Cerpen | Untuk Laura

black-1175218_1920

 

7 votes, average: 1.00 out of 1 (7 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

Kota Ockland dilanda kericuhan. Keamanan kota sedang diobrak-abrik oleh sindikat kriminal yang bergerak secara senyap menculik warga kota di beberapa tempat. Pihak regensi beserta tim investigasi telah menurunkan tim khusus untuk menyelesaikan persoalan tersebut. CCTV dipasang hampir di semua sudut strategis berikut petugas yang disebar hampir di semua wilayah.

Laura berjalan cepat dengan napas terengah saat tiba di pintu gang. Area tempat tinggalnya ini sesungguhnya adalah area yang jauh dari hiruk pikuk serangan para penjahat itu dan termasuk wilayah aman karena berada di lokasi terdekat dengan kantor polisi setempat.

Waktu menunjuk pukul sepuluh malam. Laura merasakan dadanya seolah akan meledak karena sedari tadi menahan rasa cemas sekaligus lelah karena langkahnya yang cepat. Perempuan itu bersandar pada tembok di salah satu sisi tersembunyi sebuah rumah tak jauh dari jalur masuk tempat tinggalnya. Tadi, Laura mengira jika dirinya akan menjadi korban penculikan selanjutnya setelah selama 1 kilometer jauhnya ia dibuntuti oleh seseorang.

Laura membuka ponselnya dan menggerutu. Keegan. Teman lelakinya itu biasanya akan berbaik hati menemaninya pulang mulai dari halte bus kedua hingga depan jalan menuju gang rumahnya ini. Keegan berkata jika rumahnya berada dua kilometer dari tempat Laura turun dari bus sehingga bukan masalah besar jika ia menemani Laura pulang.

Bagi Laura sendiri, Keegan adalah sosok sempurna yang memenuhi segala ekspektasinya tentang lelaki idaman. Keegan adalah lelaki pekerja keras, penyayang, dan peduli dengan orang lain. Hal itu masih ditambah dengan fisiknya yang gagah dan rupawan.

Sejenak Laura tersenyum tipis saat mengingat pendapatnya sendiri tentang lelaki itu, tetapi dengan cepat ia mendecak lantas menyakukan kembali ponselnya dengan gerakan kasar saat tahu jika sepertinya Keegan tak akan datang. Baru saja akan melanjutkan langkah setelah yakin jika tak ada siapa pun yang mengikutinya, Laura justru mendengar suara derapan langkah kaki yang terdengar tegas di belakangnya.

Astaga. Apakah dirinya lengah sehingga membiarkan penguntit itu berhasil menemukannya meski ia bersembunyi di tempat gelap?

Tubuh Laura gemetar dengan antisipasi yang terlambat meski ia pada akhirnya berhasil maju selangkah demi selangkah dengan tersendat-sendat. Langkah kaki itu kian dekat membuat Laura memejam dan bersiap melawan dengan sepenuh kemampuannya yang seadanya apa pun resikonya. Perempuan itu mencengkeram tas yang diselempangkannya dan bersiap melemparkannya ke belakang lantas hendak berlari.

Laura menghitung dalam hati seiring derap langkah kaki di belakangnya yang kian cepat. Perempuan itu secepat kilat melempar tas di tangannya dan seketika itu juga keterkejutan kedua saat tangannya tiba-tiba dicengkeram membuat jantungnya seolah betul-betul terlepas dari tempatnya.

“Laura.”

***

Sudut jalan itu sepi. Lelaki yang tampak mengenakan pakaian serba hitam dan penutup kepala itu menghentikan langkah. Perempuan yang diikutinya tadi sepertinya menyadari jika ada orang yang sengaja membuntutinya dan itu adalah masalah besar.

Pemimpinnya dengan tegas mengatakan jika ia hanya harus mengawasi perempuan itu hingga tiba di rumahnya tanpa ketahuan.

Telanjur. Lebih baik ia segera pergi dari tempat ini.

Lelaki itu menengok penunjuk waktu di pergelangan tangan, menghitung waktu.

Beberapa saat kemudian, sebuah sepeda motor besar dengan warna gelap berhenti persis di depannya. Tak menunggu waktu lebih lama, ia segera membonceng di belakang dan pengendaranya pun segera memutar gas, melaju di jalanan besar itu, menyaru dengan kendaraan lain, membaur dengan mobil petugas yang sesekali membunyikan sirene, menandakan petugas patroli yang benar-benar tak beristirahat malam itu.

***

Laura meletakkan gelasnya dengan tangan gemetar. Bayang-bayang dirinya dibuntuti orang tak dikenal lantas tiba-tiba ditikam benar-benar membuat kepalanya pening.

“Kau dibuntuti?” Keegan mengernyitkan dahi.

Laura mengangguk pelan. “Kau mendadak datang di belakangku. Apa kau tak melihat? Kupikir kaulah orang itu. Sialan!” umpatnya sembari memukul lengan Keegan.

Raut wajah Keegan berubah gelap sesaat sebelum berucap dengan nada getir, “Maafkan aku, Laura. Aku ada lembur hari ini dan tak bisa menemanimu pulang—”

Suara rentetan tembakan dari televisi yang menyala menyela kalimat Keegan. Keduanya menoleh cepat dan melihat jika kanal berita terbaru sedang memperlihatkan suasana keributan di salah satu rumah yang sedang dikepung. Ada begitu banyak polisi dan juga warga kota yang tertarik ingin melihat proses penangkapan di sebuah rumah yang diduga sebagai kediaman pelaku penculikan.

Suara embusan napas Laura terdengar putus asa. “Apakah menurutmu para polisi akan berhasil menangkap salah satu saja dari mereka malam ini?” tanyanya dengan nada cemas. “Aku ingin sekali pindah dari kota ini tapi seluruh jalan menuju keluar wilayah kota menjadi tempat yang paling tidak aman,” keluhnya dengan senyum kecut. “Teman-teman kerjaku banyak yang kehilangan anggota keluarga mereka. Aku takut.” Laura tanpa sadar mengusap lengannya sembari memeluk badan, menunjukkan ketakutannya yang tak terbendung.

Ada tatapan tak biasa dari kedua mata Keegan mendengar kalimat Laura itu. “Bagaimana jika kita menikah saja sehingga kau hanya harus di rumah dan aku yang akan bekerja?” celetuknya yang berhasil membuat kedua mata Laura melotot marah.

Namun, berbeda dari biasanya di mana Keegan yang setelah mencandai Laura itu akan mengeluarkan suara tawanya, kali ini lelaki itu memasang ekspresi wajahnya yang serius dan menatap Laura dengan penuh harap.
“Aku bersungguh-sungguh, Laura. Kau telah mengenalku dan aku mengenalmu dengan baik. Bukankah aku telah memberi apa yang kaubutuhkan selama ini? Aku akan menjamin keamananmu dan mencukupimu. Apakah itu tak cukup memberimu pertimbangan?” Keegan meraih tangan Laura dan menggenggamnya.

Entah bagaimana hal itu terasa berbeda bagi Laura dari sentuhan Keegan selama ini yang hanya menyentuh lengan saat memanggilnya.

“Keegan. Mungkin ini terlalu terburu-buru. Aku—”

“Aku berjanji atas perihal yang kuucapkan tadi, Laura. Kau akan menjadi satu-satunya. Aku berjanji tak akan meninggalkanmu apa pun alasannya. Aku mencintaimu.” Keegan berucap lembut penuh kesungguhan, menyentuh perasaan Laura hingga perempuan itu berkaca-kaca.

***

Suara tawa terdengar keras di dalam sebuah mobil minivan yang sedang melaju di jalanan lengang pinggir kota. Dua laki-laki tampak berbincang dengan bahasa asing dan entah sedang membicarakan apa.

“Siapa … kalian?” Suara tanya penuh teror dari mulut seorang perempuan yang duduk di kursi tengah mobil itu terdengar parau. Seingatnya, tadi ia sedang berada di meja kerjanya dan menyalakan laptop, tetapi entah bagaimana kini ia sudah berada di kendaraan asing bersama dua laki-laki yang tak dikenalnya!

Salah seorang dari dua laki-laki itu kembali tertawa. “Sebentar lagi kita tiba, Sayang. Kau akan segera tahu,” ucapnya dengan senyum sinis sembari mengangkat ponselnya ke telinga.

“Tuan. Kami sudah membawa target selanjutnya.” Laki-laki itu berkata dengan penuh keangkuhan.

“Ah, bagus. Aku sedang berada di tempat biasa. Kususul kalian sesegera mungkin,” sahut seseorang di seberang telepon lantas memutus sambungan.

“Tuan Lee sedang pergi?” Lelaki yang berada di balik kemudi bertanya.

“Ya. Dia sedang bersama wanitanya. Sebentar lagi akan menyusul kita ke markas.”

Kendaraan roda empat itu terus melaju membelah jalanan mulus di tengah hutan pinus, menuju tempat tujuan.

***

Keegan masih menggenggam tangan Laura ketika pada akhirnya mereka berjalan turun dari mobil yang dikendarai Keegan. Laura tak sempat memperhatikan sekeliling bahkan tak peduli lagi dengan tujuan mereka pergi kali ini karena selama perjalanan tadi, yang ada dalam pikirannya hanyalah pernyataan Keegan yang tak pernah disangka-sangkanya, bercampur aduk dengan kebingungan hatinya sendiri yang tak berkesudahan.

Laura tersentak dari lamunannya ketika mereka berdua tiba di depan sebuah rumah besar di mana sudah ada banyak sekali anggota polisi yang berjajar seolah menunggu mereka berdua.

“Kee-Keegan.” Langkah Laura sontak berhenti dengan wajahnya yang pias. Perempuan itu menyentakkan genggaman tangannya saat mengetahui jika Keegan sama terpakunya seperti dirinya. “Apa … yang terjadi?” tanya Laura terbata, mulutnya terasa kering bahkan untuk sekadar menelan ludah menenangkan diri dan memahami situasi.

Pikiran Laura yang lelah kini tumpul seketika saat tak berhasil mengumpulkan barang satu kemungkinan tentang apa yang sedang dihadapinya.

“Kau … Keegan ….”

Tanpa disangka, dari semua ekspresi gugup dan takut yang bisa ditunjukkan oleh Keegan kepada Laura atas peristiwa ini, lelaki itu justru memiringkan tubuhnya dan tersenyum lebar dengan aura menakutkan hingga membuat Laura tanpa sadar memundurkan kakinya gemetar. Tak berapa lama, sebuah mobil minivan datang membunyikan klakson, mengalihkan perhatian semuanya.

Dua orang lelaki dan satu orang perempuan yang dicekal tangannya turun dari kendaraan itu.

Para polisi yang semula anteng seperti patung itu mendadak menundukkan tubuh mereka yang tentu saja merupakan isyarat tanda menghormat setelah Keegan menatap tajam ke arah mereka semua, setelah itu, serempak para polisi itu melepas resleting baju hingga ke atas kepala, membuat penampilan mereka berubah total menjadi selayaknya seorang pengawal berpakaian serba hitam.

Belum selesai hal itu membuat Laura kembali tertimpa shock, pintu besar rumah itu terbuka lebar, memperlihatkan beberapa pelayan dengan pakaian khasnya yang begitu rapi, berdiri seperti boneka dengan tatapan kosong.

“Tuan Keegan Lee.” Mereka menyapa serempak.

Laura membelalak mendengar suara sapaan itu, wajahnya berubah pucat saat tanpa sadar ia mengamati dan mengenali beberapa perempuan yang beberapa waktu lalu berkali-kali masuk ke dalam saluran berita televisi, menjadi berita utama perempuan hilang yang menghebohkan.

Laura jatuh terduduk dengan dadanya yang sesak diikuti kedua matanya yang membasah. Tak mampu berkata-kata.

“Selamat datang di rumah, Laura. Bagaimana? Apakah kau menyukai mereka? Kalau kau tak setuju, aku bisa dengan mudah mengganti mereka semua.”

Tangis Laura pecah, diikuti isakannya yang berujung pada suara teriakan putus asa penuh kengerian yang tak bisa ditutup-tutupi lagi.

 

TAMAT

 

Puisi | Lentera

png_20230325_103353_0000

Aku masih merangkum sepi yang kautinggalkan
Berteduh memeluk namamu yang masih basah dalam ingatan
Hujan kini memercik rindu yang perlahan menghunjamkan kepedihan
Lihatlah, hatiku tinggal separuh meski cintaku masih utuh seluruh

Dalam mataku saat ini dunia hanya temaram, kosong, penuh serpihan debu masa lalu yang menyapu-nyapu tubuh dengan kegelisahan

Masih kusimpan lembaran cerita itu dalam sebuah ruang rahasia
Kuletakkan senyummu pada sepohon kandil sebagai lentera
Lantas kuhias seluruhnya dengan kesibukan-kesibukan….

 

The Red Prince | BONUS PART Mauve’s Story : Sang Penakluk

Cover

d7d6a59e83610ca99f8f86f12033de3c

 

Love it! (No Ratings Yet)
Loading…

Dunia langit dilanda mendung pekat selama beberapa hari. Suasana tampak mencekam dengan guntur serta petir yang menyambar tiada henti. Para okultis berkata jika kelahiran sang putra mahkota telah dekat. Semesta sedang berantusias menyambut kedatangan makhluk yang sangat mereka nanti-nantikan itu.

Azure berdiri di belakang jendela kamarnya dengan kening mengernyit. Kedua tangannya tak lepas dari mengusap perutnya yang kini telah membesar, seiring usia kehamilannya yang telah mencapai sebelas bulan. Perempuan itu menatap ke arah langit yang memperlihatkan pelangi semesta yang terlihat cantik dan garang dengan warnanya yang tetap cerah di balik pekatnya awan.

Sesekali tampak petir berwarna ungu cerah itu memperlihatkan kilatan cahayanya yang sedang berkejar-kejaran dengan ganasnya petir berwarna putih yang mengejut-ngejutkan cahayanya dengan beringas, meliuk-liuk di antara awan-awan.

Suara pekikan terkejut keluar dari mulut Azure saat pergerkan perutnya terasa sangat keras. Perempuan itu mengusap perutnya yang tampak bergerak-gerak dengan wajahnya yang meringis.

“Ada apa, Azure?” Reddish yang baru saja keluar dari ruang mandi itu terkesiap saat menemukan jika istrinya sedang kepayahan menyandarkan tubuhnya pada tepi meja, menampakkan wajahnya yang pias. Lelaki itu segera mendekat dan turut mengusapkan telapak tangannya pada permukaan perut Azure. “Sakit?” tanyanya cemas.

Azure terlihat menenangkan diri dengan berkali-kali menarik dan mengembuskan napasnya perlahan melalui mulut. “Sedikit,” sahutnya meringis, menahan rasa tak nyaman yang mulai merayapi sekitar punggung dan perutnya.

“Crimson.” Reddish memanggil pengawalnya itu dan dalam beberapa detik, lelaki tua klan merah tersebut menjura di ambang pintu. “Panggilkan okultis dan para pengawalnya. Minta mereka bersiap-siap,” perintahnya tegas.

“Mungkin ini tak apa-apa, Reddish. Bukankah langit masih gelap dan musim ini masih akan berlangsung satu bulan lagi seiring waktunya putra kita lahir?” Azure berkata lemah, dituntun oleh suaminya agar terduduk di ranjang diikuti Reddish yang turut duduk, merangkul perempuan itu, membiarkan Azure bersandar di pundaknya.

Reddish menampakkan ekspresi gelap dan menggeleng pelan. “Aku ingin kau ditolong segera saat waktunya tiba. Biarkan mereka menemanimu sampai nanti-“ Ucapan Reddish terhenti saat Azure tiba-tiba saja menjerit tertahan ketika merasakan perutnya terasa luar biasa nyeri. Peluh seketika bermunculan di wajah Azure, menghiasi roman wajahnya yang bertambah pucat.

“Astaga.” Reddish membeliak saat melihat darah Azure yang berwarna biru pekat itu menodai gaun yang dipakainya. “Crimson! Suruh mereka cepat!” Reddish gusar, bersegera membantu perempuan itu naik ke atas peraduan.

Azure tampak kepayahan dalam usahanya menahan rasa sakit. Sebelah tangan perempuan itu tampak memegangi perutnya sementara sebelah tangannya yang lain mencengkeram erat tangan Reddish. Suara guntur dan kilatan petir kian ganas. Suasana di luar kastil tampak makin pekat membuat ruang peraduan itu temaram, angin berembus kencang seperti akan terjadi badai. Petir berwarna ungu itu menyambar keras di atas kastil membuat keterkejutan menampar mereka semua.

Reddish terduduk kaku di sisi ranjang, sesekali memandangi luar ruangan melalui jendela dengan kening berkerut. Tubuhnya yang kukuh dan gagah di medan pertarungan itu kini tampak gemetar. Sebelah tangannya berusaha menenangkan perempuan itu dengan mengusap perutnya, menguarkan aura merahnya yang pekat untuk mengurangi rasa sakit yang membuat istrinya terus menerus mengeluh.

“Kau pasti kuat, Azure. Aku tak akan memaafkan diriku sendiri jika sampai terjadi sesuatu padamu.”

Suara derap lari bersahut-sahutan terdengar kemudian. Okultis klan merah dan para pengawalnya tiba dan menjura. Mereka yang pada kesempatan sebelum-sebelum ini selalu menunduk dan tak berani menengadah tanpa diperintah, kini melebarkan kedua mata mereka begitu tiba di ambang intu ruang peraduan itu.

Pemandangan pertama yang membuat mereka pias adalah karena maharani mereka mengeluarkan begitu banyak darah berwarna asing yang mungkin tak bisa mereka saksikan sedekat ini. Sesuai dengan asal klan nona Azure dari wilayah biru, darah biru pekat itu merembes hingga mengalir membuat seprai berwarna merah milik pemimpin mereka itu kini menjadi gelap.

“Tuan Reddish. Sepertinya Nona Azure akan melahirkan sekarang juga,” ucapnya lugas lantas menengok ke arah anak buahnya yang telah siap sedia membawa peralatan.

Reddish menelan ludah. Di luar keangkuhannya yang biasa, Reddish tahu jika urusan perempuan, kehamilan apalagi kelahiran ini tak dapat ditanganinya sendiri. Pikirannya yang selalu jernih dan tepat ketika memutuskan sesuatu itu mendadak buntu sehingga dengan wajahnya yang pucat, Reddish dengan bingung bertanya, “Aku boleh tetap di sini?”

Okultis itu menjawab tegas. “Tentu, Tuan. Anda bisa tetap di sini memberi dukungan kekuatan kepada nona Maharani.”

Reddish mengangguk dan menoleh ke arah Azure yang tampak memejam dengan ekspresi wajahnya yang melenguh kesakitan.

“Reddish ….” Azure memanggil lemah, seluruh daya tubuhnya seolah tersedot, tak mampu menanggung rasa nyeri luar biasa yang kini menjalari tubuhnya.

Lelaki itu menopang tubuh Azure dan menciumi kepalanya, membisikkan gumaman-gumaman menenangkan. “Aku di sini, Azure.”

Suara gemuruh angin disertai petir yang mengilat-ngilatkan cahayanya itu terdengar kian kencang, Azure menuruti perintah okultis itu untuk tetap tenang dan mengatur napasnya yang kini kembang kempis seperti mau habis. Reddish tak henti-henti menguarkan aura merahnya yang hangat, tak peduli jika tubuh Azure yang sedingin es itu seakan tak memberi reaksi.

Pada detik di mana Azure merasakan kesakitan luar biasa tak tertahan, suara jerit tangis bayi terdengar kencang seiring berhentinya nuansa gelap nan mengerikan yang sedari tadi melingkupi proses kelahiran itu. Nuansa negeri itu mendadak tenang. Azure mengatur napasnya yang tersengal ketika proses menyakitkan itu seolah musnah tanpa bekas setelah putranya terlahir. Reddish masih memeluk tubuh Azure dengan terpejam hingga ketika suara kencang bayi itu mengusik pendengarannya, perlahan kedua mata merah lelaki itu membuka, tampak berkaca-kaca.

Okultis dan anak buahnya bekerja cekatan. Bayi kecil berwarna putih bersih itu lantas dibersihkan dan dibungkus selimut berwarna merah yang menyelimti seluruh tubuhnya, memperlihatkan wajahnya yang mungil dengan rona merahnya yang  manis. Tangisnya yang menggema itu telah mereda, berganti dengan sikap tenang karena nyaman setelah tubuhnya kembali hangat tertutup selimut.

Okultis itu tak menutup-nutupi lagi rasa harunya dengan membiarkan kedua matanya yang berkaca-kaca itu meneteskan air mata di pipinya. Kedua tangannya yang mendekap bayi mungil itu berjalan menuju peraduan, diikuti para anak buahnya yang kini tengah membantu Azure berganti pakaian.

“Selamat, Tuan Reddish. Putra Anda lahir dengan begitu sehat dan sempurna.” Okultis itu menyerahkan sang bayi ke arah Reddish yang langsung diterima oleh lelaki itu dengan memeluk rapat bayi itu dalam lengan-lengannya.

Reddish mengamati bayi itu dengan  saksama dan menemukan jika meskipun seluruh tubuh bayi itu seolah tak memiliki ciri sebagai makhluk warna, tetapi ia bisa melihat jika kedua mata bayi itu berwarna ungu cerah, kepalanya tampak bergerak-gerak dengan mulutnya yang mengerucut lucu, tak sabar untuk meminta jatah minumnya. Di sisi lain, setelah peraduan itu dibersihkan, Azure yang masih lemah tampak berbaring setengah duduk dengan kedua matanya yang hampir terpejam. Okultis perempuan itu telah memberinya beberapa ramuan minuman untuk membantu memulihkan energi dan memberinya waktu beristirahat.

“Aku yang akan menggendongnya agar Azure bisa beristirahat. Kalian keluarlah dan kembali untuk jadwal perawatan berkala bayi ini.” Reddish memerintah yang langsung disahuti dengan anggukan oleh para perempuan okultis di tempat itu. Namun, sebelum mereka pergi, salah seorang dari mereka memberanikan diri bertanya,

“Siapakah nama yang akan disandang putra Anda ini, Tuan? Kami akan segera memberi tahu kabar baik ini ke seluruh penjuru kastil.” Okultis itu menjura diikuti yang lainnya.

Reddish menimang-nimang bayi itu dengan penuh sayang. Ekspresinya tampak teduh ketika menatap bagaimana akhirnya bayi itu tertidur dalam pelukannya. Dengan senyum tipis, Reddish menarik napas panjang sebelum menyebut nama manis itu meluncur dari bibirnya. “Mauve. Namanya adalah Mauve,” tuturnya mantap dengan nada penuh kebanggaan.

***

Mauve kecil hidup dalam gelimang kasih sayang. Seluruh penghuni kastil merah bahkan semua wilayah negeri langit itu mengelu-elukan namanya sebagai warna paling indah yang pernah ada di negeri itu. Bayi kecil yang semula tampak seperti makhluk manusia pada umumnya itu kini mulai memperlihatkan warnanya. Rambutnya yang semula berwarna putih bersih itu mulai menunjukkan perubahan warna seiring usianya yang makin bertambah. Lebih dari itu, hal paling mencolok yang menarik perhatian makhluk lain adalah karena pada usia sekecil itu, Mauve telah memiliki warna ungu terang di ujung-ujung jemari berikut kuku-kukunya, menunjukkan jika kekuatan aura yang dimiliki lelaki kecil itu begitu besar walau usianya masih belia.

Azure tengah mengajaknya berjalan-jalan di sekitar kastil biru ketika hari masih pagi. Mauve tampak antusias dengan berlarian ke sana kemari menggiring hewan-hewan biru yang tampak merubung dan senang bermain-main dengannya. Usianya baru menginjak tiga tahun, tapi kekuatan aura dan pesona yang tumbuh di dalam dirinya telah tampak. Terbukti dari makhluk apa pun yang melihat apalagi berdekatan dengannya seolah terpedaya hingga tubuh mereka terpaku dan memuji-muji keelokan Mauve tanpa sadar.

Anak laki-laki kecil itu tiba-tiba saja menghentikan langkah saat matahari mulai merangkak naik, memperlihatkan pemandangan negeri yang indah dengan warna-warni mencolok di berbagai sudutnya. Mauve dengan kedua mata ungunya tampak terpaku sejenak lantas membalikkan badan ke arah Azure yang sedari tadi tampak tersenyum melihat tingkahnya.

“Ibu, ke sana. Aku ingin ke sana.” Mauve menunjuk-nunjuk dengan tangannya yang mungil membuat Azure berjongkok, melihat ke arah telunjuk Mauve.

Azure mengangkat sebelah alis saat menemukan jika tempat yang diinginkan oleh Mauve ternyata adalah kastil ungu yang terletak tak jauh dari lokasi mereka saat ini. “Ah, kau rindu kastilmu, Mauve?” tanyanya sembari mencium pipi anak lelaki itu dengan gemas.

“Iya, aku ingin ke sana, Ibu. Ayo ke sana.” Mauve mulai merengek dengan menarik-narik sebelah tangan ibunya.

Perempuan biru itu menoleh ke belakang, ke arah para pelayan birunya yang bersiaga di sana. “Aku akan menemani Mauve ke kastil ungu. Salah satu dari kalian pergilah ke kastil merah dan sampaikan kepada Reddish jika aku pergi,” ucapnya lembut dengan tersenyum.

Para pelayan itu menjura dan menyahut homat. Azure tampak menguarkan aura birunya dengan Mauve yang ia dekap dalam pelukannya. Lelaki kecil itu terlihat berusaha mengeluarkan aura ungunya dengan serius, menggerak-gerakkan tangannya yang diliputi warna ungu itu dengan gerakannya yang lucu dalam dekapan ibunya. Azure terkekeh riang. “Kau hebat, Mauve. Auramu sudah tampak pekat di usiamu yang sekecil ini,” pujinya sembari menggerakkan tubuhnya naik, terbang menuju kastil ungu diikuti beberapa pelayannya.

***

Begitu tiba di kastil ungu, Mauve terdiam sejenak. Azure mengira jika anak laki-lakinya itu akan langsung meloncat turun dan bergegas menjejakkan kakinya dengan berlari-lari di sana begitu mereka sampai. Namun di luar dugaan, pagi yang cerah itu mendadak berubah kelam seperti akan turun hujan. Azure menengadah dan dadanya berdebaran. Ia sepertinya sudah bisa menebak apa yang akan terjadi jika langit negeri sudah terpayungi oleh awan hitam seperti itu. Dan benarlah, suara guntur diikuti cahaya kilat berwarna ungu cerah yang menyakitkan mata itu muncul.

Azure merasa dejavu begitu melingkupinya saat ini. Ia seolah berada lagi di tiga tahun lalu di mana Mauve masih berada di perutnya. Nuansa ini ….

Mauve merosot turun dari dekapan ibunya dengan tatapannya yang tak biasa, menatap ke arah kastil itu masih dengan kependiamannya yang aneh.

“Mauve.” Azure berusaha memanggil, tetapi anak lelaki itu tak menghiraukan.

Dari dua tangannya yang  kecil, aura ungu menyala terang, merambati setiap jemarinya lantas meninggalkan warna ungu rapat yang berakhir di pergelangan tangannya. Dada Azure berdesir saat ia menyimpulkan apa yang terjadi. Kekuatan aura Mauve bertambah besar saat ia berada di kastilnya sendiri dan ia mulai cemas.

Langit kian mendung. Petir berwarna ungu itu menyala-nyala dan menggelegar kuat membuat mereka yang ada di tempat itu memekik tertahan dengan kedua tangan yang refleks menutup telinga karena terkejut.

Mauve bergeming di tempatnya dan Azure merendahkan tubuhnya lantas memegangi pundak anaknya lembut. “Kau tak apa-apa, Nak?” tanyanya di sela nuansa mencekam yang membuat bulu kuduk mereka meremang. “Apakah tak sebaiknya kita pulang dulu dan bertemu dengan ayahmu?” Azure mencoba membujuk, tetapi lagi-lagi Mauve hanya terdiam mematung. Kedua matanya menatap entah apa ke depan, sementara aura ungu anak itu menyala kian pekat.

Saat petir ungu itu menyala seolah akan menyambar kepala mereka dengan kuatnya, cahaya putih terang tiba-tiba saja menyerang dengan gema suara keras yang menyergap ke arah Mauve. Tak ada yang bisa mereka lakukan karena cahaya itu seolah membawa kekuatan besar yang menghantam tubuh mereka hingga terpental, membuat Azure yang saat itu hendak meraih tubuh Mauve tak bisa apa-apa karena pada akhirnya kalah dan tumbang ke tanah tertelan ketidaksadaran berikut semua pengawal yang sedari tadi berdiri di belakangnya, tak tahu apa yang sebenarnya terjadi.

***

 Reddish sedang memimpin rapat pemimpin klan ketika Crimson masuk ke ruangan dan berdiri di ambang  pintu. Ajudannya itu menjura, membuat Reddish menatap lelaki itu dan mengerutkan kening. “Ada apa, Crimson?”

“Ampun, Tuan. Saya hendak memintakan izin. Pelayan biru dari kastil biru datang hendak menyampaikan pesan.” Crimson menyahut dengan tubuhnya yang menjura.

“Pelayan biru?” Reddish mengangkat sebelah alis. Ia tahu jika saat ini istri dan anaknya masih berada di kastil milik istrinya itu sejak pagi buta. Mauve yang sangat aktif dan disiplin bangun pagi itu selalu meminta ditemani berjalan-jalan pagi oleh Azure. Reddish sangat paham jika Azure bukanlah tipe perempuan manja yang selalu meminta perhatian kepadanya bahkan untuk keinginan-keinginan kecilnya di hari-hari biasa, justru Reddishlah yang seringkali menawarkan banyak hal yang selalu ditolak oleh Azure, menganggap Reddish terlalu berlebihan.

Dan kini, pelayan biru datang menghadap untuk menyampaikan pesan padanya? Reddish berdiri dari duduknya dengan antusias, menantikan pesan apa yang hendak disampaikan oleh Azure kepadanya. Ia sangat menanti ini terjadi, di mana Azure meminta sesuatu kepadanya, dan ia akan dengan senang hati mengabulkannya seperti saat perempuan itu meminta minuman di dunia manusia beberapa bulan lalu. Lelaki itu mempersilakan pelayan biru itu masuk yang langsung disahuti anggukan oleh Crimson. Lelaki klan merah itu meninggalkan ambang pintu, diganti oleh pelayan biru yang melangkah masuk.

Baru saja pelayan itu akan mengucapkan kalimatnya, mereka semua yang berada di tempat itu tiba-tiba saja dikejutkan oleh ruangan yang mendadak berubah remang. Reddish dan yang lainnya sontak menoleh ke arah jendela besar yang menganga di sisi ruangan itu, memperlihatkan awan mendung pekat dengan petirnya yang menyambar-nyambar.

“Nona Azure dan Tuan Mauve … pergi ke kastil ungu, Tuan.” Terbata-bata pelayan itu menjelaskan.

