Only You

Only You – Chapter 32

Bookmark
Please login to bookmarkClose

No account yet? Register

0 votes, average: 0.00 out of 1 (0 votes, average: 0.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

1

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Setelah selesai menghitung pemasukan kas pagi dan mendata barang yang perlu distock, Nina meregangkan kedua tangannya ke atas untuk meredakan badannya yang pegal. Duduk seharian mengerjakan pembukuan sangat berbeda dengan berdiri melayani pelanggan. Banyak yang menganggap jika membereskan pembukuan itu mudah karena hanya duduk dan menghitung menggunakan kalkulator. Berbeda dengan pelayan yang harus seharian berdiri melayani tamu-tamu yang datang. Tetapi sesudah merasakannya langsung, Nina tidak menganggapnya demikian.

Nina lebih menyukai bertemu dengan banyak orang dan berinteraksi dengan mereka. Menurutnya dengan berhubungan langsung dengan mereka, maka dia akan mengetahui berbagai karakter orang. Memang tidak semua pelanggan yang datang adalah orang yang baik. Beberapa dari mereka ada yang sengaja mencari ribut atupun ketus. Namun, Nina menyukainya. Sekasar atau sebaik apapun pelanggan yang datang, dia akan melayaninya dengan baik.

Walau ini bukan pertama kalinya Nina mengerjakan pembukuan, tetap saja dia merasa lelah melihat banyaknya kertas bon yang berserakan. Biasanya Nina selalu mencicil pekerjaannya agar tidak menumpuk dan bisa menyelesaikannya tepat waktu. Tetapi semenjak cafe ramai, Nina tidak sempat untuk mengerjakannya. Kertas-kertas bon pun menjadi bertumpuk dan berdebu karena tidak pernah dibereskan.

Agar pembukuan terus berjalan, Anggi memintanya untuk mengajari dua pegawai lain untuk membuat kopi. Butuh waktu seminggu agar mereka berhasil membuat kopi yang sama dengannya. Setelah itu, Anggi mengalihkan tugasnya menjadi accounting dan membereskan pembukuan yang terbengkalai.

Nina menyandarkan kepalanya pada bahu kursi dan mengamati tempat yang menjadi ruangannya. Tempatnya sekarang sama dengan ruangan yang ditempati Anggi. Ada sekat motif yang menjadi pemisah diantara mereka. Anggi sengaja membuatnya agar jika ada orang yang wawancara kerja tidak akan risih dengan keberadaannya.

Nina menutup mulutnya ketika menguap. Dingin AC membuatnya merasa mengantuk. Dia rindu dengan pekerjaannya sebagai pelayan. Biasanya Nina tidak akan pernah mengantuk karena sibuk melayani tamu yang berdatangan. Kelelahan dalam bekerja pun membuatnya lupa akan lapar.

Nina lalu mengalihkan pandangannya pada jam dinding. Dia lalu bersiap-siap karena sebentar lagi waktunya jam makan siang. Cafe akan mulai ramai dan Nina ingin membantu teman-temannya bekerja. Setidaknya itu akan menghilangkan rasa bosannya setelah lama duduk diam membereskan bon-bon itu.

“Alex?” Ketika Nina hendak turun, pintu diruangannya terbuka dan memunculkan sosok Alex dengan wajah tersenyumnya.

Alex lalu mendekati Nina dan memberikan ciuman di pipinya. “Aku merindukanmu,” bisiknya.

Nina langsung menjauhkan dada Alex dan menutup telinganya. Ada rona merah di pipinya dan dia menatap Alex dengan wajah kaget bercampur horror. “Jangan tiba-tiba berbisik ditelingaku! Bagaimana kalau Anggi lihat? Aku malu!”

Senyuman Alex semakin lebar menampakkan deretan gigi putihnya. Dia lalu mengambil tas punggung Nina yang terletak di lemari dokumen dan menarik lengannya. “Ayo makan siang. Kau pasti sudah lapar kan?”

