Red Prince

The Red Prince | Part 10 : Pilihan Azure

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

red prince cover - CopyRed 2

11 votes, average: 1.00 out of 1 (11 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

“Perempuan klan hijau yang telah diberi ramuan agar berubah menjadi klan biru itu telah tertangkap oleh para pemimpin klan lainnya di hutan lebat.”

Salah seorang pelayan dengan pakaian hitam-hitamnya yang panjang hingga ke lantai, tampak tengah berlutut dengan kedua tangannya yang menghormat di depan tubuh. Laki-laki itu berucap sembari menunduk.

Sosok laki-laki tua yang duduk di sebuah kursi mewah berwarna hitam itu menatap si pelayan kemudian. Wajahnya yang sedikit berkerut dengan jenggot panjang menjuntai hingga setengah dada itu terlihat tengah berpikir.

“Para lelaki klan biru itu berhasil. Apakah mereka menempatkannya di kastil merah? Atau kastil putih? Bagaimana Reddish?” tanyanya kemudian dengan nada menyelidik.

“Para dewan warna menempatkannya di ruang tahanan kastil putih, Tuan. Sementara Reddish telah kembali ke kastil merah setelah melakukan kunjungan,” jelasnya singkat.

“Reddish menerima begitu saja? Apakah bocah itu tampak protes hingga terjadi semacam keributan? Biasanya Reddish akan meledak-ledak saat dirinya tertekan.” Laki-laki tua itu berkata sambil mengelus jenggot panjangnya dengan nada yakin, tetapi jawaban dari pelayannya kemudian membuatnya mengerutkan kening.

“Sepertinya … eh, begitu, Tuan. Reddish telah melihat perempuan klan biru itu lalu melakukan pertemuan dengan para dewan warna di ruang aula. Tidak terjadi apa-apa di sana. Reddish keluar dari ruangan itu dengan sikap damai.”

Dirinya semula mengira jika Reddish sengaja mengulur waktu untuk menemukan perempuan klan biru itu karena ia menolak keras pernikahan karena kepentingan negeri itu. Bocah tengil itu pastilah masih ingin seluas-luasnya menghirup udara kebebasan tanpa terkekang oleh peraturan pernikahan. Jiwa mudanya masihlah ingin bertualang dan memaksimalkan waktunya untuk memimpin negeri langit ini dengan tanpa banyak aturan yang mengikat.

Apalagi para lelaki klan merah memang sejak dulu kala dikenal tak begitu suka dengan makhluk perempuan. Bagi mereka, makhluk dengan tubuh kecil dan berambut panjang itu adalah makhluk yang sangat merepotkan. Laki-laki klan merah biasanya akan menikah di saat usia mereka telah matang.

“Reddish bodoh itu ….” Tubuh laki-laki tua itu sedikit bergerak-gerak pada bagian bahu dengan sebelah tangannya yang menutup mulut.

Pelayan klan hitam yang merasakan nuansa aneh dari tuannya di depannya itu akhirnya memberanikan diri menengadah. Pada saat itulah suara tawa meledak dari mulut tuannya. Lelaki tua itu terbahak hingga seluruh tubuhnya tampak bergerak. Tawanya tampak puas hingga membuat pelayan muda itu mengerutkan kening karena baru kali ini ia melihat tuannya itu berekspresi sedemikian rupa.

Beberapa saat setelah tawanya mereda, lelaki itu akhirnya berkata dengan angkuhnya. “Ah, ternyata semudah itu saja. Reddish ternyata tak segarang yang aku kira. Dia bisa-bisanya tertipu dan langsung mau menikahi perempuan itu,” ujarnya terkekeh-kekeh lagi. “Oh, sungguh aku telah membuang-buang waktuku untuk khawatir,” imbuhnya dengan nada riang.

“Sekarang, di mana Onyx? Apa yang sedang dia lakukan? Kenapa hanya kuminta untuk menikahi perempuan klan biru itu saja dia lama sekali?”

