang sepi untuk menghitung pendapatan mereka. Setiap penghasilan setiap pegawai berbeda, tergantung dari kinerja mereka. Anggi akan memberikan bonus lebih kepada pegawai yang rajin dan tidak memberi apapun bagi pegawai yang malas. Akibatnya, semua pegawai selalu rajin. Cara ini sangat ampuh untuk mengurangi mereka yang malas.

Nina berada di ruangannya, termenung menatap amplop putih yang gemuk. Dia sudah mendapatkan gajinya sejak pagi tadi dan menghitung jumlahnya. Anggi menaikkan gajinya hingga sepuluh kali lipat dari biasanya dan belum termasuk bonus. Nina sudah bertanya apakah ada kesalahan dalam perhitungan Anggi namun tidak. Anggi memang menaikkan gajinya dan lebih banyak pada umumnya.

Udah, diterima aja. Dikasih lebih malah protes. Kamu tu memang seharusnya bergaji segini. Kamu kan rangkap kerja, mulai dari beresin bon, bikin pembukuan, cek stock, daftar absen dan banyak lagi. Kamu memang pantas kok mendapatkan semua itu.”

Ucapan Anggi saat menyerahkan gaji masih terngiang-ngiang di kepalanya. Nina sudah membuat pembukuan bulan ini dan menghitung jumlah pemasukannya. Pendapatan mereka bulan ini memang lebih tinggi dari sebelumnya. Tetapi jika dihitung lagi dengan jumlah gaji dan bonus yang diberikan kepada semua pegawai, pendapatan cafe hanya bersisa sedikit.

Nina tidak habis pikir jika Anggi ingin menutup cafe. Belum lagi baru-baru ini, Anggi menambahkan dua orang karyawan. Membuat cafe adalah keinginannya. Nina sendiri yang telah melihat perjuangan Anggi saat baru pertama berdiri. Kikuk saat bertemu pelanggan, bolak balik antara kasir dan dapur hingga harus sabar ketika bertemu pelanggan yang kasar.

Nina tidak bisa menerima gaji yang diterimanya begitu saja. Dia harus berbicara dengan Anggi dan menyusun ulang pendapatannya. Gaji dan bonus yang didapatkannya tidak sesuai dengan kinerjanya. Jika terus seperti ini, cepat atau lambat cafe pasti akan bangkrut.

Saat Nina ingin menemui Anggi, pintu terbuka dan memunculkan orang yang dicarinya. Sebelum dia sempat menyeret Anggi masuk, Alex muncul dari belakang dan tersenyum ke arahnya.

“Kenapa kau di sini?” Nina mundur selangkah menghindari pelukan Alex. Dia tidak mau Anggi berpikir yang tidak-tidak karena kedekatan mereka.

“Mengantarmu pulang. Apa kau lupa?” Alex mengedipkan sebelah matanya dan mencium pipi Nina saat Anggi tidak melihat.

Nina mendorong dada Alex kasar dan memberikan tatapan tajam. “Ada yang mau kubicarakan dengan Anggi. Kau tunggulah di luar.”

“Tidak perlu mengusirnya.” Anggi duduk di sofa yang disusul Alex di seberangnya.

Nina lalu duduk di sebelah Anggi dan menyerahkan amplop yang tadi diterima. “Gi, aku rasa kamu perlu hitung ulang lagi gaji dan bonus ku. Gaji yang kuterima terlalu banyak dan gak sesuai dengan pendapatan. Kalau begini terus cafe bisa rugi.”

Anggi memutar bola matanya malas karena sudah menduga reaksi Nina. Tentunya dia sudah menyiapkan balasan untuk menjawab. “Tenang saja, kita ngak akan rugi kok. Keadaan cafe semakin membaik. Itu bisa dilihat dari pendapatan. Lalu karena bisnis semakin baik, tentu saja kita bisa butuh tenaga tambahan. Semua sudah kuperkirakan. Dalam satu bulan kedepan, cafe kita akan semakin laris dan semuanya bakal makin sibuk.”

Nina ingin meprotes. Satu bulan bukanlah waktu yang singkat. Memang bisnis cafe semakin lama semakin baik tetapi ada tetap saja ada saatnya sepi. Dia tidak mau mempertaruhkan nasib pegawai lain dan terlalu berharap dengan rencana Anggi. Mengingat sifatnya, biasanya konsep yang di buat Anggi berantakan karena mengerjakannya terburu-buru. Sebelum Nina hendak memprotes, Anggi memotongnya terlebih dulu.

“Stop! Kamu gak yakin sama aku karena biasanya rencanaku selalu gagal kan? Tenang saja, aku sudah rencanain ini dari dulu dan udah konsulatasi sama Om. Kamu tenang aja, semuanya aman. Nah, sekarang kamu pulang aja udah malem.  Lihat tu, Alex udah capek nunggu. Aku juga udah mau tutup cafe.” Anggi lalu beranjak dari sofa dan langsung melenggang pergi sebelum Nina hendak memprotes.

