Only You

Only You – Chapter 31

Bookmark
Please login to bookmark Close

0 votes, average: 0.00 out of 1 (0 votes, average: 0.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

1

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Menjelang jam 9 malam, cafe cinta mulai sepi. Banyak pelanggan telah selesai makan malam dan hanya tinggal beberapa yang duduk bersantai atau berkumpul dengan teman. Nina mengeringkan gelas dan menatanya pada lemari kaca yang sengaja dipajang. Ketika bunyi pintu terbuka, Nina langsung menghentikan kegiatannya untuk menyambut tamu. Senyumnya menjadi kaku ketika melihat sekelompok remaja yang datang.

Seorang remaja berambut cepak langsung berdiri di depan kasir dan bersiul ketika melihatnya. “Woah Ran, kakakmu cantik juga ya. Lebih cantik dari pada difoto benar gak?” Teman-teman yang mengikuti dari belakang ikut bersorak dengan semangat. Randy yang berdiri diantara mereka hanya diam dan menatap Nina dengan datar.

“Kak, boleh minta no wa nya gak? Ayolah, jangan pelit sama kami. Ngak akan kami sebarin kok ya.” Remaja itu menempelkan kedua tangannya seolah-olah memohon padanya. Teman-temannya yang lain ikut menyemangati dan merekam kejadian itu.

“Maaf dek, nomor wa saya bukan untuk publik. Tolong matikan rekamannya dan silahkan memesan minuman.” Nina dengan halus menolak mereka dan tetap tersenyum sesuai dengan etika kerjanya.

“Jiah, gak seru! Padahal aku udah pake mohon loh. Pelit banget sih! Ran, berapa no wa kakakmu?” Remaja berambut cepak itu merangkul pundak Randy sambil mengambil hpnya.

Randy melirik ke arah Nina sejenak lalu mengambil hpnya. Sebelum Randy memberitahu nomornya, Anggi datang dengan suara tingginya.

“Hey, bocah! Mau beli kopi apa ribut? Kalau mau kopi, pesan yang cepat! Kalau mau ribut, keluar sana!” serunya memekakkan telinga.

Randy dan remaja-remaja lainnya sampai menutup telinga untuk meredam suara Anggi. Namun sayang, hal itu tidak bisa meredam suara Anggi yang menggelegar. “Disini bukan tempat foto model! Kalau mau berpose-pose ya diagensi model bukan disini!” teriak Anggi lagi.

“Wah, payah ni cafe. Masa pelancak marahi pelanggan. Saya lapor sama bos mu ya!” ancam remaja berambut cepak itu.

“Gue pemiliknya, bocah laknat! Pergi kalian dari cafe ku!”

Remaja-remaja itu langsung lari pontang panting mendengar makian Anggi. Randy masih mematung ditempatnya. Saat dia ingin meninggalkan cafe, Nina memanggilnya.

“Randy.”

Randy berhenti melangkah dan menoleh ke arah Nina.

“Udah makan? Mau kakak buatkan apa?” tanya Nina yang mendekat ke arahnya.

“Gak usah kak. Aku kenyang.” Randy lalu menundukkan wajahnya dan menggigit bibir bawahnya. “Kak, nanti aku juga gak bisa-“

“Halah, alasan!” Anggi memotong ucapan Randy dan menatapnya dengan malas. “Alasanmu basi. Ntar gua yang antar Nina pulang. Udah biasa pun!” ucap Anggi ketus lalu meninggalkan kakak beradik itu.

Nina menepuk pundak Randy yang langsung ditepis olehnya. Ada rasa perih ketika Randy menolaknya. Bukan hanya hubungan dengan mamanya yang memburuk, hubungannya dengan Randy pun ikut retak.

Nina selalu merenung dimana letak kesalahannya. Apakah usahanya selama tidak cukup untuk keluarganya? Nina lelah terus berada disituasi seperti ini. Rasanya dia ingin mengikuti saran Tommy untuk pindah rumah dan menjalani hari-harinya dengan tenang.

“Nanti pulangnya hati-hati ya.” Nina memberi nasehat yang tidak digubris olehnya. Randy langsung meninggalkan cafe dan mencari teman-temannya.

Nina kembali melanjutkan pekerjaanya dan melihat anak-anak kuliah lain yang sedang berbincang-bincang sambil mengerjakan tugas. Ada rasa iri ketika Nina melihatnya. Sejak dulu dia ingin sekali merasakan rasanya menjadi mahasiswa. Jika waktu bisa diputar, Nina ingin kembali bersekolah. Tapi kini semua itu telah pupus. Keinginannya, selamanya tidak akan terwujud. Randy masih membutuhkannya dan dia tidak bisa menginggalkannya begitu saja.