“Onyx masih berada di dunia manusia, Tuan. Sepertinya dia betul-betul menginginkan Azure dengan segenap perasaannya. Dia berkata bahwa Azure adalah perempuan yang ia cintai, sehingga ia akan membawa perempuan klan biru itu perlahan-“

“Ah, lambat sekali! Cepat suruh dia menghadapku. Aku ingin mendengar kabar tentang perempuan itu yang mampu sembuh secepat kilat setelah mendapat serangan dari Onyx waktu itu. Suruh Onyx kemari sekarang juga!” perintahnya dengan nada marah.

“Ba-baik, Tuan Crow. Saya akan memanggil Onyx untuk menghadap,” jawabnya dengan terbata setelah kemudian cepat-cepat berdiri kembali, mengangguk sebagai tanda patuh dan berjalan dengan langkah lebar menuju pintu lalu menutupnya kembali. Membuat ruangan itu kembali temaram oleh lampu kecil di sudut ruangan yang hampir-hampir tak terlihat saking redupnya.

Onyx. Sepertinya bocah itu benar bersungguh-sungguh dengan ucapannya atas nama cinta kepada Azure. Apa sebenarnya keistimewaan perempuan klan biru itu? Mengapa Onyx begitu tergila-gila hingga betul-betul membuatnya tak waras dengan mengorbankan segalanya?

***

Candy tengah duduk manis di kursi kerjanya sambil bersenandung. Kedua tangannya yang lentik sedang asyik memegang botol-botol kaca berisi campuran aneka ramuan beserta obat yang sedang digarapnya.

Ruangan yang dipakai oleh perempuan klan merah itu adalah ruangan pribadi yang biasa dipakainya untuk menyendiri dan memuaskan hobinya berkecimpung dalam dunia kimia dan segala hal tentang penelitian. Ada begitu banyak lemari tanam yang berisi aneka ragam botol dengan  berbagai ukuran mengelilingi ruangan itu. Selain itu, tampak buku-buku pengetahuan dari yang kertasnya masih terlihat baru hingga buku kuno dengan warna kertasnya yang khas kecokelatan memenuhi rak di sebelah mejanya.

Ini adalah ruangan yang sempurna. Sebuah ruang di mana Candy bisa melupakan Carmine, kekasihnya. Lelaki klan merah yang tiba-tiba saja menghilang tanpa kabar saat mereka berdua sedang berada di puncak-puncaknya bahagia memadu kasih dan merencakanan pernikahan. Dan sedikit banyak, Candy merasa berdosa sekaligus khawatir akan nasib Carmine saat ini yang tidak ia ketahui keberadaannya, meski entah bagaimana, ia yakin jika kekasihnya itu masih hidup hingga kini.

Pasalnya, sebelum perpisahan mereka yang mendadak itu, Candy menitipkan sebuah botol kaca kecil berisi ramuan percobaan yang akan ia cobakan sesaat setelah mereka pulang dari taman pelangi di pinggiran negeri. Ramuan itu adalah ramuan yang bisa mengubah warna makhluk langit menjadi berbeda sesuai keinginan. Efeknya sangatlah lama, bisa bertahun-tahun lamanya sesuai dengan dosis yang diberikan kepada makhluk itu. Hanya tinggal memberi campuran warna tujuan saja, maka makhluk langit yang mendapat satu tetes saja ramuan itu, akan berubah warnanya menjadi serupa makhluk klan lain.

Candy selalu berharap jika botol kaca kecil itu jatuh saja hingga pecah dan tak berefek apa-apa bagi Carmine. Sebab akan bermasalah jika sampai itu terjadi karena ramuan di dalam botol kecil itu telah ia tambahi dengan ekstrak bunga hydrangea yang mampu mengubah warna benda termasuk penampilan makhluk langit menjadi berwarna merah jambu hingga warna ungu. Efek buruknya, ramuan itu tidak hanya mengubah warnanya, tetapi juga memberi efek racun di mana benda atau makhluk yang terkena cairan itu akan melemah kekuatannya.