Reddish menoleh cepat ke arah makhluk biru yang saat ini menunduk di ambang pintu. “Apa kaubilang?” Reddish melebarkan mata dengan keterkejutan yang menghantam kesadarannya.

Ia telah menutup rapat kastil ungu itu agar tak bisa terlihat oleh mata Mauve. Vantablack yang turut mengikuti rapat pemimpin klan itu menjadi yang pertama ditatap oleh Reddish, dimintai penjelasan. Vantablack yang kini telah tumbuh menjadi lelaki remaja itu berdiri dan menjura. “Saya masih bisa memastikan jika kekuatan saya masih menyelubungi kastil itu, Tuan, berikut kekuatan merah Anda yang menyegel tempat itu.” Vantablack memaparkan lugas.

Wajah Reddish menampakkan ekspresi gelap. Ia berniat menunda Mauve untuk tinggal di kastilnya sendiri sampai usia lima tahun. Ia ingin anak lelakinya itu menikmati masa kecilnya meski hanya sebentar. Masa lalunya yang kelam menjadikannya bersikap bijak dengan tak membiarkan anak itu bertemu dengan kekuatannya di usianya yang masih terlalu dini walau Reddish menyadari jika tanpa kekuatan petir yang ia sembunyikan di kastil itu, Mauve tetap tumbuh sembari menumbuhkan kekuatan besar itu dari dalam dirinya.

Reddish masih mengingat jika membawa kekuatan besar dalam tubuhnya yang kecil itu terasa merajam tubuhnya. Mahogany, sang ayah, terpaksa menempa Reddish kecil dengan latihan terus menerus untuk menyeimbangkan kekuatan api dalam dirinya dan itu terasa menyiksa.

“Aku mengakhiri pertemuan hari ini sampai aku memanggil kalian kembali. Ada sesuatu yang harus kulakukan.” Reddish berkata tegas dan dengan cepat meninggalkan ruangan. Para pemimpin klan berdiri serempak dan menjura, membiarkan Reddish tergesa melangkah pergi.

***

Reddish terus menembus angin kencang yang menerpa dan melempar tubuhnya berkali-kali ketika ia dengan keras kepala memaksa diri menghampiri Azure dan Mauve yang saat ini entah bagaimana keadaannya di kastil ungu itu. Semoga ia belum terlambat.

Petir ungu yang berkilat itu menyala-nyala terang di atas kastil, seolah dengan angkuh menunjukkan keberadaannya setelah tiga tahun ini disembunyikan. Reddish baru saja akan mengerahkan seluruh kekuatannya untuk terbang menuju kastil ungu itu ketika nuansa gelap nan mencekam yang meliputinya itu musnah perlahan-lahan. Dada Reddish bedesir dan ia dengan cepat melesat mendekati kastil ungu yang hanya tinggal separuh jarak.

Matahari yang tadinya tampak bersembunyi dan takut-takut berada di balik awan kini memperlihatkan lagi sinar cerahnya yang pongah, menerangi apa saja. Lelaki merah itu menginjakkan kakinya dengan gamang. Crimson yang berjalan di belakangnya turut memindai sekeliling. Ketika cahaya mentari itu merambat dan naik perlahan, tampaklah pemandangan mengejutkan yang membuat Reddish tercengang dan mengepalkan tangan. Lelaki itu berlari mendekat dan melebarkan mata lantas berjongkok ke sisi tubuh Azure yang tergeletak begitu saja di atas rerumputan berwarna ungu muda itu.

Hal lain yang membuat Reddish terbelalak adalah saat ia melihat Mauve turut tak sadarkan diri tak jauh dari ibunya terbaring dengan semakhluk hewan berwarna ungu yang menyundul-nyundulkan kepalanya ke arah Mauve dengan gerakannya yang lucu. Hewan kecil berbulu itu terus mendesak-desakkan tubuhnya seolah sedang berusaha membangunkan anak lelakinya yang tak sadarkan diri. Lebih dari itu, yang membuat kedua mata merah Reddish menyipit adalah ketika ia melihat jika punggung hewan berbulu serupa kucing itu itu membentuk garis zig-zag serupa petir yang memanjang dari belakang kepala hingga ekornya yang panjang.

Reddish segera memerintah Crimson untuk mengundang yang lainnya kemari membantu para pelayan Azure yang turut tak sadarkan diri. Lelaki itu kembali menunduk, menatap Azure dalam pangkuannya yang masih memejam.

“Azure. Bangunlah.” Reddish mengusap pipi perempuan itu perlahan sembari mengeluarkan aura merahnya yang hangat. “Azure,” panggilnya sekali lagi.

Perempuan itu tampak mengernyit dengan lemah. Bulu matanya tampak bergerak-gerak, mengajak kedua matanya untuk membuka. Reddish melekap Azure rapat-rapat, cemas atas ketidaktahuannya akan apa yang sebenarnya terjadi.

Azure tampak mulai mengatur napasnya perlahan dengan keloapak matanya yang mulai terbuka. Keterkejutan tampak melumuri wajahnya ketika ia menemukan Reddish di depan matanya. Wajahnya tampak dipenuhi teror saat mengingat peristiwa mengerikan sebelum ia menyadari jika dirinya tak sadarkan diri.

“Astaga. Reddish. Mauve ….” Azure menatap ke arah pandang Reddish yang saat ini tak berkedip menatap ke depan begitu Azure menyebut nama putra mereka.

Pemandangan hewan berbulu yang tak henti-henti menyentuhkan tubuh lembutnya ke arah Mauve itu membuat Azure mengerutkan kening. Sang lelaki kecil itu terlihat mulai menggeliat dan ia terkejut oleh hewan berbulu yang tiba-tiba saja menciumi pipinya. Keterkejutan itu berubah menjadi tawa riang Mauve yang khas ketika ia mengusap-usap kucing ungu itu dengan telapak tangannya.

Suara meongan lirih diiringi gerak tubuh kucing itu yang memeluk-meluk seolah mengajak Mauve untuk lupa jika sebelum ini, ia dan ibu beserta pengawalnya hampir saja celaka karena nuansa aneh nan mencekam yang tadi sempat melingkupi mereka.

Reddish menatap anaknya dengan wajahnya yang masam, sementara Azure justru tersenyum penuh syukur karena tak menemukan suatu apa pun yang membahayakan putra kesayangannya.

Anak laki-laki itu bangkit sembari menggendong kucing kecil itu dalam pelukannya lantas berjalan mendekat ke arah kedua orang tuanya yang kini sedang terduduk menatapnya dengan ekspresi berbeda.

“Ayah! Ibu! Lihat kucing ini lucu sekali. Dia memiliki warna bulu sama seperti warnaku!” serunya antusias. “Aku ingin memeliharanya, ya. Aku ingin membawanya. Suren. Namanya Suren!” Mauve beceloteh riang dengan mengangkat-angkat hewan itu dengan gemas, membuat Azure tak kuasa menolakdan hanya mengangguk-anggukkan kepalanya menyetujui.

“Dia memang milikmu, Mauve. Dia adalah kekuatanmu.” Reddish berucap serak dengan tak henti menatap pada hewan kecil itu. Reddish tahu jika hewan itu hanya sedang berpura-pura bersikap menggemaskan di balik tampilan sesungguhnya yang ganas. Sepertinya kucing itu cukup mengerti jika ia harus menjaga sikap dengan mengimbangi Mauve yang masih belia setelah ia seolah dihukum oleh Reddish dengan mengurungnya di tempat ini. Ia akan patuh dan menjadi milik Mauve sesuai perintah anak itu.

“Milikku? Ayah yang melindungi hewan ini untukku? Terima kasih, Ayah.” Mauve mencium-cium Suren dengan pipinya, menunjukkan rasa senangnya.

Dan begitulah, Mauve hidup bersama-sama dengan kucing kecilnya sepanjang waktu hingga bertahun-tahun kemudian membawa Mauve tumbuh besar menjadi lelaki muda di negeri langit itu. Menjadi petarung selanjutnya.

***

Mauve tumbuh menjadi lelaki gagah yang mencolok. Dia masyhur oleh sifatnya yang penyayang. Mauve senang membantu dan tak suka merepotkan makhluk lain, bahkan dalam kehidupan kesehariannya, Mauve telah meminta tinggal di kastilnya sejak usia 10 tahun. Para pengawal yang sejatinya dihadirkan untuk melayani kebutuhan-kebutuhannya, malahan diperintah oleh Mauve untuk turut serta berlatih bela diri dan menyemai warna bersamanya, meskipun begitu, para pengawal itu tetap berperilaku baik dan selalu tunduk, menjura patuh di hadapan lelaki ungu itu. Jika klan merah terkenal dengan parasnya yang rupawan dan memikat tapi dengan sifat-sifatnya yang kasar, maka Mauve adalah penyempurna di mana ia adalah idaman setiap makhluk perempuan dengan parasnya yang tampan dan sifatnya yang penyayang.

Sesempurna itu Mauve di mata semua makhluk sehingga terkadang, tidak ada yang menyadari jika kelebihan itu adalah racun bagi makhluk lain. Mauve adalah makhluk penakluk. Wujudnya yang tampak indah dengan peliharaan lucu serupa kucing besar itu adalah tipuan besar bagi makhluk lain yang hendak menyerang.

Suren yang saat pertama kali bertemu dengan Mauve hanyalah seekor bayi kucing kecil yang menggemaskan, kini turut mengubah dirinya menjadi kucing besar serupa singa dengan bulu-bulu ungunya yang panjang memenuhi badan, meskipun suaranya yang serupa meongan kucing dan sikapnya yang jinak itu membuat siapa saja yang melihat dan berdekatan tak tahan untuk tak mengusapkan telapak tangannya di kelebat bulunya yang halus.

Di saat terdesak dan diharuskan bertarung bersama Mauve, Suren bisa berubah menjadi busur berbentuk petir yang akan mengeluarkan ribuan cahaya mematikan berwarna ungu ke arah musuh. Suren juga bisa berubah menjadi serupa hewan tunggangan yang kecepatan terbangnya seperti kilat.

Barangkali melalui itulah semesta mengabulkan permintaan Reddish di waktu lampau saat ia menyerah pada dirinya saat ancaman memiliki putra dengan kekuatan besar itu menghadangnya. Walau keinginan Reddish pada waktu itu terlontar saat ia terkena pengaruh kekuatan jiwa, tetapi dengan Mauve terpisah dari sumber kekuatannya yang tertanam di tubuh Suren, Reddish bersyukur karena kekuatan besar itu tak menyakiti Mauve seperti dirinya yang dahulu harus menyimpan kekuatan api besar dalam dirinya sendiri.

“Mauve.” Suara sapaan lembut dari arah belakang membuyarkan lamunan. Mauve menoleh dan menemukan jika Vanilla, makhluk peremuan dari klan putih itu berdiri tak jauh di belakangnya. Suren tampak terlebih dahulu menyambut kedatangan makhluk putih itu dengan mengeong dan menyundul-nyundulkan kepalanya ke sisi tubuh Vanilla.

Lelaki itu tersenyum dan membalikkan badan. “Kau, Vanilla,” sapanya kemudian. Sedetik setelahnya, Mauve memindai sekeliling dan menyadari jika dirinya masihlah sedang berada di tepi bukit jauh di pulau seberang. Ia tadi datang ke tempat ini untuk menuruti Admiral adiknya, yang rewel memintanya untuk bermain petak umpet bersama. “Apa yang kaulakukan di sini?” tanyanya dengan mengangkat sebelah alis.

“Ayahmu memanggilmu. Dia murka karena kau membuat Admiral menangis. Astaga … kau ternyata di sini.” Vanilla berujar dengan mengangkat bahu.

Mauve mengusap wajahnya kasar. Ia tak berniat menghilang dan membuat adiknya itu menangis. “Astaga. Admiral selalu mengadu kepada Ayah,” keluhnya. “Baik. Aku akan ke kastil milik Ayah sekarang juga,” ucapnya sembari mengangguk dan hendak berjalan ke ujung bukit untuk mulai terbang. Namun sebelum itu, Mauve menghentikan langkah dan menoleh. “Kau tahu aku berada di sini? Kau turut mencariku?” tanyanya tak percaya dengan ekspresi tak percaya yang penuh terima kasih.

Ditanya seperti itu, perempuan itu justru hanya berpaling dengan ekspresinya yang membuat kening Mauve berkerut.

“Vanilla?” Mauve memanggil ketika makhluk perempuan itu hanya diam.

Perempuan itu menoleh.

“Kau mau pulang bersamaku? Kita bisa bersama-sama menaiki Suren.” Mauve menawarkan, mengedikkan dagu ke arah Suren yang saat ini sedang asyik menjilat-jilat kakinya.

Vanilla menarik napas. “Kau tak apa-apa? Aku tak merepotkan?” tanyanya canggung.

“Tentu. Aku bisa dimarahi ayah nanti jika tahu kau berada di tempat ini sementara aku tak mengajakmu pulang.” Mauve tersenyum, meyakinkan perempuan itu.

“Ah, baiklah,” sahutnya mantap lantas mulai mengekor langkah Mauve. Namun, tiga langkah ketika Mauve pada akhirnya memimpin jalan diikuti kucingnya yang mengeong-ngeong, lelaki itu menghentikan jangkahan kakinya dan tiba-tiba membalikkan tubuh, dengan secepat kilat mengeluarkan petir-petir ungunya yang menancap di sekeliling tanah tempat makhluk putih itu berdiri.

“Vanilla tak mungkin mencariku sampai kemari.” Mauve menyeringai dan terkekeh dengan senyum jahat meremehkan yang membuat makhluk putih itu menampakkan otot-otot kulitnya yang tebal, sebelum menampilkan wujud aslinya sebagai makhluk serupa beruang raksasa dengan matanya yang marah, jelas sekali berniat menerkam Mauve dari belakang.

Mauve lantas melangkah mendekat, menyentuh kepala beruang besar itu seolah sedang merasa bersalah karena telah membuat makhluk itu terjebak dalam kurungannya. “Terima kasih karena telah mengingatkanku untuk pulang,” ujarnya dengan wajah manisnya yang tampan.

Beruang itu mengerutkan alisnya dengan ekspresi terharu, cepat sekali ia berubah perasaannya dan tiba-tiba saja merasa berharga karena makhluk ungu itu mengucapkan terima kasih, lupa pada posisinya saat ini yang masih berada di dalam terali petir yang merubunginya. Baru setelah Mauve enyah dari tempat itu menampakkan wujudnya yang semakin kecil ketika terbang makin jauh, tiba-tiba kepala beruang itu terasa pecah dengan cahaya putih bersinar yang lama kelamaan membesar keluar dari kepala bekas sentuhan Mauve tadi.

Belum sempat mengeluarkan raungan, terlebih dahulu tubuh beruang itu hancur berkeping-keping dengan bagian-bagiannya yang tampak hangus, seperti habis dilalap api.

Mauve tersenyum dengan sebelah bibir, melirik melalui ekor matanya dengan puas. Ia mengelus pucuk kepala Suren yang terus melaju kilat menuju kastil merah, di mana keluarganya telah menantinya pulang.

 

Terima kasih telah membaca sampai part ini :) Terima kasih banyak atas segala penyemangat yang selalu diberikan di tiap part, semoga semangat itu juga yang ada di diri teman-teman semua.
Selamat menjalani hari, semoga hari-hari teman Vitamins dan kakak Author semua selalu menyenangkan ^^

See ya….

The Red Prince | EPILOG : Kencan Ala Reddish

Cover

20 votes, average: 1.00 out of 1 (20 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

Flavia duduk dengan canggung di kursinya. Kedua matanya menatap sosok Onyx yang saat itu sedang berdiri di depan meja pemesanan untuk makan siang mereka. Perempuan itu tak mengerti, lelaki yang mengaku bernama Henry itu tampak aneh dengan tiba-tiba meminta bantuannya agar diterima di toko baju tempatnya bekerja. Lebih anehnya lagi, saat ini, ia mau-mau saja duduk di sini menyanggupi ajakan makan siang bersama lelaki itu.

Flavia mengerjap dan menarik napas panjang untuk menenangkan diri. Ia terus berusaha berpikir positif dengan terus membimbing benaknya untuk berpikir jika mungkin saja Henry baru saja di PHK dan segera membutuhkan pekerjaan untuk mencukupi hidupnya. Itu adalah satu-satunya alasan paling masuk akal yang dipikirkannya berkali-kali.

“Maaf membuatmu menunggu.” Onyx berkata sopan sembari menarik kursi dan duduk di seberang Flavia.

“Waktu istirahat siangku cukup lama. Tak masalah.” Flavia tersenyum tipis.

Mereka telah memutuskan untuk menanggalkan sikap resmi dengan panggilan Anda, Saya setelah keduanya sempat berbincang singkat hingga Onyx memutuskan untuk mengajak perempuan itu makan siang berdua.

Onyx mengangguk dengan senyum tipisnya yang sama. Ia tak habis-habisnya menarik napas panjang saat melihat sekilas ruangan kafe tempatnya berada bersama Flavia saat ini. Kafe ini adalah kafe yang sama ketika dirinya mengajak Azure untuk bertemu malam itu saat ia menyamar sebagai Brick. Bayangan perempuan biru itu masih terpatri jelas di pikirannya dan sulit untuk pergi. Ia telah berusaha merelakan semuanya dengan memeluk hal-hal pahit yang dialaminya akhir-akhir ini dengan  hati lapang, tetapi ternyata memang tak semudah ucapan, kenangan-kenangan tentang Azure justru membanjir hebat dan membuatnya seperti makhluk linglung yang terus mendatangi tempat-tempat penuh kenangan Azure di dunia manusia ini.

Lamunan Onyx buyar ketika salah seorang pelayan kafe datang mendekat membawa pesanan. Secangkir espreso dan segelas matcha latte dingin.

Onyx meyeruput kopi panasnya sejenak dan membuka percakapan. “Aku tahu kau mencurigaiku,” ucapnya datar.

Flavia menengadahkan pandangannya dan menelan ludah. “Aku tak mencurigaimu, maaf. Hanya saja … ada beberapa hal yang membuatku sepertinya patut bertanya padamu,” sergahnya dengan wajah masam.

Onyx mengembuskan napas panjang. Dia tahu jika wanita di depannya ini memiliki hati yang tulus serta tak mudah berprasangka kepada orang lain. Dia paham jika selama di dunia manusia, wanita inilah yang menjadi sahabat baik perempuan biru itu dan sekarang Onyx mengerti alasannya. Flavia adalah wanita keibuan yang senang menolong.

“Aku adalah pendatang dan membutuhkan pekerjaan untuk menghidupi diriku sendiri. Apakah itu cukup?” Onyx menjelakan singkat lantas bertanya kembali.

Flavia mengulas senyum. “Kenapa kau memilih pekerjaan di toko itu? Bukankah ada begitu banyak pekerjaan di negara ini yang lebih layak kaukerjakan ketimbang hanya bekerja di toko baju?” tanyanya sembari menyeruput minuman dinginnya.

Onyx tersenyum tipis. “Karena seorang teman.” Tanpa sadar lelaki itu berucap sesuai dengan kata hatinya, membuat  Flavia menaikkan sebelah alisnya. “Aku berniat menyusul seorang teman yang bekerja di tempatmu, tapi sepertinya temanku telah memutuskan untuk pindah ke tempat lain,” jelasnya lagi membuat perempuan itu kini mengernyitkan dahi.

“Temanmu? Yang telah pindah?” Flavia membeo sembari mengingat-ingat siapa rekan pegawai di toko itu yang baru-baru ini mengundurkan diri. Saat tak menemukan jawaban dan  justru dadanya berdesir ketika ia teringat Carissa, Flavia membeku. Kedua matanya sejenak menatap Henry penuh penilaian. “Temanmu itu … laki-laki ataukah perempuan?” tanyanya perlahan.

Ada rona merah yang tampak selintas di wajah Onyx, tapi buru-buru lelaki itu memasang ekspresi datar. Onyx kemudian mengembuskan napas panjang untuk menenangkan penyesalannya yang kini tak ada gunanya lagi. Flavia telah membuat kesimpulan yang tepat tentang siapa orang yang dirinya maksud.

Flavia ternganga melihat ekspresi Onyx seolah tanpa lelaki itu berbicara, ia bisa tahu jika memang benarlah Carissa yang lelaki di depannya ini cari. Astaga … sebenarnya apa yang terjadi? Ingatan-ingatan yang berputar di benak Flavia tentang kebersamaannya dengan Carissa itu membuat perasaan rindu yang selama ini ia tahan mendadak banjir begitu saja menggenangi kedua matanya.

“Kau … mengenal Carissa? Dia … dia perempuan yang sangat tertutup dan tak pernah becerita apa pun tentang kehidupan pribadinya sebelum bertemu denganku. Dia … dia tak pernah bercerita jika ternyata memiliki teman laki-laki ….” Flavia berkata masih dengan ekspresinya yang tak percaya.

Onyx memasang ekspresi kecut. “Tentangku dan Carissa memang tak pantas untuk diceritakan, Flavia. Dia juga mengalami masa lalu yang buruk dan … entah saat ini,” ucapnya dengan wajah keruh, merujuk pada kehidupan perempuan itu yang kini tertahan oleh kekuatan merah Reddish nan kejam yang tentu saja tak akan segan-segan mengungkung Azure dalam kuasanya sesuka hati.

“Oh ….” Flavia menutup mulutnya dengan sebelah tangan, menahan perasaan. “Dia pergi begitu saja tanpa memberiku kabar. Apakah … kau juga tak mendapat kabar apa pun darinya sehinga kau terlambat menyusulnya kemari?” Flavia bertanya dengan kening mengernyit.

Onyx mengangkat bahu. “Begitulah,” jawabnya dengan senyum kaku. “Mari lupakan sejenak tentang … Carissa karena aku membutuhkan segera pekerjaan di tempatmu bekerja. Jadi, berkas-berkas apa saja yang harus kupersiapkan untuk melamar kerja di toko itu?”

***

 “Kau senang?” Reddish bertanya sembari menunduk, menatap Azure yang sedang bersandar di dadanya.

Azure tersenyum damai. “Ya, Reddish. Terima kasih. Aku tak pernah berpikir jika aku bisa mengikuti upacara sakral itu lagi bahkan ….” Dada Azure terasa kembang kempis menahan perasaan hingga ia tak sanggup melanjutkan perkataannya. Kedua mata birunya memindai perlahan dengan tatapan haru pada hamparan kastil biru yang kini nyata terhampar di depan mata. “Bahkan aku ….”

Reddish mengecup pelipis Azure dengan penuh sayang, mengerti benar apa yang saat ini sedang bergolak di hati istrinya. “Apa pun untukmu, Azure. Lagi pula … ini untuk kebaikanmu. Kekuatan tubuhmu akan berangsur-angsur membaik lebih cepat jika kau berada di kastilmu sendiri,” ucapnya dengan sebelah tangan Reddish mengusap lembut perut istrinya.

Azure mendongak. “Kau sungguh-sungguh tak keberatan … berada di sini? Lihat, kastil ini tampak sepi karena sepertinya hewan-hewan biru yang  biasanya berkeliaran di tempat ini takut padamu,” godanya dengan terkekeh kecil.

Reddish menaikkan sebelah alisnya dengan ekspresi heran. Ingatannya kembali pada beberapa waktu lalu saat ia dan rombongan pemimpin klan mendatangi tempat ini untuk melakukan kunjungan meski tak mendapatkan hasil apa pun. Waktu itu kondisi kastil biru ini terlihat lengang dengan nuansa khas bangunan kosong yang lama tak dihuni. Benarkah sebenarnya masih ada makhluk-makhluk penghuni wilayah biru lain yang masih bertahan dan mereka pergi karena kedatangannya?

Ekspresi Reddish yang sedang berpikir itu membuat Azure tak tahan untuk tak mengusap pipi suaminya. Di saat yang sama, keduanya dikagetkan oleh suara kepakan burung yang begitu keras di atas selasar bangunan kastil tempat mereka menghabiskan waktu di kastil biru itu. Reddish seketika mendongak pun juga Azure yang buru-buru menegakkan punggung demi memastikan suara apa yang sebenarnya melintasi mereka.

Tiba-tiba saja, dari arah kanan selasar, seekor burung berwarna biru terbang rendah lantas turun persis di depan tempat duduk Reddish dan Azure saat ini. Burung itu menurunkan kepakannya perlahan dan beceker-ceker, memperlihatkan bentuk tubuhnya yang ramping dengan sayap panjang menjuntai dihiasi gradasi warna biru bening seperti air di pucuk-pucuk sayapnya yang panjang.

“Longclaw!” Azure berseru dan beranjak berdiri.

Burung itu menyambut dengan terbang ke arah Azure yang menjulurkan tangannya. Azure tertawa renyah saat burung itu menyentuh-nyentuhkan kepala ke pergelangan tangannya.

“Dan sekarang hewan-hewan langit itu datang lagi setelah kau kembali.” Reddish menyambung perkataan Azure tadi dan turut berdiri. Secara ajaib, burung Longclaw berwarna biru yang semula bergerak aktif di tangan Azure tersebut seperti mengerti kedatangan lelaki merah itu hingga membuatnya anteng dan menunduk.

“Aura warna kalian saling memanggil dan saling menguatkan satu sama lain.” Reddish berucap menyemangati.

“Benarkah? Apakah kastil merah tidak memiliki hewan peliharaan?” Azure bertanya kemudian.

“Hewan-hewan langit di kastil merah terlatih untuk bertarung. Mereka tak akan sempat bermanja-manja seperti itu,” ujar Reddish angkuh yang membuat Azure menarik napas panjang.

Burung Longclaw itu mengusap-usapkan kepalanya di tangan Azure sejenak sebelum kembali terbang, meliuk-liuk dengan bahagia di udara. Azure melepas burung itu dengan tersenyum. Kepalanya yang masih tertengadah lantas menatap langit negeri yang tampak terang di sore hari itu.

“Klan merah memang selalu berhubungan dengan apa-apa yang terkuat. Aku percaya itu.” Azure tersenyum sembari memandang ke arah Reddish yang masih menatap ke arah burung biru itu terbang.

Reddish lantas mendekat dan memeluk Azure dari belakang, mengecup sisi kepala istrinya sekali lagi dengan ciumannya yang penuh perasaan. “Tapi aku bukan lagi yang terkuat saat ini karena nyatanya, aku membutuhkanmu untuk menyelesaikan semuanya,” bisiknya parau dengan suara lirih di sisi telinga Azure.

Azure seketika membalikkan badan dan meletakkan kedua tangannya di dada lelaki itu dengan pandangan menatap ke kedalaman mata Reddish yang memandanginya pula dengan tatapan teduhnya. “Aku membutuhkan Tuan Reddish untuk bersamaku dan aku tak peduli gelar apa pun yang ada padamu. Keberadaan Tuan Reddish di sisiku dan anak-anakku nanti itu sudah cukup.” Azure berkata dengan matanya yang berbinar.

Reddish menatap Azure dalam sebelum pada akhirnya mengulas senyum tipis di bibirnya. “Akan kupastikan istriku mendapatkan apa yang dia mau.”

Azure mendekap Reddish lekat, merasakan bagaimana suara jantung Reddish yang  bertalu-talu di telinganya itu menentramkan hatinya. Azure hanya ingin begini saja, berada dekat dengan makhluk-makhluk yang ia cintai tanpa merasa terbebani lagi oleh masa lalu dan segala hal pahit yang pernah dilaluinya.

Reddish mengencangkan pelukannya sejenak sebelum berkata pelan, “Apakah istri dan anakku masih menginginkan jus buah anggur? Atau kita bisa meminum yang lainnya?” tanyanya menggoda yang membuat Azure menengadah dengan wajah memerah, mengingatkan perempuan itu pada keinginannya yang tak biasa setelah setengah hari ini mereka menghabiskan waktu untuk bersama-sama berkunjung ke kastil biru milik Azure dan belum sempat menikmati jamuan siang mereka.

“Ah, ya. Tentu. Sepertinya hanya minuman itu yang menggoda selera minumku saat ini.” Azure menjawab dengan senyum malu-malunya yang manis.

Reddish menengadah sejenak. “Waktu masih menjelang sore di dunia manusia. Sepertinya belum terlalu terlambat untuk menikmati minuman itu.”

“Sepertinya begitu.” Azure menjawab bersemangat. “Ayo, akan kutunjukkan padamu di mana gerai jus paling enak di sekitar lokasi tempat tinggalku dulu,” ajaknya sembari menggamit sebelah tangan Reddish dan memimpin berjalan, membuat lelaki merah itu menurut dengan senyum terkembang.

Keduanya lantas terjun bersama-sama ke dunia manusia dengan tubuh mereka yang perlahan-lahan berubah menjadi wujud manusia mereka di masa lalu, Alan dan Carissa.

***

Dunia manusia masih dilanda cuaca mendung ketika Reddish dan Azure tiba. Langit yang muram membuat siang itu tampak lebih sore dari waktu seharusnya. Meski begitu, udara terasa lembap  dan panas seolah waktu sedang  mau bekerjasama dengan baik untuk Reddish dan Azure pergi menikmati minuman dingin yang begitu menggoda itu.

Keduanya menyaru di antara pedestrian setelah sebelumnya menginjakkan kaki di salah satu sisi pepohonan lebat yang berada di samping taman kota. Mereka berjalan bersisian dengan kedua tangan bertaut, berusaha untuk tak tampak mencolok dengan pakaian kasual seperti penampilan mereka sebelumnya.

Azure terlihat begitu menikmati udara sekeliling. Kedua matanya memindai ke segala arah, tampak mengenali dan sejenak mengenang perjalanannya di masa lalu. Hampir satu tahun ia bertahan hidup berbaur dengan manusia di tempat ini. Ada banyak hal yang tak ia temukan di dunia langit saat berada di dunia manusia ini, satu di antara yang paling sulit bagi Azure untuk beradaptasi adalah kebiasaan manusia untuk memenuhi energi tubuh mereka dengan makanan, sementara Azure bahkan hanya perlu meminum beberapa gelas air di pagi hari untuk memenuhi energinya, walau setelah beberapa lama, perempuan itu pada akhirnya membawa botol air mineral dan meminumnya secara berkala seperti yang ia lakukan bersama Flavia.

Reddish merangkulkan sebelah tangannya di pundak Azure hingga Azure seolah baru teringat jika ia saat ini sedang bersama Reddish. “Sepertinya kehidupan lamamu cukup baik. Kau mengenang tempat ini sepenuh hatimu.” Reddish mengedarkan pandangannya sebelum membalas tatapan Azure.

“Tempat ini sempat menjadi rumah.” Azure tersenyum tipis.

Reddish hanya mengangguk dan menarik napas panjang. “Aku tahu rasanya … bagaimana mengenang sebuah rumah,” komentarnya dengan kalimat implisit, merujuk pada kebersamaannya dengan Candy. Bagaimanapun, Candy adalah orangtua kedua baginya setelah  orangtuanya tiada. Candy adalah tempatnya pulang meski saat ini ia harus menyakiti hatinya sendiri dengan menuruti keinginan perempuan itu untuk memasukkannya ke dalam ruang tahanan.