Nina membereskan barang-barangnya dengan bersungut-sungut. Dia merasa kesal karena Anggi terkesan mengabaikan dan menjauh darinya. Sembari membenahi, Nina berpikir apa yang membuat Anggi tiba-tiba berubah. Biasanya setiap kali mengambil keputusan, Anggi akan merundingkan dengannya terlebih dahulu. Tetapi kali ini, Anggi melakukannya sendiri dan seolah-olah tidak peduli padanya.

Terlalu sibuk dengan pikirannya, Nina tidak sadar jika sudah berada di dalam mobil. Dia baru tersadar ketika Alex memakaikan seatbelt. “Aku bisa melakukannya sendiri.”

Alex menahan seatbelt dan menatap Nina tajam. Tatapannya membuat Nina membeku hingga mereka meninggalkan cafe. Ketika lampu rambu tengah merah, Alex melepas ikatan rambut Nina dan memberikan ciuman di pipinya. Perbuatannya membuat Nina menoleh ke arahnya dengan ekpresi terkejut dan malu.

“Jangan terlalu memikirikannya. Percayalah pada Anggi. Dia pasti sudah menyiapkan rencana yang terbaik untuk kalian.”

Kata-kata Alex mampu membuat Nina tersenyum. Benar, dia harus percaya pada Anggi dan memberinya kesempatan untuk mengambil kesempatan sendiri. Nina sadar kalau dia tidak bisa terus membantu Anggi. Suatu saat, Anggi harus bisa berdiri sendiri dan tidak selalu bergantung padanya.

Nina lalu menyandarkan kepalanya pada bahu Alex dan menautkan jemari dengan tangan hangat miliknya. “Terima kasih, Alex.”

***

Setelah melewati jam sibuk, para pegawai akhirnya dapat beristirahat sejenak. Sesekali jika bosan, Nina akan bergabung dengan pegawai lainnya dan ikut bercengkrama. Terkadang dia rindu masa-masa melayani pelanggan. Terus menerus menatap layar komputer dan membereskan pembukuan membuatnya merasa jenuh. Karenanya jika mereka sedang berkumpul, Nina akan memberikan tips untuk mempermudah pekerjaan dan berbagi pengalaman.

Sesudah memberikan saran, Nina duduk di meja bar mengamati seluruh cafe. Senyum mengembang di wajahnya karena suasana yang tidak berubah sejak dulu. Nina lalu teringat dengan buku harian yang biasa ditulisnya. Terlalu sibuk mengurusi pembukuan yang berantakan membuatnya lupa untuk menulisnya. Berhubung dengan pekerjaannya yang telah selesai, sekarang Nina memiliki waktu luang untuk menulisnya lagi.

“Enak ya yang udah pindah bagian. Gak perlu capek-capek berdiri dan tiap hari duduk depan komputer.”

Tangan Nina berhenti ketika mendengar sindiran yang tertuju padanya. Dia menoleh sejenak kepada seorang perempuan yang berdiri tidak jauh diseberang bar lalu mengabaikannya. Sukma, perempuan yang bekerja dengannya semenjak di betamart selalu memusuhinya. Nina tidak perlu ambil pusing dengan sindirannya karena itu sudah menjadi makanan sehari-harinya.

“Mulai sombong ya karena naik pangkat, naik gaji lagi. Mainnya udah beda, udah ngak selevel sama kami. Mainnya sama bule. Adikmu tau gak kalau kamu jalannya sama bule?”

Sindiran Sukma semakin lama semakin menyakitkan. Sukma sengaja memancing emosinya dengan menggunakan hubungannya dengan Alex dan Randy. Beberapa pegawai lain telah menatap was-was, khawatir jika pertengkaran di antara mereka terjadi.

“Kamu cantik jadi banyak yang lirik. Wajar kalau bule pun kecantol. Atau kamu pake pelet?!” Sukma sengaja meninggikan suaranya hingga terdengar ke pelanggan lainnya.

Nina tetap mempertahankan ketenangannya meskipun ucapan Sukma sudah kelewat batas. “Kamu juga cantik. Nanti pasti ada cowok baik-baik yang mau sama kamu.”

Sukma secara terang-terangan memberikan tatapan benci kepada Nina. Dihina seperti apapun, Nina tetap bisa menekan emosinya. Ketika melihat sekumpulan anak kuliah yang lewat, sebuah seringaian terbentuk diwajahnya.

“Randy bekerja sambil kuliah ya? Adikmu hebat ya. Kudengar dia mau mengerjakan tugas teman-temannya. Rasanya bodoh ya. Mau aja ngerjain tugas orang lain dan bikin kepala capek.”

Ucapan Sukma berhasil memancing kemarahan Nina. Dia tidak apa-apa jika dirinya dihina tetapi tidak dengan keluarganya. Tangan Nina terasa kebas karena bertahan untuk tidak menampar Sukma. Dia tidak terima jika Randy dihina. Baginya, Randy adalah adik yang membangkan. “Randy cuma membantu sekalian mengasah kemampuannya sendiri. Dia suka belajar dan mengerjakan tugas.”

