Only You

Only You – Chapter 52

Bookmark
Please login to bookmark Close

1 vote, average: 1.00 out of 1 (1 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

1

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Begitu melihat ibunya pulang, Nina langsung membukakan pintu dan membantu membawa belanjaannya. Meski dilarang, dia tetap melakukannya karena kasihan dengan ibunya yang telah berjalan jauh untuk membeli belanjaan tersebut. Nina tidak tahu, bagaimana ekspresi wajah Dian ketika melihatnya.

“Nina, kamu tahu kapan suamimu datang lagi?” tanya Dian setelah Nina meletakkan kantong belanja.

“Tidak tahu. Alex hanya bilang jika urusannya sudah selesai, dia akan pulang.” Nina menjawab sebenar-benarnya. Dia tidak tahu berapa lama yang dibutuhkan Alex untuk menyelesaikan urusan di sana dan kapan ia akan datang. Sekelebat, Nina melihat tatapan ibunya yang menajam. Dia masih mengingat dengan jelas kalau tatapan itu mengisyaratkan ketidaksukaan.

“Ada apa, Ma?” tanya Nina memberanikan diri.

Dian mendengus tak suka sambil membuang muka. “Mama dengar dari tetangga sebelah kalau perusahaan suamimu ada masalah. Sebagai seorang istri, bagaimana bisa kau tidak mengetahuinya? Apa karena sudah biasa dilayani membuatmu berleha-leha?”

Ucapan Dian justru membuat Nina terkejut. Dia sama sekali tidak mengetahui hal itu. Alex tidak pernah menceritakan urusan pekerjaan padanya secara detail. Setiap kali bertanya, Alex akan menjawab tidak masalah atau biasa saja.

Dadanya berdenyut sakit saat Dian melayangkan pandangan tidak suka padanya. Nina mengira jika hubungan dengan ibunya sudah membaik. Itu bukan hanya anggapan. Ibunya sungguh memperlakukannya dengan baik dan memperingatinya tentang pantangan selama hamil. Dia juga memasak dan menemaninya ke dokter saat pemeriksaan.

Sikap Dian yang tiba-tiba berubah justru membuat Nina kebingungan. Setelah kepergian Alex, perlakuan Dian pada dirinya berubah dingin. Sebenarnya apa kesalahan yang dulu diperbuatnya sehingga ibunya sendiri begitu memusuhinya?

“Coba kamu telepon suamimu dan tanya kapan dia pulang. Kalau tidak ada masalah, dia akan menjawab. Jika tidak, pasti perusahaannya benar-benar ada masalah.”

“Tapi Ma, jam di sana sekarang – “

“Kalau suamimu benar-benar peduli pasti akan angkat! Tidak peduli disana mau malam, hujan atau bahkan sedang gempa sekalipun, dia pasti akan angkat teleponmu!” potong Dian sarkas.

Nina menelan ludahnya gugup sebelum melakukan apa yang disuruh. Dia mencari nomor Alex dan menelepon di depan ibunya.

Telepon tidak diangkat, begitu juga dengan telepon kedua dan seterusnya. Nina mulai cemas karena tidak biasanya Alex mengabaikan panggilannya. Rasa cemas mulai menguasai dirinya dan berbagai pikiran buruk mulai melintas.

“Dia tidak angkat? Berati benar usahanya sedang goyang!” Tiba-tiba, tatapan dingin Dian berubah menjadi menuduh. “Jangan-jangan kamu sudah tahu hal itu lalu merayunya untuk membawa kamu pulang! Karena sewaktu-waktu suamimu akan bangkrut, kamu pulang supaya mama dan Randy yang menanggung biaya kamu dan persalinan anak kan?!”

“Bukan begitu Ma, aku tidak – “

“Cukup! Mama tidak mau dengar alasan kamu! Lebih baik kamu pikirkan bagaimana caranya kamu membesarkan anak itu dari sekarang. Mama ataupun Randy tidak bisa membantumu!”

Setelah mengatakannya, Dian melenggang pergi meninggalkan Nina sendirian. Mendapat ucapan kasar seperti itu, Nina berusaha untuk tidak menangis. Dia mengenang masa-masa sulitnya dulu yang pernah mendapat makian yang lebih kasar dari pada ini.

Apa yang dikatakan ibunya tidak benar, Alex baik-baik saja dan sungguh menyelesaikan masalahnya. Alex tidak akan meninggalkannya. Pria itu telah berjanji untuk selalu bersamanya, sampai kapanpun.