Azure menatap Reddish dengan wajah prihatin lantas memeluk pinggang lelaki itu. Reddish menipiskan bibir lalu balas merapatkan dekapannya di pundak Azure dan berucap kemudian, “Jadi, di mana kita bisa menemukan jus berwarna ungu itu?”

Azure tersenyum. “Di seberang toko tempatku bekerja. Aku biasanya menikmati minuman dingin di tempat itu. Ayo,” ajaknya lalu melangkah diikuti Reddish yang turut menjangkahkan kaki jenjangnya mendekati penyeberangan, bersama-sama dengan pejalan kaki lainnya menyeberangi jalanan penuh dedaunan kering itu dan berjalan beriringan di sepanjang trotoar bangunan toko yang berjajar di jalan tersebut.

“Itu toko tempatmu bekerja, bukan?” Reddish menghentikan langkah dan memiringkan badan demi melihat jika di seberang jauh dari blok bangunan ini, terdapat pula bangunan pertokoan yang berjajar, terpisah oleh jalan besar yang pada beberapa titiknya terdapat tiang-tiang tinggi yang berbaris di sepanjang pemisah jalan.

Azure mengangguk.

“Kauingin bertemu dengan teman manusiamu itu ….” Reddish mengerutkan kening, mengingat-ingat apakah ia pernah tahu nama manusia perempuan itu atau tidak.

“Flavia.” Azure menarik napas. “Kau mengizinkanku bertemu dengannya?” Azure memastikan.

“Tentu saja.” Reddish menjawab ringan lantas mengalihkan pembicaraan mereka dengan kembali mengusap pundak perempuan itu dan menghelanya memasuki pintu gerai. “Kita bisa menemui temanmu setelah ini,” tambahnya yang membuat Azure mengangguk antusias dengan tersenyum.

Keduanya kemudian melangkah ke set meja terdekat di sisi dinding kaca yang dihiasi oleh dedaunan dan aneka buah-buahan artifisial warna-warni di ujung-ujungnya. Salah seorang pelayan datang membawa  buku catatan kecil dan pulpen, mengatakan ucapan selamat datang dan menanyakan menu minuman yang dipesan.

Azure terlihat antusias saat pelayan itu pergi dan mengucapkan kata-kata ramah khas pelayan jika pesanan akan tiba dengan cepat, membuat Reddish tak bisa menahan senyuman di sudut bibirnya melihat tingkah Azure itu.

***

“Baik. Saya akan segera kembali dengan segala persyaratan yang diperlukan. Terima kasih.” Onyx bangkit bangkit dari duduknya setelah menghabiskan waktu beberapa menit untuk melakukan wawancara singkatnya dengan pemilik usaha.

Lelaki setengah baya itu mengangguk dan tersenyum, mempersilakan Onyx yang membungkukkan badan meminta izin keluar ruangan.

Astaga. Tak semudah yang dibayangkan olehnya sebelum ini. Onyx mengira jika ia akan dengan mudah berbicara kepada manusia seperti yang dilakukannya dengan Flavia, tetapi entah mengapa saat ia memasuki ruangan lelaki setengah baya itu, kekuatan dirinya seolah tersirap hingga membuatnya menunduk pada manusia kharismatik yang mewawancarainya tadi.

“Hei.” Flavia memanggil perlahan membuat lelaki klan hitam itu sedikit terlonjak kaget. “Bagaimana? Apakah bos menyambutmu baik?” tanyanya dengan nada selidik penuh harap.

Onyx menarik napas panjang. “Ya seperti itulah, aku akan datang lagi kemari untuk mengantar berkas-berkas yang diperlukan,” jawab lelaki itu sembari terus melangkah meninggalkan lorong panjang di lantai tiga dari bangunan toko tersebut, diikuti Flavia di sebelahnya. “Terima kasih.” Onyx menengok dan tersenyum tipis ke arah perempuan itu.

“Senang bisa membantumu.” Flavia mengangguk singkat. Ia telah menyelesaikan pekerjaan shift pertamanya hari ini sehingga bisa meluangkan waktu untuk menemui atasannya serta memintakan jadwal temu untuk lelaki bernama Henry yang tiba-tiba saja melamar pekerjaan di tempatnya bekerja. Flavia yakin jika atasannya itu pastilah tak menilai dua kali pada calon pegawainya dengan latar belakang seperti Henry karena memang sebagian besar pegawai yang bekerja di sini adalah perantau yang tak memiliki keluarga, seolah-olah lelaki setengah baya itu bukannya sedang berniat mendirikan toko untuk berbisnis, tetapi juga menampung orang-orang dari berbagai negara  yang berniat mencari kerja dan membantu perekonomian mereka.

“Kau sudah selesai bekerja?” Onyx bertanya ketika mereka pada akhirnya berjalan bersama-sama menuju pintu keluar.

“Ya, aku mendapat jatah separuh waktu pagi hari ini-“

“Flavia!” Suara panggilan dari arah kanan membuat Onyx dan Flavia menghentikan langkah dan menoleh bersamaan.

Flavia terpaku sejenak dengan keterkejutan yang menghantam dada mengetahui siapa yang memanggil namanya. Carissa. Perempuan itu berdiri tak jauh dari tempatnya, bersama seorang laki-laki yang merangkulnya rapat. Lebih dari itu, satu hal yang tak pernah Flavia lihat selama mereka bersama adalah senyuman bahagia Carissa yang saat ini ditujukan kepadanya. Selama ini, Carissa yang Flavia kenal adalah sosok perempuan dingin yang sangat tertutup dengan kehidupan serba misteriusnya yang tak punya teman. Namun sekarang, setelah beberapa waktu mereka tak bertemu, ia menjadi ragu apakah benar sosok yang kini sedang menghampirinya itu adalah Carissa-nya yang dulu.

Lidah Flavia terasa kelu bahkan untuk sekadar balas menyebut nama sahabatnya itu. Ada rasa bahagia tak terkira dan haru yang menyeruak tanpa ampun di dada Flavia, membuat kedua matanya terasa panas. Di sisi lain, ada nuansa tercengang yang membuat Onyx memundurkan langkahnya tanpa sadar melihat bagaimana mesranya Azure dan lelaki di sisinya … siapa lelaki itu? Apakah itu Reddish yang sedang menyamar? Kedua tangan Onyx tanpa sadar mengepal dengan kepalanya yang menunduk. Sementara itu, mengikuti Azure yang melangkah mendekat ke arah temannya, Reddish tak putus memindai laki-laki mencurigakan yang kini berdiri di sisi Flavia itu.

“Astaga. Kau pergi ke mana saja?” Flavia memeluk Carissa yang juga tengah mendekapnya rapat dengan mata memejam.

“Maafkan aku.” Azure berucap perlahan, melepas pelukannya hingga kini dapat memandangi wajah sahabatnya yang tengah berurai air mata itu.

Teringat sesuatu, Flavia menoleh ke belakang. Henry berkata jika Carissa adalah teman lamanya, tetapi, saat tak ada tanda pengenalan dari Carissa kepada lelaki yang bersamanya tadi ….

“Ada apa, Flavia?” Azure mengernyit ketika perempuan itu termangu sejenak.

“Henry-“

“Hai. Lama tak bertemu, Sobat. Mari kita berbincang sesama laki-laki dan biarkan para perempuan mengambil waktu mereka sendiri.” Reddish mendadak maju tanpa diduga dan berakrab dengan Onyx, menepuk pundaknya lantas dengan cepat menghela lelaki klan hitam itu ke sudut lain.

Flavia yang semula tegang itu tersenyum lantas mengalihkan perhatiannya ke arah Azure lagi dan menggandeng  tangannya ke arah bangku di sisi dinding. “Siapa laki-laki itu, Carissa? Kalian … tampak sangat dekat,” tanyanya dengan antusias, berkebalikan dengan Azure yang saat ini masih memandangi ke arah Reddish dan lelaki manusia itu pergi. Tak biasanya Reddish yang angkuh itu mau berakrab dengan sembarang makhluk apalagi manusia yang baru pertama kali ditemui. Apakah Reddish sedang berbaik hati memberinya waktu untuk berbicara sejenak dengan Flavia? Ataukah lelaki itu memiliki tujuan lain?

Mendapat guncangan sentuhan di punggung tangannya, Azure menoleh cepat. Flavia menoleh kembali ke arah pandang Azure sejenak dan bertanya lagi, “Lelaki itu … kekasihmu?”

Azure berdeham dengan pipinya yang merona. “Dia … suamiku, Flavia,” jawabnya dengan tersenyum malu-malu.

Jawaban itu sontak membuat Flavia menutup mulutnya karena ternganga. “Suami? Astaga … kau menghilang selama ini karena diculik pria tampan?” tanyanya dengan mata membulat sempurna diiringi kalimat godaan yang berhasil membuat Azure terkekeh sembari mengingat-ingat dan membenarkan kalimat Flavia itu dalam hati karena memang seperti itulah ia bertemu dengan Reddish. Lelaki itu membawanya paksa pulang ke negeri langit dan menikahinya.

“Kau tampak bahagia, Carissa.” Flavia menatap Azure dengan penuh haru. “Aku turut senang,” imbuhnya sembari menepuk-nepuk punggung tangan Azure yang masih digenggamnya.

“Terima kasih, Flavia. Eh, lelaki yang bersamamu tadi … siapa dia?” Azure balik bertanya.

Ekspresi Flavia berkerut penuh tanya. “Kau tak mengenalnya?”

“Aku?” Azure menunjuk dirinya sendiri lantas mengernyit memutar ingatan di benaknya. “Aku belum pernah bertemu dengan laki-laki itu sebelum ini. Apakah dia pegawai toko yang baru? Ataukah … ah, dia kekasihmu?” Azure melebarkan mata saat dugaan terakhir tentang lelaki itu sebagai kekasih Flavia membuatnya berdebar. Apakah ia melupakan sesuatu? Apakah Flavia telah menceritakan tentang lelaki itu padanya dahulu dan Azure tak memperhatikan?

“Sungguh kau tak tahu siapa dia?” Flavia menyelidik, merasa ada yang ganjil dengan identitas laki-laki yang baru ditemuinya itu.

“Ya, aku tak ingat jika pernah bertemu dengannya. Ada apa, Flavia? Apakah ada yang salah?” pandangan Azure teralih kembali ke tempat di mana Reddish dan laki-laki tadi berbelok dan menghilang di sana.

Firasat buruk seketika menyergap Azure tanpa ampun. Perempuan itu seketika berlari diikuti teriakan Flavia yang memanggilnya dan turut pula berlari mengejarnya.

***

Reddish melangkah tanpa suara dengan ekspresi gelap. Berjalan di sisinya Onyx yang masih mengepalkan kedua tangannya dengan perasaan campur aduk. Onyx yakin jika lelaki yang menggiringnya ke tempat ini adalah Reddish si pemimpin klan merah yang sedang menyamar dan mengawasi sekeliling, tak sabar untuk menyerbu dan menghajarnya tanpa membuat keributan. Namun, di sisi lain atas ketakutannya pada sikap lelaki ini, hal yang membuat dada Onyx berdebar kencang adalah karena ia bisa melihat Azure lagi meski dalam wujudnya yang sedang menyamar menjadi sosok manusia. Lebih dari itu, ia tak menyangka jika Azure akan dengan rela hati diperlakukan manis oleh lelaki di sampingnya ini. Apakah kehidupan pernikahan mereka benar-benar bahagia? Bagaimana mungkin bisa itu terjadi?

Tanpa aba-aba, Reddish bergerak cepat memelintir leher Onyx sembari menghantamnya ke sisi dinding bangunan di lorong dua bangunan yang cukup sepi itu. Reddish seakan hanya menyentuh saja karena lelaki itu bersikap santai dengan menyakukan sebelah tangannya ke saku celana, walau Onyx merasakan jika lehernya seolah akan putus saat Reddish mengencangkan cengkeramannya sedikit saja.

“Kau masih hidup.” Reddish menggeram perlahan dengan kilatan merah di kedua bola mata birunya saat ini. “Apa yang kaulakukan di sini, hm? Ingin memperdaya teman istriku?” tanyanya dengan kedua mata menyipit penuh perhitungan. Ia tak peduli pada Onyx yang meronta dengan segenap tenaga dan terus menggerak-gerakkan tubuhnya untuk melepaskan diri. Mulut lelaki klan hitam itu terasa terkunci saat ini dan dadanya seolah akan meledak.

Ada senyum mengejek di sudut bibir Reddish ketika berucap kemudian, “Ternyata kau telah kehilangan seluruh kekuatan makhluk pewarnamu. Bagus,” pujinya dengan seringaian keji saat melihat jika lelaki klan hitam itu begitu kepayahan saat hendak melepaskan diri dari tangannya tanpa bisa mengeluarkan aura warnanya setitik saja. Reddish lantas melempar tubuh Onyx ke tanah, menimbulkan suara berdebum keras. Onyx merintih sembari mengusap-usap lehernya yang memerah.

“Aku tak ada urusan denganmu.” Lelaki hitam itu terbatuk-batuk dan berusaha tak menghiraukan Reddish yang sedang marah. Onyx berusaha berdiri.

“Tapi kau berurusan denganku jika itu ada hubungannya dengan Azure,” sahutnya angkuh dengan berseru, menunjukkan  kemurkaannya.

Onyx tertatih berpegangan pada sisi tembok di sebelahnya saat berhasil bangkit, mencoba melangkah dengan kakinya yang terhuyung. “Apakah selain angkuh, pemimpin negeri langit kini juga gemar menyakiti sesama makhluk hanya karena sedang cemburu?” tanyanya dengan tersengal, berusaha mengonfrontasi Reddish dengan menekan harga dirinya.

Reddish hampir-hampir tak bisa menahan untuk tak mengeluarkan aura merahnya jika saja ia tak mendengar suara derap lari dari arahnya tak jauh dari lokasinya dengan Onyx saat ini. “Kau tak akan bisa menggerakkan lidahmu  untuk berbicara setelah ini jika kau berani sekali lagi menampakkan wujud sialanmu itu di depan istriku. Camkan itu!” ancamnya lantas membalikkan badan dan melangkah cepat.

“Kau bisa tenang.” Onyx berseru sembari meraba lehernya yang  terasa nyeri. “Aku sudah melepas Azure dengan seluruh kerelaanku.”

Tampak Reddish mengatupkan gerahamnya dengan ekspresi dingin.

“Aku tak memiliki rencana apa pun pada siapa pun. Aku datang kemari karena urusanku sendiri,” Onyx berkata dengan ekspresinya yang getir. “Kau bisa menjaga Azure dengan tenang. Aku senang karena dia bahagia bersamamu,” tutupnya sembari membalikkan badan, berjalan pelan memunggungi Reddish yang bergeming di tempatnya.

Reddish menjangkahkan kakinya perlahan dan menemukan jika Azure tengah berlari gusar sembari mencari dirinya dengan menolehkan kepalanya ke sana kemari. Begitu Azure melihatnya, Reddish dengan senang hati membuka sebelah tangannya lantas merangkul istrinya tanpa memedulikan jika saat itu Flavia memalingkan wajah dengan rona merah melihat tontonan kemesraan lelaki itu dengan Azure.

“Apa yang terjadi?” Azure berusaha mengatur napasnya yang terengah.

“Lelaki itu telah terlebih dahulu pergi dan ….” Reddish memandang tajam ke arah Flavia kemudian. “Dia berpesan kepadamu jika ia harus pulang,” imbuhnya lagi dengan suara lantang, sengaja mengeraskan suaranya agar bisa didengar pula oleh Onyx yang saat ini masih berada tak jauh di sisi dinding di sebelah barat bangunan.

“Oh, oke.” Flavia mengangguk-angguk tipis.

“Dan kami juga harus pergi.” Reddish melangkah sembari terus mendekap Azure dalam rangkulannya, mendekat ke arah Flavia, memberi kesempatan kepada Azure untuk mengucapkan selamat tinggal.

“Aku harus pulang, Flavia. Jangan khawatir ….” Azure menengadah sejenak, meminta persetujuan kepada Reddish. Saat lelaki itu hanya menipiskan bibir dan mengangguk singkat, Azure kemudian melanjutkan ucapannya. “Aku akan datang lagi suatu hari nanti,” pamitnya yang disambut anggukan senang oleh Flavia.

Reddish mengusap pundak Azure lembut untuk menghelanya berjalan, meninggalkan Flavia yang berdiri terpaku di belakang mereka, memandangi hingga keduanya menghilang di sudut lorong.

***

“Reddish!” Azure terkesiap saat tiba-tiba saja lelaki itu terbang dan membawanya ke tempat ini. Ke sebuah kamar penginapan bintang 5 yang entah bagaimana caranya lelaki itu bisa membuka pintunya dengan mudah dan merangsek masuk.

Pengawal yang diam-diam mengikuti keduanya turun ke dunia manusia ini sepertinya telah menjalankan tugas dengan baik. Mereka mengubah diri mereka menjadi manusia dan memesankan ruang kamar di lantai puncak ini sesuai keinginan tuan mereka.

Reddish membaringkan Azure di ranjang dan menindihnya perlahan, membuat jantung Azure bedebaran tak keruan dengan napasnya yang tersengal. Reddish memandanginya dengan tatapan tak terbaca sebelum kemudian memimpin ciuman di antara mereka dengan panas.

“Tubuhmu harus dibersihkan dari tatapan manusia bedebah yang mencuri-curi pandang kepadamu.” Reddish menggeram. “Sialan karena wujud manusiamu ini sangat cantik, Azure sementara kau tak menyadari juga jika dirimu secantik ini dan mudah dikagumi oleh para makhluk laki-laki.”

Azure merasakan tubuhnya gemetar. Entah apa yang dilakukan lelaki ini saat tak bersamanya tadi. Yang pasti, Azure merasakan jika aura kemarahan Reddish menguar sangat pekat saat ini. Azure memberanikan diri menyentuh kedua pipi Reddish yang panas dengan telapak tangannya yang dingin dan tersenyum. “Kita sudah sedekat ini dan aku sudah menjadi milikmu jiwa dan raga. Apakah itu masih kurang untuk membuktikan jika aku adalah punyamu?”

“Aku tak suka ada makhluk lain yang memandangmu seperti aku memandangmu.” Reddish mengerutkan alisnya dan menyentuh tangan Azure yang dingin di pipinya dan memejam. “Maafkan aku,” ucapnya parau dengan embusan napas panjang.

Azure tersenyum. “Aku mencintaimu, Reddish.”

Reddish membuka matanya yang sayu dan balas berucap, “Aku mencintaimu lebih dari yang kaukira, perempuan, ” ucapnya merendahkan kepala ke wajah Azure dan mengecup bibirnya. “Aku ingin.” Reddish berbisik.

Azure melebarkan mata. “Tap-tapi ….,” ujarnya gagap. Sejujurnya Azure benar-benar ingin menikmati waktu mereka di dunia manusia ini dengan mengunjungi berbagai tempat yang bisa menyegarkan pikirannya. Sudah bisa ditebak akan seperti apa akhirnya jika Reddish menguncinya di dalam kamar seperti ini.

Semilir angin berkat embusan Air Conditioner di ruangan itu menyapu-nyapu rambut keduanya. Reddish mengangkat kedua alisnya saat Azure tak juga menyelesaikan kalimatnya itu.

“Ada apa? Bukankah kencan manusia selalu diselingi dengan bercinta? Tak ada yang melebihi ungkapan cinta ketimbang berpelukan dan saling memberi cinta seperti ini, bukan? Aku akan memberikan kencan tak terlupakan untukmu, Istriku.” Reddish tak memberi kesempatan Azure berbicara dan melanjutkan kecupan-kecupan mesranya di mulut Azure, memberikan sentuhan-sentuhan tubuhnya yang membuat Azure tak kuasa menolak, menikmati sepanjang sore hingga senja yang gerimis di kota itu dengan kehangatan cinta keduanya yang meluap-luap.

 

[END] The Red Prince | Part 30 : Upacara Penyemaian Warna

Cover

 

17 votes, average: 1.00 out of 1 (17 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

“Sudah cukup. Ayo kita kembali ke kastil masing-masing dan segera berkumpul ke aula besar-”

Suara petir yang cukup kencang mendadak menggelegar di atas mereka tanpa peringatan. Rombongan pemimpin klan itu seketika menengadah dan melihat ke sekeliling dengan cepat untuk mengetahui apa yang terjadi.

Reddish mengamati dengan cermat pelangi semesta yang masih berada di tempatnya berikut warna terakhir yang menyala di sana meskipun redup. Sungguh saat ini tak ada yang dikhawatirkannya selain Azure dan calon putranya yang sedang bersemayam di perut istrinya itu. Tak ada jaminan jika istri maupun calon putranya akan terus baik-baik saja. Ancaman bisa datang dari mana saja tanpa bisa diprediksi, belum lagi tanggung jawab besar untuk menjaga anak dan istrinya itu tak hanya sampai di situ saja, penjagaan dirinya kepada dua makhluk itu termasuk dalam tanggung jawabnya untuk menjaga pelangi semesta tetap menyala.

Pemimpin klan merah itu menengadah lagi saat memikirkan tentang itu semua. Petir itu tidak ada lagi, tetapi tiba-tiba saja, di seberang langit yang jauh, sambaran petir yang ternyata berwarna ungu itu menyala lagi dengan kuatnya, melempar-lemparkan suaranya ke segala penjuru, membuat makhluk-makhluk warna yang sedang termangu mengambang di udara itu memandang serempak ke arahnya. Tanpa sadar, cahaya terang itu mengantarkan mata mereka semua ke dua titik yang membuat Reddish melangkah maju dan menyipitkan mata untuk melihat lebih jelas.

“Apa itu tadi?” Ecru melangkah menyejajari Reddish yang berdiri di barisan paling depan. Mata kuningnya turut menyipit dengan rasa ingin tahu yang memuncak.

Reddish terdiam sejenak dengan pandangan tajamnya yang tak berubah, ke arah petir yang seolah berjalan kian jauh dari atas tempat mereka, membelakangi Reddish dan rombongannya. Entah bagaimana alih-alih merasakan ancaman berkat nuansa aneh petir itu, Reddish justru merasakan sesuatu yang tidak asing saat menyaksikan kemunculan fenomena aneh tersebut, seakan-akan petir itu mengenalinya dan ia pun sama, mengenali gerakan cahaya itu. Terlebih, setelah ia memastikan berkali-kali, ia tidak salah lagi. Dua tempat itu seperti menunjukkan eksistensinya seolah merasa iri karena wilayah klan yang lain seluruhnya Reddish kunjungi sementara wilayah itu tidak.

“Kastil biru dan kastil ungu.” Reddish menjawab singkat.

Ecru dan yang lainnya seketika menoleh. Kening Ecru mengernyit saat melihat selintas senyum tipis di ujung bibir Reddish ketika mengatakan kalimat itu. “Apa maksudmu?” tanyanya kemudian.

“Ada yang terlewat. Kita harus ke dua kastil itu terlebih dahulu sebelum kembali pulang.”

Pemimpin klan yang lain tampak mengamati langit dan memperhitungkan waktu serta saling bertanya satu sama lain dalam gerakan isyarat. “Waktu telah beranjak sore hari, Tuan Reddish. Untuk apa kita ke dua kastil kosong itu? Tidak akan ada yang menyambut Anda di sana.” Shamrock bertanya dengan pandangannya terarah ke utara, tempat kastil biru dan kastil ungu berada. “Dan kastil ungu … pun tidak ada penghuninya sama sekali. Apakah Anda yakin hendak pergi ke sana?” tanyanya dengan nada penuh ragu.

“Aku tahu. Tapi sepertinya kita harus ke dua kastil itu juga karena walau bagaimana, dua wilayah itu adalah daerah kekuasaanku. Aku harus tetap memastikan keamanannya karena setelah ini kita semua akan turun ke langit manusia. Siapa yang tahu jika ternyata ada makhluk yang sedang bersembunyi di sana dan diam-diam menyimpan ancaman, bukan? Meskipun aku yakin jika keduanya saat ini kosong karena mantraku telah menyelubungi dua kastil itu,” jelasnya dengan ekspresi berpikir. “Ayo, kita harus bergegas sebelum semakin banyak waktu yang terbuang,” perintahnya sembari memimpin terbang, diikuti para pemimpin klan lainnya yang saling pandang lantas turut terbang mengekor di belakangnya.

Petir itu berwarna ungu. Reddish mempercepat terbangnya sembari terus berpikir dalam diam. Apakah itu ada hubungannya dengan klan putra yang sedang dikandung Azure sehingga Reddish tak merasa terancam?

***

Suara jeritan Azure yang terkejut karena suara keras itu membuat Crimson dan pelayan lainnya yang sedang berjaga di pintu kamar sontak menyerbu ke dalam ruang kamar tanpa pikir panjang. Mereka pun terkejut bukan main mendengar suara petir yang keras itu, tetapi pikiran bawah sadar mereka seolah telah disetir untuk menjaga maharani sesuai perintah pemimpin mereka sehingga meski terlonjak kaget, hal pertama yang mereka pikirkan adalah bagaimana keadaan Nona Azure?

Suara derap lari terdengar bersusul-susulan di dalam area ruang peraduan. Betapa terkejutnya mereka ketika melihat Azure sedang berdiri bersandar di dinding dengan kedua telapak tangannya yang masih menutup telinga. Aura perempuan biru itu tampak pucat dengan tubuh gemetar, membuat Crimson dan para pelayan perempuan yang segera berlari mendekat itu kalang kabut.

“Nona. Nona Azure. Ini saya.” Salah seorang pelayan perempuan mendekat lantas memegangi kedua lengan Azure lembut supaya perempuan itu tak terkejut. “Anda baik-baik saja?” tanyanya kembali dengan takut dan cemas setengah mati.

Mendapat sentuhan di tengah nuansa shock yang melanda membuat tubuh Azure sedikit terkesiap ketika dua tangan hangat pelayan itu mendarat di lengannya. Azure lantas mengerjap dan kembali mengatur napasnya yang tersengal. Perempuan itu mengangguk pelan sebagai jawaban.

“Anda pucat sekali, Nona. Mari saya antar ke tempat tidur.” Dengan telaten pelayan merah itu menuntun Azure yang masih dilanda keterkejutan hingga langkahnya tampak tertatih.

Crimson berdiri menjaga jarak di ambang ruang peraduan itu dan sedikit memalingkan wajahnya untuk menjaga sikap. Dia hanya ingin memastikan sendiri jika maharani mereka itu dalam keadaan baik dan tak ada sesuatu hal pun yang perlu dikhawatirkan. Namun sepertinya kali ini Crimson salah, karena begitu berhasil mendudukkan dirinya di tepi ranjang, tubuh Azure nampak kuyu dengan tubuhnya yang sesekali memunculkan aura merah dan biru tak beraturan yang membuat Azure terlihat payah.

“Reddish belum pulang?” Azure berkata dengan napasnya yang berat. Entah apa yang terjadi pada tubuhnya ini. Apakah kehamilan membuat tubuhnya lemah? Mengapa hanya dengan terkejut saja, dia bisa seperti ini?

“Belum, Nona. Anda ingin saya menghubungi tuan Reddish sekarang?” Crimson menyahut  lantas melihat ke luar jendela untuk menghitung waktu. “Rombongan pemimpin klan direncanakan akan tiba sebelum senja, Nona, tapi saya bisa meminta pengertian kepada tuan-“

“Tidak usah, Crimson.” Azure menyergah cepat sembari mengibaskan tangannya lemah untuk meyakinkan penolakannya. “Aku tidak ingin Reddish cemas,” tuturnya sembari tersenyum lemah. “Mungkin aku hanya butuh tidur,” lanjutnya lagi.

Para pelayan saling pandang dalam tatapan khawatir yang sama. “Anda ingin meminum ramuan Anda, Nona? Mungkin itu akan membuat Anda lebih baik?” tanya salah seorang dari mereka ketika Azure tetap teguh pad pendiriannya.

“Tidak. Kalian bisa meninggalkan ruangan. Aku ingin tidur,” pintanya sekali lagi dengan keras kepala, mengusir terang-terangan semua makhluk yang ada di ruangan itu dengan ucapannya yang tegas meski terdengar sengau.

“Baik, Nona. Kami akan terus bersiaga di sisi ruangan jika Anda membutuhkan bantuan. Segeralah memanggil kami jika Anda menginginkan sesuatu.” Para pelayan berikut Crimson menjura bersamaan sebelum dengan berat hati meninggalkan ruang peraduan itu, meninggalkan Azure yang mulai berbaring dan memejamkan mata.

***

Kosong.

Tidak ada kehidupan di kastil milik Azure. Bahkan setelah rombongan para pemimpin klan itu menyebar dan meneliti setiap sudut wilayah klan biru, tak ada  satu makhluk pun baik makhluk penyemai warna maupun hewan-hewan warna yang biasanya menghuni wilayah klan, seolah-olah mereka semua memutuskan untuk benar-benar meninggalkan rumah mereka dan tak kembali lagi.

Reddish melangkah perlahan di ruang depan kastil itu, memindai secara saksama dengan sebelah matanya yang buta warna.

“Kalian menemukan sesuatu?” Reddish bertanya ketika para pemimpin klan yang lain telah berkumpul kembali setelah mereka berpencar untuk melakukan pemindaian.

“Tidak, Tuan. Tidak ada apa pun.” Fuschia menyahut, mewakili yang lainnya.

Kening Reddish berkerut. Tatapan matanya kembali menyapu seluruh sudut ruangan yang ia bisa lantas mengangguk setelah memastikan jika memang tak ada makhluk hidup yang bertahan di wilayah itu.

Sepertinya Azure memang akan menjadi satu-satunya makhluk klan biru yang bertahan dan melakukan penyemaian senja nanti.

“Baik. Ayo kita ke kastil ungu. Waktu kita semakin sempit.” Reddish mengingatkan semuanya untuk bergegas.

“Siap.” Para pemimpin klan itu menjura dan mengikuti langkah Reddish lagi sebelum kemudian bersama-sama terbang menuju wilayah kastil ungu yang terletak tak jauh dari wilayah klan biru ini.

Kali ini rombongan pemimpin klan itu melesat secepat kilat sehingga warna-warna mereka yang tetinggal di belakang dan mengikuti mereka terbang itu hampir-hampir menyerupai warna pelangi semesta di atas mereka. Reddish mengeluarkan aura merahnya kuat-kuat saat hampir mencapai gerbang wilayah klan campuran itu.

Sama seperti wilayah milik Azure, wilayah klan ini pun sama kosongnya begitu mereka mendaratkan kaki di tanahnya yang berdebu tertutup awan. Reddish mengingat-ingat lagi jika terakhir kali ia mengunjungi tempat ini adalah pada saat kematian anggota klan ungu terakhir sebelum pelangi semesta pada akhirnya padam.

