Red Prince

The Red Prince | Part 3 : Rencana Rahasia

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

red prince cover - CopyBlack Line Art Butterflies Woman Phone Wallpaper(15)

13 votes, average: 1.00 out of 1 (13 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Reddish terbang pelan di angkasa, meninggalkan jejak kabut berwarna merah di belakang tubuhnya. Ecru menyusul kemudian. Dua warna itu, merah dan kuning, berpilinan indah di langit gelap bak bintang jatuh saat dilihat dari kejauhan. Keduanya terbang semakin rendah ketika dilihatnya awan menyibak di bawah mereka, menampakkan pemandangan bumi dengan lampu-lampu kecilnya yang terlihat indah, bak langit malam yang dipenuhi bintang gemintang.

Ecru mengernyitkan dahi saat pandangannya tertuju ke arah yang sama seperti Reddish. Lelaki itu melipat bibir seolah sedang mempertimbangkan sesuatu di dalam benaknya.

“Kau harus menyamar, Reddish.” Ecru berucap, masih dengan kening berkerut.

“Kau juga.” Reddish menimpali cepat, membuat Ecru terkekeh.

“Ya, kita. Kita harus menyamar.” Ecru mengangguk.

Reddish bersedekap. Menunjukkan sikapnya ketika ia sedang berpikir. Akan berubah menjadi sosok seperti apa dirinya. Dari pengetahuan yang ia dapat, manusia memiliki bentuk tubuh, warna kulit, warna rambut dan warna mata yang berbeda sesuai dengan tempat di mana manusia itu tinggal. Hampir sama seperti klan-klan negeri langit. Hanya saja, dalam hal pakaian, para makhluk langit selalu mengenakan pakaian sesuai warna klan mereka. Ditambah sebuah jubah besar bagi para pemimpin klan seperti Reddish dan juga Ecru. Untuk Reddish sendiri, ia mengenakan jubah kebesaran dengan bentuk tebal dan mewah khas pemimpin negeri langit.

Saat ini, Reddish dan Ecru berada di atas sebuah benua dengan ciri khas wujudnya yang hampir sama dengan tubuhnya, hanya tinggal mengubah bentuk pakaian, warna mata serta rambut.

Baiklah. Reddish memejam, memanggil kabut merah di tubuhnya makin pekat dan seketika, tampaklah wujud seorang laki-laki berpakaian kasual dengan rambut hitam pendek berponi yang sedikit menutupi keningnya. Perlahan Reddish membuka mata, dan tampaklah pupilnya yang berwarna biru.

Dari sekilas pandang, Reddish betul-betul tampak seperti manusia biasa dengan ketampanan wajahnya yang unik. Tidak akan ada yang tahu jika ia adalah makhluk klan langit dengan aura merah di seluruh tubuh saat berada dalam wujud aslinya.

Kemampuan menyembunyikan aura warna ini dimiliki oleh semua klan. Dan hanya makhluk langit yang diberi penglihatan khusus oleh dewan warnalah yang bisa mengetahui dengan jelas jika ada makhluk langit yang sedang menyamar menjadi manusia biasa. Untuk Reddish dan para pemimpin klan lainnya, mereka jelas berbeda. Sebab, mereka ditakdirkan memiliki kemampuan itu sebagai bakat alami mereka.

Ecru mengangkat alis dengan pandangan takjub saat melihat perubahan wujud Reddish.

“Wow. Kau tampan sekali dengan wujud seperti ini,” pujinya dengan tersenyum sebelah bibir. “Tapi … kenapa matamu biru? Apakah karena kau diam-diam sedang mencari perempuan berklan biru sehingga kau menyerupai mereka?” tanyanya dengan penuh keingintahuan.

Reddish memandang ke bawah dan napasnya terhela panjang. “Aku hanya sedang menyesuaikan di mana aku akan datang. Tentu kau tak ingin terlihat mencolok dengan menggunakan warna asli matamu, bukan? Kau mungkin juga harus berubah wujud menjadi laki-laki bumi dengan mata biru,” jawabnya tenang.

