Only You

Only You – Chapter 23

Bookmark
Please login to bookmark Close

0 votes, average: 0.00 out of 1 (0 votes, average: 0.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

1

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Hari-hari berlalu dengan cepat. Tidak terasa Nina sudah menghabiskan waktunya seminggu bersama Alex. Setiap hari, Alex selalu menjemputnya dan mengantarnya pulang. Sebelum melanjutkan pekerjaan selanjutnya, Alex juga selalu mengajaknya makan malam ataupun mengunjungi tempat-tempat lainnya.

Nina tentu merasa senang. Sudah lama dia tidak merasa sebebas dan sebahagia ini. Dia bisa melupakan sejenak hari-harinya yang selalu dipenuhi tekanan dan kritikan. Tidak apa jika kebahagian ini tidak berlangsung lama. Setidaknya dia bisa merasakan ketenangan setelah kepergian papanya.

“Kau lebih terlihat seperti paman-paman kaya daripada daddy. Rambutmu kan masih hitam. Jadi paman lebih cocok,” ucap Nina sambil tertawa.

“Apa wajahku setua itu? Aku ini masih berumur 25 tahun loh,” balas Alex menghentikan mobilnya ketika lampu merah.

“Tapi kau kelihatan seperti umur 30an. Rata-rata tampang orang bule memang boros ya, ha ha ha!” Nina tertawa keras setelahnya.

Tiba-tiba tangan kiri Alex menjulur didepannya dan tangan kanannya menekan sisi kursi. Alex mendekatkan wajahnya pada Nina dan menyudutkannya hingga ke pintu. “Menurutku, kau tidak terlihat gadis sekolahan. Kau terlihat dewasa.” Alex membisikkan tiga kata terakhir di telinga Nina dan meninggalkan rasa panas disana. Dia kembali pada posisinya ketika lampu berubah hijau.

Ditempatnya, jantung Nina berdetak tidak karuan. Bisikan Alex masih terngiang-iang ditelinganya. Orang-orang memang selalu mengira umurnya yang sudah dewasa karena postur tubuhnya yang tinggi. Hal itu menjadi nilai lebih karena Nina memanfaatkannya untuk mencari pekerjaan walaupun belum memiliki tanda mengenal. Teman-teman sekolahnya dulu juga mengatakan kalau dia cocok menjadi model karena memiliki postur yang bagus dan wajah yang cantik.

Nina tidak pernah menganggap dirinya menarik ataupun cantik. Dia menganggap dirinya biasa-biasa saja dan tidak memiliki kelebihan apapun. Biasanya perempuan seusianya mulai tertarik dengan make-up dan mulai belajar untuk memakainya. Sayangnya Nina tidak pernah berpikir untuk berdandan. Ada pun sisa uang selalu disisihkan untuk keperluan rumah atau Randy. Pernah sekali Nina menggunakan lipstik milik sesama pegawai dibetamart karena dipaksa. Setelah itu Nina tidak pernah menggunakannya lagi.

“Apa kau marah?” tanya Alex karena Nina sedari tadi tidak berbicara.

Nina menggeleng untuk menjawab dan menatap lurus pada jalanan. Ada satu pertanyaan yang mengganggu Nina dan dia takut untuk bertanya. Tanpa sadar Nina meremas seatbelt nya dengan keras dan membuatnya menjadi kusut.

“Apa yang kau pikirkan?”

Pertanyaan tiba-tiba Alex membuat Nina terperanjat terkejut. Nina menebak-nebak apakah Alex bisa membaca pikiran atau ekpresinya yang mudah terbaca. Apapun itu, Nina tidak menyangka kalau Alex akan menyadarinya. Cepat-cepat dia melepaskan genggamannya dan mengalihkan pernyataan lain.

“Sepertinya mau hujan. Tadi aku melihat kilat,” ucap Nina asal. Tidak lama setelahnya kilat benar-benar muncul di iringi dengan petir. Nina merasa lega karena timing yang benar-benar pas.

Alex melirik ke arah langit dan kembali memfokuskan pandangannya. “Biasanya kalau hujan, bagaimana caramu pulang?” tanyanya.

“Aku akan menunggu sampai hujan reda. Kalau hujan seharian, aku akan pulang subuh,” jawab Nina cepat.

“Dan setelah itu kau kembali bekerja?” tanya Alex lagi.

Nina mengangguk sebagai jawaban. Dia menyadari jika kepalan tangan Alex pada setir mobil mengerat. Nina menundukkan kepalanya karena sepertinya telah salah berbicara.

“Kau wanita yang tangguh. Aku kagum padamu. Melakukan semuanya sendiri dan tidak pernah mengeluh. Sesulit apapun itu, kau pasti akan bertahan. Sifatmu itu seperti seorang pejuang.”

Penuturan Alex membuat Nina tersenyum. Memang benar, dia sudah terbiasa untuk berusaha sendiri. Nina memang tidak mudah bergantung pada orang lain termasuk menetapkan hatinya. Tetapi soal hati siapa yang tahu. Buktinya sekarang dia menyukai seorang bule yang tidak mungkin membalasnya.

“Apa kau yakin tidak mau melanjutkan pendidikanmu? Aku bisa membantumu,” tawar Alex.

“Sekarang kau terdengar seperti sugar daddy,” tawa Nina. “Tidak, terima kasih. Aku tidak mau menambah bahan omongan orang dibelakangku. Lagi pula aku juga sebenarnya tidak menyukai sekolah. Aku lebih cocok bekerja.”