Candy sebenarnya masih harus menguji dan mengubah ramuan itu lagi menjadi bentuk yang lebih baik, sebab, ramuan yang rencananya akan ia promosikan sebagai ramuan penakluk hewan-hewan buas itu masih memiliki efek samping yaitu warnanya yang mencolok.

Perempuan itu menutup wajahnya dengan telapak tangan. Rasa bersalah yang menumpat terus menerus setiap kali ia mengingat kejadian itu membuatnya ketakutan setengah mati. Candy merahasiakannya dari Reddish dan berkata bahwa ia dan Carmine telah memutuskan hubungan dan tak lagi berkomunikasi. Tetapi, bukan tentang hubungan itu.

Candy takut jika botol kecil itu diterima orang yang salah lalu digunakan tidak sebagaimana mestinya. Dan ia tahu betul jika Reddish tahu akan hal itu. Keponakannya itu pasti akan murka dan menganggap dirinya ceroboh. Lebih dari itu, ia pasti akan meledak-ledak dan meminta pencarian besar-besaran terhadap anggotanya yang diduga telah berkhianat dan membawa kabur hasil penelitian bibinya. Padahal tidak seperti itu.

Carmine mendadak menghilang tanpa tahu jika Candy menitipkan botol kecil itu di saku tasnya. Dan itu juga akan menjadi persoalan baginya karena di mata Reddish, ia akan dianggap ceroboh dan tidak berhati-hati lalu memenjarakannya karena dianggap telah membocorkan penelitian-penelitian klan kepada makhluk lain.

Kening Candy mengernyit dalam.

Semoga saja tidak terjadi apa-apa hingga urusan pelangi semesta yang padam itu selesai.

“Bibi.”

Suara khas dari arah pintu itu membuat Candy tersentak hingga hampir menumpahkan sebotol cairan yang tadi diletakkan di depannya. Perempuan itu menata cepat peralatan di depannya dan segera menoleh. Bisa ia lihat Reddish sedang berdiri di ambang pintu, menatapnya dengan ekspresi datar tak terbaca.

Candy buru-buru berdiri.

Reddish melangkah mendekat dengan matanya yang menatap tajam pada meja Candy yang saat itu penuh dengan benda-benda.

“Apa yang sedang Bibi lakukan?” tanyanya setelah berdiri tak jauh dari Candy.

Berusaha mengusir rasa gugup yang menerjangnya terlebih karena ia terkejut saat tadi ia memikirkan tentang Reddish dan mendadak keponakannya itu datang, Candy menghela napas panjang dan tersenyum.

“Yah, seperti biasa, aku sedang mengerjakan penelitianku,” jawabnya dengan senyum kaku.

“Aku membutuhkan bantuan Bibi.” Reddish berkata lagi. Tak begitu ingin tahu urusan Candy di meja kerjanya.

Candy mengangkat alis dengan dadanya yang mulai bergerak teratur dan tenang saat Reddish sepertinya memilih untuk tak berbasa-basi lagi. “Bantuan apa?”

“Aku ingin lensaku diperbaiki.” Reddish menengadahkan telapak tangannya dan menunjukkan benda bening yang hampir tak terlihat itu kepada Candy.

Perempuan klan merah itu menipiskan bibir. Ia tahu jika ternyata Reddish telah sia-sia melepas lensa matanya untuk menemukan perempuan klan biru itu, sebab Shamrock dan Sandstone telah terlebih dahulu menemukannya.

“Kau ingin memakainya lagi? Apakah kau bisa melihat perempuanmu dengan jelas jika tanpa lensa?” Candy bertanya sembari menunduk, menatap ke arah dua lensa mata buatannya yang telah dikenakan Reddish hampir di sepanjang hidupnya itu.

“Ya. Aku ingin memakainya lagi, tetapi hanya satu lensa saja.” Reddish mengangsurkan lensa itu kepada bibinya.

Candy menerima lensa itu lalu menengadah sembari mengangkat sebelah alis dengan pandangan bertanya. “Hanya satu? Apa maksudmu?”

