Only You

Only You – Chapter 17

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

1 vote, average: 1.00 out of 1 (1 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

1

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Setelah menyelesaikan pekerjaannya sebagai pegawai betamart, Nina melanjutkan pekerjaan lainnya sebagai buruh cuci piring disebuah jajanan malam. Jajanan malam itu merupakan tempat teramai di jakarta pusat. Nina akan memulai pekerjaannya dari pukul delapan hingga tengah malam.

Gajinya bekerja dari pagi hingga malam di betamart, tidak mampu untuk menunjang pendidikan adiknya. Karena itu, Nina berinisiatif mencari pekerjaan lainnya. Dia beruntung mendapatkan pekerjaan menjadi buruh cuci piring di tempat itu. Walau hanya bekerja hingga sore di betamart, pekerjaan lainnya sebagai buruh cuci piring mampu menutupi kekurangannya.

Aroma makanan yang menguar diudara membuat perut Nina bergerumuh. Berhubung masih ada waktu sebelum bekerja, Nina memakan roti yang dibawanya dari betamart. Setiap hari, mereka akan selalu membuat roti yang baru dan membuang yang lama. Karena merasa sayang, diam-diam pak Suryo selalu memberikannya kepada Nina. Berkat pemberian roti itu, Nina tidak perlu mengeluarkan uang untuk membeli makanan. Nina sangat bersyukur karena masih ada orang yang baik padanya.

Ketika waktunya telah tiba, Nina mengganti pakaiannya menjadi kaos yang lebih lusuh. Dia duduk disebuah kursi kecil dan menekuk kedua lututnya. Posisi itu tidak nyaman dan sering membuat kaki serta punggungnya kram. Meskipun begitu, Nina tetap bertahan dan melanjutkan pekerjaannya.

“Nina! Layani meja 8!” seru istri bos yang sedang membantu suaminya memasak.

“Baik!” sahut Nina seraya beranjak dan mengenakan celemek abu untuk menutupi kaosnya yang basah. Nina sudah tahu jika dia diminta untuk melayani, berati pelanggan tersebut adalah bule. Karena tidak ada orang lain yang bisa selain dirinya, maka dialah yang akan melayani mereka dan merekomendasikan menu.

“Good Night, sir,” sapa Nina dengan memo dan menu.

Bule itu lantas menoleh dan membuat Nina mengernyitkan dahinya. Dia adalah bule yang sama dengan yang ditemui sebelumnya, bule yang hampir kehilangan dompetnya. Nina tetap bersikap seadanya. Baginya, tidak perlu mengingatkan kalau mereka pernah bertemu dan melupakan soal dompet. Toh, bule itu juga akan lupa dan kembali ke negara asalnya setelah liburan atau pekerjaannya selesai.

“We meet again.” Ucapan singkat dari bule itu membuat Nina terkejut. Bule itu masih mengingatnya.

Sebagai jawaban, Nina hanya memberikan senyum singkat dan memberikan menu. “Here your menu, sir. I recommend our porridge. It’s not to supper and quite light. Which one do you prefer? Chicken or seafood?”

“Seafood please. And thank you for returning my wallet.”

Senyum dari bule itu mampu membuat Nina terpesona. Dia memang sering melayani bule tetapi tidak pernah bertemu yang setampan ini. Yang membuat Nina semakin tertarik adalah warna mata abu-abunya yang unik. Warnanya begitu cerah ditengah gemerlapnya lampu malam.

“Is there anything else?” tanya Nina ulang untuk mengkonfirmasi. Dia sempat menoleh kearah tumpukkan piring kotor yang tiba-tiba bertambah. Piring-piring itu harus segera dibersihkan jika tidak mereka tidak akan sempat untuk menyajikan seiring bertambahnya pelanggan.

“No. Can i have a moment with you please?”

Nina berhasil mempertahankan wajahnya untuk tidak terkejut. Dia sudah biasa mendapat ajakan seperti itu dari bule ataupun pelanggan hidung belang lainnya. Tanpa perlu berpikir dua kali, Nina sudah tahu kemana arah ajakan itu. Rasa kagumnya seketika runtuh karena bule itu tidak ada bedanya dengan laki-laki mesum lainnya.

“Sorry, sir. I still have work to do. Please wait a moment. Other waitress will bring your food,” tolak Nina dengan sopan. Buru-buru dia menjauhi bule itu dan menyerahkan menu kepada pegawai lainnya. Ketika Nina ingin melanjutkan pekerjaannya, dia mendengar seseorang memanggil namanya.

“Oy, Nina!”

Nina langsung menoleh ke sekumpulan anak laki-laki yang baru datang. Dengan cepat, dia langsung menghampiri mereka dengan membawa menu. “Oy, Tommy, gimana kabar lu? Mau makan apa?”