Nina menarik lengannya dan membuat langkah Alex terhenti. “Ada apa??” tanyanya ketika melihat Nina terlihat ragu.

“Itu, cafe sedang ramai jadi aku ingin membantu teman-temanku. Aku khawatir mereka kekurangan orang dan tidak sempat melayani – “

“Stop!” Anggi tiba-tiba muncul dan memotong ucapan Nina. “Stop! Stop! Stop!” ucapnya berulang kali lalu berdiri dihadapan Nina. “Kamu mau kebawah buat bantu-bantu ya?” tanya Anggi dengan mata menyipit.

Nina mengangguk sebagai jawaban lalu berikutnya Anggi mendorongnya hingga menubruk Alex. “Sana, jalan-jalan. Kalau kamu terus bantu, ntar mereka kebiasaan. Kan aku dah briefing sewaktu pindahin tugasmu. Jadi, istirahat sana. Hush… hush…” Anggi mengibaskan tangan layaknya mengusir binatang.

Nina tidak tersinggung sama sekali karena sudah terbiasa dengan sikapnya. Justru dia bingung karena mengetahui dengan pasti bagaimana sibuknya cafe dijam-jam seperti ini. Dulu saat Anggi sudah membantu, mereka masih saja kerepotan. Bagaimana jika dia tidak ada?

“Kalau begitu, kami istirahat dulu. Sampai jumpa.” Sebelum Nina memprotes, Alex lebih dulu menarik lengannya keluar. Nina hanya bisa melihat Anggi melambaikan tangan dengan senyum puas. Mereka turun melewati tangga belakang untuk menghindari pria-pria yang menyukai Nina.

Alex tahu jika Nina tidak ingin ada gosip tidak enak tentangnya bersama laki-laki asing. Karena itu, dia memberikan topi untuk dan kacamata hitam untuk menyamarkan wajahnya. Walaupun ada beberapa tamu yang parkir di belakang, tidak ada satupun yang mengenalinya. Setelah mereka menjauh dari cafe, barulah Nina melepaskan topi dan kacamatanya.

“Aku heran, padahal cafe kekurangan orang. Kenapa Anggi tidak mau membiarkanku membantu? Bagaimana kalau nanti mereka salah membuat kopi? Apa semua kotak tisu sudah diisi ulang? Siapa yang akan mengecek stock kalau semua – !”

Alex meletakkan telunjuknya di bibir Nina dan membuatnya berhenti. Keadaan lalu lintas yang tengah merah membuat tangannya meraih tangan Nina dan menggenggamnya. “Jangan khawatir. Anggi pasti bisa mengatasi semuanya dengan baik. Sebelumnya aku dengar kalau pak Suryo akan datang membantu.”

“Darimana kau tahu?” tanya Nina penasaran. Dia mulai tenang ketika meraskan hangatnya genggaman Alex.

“Aku mendengarnya dari Anggi. Sebelum mengajakmu, aku berbincang dengannya sebentar. Dia juga bilang kalau nanti ada interview dengan calon karyawan.” Alex melepaskan genggaman tangannya ketika lampu telah hijau dan menjalankan mobilnya.

Raut wajah Nina berubah kecewa dan mengalihkan pandangannya pada jalanan. “Kenapa aku tidak tahu?”

“Mungkin, Anggi tidak ingin menambah beban pikiranmu,” jawab Alex asal. Dia tahu pasti alasan dibalik semua keputusan Anggi karena dialah yang meminta.

Melihat wajah Nina yang tidak bersemangat, Alex memberikan ciuman dipipinya ketika jalanan macet. Perbuatannya sukses membuat Nina melompat terkejut dan menatapnya marah. Wajahnya yang semerah tomat tidak bisa menyembunyikan betapa malu dirinya. Alex tertawa pelan melihat sikap Nina yang menggemaskan.