“Aku membutuhkan dua mata yang berbeda untuk melihat keadaan yang sebenarnya. Aku membutuhkan mata asliku untuk menemukan pasanganku sementara aku membutuhkan lensa buatanmu untuk melihat hal-hal yang nyata di mata kalian … yang ternyata adalah palsu.” Reddish berucap dengan nada menggeram di akhir kalimatnya.

“Palsu? Ah, tolong jelaskan kepadaku, Reddish. Apa sesungguhnya yang terjadi karena aku benar-benar tak mengerti.” Candy lalu mendudukkan dirinya di sebuah kursi sapporo alavus yang terletak dekat dari tempat mereka berdiri dan mempersilakan lelaki itu untuk duduk di hadapannya.

“Perempuan klan biru yang ditemukan oleh Shamrock dan Sandstone di hutan lebat itu palsu. Dia bukan perempuan klan biru. Entah klan apa sebenarnya dia, yang pasti, perempuan itu sengaja dipasang agar ditemukan olehku.” Reddish menyeringai kejam dengan tatapan marah. “Sementara perempuan klan biru yang kutemukan di dunia manusia, dia disembunyikan oleh klan lain. Klan yang memiliki kekuatan untuk bersembunyi dan menyembunyikan benda-benda termasuk makhluk langit,” lanjutnya dengan nada mengambang.

Candy menatap Reddish dengan mata melebar dan ekspresi terkejut yang tak bisa ditahan. “Ap-apa?” tanyanya dengan mulut bergetar seolah kesulitan merangkai tanya.

Bukan. Bukan karena kenyataan tentang perempuan biru yang ternyata palsu itu, tetapi pikiran Candy lebih tertuju ke bagaimana bisa makhluk klan itu dipalsukan?

Dada Candy berdegup cepat.

Astaga. Benaknya mulai memunculkan dugaan yang membuat wajahnya pias. Dugaan tentang ….

“Bisakah malam ini aku mengambilnya?” Reddish bertanya kemudian, memandang ke arah bibinya dengan wajah serius. Mengabaikan ekspresi Candy yang terkejut hingga pucat pasi. “Karena aku membutuhkannya malam ini untuk memastikan sesuatu.”

Candy yang masih ternganga itu bahkan tak sempat memperhatikan saat Reddish berucap hingga lelaki itu sedikit berkata dengan keras untuk mengembalikan kesadaran bibinya ke dunia nyata.

“Bibi Candy? Ada apa denganmu?” Reddish menyentakkan suarnya.

Candy menatap Reddish dengan mata penuh teror.

“Aku ingin malam ini lensa ini bisa kugunakan lagi. Untuk mata kiriku,” ulangnya lagi memerintah.

“Ah, ya. Malam ini. Aku akan segera mengerjakannya. Kau bisa mengambilnya kemari saat kau membutuhkannya.” Candy menelan ludah dan menguasai dirinya dengan cepat.

Reddish beranjak berdiri.

“Aku akan mengambilnya sebelum pukul delapan malam ini. Jangan lupa, Bibi,” ujarnya menatap tajam dan membalikkan badan, hendak keluar dari ruangan itu.

“Tunggu, Reddish.” Candy bergegas berdiri, melangkah mendekati Reddish yang hanya berhenti, tak mau repot-repot membalikkan badannya saat Candy memanggil.

“Bolehkah aku melihat perempuan klan biru yang ada di tahanan kastil putih itu? Aku ingin tahu,” tanyanya dengan harap-harap cemas.

Candy tahu jika perempuan itu pastilah dikelilingi oleh penjagaan berlapis yang membuat tak sembarang orang bisa menggapai ruang tahanan itu apalagi hingga menemuinya secara langsung. Namun, ia perlu melihat dengan pasti seperti apa wujud perempuan yang ternyata di mata Reddish memiliki aura lain tersebut.

Apakah benar itu ada campur tangan ramuan pengubah warna?

Terdengar Reddish mengembuskan napas panjang. “Perintahkan Crimson untuk mengantarmu. Dan bilang kepada kepala penjaga jika kau ada di bawah perintahku untuk memeriksa perempuan itu saat kau tiba di sana,” ucapnya memberikan persetujuan.