Lelaki itu mengernyitkan dahi ketika ia masih mengingat dengan jelas cahaya petir super besar yang sepertinya itu berasal dari wilayah ini. Ada apa? Apakah itu adalah pertanda jika sebentar lagi akan ada anggota klan ungu baru yang akan menempati wilayah ini?

Ekspresi Reddish mendadak gelap saat tiba-tiba saja ia teringat Azure  dan ia mulai cemas karena sepertinya  ia sudah melewati ambang batas waktu yang ditentukannya sendiri untuk meninggalkan Azure di kastil merahnya. Aura merah pekat menyala dari dua kepalan tangannya, tetapi Reddish menahan sekuat tenaga untuk tak melemparkan kekuatannya itu ke segala arah. Ia kesal bukan main karena merasa dipermainkan oleh petir sialan yang entah bagaimana bisa meluluhkannya hingga ia menyesal karena tindakan spontannya tersebut.

“Reddish. Kau melihat sesuatu?” Ecru berbisik di sisi Reddish yang sedang mengamati sekeliling.

“Apakah kami perlu berkeliling lagi?” Sandstone menawarkan diri ketika Reddish tak kunjung memberi perintah.

Lelaki merah itu memasang wajah dingin ketika berkata, “Tidak perlu. Kita sudah hampir terlambat. Mungkin kita hanya perlu menginjakkan kaki di sini sebagai bukti bahwa dua kastil ini masih kuperhatikan juga saat aku harus pergi berkeliling,” ucapnya sinis kemudian. “Kalian tak perlu mengawalku. Setelah ini kita langsung kembali ke kastil kita masing-masing dan langsung memulai keberangkatan,” titah Reddish yang dijawab oleh anggukan serta jawaban kompak dari masing-masing pemimpin klan.

Reddish mengangguk tipis dan mendahului pemimpin lainnya, terbang menuju kastil merah.

***

Lelaki klan merah itu membelalak begitu diberi tahu oleh Crimson tentang keadaan Azure saat suara petir itu ternyata membuat istrinya shock hingga dilanda sakit. Reddish melangkah cepat dengan panik menuju ruang peraduannya dengan tubuh gemetar dan jantung berdebar cepat. Bayangan-bayangan saat Azure terbaring lemah langsung  mengungkung pikirannya dan membuatnya tak sabar untuk segera tiba di kamarnya.

“Kenapa kau tak memberitahuku, hah!” umpatnya keras saat tahu jika Crimson turut melangkah di belakangnya karena dilanda panik. Aura merah di tubuhnya menyala cepat seiring amarahnya yang kian memuncak.

“Ampun, Tuan. Nona Azure melarang saya-“

“Hah!” Reddish membalikkan tubuhnya cepat dan meraup leher Crimson hingga lelaki itu terangkat ke udara dan terbanting ke tembok di sisi lorong itu. Suara geramannya terdengar mengerikan hingga untuk sesaat, meski menahan sakit karena lehernya seperti tepelintir, lelaki tua itu memejam ketakutan menghindari tatapan Reddish yang beringas.

“Aku tak mau tahu lagi! Sekali aku memberimu perintah untuk menjaga Azure dan memberitahuku apa pun keadaannya, kau harus tetap memberitahuku!” teriaknya marah. “Apa harus kupisahkan dulu kepala dari tubuhmu ini agar kau paham, hah!” Suara Reddish terdengar keras menggema di sana, membuat semua makhluk yang tanpa sengaja sedang berada di sekitar lorong itu berhenti kaku dengan mata membelalak penuh ngeri, termasuk semua pelayan yang berada di ruang sebelah, yang meskipun Reddish saat ini tak sedang berada di depan mereka, mereka semua tampak membungkuk di lantai dengan tubuh gemetar.

Dengan tercekat dan napasnya yang mulai terengah tak beraturan, Crimson menjawab juga umpatan Reddish itu. “Sa-saya mengerti, Tuan.”

Reddish memandangi Crimson tajam. Kedua mata merahnya masih menyala meski sebentar kemudian tampak meredup. Tanpa perasaan, setelah berhasil mengatur napasnya yang tersengal, Reddish kemudian melempar tubuh Crimson ke lantai begitu saja sementara dirinya melanjutkan langkah cepatnya menuju ruang pribadinya itu.

Crimson terbatuk-batuk keras dan seluruh tubuhnya memerah. Beberapa pelayan yang melihat kejadian itu seketika berlari menghampiri Crimson yang tampak kepayahan setelah mendapat amukan kemarahan dari pemimpin mereka.

“Mari kami bantu, Tuan.” Salah seorang dari tiga orang pelayan yang datang menghampiri itu berucap.

“Terima kasih.” Meski terlihat enggan dengan masih memaksa diri untuk mendudukkan dirinya sendiri dengan sebelah tangan, Crimson akhirnya menerima juga saat sebelah lengannya dipegang oleh pelayan-pelayan itu untuk membantunya berdiri.

Astaga. Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa temperamen Tuan Reddish buruk sekali?

Crimson memandangi lorong kosong tempat Reddish tadi meninggalkan dirinya dengan ekspresi kecut. Rasa bersalah melumuri wajahnya dengan nuansa muram yang pekat.

“Bilang kepada kepala prajurit untuk bersiap-siap. Waktu hampir menjelang senja dan upacara penyemaian akan segera dilakukan. Minta mereka untuk menungguku di depan kastil. Kita akan bersama-sama menunggu Tuan Reddish dan Nona Azure di sana,” perintahnya kemudian dengan serak.

“Baik, Tuan Crimson.” Para pelayan itu menjura lantas segera pergi menunaikan tugas, meninggalkan Crimson seorang diri yang masih berdiri terpaku di sana.

***

Reddish merasakan dejavu saat memasuki ruang kamarnya. Ia seperti memasuki waktu yang sama ketika ia pertama kali meninggalkan Azure berada di ruang pribadinya ini dan sekarang, ia kembali kemari dalam keadaan yang sama. Cemas bukan kepalang atas keadaan Azure.

Lelaki itu melangkah tanpa suara ketika sudah mendekati ranjang. Perempuan biru itu terlihat berbaring tenang dengan selimut tebal yang menutupi setengah tubuhnya. Warna wajahnya tampak pucat seperti beberapa hari terakhir saat ia dinyatakan sedang mengandung. Reddish mengetatkan gerahamnya dengan ekspresi kecut lalu memutuskan untuk duduk di tepi ranjang mengawasi istrinya yang sedang terpejam.

Baru saja akan menyentuhkan tangannya ke dahi istrinya untuk memeriksa, cahaya oranye nan terang tiba-tiba saja menerangi seisi ruangan itu seolah memperingatkannya jika waktu hampir bergerak menuju senja. Reddish memicingkan mata saat pikirannya yang penuh pergolakan itu harus memutuskan dengan cepat.

Arak-arak anggota klan warna pastilah saat ini mulai berkumpul menunggu dirinya di aula besar sementara keadaan Azure sepertiny memang benar-benar tak bisa ia paksakan untuk turut serta menemaninya menyemai warna dan mau tak mau ia harus mengatakan itu semua kepada semua makhluk dan dewan warna yang pastilah telah menunggu.

Reddish memejam sejenak sembari mengambil napas panjang untuk menenangkan diri walau hatinya sesungguhnya terasa berat sebelah. Ia kemudian memandangi jendela ruang kamarnya yang besar dan berpikir untuk membiarkan Azure tidur dan akan meminta Crimson nanti untuk menemani perempuan ini jika ia memaksa turun ke langit manusia.

Ya, mungkin begitu lebih baik. Reddish mengangguk-angguk menyetujui pemikirannya sendiri.  Lagipula pada waktu-waktu sebelum ini, penyemaian warna tetap berjalan sempurna meski tidak dihadiri oleh semua anggota klan, walau sesungguhnya Reddish tahu, jika klan biru yang pada sekian tahun terakhir ini tak menampakkan diri, mereka juga sedang melakukan upacara mereka sendiri, terbukti dari warna laut dan langit dunia manusia yang masih biru seperti sedia kala.

Reddish tampak berdiri kaku di ruangan itu menghadap jendela. Ia bersumpah untuk tak akan menengok lagi ke arah Azure yang sedang terlelap karena jika sampai itu terjadi, ia mungkin akan menjadi satu-satunya makhluk paling dibenci oleh semua makhluk warna karena ia pasti akan tinggal lebih lama di ruangannya ini, enggan meninggalkan istrinya. Dan yang lebih buruk lagi, ia pasti akan melibas semua makhluk yang berani menantang perintahnya itu untuk mengundur barang satu malam lagi upacara penyemaian warna tersebut. Bayangan tak mengenakkan itu datang tanpa diundang, meracuni segala ketegasannya dan mengubahnya menjadi makhluk egois seketika.

Reddish mengepalkan tangan dan menguatkan tekad dengan kalang kabut. Ia lalu bergegas hendak menuju pintu ruangan saat tiba-tiba saja sebelah tangannya ditarik oleh sebuah tangan lembut dari sisi ranjang. Lelaki itu tersentak dengan perasaan tercekat dan segera menoleh.

“Reddish.” Azure tampak kuyu dengan cengkeraman tangan di pergelangan tangannya yang terasa mengencang. “Kau hendak pergi begitu saja tanpa mengajakku?” Azure bertanya parau dengan wajahnya yang berkerut. “Kau jahat sekali,” imbuhnya lagi dan menopang sebelah tangannya untuk duduk.

Pertahanan Reddish runtuh sudah. Lelaki itu seketika terduduk dan memeluk Azure rapat, membuainya dalam dekapan tubuhnya yang panas. Azure tersenyum kecil. Ia tahu jika Reddish saat ini berada di situasi dilematik dan ia pada akhirnya terbangun di waktu yang tepat.

“Jangan bilang kau tertidur lagi. Jangan bilang kau tak apa-apa agar aku tak cemas.” Reddish berucap kemudian dengan nada suaranya yang serak.

Azure tersenyum lagi dalam dekapan lelaki itu. Ia tahu jika Reddish baru saja melampiaskan kemarahannya pada entah siapa yang berada di luar kamarnya tadi karena kekeraskepalaannya. Ia tahu jika sesungguhnya Reddish tidak membenci dirinya sehingga tak mau menoleh kepadanya saat akan meninggalkan ruangan ini tadi, melainkan karena lelaki itu tak mau menjadikan pilihannya sebagai beban bagi makhluk lain. Ia tidak ingin memilih, oleh karena itu, ia hanya akan menjalani apa yang memang seharusnya berjalan di hadapannya.

“Maafkan aku.” Azure berbisik sembari menumpukan beban tubuhnya ke pelukan Reddish dan menurunkan kakinya ke lantai. “Sepertinya kita harus bergegas, bukan? Semua makhluk telah menunggumu,” ucapnya dengan senyum manis.

Reddish mengecup sisi kepala Azure dan tak meminta izin untuk meraup perempuan itu ke dalam gendongan lengannya yang kuat. “Maafkan aku juga karena kau merasa terdesak,” ucapnya penuh sesal.

“Tidak. Aku tidak merasa terdesak atas apa pun. Aku begitu bersemangat menjalaninya.” Azure melingkarkan lengannya untuk berpegangan dan memberi dorongan semangat kepada suaminya dengan menggerak-gerakkan tangannya, membuat Reddish mau tak mau tersenyum dan mengangguk, membawa Azure secepat kilat ke aula besar.

***

“Saya selalu siap untuk Anda, Nona. Jangan khawatir.” Fuschia berdiri di belakang Azure dan berbisik, membuat Azure menoleh dan memberikan senyumnya yang terlihat sendu ke arah perempuan klan merah muda tersebut.

Reddish sedang memberikan instruksi singkatnya kepada semua makhluk untuk tetap berada dalam lingkup perlindungannya selama proses penyemaian. Lelaki itu berdiri di tengah-tengah anggota klan yang berbaris rapi sesuai klannya masing-masing.

“Terima kasih, Fuschia.” Azure berucap di sela-sela perhatiannya ke arah Reddish yang sedang berdiri gagah memunggunginya.

Lelaki itu kemudian memundurkan langkahnya dan merangkul pinggang Azure. “Ayo,” ajaknya dengan ekspresi penuh semangat. Reddish kemudian menerbangkan dirinya dengan memendarkan aura merahnya yang begitu kuat ke udara, memimpin semua makhluk. Arak-arak makhluk warna itu pada akhirnya terbang bersamaan memenuhi langit, memancarkan aura warna yang terlihat mengembang bersama-sama, dipimpin oleh Reddish yang terlebih dahulu turun ke langit manusia.

Awan-awan mendung nan gelap penuh guruh menyambut mereka, seolah tersenyum menerima kedatangan makhluk warna yang hendak berbagi warna itu. Reddish menghentikan gerakan terbangnya sembari terus merangkul Azure rapat. Gerimis turun perlahan-lahan menyambang, menyapu-nyapu tubuh. Anak-anak yang turut dalam upacara penyemaian itu terlebih dahulu antusias. Mereka menggerak-gerakkan kedua tangannya sambil tertawa-tawa saat air hujan yang menyentuh tubuh mereka pada akhirnya membawa warna mereka turun ke dunia. Makhluk-makhluk perempuan saling membisiki putra mereka untuk tenang sebelum pemujaan dilakukan.

Reddish memimpin. Lelaki itu mengangkat kedua tangan, diiringi bait-bait puja-puji yang semula terbisik lirih dari mulut para makhluk, menjadi gema yang terdengar khidmat di seluruh penjuru langit. Mereka berdoa untuk kebaikan negeri langit, mereka mengharap restu semesta agar kejayaan negeri langit membawa kejayaan bagi seluruh alam. Inilah waktu yang ditunggu-tunggu. Saat mereka bisa menadah air langit dan mengungkapkan cita-cita hati kecil mereka yang akan tersemai oleh hujan. Makhluk-makhluk muda baik laki-laki dan perempuan saling menunduk, beberapa dari mereka bahkan tak sanggup lagi menahan haru hingga menutup wajah dan menitikkan air mata.

Hujan kian deras beriringan senja yang kian matang. Reddish mengakhiri pemujaan dengan menyapukan kekuatan merahnya ke segala penjuru. “Mulai!” serunya yang membuat semua makhluk warna itu turut bersorak, terbang menghambur ke segala penjuru, melayang saling berpegangan dengan penuh sukacita, melompat ke sana kemari dengan memendarkan aura warna mereka yang saling berpilin dan menyatu dengan hujan.

Makhluk-makhluk itu menyebar ke segala arah hingga ke dunia manusia. Menyentuh-nyentuhkan aura warna ke berbagai benda alam yang yang menjadi warna mereka. Ke pucuk daun-daun, bunga-bunga, dan aneka satwa yang turut beterbangan mengikuti mereka. Kadangkala makhluk-makhluk warna bersembunyi di balik atap, menatap dengan kening mengernyit para manusia yang bersedih-sedih di belakang jendela saat hujan turun, padahal bagi mereka makhluk langit, saat-saat seperti ini adalah momen membahagiakan karena mereka bisa berbagai warna dengan alam.

Warna-warna hitam beterbangan di atas lautan, menebarkan aura kelam mereka hingga titik-titik biru pada laut berubah gelap, mengombang-ambingkan kapal yang sedang berlayar, silih berganti dengan klan putih yang lambat laun menurunkan cahayanya menggantikan mendung, mengubah awan-awan kembali putih, menurunkan gelombang laut. Semua warna saling mengisi dan kadangkala pada penyemaian warna seperti ini, klan warna saling berlomba menunjukkan warna mereka masing-masing , dan prajurit warna terpaksa turun tangan menertibkan.

Di tengah-tengah aktivitas makhluk warna yang sedang sorak semarai, Reddish berdiri terpaku menatap Azure yang sedang mengusap perutnya perlahan. Aura merah menetes-netes dari tubuh lelaki itu berkat air hujan yang menyapu-nyapu kulitnya. Tanpa disangka, di tengah keriangan semua makhluk warna yang sedang bersuka cita atas penyemaian warna itu, suara petir yang cukup keras dari dunia langit menggelegar kembali. Reddish buru-buru mendekatkan tubuhnya ke Azure dan menangkupkan kedua jemari mereka.

“Sepertinya, dia selalu cemburu jika tak kuperhatikan.” Reddish berucap serak sembari memandangi lembut perut Azure.

Azure mengangkat pandangannya dan menemukan jika Reddish saat ini tengah mengawasi usapan tangan di perutnya  dengan tatapan takjub, sayang, teduh, dan segala jenis tatapan yang mungkin saja belum pernah lelaki itu tunjukkan padanya selama mereka bersama. Azure tersenyum kecil dan tatapan birunya yang semula sendu itu mengendur sudah, berganti menjadi tatapan penuh cinta.

Lelaki merah itu lalu mengarahkan kedua mata merahnya ke arah mata biru Azure yang sedang menatapnya. “Ayo kita tunjukkan padanya betapa harmonis kedua orangtuanya,” ajaknya dengan sebelah bibir terangkat dan seketika menarik Azure ke dalam dekapannya dan memamerkan ciuman mesra mereka meski wajah perempuan itu tampak terkejut dan merah padam.

Makhluk-makhluk yang kebetulan sedang terbang di sekitar Reddish berada itu tak ayal menghentikan gerakan mereka ketika mata mereka yang awas melihat perpaduan warna ungu nan cantik yang bekerlipan dengan dua warna merah dan biru yang terus berkelindan indah di tengah-tengah hujan itu. Makhluk kecil yang terbang bergerombol dan sejak semula tampak antusias itu bahkan terbang beriringan dan menari-nari bahagia mengitari warna agung mereka yang akan segera lahir. Warna agung dari seorang putra campuran dengan kekuatan pesona yang tak terelakkan. Mauve sang pangeran ungu!

 

TAMAT

 

Hai, terima kasih telah membaca The Red Prince hingga part ini :lovely :lovely terima kasih banyak atas tempat, segala kesempatan, penyemangat dan dukungan yang diberikan kepada penulis. Semoga terhibur dan nyumbang-nyumbang manfaat meski secuil buat selingan baca novel PSA yang makin keren!

Jadi? Ehem, The Red Prince cukup sampai di sini? Atau lanjut ke part2 ekstra? Hihi

The Red Prince | Part 29 : Cahaya Petir

Cover

19 votes, average: 1.00 out of 1 (19 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

 

“Aku belum berterima kasih padamu.” Reddish memiringkan tubuhnya menghadap perut Azure dan mengecupnya singkat. Sebelah tangannya memeluk hingga punggung, membelainya perlahan.

Saat ini keduanya tengah berada di lapangan berumput yang terletak di salah satu sudut taman raksasa kastil merah. Lapangan berumput itu memiliki jenis tanaman rumput berdaun bulat yang tumbuh lebat dengan batangnya yang lunak serta hanya mampu tumbuh hingga 3 sentimeter tingginya, membuat makhluk-makhluk  yang sedang berbaring di atasnya merasakan sensasi seperti tengah berbaring di atas kasur yang empuk dan nyaman.

Nuansa bahagia tampak tak pernah padam dari wajah Reddish dan Azure setelah percintaan yang begitu mewakili perasaan mereka itu.

“Kenapa kau harus berterima kasih?” Azure mengusap kepala Reddish sembari menunduk, menatap sisi wajah Reddish yang memperlihatkan hidungnya yang bangir. Tubuh perempuan itu bersandar di sebuah batang pohon di tepi lapangan berumput tersebut dengan kaki berselonjor sementara Reddish berbaring miring berbantalkan pangkuannya.

“Karena telah banyak hal yang kaulakukan untukku.” Reddish tersenyum tipis, masih dengan kedua matanya yang memejam. “Kau adalah penyelamat negeri langit, kau telah menyelamatkanku dan kau harus menanggung segala ketidaknyamanan karena mengandung putraku. Aku berutang banyak, Azure,” imbuhnya dengan merapatkan pelukan tubuhnya dengan gemas.

Azure menyandarkan kepala, pandangannya tampak menerawang dengan bibir tersenyum kecut. “Tidakkah aku yang seharusnya berterima kasih?” tanyanya diiringi napasnya yang mengembus panjang. “Aku adalah makhluk asing di klan merahmu. Makhluk tak tahu malu yang pada awalnya terus menerus melawanmu sementara kau tahu jika ternyata klankulah yang sebenarnya tak tahu diri. Aku datang kemari membawa kemarahan sementara kau … dan semua anggotamu di sini sama baiknya seperti kau. Kalian memperlakukanku seolah mata kalian buta dan tak melihat jika warnaku biru. Tidakkah kau menyesal menyucikan diri denganku?” Tatapan Azure merendah kemudian dan ia menemukan jika Reddish terdiam mendengar ucapannya dengan matanya yang membuka. Dan seketika itu juga, Azure terbeliak sembari menutup mulutnya saat kesadaran tentang arti ucapannya itu yang mungkin saja membuat Reddish tak nyaman.

“Ah, Reddish. Ma-maksud ucapanku tadi-“

Reddish bangkit terduduk. Sebelah kakinya tertekuk dengan sikunya yang berada di atas lutut. Kedua mata merahnya terlihat memandangi Azure begitu lama. Ingin rasanya lelaki itu melepas saja lensa bantu di sebelah matanya itu karena sepertinya ia sudah tak membutuhkannya lagi. Ia sudah cukup dengan warna Azure di matanya. Ia tak tertarik lagi melihat warna lain selain warna istrinya bahkan ia tak peduli dengan warna merahnya sendiri seandainya saja warna tersebut harus berubah ketika masa tua menjemput usianya.

Azure sendiri membalas tatapan Reddish dengan kening mengernyit penuh ketidakmengertian. Apa yang sebenarnya tengah dipikirkan lelaki itu?

Kalau diingat-ingat, pembicaraan tentang kondisi kedua mata Reddish yang langka itu belum pernah ada sama sekali di antara dirinya dengan Reddish dan Azure tak pernah berani bertanya karena khawatir jika hal itu merupakan perkara sensitif yang membuat Reddish meledak marah. Lagipula, Azure pada awalnya sungguh tak tahu jika ternyata Reddish memiliki keadaan istimewa tersebut dan sekarang setelah semuanya berjalan lebih baik, Azure tak pernah keberatan atas kondisi Reddish. Apapun itu.

Tanpa diduga kekehan meluncur dari bibir Reddish. Lelaki itu mengulurkan tangannya dan menyentuh pipi Azure yang tirus dengan kedua matanya yang menatap teduh. “Bagaimana aku bisa menyesal saat warna paling indah di kedua mataku yang buta ini hanya warnamu, Azure? Kedua mata cacatku ini memang terkutuk tetapi sungguh saat ini aku begitu mensyukurinya karena ia adalah jalanku untuk menemukanmu. Seandainya pun aku tak bisa melihat warnamu, maka aku akan tetap mensyukurinya karena aku memiliki hati dan cintamu. Aku tak pernah menyesal karena itu kau.” Reddish menggenggam tangan Azure, lalu meletakkannya di pipinya sendiri sembari memejam.

Aura biru Azure yang memendar tipis dari sebelah tangannya berkat luapan perasaannya yang haru itu berbaur dengan genggaman tangan Reddish yang memerah, memperlihatkan aura campuran yang seketika membuat Azure menelan ludah.

Bisa-bisanya ia teringat buah berwarna ungu di dunia manusia itu yang terasa manis. Flavia yang suka sekali dengan buah-buahan pernah sesekali waktu mengajaknya ke sebuah gerai jus di tengah kota. Entah bagaimana perempuan manusia itu bisa mengerti jika dirinya tak bisa memakan makanan berat dan lebih menyukai makanan berair seperti buah. Dan ajakannya ke gerai jus itu sungguh pilihan tepat untuk Azure karena gerai minuman adalah dunianya yang tak bisa ia tolak.

Mata Reddish membuka di tengah-tengah Azure yang sedang memikirkan tentang anggur. Kedua alis lelaki itu mengerut. “Apakah kau merasa tak nyaman?” tanyanya cemas dengan ekspresi menilai.

“Tidak apa-apa-“ Azure tersenyum, hendak menenangkan Reddish dengan kalimatnya, tetapi Reddish tiba-tiba saja menukas ucapannya dengan kesimpulannya sendiri.

“Sepertinya aku harus menunda satu hari lagi upacara penyemaian warna para makhluk kalau begitu,” ucapnya lirih dengan ekspresi seriusnya.

Kedua alis Azure terangkat mendengar kalimat Reddish itu. “Upacara penyemaian warna?”

Reddish yang sedang berkutat dengan pikirannya sendiri itu kembali memandangi istrinya. “Ya. Para makhluk sedang mempersiapkan upacara penyemaian warna yang akan diadakan sebentar lagi. Aku akan menunggu sampai fisikmu siap-“

“Aku baik-baik saja, Reddish. Tidakkah kaulihat sendiri? Aku sangat sehat dan warnaku juga baik-baik saja meskipun aku sedang hamil. Aku akan siap menyemai warnaku sesuai rencana kalian,” ucap Azure menggebu-gebu tanpa sadar, memegangi kedua tangan Reddish seperti sedang memohon.

Upacara penyemaian warna itu sangat menggoda karena itu adalah kesempatannya untuk kembali dekat dengan dunia manusia. Ia akan bahagia melihat dunia biru itu lagi. Terlebih ia tiba-tiba rindu sekali dengan minuman manis khas dunia manusia tersebut.

“Kau sangat bersemangat dan antusias.” Reddish berkomentar dengan tatapan menggoda. “Apakah ada yang kauinginkan?” tanyanya dengan kening mengernyit, seakan bisa membaca ekspresi istrinya yang sedang senang itu, membuat kedua pipi Azure bersemu karena malu.

Perempuan itu mengalihkan pandangannya sejenak, lantas berdeham untuk mencari kata-kata yang tepat sebagai alasan.

“Bisakah kita pergi ke dunia manusia setelah penyemaian?” Azure melempar senyum kecut karena wajah Reddish mendadak dingin mendengar permintaannya.

“Dunia manusia? Kau ingin apa?” Reddish menatap tajam pada istrinya yang saat itu tampak pucat karena nada bertanya lelaki itu yang tak bersahabat.

Reddish masih belum lupa bagaimana Azure hampir celaka karena makhluk pengubah warna yang tak sempat ia hancurkan itu. Dunia manusia menjadi tempat yang tak aman meskipun ia dan Azure telah terikat penyucian pernikahan. Ada banyak makhluk dari berbagai jenis klan yang sangat tidak menjamin keamanan mereka berdua. Terlebih kini Azure sedang mengandung.

Azure menelan ludah, lalu memberanikan diri membalas tatapan Reddish. Tak ada untungnya ia menutup-nutupi toh Reddish pasti akan tahu juga.

Perempuan itu pada akhirnya memaksa tersenyum di bawah tatapan Reddish yang menilai. Dia tahu jika Reddish akan kesal padanya saat mengetahui keinginan konyolnya itu. “Apakah kaulupa?” tanyanya sembari mengambil napas, membuat Reddish mengangkat sebelah alisnya dengan ekspresi bertanya.

“Lupa? Aku melupakan sesuatu?” Ekspresi Reddish berubah, mendadak lupa akan kemarahannya tentang dunia manusia tersebut.

Azure menarik napas panjang. “Ya. Kau menjanjikan padaku jika kencan kita yang pertama itu akan berlanjut ke kencan kedua, ketiga, dan seterusnya? Bagaimana jika kita kencan sebagai manusia? Aku … aku ingin meminum jus buah anggur yang terkenal sangat manis di kota tempatku tinggal,” bujuknya dengan ekspresi berbinar membujuk.

Reddish kembali mengernyitkan kening. “Jus buah anggur? Apakah yang kaumaksud itu adalah wine? Tapi wine di dunia manusia terkenal sebagai minuman yang memabukkan meski kita sebagai makhluk peminum masih bisa menoleransinya. Apakah ….” Tatapan Reddish tertuju ke arah perut Azure yang masih ramping. “Apakah itu tidak apa-apa untuk kandunganmu?”

Wine?” Azure mengangkat sebelah alisnya. “Kau pernah meminum wine?”

Reddish tampak salah tingkah dan berdeham. “Ya. Aku … aku pernah meminumnya sebagai minuman penghilang stres. Kau tahu? Aku tidak boleh mabuk karena dari sekian banyak makhluk, aku adalah makhluk yang paling sedikit tidur karena harus menyelesaikan banyak urusan. Oleh karena itu, kastil tak menyediakanku minuman yang seperti itu. Biasanya … jika sudah putus asa karena pikiranku sangat pening, aku akan turun ke dunia manusia dan meminumnya bersama Ecru untuk mencari ketenangan,” jelasnya dengan ekspresi kecut, seperti anak kecil yang takut saat sedang berkata jujur setelah ketahuan berbuat kesalahan dan takut dimarahi ibunya.

Azure bersedekap.

“Aku tidak sampai mabuk. Aku bahkan mungkin satu-satunya yang tak bisa mabuk hanya karena meminum wine.” Reddish kembali membela diri dengan putus asa tanpa diminta.

“Apakah rasanya sama seperti jus anggur yang di gerai-gerai jus itu?” tanya Azure tanpa dinyana.

Azure tahu jika wine hanya bisa didapatkan di tempat-tempat mewah dengan para pengunjungnya yang terkenal borjuis dan berdasi. Sementara perempuan itu tak pernah tertarik dengan tempat semacam itu meski ia bisa mengubah dirinya dalam sekejap menjadi manusia-manusia seperti apa pun yang ia inginkan. Jadi, di dunia manusia yang sering disebut-sebut sebagai tempat pembuangan baginya itu, ia hanya mengenal beberapa jenis minuman ringan termasuk aneka jus buah-buahan segar yang diperkenalkan Flavia padanya.

Reddish salah mengartikan ekspresi Azure yang memberengut itu. Suara tawa keluar dari mulutnya kemudian. Suara tawa yang sangat langka hingga hewan-hewan merah yang sedang bersembunyi di taman raksasa itu menghentikan gerakan mereka sembari menggelar tanya dengan takjub.

Lelaki itu merengkuh Azure dalam rangkulan lengannya, bersama-sama bersandar di bawah pohon merah tua itu. “Tentu saja rasanya berbeda,” jawabnya sembari tersenyum manis. “Jadi, kau ingin minum minuman ungu itu?” tanyanya memastikan. Tahu benar jika mungkin keinginan Azure itu adalah salah satu keadaan mengidam yang sedang dialami makhluk perempuan di awal-awal kehamilannya. Reddish bisa saja memerintah siapa saja pelayan yang ia kehendaki untuk mengambil minuman itu di dunia manusia, tetapi tawaran Azure untuk berkencan berdua tanpa gangguan itu terlalu menggoda untuk ditolak.

Azure menengadah dengan malu-malu. “Ya. Apakah bisa?” tanyanya dengan mengerutkan kening penuh harap.

Reddish menunduk, mengecup pucuk hidung Azure dengan sayang. “Ya. Tentu saja. Ayo kita kembali menjadi Alan dan Carissa. Kita akan memenuhi keinginan anak ungu itu dengan kencan sebagai manusia,” jawabnya tegas yang membuat wajah Azure tersenyum senang lantas memeluk erat Reddish tanpa aba-aba, membuat lelaki klan merah itu membeku sejenak.