Hal lain yang dipelajari Nina selama bekerja adalah berkilah. Awalnya dia tidak terbiasa untuk berbohong namun lama-lama dia bisa melakukannya. Tidak selamanya berbohong adalah dosa. Kadang ada baiknya berbohong demi orang lain ataupun diri sendiri.

Alex menangkap nada kesedihan dibalik senyuman Nina. Tidak ingin mendesaknya lebih jauh, Alex memilih diam selama perjalanan dan berdebat dengan pikirannya. Tepat saat Alex memakirkan mobilnya, hujan turun. Nina buru-buru turun dan meninggalkannya menuju tempat kerja.

Alex mengerutkan alis melihat sikap Nina. Namu hal itu segera terjawab dengan banyaknya pelanggan yang datang untuk berteduh ataupun mencari makanan hangat. Pandangannya tidak bisa lepas dari Nina yang sedari tadi melayani tamu tanpa henti.

Tanpa sadar sebuah senyuman tercetak diwajah Alex. Dia menyukai sosok Nina dan pribadi yang kuat. Sempat terbesit keinginan untuk memilikinya. Namun Alex membuang pemikiran itu jauh-jauh. Karena baginya hanya dengan melihat Nina sudah cukup.

***

“Trims Alex. Hati-hati dijalan ya.” Nina sudah bersiap untuk turun sebelum lengannya kembali ditahan Alex.

“Apa kau yakin tidak mau payung?”

“Tenang saja. Aku kuat kok. Hanya terkena sedikit hujan tidak akan membuatku sakit.”

“Baiklah.” Alex mendekatkan wajah Nina lalu mencium keningnya. Dia juga mengusap kepala Nina dan tersenyum geli ketika melihat ekpresi bengongnya. “Selamat malam Nina. Semoga tidurmu menyenangkan.”

Nina terdiam tanpa mampu berkata apa-apa. Dia lalu turun dari mobil dan dengan setengah berlari menyebrang. Saat sampai didepan rumah, Nina keheranan karena lampu ruang tengahnya masih menyala. Rasa penasarannya terjawab ketika menemukan Randy yang berada ditengah ruangan.

“Loh Randy, tumben belum tidur?”

Randy yang tengah mengelap rambut, menghentikan kegiatannya dan menoleh ke arahnya. “Ini baru pulang dari rumah teman. Hujannya lebat jadi nunggu reda dulu.”

Nina hanya memberikan anggukan dan memperhatikan seluruh ruangan mencari seseorang. “Mama mana?”

“Lagi nyiapin air panas buat mandi.” Randy lalu memperhatikan jam dan pakaian Nina yang tidak terlalu basah. Biasanya, kakaknya akan pulang lebih lama jika hujan. Kalaupun pulang subuh, biasanya pakaian Nina akan penuh dengan keringat tetapi kali ini tidak. Hanya beberapa tetes hujan yang tercetak dibajunya dan kakaknya tidak terlihat begitu melelahkan karena pulang jalan kaki.

“Tumben kakak pulang cepat. Diantarin pakai mobil ya?”

Nina meletakkan tas punggungnya dan mengeratkan pita rambutnya yang longgar. “Iya. Soalnya bos kasihan lihat aku pulang hujan-hujanan jadi diantarin,” kilahnya.

“Baguslah jadi gak capek jalan pulang.” Setelah itu, Randy kembali melanjutkan kegiatan selanjutnya sampai Helen muncul dari belakang.

“Randy, air sudah siap. Mandi sana,” instruksi Helen.

“Iya ma,” jawab Randy singkat lalu menuju kamar mandi.

Ketika melihat Nina sudah berada dirumah, reaksi Helen sama dengan Randy sebelumnya. “Tumben kamu pulang cepat. Kok gak basah?”

“Diantarin bos pulang, ma. Bos kasihan lihat aku nunggu hujan reda,” jawab Nina.

“Lalu kamu gak kasihan sama Randy? Harusnya kamu minta bos juga antarin Randy. Lihat jam berapa ini, baru sekarang dia sampai dirumah hujan-hujanan lag,” gerutu Helen.

Nina hanya menundukkan kepalanya tidak berani menjawab. Dia sudah biasa menerima perlakuan yang berbeda. Mau Nina lama pulang atau tidak, Helen tidak tidak pernah memberi perhatian padanya. Baginya, Randy adalah segalanya. Tentu saja Nina tidak berani jujur tentang Alex. Dia sudah dapat menebak bagaimana reaksi Helen dan para tetangga nanti. Lebih baik diam daripada menambah masalah.

“Dikasih tahu malah bisu. Untung kamu gak sekolah lagi. Tinggi-tinggi belajar cuma jadi anak pembangkang!” Helen lalu berjalan melewati Nina dan masuk kekamar.

Nina menggigit bibir bawahnya menahan kekecewaannya. Sikap Helen padanya semakin hari semakin buruk. Nina bahkan tidak tahu apa yang harus dilakukannya untuk memperbaiki hubungan mereka.

“Aku harus bagaimana?” gumam Nina sambil menutup matanya.

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

6 Komentar

  1. Alex mulai berani sekarang, udah mulai cium kening. ?

  2. Indah Narty menulis:

    Alexx sweet

  3. Duhhh emaknyaaa :pedas :pedas

  4. Natazsa Puri Gracia menulis:

    Kayaknya Helen itu mama tiri ya

  5. Tks ya kak udh update.

  6. Tks y kak udh update