“Oh, kau tak ingin memulai misimu malam ini juga? Siapa tahu nanti kita bertemu dengan perempuan klan biru di bawah sana.” Ecru turut menatap ke bawah.

“Aku sedang tak ingin. Aku hanya hendak menenangkan diriku dulu sebelum perjuangan panjang itu dimulai. Kau tahu? Sedikit hiburan barangkali bisa membuat semuanya lebih baik. Ayo kita bersenang-senang.” Reddish mengedikkan kepalanya dengan gerakan mengajak.

“Tunggu. Aku akan berubah wujud dulu.” Ecru menyiapkan diri. Bersedekap dan memejamkan mata. Kabut kuning mulai memendar perlahan dari tubuhnya, pekat dan semakin pekat, lalu dalam hitungan detik, wujud Ecru berubah dari pakaiannya semula yang didominasi warna kuning, kini menjadi pakaian kasual dengan rambutnya yang berwarna cokelat. Lelaki itu lalu membuka mata. Sama seperti Reddish, warna pupil Ecru yang semula kuning kini berubah menjadi warna biru terang.

“Bagaimana?” Ecru menyentuh pakaiannya dan bergaya kemudian.

“Lumayan.” Reddish memuji dengan setengah hati. Tentu saja ia tidak akan terang-terangan seperti Ecru tadi yang memujinya tampan, meski sesungguhnya Ecru tampak lebih muda dan sama tampannya seperti dirinya saat berubah wujud menjadi makhluk bumi.

Lebih muda?

Reddish mengangkat alisnya mendengar pemikirannya sendiri. Dirinya sudah berusia tiga puluh tahun sejak kelahirannya. Dan Ecru hanya lebih muda lima tahun darinya. Dirinya memang masih begitu muda saat diangkat menjadi pemimpin klan merah dan pemimpin negeri langit. Hal itu karena memang pada saat ini ia berada di usia yang tepat untuk memimpin dan sudah waktunya memiliki pasangan. Semua momennya begitu tepat. Ia naik takhta dan pelangi semesta padam.

Jadi, apakah karena ia menyepelekan kewajiban menikah itu sehingga semesta  memperingatkannya?

Reddish mengembuskan napas pelan. Usia makhluk langit memang bisa mencapai ratusan tahun. Namun, hal itu hanya bisa terlampaui setelah mereka mengikat diri dengan pasangan dan mengikrarkan sumpah untuk meneruskan kejayaan negeri langit. Ikatan pernikahan membuat mereka menjadi semakin kuat dan hidup dengan usia yang panjang untuk menunaikan tugas sebagai pemberi kehidupan bagi klan warna baru dan menyemai warna untuk semesta.

“Kau jangan lupa menyembunyikan kabut merah itu, Kawan. Kau tak boleh terlihat aneh dengan itu.” Ecru memperingatkan.

“Tentu saja. Aku membutuhkannya untuk terbang dan akan kusembunyikan nanti saat kita turun. Kau tak usah mengajariku,” ucapnya angkuh.

Ecru hanya mengangkat bahu. “Kalau begitu, ayo,” ajaknya sembari terbang turun mendahului.

Reddish menyakukan kedua tangannya di kantong celana dan mengikuti.

Langit cerah dengan bintang-bintang terang yang bekerlip di angkasa. Tempat Reddish dan Ecru turun kali ini sepertinya sedang berada di musim yang cukup nyaman untuk disinggahi, seolah mendukung perjalanan mereka kali ini.

Reddish dan Ecru mendarat di sebuah sisi gedung yang cukup gelap dan sepi, jauh dari lampu penerang dan itu menguntungkan mereka saat kabut warna warni itu masih melingkupi mereka sesaat setelah mereka turun.

Reddish merapikan penampilannya sejenak lalu memimpin langkah. Baru beberapa meter kakinya menginjak rerumputan, suara Crimson terdengar cemas memenuhi kepala.

“Tuan. Tuan Reddish. Anda ada di mana?”

Reddish mendengus.