***

Musim kering dengan debu yang yang bercampur ke udara itu masih belum berubah. Kondisi dunia manusia masih sama. Menanti hujan turun. Onyx berjalan perlahan di antara ratusan pedestrian yang turut menghabiskan sisa minggu dengan berjalan-jalan di sekitar taman kota. Lelaki itu berpenampilan selayaknya manusia lainnya, mengenakan topi rajut berwarna cokelat, masker dan mafela yang membelit lehernya. Trench coat tampak rapat menutupi tubuhnya yang kini tampak kurus, dilengkapi celana warna gelap yang membungkus kaki jenjangnya.

Sudah setengah jam ia menghabiskan waktu untuk berjalan dari ujung ke ujung jalan yang entah di mana sebenarnya tujuannya pergi. Setelah bermeditasi dan cukup kuat untuk terbangun, ia memutuskan untuk keluar dari persembunyian milik Crow di dunia manusia ini meski sekarang ia tak punya kekuatan apa-apa lagi yang pantas membawanya kembali ke dunia langit. Masih untung dirinya selamat dari serangan Reddish waktu itu, walau pada akhirnya ia tak bisa lagi menjadi makhluk penyemai warna seperti makhluk warna lainnya.

Tak ada yang tahu jika warna hitam khas yang menjadi identitasnya kini telah pudar. Seluruh permukaan tubuh Onyx kini berwarna pucat, rambutnya yang semula hitam kini hanya tinggal sisa-sisa bercak yang aneh jika dilihat, pupil matanya yang semula hitam legam kini berwarna abu-abu dengan bercak hitam pula yang tampak mengerikan. Semua itu tak bisa diubah. Onyx harus menerima keadaan tubuhnya yang kini cacat, bukan manusia, tapi juga bukan lagi makhluk langit dengan kekuaan hitamnya seperti sedia kala.

Lelaki itu menarik napas panjang. Langkahnya terhenti kemudian tanpa sengaja di depan sebuah toko pakaian yang terlihat ramai dipenuhi pengunjung. Onyx mengernyitkan dahi. Dia ingat betul tempat ini. Tempat di mana dahulu Azure bersembunyi dan mengubah dirinya menjadi seorang pramuniaga selama beberapa waktu sampai Reddish menemukan dan membawanya kembali ke negeri langit.

Perasaan melankolis membawa langkah lelaki itu masuk ke dalam toko. Dadanya berdesir seolah ia memasuki waktu yang sama seperti berbulan-bulan lalu saat Azure masih berdiri di dalam ruangan, tersenyum tipis pada setiap pelanggan, termasuk tanpa sadar menyambutnya yang tengah menyamar menjadi manusia. Bayangan penuh kenangan manis itu kini berbaur dengan rasa sakit di dadanya saat memikirkan jika pastilah saat ini hidup perempuan biru itu teramat sulit di tangan Reddish.

Mengapa takdirnya begitu sial. Harus sampai seperti inikah rasa patah hati itu menghancurkan dirinya? Jangankah memiliki harapan untuk merengkuh Azure ke dalam pelukannya, berharap kebaikan tentang dirinya sendiri saja ia tak mampu.

Onyx memejamkan mata dan menarik napas panjang kembali saat ledakan perasaan itu menguasai hati dan pikirannya.

“Selamat siang. Ada yang bisa saya bantu? Anda ingin membeli apa?” Suara lembut seorang perempuan memecah lamunan Onyx.

Lelaki itu menoleh dan melihat seorang perempuan berdiri di sampingnya. Kedua matanya melebar saat mengenali jika perempuan yang menyapanya itu adalah teman manusia Azure yang ia tahu bernama Flavia.

Onyx menelan ludah. Bayangan kenangan saat Azure tengah berjalan berdua dan bercengkerama dengan makhluk perempuan yang satu ini terngiang-ngiang dalam benaknya. Ingin rasanya ia menarik perempuan itu keluar dan bertanya banyak hal tentang Azure yang bisa untuk sekadar mengobati rindunya yang tak mungkin lagi bersambut. Keinginan itu begitu kuatnya ingin ia lakukan, tetapi dengan cepat Onyx segera membuang sikap kakunya dan menanggapi Flavia dengan tersenyum ramah seperti seharusnya.

“Aku mencari sweater. Adakah di sini?” Onyx menjawab seraya mengedarkan pandangan, berpura-pura mencari melalui kedua matanya untuk menemukan barang yang ia cari.

Flavia balas tersenyum. “Ada. Mari saya antar menuju rak sweater,” jawabnya sembari memimpin jalan, menuju tempat yang ia maksud.

Perempuan itu menjelaskan banyak hal dengan antusias, berbicara ramah mengenai kualitas bahan-bahan yang digunakan toko mereka, memperkenalkan berbagai merek yang pada akhirnya membuat Onyx mendengus tak sabar.

“Aku memilih yang ini,” putusnya cepat, mengambil satu sweater berwarna hitam dan menyerahkannya kepada Flavia.

Sembari mengangguk sopan dan menerima barang dari Onyx, Flavia mengeluarkan kertas kecil dan menuliskan catatan barang serta harga yang harus Onyx bayar, membiarkan lelaki itu berdiri menunggu. Tak lama kemudian, dengan ramah, Flavia menyerahkan kertas tersebut kepada Onyx yang langsung diterima oleh lelaki itu dengan dingin dan membawakan sweater tersebut ke arah kasir.

“Hei.” Onyx tanpa sadar memanggil, membuat Flavia yang tengah berjalan memunggunginya itu berhenti dan segera membalikkan badan.

“Ya? Ada lagi yang Anda butuhkan?” tanyanya dengan senyum tipis.

Terlihat Onyx menimbang-nimbang sejenak, lantas berucap dalam satu tarikan napas, “Bisakah aku bekerja di tempat ini?” tanyanya tanpa diduga, membuat Flavia melebarkan mata karena terkejut.

***

Suasana ceria memenuhi ruang pertemuan pemimpin klan warna di kastil merah. Reddish baru saja mengumumkan jika upacara penyemaian warna akan dilaksanakan sore nanti menjelang senja. Wajah-wajah para pemimpin klan tampak dipenuhi semangat setelah pada akhirnya pemimpin mereka diberikan kepastian tentang upacara penyemaian warna yang telah begitu lama mereka nantikan.

“Persiapkan diri dan anggota kalian dengan baik. Kita akan turun ke langit manusia sampai matahari tenggelam,” titah lelaki merah itu kemudian.

“Kami sudah sangat tidak sabar menanti penyemaian warna, Tuan. Selama beberapa minggu ini, kami telah mempersiapkan kekuatan kami dengan baik.” Shamrock menjawab dengan suara patuh.

“Ya. Kami juga.” Suara kompak dari pemimpin klan yang lainnya turut menyahut.

“Berarti … eh, keadaan Nona Azure sudah lebih baik?” tanya White dari sudut ruangan.

“Anda … akan mengajaknya serta?” Fuschia bertanya antusias.

“Ya. Istriku telah membaik. Penyemaian warna sore nanti adalah permintaannya dan tentu saja … ya. Dia akan ikut. Istriku adalah makhluk biru terbaik yang kita miliki saat ini. Dia akan memenuhi semua warna biru yang menjadi tugasnya dan dia akan kuat untuk itu.” Reddish tanpa sadar berkata dengan wajahnya yang ramah saat membicarakan tentang Azure yang dengan bangga ia sebut-sebut sebagai istrinya.

“Syukurlah ….” gumaman terdengar kemudian dari mulut-mulut petinggi klan di tempat tersebut.

“Kita berkumpul di aula besar. Pastikan anggota kalian berkumpul sebelum senja. Aku akan menyusul.” Reddish berdiri dari duduknya diikuti pemimpin-pemimpin yang lain.

“Aku ingin melihat sendiri bagaimana persiapan anggota klan. Dimulai dari klan oranye,” ucapnya lantas mendahului berjalan, memimpin langkah untuk melihat secara langsung persiapan anggota klan warna dalam meracik ramuan-ramuan mereka.

Suara entak sepatu menggema bersusul-susulan. Reddish berhenti sejenak dan membalikkan badan. “Ada berapa banyak anggota klan yang kalian persiapkan?”

Semua makhluk di lorong itu mengernyitkan dahi dan saling melempar pandang sebelum kompak memberi isyarat dengan mengangguk.

“Kurang lebih 500 makhluk di masing-masing klan, Tuan. Kami telah bersepakat sebelumnya jika kami akan serentak memberangkatkan jumlah anggota yang sama.” Sandstone memberi jawaban.

Reddish sepertinya cukup puas karena ia hanya mengerutkan bibir dan mengangguk tipis sebagai persetujuan. “Bagus,” komentarnya lalu kembali membalikkan badan, berjalan cepat untuk segera tiba di ujung lorong dan terbang bersama-sama menuju wilayah klan oranye di ujung negeri.

***

Sama seperti warnanya di dunia manusia yang berada di ufuk langit, wilayah klan oranye berada di lokasi ujung negeri langit. Reddish dan para pemimpin klan lainnya yang terbang bersama-sama itu menginjakkan kaki di tanah milik Sandstone.

Dua penjaga gerbang klan oranye yang selalu berdiri di sisi gerbang itu seketika menjura begitu melihat rombongan para pemimpin klan yang datang. Ini adalah kunjungan resmi, oleh karenanya, Reddish juga memenuhi peraturan kunjungan resmi dengan masuk area melalui gerbang depan.

Gerbang raksasa yang menjulang itu pun terbuka, para makhluk yang sedang sibuk berlatih dan mempersiapkan diri fokus seluruhnya ke arah gerbang yang, membuat aktivitas mereka berhenti sejenak. Setelah tahu jika ada warna merah menyala yang tampak dari kejauhan, mereka berbaris membentuk dua baris panjang berhadap-hadapan dan menjura serempak, menunjukkan penghormatan mereka.

Reddish membiarkan para makhluk itu memberi penghormatan tanpa membalas, pandangannya memindai aktivitas anggota klan oranye yang sepertinya sedang sibuk mempersiapkan kekuatan mereka untuk acara yang sangat mereka tunggu.

“Di mana yang lainnya?” Reddish menghentikan langkah ketika mereka tiba di depan gerbang area rumah warga klan. Rumah-rumah oranye yang tertata hingga setengah perbukitan yang ada di depan mereka itu tampak sepi.

“Ampun, Tuan. Warga klan sedang berada di gudang obat klan oranye untuk bersama-sama membuat ramuan penguat warna.” Sandstone menjawab pasti.

Reddish menengadah dan memindai lokasi perumahan itu dengan saksama. Rumah-rumah itu bersih, rapi, serta menunjukkan jika bentuk bangunannya masih kokoh untuk ditempati.

“Anda ingin melihat ke sana?” tawar Sandstone kemudian.

“Mocha.” Reddish memanggil tanpa menoleh. Pemimpin klan cokelat itu lantas melangkah maju mendekatinya.

“Saya, Tuan.” Mocha menjura begitu berdiri sejangkauan di sisi Reddish.

“Aku mengizinkanmu untuk memperlihatkan mereka kepadaku,” perintah lelaki klan merah itu. Kekuatan klan cokelat yang bisa menampilkan keadaan di tempat lain baik di waktu sekarang atau masa lalu itu tak diragukan lagi, terutama Mocha sebagai pemimpin klannya yang mashur disebut-sebut sebagai pengendali waktu terbaik di wilayahnya.

“Baik.” Mocha mengangguk sejenak kepada Sandstone sebagai tanda meminta izin lantas menjura di depan Reddish sebelum mengatraksikan kekuatannya, melemparkan aura warnanya ke udara dan memperlihatkan aktivitas para makhluk yang sedang sibuk menyiapkan ramuan, meminumkan ramuan kepada keluarganya dan saling mentransfer kekuatan aura untuk memenuhi batas maksimal kekuatan aura mereka.

Para pemimpin klan itu memandangi tampilan raksasa itu dengan cermat. Ada berbagai tingkatan usia yang diikutkan oleh Sandstone kali ini dalam upacara penyemaian warna.

“Ada anak usia belia yang kauikutkan, Sandstone. Mereka tak akan merepotkan?”

“Saya sudah memilih yang terbaik, Tuan. Mereka-mereka yang saya ikutkan sudah dipastikan akan bertahan selama proses penyemaian. Mereka juga adalah yang terlatih karena terbiasa mengikuti orangtua mereka dala menyemai warna klan,” jelasnya sembari menunduk.

“Cukup,” perintahnya kepada Mocha. “Selanjutnya ….” Reddish menoleh ke belakang, mencari-cari sosok kuning dalam rombongan itu. “Giliran klanmu, Ecru.”

***

Azure berdiri di belakang jendela ruang pribadi Reddish di pucuk kastil merah. Sudah berjam-jam lelaki itu pergi dan belum juga menunjukkan tanda-tanda akan kembali.

“Waktunya mandi dan bersiap, Nona.” Seorang pelayan melangkah perlahan dengan nada suaranya yang ragu menyapa Azure dari belakang.

Perempuan itu membalikkan badan. “Reddish belum kembali?”

“Belum, Nona. Rombongan pemimpin semua klan dikabarkan mendampingi Tuan Reddish dalam meninjau langsung persiapan upacara penyemaian.”

“Meninjau langsung?” Azure mengernyitkan dahi.

“Ya, Nona. Mendatangi wilayah demi wilayah klan warna,” jawab pelayan itu dengan menunduk.

Azure mengembuskan napas panjang. Senyum penuh ironi mewarnai wajahnya manakala ia teringat kastil biru miliknya yang terbengkalai dan kosong tanpa ada satu makhluk pun yang bersarang di sana.

Apakah Reddish mengunjungi kastil miliknya pula? Apakah dalam upacara nanti hanya akan ada dirinya seorang dari klan biru?

Sungguh ia berharap jika tiba-tiba saja ada kemunculan makhluk biru lainnya yang turut serta mengikuti upacara penyemaian kali ini. Bagaimanapun, upacara ini adalah kehidupan mereka sebagai makhluk langit, mereka akan merasa benar-benar hidup dan kekuatan aura mereka akan bertambah setelah melakukan penyemaian.

“Anda ingin mandi sekarang … atau menunggu Tuan Reddish?” pelayan itu melirik-lirik Azure yang justru terdiam dan melamun.

“Sekarang saja.” Azure memasang senyum kaku lantas menjangkahkan kaki menuju ruang mandi.

“Baik, Nona.” Pelayan tersebut bersegera mengambil baju ganti untuk tuannya, mempersiapkan kain tebal selayaknya handuk, menaruhnya di sisi dalam ruang mandi, lalu menunggu dengan setia di sisi dalam ambang pintu, berjaga di sana kalau-kalau ada makhluk tamu yang ingin bertemu, meskipun sikap berjaganya itu hanyalah formalitas semata sebab Reddish jelas-jelas tak mengizinkan sembarang makhluk untuk mengunjunginya hingga ke ruangan paling pribadi miliknya tersebut.

Azure melangkah ke dalam ruang mandi itu sembari melamun. Hari telah menjelang sore dan semakin dekat dengan waktu upacara penyemaian.

Tidakkah Reddish ingin menengoknya barang sejenak sebelum pergi memimpin upacara? Reddish dan rombongannya baik-baik saja, bukan?

Ketidaktahuan yang dibisiki oleh firasat buruk berkat kekhawatirannya itu membuat Azure berpikir berlebihan dan mulai cemas. Dengan cepat ia segera menyelesaikan ritual mandinya yang sungguh terasa malas ia lakukan itu.

Azure menenggelamkan dirinya dalam bak yang telah diisi air penuh busa mandi dan aroma wewangian itu secepat ia bisa. Meraih kain tebal untuk mengeringkan diri, mengambil gaun yang telah disiapkan untuknya lalu terburu-buru hendak keluar dari ruang mandi. Namun, betapa terkejutnya ia ketika tiba-tiba saja, ada secercah cahaya berwarna ungu seperti kilat dari langit yang menyambar pandangannya melalui celah-celah jendela. Seolah itu belum cukup memberi kejutan, suara petir yang menggelegar tiba-tiba saja terdengar berulang-ulang, membuat Azure tanpa sadar berteriak dan menutup kedua telinganya dengan kedua telapak tangan penuh gemetar ketakutan.

 

Bersambung ….

 

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

 

Selamat menyambut tahun baru, semoga 2023 lebih baik dalam segala hal, aamiin 

The Red Prince | Part 28 : Rindu Dan Cinta

Cover

19 votes, average: 1.00 out of 1 (19 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

 

“Tidur? Kaubilang tidur, Azure? Aku dan semua makhluk sangat mengkhawatirkanmu dan ternyata kau sedang tidur?”

Reddish berkata dengan menahan-nahan suara sembari mengusap wajahnya dengan frustrasi. Ia mendadak merasa konyol dengan tingkahnya sebagai suami bodoh yang tak mengerti dengan keadaan istrinya.

Oh, jadi karena Azure sedang tidak sakit sehingga kekuatan merahnya hanya terserap di tubuh perempuan biru itu tanpa menghasilkan efek apa-apa?

Reddish kesal bukan main. Lelaki itu berkacak pinggang dengan sesekali mengusap wajahnya dengan kasar. Bersenjang dengan Reddish yang sedang jengkel habis-habisan, Azure tampak damai dengan kedua matanya yang memejam. Kali ini, perempuan itu benar-benar tampak seperti makhluk yang sedang tidur dengan posisinya yang tertidur miring dan memeluk guling yang dengan rapat ia rengkuh dengan kedua tangannya. Tak ada sahutan dari Azure. Tampaknya, perempuan itu lekas kembali terlelap setelah mengubah posisi tidurnya tadi.

Reddish mengembuskan napas panjang lalu membungkuk di peraduannya dan merapatkan kembali selimut tebal berwarna merah itu hingga menutupi leher Azure. Rambutnya yang biru memanjang itu dibiarkan tergerai, tampak cantik seperti riam berwarna biru laut di antara cadas merah di atas bantal merah tua di peraduan itu.

Lelaki itu pada akhirnya mengulas senyum tipis, lantas mengecup pelipis istrinya lembut penuh sayang, sebelum beranjak dari sana dan berniat pergi ke ruang aula di mana para pemimpin klan warna sedang berkumpul di sana untuk membicarakan hal-hal penting terkait pemerintahan negeri dan segala hal yang berhubungan dengan kastil. Namun sebelum itu, ia akan memenuhi janjinya kepada diri sendiri untuk pergi ke ruang tahanan. Kedua tangannya telah gatal untuk mengeluarkan kekuatan merahnya dan meremas habis pelayan kurang ajar yang berani-beraninya memiliki nyali untuk menusuknya dari belakang itu.

Kini hatinya telah benar-benar dipenuhi kelegaan luar biasa karena seperti yang dikatakan okultis itu, Azure betul-betul dalam kondisi yang sehat dan tak perlu dikhawatirkan. Ia hanya cukup memerintahkan para pelayan perempuan untuk terus berjaga di sekitar ruang pribadinya itu untuk menjaga Azure. Perihal istrinya telah tuntas ia tangani dan kini adrenalinnya untuk memburu para makhluk kurang ajar itu kembali membara.

“Crimson.” Reddish berdiri di ambang pintu ruang pribadinya itu, menyakukan sebelah tangannya  di saku celana.

“Saya, Tuan.” Crimson menjura begitu namanya dipanggil.

“Perintahkan beberapa makhluk pelayan dan prajurit perempuan untuk menjaga istriku. Pastikan tidak ada suara apa pun yang dapat membangunkan tidurnya. Aku akan kembali setelah urusanku selesai,” titahnya lantas melangkah kilat, meninggalkan kabut tipis berwarna merah dari aura tubuh Reddish  yang membuat Crimson harus menarik napas panjang karena terkejut, tak diberi kesempatan untuk sekadar menjawab perintah.

Keterkejutan pertama Crimson adalah karena Reddish memerintahkannya untuk menyiapkan perempuan pelayan dan bukan perempuan okultis seperti beberapa waktu lalu dan keterkejutannya yang kedua adalah karena Reddish benar-benar meninggalkan ruang pribadinya dan hendak menyelesaikan pekerjaannya?

Apakah Nona Maharani telah benar-benar pulih sehingga saat ini sedang tertidur pulas dan tak perlu dikhawatirkan?

Diam-diam lelaki tua klan merah itu menarik napas lega. Maharani pemimpin mereka pada akhirnya  berhasil mengandung calon putra mahkota yang sangat mereka nanti-nantikan. Kelahiran makhluk ungu istimewa karena terlahir langsung dari pemimpin mereka yang istimewa pula.

Cinta memang tak mengenal warna. Sungguh ajaib tuan Reddishnya yang Agung pada akhirnya bisa jatuh hati kepada makhluk berbeda klan warna yang pada awalnya hanyalah untuk memenuhi tanggung jawabnya sebagai pemimpin negeri. Mungkin ini adalah pernikahan langka dan awal mula kejayaan klan ungu di masa depan.

Crimson menarik napas dengan sikap tubuh penuh keyakinan lalu melangkah menuju ruang pelayan lantas memberikan perintahnya dengan tegas kepada makhluk-makhluk perempuan yang senantiasa patuh dan setia menjalankan tugasnya kepada Reddish itu.

***

Reddish melangkah perlahan di dalam ruang tahanan yang temaram. Suara jangkahnya tak terbaca, sehingga siapa saja yang sedang berada di ruangan itu hampir tak menyadari jika pemimpin klan merah mereka  telah datang.

“Kau sudah menyuruh mereka untuk bersiap?” Tatapan Reddish lurus ke depan, mengamati ruang demi ruang yang memanjang di sejauh kedua matanya memandang.

“Sudah, Tuan. Saya menyuruh mereka untuk berdiri di belakang terali besi,” jawab kepala ruang tahanan itu sembari menjura.

“Kau mengumumkan jika aku akan datang?” tanyanya lagi. Kali ini dengan antusiasnya yang semakin besar, terlihat dari aura merah di tubuhnya yang menyala semakin terang, membuatnya tampak seperti iblis yang keseluruhan tubuhnya mengeluarkan api berwarna merah menyala.

“Ti-tidak, Tuan. Saya tidak berani berkata-kata melebihi apa yang Anda perintahkan,” jawabnya gugup dengan ucapannya yang terbata-bata.

Sang kepala prajurit itu menunduk semakin dalam. Tubuhnya mendadak berkeringat dan tanpa terasa kedua tangannya gemetar menahan rasa ngeri. Sudah beberapa kali ia mengetahui bagaimana tuan Reddish mengeksekusi makhluk warna dengan kekuatannya yang mengerikan. Namun, baru kali inilah ia sepertinya akan melihat kesempatan itu secara langsung. Namun, atas dasar apakah pemimpinnya ini berniat melakukan penyaringan ulang dengan tangannya sendiri? Apakah ada makhluk pelayan yang saat ini ditahan di ruangan ini pernah melakukan kesalahan besar yang menyinggung tuan Reddish secara langsung?

Jantung prajurit malang itu bedebar cepat dan penuh pergolakan ketika langkah mereka kian jauh masuk ke dalam ruangan tahanan.

Perlahan tapi pasti, Reddish mengamati satu persatu makhluk yang saat itu sepertinya mulai tahu siapa yang datang. Mereka, para pelayan itu, menunduk dalam, tak berani barang melirik saja melalui ekor matanya tentang apa yang akan mereka hadapi dan seperti mesin pemburu yang siap menghancurkan apa yang diincarnya, Reddish dengan kedua matanya yang tajam itu memindai kepada tahanan itu dengan saksama.

Asap pengaruh kekuatan  jiwa itu memiliki warna abu-abu nan berpilinan yang tertinggal pada benda apa saja yang disentuhnya dan Reddish hanya harus menemukan pelayan yang diliputi oleh asap yang sama seperti sisa-sisa yang terdapat di sisi ruang kerjanya itu saat terlihat melalui matanya yang buta warna. Lalu, seperti memanggil-manggilnya untuk datang dan seolah sisa-sisa ramuan itu mengenali siapa tujuannya, asap abu-abu itu tampak keluar dari salah satu ruang tahanan yang berada di ujung.

Sebelah mata Reddish yang tak mengenakan lensa langsung mengenali asap abu-abu tersebut. Gerahamnya beradu ketat saat seolah kekuatan pengecut itu melambai-lambai kepadanya, tanpa tahu siapa yang sedang ia hadapi.

Napas Reddish mulai memburu, dipacu oleh amarah yang ia lepaskan penuh suka cita saat berhasil mengetahui siapa sasarannya. Kedua tangan lelaki itu mulai menyala, berkobar menciptakan kekuatan merahnya yang membara laksana api paling panas yang pernah ada.

Bingung sekaligus takut akan apa yang akan dilakukan oleh Reddish, kepala ruang tahanan itu tanpa sadar memundurkan langkah dengan ketakutan yang hampir membuat kesadarannya tumpul.

Reddish menyalakan kekuatan tubuhnya tak tanggung-tanggung hingga lantai ruangan itu turut bergetar, tak kuasa menahan besarnya api merah yang membuat nyaris lantai tempat mereka berpijak itu berhamburan. Dengan sepenuh amarahnya yang menggila, Reddish melemparkan kekuatan merahnya tepat ke sudut ruang tahanan.

Pelayan merah yang sepertinya sudah tahu apa yang akan terjadi pada dirinya itu seketika bersujud, penuh kengerian dan penyesalan tak berguna yang tak akan mampu mengubah pendirian lelaki klan merah itu ketika murka.

Tubuhnya melayang diliputi rasa panas menyengat yang membakar sekujur tubuh, lalu secepat kilat tubuhnya menabrak terali besi dan dipaksa mematahkan besi-besi itu dengan tubuhnya, membuat tulang-tulangnya berderak seperti patah. Seolah itu belum cukup menyiksa, Reddish menyeret tubuh pelayan itu dengan sepenuh kekuatannya, membuat suara teriakan pelayan malang itu menggema sebelum kemudian menghilang saat perlahan-lahan, dengan penuh rasa sakit tak tertahan, tubuhnya musnah ditelan kekuatan merah milik Reddish. Sungguh-sungguh musnah, tanpa abu dan sisa-sisa tubuh yang barangkali bisa dikenang oleh istri serta anaknya yang kini meringkuk dalam tangisan di rumahnya, menanti kabar tak pasti dari suaminya.

Terakhir kali, sebelum Reddish keluar dari ruang tahanan tersebut, ia menyentakkan aura merahnya ke ruangan tempat pelayan merah tadi berada, seolah-olah ia begitu putus asa untuk menghilangkan jejak pengkhianat yang sangat melukai hatinya itu. Suara ledakan meletus keras kemudian, terdengar hingga kastil-kastil dan bangunan rumah makhluk di sekitarnya.

“Pengkhianat harus musnah! Negeri langit tak menerima makhluk-makhluk bangsat yang berkhianat,” teriaknya diikuti raungan-raungan suara ketakutan dan memohon ampun dari para tahanan lain yang saat itu bersimpuh di ruang tahanannya masing-masing. Berharap kebaikan hati pemimpin mereka.

Kepala ruang tahanan yang saat itu terkejut setengah mati dengan apa yang terjadi hanya bisa bersandar di dinding dengan mata terbelalak karena pojok ruang tahanan itu kini sungguh-sungguh runtuh dan terang-benderang, memperlihatkan awan-awan yang bergerak melintasi langit.

Tanpa suara Reddish melenggang pergi, tak peduli pada siapa pun yang memperlihatkan berbagai ekspresi atas perbuatannya tersebut. Dia tahu jika pengelola ruang tahanan di kastil miliknya itu paham harus berbuat apa tanpa diperintah.

***

“Musim hujan benar-benar akan datang sebentar lagi. Kita harus mempersiapkan anggota klan kita yang terbaik untuk mengikuti upacara penyemaian warna.” Ecru berucap serius di sela-sela diskusi mereka di meja rapat itu.

Sandstone berdeham. “Bukankah Maharani sedang dalam kondisi kurang baik dan tidak dapat memimpin upacara penyemaian kali ini?” Lantas … apakah kita masih akan menunda waktu penyemaian hingga waktu yang belum bisa ditentukan? Atau … Ecru, apakah kau mendapat mandat khusus dari tuan Reddish untuk persoalan yang satu ini?” tanyanya dengan nada serius yang sama.

“Kita tunggu sebentar lagi. Maharani masih harus menjalani beberapa pemeriksaan untuk memastikan jika kondisinya benar-benar baik dan siap untuk kita semua.” Ecru menjawab tegas.

Vantablack yang terduduk di sebelah Ecru itu tampak mengernyitkan dahi dengan ekspresinya yang lucu saat berpikir. Lelaki klan hitam kecil itu menyentuh lengan Ecru dan mendekatkan kepalanya untuk berbisik. “Paman, penyemaian warna itu … apakah aku harus ikut?” tanyanya dengan eksresi cemas.

Ecru menoleh dan melembutkan ekspresi wajahnya. Senyum tipis tersungging di bibirnya ketika ia berbicara. “Kenapa ekspresimu seperti itu? Apakah itu adalah wajah gugupmu karena baru akan pertama kali nanti kau mengikuti penyemaian?” tanyanya dengan memiringkan tubuh, memfokuskan perhatiannya untuk sesaat kepada anak lelaki klan hitam tersebut.

Vantablack sedikit menunduk. “Aku ingin menemani kedua orangtuaku saja di kastil merah. Apakah boleh?”

Ecru mengangkat sebelah alis dan tersenyum kembali. “Nanti aku akan membicaraknnya dengan Reddish, oke?” jawabnya mengacungkan ibu jari, lantas disambut oleh Vantablack dengan mengacungkan ibu jari kecilnya dan menyentuhkannya di ibu jari Ecru sebagai tos.

“Oke, Paman.”

“Wine, apakah tidak ada pesan khusus dari tuan Reddish untuk rapat kita kali ini?” Shamrock menoleh, memandang ke arah seorang ajun yang saat ini terduduk di kursi perwakilan klan merah.

“Saya-“

Baru akan berkata, pintu ruangan terbuka dengan Reddish yang segera melangkah cepat ke dalam ruangan. Semua makhluk yang ada di ruang rapat itu berdiri dan menjura serempak. “Tuan Reddish.”

Lelaki klan merah itu menempatkan diri di kepala meja. Seorang ajun mendekat ke arahnya dan berucap lirih, memberi tahu hasil musyawarah para petinggi klan yang telah berlangsung selama satu setengah jam tersebut.

“Baik. Aku akan memberi keputusan dari persoalan pertama dari rapat kalian tadi. Candy, akan digantikan oleh peneliti baru yang akan dipilih setelah melaksanakan seleksi ketat seperti biasanya. Candy memiliki lima orang asisten yang masih bertahan dan tim kelola kastil merah akan memilih kandidat terbaik dari lima orang tersebut. Sementara kalian para pemimpin klan warna, aku persilakan pula untuk mengirimkan kandidat terbaiknya dalam kontes seleksi peneliti dunia langit kali ini.”