“What are you thingking?”

Nina menoleh dan menemukan Alex yang berada disampingnya. Dia menggeleng sekali dan menyusun gelas-gelas yang sudah dikeringkan ke dalam rak. Alex sejak tadi telah datang dan menunggunya. Siang tadi, setelah berbicara dengan Anggi dan Suryo, Alex meninggalkan cafe untuk menyelesaikan urusannya. Dia kembali saat jam makan malam dan menunggunya sejak saat itu.

Alex bergerak kesamping Nina dan membantunya menyusun rak yang tinggi. Dalam jarak sedekat itu, Nina dapat mencium aroma parfum Alex. Dia lalu tersenyum karena selera Alex tidak banyak berubah dari dulu.

“Apa yang lucu?” tanya Alex ketika menyadarinya.

“Seleramu tidak banyak berubah. Dari pakaian sampai parfum masih sama seperti dulu.” Nina meletakkan gelas yang terakhir lalu menatap Alex. “Yang berubah itu hanya wajahmu. Awalnya seperti gembel. Sekarang sudah lebih baik,” kekeh Nina.

Alex meletakkan gelas terakhirnya dan bersandar pada meja pesanan. Posisinya yang berdiri dengan sedikit membungkuk itu membuatnya terlihat sesksi. Belum lagi jasnya yang sangat pas ditubuhnya, membuat otot-otot yang dilatihnya selama bertahun-tahun tercetak jelas. Senyumnya yang menampakkan baris gigi putihnya membuatnya tampak sangat menawan.

“Jadi, sekarang aku semakin tampan?” pujinya pada sendiri.

“Well, that’s secret.” Nina terkekeh lalu merapikan kumpulan tisu yang berserakan.

Alex berdiri di belakang Nina dan membuatnya tampak kecil. Dia terus memperhatikan Nina melakukan pekerjaanya dengan serius. Ketika Nina ingin memungut selembar tisu yang jatuh, Alex juga ikut melakukannya hingga tangan mereka bersentuhan. Mereka saling menatap lama sampai Alex bergerak mendekatkan wajahnya. Nina tidak menghindar. Dia menutup matanya menunggu apa yang sudah diketahui selanjutnya.

“Ahem!”

Alex dan Nina sama-sama terlonjak kaget hingga kepala mereka saling terbentur. Anggi berdiri dihadapan mereka sambil bersedekap dada dan mata menyipit. Pandangannya lalu beralih kepada Alex seolah-olah ingin menelannya bulat-bulat.

“Udah selesai beres-beresnya Nin? Karena udah sepi, aku mau tutup cafe.” Anggi selalu memeriksa pekerjaan setiap pegawai sebelum menutup cafe. Waktu tutup cafe tidak pernah tetap tergantung dengan keadaan. Kadang bisa lebih cepat atau lebih lambat. Jika lama tutup, Anggi selalu meprioritaskan pegawai perempuan dengan mengantar pulang.

Ditempatnya, Alex mengutuk karena Anggi datang diwaktu yang tidak tepat. Nina segera membereskan tisu terakhir dan meletakkan pada tempatnya. “Sudah, Gi.”

“Oke, yuk pulang. Soalnya tinggal kamu aja. Yang lain udah pada cabut tadi sewaktu kalian jongkok ngambil tisu.”

Nina menggaruk tenguknya yang tidak gatal. Dia sudah menduga kalau tadi Anggi melihatnya. Seharusnya tadi, dia tidak membiarkan Alex melakukannya. Perasaannya yang campur aduk membuatnya sulit mengontrol diri.

“Nina pulang denganku,” ucap Alex seraya merangkul Nina.

Anggi yang melihat itu pun, melepas rangkulan Alex dan memeluk Nina. “Enak aja main rangkul-rangkul. Biasanya gua yang antar Nina pulang. Lu aja yang balik. Dasar bule sinting!” cercanya.

“Anggi!” panggil Nina seraya melepaskan pelukannya. “Kamu gak boleh gitu sama yang lebih tua. Mulut kamu pedas tapi hatimu selalu berkata lain. Cobalah untuk berkata lebih halus. Aku yakin orang tuamu dan pak Suryo pasti senang melihat perubahanmu,” nasehat Nina.

“Ya baiklah tapi tetap saja mana mungkin aku biarin aku pulang sama dia. Kalau kamu diapa-apain gimana?” bantah Anggi yang bersikukuh ingin mengantarnya pulang.

