Only You

Only You – Chapter 34

Bookmark
Please login to bookmarkClose

No account yet? Register

0 votes, average: 0.00 out of 1 (0 votes, average: 0.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

1

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Alex tidak bisa mengalihkan perhatiannya dari Nina yang telah mengenakan gaun hitam dan dirias. Tanpa menutupi rasa kagumnya, Alex mengelus punggung Nina yang terbuka dan memberikan kecupan ringan di sana. Rasanya dia ingin membatalkan rencana makan malam dan menikmati kecantikan Nina seorang diri. Alex tidak rela jika pria lain ikut menikmati keindahan yang dimiliki Nina. Hanya dia sendiri yang boleh melakukannya dan mengklaim Nina sebagai miliknya.

“Kau semakin cantik, Sayang.” Biasanya Alex akan malu jika mengatakan sayang kepada orang lain. Tetapi ketika menggunakannya untuk Nina, dia begitu lancar dan merasa panggilan itu sangat cocok. Alex sudah banyak menemui berbagai wanita tetapi tidak ada satupun yang mampu menarik perhatiannya. Hanya Nina, wanita pertama yang sanggup mengganggu pikirannya selama dua tahun.

Sekeras apapun, Alex tidak bisa menghapus sosok Nina dalam pikirannya. Semakin ingin melupakannya, semakin kuat pula rasa rindu yang mengisi relung hatinya. Awalnya dia tidak mau mengakui dan menganggap perasaannya itu hanya sesaat. Namun, setelah dua tahun berpisah, Alex menyadari kalau telah jatuh cinta padanya.

“Ayo, aku ingin mengajakmu ke suatu tempat.”

Nina dengan senang hati menerima uluran tangannya dan memberikan senyuman terbaiknya. Hanya melihat senyuman itu, perasaan Alex menjadi ringan dan berbunga-bunga. Dalam hati, dia berjanji akan menjaga senyuman itu dan membuat Nina bahagia untuk selama-lamanya.

***

Saat memasuki restoran, Nina mengernyit ketika melihat seluruh meja yang sepi. Biasanya restoran ini akan selalu ramai terlebih dengan jam makan malam seperti sekarang. Keadaan restoran yang berbeda membuat Nina meremas suit Alex. Ada sedikit rasa sayang karena tempat yang menyimpan kenangan mereka berdua kini telah sepi.

“Ada apa, Sayang?” tanya Alex ketika melihat raut kesedihannya.

Nina menoleh ke arah Alex sejenak lalu kembali menatap keseluruh ruangan. “Restorannya sepi. Kalau begini terus, cepat atau lambat pasti akan tutup.”

Nina tidak bisa melihat senyuman Alex yang disembunyikan dibalik tangannya. Tanpa rasa curiga, Nina mengikuti Alex hingga ke lantai teratas. Cengkraman Nina menguat ketika melihat betapa gelapnya ruangan.

“Alex, tempat ini terlalu – !” Mendadak lampu menyala dan membuat mata Nina terasa silau. Dia memejamkan matanya erat-erat menahan rasa sakit dari cahaya lampu yang tiba-tiba. Setelah pandangannya membaik, Nina perlahan membuka matanya dan terkesiap melihat sekitarnya.

Meja-meja yang dulunya berada di ruangan itu telah kosong dan hanya menyisakan satu buah meja yang terletak di tengah ruangan. Alex menuntunnya ke meja itu dan menyalakan lilin yang dipajang pada tempat yang mewah. Ketika Nina sedang memandangi pajangan itu, seorang pelayan datang menyajikan makanan. Semuanya tidak berhenti sampai disitu. Seorang pria tiba-tiba muncul dengan biola dalam genggamannya. Pria itu memberi hormat sekali lalu memainkannya.

Nina memejamkan matanya mendengar alunan biola itu. Irama yang dimainkannya merupakan salah satu lagu favorit yang sering di putar di cafe. Nyanyian Ed Sheeran-Perfect itu memiliki makna yang dalam. Siapapun yang mendengarnya pasti berharap memiliki pasangan yang mencintai dengan sungguh-sungguh dan menerima apa adanya.

Terkadang, setiap kali mendengar lagu itu, Nina membayangkan bagaimana masa depannya jika bersama Alex. Melakukan kegiatan bersama, membesarkan anak, dan terus saling mencintai hingga akhir hayat. Tetapi ketika memikirkannya, Nina juga merasa takut. Dia takut jika semua ini hanya mimpi dan esoknya kembali dihadapkan pada kenyataan kalau Alex meninggalkannya. Perasaannya sekarang lebih kuat dibanding dua tahun yang lalu. Jika kali ini Alex juga meninggalkannya, Nina tidak yakin bisa bertahan dengan perasaannya.