“Ya … aku akan melakukannya.” Candy tanpa sadar mengangguk.

“Kau tak ingin melihat perempuan klan biru yang kutemukan? Apakah kau tidak penasaran dengan dia?” Reddish bertanya menawarkan.

Entah bagaimana ada perasaan senang sekaligus bangga yang mengembang di dadanya ketika ia bisa memperkenalkan perempuan itu kepada sang bibi.

Candy mengangkat alis dan tersenyum hangat. “Ah, tentu saja aku ingin tahu juga. Kau mau mengajakku bertemu dengannya nanti malam? Kau tak keberatan?” Perempuan itu bersedekap sembari mengangkat bahu saat mengucap kalimatnya.

“Kau boleh melihatnya,” Reddish menyahut.

Candy tersenyum lebar.

“Dari jauh,” imbuhnya yang membuat Candy mengangkat sebelah alisnya dengan ekspresi heran.

“Aku tak mau dianggap sebagai lelaki anak mama di dunia manusia dengan mengajak bibinya saat kencan. Kalau kau ingin melihatnya, kau tinggal mengikutiku dan melihat kami dari jauh. Dan kau tetap harus menyamar demi keamanan.” Reddish berucap tajam masih dengan tubuhnya yang memunggungi Candy. Tak ada yang tahu jika pipinya kini bersemburat merah saat membahas tentang kencan bersama perempuan klan biru itu.

***

“Maaf … apakah warna selain ini ada?” salah seorang pembeli yang sedang memilih-milih sebuah tunik itu bertanya. Seperti kebiasaan perempuan yang sedang berbelanja, perempuan itu tampak kebingungan dengan berbagai macam model serta warna dari pakaian yang ingin dibelinya. Berkali-kali ia melihat-lihat dan memilih, tetapi ia justru semakin bingung dan tak juga bisa memutuskan baju mana yang paling ia minati.

Azure tampak melamun ketika pembeli itu bertanya kepadanya. Perempuan itu terlihat lelah dengan kantung mata besar yang kian memperburuk penampilannya.

“Hei, Anda melamun? Apakah Anda sakit?” Pembeli itu bertanya setelah beberapa lama di sela-sela ia memilih pakaian, sang pramuniaga tak juga menjawab pertanyaannya.

Flavia yang tengah berjalan mendekat dan mengetahui interaksi antara Carissa dan pembeli itu langsung menjadi penengah.

Di sisi lain, Azure tampak salah tingkah dengan wajah memerah karena telah berbuat tak semestinya kepada pembelinya itu.

“Maaf … sepertinya teman saya memang sedang kurang sehat.” Flavia berucap sambil membungkuk memohonkan maaf dengan bersungguh-sungguh. Setelahnya, ia menoleh ke arah Azure dan memberi isyarat dengan mengedikkan kepala sembari tersenyum untuk memerintah teman kerjanya itu masuk ke ruang staf dan beristirahat.

“Saya mohon maaf.” Azure mengangguk kemudian berlalu dari tempat itu.

Untunglah si pembeli adalah orang yang cukup mengerti dan tak mempermasalahkan perihal perilaku Azure itu. Ia membalas ucapan Azure dan Flavia dengan tersenyum dan mengucap, tak masalah.

“Model seperti apa yang Anda inginkan? Saya ….” Suara Flavia nan ramah yang melanjutkan pelayanan kepada pembeli itu mulai terdengar lirih sesaat setelah Azure menutup pintu.

Perempuan itu seketika membanting tubuhnya ke kursi yang tersedia di ruangan kecil di sisi tersembunyi ruang toserba itu.

Ia sungguh tak bisa berkonsentrasi bekerja hari ini. Hal itu tentu saja karena ia tertahan begitu lama oleh Brick di ruang kafe semalam tadi hingga membuat jatah tidurnya berkurang. Kepalanya sedikit pening dan tubuhnya lemas. Hal itu masih ditambah dengan ingatannya tentang Brick semalam yang tak henti-hentinya merayu agar ia mau dinikahi olehnya.