Orang tua ini!

“Aku ada di dunia manusia. Ada apa?” tanyanya dengan tidak sabar.

“Nyonya Candy hendak bertemu, ingin membicarakan sesuatu,” jawabnya cepat meski penuh gugup.

“Katakan padanya untuk menemuiku esok pagi. Aku tak ingin bertemu siapa-siapa malam ini,” jawabnya ketus.

“Tapi, Tuan-”

“Laksanakan perintahku, Crimson. Aku mulai tidak suka saat kau terus menerus mengatakan tapi saat kuperintah,” titahnya dengan suara meninggi.

“Ba-baik. Baik. Maafkan saya.”

Reddish mendengus lagi dan mempercepat langkah. Ecru yang mendengar interaksi itu hanya bisa mencibir. Sepertinya, hanya pada dirinya Reddish mau melunak. Entah akan bagaimana jika Reddish memiliki istri nanti.

Apakah setiap hari istri Reddish juga akan dibentak-bentak seperti itu?

Ecru bergidik membayangkan, tanpa sadar mengangkat bahu dengan gerak tubuh ngeri atas responnya terhadap pemikirannya itu.

Lalu, langkahnya terhenti saat melihat Reddish yang telah berjalan beberapa langkah di depannya itu menghentikan langkah. Ecru kemudian berdiri di samping sahabatnya itu.

Di depan mereka di seberang jalan, berdiri bangunan megah yang tampak elite dengan tatanan eksteriornya yang sempurna mewah. Dari arah pintu, terlihat hilir mudik orang-orang keluar masuk ke dalam bangunan.

Tanpa mengajak lagi, Reddish menyeberang pelan ke jalan raya yang cukup ramai oleh kendaraan-kendaraan beroda empat yang berlalu-lalang lalu turut menyaru bersama manusia-manusia lainnya, masuk ke dalam salah satu bar terkenal itu.

***

Seperti tampak pada depan bangunan, ruangan dalam bar tersebut juga sama mewahnya dengan tatanan eksteriornya, bahkan lebih bagus lagi. Ruangannya begitu luas dengan gaya industrial, di mana terdapat banyak sekali set meja yang terletak berjauhan, seolah benar-benar menjaga privasi dari para pengunjung saat menikmati waktu mereka dengan teman maupun pasangan.

Reddish dan Ecru melangkah semakin ke dalam ruangan tanpa suara. Namun entah bagaimana, orang-orang di tempat itu seolah terpanggil. Hingga tanpa sadar, kepala mereka menoleh, menatap dua sosok laki-laki bertubuh tinggi yang sebenarnya tak ada yang beda dengan pengunjung lainnya, tetapi membuat mereka tertarik untuk terus memandangi dua laki-laki itu, memaku wajah tampan Reddish dengan jenis kekaguman yang tak habis pikir, bahwa ternyata selain manusia-manusia tampan yang mendapat julukan tertampan di berbagai majalah terkenal, ada jenis ketampanan berbeda nan unik yang belum pernah mereka lihat sebelumnya.

Reddish menghentikan langkah, mengedarkan pandangan, lalu memilih tempat duduk acak yang masih kosong diikuti Ecru yang sedari tadi hanya membuntut tanpa protes dan duduk berseberangan dengan Reddish.

Suasana bar itu cukup nyaman. Pencahayaannya pas dengan nuansa temaram dari lampu-lampu berwarna kuning yang memendar dari berbagai sisi. Suara musik yang terdengar berirama pelan nan syahdu pun menjadi penambah damai nuansa hati.

Seorang bartender datang mendekat. Menawarkan aneka minuman dengan berbagai rasa yang bisa mereka nikmati.

Stout beer. Untuk kami berdua.” Ecru yang pada akhirnya memesan setelah beberapa lama Reddish memilih dengan tidak tertarik pada jenis-jenis minuman yang ada di sana.

Bartender itu kemudian mengangguk sopan, lantas kembali ke tempatnya untuk mempersiapkan minuman yang dipesan oleh keduanya.