Mocha, pemimpin klan cokelat itu seketika bertanya dengan suaranya yang diliputi ketidakpercayaan. “Maksud Anda … Tuan Reddish. Anda akan mengadakan seleksi terbuka untuk peneliti negeri yang baru? Anda … Anda tidak mengkhususkan peneliti ini dari klan merah saja?”

Dengan angkuhnya Reddish menjawab. “Kita lihat dari klan mana yang terbaik,” jawabnya singkat. Memupus harapan klan lainnya termasuk Mocha yang telah antusias.

Tentu saja mereka tahu dari klan mana makhluk-makhluk terbaik itu berasal. Dari mana lagi jika bukan klan merah tentu saja.

Namun meski begitu, mereka menyambut baik keputusan Reddish. Mereka paham bagaimana terlukanya Reddish oleh peristiwa perubahan warna makhluk yang ternyata bersumber dari penelitian Candy yang dibawa pergi oleh Carmine.

Para petinggi klan warna itu saling berbisik dan berdiskusi dengan teman sebelahnya setelah keputusan tersebut. Reddish yang kembali dihampiri oleh ajunnya yang menjelaskan berbagai pertanyaan dan keluhan dari para klan itu mendengarkan dengan saksama sambil  terdiam, sebelum kembali membuka mulut untuk menjawab permasalahan-permasalahan di rapat besar tersebut.

“Mengenai penyemaian warna ….” Reddish menarik napas panjang dan berdeham. Entah bagaimana ia saat ini merasa malu oleh ingatannya sendiri ketika tahu jika istrinya sedang mengalami masa kehamilan yang sepertinya akan terus menguji kesabarannya.

Para pemimpin makhluk tentu saja langsung memasang wajah penuh ketertarikan saat Reddish hendak membahas perihal penyemaian warna yang sangat mereka nantikan. Reddish menyatukan kedua tangannya di meja. Lelaki itu tampak menimbang-nimbang sejenak seakan ia begitu berat memutuskan perkara yang satu ini.

“Aku akan membicarakan hal ini dengan istriku terlebih dahulu,” jawabnya tanpa diduga-duga oleh semua makhluk yang ada di tempat itu tanpa terkecuali Ecru yang turut melebarkan mata dan bersedekap.

Ah, selain menjadi lelaki pencinta yang andal setelah menikah, apakah ternyata Reddish sedang terjebak oleh bui cintanya sendiri di mana justru dia yang terpenjara oleh perasaannya sehingga menjadikan Azure seluruh keputusannya?

Ecru terkekeh kecil saat melihat jika ada selintas rona merah muda yang bersemu di pipi Reddish.

“Apakah Nona Azure telah benar baik-baik saja dan siap melakukan penyemaian, Tuan?” Fuschia dengan wajahnya yang berbunga-bunga itu bertanya. “Kami … kami sungguh ingin mengetahui kabar tentang Nona Azure,” ucapnya sembari menunduk kemudian.

Reddish berdeham lagi. “Istriku baik-baik saja,” jawabnya dengan wajah dinginnya yang kaku, tak tahu jika semua makhluk  warna di ruangan itu sempat melihat senyum tipisnya di sudut bibir.

***

“Hei. Benarkah Azure baik-baik saja?” Ecru menyejajarkan langkah saat dilihatnya Reddish keluar ruangan setelah menutup rapat yang cukup melelahkan itu.

“Ya. Seperti yang kukatakan tadi.” Reddish menjawab tanpa menoleh.

“Kehamilannya dan peristiwa di ruang aula putih waktu itu … sungguh tak membuat perempuan itu terluka? Ajaib sekali karena ternyata dia bisa menyelamatkanmu di saat-saat genting.” Ecru mencegat langkah Reddish cepat ketika keduanya tiba di depan pintu salah satu ruangan di sisi lorong.

“Ayolah, Kawan. Kita harus minum untuk merayakan keberhasilanmu sebagai lelaki sejati.” Ecru membujuk dengan nada menggoda seraya membuka pintu.

Reddish mendecak dan mau tak mau menyetujui permintaan sahabatnya tersebut. “Ya, ya. Baiklah. Sebentar saja. aku tak punya banyak waktu,” keluhnya lalu mendahului memasuki ruangan.

Lelaki klan merah itu mengambil tempat duduk di tengah sofa merah di ruangan tersebut, diikuti Ecru yang melangkah terlebih dahulu menuju lemari penyimpanan minuman, mengambil dua gelas kecil dengan satu tangan dan menghampiri sahabatnya itu yang kini duduk menyilangkan kaki menunggunya.

“Jadi … baik-baik saja seperti apa yang kaumaksud itu?” Ecru mengempaskan duduknya di seberang Reddish, menuang minuman berwarna cokelat bening itu dan menyorongkannya ke sisi meja di depan sang lelaki klan merah.

“Aku tidak yakin.” Reddish menumpukan tubuhnya dengan kedua siku di atas lutut. Tubuhnya melemas. Tampak saat itu Reddish meruntuhkan ekspresi kuatnya dan menampilkan sosok seorang sahabat yang biasa di depan Ecru. “Kekuatan merahku tidak mempan pada tubuh Azure yang sedang hamil. Semua makhluk mengatakan kalimat baik-baik saja pada kondisi Azure sementara perempuan itu tak juga terbangun. Dan tahukah kau? Ternyata perempuan itu sedang tertidur. Tidur,” ujarnya dengan penekanan pada kata tidur sembari menggebrak meja di depannya. Ekspresinya terlihat sebal bukan main.

Dari seberang sofa tampak Ecru melongo beberapa saat sebelum kemudian tampak berusaha keras  menahan tawa hingga wajahnya memerah.

Reddish mendengus keras lantas meneguk minumannya dengan gerakan kasar. Menghabiskannya sekali teguk.

“Berapa lama kau tidur dengannya sehingga kau tak bisa membedakan mana pingsan dan mana tidur?” Ecru tergelak.

Tatapan Reddish menyipit. “Kaupikir untuk apa aku mengeluarkan kekuatan merahku jika bukan karena dia tampak pucat dan terus menerus mengeluhkan kesakitan? Aku hampir gila menunggu kabar tak pasti dari okultisku sementara istriku tak juga membaik,” ucapnya lalu mengetatkan gerahamnya dengan ekspresi lelah.

“Ya … ya, aku tahu. Aku tahu. Aku hanya bercanda, Kawan. Jangan terlalu sering mengerutkan kening seperti itu terlalu lama, nanti kau cepat tua.” Ecru berkata dengan gerakan tangannya yang menunjuk-nunjuk.

Perhatian Reddish teralihkan atas ucapan Ecru tersebut, lelaki itu tiba-tiba saja menegakkan punggung dan mengusap-usap pipinya dengan gerakan canggung.

Cepat tua? Bagaimana bisa dia baru saja menikah dan ia sudah tampak tua?

Ecru pura-pura berkonsentrasi menuang minumannya, padahal ia hampir tak kuasa menahan mulutnya untuk tak terbahak melihat tingkah Reddish itu.

“Kau harus lebih sabar. Makhluk perempuan yang sedang mengandung biasanya memiliki pola hidup yang berubah dari sebelumnya. Dan tidur panjang yang dialami Azure mungkin adalah salah satunya.” Ecru berdeham untuk mengalihkan perhatiannya pada tingkah lucu sahabatnya yang saat itu entah sedang memikirkan apa.

Reddish menghela napas. “Ya. Aku siap untuk apa pun. Aku siap jika bahkan aku harus mati untuk hidup Azure,” tukasnya dengan nada yakin.

Ecru mengangguk sembari meneguk minumannya. Dia tahu keyakinan itu pasti muncul di sisi hati Reddish. Sisi seorang suami sejati yang begitu mencintai dan melindungi keluarganya seperti makhluk-makhluk langit yang lainnya. Hanya saja, Reddish tentu saja memikirkan keluarga nya tidak hanya sekadar untuk dirinya sendiri. Reddish sangat tahu jika seluruh tanggung jawab sedang ada di pundaknya, keberhasilan kepemimpinannya dalam menyalakan pelangi semesta bergantung pada dirinya dalam merawat sang istri yang tengah mengandung.

Lelaki klan kuning itu meletakkan gelasnya.“ Vantablack ada permintaan kepadamu.” Ecru memundurkan tubuh, menempelkan punggungnya pada sandaran sofa.

“Vantablack?”

“Ya. Dia meminta izinmu agar tetap bisa berada di kastil merah menemai kedua orangtuanya dan menunda penyemaiannya pertama kali di hari esok kau memimpin penyemaian. Apa rencanamu?”

Sudut bibir Reddish berkedut. “Anak yang sungguh berbakti,” komentarnya kemudian. “Tapi sayang sekali aku tak akan mewujudkan keinginannya yang satu itu,” tambahnya dengan tatapan kaku ke arah Ecru.

Ecru yang sudah sangat paham dengan watak Reddish yang tak bisa dimengerti keinginannya itu hanya mengiyakan sembari mengangguk-angguk dengan ekspresi terpaksa. “Ya. Ya. Aku mengerti. Aku akan bilang padanya nanti.”

“Ya. Bilang padanya bahwa ini adalah kesempatan pertamanya melakukan penyemaian warna ke dunia manusia. Aku akan melepaskan kedua orangtuanya untuk kesempatan itu sebelum mereka benar-benar dibebaskan sesuai waktu yang telah kutentukan.”

Ecru yang tengah sibuk berpikir keras tentang bagaimana ia akan menyampaikan kabar buruk itu kepada Vantablack tak sempat memperhatikan ucapan Reddish benar-benar sehingga ketika telinganya berhasil mengirimkan arti kalimat sahabatnya itu ke otaknya, Ecru tersentak sejenak. Lelaki klan kuning itu menatap Reddish tanpa berkedip atas ketidakpercayaannya.

“Ap-apa? Kau akan membebaskan satu keluarga itu? Kau serius?”

Reddish mengangkat bahunya dengan ekspresi santai. “Ya. Dia masih bocah dan kesalahan-kesalahannya di masa lampau adalah karena dia belum mengerti. Sebagai imbalan atas ampunanku, dia harus mengabdi sepenuhnya secara langsung kepadaku hingga masa depan nanti. Keputusanku yang ini tak berubah, Ecru. Sampaikan kepada Vantablack dan orangtuanya jika pilihan bocah hitam itu adalah hidup dalam perintahku atau mati di tanganku,” ancamnya di akhir kalimat yang membuat Ecru menahan napas tegang.

Beruntung, sebelum Reddish melanjutkan ultimatumnya yang angkuh lebih lanjut, salah seorang pelayan yang Reddish tahu sebagai salah satu pelayan yang ia tempatkan di ruang pribadinya itu datang mengetuk pintu.

Nuansa tegang kini beralih ke tubuh Reddish. Lelaki itu memajukan tubuh dengan sikap tubuhnya yang waspada begitu pelayan itu dipersilakan masuk, tetapi hanya berani berdiri di ambang pintu.

“Saya membawa kabar, Tuan. Nona Azure terbangun dan mencari Anda,” ucap pelayan itu sembari menjura.

Tanpa berpikir dua kali, begitu mendengar kata Azure terbangun, Reddish segera berlari kilat keluar ruangan, membuat makhluk-makhluk yang berada di ruangan itu harus memejamkan mata dan menutup wajahnya dengan lengan karena aura merah Reddish yang memendar dan bergerak secepat angin itu menyambar tak kenal ampun pada apa saja yang dilewatinya.

***

Azure terduduk di atas peraduan itu dengan pandangan melamun. Kepalanya terasa pening karena sepertinya ia tertidur terlalu lama. Namun anehnya, ia juga merasa jika rasa kantuk tak mau berhenti mengajaknya terpejam.

Setelah meneguk setengah gelas minuman yang disediakan oleh pelayan kepadanya, pada akhirnya perempuan itu terduduk dengan pikirannya yang bingung. Hal terakhir kali yang ia ingat adalah ketika dirinya tanpa menahan-nahan lagi, mengeluarkan kekuatan birunya sebesar yang ia bisa untuk melingkupi Reddish.

Apakah kekuatan itu yang menyedot energi tubuhnya sehingga ia merasakan tubuhnya lemas seperti ini?

Suara ribut terdengar dari arah luar kamar dan seketika Azure menoleh. Tak berapa lama, muncullah Reddish seolah sedang melakukan sihir sehingga dalam sekejap mata, lelaki itu telah tiba di sisi peraduannya.

Azure melebarkan mata ketika menatap suaminya yang terengah. Tatapannya berubah cemas kemudian. “Apakah semuanya baik-baik saja?” tanyanya dengan tatapannya yang lekat ke arah Reddish.

Reddish terpaku sejenak. Pandangannya merambat perlahan dari ujung kepala Azure hingga kaki perempuan itu yang tertutup selimut. Lelaki itu kemudian berjalan perlahan mendekati ranjang. Tatapannya lekat ke perut istrinya.

“Reddish,” tegur Azure saat melihat jika lelaki itu hanya diam dan melihatnya seperti sedang memandangi makhluk aneh.

Reddish mengulas senyum tipis lalu mendudukkan dirinya di ranjang. “Semuanya baik-baik saja. Apakah kau masih mengantuk?” tanyanya lalu merengkuh Azure dan mendekapnya dalam pelukan, mengubah posisi mereka berdua yang semula terduduk menjadi berbaring miring saling berhadapan dan memeluk.

Lelaki itu mengusap-usap punggung Azure dan mengecup perempuan itu di semua sisi wajah dengan gemas. Sentuhannya lantas mulai merambat ke sisi tubuh Azure, lalu mengelus perutnya perlahan. Reddish mendekap kepala perempuan itu rapat, sehingga kali ini, perempuan itu tak bisa melihat dengan pasti, apa ekspresi yang sedang ditunjukkan suaminya.

Astaga. Apakah Reddish akan mengajaknya bercinta?

Lelaki itu memejamkan mata sembari mengerutkan kening. Perasaannya meluap tak terperi saat memeluk Azure seperti ini. Jiwa kepahlawanan di dalam dirinya begitu menyala seolah ia sedang merengkuh dan melindungi dua makhluk sekaligus yang saat ini begitu dicintainya. Azure dan putranya yang telah ia nantikan kehadirannya.

“Bagaimana dengan yang di dalam sini?” tanyanya perlahan, lalu mengendurkan dekapannya sehingga kini mereka bisa saling bertatapan. Jantungnya bedebar ketika sebelah matanya yang tak mengenakan lensa itu bisa melihat dengan jelas bagaimana warna biru istrinya itu tampak menghibur sisi matanya yang cacat.

Azure menatap Reddish kemudian, memindai berulang kali kedua bola mata merah milik suaminya yang kini tampak teduh menatap ke arahnya. Saat tangan Reddish kembali mengusap perutnya dengan lembut, perempuan itu menunduk. Jantungnya terpacu cepat saat kata hatinya tiba-tiba membisikkan kabar mengejutkan ke dalam pikirannya sendiri.

Perempuan itu kembali menengadah dan menemukan jika Reddish sedang memejamkan matanya dengan khidmat. Dan seolah tahu jika Azure sedang menatapnya, lelaki itu kembali mencium dahinya. Tanpa sadar, Azure meletakkan telapak tangannya di atas punggung tangan Reddish yang masih mengusap perutnya. Pandangannya berkaca-kaca dalam komunikasi tanpa kata dengan Reddish yang terdiam, menyampaikan maksudnya dengan sentuhan di perut perempuan itu penuh arti.

“Dia sedang berusaha untuk tumbuh besar di perutmu.” Reddish berucap lirih seperti berbisik, lantas membuka matanya lembut. “Kau sempurna, Azure. Kaulah satu-satunya makhluk yang sempurna untukku,” lanjutnya lagi lantas tak kuasa menahan diri untuk segera mendaratkan ciumannya di bibir Azure yang kali ini disambut oleh perempuan itu dengan ciuman yang sama berartinya, seolah telah begitu lama mereka tak melakukannya.

Kedua jemari mereka bertaut dengan ciuman yang semakin dalam, saling meresapi perasaan masing-masing. “Terima kasih telah mengandung anakku. Terima kasih.” Reddish berucap di sela-sela ciumannya. Suaranya terdengar serak, penuh perasaan.

“Aku ingin memastikan sendiri apakah dia benar baik-baik saja atau tidak.” Reddish mengangkat kepalanya dan dengan sengaja membisikkan kalimat menggoda itu di telinga Azure, membuat seluruh sisi wajah Azure merona. Senyuman lelaki itu tak bisa terbaca lagi, antara begitu menginginkan Azure dalam kuasanya yang buas atau mencumbunya penuh kelembutan yang memabukkan. Keduanya sama-sama membuat Azure kehilangan akal sehatnya sehingga ia tak bisa mengontrol dirinya lagi saat tanpa diperintah, sebelah tangannya menyentuh rambut merah itu lantas mulai merambat ke bagian kepala Reddish yang sensitif.

Reddish dengan lembut menggulingkan tubuhnya menguasai Azure, memegangi kedua lengan istrinya dan menautkan jari jemari mereka dengan gerakan sensual, lalu mulai mencumbui Azure dengan mengecup setiap jengkal permukaan kulit lembut istrinya itu dengan hasrat yang berkobar. Memulai percintaan mereka dalam balutan kerinduan serta cinta yang membuat aura ungu berpendar kuat di ruangan itu, menyatukan cinta keduanya di dalam penyatuan dua warna yang magis nan tak tertolak.

Suasana kali ini terasa lain karena baik Reddish maupun Azure sama-sama merasakan jika mereka memang menginginkan satu sama lain. Saling menerima dan memberi cinta dengan sama besarnya. Reddish memutuskan untuk membicarakan perihal upacara penyemaian warna itu nanti, karena saat ini, tak ada yang bisa ia lakukan selain menikmati kedekatannya dengan sang istri yang begitu kuat membangkitkan aura merah di tubuhnya, melingkupi dan terlingkupi dengan hati yang sama-sama mencintai.

 

Bersambung ….

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

The Red Prince | Part 27 : Tidur Panjang

red prince cover - Copy

20 votes, average: 1.00 out of 1 (20 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

 

Tak terlihat apa pun di sana selain kegelapan. Ruangan itu didesain tanpa celah, berada di lantai paling bawah di antara ruang tahanan yang bersusun-susun. Satu-satunya sumber cahaya yang muncul di tempat itu adalah lubang berbentuk segi empat berterali selebar  tiga puluh kali tiga puluh sentimeter yang berasal dari ujung lorong. Itupun tak bisa tergapai sebab yang tampak dari sana hanyalah bayangan cahayanya saja, sementara lubang itu berada jauh di pucuk bangunan teratas. Mereka bisa melihat bias cahaya itu jika matahari sedang bersinar terik. Namun jika langit sedang mendung, maka tentu saja tak akan ada cahaya yang bersinar di sana. Ruangan itu sepenuhnya gelap seperti liang kuburan. Di sinilah mereka, para makhluk yang terlibat kasus kelas berat di negeri langit itu dipenjarakan.

Suara batuk-batuk lemah terdengar dari ruangan sebelah tengah kemudian. Suara perempuan.

Sosoknya tak terlihat, tenggelam dalam gelapnya ruang tahanan yang gulita itu. Namun, penjaga dan prajurit yang berdiri di depan gerbang itu tahu benar, siapa yang mengeluarkan suara batuk-batuk khas tersebut. Sebenarnya, mereka lebih memilih berjaga di gerbang utama saja daripada harus terus menerus mendengar suara itu, sebab perempuan itu adalah salah satu perempuan yang mereka junjung tinggi selain pemimpin negeri mereka. Tapi apalah daya, ia sendiri yang memilih di mana ia ingin diletakkan, dan seperti tak peduli, Reddish memenuhinya dengan bahagia.

“Carmine ….” Suara serak tertahannya memanggil entah ke berapa kali. Kedua matanya yang cekung itu menatap lemah pada kegelapan di hadapannya.

Sepertinya, ucapan-ucapan pemimpin klan yang sebelumnya hanya dianggapnya menakut-nakuti itu salah besar. Karena ternyata, ruang penjara paling bawah dengan nuansa paling gelap itu tidak hanya sekadar pemandangan gelap tanpa cahaya. Tapi benar-benar membuat siapa saja yang berada di dalamnya akan merasa tersiksa seolah lebih baik dikubur sekalian lalu mati daripada harus hidup dengan penuh gelap pekat yang menyesakkan tersebut.

Candy beringsut dari posisi tidurnya yang bergelung memeluk tubuh. Beralih menghadap ke arah tembok dingin dengan sebelah tangannya meraba-raba di sana. Perempuan itu tersiksa oleh kepercayaannya sendiri jika lelaki yang ia lihat beberapa waktu lalu dengan tubuhnya yang berwarna ungu itu adalah Carmine, kekasihnya yang dahulu pergi. Penelitiannya berhasil membuktikan jika Heather adalah lelaki klan merah itu, tetapi hal yang lebih menyakitkan dari sekadar membongkar rahasinya sendiri di depan Reddish adalah kenyataan jika ternyata lelaki itu sudah tak mengharapkannya lagi. Lelaki itu terang-terangan menolak kehadirannya dan bahkan sama sekali tak mau barang memberi sepatah dua patah kata untuk mengobati kerinduannya. Jadi lebih baik ia berada di sini. Menyepi dalam kegelapan dan menanti kematian menjemput tubuhnya.

Tanpa pernah Candy tahu, di sudut yang lain di dalam lantai terbawah ruang tahanan itu, meringkuk Carmine dengan tubuhnya yang hancur. Warna merahnya telah kembali ke dalam rupa seperti bercak-bercak darah di seluruh permukaan kulitnya sebagai akibat ia tak pernah lagi meminum ramuan ungu yang dulu sering diminumkan oleh Navy saat lelaki biru itu mengira jika dirinya adalah lelaki klan ungu lemah yang membutuhkan asupan warna untuk bertahan hidup.

Lelaki itu tak tahu dan tak bisa menghitung lagi. Telah berapa lama ia berada dalam tidur matinya sampai ia terbangun dengan penuh terkejut saat mendapati jika tubuhnya berubah seluruhnya menjadi berwarna ungu. Keterkejutan semakin membunuhnya tatkala ia berada di tengah-tengah lapang saat upacara pernikahan Reddish dan Azure itu digelar. Ia melihat bagaimana Candy dengan penuh semangat memanggil-manggil namanya.

Sungguh di dalam hatinya, Carmine sangat ingin menyambut panggilan itu dalam pelukan hangat penuh kerinduan yang telah ia nanti selama bertahun-tahun lamanya. Namun ia urung. Ia tahu jika dirinya telah menumpuk kesalahan yang tak sedikitpun perempuan itu tahu. Ia merasa tak layak mendapatkan cinta perempuan itu lagi. Dia adalah pengkhianat yang pantasnya berada di tempat gelap ini. Menanggung konsekuensi yang memang seharusnya ia jalani sejak bertahun lampau.

***

Reddish belum beranjak dari sisi ranjang menanti okultis perempuan yang menjanjikan padanya jika hari ini hasil pemeriksaan Azure telah bisa dilihat. Begitu banyak hal yang sebenarnya harus Reddish tangani di ruang kerjanya, tetapi lelaki itu meminta izin kepada ajun-ajunnya untuk meminta waktu lebih hingga istrinya selesai ditangani.

Lelaki klan merah itu berkata tegas seperti biasanya kepada para prajuritnya yang akan menyampaikan pesan itu kepada para pemimpin klan yang lain. Meskipun sesungguhnya Reddish sedang dibuat malas untuk pergi karena harapannya yang mulai pupus. Azure tak juga menampakkan kondisinya yang semakin baik. Justru pagi ini, saat Reddish terbangun dari memaksa tidurnya yang sama sekali tak nyenyak, ia melihat wajah perempuan biru itu yang semakin pucat. Ramuan yang beberapa waktu lalu diberikan oleh okultis perempuan itu sama sekali tak membantu, sama seperti kekuatan merahnya yang seolah menolak memberi kesembuhan pada tubuh istrinya.

Reddish sungguh sulit menerima ini semua. Lelaki itu berdiri dengan ekspresi jengkel yang berusaha ia tahan sekuat tenaga. Ia kecolongan sekali lagi dan hampir membuat semua makhluk celaka seandainya Azure tak datang waktu itu dan melemahkan semua kekuatan lawan yang sekiranya akan menghabisi nyawanya.

Kekuatan tak kasatmata itu tak bisa dianggap remeh. Bagaimana bisa kekuatannya yang tak terkalahkan itu bisa diluluhkan begitu saja oleh kekuatan tak jelas semacam itu?

Reddish berdiri dengan pandangan menerawang jauh sembari berpikir keras. Jika saja kastil dan terutama ruangan-ruangan pribadinya ini telah terlindung oleh kekuatan besarnya yang sulit dimasuki oleh sembarang makhluk, maka, satu-satunya alasan kekuatan itu bisa menembus dirinya adalah karena ada pengkhianat yang berada di dekatnya.

Lelaki itu mengingat-ingat betul setiap jengkal peristiwa yang ia alami dan memikirkan sekecil mungkin kemungkinan yang barangkali terlewat oleh matanya yang awas.

Selama bertahun-tahun ia melatih prajuritnya sebagai pelayan di kastil merahnya ini, Reddish selalu menerapkan sistem kedisiplinan super ketat dan tak menoleransi kesalahan. Pelayan yang tinggal di kastilnya adalah para pelayan yang memiliki keahlian di atas rata-rata dalam bidangnya, baik itu dalam melakukan pengawalan, penyajian minuman, dan peraturan lainnya yang harus mereka penuhi. Jumlah mereka sangat banyak dan Crimson, sebagai pengawalnya langsung, telah memastikan semua halnya berjalan sesuai yang Reddish inginkan. Satu saja kesalahan pelayan lakukan, maka sebagai proses kehati-hatian, ia akan memasukkannya ke dalam tahanan dan diinterogasi sebagai proses penjaringan ulang.

Sebelah alis Reddish terangkat saat otaknya memutar ingatan tentang seorang pelayan yang dimasukkannya ke dalam ruang tahanan setelah memecahkan botol minuman di depan ruang kerja miliknya.

Didorong oleh pemikirannya yang serba berhati-hati, Reddish menghubungi kepala prajurit yang menjaga ruang tahanan miliknya untuk mengecek satu persatu tahanan yang menghuni ruang tahanan di kastil miliknya itu.

“Ada lima belas tahanan yang kesemuanya adalah bekas pelayan di lantai ruangan utama milik Anda, Tuan.” Pemimpin prajurit itu menyahut kemudian dari tempatnya berjaga. Tubuhnya tampak diam mematung dengan mata memejam saat mendapati Reddish memanggilnya melalui kekuatan pikiran.

“Aku akan pergi ke sana siang nanti sebelum kembali ke meja kerja. Persiapkan mereka semua agar berada di depan terali besi sehingga aku mudah untuk bertemu mereka,” titahnya kemudian.

“Anda … eh, akan datang kemari mengecek sendiri? Tidakkah kami bisa membantu, Tuan?” tawarnya dalam kebimbangan penuh keraguan. Tidak biasanya pemimpinnya itu datang ke ruang tahanan yang penuh kotor dan gelap ini. Dalam proses penghakiman, biasanya kepala prajurit dan prajurit-prajurit tangguh lainna yang akan memberi keputusan, apakah pelayan tersebut layak dihapus hukumannya atau akan tetap ditahan sampai waktu yang telah ditentukan sesuai jenis kesalahan yang dilakukan oleh pelayan tersebut.

Reddish menghela napas panjang. “Ada sesuatu yang harus kulakukan. Dan itu hanya bisa kulakukan seorang diri,” jawabnya penuh misteri  sebelum segera memutus percakapan begitu saja.

Lelaki itu membalikkan badan, menatap kembali sosok sang istri yang begitu keras kepala, belum juga mau membuka mata. Waktu terasa sangat lama untuk menunggu okultis itu datang. Reddish dengan auranya yang sudah tak sabar itu berjalan mendekat ke arah ranjang, membungkuk, dan menciumi wajah Azure, menggodanya dengan putus asa.

“Tuan. Tuan Reddish!” seruan panggilan dari arah pintu ruang peraduannya itu cukup mengejutkan hingga hampir-hampir lelaki klan merah itu membuang energinya dengan melempar kekuatan merahnya ke sembarang arah.

Reddish beranjak dan melangkah hingga suaranya bisa dijangkau oleh telinga okultis perempuan yang cukup kurang ajar untuk meneriakinya itu.

“Masuklah tanpa berteriak. Atau aku akan membunuhmu!” Reddish memasang ekspresi geramnya ketika berucap.

Mendengar teguran seperti itu, ekspresi sang okultis yang semula cerah ceria dan penuh semangat tersebut menggigil seketika. Dia tak bisa menahan suka cita seorang diri begitu mengetahui kabar baik yang ia bawa dan ingin segera membaginya bersama pemimpinnya itu.

Perlahan-lahan dengan kepala menunduk, perempuan klan merah itu berjalan mendekati ruang kamar, ke arah Reddish berdiri di ambang ruang peraduannya seolah tak mengizinkannya untuk mendekat ke tepi ranjang tempat perempuan klan biru itu berada.

“Apa yang kau bawa?” Reddish bertanya setelah okultis itu berhenti beberapa jarak darinya.

“Sa-saya … membawa kabar yang sangat baik, Tuan. Dari hasil pemeriksaan saya-“

“Katakan intinya saja, jangan berputar-putar ke penjelasan yang tak perlu. Aku tidak sesabar itu menunggumu berbicara!” sergahnya dengan ketus. Seolah Reddish baru saja diminta menunggu okultis itu datang selama seratus tahun lamanya hingga lelaki itu kehilangan kesabaran.

Perempuan okultis itu menunduk kian dalam dengan tubuhnya yang lemas oleh ketakutan.

“Nona Azure hamil, Tuan,” ucapnya lantang kemudian dalam satu tarikan napas.

Reddish yang semula dipenuhi emosi itu membeku seketika. Perasaannya yang semula hancur karena kondisi Azure yang tak bisa dipastikan itu berubah menjadi perasaan berdesir yang membuatnya ternganga.

Dengan berat dalam gerakan kaku, Reddish menoleh ke arah peraduan di mana Azure terbaring di sana. Pandangannya lantas tertuju ke arah perut sang istri yang saat ini tentu saja belum berubah, tetapi kini membuatnya begitu ingin menyentuh dan memujanya dengan penuh cinta seperti makhluk laki-laki yang gila oleh cinta kepada kekasihnya.

“Hamil …,” ucapnya lirih, memastikan kepada dirinya sendiri dengan ekspresi terkejutnya yang tak bisa ditahan.

***

Kastil merah dilanda keriuhan setelah kabar kehamilan Azure tersebar luas. Para pelayan bahkan prajurit turut berbisik-bisik dengan ekspresi penuh suka cita yang  sulit diungkapkan dengan kata-kata. Setelah sebelumnya kastil merah dilingkupi nuansa mencekam karena Reddish yang terus menerus murka dan tak bisa menahan gejolak hatinya karena keadaan Azure yang tak menentu, kini semua makhluk turut merasakan betapa lega dan bahagianya mendengar berita tersebut.