“Cie, Tommy aja yang ditanyain, kami enggak. Mentang-mentang kalian dulu sohib gamer kami cuman angin aja ye.” Anak-anak lainnya ikut tertawa mendengar ledekan itu, begitu juga dengan Nina.

“Ya udah, kalian mau makan apa? Yang cepet! Kerjaan gua banyak!” perintah Nina dengan wajah marah yang dibuat-buat.

“Sabar dikit cuk. Kau mah enak ngak usah mikir belajar lagi. Sesekali traktir lah kami. Kan kau udah kerja,” timpal anak satunya yang merupakan keturunan batak.

Raut wajah Nina yang ceria, berubah muram seketika itu juga. Tetapi dia langsung tersenyum untuk menutupi kesedihannya.

“Diam kau, bocah! Kalau gak bisa bayar gak usah makan!” seru Tommy sambil menunjuk ke arah laki-laki batak itu. “Kau lanjut aja dulu kerjamu. Ndak usah kau dengarkan bocah-bocah ni. Nanti kami panggil yang lain ja.”

“Oke.” Nina menepuk bahu Tommy dan segera berlalu. Dalam hati, Nina sangat berterima kasih dengan Tommy yang peka dengan perasaanya. Jika bukan karena kondisi ekonomi keluarganya sekarang, Nina juga ingin bersekolah dan berkumpul dengan teman-temannya.

“Nina, cepat cuci itu semua! Kamu gak lihat udah banyak orang yang datang?! Kalau sampai ada satu orang aja yang pergi karena kamu lama cucinya, saya potong gaji kamu!” teriak istri bos.

Tanpa menunda-nunda lagi, Nina langsung melanjutkan pekerjaannya. Dia tidak boleh membiarkan gajinya dipotong. Sebentar lagi adiknya akan ujian dan membutuhkan biaya untuk kenaikan kelas. Saat sedang mencuci, tumpukkan lainnya datang dan langsung diletakkan di depannya.

“Nih, tambahannya! Makanya kerja yang benar! Pantas kamu gak sekolah. Kamu cuma buang duit bapak emakmu!” ketus istri bos.

Nina merasakan matanya memanas. Dia menyembunyikan wajah dibalik lututnya dan tetap melanjutkan tugasnya. Perkataan dari istri bos memang selalu pedas dan menyayat hati. Bukan sekali ini dia menyinggung keluarganya. Pegawai-pegawai lain juga banyak yang tidak tahan karena mulut pedasnya.

Nina menarik nafas panjang untuk menyembuhkan luka hatinya yang menganga. Dia berkata pada dirinya sendiri untuk kuat. Selama ini semua orang selalu membicarakan keburukannya dibelakang dan ini bukan apa-apanya. Nina harus kuat, karena hanya dengan cara seperti itulah dia bertahan selama ini.

Dari kejauhan, Nina tidak sadar bahwa sejak tadi gerak geriknya diawasi oleh bule itu. Bule itu mengepal tangannya erat ketika melihat raut kesedihanya ketika disinggung oleh teman dan bosnya. Dia tidak tahu kalau bule itu sedang menatap punggungnya dengan pandangan tidak terbaca. Nina juga tidak tahu, kalau dimulai dari malam itu kehidupannya akan menjadi lebih rumit.

***

Setelah hampir pukul dua belas malam, jam kerja Nina sudah selesai. Bos laki-lakinya memang beharap kalau Nina bisa bekerja hingga menjelang subuh. Tetapi karena Nina seorang perempuan, dia mendapat perlakuan khusus untuk pulang terlebih dahulu. Karena biasanya menjelang tengah malam tidak banyak orang yang datang, tugas Nina akan dioper ke karyawan laki-laki lainnya.

Seperti biasa, Nina akan berpamit dulu kepada rekan dan bosnya. Tidak jarang Nina ditawari tumpangan oleh teman satu kerjanya atau laki-laki lainnya. Tetapi dengan halus dia menolak dan memilih pulang sendiri. Nina tahu, banyak yang tertarik padanya dengan berbagai alasan. Ada yang ingin melewatkan satu malam dengannya dan ada yang mengajaknya pacaran atau hubungan yang lebih serius.

Sepanjang perjalanan pulang, Nina menundukkan kepalanya memikirkan kondisi lingkungan kerjanya yang mulai tidak nyaman. Sempat terpikir olehnya untuk mencari pekerjaan lain setelah adiknya naik kelas nanti. Selain dengan banyaknya hidung belang, Nina juga merasa lelah jika harus terus-terusan mendengar makian pedas dari bos istrinya.