“Nina.” Alex menjulurkan tangan untuk mengajaknya berdansa. Dia tersenyum ketika Nina menerima ulurannya dan menariknya mendekat. Alex bisa melihat pipi Nina yang bersemu merah. Aromanya yang feminim membuat Alex tergiur untuk mencium lehernya. Setelahnya, Alex mulai memandu Nina mengikuti alunan musik.

Gerakan Nina yang semula kaku, perlahan-lahan menjadi lebih lentur. Alex senang karena Nina mulai merasa nyaman. Dalam satu gerakan, Alex memutus jarak diantara mereka. Debaran jantung Nina terdengar jelas ditelinganya. Dia tidak bisa mengalihkan pandangannya dari mata cokelat Nina.

Ketika lagu telah selesai, Alex langsung mencium bibir Nina. Bibir Nina begitu lembut hingga membuat Alex tidak ingin melepasnya. Sekarang Alex menyadari, perasaan sesak yang selalu mengganggunya dua tahun yang lalu. Dia mencintai Nina, sangat mencintainya. Tiada hari yang dilewati tanpa memikirkannya. Nina adalah nafasnya, belahan jiwa yang selama ini dicarinya.

Alex mengakhiri ciuman itu secara sepihak. Dia terkejut ketika melihat pipi Nina yang basah oleh air mata. Saat Alex ingin menghapusnya, Nina mendorong dadanya menjauh dan menutup wajahnya.

“Jangan mendekat!” seru Nina ketika Alex ingin mendekatinya. Riasannya menjadi luntur karena tangisannya. Tetapi bukan itu yang membuat Nina sedih melainkan perasaanya yang sudah terlampau jauh kepada Alex.

“Jangan membuatku berharap. Aku … aku … !” Sebelum Nina menyelesaikan kalimatnya, Alex membekap bibir Nina dengan bibirnya. Rontaanya tidak membuat Alex melepaskannya. Sebaliknya, dia justru semakin memperkuat pelukannya dan menciumnya dengan lembut. Ciuman itu membuat Nina sedikit tenang dan memeluk tubuh Alex erat-erat.

“Aku mencintaimu.”

Tubuh Nina menegang mendengar ucapan Alex. Dia menatap mata abu-abu Alex dan berharap kalau pendengarannya tidak salah.

Seolah-olah mengetahui apa yang di pikirkan, Alex menyeka air mata Nina dan mencium tangannya. “Aku mencintaimu. Ingin mengulangnya beberapa kali pun, aku tidak keberatan.”

Tangis Nina kembali pecah. Rasa takut kehilangan Alex sangat berdampak padanya. Dia takut, jika malam ini adalah pertemuan terakhir mereka. Dia takut jika ciuman itu adalah perpisahan dan ketakutan itu semakin nyata dengan pernyataan yang menyahat hati. Namun  semua ketakutan itu sirna. Alex mencintainya.

“Aku juga, aku juga mencintaimu. Tapi aku takut kalau kau akan meninggalkanku.”

“Aku tidak akan meninggalkanmu.” Alex menangkup wajah Nina dan kembali menciumnya. Malam ini, mereka saling mengungkapkan perasaan. Rasa yang selama ini selalu disimpan akhirnya disampaikan. Mereka tidak akan melupakan perasaan ini dan saling berbagi kebahagiaan.

***

Seharian, Nina terus tersenyum sambil merapikan pekerjaannya. Mata yang sembab tidak menjadi penghalang untuk menjalankan hari yang baru terlebih setelah pengungkapan Alex semalam. Nina meraba-raba bibirnya sembari mengingat ciuman yang Alex berikan. Bibir Alex yang terasa penuh, hembusan nafas yang hangat dan wangi parfum maskulin masih teringat jelas di benaknya.

Setelah saling mengungkapkan perasaan, mereka melalui malam dengan makan bersama dan bercerita tentang banyak hal. Alex sampai tidak rela mengantarnya pulang dan memintanya untuk bermalam bersamanya. Nina sempat berpikir buruk karena ajakannya yang tiba-tiba. Namun Alex segera menjelaskan maksudnya jika ingin lebih lama bersamanya.

Nina tentu saja menolak tawaran itu. Dia tidak mau membuat keluarganya khawatir terlebih lagi dengan berbohong. Agar tidak membuat Alex kecewa, Nina berjanji akan menemaninya sepanjang sore dan makan malam dengannya.

“Nina.”

Nina menoleh ke arah pintu dan melihat Anggi yang baru masuk. Dengan kegembiraan yang tidak disembunyikan, Anggi duduk disamping Nina seraya menyodorkan android nya. “Nina, coba lihat ini! Lucu dan keren-keren kan?”