“Kau ingin membuat mereka terpesona dengan aura dirimu yang seperti itu, heh? Bisa-bisa mereka akan lari setelah bertatapan dengan matamu.” Ecru memperingatkan dengan suara pelan.

“Aku sedang tidak menguarkan auraku. Kau lihat sendiri, tak ada warna merah atau apa pun di sekujur tubuhku,” sanggah Reddish dengan pandangan mencela ke arah Ecru. “Atau mungkin saja kau belum menyadari?” tanyanya dengan memiringkan kepala.

“Menyadari apa?” Ecru menatap penuh tubuh Reddish dari kepala hingga separuh tubuh, mencari-cari ada apakah di tubuh Reddish yang sempat terlewat oleh matanya.

“Menyadari bahwa aku memang diciptakan menjadi lelaki tampan yang apa adanya, tanpa aku harus mengeluarkan setitik saja aura merah dari tubuhku,” ucap Reddish dengan nada serius yang seketika membuat Ecru tertawa.

“Apa yang kautertawakan?” Reddish menyolot.

“Kau memang tampan, Reddish. Tapi tampan yang menyeramkan karena wajahmu tak pernah tersenyum. Lagipula aku adalah laki-laki, jadi aura tampanmu itu tak mempan kepadaku,” bantahnya dengan lugas.

Reddish tak bereaksi. Lelaki itu hanya mendengus mendengar kata-kata sahabatnya. Mungkin dari sekian banyak makhluk yang pernah bertemu dengan Reddish, hanya Ecru yang berani berucap seperti itu dan Reddish tidak marah.

“Ayolah, kau hendak mencari perempuan untuk kaujadikan istri. Ramahlah sedikit. Aku yakin jika para manusia perempuan itu tahu dirimu yang sebenarnya, mereka akan lari tanpa menoleh lagi, apalagi perempuan klan biru yang menjadi incaranmu itu,” tambahnya dengan nasihat yang penuh ejekan.

Suara langkah mendekat membuat Ecru bungkam. Mereka memang berbicara dengan bahasa langit yang tak mungkin para manusia itu paham, tetapi siapa yang tahu jika ternyata bartender ini adalah seorang makhluk klan cokelat yang tak terbaca auranya misalnya. Oleh karena itu, mereka ekstra berhati-hati.

Bartender itu membawa nampan berisi satu botol bir dan dua gelas jenis splegelau ke meja. Membukakan tutupnya dan menuangkan ke dalam gelas tanpa banyak bicara.

“Adakah pesanan lain yang bisa saya antar?” tanyanya kemudian.

“Tidak.” Reddish menjawab cepat yang membuat bartender itu tersenyum canggung lalu segera mengangguk dan berpamitan.

Reddish meraih gelasnya, lalu meminum dalam satu tegukan besar minuman berwarna hitam yang amat pahit itu.

“Siapakah sebenarnya makhluk dibalik klan biru yang bisa dengan ketat menutupi aura biru mereka sehingga tak bisa kubaca?” Reddish berdeham setelah menelan minumannya, menatap ke arah Ecru yang tengah mencecap minuman pahit menyegarkan yang membasuh lidahnya dengan sensasi getir tersebut.

“Kau mencurigai seseorang?” Ecru balik bertanya.

“Pasti ada seseorang.” Reddish menyesap minumannya lagi. Pikirannya yang tajam menjawab pasti.

“Jadi … kita akan mengganti strategi? Menyelidiki ketidakberesan ini terlebih dahulu baru melakukan pencarian? Apakah tidak akan terlalu lama?” Ecru mengerutkan dahi.

“Aku akan menyebar tim penyelidik rahasia untuk mempercepat proses penyelidikan ini. Mereka akan bergerak tanpa terlihat, tanpa disadari oleh siapa pun juga dan menyebar mata serta telinga di mana-mana. Sehingga ketika kita menemukan orangnya, kita akan membuka tabir itu segera. Entah kenapa, aku merasa bahwa kita sudah dekat, Ecru. Orang itu tak jauh-jauh dari kita dan kita selalu diawasi,” ucapnya dengan sebelah alis terangkat.