Nina memang bisa menipu dirinya sendiri untuk tetap kuat, tetapi hatinya tidak. Lama-lama Nina juga merasa sakit hati karena terus dihina dan dianggap remeh. Hatinya tidak sekuat penampilannya. Dari dalam, Nina masih rapuh dan berharap jika semua ini adalah mimpi. Ketika membuka mata, semuanya akan kembali normal termasuk keberadaan ayahnya.

Sebutir air mata lolos dari tempatnya. Buru-buru Nina menghapusnya dengan kasar dan menenangkan suasana hatinya. Berulang kali, dia mengambil nafas panjang dan menghembuskannya lalu berkata pada dirinya untuk kuat. Dia tidak boleh menangis atau itu akan membuat mamanya resah.

Tiba-tiba Nina merasa ada yang mengikutinya. Dia menoleh kebalakang dan mendapati sebuah mobil sedang hitam yang parkir ditengah jalan. Nina bisa saja menghentikan pikiran buruknya jika mobil itu tidak nyala ataupun bergerak-gerak karena sedang melakukan hal tidak senonoh. Sayangnya cahaya lampu itu berkata sebaliknya ditambah dengan kondisi mobil yang diam tidak bergerak seakan-akan menunggunya.

Ketika ban mobil diputar ke arahnya, alarm dalam diri Nina berbunyi. Saat mobil itu bergerak ke arahnya, saat itu juga Nina berlari sekencang-kencangnya. Dia sadar pulang sendiran tengah malam akan mengundang bahaya tetapi mau bagaimana lagi. Jika ada pekerjaan yang lebih baik, Nina pasti akan langsung berhenti.

Dugaanya jika mobil itu mengejarnya terbukti dengar. Dari belakang dia bisa mendengar suara mobil yang semakin mendekat. Nina mengumpat dalam hati karena tidak menemukan satupun betamart yang buka 24 jam atau toko lainnya. Yang sialnya lagi, malam ini jalanan sedang sepi. Biasanya meskipun tengah malam, pasti ada beberapa ojek yang berkeliaran ataupun preman yang berkeliaran.

“Non, non, tunggu!”

Nina semakin menambah kecepatan larinya meskipun orang tersebut memanggilnya dengan sopan. Dia terlonjak kaget ketika lengannya dicengkram erat dan memukulnya.

“Lepas! Dasar orang mesum!” pekik Nina.

“It’s me.”

Nina sontak menoleh kebelakang dan menemukan bule yang sama. Setelah pandangan mereka bertemu, perlahan cengkraman di lengannya mengendur. Nina mundur beberapa langkah dan menatap bule itu dengan pandangan tidak suka.

“Hi, Nina,” sapanya ramah.

Nina tidak perlu pusing bagaimana bule ini mengetahui namanya. Pasti dari Tommy saat memanggilnya tadi. Pemikiran Nina tentang bule ini semakin buruk. Bukan hanya pria mesum, penguntit dan suka mendengar percakapan orang lain. Jika tahu sifatnya seperti ini, Nina pasti tidak akan menolongnya dan membiarkannya melarat.

“Mau apa?” balas Nina dengan nada tidak bersahabat.

“Aku mau berterima kasih karena sudah mengembalikan dompetku.”

“Kau sudah mengatakannya tadi. Kalau tidak ada urusan lagi, aku mau pulang.” Tanpa mempedulikan reaksi dari lawan bicaranya, Nina segera berbalik dan bersiap menjauh.

Namun bule itu lebih cepat. Sebelum Nina melangkah, lengannya lebih dulu telah ditahan. “Tunggu!”

“Apa lagi?” Kesabaran Nina semakin tipis menghadapi tipe orang yang seperti ini. Dia berharap kalau bule ini cepat kembali ke negaranya dan tidak bertemu dengannya lagi.

“Naiklah ke mobil. Aku akan mengantarmu pulang.”

Nina menghempaskan lengannya dengan kasar dan langsung berlari menjauh. Memintanya naik ke mobil dan mengantarnya pulang? Sudah puluhan kali Nina mendapat ajakan seperti itu dari lelaki hidung belang dan sudah puluhan kali juga menolaknya. Sesulit apapun kondisinya, Nina telah bersumpah tidak akan menjual diri. Nina merasa marah karena bule itu telah melukai harga dirinya.

Dengan kasar, Nina mengelap air matanya akibat kemarahannya yang meluap-luap. “Dasar bule sialan!”

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

5 Komentar

  1. Masa lalu Nina ternyata menyedihkan ? pantas saja Alex minta ke hipnoterapis buat menghilangkan ingatan masa lalunya kecuali yang indah-indah tentang Alex doang.

    1. Juniar Vina menulis:

      Iya donk, kan yang manis” enak hihihi

  2. Bule sialann :ohyeaaaaaaaaah!

  3. Indah Narty menulis:

    Dasar bule sia :pedas

  4. Beuh
    Dikira gampang hapus ingatan