Only You

Only You – Chapter 24

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

0 votes, average: 0.00 out of 1 (0 votes, average: 0.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

1

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Jam istirahat adalah waktu yang ditunggu-tunggu Nina. Setelah makan siang, Nina mengeluarkan kotak dan peralatan lainnya dari dalam tas. Aroma daun teh kering langsung menyerbu indra penciumannya. Teh-teh itu telah dimasukkan rapi kedalam pembungkus dan tinggal direkatkan.

Sebelum memulainya, Nina mengetes peralatan perekat terlebih dahulu. Setelah yakin perekat itu bekerja dengan baik, Nina mulai merekatkan kantong-kantong teh itu, menyusunnya dengan rapi ke dalam kotak lalu membungkusnya lagi. Sesekali Nina bersenandung mengerjakan pekerjaannya. Meskipun membosankan tapi pekerjaan ini cukup mudah dan fleksibel.

“Kamu lagi ngapain?”

Nina langsung menghentikan kegiatannya ketika pak Suryo masuk. Pak Suryo memperhatikan semua kantong dan kotak yang tertata di atas meja lalu beralih pada Nina. “Kamu cari kerja tambahan lagi ya?”

Nina mengangguk sekali lalu menundukkan wajahnya. Pak Suryo yang melihat wajah bersalah Nina mengambil kursi dan duduk dihadapannya. “Kamu segitunya butuh uang? Kamu tahu kan kalau bapak izinin kamu pinjam uang.”

“Saya tahu pak, tapi saya ngak bisa repotin bapak,” jawab Nina.

“Ngak bisa atau ngak mau?”ulang pak Suryo. “Bapak tahu kalau kamu ada masalah pasti pendam sendiri. Kamu bukannya ngak bisa tapi ngak mau. Kamu ngak mau digunjing dibelakang karena mendapat perlakuan istimewa. Kamu ngak mau pinjam karena jika mama mu tahu akan menuntut lebih, bukan begitu?”

Nina terkejut karena pak Suryo mengetahui masalahnya. Selama ini, Nina mengira telah menutup masalah pribadinya rapat-rapat. Ternyata perkiraannya selama ini salah.

“Ngak usah terkejut begitu. Kamu tu kalau ada masalah pasti kelihatan dari wajahnya. Kamu jadi bengong dan langsung nulis diary. Jangan kira bapak tidak perhatikan loh,” terangnya.

Nina menundukkan kepalanya semakin dalam. Alih-alih menyembunyikannya, justru semuanya terlihat diwajahnya. Nina jadi mengetahui bagaimana Alex selama ini mengetahui pikirannya.

“Begini saja, setelah kerjamu yang ini selesai, kamu jangan tambah lagi. Bapak lihat bahasa inggris kamu bagus. Gimana kalau kamu ajarin keponakan bapak?” tawar pak Suryo.

Nina langsung mengangkat wajahnya setelah mendengar tawaran itu. “Mengajar keponakan bapak?”

“Iya. Keponakan bapak itu mau belajar bahasa inggris. Setiap hari dia ngeluh karena kursus disana sini gurunya gak ada yang pinter. Kebetulan bapak pernah lihat kamu interaksi sama bule. Inggris kamu lancar. Jadi apa kamu mau?”

Nina bingung harus bagaimana mendapat tawaran seperti itu. Rasanya dia ingin mengatakan kenapa dia bisa lancar karena dulunya suka bermain game. Nina juga dulu sering berinteraksi dengan sesama teman game dari luar negeri. Karena itu meskipun tidak menempuh kursus, bahasa inggrisnya lancar.

“Tapi pak, saya gak tahu apa bisa mengajar dengan baik atau tidak. Saya belum pernah mengajari orang,” jawab Nina jujur.

“Soal mengajar, bapak yakin kamu bisa. Buktinya setiap ada pegawai baru kamu bisa ngajarin mereka dengan sabar. Cuma mereka saja yang tidak tahu berterima kasih dan malah membuat ulah.”

Ada rasa bangga di dada Nina ketika dipuji seperti itu. Selama ini dia ragu, apakah caranya mengajari pegawai baru sudah benar atau tidak. Nina takut kalau caranya salah dan hal itulah yang banyak membuat pegawai sering berpindah-pindah.

“Berapa kamu dapat sekali ngerjain ini?” tanya pak Suryo menunjuk tumpukan kotak dan kantong teh.

“100 ribu per kotak. Satu kotaknya isi 50 kantong teh,” jawab Nina secara rinci.

“Begini saja, saya kasih dp 1 juta. Kamu ajarin keponakan saya membaca, menulis dan ngomong percakapan sehari-hari. Harga kursus biasanya 1,5 juta. Harga kursus biasanya 1,5 juta. Tetapi karena kamu ngajarnya di jam kerja, bapak bayar 800 rbu, bagaimana? Seminggu hanya 2 kali dan lamanya satu jam. Jadi dalam sebulan kamu mengajar 8 kali. Kalau misalnya dalam sebulan pertama dia sudah menyerah, dp tidak hangus. Tetapi kalau dia ingin lanjut, bapak akan bayar kekurangan selanjutnya. Oh ya, kalau kamu ngajarnya bagus, bapak akan tambah bayarannya,” jelas pak Suryo.