Ecru mengernyitkan dahi. “Ada yang memusuhimu? Memusuhi klan merah? Lagi?” tanyanya dengan nada tak percaya.

“Dan mungkin juga memusuhimu. Aku ingin setelah ini kita menjaga jarak dan tetap berkomunikasi. Kau tahu? Kita tak pernah membaca apa yang sebenarnya sedang dipikirkan oleh musuh dan apa yang ada dalam sudut pandang mereka.” Reddish tersenyum tipis.

Ecru menyandarkan tubuhnya dan bersedekap. “Ah, jadi kau mengajakku kemari karena ingin membicarakan ini,” simpulnya dengan cerdas. “Ya, aku sadar jika seaman-amannya kastilmu yang penuh dengan perlindungan, masih aman tempat ini karena meskipun di tempat terbuka, mereka akan kesulitan melacak dan telinga-telinga mereka tak akan bisa mendengar apa yang sedang kita bicarakan.” Ecru mengangguk-angguk dengan ekspresi serius.

“Seperti itulah.” Reddish menegaskan kesimpulan yang diucapkan Ecru dan menghabiskan minuman dalam gelasnya.

“Hai.” Suara lembut seorang perempuan yang menyapa dari sisi kiri Reddish menghentikan pembicaraan mereka.

Ecru yang semula tak menyadari seketika menengadah dan melihat seorang perempuan bertubuh seksi bergaun merah yang memperlihatkan belahan dadanya yang menggoda. Wajahnya tampak cantik dengan make up sempurna yang memulas kecantikannya kian paripurna.

Tanpa diminta, perempuan itu duduk di pegangan kursi Reddish dan merangkul dengan kurang ajar pada lelaki itu yang tak bereaksi sama sekali.

“Boleh aku bergabung?” ucapnya dengan tersenyum manis.

Reddish buru-buru berdiri hingga rangkulan di pundaknya itu terpaksa lepas. sungguh lelaki itu merasa jengkel karena sedari tadi pembicaraan mereka diinterupsi. “Ayo kita pergi,” ajaknya dengan ekspresi dingin.

Ecru yang menatap bagaimana perempuan itu menahan kesal karena tak ditanggapi, lantas mengulas senyum dan berkata ramah. “Maaf, lain kali, Nona,” ucapnya sembari melambaikan tangan dan berjalan bersisian bersama Reddish keluar dari bar tersebut.

“Perempuan itu makhluk pengganggu. Mereka selalu bersikap manja dan genit untuk mencari perhatian. Dan itu membuatku muak,” gerutu Reddish di sela-sela langkah panjangnya.

Ecru menghela napas panjang.“Terserah kau sajalah.”

***

Hujan telah reda. Menyisakan rintik gerimis yang terasa lembut menyapa kulit. Carissa menengadahkan tangan sembari menatap langit dengan ekspresi muram.

Di bawah hujan seperti ini, ternyata hatinya terasa pedih, tak seperti yang ia bayangkan sebelumnya jika ia akan merasakan rindu yang meluap-luap lantaran telah lama tak bisa terbang bebas. Sepertinya ia harus benar-benar menata hati saat ini. Hari-hari kemarin terasa mudah saja sebab pada musim kemarau, makhluk langit memang bersembunyi untuk mempersiapkan penyemaian. Namun, pada musim hujan yang baru saja datang kali ini,  dirinya benar-benar diuji.

Ia harus tahan untuk tetap bersembunyi.

Hal itu tidak lain dan tidak bukan karena ia dan semua klan biru telah terusir dari negeri langit setelah adanya perang warna beberapa tahun lalu.

Carissa menahan dadanya yang kembang kempis karena hati yang sesak oleh kesedihan. Ayahnya telah tiada, menyisakan dirinya dan beberapa makhluk klan biru lainnya yang saat ini terpecah belah entah di mana.

Dan itu adalah karena keserakahan klan merah!