“Tentu aja suka, dia kan dibayar. Kalian berdua memang mirip ya, melakukan apapun asal demi uang.”

Tangan Nina telah melayang untuk menampar Sukma. Emosi yang sedari tadi ditahannya memberontak untuk dilepaskan. Gerakannya terhenti ketika sebuah lengan menahannya. Nina menoleh dan menemukan Alex yang berdiri disampingnya dan memberikan peringatan lewat tatapan kepada Sukma.

“Jadi, ceritanya kamu gak butuh duit?” Dalam sekejab, Anggi langsung menjadi pusat perhatian dan berjalan mendekati Sukma. “Kamu capek berdiri terus? Mau duduk-duduk aja atau gak mau kerja?” tanyanya dengan suara datar.

Anggi hanya menghela nafas ketika tidak ada jawaban dari Sukma yang terus menundukkan kepalanya. “Kamu keruangan saya, sekarang!”

Wajah Sukma menjadi pucat dan dengan lesu berjalan menuju ruangan Anggi. Sebelum masuk, Sukma sempat menoleh ke arah Nina dan menatap benci padanya. Anggi menyerahkan tas yang selalu Nina bawa dan menyerahkannya. “Jalan-jalan dulu sana buat nenangin diri.”

“Tapi aku …”

“Udah gak pa pa,” potong Anggi. “Giliran aku lagi yang marah-marah.” Anggi lalu berlalu sembari melambaikan tangan dan meninggalkan aura hitam pekat hingga pegawai lainnya menyingkir.

Alex menggenggam tangan Nina dan mengajaknya masuk ke dalam mobil. Nina tidak menolak. Dia masih marah karena cemoohan Sukma tadi tentang adiknya. Ketika Alex menggenggam tangannya, dalam sekejab perasaan Nina membaik. Dia membaringkan kepalanya pada bahu Alex dan memejamkan mata sejenak. Baginya tidak ada tempat yang lebih tenang selain disamping Alex.

***

Nina terheran-heran ketika Alex mengajaknya ke hotel. Karena sudah mengenal Alex sebelumnya, Nina mengikuti tanpa banyak bertanya. Sejenak, sempat terbesit jika Alex ingin berhubungan intim. Jika ya, Nina akan merasa kecewa karena sikap Alex padanya selama ini hanyalah kebohongan belaka.

Kekhawatiran Nina sempat goyah saat merasakan kehangatan dari genggaman Alex. Dia berharap jika Alex bukanlah laki-laki brengsek yang sengaja mendekatinya hanya untuk kenikmatan semalam sengaja. Nina tidak yakin jika dia bisa melupakan Alex setelah terlanjut sangat mencintainya. Walau hanya sedikit saja, Nina ingin percaya pada sosok pria yang selalu menemaninya itu.

Saat masuk ke kamar Alex, Nina melihat gaun hitam yang dulu dikenakannya pada sebuah manekin. Gaun itu masih sama dengan yang dulu diingatnya. Kilau dari gaun menunjukkan kalau itu terawat dengan baik. Dibawahnya, sepasang high heels yang dulu dikenakannya pun masih ada. Semua tampak dijaga dengan baik untuk dikenakan kembali.

Belum habis keterjutan Nina, disamping manekin ada seorang wanita yang tersenyum kearahnya. Nina masih mengingat wanita itu yang merupakan penata rias yang mendandaninya di malam perpisahan dengan Alex. Dengan tatapan tidak percaya, Nina menoleh kearah Alex yang tersenyum puas.

“Alex, itu …” Nina menunjuk kearah manekin dan penata rias secara bersamaan.

Alex membawa Nina mendekat kearah manekin dan berbisik ditelinganya. “Benar, ini gaun yang sama dengan yang kau kenakan dulu. Wanita itu juga yang dulu meriasmu hingga menjadi sempurna.”

Pipi Nina memerah mendengar pujian Alex yang berlebihan. Senyumannya mengembang semakin lebar seiring menyentuh gaun hitam yang dulu dikenakannya. Nina juga memberikan senyuman kepada penata rias dan memberikan tatapan kerinduan.

Dalam hati, Nina tersenyum geli karena sudah salah menilai Alex. Dia terlalu cepat menyimpulkan kalau Alex mendekatinya hanya untuk kepuasan sementara. Berbagai waktu yang mereka lalui bersama membuat Nina yakin jika Alex bukanlah pria yang seperti itu. Kejutan kecil yang Alex siapkan ini membuat Nina semakin mencintainya.

“Aku ingin melihatmu mengenakannya lagi.” Alex berbisik lagi ditelinga Nina hingga membuat senyumannya semakin lebar. Setelahnya, Alex meninggalkan Nina untuk dirias dan menyiapkan kejutan untuk makan malam nanti.

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

5 Komentar

  1. Apa Sukma yang bikin Nina kecelakaan hingga amnesia? ?

    1. jeng, jeng. jeng, mari kita tunggu jawabannya

  2. Indah Narty menulis:

    Weewww

  3. Banyak kali gulanya bertebaran bang alex :lovelove