Tawaran yang diberikan pak Suryo sama sekali tidak buruk. Hanya dalam sebulan, dia bisa mendapatkan penghasilan tambahan hingga 1 juta. Mengerjakan kotak-kotak teh itu pun belum tentu bisa menghasilkan sampai sebanyak itu. Kesempatan yang sama tidak akan datang dua kali. Hal itu jugalah yang Nina pelajari selama bekerja. Nina mengepal kedua tangannya dan menatap pak Suryo dengan mantap.

“Saya terima, pak. Saya akan berusaha menjadi guru yang baik untuk keponakan bapak dan membingbingnya,” ucap Nina mantap.

“Bagus! Kamu memang bisa diandalkan.”

Nina menjabat tangan pak Suryo sebagai bentuk terima kasih. Senyum terus menghiasi wajah Nina setelah kepergian pak Suryo. Berkatnya, Nina tidak perlu pusing memikirkan kekurangan uang yang dibutuhkan.

“Hanya sedikit lagi. Bersemangatlah diriku!” ucap Nina pada dirinya sendiri.

***

“Tolong berhenti disini dulu,” pinta Nina saat Alex telah sampai ditempat yang ingin dia tuju. Alex dengan patuh mengikuti arahan Nina dan memakirkan mobilnya.

“Sebentar ya, aku akan segera kembali. Apa ada yang mau kau beli? Kebetulan disampingnya ada toko.” Nina menunjuk toko yang dimaksudnya yang bersebelahan dengan tempat ditujunya.

“Tidak. Kau juga tidak mau membeli apapun kan?” tanya Alex balik.

Nina tersenyum seraya melepaskan seatbeltnya. “Kau memang mengerti sifatku.”

Alex juga membalas dengan senyuman dan melihat Nina berjalan menuju toko yang dimaksud. Bunyi pesan masuk mengalihkan perhatiannya. Senyumnya menghilang ketika selesai membaca pesan itu. Alex menyimpan ponselnya dan kembali tersenyum ketika Nina kembali.

“Sudah. Tidak lama kan?”

“Hmm, memang tidak lama. Tapi cukup membuatku mengantuk.” Alex kemudian berpura-pura menguap untuk meyakinkan aktingnya.

“He he he, kau ada bakat jadi aktor. Lagi pula kau tampan. Kalaupun tidak menjadi aktor, kau bisa menjadi model.” Nina memasang kembali seatbelnya setelah melepas ikatan rambutnya.

“Kau juga cantik.”

Ucapan Alex membuat pipi Nina bersemu merah. Dadanya berdebar-debar hanya karena mendapat pujian itu. Selama ini, memang banyak yang mengatakannya cantik tetapi Nina tidak pernah merasakan apapun. Mendengarnya dari mulut Alex entah kenapa membuat hatinya begitu senang.

“Nina,” panggil Alex serius.

Nina berbalik menatapnya dan menunggu apa yang ingin dikatakan Alex selanjutnya.

“Dua hari lagi, aku akan kembali ke New York.”

Rasa bahagia yang telah membungbung tinggi, kini jatuh terhempas. Nina sudah menduga hari itu akan tiba tetapi dia tidak mengira akan datang secepat ini. Dalam sekejab, mata Nina telah berkaca-kaca. Nina menutup wajah dengan kedua tangannya agar tidak menampakkan wajahnya yang memalukan.

“Can i have your number?” tanya Alex lembut disela-sela wajah sedihnya.

Ah, mungkinkah pria yang tengah duduk disebelahnya juga merasa kehilangan? Jika dia sedikit egois untuk memintanya tinggal lebih lama, apakah akan dikabulkan? Sejak awal Nina memang sudah pasrah. Perpisahan tetap akan datang dan hubungan manis yang sesaat juga akan berakhir.

“Maaf. Aku tidak bisa memberikannya.”

Rahang Alex mengetat. Dia mengerti maksud Nina untuk mengakhiri hubungan mereka. Ah, betapa bodohnya dirinya telah meminta hal yang mustahil. “Apa kau bisa mengosongkan waktumu besok malam?” Karena Alex yang memulai, dia juga ingin mengakhiri hubungan ini baik-baik dengan membuat kenangan yang tidak akan dilupakannya.

“Bisa. Nanti aku akan minta izin dengan bosku,” jawab Nina.

Alex memberikan senyum tipis sebagai respon sedangkan Nina diam ditempatnya memandang jalanan kota yang macet. Mereka berdua saling sibuk dengan pikirannya masing-masing menyusun perpisahan yang berada didepan mata.

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

3 Komentar

  1. Indah Narty menulis:

    Sibuk dengan pikiran mereka

  2. Nah kan ditinggal :pedas

  3. Tks ya kak udh update.