“Tapi kenapa istriku belum juga terbangun?” Reddish berdiri dengan bersedekap, menatap dengan mata sendu dan ekspresi wajahnya yang keras ke arah Azure yang masih saja anteng di atas peraduan, tak peduli keadaan apa pun yang ada di sekitarnya. Tak peduli jika Reddish seperti tengah kesetanan karena perempuan itu tak juga sadarkan diri.

Reddish tentu saja tahu seperti apa keadaan makhluk-makhluk perempuan yang sedang mengandung di dunia langit ini. Lelaki merah itu telah berulang kali menyaksikan sendiri bagaimana para perempuan harus menahan rasa tak nyaman dan terus menerus meminum ramuan kesehatan untuk menjaga agar dirinya dan makhluk bayi yang sedang dikandungnya itu terus berada dalam kondisi sehat hingga waktunya kelahiran nanti. Namun, belum sekalipun Reddish mengetahui kondisi kehamilan makhluk seperti Azure saat ini.

Okultis itu berkata jika kondisi aura biru Azure dalam keadaan baik-baik saja bahkan meningkat pesat seiring usia kehamilannya yang terus bertambah dari waktu ke waktu. Lalu, seolah baru teringat sesuatu hal yang penting, Reddish memundurkan langkahnya dan segera memasang  sikap bermeditasi. Kedua tangannya terangkat dan kedua matanya memejam.

Hanya satu makhluk yang sepertinya akan bisa menjawab pertanyaannya tentang keadaan Azure  ini. Vermilion.

Pikiran Reddish berkelana memanggil nama Vermilion yang saat ini pastilah sedang berada dalam konsentrasi tingkat tingginya dalam bermeditasi. Hanya Reddishlah satu-satunya yang makhluk yang akan disambut dengan bahagia jika lelaki itu datang menemuinya dengan kekuatan pikiran meski Vermilion tengah bermeditasi. Selain pemimpin klan merah itu, Vermilion melarang keras dan tak segan-segan menyerang siapa pun yang berani menghampirinya ketika tengah semadi.

Namun kali ini, berkali-kali Reddish memanggil nama lelaki klan merah itu di dalam pikirannya, tak juga ada suara Vermilion yang menyahut. Lelaki klan merah itu entah sedang disibukkan dengan apa sehingga tak bisa menerima panggilan kekuatan pikiran dari Reddish.

“Crimson.” Reddish memanggil beriringan dengan kedua matanya yang terbuka.

Lelaki klan merah yang selalu siap sedia di depan pintu kamarnya itu seketika menyahut. Menghadapkan tubuhnya ke dalam ruangan dan menjura ke arah Reddish.

“Bawa Vermilion ke ruang kerjaku,” titahnya dengan gerahamnya yang berkedut menahan marah, melirik sebentar ke arah Azure dengan ekspresi sendu lantas melangkah cepat keluar ruangan. Tak peduli pada sang okultis yang kebingungan ditinggalkan berdua bersama sang maharani.

Aura Reddish menyala tipis memendar di ruangan, membuat okultis perempuan itu seketika menunduk dengan bulu roma berdiri menahan takut. Sejenak, Crimson menyempatkan diri untuk masih menghadapkan tubuhnya ke dalam ruangan sehingga sang okultis itu melebarkan mata saat pengawal pemimpin besar klan merah itu berbicara dengan isyarat telapak tangannya yang menghadap ke depan sembari mengangguk, memerintah perempuan okultis itu agar tetap di dalam ruangan, berjaga jika terjadi sesuatu kepada Azure.

Dengan senyum kaku dan balas mengangguk, perempuan itu pada akhirnya menghela napas dan menyetujui perintah tersebut lantas kembali duduk di tempatnya seperti patung, tak berani bergerak tanpa diperintah.

***

Di tengah-tengah perjalanan singkat menuju ruang kerja miliknya, Reddish yang tengah diburu oleh ketidaksabaran itu seolah diberi petunjuk oleh semesta sehingga meskipun dalam keadaan kesal luar biasa, perhatian sebelah matanya yang buta warna itu melihat seberkas asap abu-abu yang menguap dari lantai di sisi dinding.

Reddish seketika menghentikan langkah dan berjongkok. Tidak salah. Asap ini berasal dari bekas cairan yang sepertinya tumpah.

Tumpah.

Lelaki klan merah itu mengernyitkan dahi. Telah menjadi peraturan baku bagi pelayan kastil merah jika mereka dilarang melakukan kesalahan sekecil apa pun untuk menghindari kekacauan. Para pelayan harus bekerja dalam kondisi tubuh yang prima. Mereka terlatih untuk bekerja dengan sempurna tanpa mengenal kesalahan.

Jika dilihat-lihat, untuk apalah Reddish membuat persyaratan sesulit itu di dalam pekerjaan mereka yang hanya melayani jamuan minum para makhluk? Ternyata, inilah salah satu alasannya sehingga Reddish membuat hal tersebut sebagai aturan.

Lelaki klan merah itu telah banyak mengamati bahwa pelayan yang betul-betul bekerja dengan kondisi siap serta pikiran yang fokus, mereka akan benar-benar menjadi pelayan yang sempurna dan tuntas menjalankan tugas. Sedangkan jika salah satu saja faktor tersebut tak terpenuhi, maka …

Pandangan Reddish menatap ke depan. Teringat sebuah peristiwa kecil yang menghubungkannya dengan asap mencurigakan ini.

Pelayan merah!

Crimson memberitahunya jika ada salah satu makhluk pelayan yang menumpahkan minuman tepat di depan ruang kerjanya ini dan dengan cepat seperti biasa ia langsung memenjarakannya di ruang tahanan.

Sebelah tangan Reddish menjangkau asap yang masih mengepul kecil itu dan mengamatinya benar-benar. Sungguh anugerah karena sebelah matanya yang tak tertutup lensa itu bisa melihat sesuatu yang tak bisa tampak di mata makhluk biasa. Geraham Reddish mengetat dengan aura merah yang mulai memendar dari tubuhnya.

Seharusnya ia bisa menyelesaikan urusan ini sedari awal jika saja ia melihat keanehan ini lebih teliti. Berani-beraninya makhluk-makhluk bedebah itu menyerangnya dari belakang.

“Tuan Reddish.” Suara Vermilion yang berat menyapanya dari arah belakang. Lelaki tua klan merah itu menjura hingga Reddish berdiri serta mengangguk menerima penghormatannya.

“Dari mana saja kau?” tegur Reddish kemudian.

“Ampun, Tuan. Saya baru saja selesai membersihkan rak-rak buku di ruang perpustakaan dan meninggalkan semadi,” jawabnya seraya menunduk. “Apa … apa yang Tuan lakukan di sini?” Vermilion mengangkat sebelah alisnya ketika kepalanya yang menunduk itu melihat sebelah tangan Reddish yang diliputi sesuatu seperti kabut yang muncul hilang mengelilingi kepalan tangannya.

Pandangan Reddish merendah seiring sebelah tangannya yang terangkat. “Aku baru saja menemukan kekuatan ini di sini,” ujarnya mengedikkan kepala, menunjuk ke arah lantai yang dipijaknya.

Vermilion seketika berjongkok dan turut pula menyentuhkan sebelah tangannya pada kabut tipis itu dan mengernyit. “Ini adalah sisa-sisa kekuatan jiwa yang tertinggal karena menyentuh permukaan benda.” Lelaki klan merah itu mendongak dan menatap Reddish dengan teliti. “Bagaimana ini bisa ada di sini, Tuan?” tanyanya lantas berdiri.

“Seseorang membawanya kemari,” jawabnya sembari mengepalkan tangannya rapat, membuat asap hitam itu berkumpul dalam genggaman tangannya lantas meledak kecil, bekerlipan menjadi kristal-kristal merah yang beterbangan di udara dan memendar hilang bersama angin yang berembus di ruangan itu.

“Ah, aku punya hal lain yang harus kubicarakan denganmu.” Reddish berdeham dan membalikkan badan, melanjutkan perjalanan menuju ruang kerjanya yang tinggal beberapa langkah. Lupa akan kemarahannya pada lelaki klan merah itu yang tak bisa dihubungi olehnya tadi. Dia teringat Azure dan segala hal selain itu lenyap seketika dari pikirannya, termasuk urusan kekuatan dari pelayan merah itu.

“Baik, Tuan.” Vermilion menjawab sembari megembuskan napas perlahan. Keberuntungan sepertinya sedang bersamanya kali ini karena ia tak harus menerima kemurkaan pemimpinnya itu dulu sebelum menerima tugasnya yang lain.

Reddish berdiri menghadap dinding kaca besar di ruangannya, membelakangi Vermilion. Kedua mata merahnya menatap awan-awan yang bergerak di kejauhan, tubuhnya tampak kaku ketika mulutnya mulai mengurai apa yang kini sedang mengganggu pikirannya. Tarikan napasnya terdengar panjang, sebelum ia mulai berucap,

“Apa yang sebenarnya terjadi pada istriku? Apakah ada yang salah dengan kehamilannya?” Reddish membalikkan badan seketika, membuat Vermilion hampir terloncat karena terkejut.

Lelaki tua klan merah itu berdeham. “Hampir sama seperti ibunda Anda saat mengandung Anda, Tuan Reddish,” jelasnya dengan senyum tipis menghiasi bibir.

Kening Reddish berkerut, penuh tanya dengan ekspresi yang mulai tersulut kemarahan. Dia teringat benar bagaimana makhluk-makhluk terdekatnya membicarakan ibunya yang sakit-sakitan ketika mengandungnya sebelum pada akhirnya harus menyerah pada kehendak semesta yang mengharuskannya pudar. Reddish tak mengenal ibunya dengan baik, tetapi kebaikan sang ibu selalu melingkupinya meskipun ia tumbuh menjadi sosok lelaki kuat yang penuh dengan amarah. Ia dikatakan lahir sebagai pelindung dunia langit karena berkat kehadirannya, kemunculan awan merah yang akan melahap habis pelangi semesta itu berhasil dimusnahkan. Kekuatan besar awan merah itu lenyap di tangan Reddish yang masih bayi, memperbesar tanda lahir api di pergelangan tangannya, membuatnya kuat seperti sekarang.

“Apa maksudmu, Vermilion?” Reddish bertanya bersamaan dengan sebelah tangannya yang mencengkeram leher Vermilion, membuat lelaki tua itu terkesiap.Kedua mata merahnya menatap tajam sang lelaki tua.

Jauh di dalam hati Reddish, sungguh ia tidak sedang marah. Lelaki klan merah itu sedang takut. Takut jika apa yang terjadi pada ibunya harus terjadi pula pada Azure karena kehamilan itu.

Reddish melepaskannya dengan kasar kemudian. Napasnya terengah.

“Ampun, Tuan. Kenapa Anda marah? Bukankah Anda seharusnya bahagia karena keturunan yang kuat seperti Anda akan segera lahir?” tanyanya seraya mengusap lehernya dengan gemetar.

Reddish bergeming di tempatnya. Membuat suasana sepi itu menjadi tegang, seolah Vermilion sedang diperhitungkan, akan seperti apa caranya lelaki itu mati.

“Sa-saya merasakan kekuatan unik dari makhluk yang dikandung oleh yang mulia Maharani. Hal itu tentu saja karena aura merah yang sangat besaar milik Anda menyatu dengan kekuatan air milik Nona Azure. Anda tahu? Aura ungu adalah aura tertinggi di dunia langit dan dunia manusia. Makhluk-makhluk pemiliknya pastilah memiliki sesuatu yang besar yang tidak kita sangka-sangka,” paparnya dengan lantang, menghapus suara gugupnya agar Reddish tak semakin murka.

“Saya … bisa memastikan sama seperti okultis itu, Tuan. Nona Azure dalam kondisi baik. Hanya  saja, kami masih belum bisa memberi kabar yang niscaya untuk Anda tentang apa yang sebenarnya menimpa Nona Azure, tentang kekuatan macam apa yang dimiliki oleh calon putra Anda,” jelasnya kembali dengan nada pasti.

Tubuh Reddish sedikit melunak mendengar penjelasan yang menghibur itu. “Jadi, istriku tidak akan menjadi sakit-sakitan karena mengandung anakku, bukan?” Reddish menodong kepastian dengan nadanya yang menyeramkan.

Vermilion berdeham. “Tentu saja tidak, Tuan. Anda hanya harus mematuhi jadwal ramuan yang harus dikonsumsi oleh Nona agar kehamilannya berjalan baik hingga waktunya putra Anda lahir nanti.” Lelaki itu tersenyum tipis, berharap Reddish bisa luluh oleh kata-katanya dan menghilangkan segala kecemasan yang tak perlu.

Reddish kembali membalikkan badan, memandangi apa saja yang bisa ia lihat di balik kaca. Kali ini, pelangi semesta tampak bercahaya di atas langit, awan-awan seakan menyingkir, memberi waktu pada Reddish untuk bisa menikmati warna-warnanya yang indah.

“Warna ungu telah menyala, Tuan. Saya yakin akan semakin cerah seiring kehamilan Nona yang mendekati waktu persalinan setahun ke depan.”

“Tidak bisakah dipercepat?”

Vermilion mendongak dan menatap Reddish yang memunggunginya. “Eh, apanya yang dipercepat, Tuan?”

“Kelahiran anakku.” Reddish menjawab cepat.

Vermilion berdeham lagi. Dari sekian banyak persoalan di negeri langit yang pernah dihadapinya, baru kali inilah dirinya mendengar permintaan seaneh itu dan tentu saja ia bingung harus berkata apa sebab  mana mungkin kelahiran makhluk bisa dimanipulasi sesuai keinginan sendiri?

“Aku tidak ingin istriku menderita terlalu lama dengan kehamilan itu,” ucapnya tegas. “Ah, sudahlah. Kau tak mengerti. Kembalilah ke tempatmu dan selalu bersiaplah saat aku memanggil.” Reddish menukas ucapannya sendiri tanpa memberi kesempatan Vermilion menyahut. Lelaki merah itu melangkah keluar ruangan dan kembali ke ruang peraduannya dengan tergesa-gesa.

***

Masih sepeti ketika Reddish pergi, okultis perempuan itu masih mematung di tempatnya duduk. Reddish hampir-hampir melupakan keberadaannya ketika lelaki itu masuk ke ruang kamarnya.

“Kau, pergilah. Datanglah cepat saat aku membutuhkanmu,” perintahnya lantang.

“Baik. Baik, Tuan,” sahutnya cepat dengan bahagia lantas begegas meninggalkan ruangan dengan penuh suka cita.

Reddish sempat mengamati bagaimana perempuan itu pergi, lantas mengangkat sebelas alis dengan ekspresi heran oleh sikapnya yang aneh tersebut.

“Tidakkah kau bisa mengecilkan suaramu ketika berbicara?”

“Tentu saja tidak. Aku-“ Reddish menjawab spontan dan menghentikan ucapannya ketika menyadari dari arah mana suara itu berasal. Lelaki itu menoleh cepat.

Suara Azure!

“Azure?” Reddish melangkah lintang pukang mendekati peraduan. Ia seketika membungkuk dan mengusap dahi istrinya lembut dengan alis bertaut. “Bagaimana keadaanmu? Bagian tubuhmu mana yang  tak nyaman?” tanyanya penuh kecemasan.

Azure terlihat begitu berat membuka kelopak matanya. Sebelah tangannya tampak terangkat dan mulai mengusap-usap kelopak matanya hingga membuka, memperlihatkan warna biru di kedua pupil matanya nan indah, tatapan mata yang begitu Reddish rindukan.

“Aku masih mengantuk dan kau berisik sekali. Aku ingin tidur sebentar lagi.” Azure berkata ringan sembari memiringkan tubuhnya membelakangi Reddish, membuat lelaki klan merah itu membelalak dan ternganga saking terkejutnya.

“Tidur? Kaubilang tidur, Azure? Aku dan semua makhluk sangat mengkhawatirkanmu dan ternyata kau sedang tidur?”

 

Bersambung ….

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

The Red Prince | Part 26 : Manipulasi

red prince cover - CopyRed 3

19 votes, average: 1.00 out of 1 (19 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Dan tugasmu pun belum selesai, Azure. Kau masih harus menemaniku sampai hidupku berakhir.
~Reddish

“Aku mewakili klan biru memberikan suaraku. Aku datang mendukung suamiku.” Azure berucap sembari mengangkat sebelah tangannya. Tatapannya lurus ke arah Reddish yang sepertinya sedang terkejut atas kedatangannya.

Sebelah alis Reddish terangkat dengan pandangannya yang dingin. “Azure. Sedang apa kau di sini?”

Azure tersenyum dengan sebelah bibirnya terangkat, membuat wajah manisnya terlihat tegas. Parasnya berseri-seri memesona. Entah bagaimana, aura Azure di dalam balutan kostum maharani itu terlihat berbeda dan Reddish tak bisa menahan diri untuk tak menyapukan pandangan ke arah istrinya itu dari pucuk mahkota yang dikenakannya hingga alas kakinya yang berkilauan batu safir nan indah.

Bersenjang dengan mata Reddish yang seperti ditempeli magnet sehingga tak mampu berpaling dari mengagumi istrinya, dalam sekian detik setelah Reddish melemparkan tatapan ke arah Azure, perempuan itu justru terpaku dengan tatapannya yang menyipit penuh tanya ke arah suaminya.

Apakah dia sedang salah melihat? Mengapa warna kedua mata Reddish berubah … menjadi sedikit pucat? Apakah perubahan itu sudah ada sejak lama karena ia tak memperhatikan  … atau ….

Azure berpikir cepat untuk membuktikan kecurigaan yang membuat dadanya berdesir. Dirinya memang telah lama menghilang dari dunia makhluk warna, pun juga telah lama tak bersinggungan dengan kekuatan-kekuatan warna selama di dunia manusia. Namun, Azure tak pernah lupa bagaimana wujud makhluk yang sedang berada di bawah pengaruh kekuatan jiwa seperti ini. Berbeda dengan makhluk yang sedang berubah warna yang hampir tak bisa diidentifikasi dalam sekali lihat, makhluk yang terkena mantra kekuatan jiwa memiliki warna mata yang lebih pucat.

Azure melihat sendiri bagaimana ibunya dahulu pernah terkena pengaruh kekuatan jiwa itu sebelum pada akhirnya tersadar setelah berhasil meminum ramuan untuk membunuh adik Azure yang masih berada dalam kandungan.

Apakah Reddish sedang berada di bawah pengaruh kekuatan jiwa yang sama?

Perempuan itu tanpa pikir panjang segera berlari ke arah Reddish dan merangkul lelaki itu. Azure merentangkan tangannya dan mengeluarkan kekuatan air berwarna biru yang seketika mengalir deras memenuhi ruangan tanpa seorang pun bisa menahan.

Di detik yang sama, tanpa diduga, dari arah acak dari banyak tempat, peluru-peluru berwarna-warni berhamburan mendatangi Reddish. Untunglah di dalam air yang mendadak memenuhi aula itu, kekuatan yang tepat terarah ke arah Reddish akhirnya melambat. Azure tak membuang waktu. Perempuan itu bergerak memutar sembari memeluk Reddish yang masih terpaku dalam keterkejutannya dan menangkis semua peluru warna itu hingga akhirnya meledak, menimbulkan getaran serupa gempa yang mengerikan di dalam kekuatan air tersebut.

Semua makhluk yang pada akhirnya tenggelam dan lekas menyadari apa yang terjadi pun hanya bisa berusaha mengeluarkan kekuatan mereka untuk bertahan melawan kekuatan air yang saat itu tiba-tiba saja menenggelamkan tubuh mereka semua. Kecuali Reddish dan Azure tentu saja. Keduanya berdiri tenang dalam selingkar lingkup warna biru yang bekerlipan indah seperti ruangan berbentuk lingkaran yang melayang di dalam air.

“Reddish!” Azure mengguncang-guncangkan tubuh suaminya yang saat itu nampak anteng dalam kependiamannya yang tak biasa. Perempuan itu tak berputus asa dan terus berusaha untuk menyadarkan Reddish yang saat itu kaku seperti batang kayu yang tak menyadari apa pun.

Terdengar suara gelembung air mendekat. Ecru datang. Lelaki itu melayang dan memasuki lingkup warna biru itu dalam sekali gerakan. Azure mengizinkannya masuk.

“Apa yang sebenarnya terjadi? Ecru bertanya dengan tatapan marah ke arah Azure yang saat itu masih mengguncang tubuh Reddish dengan ekspresi terluka. Tatapan lelaki kuning itu lantas beralih ke arah Reddish yang memejam tanpa perlawanan.

“Sepertinya Reddish terkena pengaruh kekuatan jiwa.” Azure mengerutkan kening dengan ekspresi putus asa.

“Apa? Pengaruh kekuatan jiwa?” Ecru bertanya dengan ekspresi tidak percaya. “Bagaimana mungkin?”

“Sepertinya … ada kekuatan lain yang berhasil menyembunyikan pengaruh itu sehingga bahkan Reddish sendiri tak menyadari jika dirinya sedang berada di bawah pegaruh,” ucap perempuan itu lesu, lalu berganti memandang ke arah Ecru dengan tatapan bertanya yang sungkan.

“Apakah … Reddish sedang dekat dengan makhluk yang memiliki kekuatan untuk meyembunyikan kekuatan warna? Atau … adakah makhluk-makhluk warna di kastil merah yang memiliki kekuatan itu?” Azure menatap lagi suaminya sembari mengulurkan tangan dan menyentuh pipi lelaki klan merah itu.

Tak berapa lama, terdengar suara dentuman-dentuman kecil dari arah belakang mereka. Para dewan warna dan prajurit yang saat itu betugs mengamankan ruang aula itu melayang mengitari ketiganya dalam posisi memunggungi dan betarung dengan kekuatan warna mereka yang berkali-kali  memendar di dalam kekuatan air Azure itu.

Ecru mengerutkan kening. “Vantablack?” Sebelah alis lelaki kuning itu terangkat. “Tidak mungkin,” sanggahnya sembari menggeleng. “Dia ….” Ecru menunduk ke samping sambil merangkulkan tangannya. Tak berapa lama, sosok hitam pekat dengan penampilannya yang serba hitam itu perlahan muncul dari arah samping Ecru. Takut-takut menampakkan sosoknya yang berlindung di belakang lelaki klan kuning tersebut.

Di sela-sela kejadian beruntun yang tak bisa dimengerti tersebut, Reddish perlahan membuka matanya. Ajaib, ada warna merah serupa darah milik Reddish yang seolah tersedot keluar dari tubuh lelaki itu dan mengembalikan kesadaran Reddish yang semula hilang entah ke mana.

Reddish membuka matanya lebar-lebar dan menemukan jika Azure sedang bersedu sedan di hadapannya. Kedua mata lelaki itu melebar saat menyadari jika ia sedang berada di air.

“Lepaskan! Lepaskan aku!” Suara teriakan dari arah seberang terdengar bersusul-susulan.

Azure mengangkat kedua tangan dalam gerakannya menarik kekuatan air yang semula melingkupi mereka. Perlahan, air berwarna biru itu surut, menghilang, menyisakan tetes-tetes air yang membasahi baju para makhluk.

Hening sesaat.

Hanya terdengar embusan napas yang bergemuruh saling bersahutan satu sama lain. Sampai entakan gerakan itu terdengar.

Azure, Reddish, Ecru, dan yang lainnya menoleh bersamaan. Tampak dari belakang mereka seorang makhluk klan hitam yang dicekal oleh prajurit merah dan hitam. Wajahnya tampak pucat dan mengerikan dengan hitam yang menetes-netes dari tubuhnya mulai dari rambut hingga ujung jubahnya yang panjang.

“Paman Musoublack?” Vantablacklah yang pertama kali bersuara. Lelaki kecil itu melebarkan mata dengan ekspresi takut sembari terus memeluk dan mencengkeram jubah tebal milik Ecru.

“Navy?” Mulut Azure bergetar kemudian. Keningnya mengernyit saat mengenali lelaki klan biru yang kini juga sedang dicekal oleh para prajurit.

“Musoublack. Navy.” Reddish terkekeh. Ekspresinya tampak gelap dan marah dengan kedua matanya yang bersinar merah serta auranya yang membara.

“Pantas saja kau membiarkan Vantablack jatuh ke tanganku dengan mudah. Ah, rupanya kau sedang ingin bermain-main denganku, eh?” Reddish melangkah perlahan ke depan, menghampiri Navy yang kini tertunduk.

“Apa maksudmu, Reddish?” Alabaster menyela bertanya.

“Mereka berhasil memengaruhiku dengan kekuatan jiwa. Mereka berhasil membuatku berpikir jika apa yang sedang kupikirkan adalah kehendakku sendiri. Mereka menginginkanku berada di tempat ini, mendatangi tempat ini sebagai lokasi eksekusi. Tidakkah kalian lihat bagaimana tadi kedua makhluk ini berusaha menyerangku?” tanyanya dengan bibir menipis menahan murka.

“Jadi … jadi kau tak benar bersungguh-sungguh ingin mundur sebagai pemimpin kami? Itu semua … hanya manipulasi makhluk-makhluk ini?” Ecru berkata dengan wajah tegangnya yang juga turut menyimpan sejuta rasa tak percaya yang sarat kekesalan.

“Apakah kau benar-benar begitu ingin menggantikan Reddish menjadi pemimpin klan sementara urusan-urusanmu saja selalu bertentangan dengan kami dan mencelakai kami?” Azure tiba-tiba berucap serak, matanya menatap ke arah Navy dengan pandangan menerawang yang tak terbaca.

Dalam kepalanya yang menunduk, Navy mengetatkan gerahamnya.

“Kau membuatku malu, Navy,” lanjutnya dengan suara lirih yang menggetarkan hati. “Tidakkah kau tahu jika sesungguhnya ayahkulah yang menyebabkan perang warna beberapa tahun lalu? Tidakkah kau tahu muasal ini semua, Navy?”

Semua makhluk yang berkerumun di ruangan itu saling berbisik dan bertanya kemudian dengan penuh keterkejutan akan kalimat yang dilontarkan maharani pemimpin mereka itu.

“Kalian minggir!” Reddish berkata cepat sembari memajukan langkahnya lagi,merangkul Azure semakin rapat. Dengan angkuh ia memerintah kepada para prajurit untuk menyingkir dari posisi mereka mencekal Musoublack dan Navy.

Musoublack dan Navy mendongak. Ecru dengan segera merangkul Vantablack dan mengajaknya untuk keluar dari ruangan itu.

“Aku akan memenuhi keinginan kalian berdua.” Reddish berkata dingin dengan mengangkat tangannya yang telah menampakkan bola merah menyala. “Menjadikan aula ini sebagai tempat eksekusi,” lanjutnya beriringan dengan lemparan kekuatan merah ke arah dua makhluk itu, membuat nuansa ruangan yang semula putih menjadi bercahaya merah.

Azure melipat bibir dan memejamkan mata. Membiarkan dirinya dipeluk oleh Reddish dengan sebelah tangannya. Bukan. Bukan karena ia takut menyaksikan dua makhluk itu mati menjadi abu, tetapi Azure merasa sangat bersalah karena lagi-lagi anggota klannya hampir saja membuat kekacauan besar dengan rencana pembantaiannya kepada Reddish.

Satu tetes air mata mengalir. Ah, tidak. Semua makhluk yang menyaksikan eksekusi itu menitikkan air mata. Mereka bersama-sama membiarkan nuansa sesak yang dipenuhi kengerian itu menguasai aula kemudian dengan mata terpejam. Sementara itu, suara pekikan kesakitan menggema di dalam ruangan itu, diiringi nuansa panas yang membuat peluh muncul di pelipis.

Suasana mencekam membungkam semua makhluk, termasuk Jade dan dewan warna lainnya yang tak berkutik melihat bagaimana ganasnya Reddish ketika murka.

Perlahan, bayangan warna merah yang lenyap sekaligus suara pekikan yang berubah hening itu membuat para makhluk warna yang semula menunduk diam mulai termakan rasa penasaran hingga akhirnya mulai membuka mata dengan jantung bedebar dan mengangkat pandangan.

Betapa terkejutnya mereka ketika melihat pemandangan yang ada di depan mereka. Navy dan Musoublack lenyap dari hadapan, sementara Azure jatuh pingsan dengan Reddish yang menyangga kepalanya dengan bergetar.

“Azure!”

***

“Mengapa Navy lama sekali?” Sky berdiri dengan kepalanya yang bersandar pada terali besi, berharap segera melihat sosok biru yang telah berjam-jam mereka nanti.

“Kita hanya bisa bertaruh sampai saat ini saja.” Crow berkata dengan sebelah tangannya mengusap jenggot hitamnya yang panjang. Embusan napasnya terdengar lelah.

Sky menoleh cepat. Lelaki biru muda itu berjalan mendekati Crow. “Apa maksudmu, Crow?”

Crow menghela napas. “Aku dan Navy sebenarnya mempunyai rencana kami sendiri,” ucapnya membuka suara.

Sky mendecak. “Kau dan Navy memang selalu punya rencana. Tapi lihatlah. Pada rencana ke berapa kira-kira kalian akan menemui keberhasilan?” tanyanya dengan nada sebal yang meremehkan.

“Entahlah. Tapi … ini adalah rencana pemungkas kami. Navy sendiri yang menjalankan rencana itu. Jadi, kusebut pemungkas karena jika Navy berhasil menjemput kita di tempat ini berarti ia berhasil dan jika sampai sore nanti Navy tak datang kemarii, berarti ia telah habis di tangan Reddish dan kita terjebak selamanya di ruang tahanan ini.” Crow menerawang, memandangi tembok batu di hadapan mereka dengan penuh pemikiran.

“Maksudmu … Navy … dia … ada di ruang aula dan mengikuti rapat besar pemimpin klan?” Sky membelalak dalam upaya meyakinkan diri ketika melontarkan pertanyaan itu, meski ia sendiri kini tahu jawabannya.

Crow menipiskan bibir. “Dia ada di ruangan itu bersama Musoublack. Dialah yang selama ini menutupi pengaruh kekuatan jiwa yang Navy semai di kastil merah untuk mengacaukan Reddish.”

Sky memundurkan tubuhnya. “Mengacaukan Reddish? Apakah maksudmu … keinginan Reddish untuk mengundurkan diri itu adalah pengaruh dari kekuatan jiwa? Dia selama ini terkena pengaruh kekuatan dari Navy?”

Lelaki klan hitam itu mengangguk. “Itu satu-satunya upaya yang bisa kita lakukan agar tak terlihat mencurigakan. Reddish sendiri yang pada akhirnya bertindak,” ujarnya seraya bersedekap. “Tak disangka, dibalik sikap garangnya yang angkuh, Reddish ternyata memiliki sisi tersembunyi yang begitu rapuh menyangkut makhluk-makhluk yang dicintainya.”