Nina tersentuh dengan kebaikan Anggi. Ketika keluarganya bersikap dingin padanya, justru orang lainlah yang sangat perhatian padanya. Nina senang hingga mengelus kepala Anggi yang lebih berumur darinya. “Aku tahu Alex orangnya gimana. Dia gak akan berani macam-macam sama aku. Kalau dia berani, akan kupatahkan hidungnya.”

Ancaman Nina membuat Alex menyentuh hidungnya. Dia bergidik ngeri membayangkan hidungnya patah, terlebih akibat perbuatan Nina. Alex masih mengingat pria yang dulu hampir memperkosa Nina. Wajah pria itu babak belur dengan gigi depan yang patah. Pria itu bahkan masih tidak sadarkan diri setelah mendengar suara kencang dari motor pemilik para preman itu melesat pergi.

“Tuh, lihat. Alex takut sama aku jadi kamu tenang aja,” ucap Nina meyakinkan Anggi.

Anggi terpaksa menyerah dan memberikan peringatan kepada Alex sebelum meninggalkan mereka. “Awas ya kalau ada apa-apa sama Nina. Gua kebiri lu!”

Alex mengangkat sebelah alisnya, tidak mengerti apa yang dimaksudkan Anggi. Setelah Anggi mengambil kunci cafe, Nina berbisik berbisik ditelinga Alex untuk menjelaskan artinya.

“She say, she want to cut your junior.”

“What?!” Alex langsung membelalakkan mata tidak percaya. Reaksi Alex membuat Nina tertawa terbahak-bahak sambil menyiapkan barang-barangnya. Sampai cafe tutup pun, Nina masih tertawa mengingat wajah Alex yang menurutnya lucu.

***

“Adikmu, Randy, apa dia kuliah di tempat itu?” Alex membuka percakapan setelah mereka berada di dalam mobil.

Nina memangku tasnya dan menyandarkan punggungnnya pada kursi yang empuk. “Ya. Dia kuliah malam dan paginya bekerja. Awalnya mama menyuruhnya kuliah universitas lain tapi dia tidak mau. Randy ingin bekerja sambil kuliah untuk menutupi biayanya,” jelas Nina.

“Lalu pulang nanti dia menggunakan apa?” Alex sudah mengetahui jawabannya. Dia sengaja bertanya agar bisa mendengar langsung penjelasan Nina mengenai keluarganya.

“Dia ada motor. Aku yang membelikannya semenjak dia lulus SMA. Masih kredit tapi sebentar lagi cicilannya lunas,” jawabnya singkat.

“Apa kau ikut membantu membayar uang kuliahnya?”

Nina menggeleng lalu menyandarkan kepalanya pada bahu Alex. “Tidak. Dia membayar uang kuliahnya sendiri. Aku hanya membantu membelikannya motor. Ponsel dan laptop dia sudah punya dari hadiah ulang tahunnya.”

“Apa ibumu yang membelikan untuknya?”

Kali ini Nina tersenyum kecil lalu memejamkan matanya. “Aku yang memberikannya padanya. Randy membutuhkannya agar mudah mengerjakan tugas dan tidak ketinggalan trend. Tapi sekarang ponsel itu sudah ketinggalan jaman. Randy menyimpannya di rumah dan membeli ponsel baru.”

Setelah mendengarkan penjelasan Nina, Alex menyimpulkan kalau Randy adik yang setengah manja. Mengenyam pendidikan disekolah yang elit pasti membutuhkan gaya hidup yang tinggi. Alex sudah membaca laporan yang diberikan detektif itu dan terkejut melihat uang sekolahnya. Baginya memang tidak seberapa, tetapi biayanya setara dengan gaji Nina sebulan di betamart.

Pantas saja Nina mencari pekerjaan tambahan. Dia membutuhkannya untuk membelikan Randy hadiah. Biaya untuk naik kelas pun memaksanya untuk bekerja lebih agar memenuhi pendidikannya. Bukan salah Nina jika dia memutuskan untuk berhenti sekolah. Dia tahu jika ibunya tidak akan sanggup untuk memenuhi pendidikan mereka berdua karena itu Nina memutuskan untuk berhenti dan membantu biaya pendidikan adiknya.

Ketika Alex sibuk dengan pikirannya, Nina menyelipkan tangan kanannya pada lengan kiri miliknya dan memeluknya erat. “Alex, pelan-pelan saja nyetirnya. Aku mau istirahat sebentar.”

Melihat Nina yang telah memejamkan mata, Alex memberikan kecupan didahinya dan berbisik pelan. “Istirahatlah, sayang.”

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

2 Komentar

  1. Indah Narty menulis:

    Alex sweet

  2. Tks ya kak udh update.