Nina harus kuat. Ini adalah cobaan lain untuk mengujinya. Walau rasa percayanya perlahan berkurang, dia akan tetap bertahan, demi dirinya sendiri dan juga anak dalam kandungannya.

***

Begitu melihat kakaknya, Randy tahu jika ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Kakaknya itu sangat mudah untuk ditebak. Walau menutupnya dengan senyuman, semuanya terukir dengan jelas diwajahnya.

“Kak, ada apa?” Pertanyaan ringan darinya mampu membuat Nina tersontak. Dari reaksinya itu, Randy menduga jika apa yang dipikirkannya pasti sangat besar.

“Bukan apa-apa. Kamu lapar? Makan saja dulu kalau begitu. Kakak bereskan barang-barangmu ya.”

Nina masih mencoba terlihat santai sambil membereskan kotak bekal dan minumannya. Randy pun tidak berniat untuk bertanya lebih lanjut. Kakanya itu sangat sulit untuk mengungkapkan masalah yang merundungnya. Dia tidak seperti Alex yang langsung mengetahui apa yang dipikirkan Nina. Tapi, itu bukan berarti membuatnya menyerah. Dia akan bertanya lagi setelah ini dan mencoba mencari penyebab atas dilemanya.

“Randy sudah pulang? Gimana pekerjaanmu hari ini?” Dian yang baru keluar dari kamar langsung menyambut anak keduanya dengan sumringah. Saat tatapannya berpapasan dengan Nina, dia mendengus kasar lalu memalingkan wajahnya.

Melihat sikap dingin ibunya kepada Nina membuat Randy kebingungan. Kenapa ibunya kembali bersikap seperti itu? Padahal selama Alex masih ada, dia selalu memperlakukan Nina dengan baik. Bahkan, Randy mengira jika ibunya sudah berubah dan menyesal atas perlakuannya dulu. Namun setelah melihat perubahannya yang tiba-tiba, Randy berpikir jika ibunya hanya mencari muka didepan Alex.

“Ma, kenapa Mama begitu sama kakak? Kakak ipar baru pergi beberapa hari, Mama langsung seperti itu. Kakak kan sedang hamil. Apa Mama mau nanti kakak ipar bawa kakak ke New York lagi?”

“Sebagai suami, sudah tugasnya menafkahi anak dan istri. Kalau dia bisa membawa kakakmu pergi, silahkan saja. Itupun jika perusahaannya tidak bangkrut dan tidak lari begitu saja.”

Mendengar ucapan ibunya membuat Randy menyerit kebingungan. “Perusahaan siapa yang bangkrut? Kakak ipar? Mama dengar dari mana berita itu?”

“Tentu saja dari Bu Nini!” jawabnya cepat. “Mama ketemu Bu Nini dipasar. Dia bilang sama mama kalau perusahaan Alex ada masalah. Anaknya kan satu team audit sama kamu. Masa kamu ngak tahu? Atau sebenarnya kamu tahu lalu menyembunyikannya dari Mama?” tanya Dian penuh selidik.

Kepala Randy langsung berdenyut mendengar deretan pernyataan yang tidak benar itu. Anak Bu Nini, Eka memang satu team dengannya. Eka suka menceritakan pekerjaanya kepada Bu Nini dan membuat hal itu menjadi bahan perbincangan dengan tetangga lainnya. Gara-gara itu, salah satu rahasia perusahaan ritel yang sedang diaudit, bocor begitu saja. Eka sudah mendapat teguran keras karena kecerobohannya itu dan berjanji tidak akan mengulanginya. Tapi ternyata ucapannya sama sekali tidak bisa dipegang.

“Dengar ya, keluarga kita itu susah. Melahirkan itu perlu biaya besar, belum lagi popok, susu dan lain sebagainya. Gaji kamu pas-pasan, belum lagi Nina juga tidak bisa kerja karena ngurusi anaknya. Kalau uangmu nanti habis, bagaimana?”

“Uang, uang, uang terus yang Mama permasalahkan! Apa Mama tidak bisa memikirkan persaan kakak yang mendengarnya?!” bentak Randy.

Benar, sejak dulu ibunya selalu mempermasalahkan uang. Saat ayah meninggal, Dian kerap mengatakan jika tidak ada cukup uang menyekolahkan mereka berdua. Meskipun sudah memberi masukan dengan pindah ke sekolah negeri, Dian tetap bersikukuh ingin sekolah swasta. Menurutnya, sekolah negeri tidak menyediakan fasilitas lengkap seperti sekolah swasta dan hal itu lah yang membuatnya sering meributkan iuran bulanan yang tinggi.