Azure mengembuskan napas lelah.

Entah bagaimana meskipun saat ini ia akan membiarkan dirinya mengalir mengikuti waktu, bayang-bayang tentang lelaki bernama Alan itu membuatnya dilema hingga sakit kepala. Brick yang begitu perhatian dan tentu saja melindunginya itu memang tampak sebagai lelaki baik-baik di mata Azure. Namun pesona Alan … lelaki manusia itu … ia berbeda. Ada aura lain yang terasa menggetarkan hatinya walau kemarin itu barulah kali kedua mereka bersua.

Tapi, ia teringat lagi pada perkataan Brick tentang dirinya yang saat ini sedang dikejar oleh para makhluk langit. Alan mungkin memiliki tempat tersendiri di hati Azure, tetapi Alan hanyalah manusia biasa yang tak bisa melindunginya dan tak mungkin ia sangkut-pautkan dengan urusannya di negeri langit karena ia tak mempunyai kekuatan sebesar itu untuk bisa melindungi lelaki manusia itu saat bersamanya.

Azure memejamkan matanya rapat.

Suara pintu terbuka terdengar beberapa saat kemudian. Flavia muncul di sana.

“Kau benar-benar terlihat sakit, Carissa.” Flavia duduk sembari memiringkan badan. Pandangannya menatap lekat pada penampilan Azure yang payah dengan tatanan rambut yang tak rapi serta wajahnya yang pucat.

“Ya. Aku sedikit sakit kepala.” Azure meringis dengan senyum kaku yang dipaksakan. “Bolehkah aku pulang terlebih dahulu?” tanyanya dengan nada memelas.

Ia sudah memutuskan. Ia akan pergi dengan lelaki yang nanti akan menemuinya pertama kali di tempat yang telah ia janjikan sebelumnya. Jadi, ia harus menunggu lebih awal di tempat yang telah ia janjikan kepada dua laki-laki itu sebelumnya. Taman kota.

“Ya. Pulanglah terlebih dahulu, Carissa. Aku yang akan memintakan izinmu kepada bos. Kamu lekaslah pulang. Beristirahatlah yang baik,” ucap Flavia dengan suara lembut penuh sayang sembari mengusap pundak Azure.

Azure menggumamkan ucapan terima kasih dan mengangguk tipis, lalu berdiri dan melangkah menuju pintu tembusan yang mempermudah baginya menuju ruang loker di mana barang-barang yang ia bawa tersimpan di sana.

“Maafkan aku, Flavia.” Azure menyempatkan diri menoleh ketika sebelah tangannya telah memegang gagang pintu.

Ia sungguh-sungguh meminta maaf karena mungkin saja, ini adalah pertemuan terakhir mereka sebelum Azure benar-benar memilih dan bertemu dengan lelaki yang akan menjemputnya pergi.

“Terima kasih banyak selama ini,” tambahnya dengan nada suara sengau yang menghadirkan suasana aneh di ruangan kecil itu.

Flavia yang tak memiliki pikiran apa-apa itu pun mengangguk dan tersenyum hangat. Senyum yang akan selalu diingat oleh Azure sebagai senyum tulus seorang teman yang membawa kedamaian kepadanya selama ia hidup sebagai manusia.

***

Azure melangkah perlahan memasuki gerbang taman. Langit masih menyisakan terangnya dengan cahaya jingga di ufuk barat saat perempuan itu tiba di sana. Membuat wajahnya yang cantik terkena sinar senja nan hangat.

Berbeda dengan malam hari, saat sore seperti ini, suasana taman itu ramai oleh banyaknya pengunjung yang datang. Menghabiskan waktu sore bersama keluarga maupun sekadar melepas lelah ketika pulang bekerja. Ada beberapa pasangan yang membawa serta buah hati mereka yang tengah mulai bisa berjalan kaki. Sang ayah dan ibu tampak begitu bahagia berada di sisi kiri dan kanan anak kecil itu sembari mengawasinya berlatih berjalan. Sesekali terdengar tawa mereka menjadi salah satu latar suara yang menyenangkan telinga di tengah rerumputan dan bunga-bunga yang tumbuh subur.