Putra klan merah itu saat ini pastilah sedang berpesta dengan seluruh klan negeri langit karena telah berhasil menyingkirkan klan biru yang menjadi sarang penhidupannya selama ini.

Perempuan itu mengusap air mata yang tanpa sadar telah mengalir di pipi dengan gerakan kasar. Kedua matanya menatap tajam pada jalan panjang di depannya yang saat ini begitu sepi, disembunyikan ramainya oleh remang malam. Tadi, setelah Flavia memaksa untuk mengantar, Carissa terpaksa menyetujui, tetapi hanya sampai jalan ini, jalan panjang selebar dua meter yang berada tepat delapan rumah dari tempat tinggalnya.

Carissa menghirup napas kuat-kuat. Rasa sakit di hatinya yang sedari tadi hinggap dan menggodanya untuk melakukan pelampiasan itu berhasil memunculkan sebersit kebencian yang lama-lama mewujudkan keinginan untuk membalas.

Dirinya mungkin memang sendirian di dunia manusia ini, tapi, dia akan membuktikan bahwa dirinya masih layak untuk bertahan dan kembali ke negeri langit serta menunjukkan kepada semua klan bahwa klan biru tidaklah seburuk yang mereka pikirkan.

Lagipula, bukankah negeri langit membutuhkan kehadiran klan biru sebagai penyeimbang warna? Bagaimana bisa klan merah sesombong dan seegois itu dengan memukul mundur klan biru sementara mereka masih membutuhkan dirinya dan klannya? Bukankah itu sama artinya mereka ini sesungguhnya tak tahu malu?

Menjijikkan! Lihat saja, akan bagaimana para pemimpin klan yang sombong itu seandainya mereka membutuhkan bantuan dari klan biru dan ia bersikap tak peduli?

Tangan Carissa mengepal oleh tekad yang kuat. Ekspresinya menunjukkan rasa terluka sekaligus kebencian yang mulai membara dari kedua bola mata cokelatnya.

Langkahnya bergerak maju kemudian. Namun, saat ia baru tiga jangkahan ke depan, terlihat dengan jelas kelebat aneh di ujung jalan.

Carissa yang semula tenggelam dalam carut marut pikirannya sendiri itu seketika mengerjap saat gerakan tiba-tiba dari kelebat bayangan tersebut mampir di indra penglihatannya. Perempuan itu bergeming menilai situasi. Namun, seolah bayang-bayang itu mengundangnya, gerakannya yang gesit itu muncul lagi, bergerak zig zag dari satu bangunan ke bangunan lainnya dengan cepat.

Carissa berjalan cepat dengan penuh kehati-hatian. Diikutinya kelebat bayang-bayang itu dengan penuh rasa ingin tahu. Dan benar saja, saat Carissa hendak mendatangi tempat terakhir kelebatan itu nampak, ia bergerak cepat semakin jauh, seolah-olah sedang mengajak perempuan itu ke suatu tempat.

Carissa berlari kemudian. Ia yakin sekali jika kelebatan bayangan itu memiliki tujuan entah apa dengan dirinya. Dan jika dilihat dari bentuk serta cara makhluk tersebut yang memiliki gelagat tak biasa, Carissa menduga jika itu bukanlah manusia.

Membuang sikap berhati-hati dan memilih untuk tak peduli dengan keselamatannya karena bisa saja makhluk itu sedang mengajaknya ke tempat yang menjebak, Carissa terus mengikuti ke mana makhluk bayangan itu melesat, terus dan terus hingga tiba di sebuah sudut taman yang memiliki tembok tinggi serta pencahayaan yang minim dengan lampu-lampu kecil pada dindingnya.

Kelebat bayang-bayang itu menghilang di sana!

Carissa yang masih terengah karena berlari tadi mencoba melangkah mendekat. Diembuskannya udara melalui mulut untuk mengatur napasnya yang tersengal.

Mata Carissa yang tajam memindai sekeliling. Namun, di setiap inci dari sudut taman yang dilihatnya, tak ada barang setitik bayang yang tertangkap di sana.