Kakaknya yang kala itu juga masih bersekolah, menyadari hal itu. Dia memilih untuk berhenti dan mencari uang agar bisa menyokong biaya sekolahnya. Meskipun Dian selalu mencemooh Nina karena keputusannya itu, dia tidak pernah mencegahnya. Pernah sekali dia mendengar pembicaraan mereka kalau Dian meminta lebih agar bisa memasukkannya ke salah satu universitas yang bergengsi. Karena itulah Nina mengambil pekerjaan tambahan sebagai buruh cuci piring di pasar malam dan selalu pulang larut.

Sewaktu ia menentang keputusan untuk masuk universitas pilihan Dian, setiap hari dia selalu mengeluh jika pendapatannya kecil. Dian juga keberatan dengan keinginannya yang ini bekerja sambil kuliah. Karena tidak bisa menentang keinginannya, Dian menyuruh Nina membelikannya sebuah motor dan membayar cicilan bulanannya.

Kala itu, Randy ingin memprotes. Dengan kemampuannya, dia sanggup untuk membeli motor itu sendiri. Namun, Dian selalu meminta saat dia tidak ada dirumah. Kakaknya pun selalu menuruti setiap permintaan Dian tanpa memprotes.

“Kakak juga anak Mama! Kenapa Mama benci sama kakak? Memangnya kakak salah apa? Bukankah kakak dulu selalu menuruti keinginan Mama? Kakak juga anak Mama!” Randy tidak bisa menahan amarah yang sudah ditahan sejak lama. Hari ini, dia harus menyelesaikan semuanya. Jika harus memilih, dia akan lebih memilih kebahagiaan Nina daripada menuruti Dian.

“Jangan kurang ajar kamu!” bentak Dian tidak kalah tingginya. “Nina pantas berkorban untukmu! Kamu lupa, gara-gara dia, kamu hampir saja ditabrak! Mama hampir saja kehilangan kamu!”

Pikiran Randy melayang saat umurnya berumur 7 tahun. Masa itu, dia sangat menyukai bermain bola. Setiap sore, dia selalu bermain bola bersama anak-anak tetangga seumurannya. Pernah sekali, mereka nekat main di depan gang. Karena saat itu hari raya, jalanan pun sepi. Seorang anak tidak sengaja menendang bola itu ke jalan raya. Randy berinisiatif ingin mengambil bola itu.

Siapa sangka, sebuah mobil tiba-tiba melesat dengan cepat. Nina yang saat itu juga tengah bermain, segera berlari ke arahnya dan mendorongnya ke seberang. Bunyi klakson panjang menggema sepanjang jalan. Pria yang mengendarainya sempat mengerem sebelum menabarak Nina. Saat Dian datang, pria itu justru marah-marah dengan mengatakan kalau Nina sengaja mendorong Randy ke jalan. Dia yang syok karena kejadian itu juga hanya bisa menangis dan membuat Nina kelihatan seperti orang yang bersalah.

Karena saat itu mereka masih anak-anak, penjelasan Nina tidak didengar. Anak-anak yang lain juga tidak berani membelannya dan hanya menangis. Nina lalu dituduh ingin mencelakainya dan mendapatkan pukulan rotan. Sejak hari itu, tidak ada yang mau berteman dengan Nina dan perlakuan Dian padanya pun berubah dingin. Nina pun berubah menjadi lebih pendiam dan menjaga jarak darinya.

“Kakak tidak salah! Aku yang ingin mengambil bola dan mobil tiba-tiba datang. Kakak sengaja mendorongku agar tidak tertabrak. Kakak menolongku! Kakak sama sekali tidak pernah jahat padaku! Kalau ada yang jahat, itu adalah Mama!”

Sebuah tamparan lalu melayang di wajah Randy. Dia melihat Nina berdiri dihadapannya dengan mata berkaca-kaca. “Kau tidak boleh mengatakan seperti itu pada Mama. Dia sudah susah payah merawat dan membesarkanmu. Kau seharusnya bersyukur.” Setelah mengatakannya, Nina lalu pergi meninggalkan mereka berdua dengan berlinang air mata.

Baik Randy dan Dian, keduanya mematung setelah kepergian Nina. Randy memandang wajah wanita yang telah melahirkannya. Perkataan Nina benar-benar membekas dihatinya. Amarah menguasinya hingga membuatnya lupa diri. Tidak seharusnya dia seperti itu. Dia juga harus memikirkan perasaan Nina.

Memyadari kesalahannya, Randy memilih untuk meninggalkan Dian yang tenggelam dengan pikirannya.

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

2 Komentar

  1. Indah Narty menulis:

    Mumett

  2. Emaknya emang tox** :pedas :pedas