Nina mengangguk sembari memperhatikan gambar-gambar yang ditunjukkan Anggi. Latte art, seni menggambar di permukaan kopi atau busa. Berbagai gambar yang bisa dibuat membuat bentuk kopi menjadi terlihat lebih lucu dan manis. Latte art bukan hanya menggambar, tetapi bisa juga merangkai kata dan menarik banyak peminat. Teknik itu sulit dipelajari dan tidak banyak cafe yang menyediakannya.

“Tapi Gi, ini susah loh buatnya. Kalau gak ahli, gak bisa,” ucap Nina seusai membaca proses pembuatannya. Tiba-tiba, sebuah pikiran terlintas di benak Nina lalu menatap Anggi penuh selidik. “Kamu mau cari orang yang pande bikin ini?”

“Ngak,” jawab Anggi cepat dengan senyum yang masih terukir di bibirnya.

Mata Nina semakin menyipit melihat sikap Anggi yang menyembunyikan sesuatu. “Jadi?”

Senyum Anggi semakin melebar seolah-olah menunggu pertanyaan itu. “Berhubung semua pekerjaanmu hampir selesai, kamu ke New York buat belajar latte art.”

Nina langsung berdiri dari tempatnya dan menatap horor. “Maaf Anggi, aku gak bisa. Lebih baik aku kembali menjadi pelayan dari pada duduk senggang di sini. Aku pasti gak di ijinkan!”

Anggi menarik lengan Nina dan menyuruhnya kembali duduk. “Tenang. Aku udah buatkan surat dinas. Lagi pula kamu ke sana juga bukan buat main. Aku udah temuin cafe yang bersedia ngajarin latte art. Kalau mama mu gak percaya, aku bisa buktikan sekalian video call dengan pemilik yang disana.”

Berbagai pertimbangan langsung menyerang Nina. Dia tidak bisa meninggalkan Mamanya sendiri mengerjakan semua pekerjaan rumah. Dia juga tidak bisa membiarkan Randy sendirian dan harus menyiapkan bekal untuknya. Untuk urasan cafe pun, masih ada yang perlu diperhatikan. Mulai dari kebersihan mesin pembuat kopi, mengecek cara pembuatan kopi dan masih banyak lagi. Belum lagi Nina harus memikirkan biaya penerbangan dan tempat tinggal jika setuju kesana.

“Soal biaya kamu gak usah pusing.” Ucapan Anggi sontak membuat Nina menoleh ke arahnya dengan tatapan terkejut. “Aku udah siapin tiket pergi dan juga hotel. Terus kamu gak perlu takut kesesat. Kan pacarmu orang New York,” lanjut Anggi.

“Pacar? Siapa?” tanya Nina polos.

Anggi menepuk dahinya melihat kepolosan Nina. Padahal kedekatan mereka berdua sudah terlihat jelas. Alex bahkan rela memberikan uang untuk Nina agar tidak terlalu bersusah payah. Anggi menjadi gemas dan menusuk-nusuk pipinya. “Ya Alex lah! Kalian udah pacaran kan? Pulang pergi diantar, siang pun pergi makan berdua. Kemana-mana nempel mulu!”

Mendengar kata pacar dari Anggi, membuat Nina merasa geli. Dia tidak berpikir hubungan mereka seperti orang pacaran. Sebelum mengungkapkan perasaan, Nina menganggap Alex sebagai teman. Selain dari wajahnya yang tampan, Nina mengakui bahwa dia juga menyukai sikapnya yang dewasa yang tenang. Mungkin karena itulah dia jatuh cinta pada Alex terlebih dengan perhatian selalu diberikan padanya.

“Ngelamunin bebeb tersayang? Cie, kasraman banget ni.” Anggi mulai menampakkan wajah ingin tahunya dan tersenyum nakal. Namun, berikutnya sikap Anggi langsung berubah dan menatap Nina penuh selidik. “Kalian ngak lakuin yang macam-macam kan? Meskipun Alex baik, kamu ngak boleh lengah apalagi pas ke New York nanti. Kalau Alex macam-macam, tentang saja burungnya!”

“Hush! Anggi, gak boleh ngomong jorok loh. Kami gak macam-macam kok tapi aku gak janji bisa pergi atau ngak. Aku harus minta ijin dulu.”

Anggi langsung melompat dari tempatnya lalu melingkarkan telunjuk dan ibu jari hingga membuat sebuah lingkaran. Poninya yang rata ditambah posenya yang imut membuatnya terlihat seperti anak kecil. “Ok! Kalau ada apa-apa disana, telepon aku ya. Bila perlu, aku yang jemput kamu pulang!”

Nina hanya tertawa mendengar perkataan Anggi dan selanjutnya menghabiskan waktu dengan mengamati latte art.

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

2 Komentar

  1. Love you

  2. Anggi aku padamuuu….. :lovelove