Desau angin menderu mengisi keheningan. Perempuan itu masih bergeming dengan persiapan aura biru yang mulai muncul di tangannya.

Sebagai putri satu-satunya dari pemimpin klan biru sebelumnya, Carissa, tanpa siapa pun tahu, telah dinobatkan oleh alam menjadi pemimpin klan biru saat ini, yang itu berarti, dirinyalah yang memiliki kekuatan paling besar di antara yang lainnya, menuruni sang ayah. Kekuatan biru yang mewakili kekuatan air pada tubuhnya.

Carissa masih menunggu. Lalu, setelah beberapa lama tak ada pergerakan berarti, aura biru di tangannya mulai padam.

Sangatlah berisiko sebetulnya jika sampai ada manusia yang tahu tentang aura biru pada dirinya. Bisa-bisa orang-orang menganggap dia hantu atau manusia setengah setan dan akan lari karena ketakutan. Efek yang lebih mengerikan baginya adalah saat orang-orang di tempat tinggal atau tempat kerjanya tahu mengenai ini.

Dirinya akan menjadi makhluk yang terasingkan seketika itu juga. Dan ia tak ingin itu terjadi. Sebab, lokasi ini telah ia tinggali selama setahun terakhir dan menjadi rumahnya yang nyaman. Akan sangat merepotkan jika ia harus berpindah tempat dan menyesuaikan diri lagi di tempat baru.

Tapi, secuek-cueknya Carissa, ia tak akan tinggal diam begitu saja atau justru lari jika mendapati ancaman. Ia pasti akan mengejar dan menuntaskannya hingga habis.

Perempuan itu menghela napas panjang. Pertanyaan demi pertanyaan mulai mengabuti pikirannya.

Siapakah sebenarnya sosok bayangan itu? Apakah itu lawan atau kawan?

Di tengah kewaspadaannya yang mulai menurun dan tak menemui jawaban, Carissa memutuskan untuk berbalik arah. Melangkah kembali menuju area tempat tinggalnya yang kini berada jauh di belakang.

Tepat saat ia membalikkan badan, sosok bayangan hitam yang berada di bawah bayangan pohon itu berdiri di sana. Carissa membelalak terkejut. Keterkejutan itu kian bertambah saat sosok itu melangkah ke depan, membiarkan dirinya terlihat jelas di bawah naungan lampu taman yang menyala putih.

Dan, betapa kagetnya Carissa saat melihat dengan jelas dan pasti, bagaimana sosok itu ternyata lelaki, menampakkan aura merah menyala dengan ciri merah di sekujur tubuhnya yang khas.

Carissa menggeram dan mengepalkan tangan, memperlihatkan bagaimana ia begitu membenci dan seolah hendak menghabisi makhluk klan merah itu.

Berkebalikan dengan Carissa yang menampilkan ekspresi marah, lelaki itu justru menyeringai dengan wajah berseri.

“Azure …,” sapanya dengan nada pengenalan penuh arti.

 

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

 

KONTEN PREMIUM PSA


 

Semua E-book bisa dibaca OFFLINE via Google Playbook juga memiliki tambahan parts bonus khusus yang tidak diterbitkan di web. Support web dan Authors PSA dengan membeli E-book resmi hanya di Google Play. Silakan tap/klik cover E-book di bawah ini.

Download dan install PSA App terbaru di Google PlayWelcome To PSAFolow instagram PSA di @projectsairaakira

Baca Novel Bagus Gratis Sampai Tamat – Project Sairaakira

8 Komentar

  1. Indah Narty menulis:

    Woow :lovelove

  2. selinokt18 menulis:

    Semakin seruuuuu. Terima kasih updatenya ka Bin ❤

  3. Seru banget kakk, sering² up ya kak :lovelove

  4. Jayaning Sila Astuti menulis:

    keren banget lah ini..

  5. rhafatimatuzzahra menulis:

    :lovelove

  6. Dian Sarah Wati menulis:

    Wowww…merah vs biru

  7. Seruuu :lovelove