Azure mengamati sekelilingnya dengan perasaan sedih karena dengan siapa pun jua ia akan pergi nantinya, ia harus tetap meninggalkan tempat ini dan menghilang hingga tak menyakiti salah seorang di antara dua lelaki yang saat ini sedang menunggu keputusannya.

Entah menikah dengan lelaki klan merah itu atau menetap bersama Alan di dunia manusia ini, Azure berharap bahwa itu adalah pilihan tepat dan ia tak akan mundur lagi. Tinggal di dunia langit meski berbahagia bersama pasangan rasa-rasanya tak akan membantunya hidup lebih baik jika saja ia dan Brick nanti tetap hidup dalam pengasingan. Sementara hidup di dunia manusia dengan segala hiruk pikuknya yang begitu menyenangkan dan terasa berbeda ini sejujurnya juga sama saja. Azure tetaplah makhluk langit yang mungkin saja tak akan bisa memberikan kehidupan sempurna kepada pasangannya nanti walau kehidupannya barangkali terasa lebih damai.

Azure mengitarkan pandangannya dengan ekspresi memindai yang tenang.

Satu persatu para pejalan kaki dan orang-orang yang berlalu lalang di taman kota itu semakin berkurang. Mereka meninggalkan tempat itu dengan gema kebahagiaan yang bergema di telinga Azure.

Saat suasana benar-benar telah gulita dan lampu-lampu mulai menyala, Azure hanya tinggal seorang diri di sana. Ditemani angin malam yang berembus kian kencang dengan beberapa kilat yang menampakkan wujudnya di kejauhan.

Perempuan itu menoleh ke sana kemari dan dengan senang hati lantas berjongkok di sisi sebuah rumpun bunga yang tumbuh subur di sana. Berharap hujan akan turun kali ini. Sebelah tangannya yang mulai mengeluarkan aura biru redup itu lantas mulai menyentuh bunga-bunga yang ada di depannya.

Tubuhnya yang kecil itu bergeser sedikit demi sedikit saat warna biru dari tubuhnya mulai mewarnai bunga-bunga yang ada di tempat itu. Azure tersenyum puas.

“Kau terlalu kuat menguarkan aura birumu itu, sehingga warnanya terlalu mencolok.” Suara teguran di belakang tubuhnya itu tak membuat Azure terkejut.

Perempuan itu justru memandangi telapak tangannya dan mengernyitkan dahi. “Oh, ya? Aku terlalu kuat.” Azure mengulang kata-kata itu seperti sedang mengingatkan dirinya sendiri. Namun, saat ia mulai menyentuh sebuah kelopak bunga dengan warna biru yang mengalir dari tangannya, saat itulah dirinya terkesiap.

Azure menoleh dan tertegun melihat sosok tinggi yang menjulang di belakangnya.

 

 

To be continued

Ditulis sambil ngelamun entah kemana dan tanpa baca ulang. maaf jika ada typo, kata atau kalimat yang kurang nyambung, dlsb, haha
semoga ada banyak sempat di waktu depan agar cerita ini bisa dilanjutkan :) 

 

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

 

KONTEN PREMIUM PSA


 

Semua E-book bisa dibaca OFFLINE via Google Playbook juga memiliki tambahan parts bonus khusus yang tidak diterbitkan di web. Support web dan Authors PSA dengan membeli E-book resmi hanya di Google Play. Silakan tap/klik cover E-book di bawah ini.

Download dan install PSA App terbaru di Google PlayWelcome To PSAFolow instagram PSA di @projectsairaakira

Baca Novel Bagus Gratis Sampai Tamat – Project Sairaakira

4 Komentar

  1. Indah Narty menulis:

    Aamiin… selalu semangat ka untuk menulis :lovelove

  2. Semangat kak bin nulisnyà :lovelove :lovelove

  3. Dona Nurhayati menulis:

    Ku tunggu tunggu selalu up nya kak.. :spesialramadhanBUKAA

  4. Jangan salah pilihhj azure