“Sekarang, waktunya istirihat jadi jauhkan pikiranmu dari pekerjaan. Kecuali jika hanya aku yang ada dipikiranmu, aku mengizinkannya.” Alex memberikan senyum terbaiknya yang mampu meluluhkan Nina. Nina hanya mendengus pelan dan membaringkan kepalanya pada lengan kekarnya.

***

Alex mengajak Nina mengunjungi Mall Taman Anggrek. Selain makan siang, dia juga ingin mengajaknya jalan-jalan. Alex memperhatikan barang-barang yang dikenakan Nina tidak berubah dari 2 tahun lalu. Mulai dari tas, sepatu hingga pita yang diberikannya masih sama hingga sekarang. Nina pasti berhemat sehingga tidak mementingkan kebutuhannya sendiri.

Saat makan bersamanya pun, Nina masih terlihat segan memesan makanan. Makanan yang dipilihnya selalu merupakan harga terendah. Alex sampai harus memaksa agar Nina memilih makanan yang diinginkannya. Setelah menghabiskan makan siang, Alex lalu mengajak Nina mengelilingi toko sepatu.

“Apa ada yang kau inginkan?” tanya Alex ketika melihat Nina memperhatikan deretan sepatu olahraga yang dipajang.

“Tidak ada. Harganya mahal dan sepatu adikku masih bagus.”

Jawaban Nina membuat Alex merasa geram. Sampai sekarang, Nina masih mengutamakan adiknya. Dalam hati Alex memuji, betapa beruntungnya mempunyai kakak seperti Nina yang selalu memikirkan adiknya. Tetapi sayang, semua pengorbanannya tidak dianggap.

“Bukan untuk adikmu tapi untukmu. Sepatu yang kau pakai sudah usang. Sudah waktunya kau menggantinya.” Alex lalu mengambil sebuah sepatu kets dan memberikannya pada Nina. “Cobalah. Kau tidak perlu memikirkan soal harga. Aku yang membelikannya untukmu.”

Nina melirik laber harga yang tertera. Harga sepatu itu hampir separuh dari gajinya. Dengan harga semahal itu, Nina bisa membayar listrik dan membeli kebutuhan harian. Jika dia membeli sepatu semahal itu, mama pasti akan marah. Randy pun pasti akan merasa iri karena sepatu yang dikenakannya lebih mahal dari miliknya.

Nina lalu mengembalikan sepatu itu dan menarik lengan Alex keluar. Dia tahu kalau Alex hendak memprotes, namun Nina tetap memaksa untuk pergi sambil menundukkan wajahnya.

“Nina -“

“Cukup,” potong Nina. “Aku tidak apa-apa. Tidak perlu sengaja membelikan sepatu mahal itu. Lihat, punyaku masih bagus.” Nina melangkah ke hadapan Alex agar bisa melihat semua yang ada pada dirinya. “Aku sudah memiliki apa yang aku butuhkan. Bersamamu, semuanya menjadi lebih lengkap. Aku tidak membutuhkan apapun. Seperti ini saja, aku sudah puas.”

Senyum tulus Nina mampu membuat Alex luluh. Senyum itu juga yang membuat Alex semakin yakin jika Nina adalah wanita yang tepat dalam hidupnya. Dia selalu menunggu saat-saat bertemu Nina dan berdebar-debar di didekatnya. Setiap hari, Alex merasa kurang jika waktu berpisah dengan Nina telah tiba. Dia tidak rela melepaskan Nina dan ingin terus bersamanya.

Alex menikmati setiap waktu yang dilaluinya bersama Nina. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana jika harus menjauh darinya. Alex bersumpah tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Selama keberadaannya disini, dia akan melakukan apapun untuk membantu Nina . Setelahnya, Alex berjanji akan memberikan akhir yang bahagia untuknya.

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

1 Komentar

  1. Indah Narty menulis:

    Pusing kepala