Sky mengangkat sebelah alis dengan ekspresi heran. “Makhluk yang dicintainya? Maksudmu … Azure?” tebaknya dengan malas.

“Bukan.” Crow menoleh ke arah Sky. “Dia mencintai anaknya,” jawabnya lugas.

Sky terkekeh. “Anak? Reddish ternyata telah memiliki anak dengan pasangannya yang lain?” tanyanya dengan dugaan spontan.

Crow kembali menghela napas. “Reddish mencintai anaknya jauh sebelum anak itu ada. Dia sangat peduli dengan anaknya hingga rela menjatuhkan kepemimpinannya tanpa pikir panjang. Kau tahu? Navy hanya memberikan pengaruh kekuatan jiwa agar Reddish mau meninggalkan kastil merah dan kekuasaannya. Tak disangka jika ternyata Reddish akan memiliki ikatan yang kuat dengan pemikirannya sendiri jika ia harus meninggalkan kepemimpinan klan agar anaknya tak jatuh di jalan yang sama dengannya. Bukankah itu cinta yang indah?” ucapnya dengan ekspresi getir.

“Navy sengaja menggiring Reddish ke ruang aula itu untuk membunuhnya. Pengaruh kekuatan jiwa itu akan memiliki efek paling dahsyat di hari keempat setelah pengaruh itu disemai. Pada saatnya nanti, ketika pengaruh itu menguasai Reddish sepenuhnya, lelaki klan merah itu akan kehilangan kendali atas dirinya dan akan dengan mudah dibunuh. Aku telah melobi Jade agar mau mengeluarkan kekuatan hitamnya untuk menyerang Reddish.”

“Jade?”

“Ya. Jade akan dengan bebas menyerang Reddish tanpa ketahuan karena pengaruh kekuatan hitam Musoublack. Jade adalah satu-satunya makhluk di ruangan itu yang memiliki kebebasan untuk mengeluarkan kekuatan maksimal karena dia adalah dewan warna. Dan … kau tahu sendiri, bukan? Bagaimana Jade begitu membenci Reddish? Ini akan membalaskan kekesalannya terhadap makhluk klan merah yang angkuh itu,” ucap Crow penuh keyakinan.

Sky terdiam mencerna semua perkataan Crow. “Pengaruh kekuatan jiwa … bagaimana kekuatan itu bisa masuk ke dalam kastil merah? Ah, kenapa aku dibiarkan tidak tahu? Kalian sengaja menyembunyikan semua rencana dariku?” Sky berkata ketus dengan nada penuh tuduhan.

“Pelayan merah. Kau ingat pelayan merah yang kita kirim ke kastil merah? Dia adalah kuncinya. Dia yang membawa ramuan itu ke sana. Sekali botol ramuan itu dibuka, maka seperti anak panah yang dilesatkan, ramuan itu akan merasuk ke dalam tubuh yang dituju,” jelas Crow. “Dan kami tak berniat menyembunyikan semuanya darimu. Kami paling tahu jika kau adalah yang paling mudah dicurigai oleh Reddish karena kekuatanmu yang hampir sama dengan kekuatan Azure. Kami ingin kau menyembunyikan rencana ini dengan ketidaktahuanmu. Seperti itu. Dasar anak kurang ajar, bodoh, kau menuduh-nuduh!” Crow menjitak kepala Sky hingga lelaki biru muda itu mengaduh.

***

Jade termangu di sisi dinding kaca besar ruangannya yang hitam. Seperti makhluk lainnya yang baru saja terkejut oleh peristiwa rapat besar pemipin klan yang berakhir tragis, ia juga tengah terguncang karena peristiwa itu.

Pikiran dan hatinya kacau. Ia sedang mensyukuri sekaligus merasa ngeri atas apa yang menimpa mereka tadi. Jade sungguh-sungguh tak menyangka jika Azure akan datang dan ia tak tahu apa yang akan terjadi jika Azure tak datang.

Lelaki itu sungguh baru saja akan mengeluarkan kekuatan hitamnya yang katanya tak akan nampak untuk menyerang Reddish. Jade berada dalam detik terakhir kebimbangannya untuk mengeluarkan kekuatannya itu hingga Azure mendadak masuk ke ruang aula seperti air bah yang datang menghancurkan semua yang dilewatinya, Azure hadir menggagalkan semua rencana. Kekuatan pengaruh jiwa itu luruh ketika Reddish tenggelam dalam kekuatan air milik Azure dan semua kekuatan warna lainnya seperti dilemahkan saat itu.

Jade mengangkat tangannya dengan gemetar. Tangannya itu hampir saja membunuh Reddish. Ia teringat percakapannya dengan Crow sesaat sebelum lelaki tua klan hitam itu dimasukkan ke dalam ruang tahanan.

“Aku hanya ingin memintamu satu hal saja untuk rapat besar pemimpin klan esok hari.” Crow berucap serius kemudian.

Jade sungguh tak tahu lagi dengan pemikiran makhluk klan hitam di depannya ini. Ia lalu memejam sejenak mengusir amarah, lalu membuka mata seiring embusan napas yang berusaha keras ia netralkan. “Apa yang kauinginkan?”

“Aku ingin kau menyerang Reddish.” Crow berucap sembari menatap lurus ke kedalaman mata Jade yang melebar mendengar ucapannya. “Navy akan membantumu,” lanjutnya lagi sambil memajukan kepalanya dengan volume suara yang direndahkan.

Jade hampir saja melayangkan tinjunya ke wajah Crow jika saja lelaki tua itu tak menangkisnya dengan sebelah tangan.

“Musoublack akan membantumu. Dia akan hadir di ruang rapat besar itu dan mengamankanmu,” bujuknya dengan ekspresi meyakinkan.

“Kau pasti tahu jika Musoublack bisa kita andalkan.” Crow mengangkat sebelah alisnya dengan ekspresi puas saat melihat roman muka penuh keraguan di ekspresi wajah Jade.

“Musoublack terlalu berbahaya. Bagaimana dengan Vantablack?” Jade menampakkan wajahnya yang  tampak berpikir keras.

“Vantablack ada di tangan Reddish. Bocah kecil itu telah kita lemparkan agar kecurigaan Reddish selesai. Dia akan berpikir jika satu-satunya senjata kita telah ia rebut, padahal itu hanyalah jebakan agar ia lengah.”

Jade memalingkan wajah. Emosi yang semula tampak membakar pikirannya itu surut.

“Kau diuntungkan dua hal dalam hal ini, Jade,” bujuk Crow lagi tak mau menyerah.

Jade terdiam.

“Kau bisa membayar rasa kesalmu kepada anak ingusan itu sekaligus … membuka jalan bagi klan kita untuk memimpin negeri langit. Kau akan berkuasa sepenuhnya setelah Reddish mati. Kita, klan hitam, akan berjaya ….”

Mata tua Jade memejam. Entah siapa yang pada akhirnya mengeluarkan kekuatan itu hingga akhirnya nekat mengarahkan peluru kekuatannya ke arah Reddish? Apakah Navy?

Lelaki klan hitam itu mengernyit ketika menyesali hal yang seharusnya ia ketahui. Bagaimana bisa White dan rekannya yang lain pada akhirnya menangkap basah Navy dan Musoublack? Apakah kekuatan air dari Azure itu membuat segalanya menjadi tampak?

“Tuan. Minuman Anda.” Salah seorang pelayan datang membawa nampan berisi sebotol minuman dan gelas kaca kecil.

Jade menoleh.

“Tuan White meminta bertemu, Tuan,” ucap pelayan itu lagi setelah meletakkan nampan di tangannya.

“Biarkan dia masuk,” ucapnya kemudian masih dengan tubuhnya yang memunggungi si pelayan.

“Baik, Tuan.” Si pelayan menjura lantas bergegas keluar ruangan menyampaikan pesan tersebut kepada White yang tenang menunggu dipersilakan masuk di depan pintu.

Beberapa saat kemudian, dengan langkahnya yang tanpa suara, White masuk ke ruangan hitam itu. Auranya yang terang sebagai makhluk klan putih itu segera membuat Jade menyadari jika rekannya telah berada di belakangnya.

“Semuanya terjadi di luar kendali.” White membuka suara, membuat Jade membalikkan badan.

Lelaki klan hitam itu lantas melangkah menuju meja kecil di mana pelayannya tadi meletakkan minuman. “Duduklah,” ajaknya.

Tanpa kata White melangkah, lantas duduk di kursi yang berada di seberang Jade. Lelaki hitam itu kemudian menuang sedikit minumannya ke dalam dua gelas. Satu untuknya dan satu lagi untuk White.

“Kau sepertinya sedang merasa lega, meskipun masih dilingkupi kengerian.” White mengambil gelas kecil itu dan meneguknya tanpa dipersilakan.

Tatapan Jade sontak memandang tajam ke arah lelaki muda berklan putih itu. Nuansa panas diikuti jantungnya yang berdebar mendadak membuatnya berkeringat oleh rasa waswas.

White mengetahui rahasianya.

Jade berdeham sebelum kemudian meneguk habis minuman itu dalam sekali minum.

“Semesta masih melindungimu.” White menuang sendiri minuman dari botol itu, meneguknya dengan puas sebelum melangkah meninggalkan Jade seorang diri di ruangannya.

Di meja kecil itu, Jade merebahkan kepalanya di pangkuan kedua tangannya, menyembunyikan wajahnya di sana. Tubuhnya bergetar dan suara isakan lirih terdengar kemudian.

Lelaki itu menangis dalam nuansa kesyukuran tiada terkira, bertumpuk-tumpuk dengan rasa malu karena hitamnya pemikirannya selama ini yang sehitam penampilannya.

Dia bersyukur Reddish tak jadi terbunuh oleh tangannya.

***

Ini tak seperti yang ia duga. Biasanya, dengan sedikit sentuhan tangannya, Azure akan sembuh dari lukanya dalam sekejap. Namun kali ini, setelah berulang kali mengeluarkan aura merahnya dan memasukkannya ke dalam tubuh Azure, kekuatan merah Reddish seperti tak memiliki efek apa pun. Azure masih dalam keadaannya semula sejak berjam-jam tadi. Mengatupkan mata dengan sesekali tampak mengeluh, seolah rasa sakit yang dideritanya itu menembus hingga ke alam mimpinya.

Reddish mengusap perlahan dahi Azure dengan wajah cemasnya.

Perempuan itu berbaring di peraduan dengan tubuh lemah. Warna tubuhnya memperlihatkan rona kulitnya yang pucat.

Salah seorang okultis perempuan yang duduk di sisi ranjang dan tengah memeriksa Azure itu tampak menghela napas. Keninngya mengernyit dan tangannya yang masih memegang pucuk jemari perempuan biru itu tampak mengukur-ukur dengan keahliannya memeriksa.

“Apa yang terjadi dengan istriku?” Reddish bertanya putus asa. “Apakah ini karena ia terlalu banyak mengeluarkan kekuatannya tadi? Ataukah … pengaruh itu turut masuk ke dalam kekuatan airnya dan memengaruhinya?”

Perempuan klan merah itu menjura dalam posisi duduknya. “Hasil pemeriksaan masih harus ditunggu sampai esok pagi, Tuan. Sementara ini, saya akan memberi ramuan pengurang rasa sakit untuk diminumkan kepada Yang Mulia Azure,” tuturnya.

Terdengar suara Azure yang meracau. Keringat-keringat kecil bermunculan di tubuh perempuan itu.Yang tampak mengejutkan, tubuh Azure tampak sesekali kehilangan aura birunya, lantas di beberapa bagian tubuh muncul pendar aura merah yang lebih tampak seperti sumber rasa sakit yang membuat Azure kian mencengkeramkan tangannya pada apa saja yang bisa digapai oleh tangannya.

“Azure.” Reddish menggenggam tangan sang istri, lantas menciuminya dengan penuh cinta. “Aku begitu payah karena tak bisa menjagamu. Maafkan aku,” ucapnya lagi. Tak peduli pada perempuan okultis klan merah yang saat itu masih terduduk di tempatnya dengan wajah terkejut saat menyaksikan sikap dan mendengar ucapan Reddish yang  menyentuh hati itu.

Seandainya bisa, perempuan merah itu pasti tak ingin beranjak dari tempatnya dan ingin terus memandangi bagaimana pemimpin negeri mereka begitu lembut dan penuh perhatian kepada kekasihnya.

“Kau boleh pergi. Datanglah jika telah membawa kabar pasti.” Reddish memerintah tanpa menoleh, membuyarkan lamunan perempuan yang sedari tadi terduduk dan tak berani berkutik barang menggerakkan tubuhnya ketika bernapas itu.

“Ba-baik, Tuan. Saya izin undur diri,” sahutnya gugup dengan sikap menjura dan segera berjalan cepat dari ruang peraduan tersebut.

Suara guntur terdengar kian dekat. Langit di dunia manusia sepertinya sedang ditimpa gelapnya mendung. Reddish menengok ke arah jendela kamarnya dan menghela napas.

“Ayo bangun Azure. Hujan menanti izin diturunkan. Menantimu memimpin penyemaian warna.” Reddish mengecup punggung tangan Azure yang dingin, menanti dengan penuh ingin, berharap sang istri segera membuka mata. “Dan tugasmu pun belum selesai, Azure. Kau masih harus menemaniku sampai hidupku berakhir. Bangunlah,” ucapnya sengau sekali lagi, dengan senyum getir yang menyedihkan.

 

Bersambung….

 

The Red Prince | Part 25 : Dukungan Maharani

red prince cover - CopyRed 3

13 votes, average: 1.00 out of 1 (13 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Ruang aula kastil putih itu telah dipenuhi dengungan suara para makhluk yang datang memenuhi undangan. Para pemimpin klan dan beberapa anggota koloni warna yang diminta hadir dalam rapat besar pemimpin klan tersebut turut hadir mengisi kursi rapat. Mereka semua duduk berkelompok dengan dahi mengernyit, dilengkapi ekspresi serius yang membuat nuansa ruangan itu menjadi tegang.

Semua perwakilan warna yang ada di sana tampak berkali-kali menengok ke arah pintu utama dengan cemas. Berharap jika Reddish mendadak menganulir keputusannya untuk mengundurkan diri, sehingga mereka tak harus berhadapan langsung dengan pemimpin mereka dalam keadaan sengit seperti ini.

“Kau adalah sahabat Reddish, Ecru. Tidakkah kau ingin membujuknya agar rapat besar ini tak harus terjadi?” Shamrock berseru dari tempat duduknya yang agak jauh dari pemimpin klan kuning itu.

Ecru yang sedari tadi hanya melamun dan sama sekali tak turut  berbincang-bincang dengan anggotanya itu menoleh dengan lesu ke arah Shamrock.

Lelaki klan kuning itu sama sekali tak tahu dengan rencana Reddish kali ini. Apakah Reddish benar-benar ingin mundur dari jabatannya karena alasan pribadi yang tak ia ketahui? Ataukah ini hanya semacam jebakan untuk mengundang anggota koloni klan biru agar datang ke rapat besar ini demi menyelesaikan kesalahpahaman masa lalu? Tapi untuk apa? Bukankah Reddish telah memiliki Azure kali ini?

Terlihat Ecru menghela napas. “Maafkan aku. Kali ini, aku benar-benar tak bisa berbuat apa-apa. Semoga saja ada keajaiban yang datang sehingga Reddish mau mengurungkan niatnya,” sahut Ecru dengan senyum kaku di wajahnya.

Di sudut lain, Mocha terlihat sama resahnya seperti pemimpin-pemimpin klan yang lain. Ia hanya berharap jika Azure paham akan maksudnya memberitahukan rahasia pahit tentang masa lalu ayah perempuan itu. Tempo hari, karena waktu yang sungguh tak memberi banyak kesempatan padanya untuk bercakap-cakap lebih lama dengan Azure, Mocha jadi tak bisa memastikan apa pun untuk hari ini. Memastikan ke mana perempuan itu akan melangkah. Apakah Azure akan bertahan? Ataukah perempuan itu akan melanjutkan niatnya untuk pergi dari sisi Reddish dan menambah runyam rencana para koloni untuk mencegah Reddish pergi?

Suara derit pintu utama terdengar memompa jantung para makhluk di sana menjadi lebih cepat. Sungguhlah kali ini Reddish yang akan menjadi tokoh utama dalam rapat besar kali ini. Reddish yang menjatuhkan dirinya dalam persoalan pelik ini dan keputusan akhir ada di tangan mereka para anggota. Namun, mengapalah harus mereka yang menjadi waswas?

Tampak perlahan dari pintu yang terbuka itu adalah para dewan warna yang memasuki ruangan. Jade memimpin langkah, diikuti White, Raven, dan Alabaster di langkah terakhir. Para pengawal yang mengiringi mereka berhenti di depan pintu, berbaris berjejer di samping kanan dan kiri pintu sebelum kemudian prajurit terakhir menutup pintu tersebut, melegakan sedikit perasaan gelisah di hati para makhluk warna yang menyemogakan ketidakdatangan Reddish.

Para dewan warna itu berjalan tegap menuju tengah ruangan. Masing-masing dari mereka menempati kursi yang telah disediakan sesuai kebiasaan, seiring suara-suara yang semula riuh ramai itu perlahan hening, memberi waktu kepada keempatnya untuk mempersiapkan diri sebelum rapat besar itu dimulai.

Para pemimpin klan yang duduk di barisan terdepan itu saling menoleh saat melihat jika ekspresi para dewan warna itu tak lebih baik dari mereka. Jade terlihat yang paling muram, sementara White yang biasanya menampilkan ekspresi cerah tetapi sinis itu kini melipat dahi dengan ekspresi keruh.

Jade berdeham tipis, lalu memasang ekspresi datar sebisanya dan membuka rapat hari itu.

“Selamat datang kepada seluruh pemimpin koloni dalam rapat besar pemimpin klan kali ini. Terima kasih telah menjadikan agenda ini menjadi kegiatan utama sehingga para pemimpin klan yang terhormat ….” Jade melirik kursi pemimpin klan biru yang kosong seperti biasanya. “Dapat hadir seluruhnya,” lanjutnya dengan tegas kemudian, menafikan dengan terang-terangan keberadaan klan biru pada perkumpulan warna di tempat itu.

“Seperti biasanya, sebelum rapat dimulai, kita akan mengunjukkan persembahan kepada para dewa untuk meminta petunjuk agar hasil dari rapat besar ini benar-benar berakhir menjadi yang terbaik untuk negeri.” Jade menunduk merapal bacaan-bacaan doa, lalu memimpin semua makhluk menguarkan aura warna mereka dari kedua tangan. Membubungkannya ke langit-langit aula, mengudara saling berpilinan satu sama lain menjadi lingkaran warna besar. Dari mulut mereka terucap mantra-mantra dengan bahasa langit yang terdengar sayup-sayup merdu nan menggetarkan jiwa.

Suara mereka serempak, seiring warna-warna yang memendar di seisi ruangan seperti turut menari-nari mengikuti mantra yang diucapkan oleh para makhluk. Perlahan atap ruanga aula putih itu terbuka, membuat aura warna yang saling berpilinan dalam ruangan itu membentuk selingkar warna-warni raksasa yang  terbang melesat ke langit, menembus atmosfer, menghadap dewa-dewa penguasa warna.

Rapat besar dengan suasana magis seperti ini selalu berhasil membuat para makhluk menitikkan air mata. Rapat besar pemimpin klan seperti ini selalu yang paling tidak diinginkan oleh siapa pun di negeri langit. Rapat besar bisa menjadi anugerah atau malapetakan paling buruk bagi kejayaan negeri, karena keputusan-keputusan yang diambil harus benar-benar menguntungkan semua pihak.

Senyap beberapa lama.

Semua makhluk yang berada di aula putih itu memejamkan mata dalam keheningan jiwa yang mendebarkan. Mereka berharap rapat besar ini memiliki akhir seperti keinginan mereka.

Mereka berharap ….

Guntur mendadak terdengar. Semua makhluk yang masih khidmat dalam doa masing-masing seketika membuka mata lebar-lebar dan menoleh ke arah jendela.

Irama jantung berdebaran melatari suara riuh bisik dari anggota koloni yang kian cemas. Ruangan yang semula tampak putih itu kini temaram oleh langit yang tiba-tiba mendung.

“Sembari menunggu kedatangan Reddish, kami akan membacakan aturan pengambilan keputusan dalam rapat besar kali ini. Pertama ; Reddish, sebagai makhluk yang meminta keputusan pengunduran diri, harus mendapatkan dukungan, paling tidak lima puluh persen dari peserta rapat, keputusan tersebut harus didasarkan pada keputusan sendiri dan tidak ada pemaksaan dari makhluk lain. Kedua ; Semua makhluk dipersilakan mengutarakan pendapatnya, menyatakan dukungan atau penolakan atas perkara yang diputuskan oleh Reddish sebagai dasar pengambilan keputusan final. Yang ketiga ; ….” Alabaster membacakan peraturan rapat besar dengan suaranya yang lantang hingga menggema ke seisi aula.

Ecru menunduk dan memejamkan netranya kembali. Sebagai sahabat baik, dirinya memang menjadi makhluk terdekat dengan pemimpin klan merah itu sebelum upacara penyucian pernikahan dilaksanakan. Namun, ada kalanya sahabatnya itu, termasuk dirinya, memiliki perkara pribadi yang tak ingin diketahui oleh siapa pun dan masing-masing dari mereka menghormati itu.

Lelaki klan kuning itu tak mendengarkan lagi Alabaster mengucapkan apa. Ia sedang berkonsentrasi menembus pikiran Reddish yang sepertinya sedang ditutup oleh lelaki klan merah itu. Entah apa yang sedang Reddish lakukan. Entah apa yang ada dalam pikiran sahabatnya itu.

Ecru mendengus lelah ….

***

Samar-samar dalam keadaan setengah sadar, Azure merasakan jika dahinya diusap lembut, rambutnya yang terurai di atas bantal itu dibelai ringan, sebelum ciuman hangat mendarat di pipinya yang dingin.

“Tidurlah Azure. Berjanjilah kau akan tetap di sini sampai aku kembali.” Suara itu terdengar begitu dekat, bercampur aduk dengan pandangan mimipinya yang datang dan pergi.

Lalu kehangatan itu melingkupinya lagi, membuat Azure tak tahan untuk tak memiringkan tubuhnya dan bergerak memeluk guling yang dekat dengannya di bawah selimut hingga seluruh tubuhnya tertutupi selimut, menyisakan sedikit bagian wajahnya yang terlihat dari samping.

Reddish terkekeh melihat tingkah Azure itu. Seandainya ia memiliki kemampuan seperti Mocha yang bisa menampilkan lagi gambaran masa lalu, ia akan dengan senang hati menunjukkan kepada perempuan itu, bagaimana tingkah menggemaskannya saat tidur.

Lelaki itu menyakukan sebelah tangannya ke saku celana, menghela napas panjangnya untuk meyakinkan diri lantas melangkah tegas meninggalkan ruangan, tak menoleh lagi ke arah Azure.

“Kami akan membawa Azure kembali kepada kami. Dia tak pantas berada di sisi makhluk cacat yang mengaku-ngaku akan meneruskan kejayaan negeri langit.”

Ucapan Sky itu masuk kembali ke dalam mimpi Azure. Lambat-lambat perempuan itu mengernyitkan dahi saat mimpi membawanya kembali ke hari pernikahannya yang berakhir dengan kekacauan. Teriakan-teriakan Candy, pertengkaran demi pertengkaran antara Reddish dan Sky … semuanya seolah terjadi lagi dengan begitu jelas.

Azure seperti sedang memundurkan langkah hendak lari dari mimpi buruk itu. Kedua kakinya tanpa terasa semakin membawanya menjauh dari hari pernikahan itu, membuat sekitar tempatnya berdiri menjadi abu-abu, temaram oleh sinar-sinar kecil yang masih bekerlipan, memperlihatkan wajah Reddish yang terlihat kaku nan kelam.

Lalu, saat kelegaan berhasil melingkupinya karena telah berhasil mundur dari bayangan pernikahan itu, kaki Azure menabrak sesuatu dari arah belakang membuat perempuan itu membalikkan badan cepat, hanya untuk menemukan pohon Auburn di belakangnya.

Pohon Auburn ….

Mimpi itu terbang membawa Azure menuju beberapa waktu lalu tentang kebenaran cerita sesungguhnya perihal si ayah, tentang Candy yang telah menemukan cinta lamanya, kebenaran tentang ayah Reddish dan juga Reddish sendiri yang memiliki ciri khas buta warna sebagai tanda kepemimpinan, tentang … Reddish yang ingin mundur dari pemimpin negeri ….

“Nona Azure, saya harap Anda mengerti maksud saya dan mau membantu kami dalam rapat besar pemimpin klan yang akan diadakan esok hari.” Lelaki klan cokelat yang seingat Azure bernama Mocha itu berucap sembari menunduk hormat. “Kami butuh bantuan Anda, Nona. Kami mengharapkan Anda,” lanjut lelaki itu dengan nada penuh permohonan tulus ….

Seolah Azure baru saja teringat satu hal penting itu, mimpi yang semula begitu keras kepala memenjarakan perempuan itu dalam ketidaknyamanan di sepanjang tidurnya … perlahan pudar, menyeret kembali kesadaran Azure ke alam nyata dan membuatnya terloncat duduk dengan mata terbuka lebar.

Napas Azure tersengal. Perempuan itu memandangi sekeliling dan nuansa familier seketika menyergap benaknya. Entah sudah berapa kali ia terbangun dalam keadaan seperti ini, hanyut di dalam mimpi buruk di tempat yang dipenuhi aura merah … dan memimpikan Reddish.

Mengundurkan diri? Apakah lelaki itu sungguh-sungguh dengan ucapannya? Bukankah itu tampak konyol dan kekanak-kanakan? Sama sekali bukan Reddish jika menyerah pada kelemahannya dan memilih mundur, bukan?

Azure memang ingin sekali pergi dari kastil merah ini. Tapi, itu untuk dirinya sendiri. Dia ingin pergi karena memang sudah sepantasnya ia pergi. Sepertinya, kata-kata Sky dan lelaki klan hitam yang merendahkan Reddish karena bersanding dengannya itu, semua ini menjadi terbalik sekarang.

Perempuan itu tersenyum kecut. Dirinyalah yang sesungguhnya tak ada pantas-pantasnya berada di tempat ini. Dia adalah anak seorang pembelot yang tak tahu diri karena ketidaktahuan dan kebodohannya. Dia telah salah paham terhadap Reddish selama ini. Dia telah salah menilai.

Azure bangkit dari duduknya di ranjang, menyibak selimut dan berlari ke arah pintu kamar. Biasanya akan ada pelayan atau Crimson sendiri yang mengawalnya saat Reddish sedang pergi. Perempuan itu sungguh berharap jika perkiraannya benar.

Dari sisi luar ruangan, seorang pelayan perempuan yang melihat jika Azure sedang berjalan cepat ke arahnya itu bersiaga di depan pintu, menampilkan senyum lebar menyambut kedatangan nona maharaninya seperti biasanya. Namun, belum sepatah kata jua keluar dari mulut pelayan itu, Azure terlebih dahulu memberondong pelayan itu dengan pertanyaan-pertanyaannya yang mendesak.

“Ke mana Reddish?” Azure memindai sekeliling lorong untuk menemukan dengan mata kepalanya sendiri, sekelebat saja jejak lelaki klan merah itu. “Apakah rapat besar pemimpin klan dilaksanakan hari ini? Reddish pergi ke sana?”

Keningnya mengernyit saat mengingat-ingat jika sepertinya ada makhluk yang berkata padanya untuk berjanji jika dirinya akan tetap berada di tempat ini sampai makhluk itu kembali? Apakah makhluk itu adalah Reddish? Ataukah itu hanya mimpi?

“Tuan Reddish sedang berada di kastil putih, Nona. Saya diperintah oleh tuan Reddish agar melayani Anda seperti biasanya-“

“Aku akan ke sana.” Azure menukas cepat.

Tentu saja itu bukan mimpi. Azure ingat jika pada hari pernikahannya, Alabaster, salah seorang anggota dewan warna itu berkata jika Reddish harus menghadiri rapat besar pemimpin klan untuk menentukan keputusan final atas permohonan pengunduran dirinya itu. Dan saat ini Reddish sedang berada di kastil putih? Apakah rapat besar itu dilaksanakan hari ini?

“Tapi, Nona-“ Pelayan itu tergopoh-gopoh mengikuti Azure yang masuk kembali ke dalam ruangan dan mendekat ke arah lemari utama.

“Berapa lama Reddish pergi sejak keluar dari ruangan ini?” Azure bertanya sembari tangannya mencari-cari pakaian yang hendak dikenakannya dalam lemari itu.

“Saya tidak tahu apakah sejak keluar ruangan ini beliau seketika pergi ke kastil putih atau tidak. Namun, saya bisa memperkirakan jika tuan Reddish telah hampir setengah jam yang lalu meninggalkan Nona di dalam kamar.” Pelayan itu tak tahu harus berbuat apa dan hanya bisa mengikuti Azure ke sana kemari di  kamar itu.

“Sebenarnya … apa yang sedang nona Azure cari?” Pelayan itu mengernyitkan kening dan memberanikan diri untuk bertanya pada akhirnya.

Azure masih memindai sekeliling ruangan saat langkahny terhenti di sisi meja. “Aku mencari jubah. Jubah maharani. Di mana kalian meletakkannya?”

Si pelayan mengerutkan keningnya semakin dalam. “Jubah maharani dan mahkotanya disimpan di ruangan khusus, Nona. Tuan Reddish meletakkannya di sana karena mengira jika Anda … pasti tidak akan akan pernah berkenan mengenakannya,” ucapnya dengan kepala menunduk.

Azure terpaku sejenak mendengar penjelasan pelayan itu. Dadanya terasa perih saat mendengar kalimat yang dikemukakan oleh pelayan itu. Perempuan itu tahu benar jika alasan yang sebenarnya Reddish mengembalikan jubah dan mahkota itu ke tempat khusus adalah karena Reddish telah membulatkan tekad untuk pergi dari kastil ini, dengan keras kepala meyakini diri sendiri jika dirinya pasti mau menghabiskan waktu bersama dengan lelaki itu.

Pada mulanya, Azure berniat pergi karena dia begitu membenci lelaki klan merah itu, dia begitu teguh oleh rasa sakit yang terpendam dalam di hatinya, membuatnya buta. Namun, setelah mengetahui semua hal tersembunyi yang ditunjukkan oleh Mocha, Azure kini tahu satu hal yang entah disadari oleh para dewan warna dan pemimpin klan atau tidak, jika pemimpin klan terpilih yang dilantik menjadi raja negeri memanglah dari makhluk terkuat yang ternyata memiliki ciri khas yang tak dimiliki oleh makhluk lain.

Ciri khas atau kemampuan khusus yang sering dianggap sebagai kutukan itu justru adalah perlambang peristiwa yang akan terjadi pada masa kejayaan mendatang. Seperti Mahogany yang  memiliki buta warna dan hanya mampu melihat warna merah dari kedua matanya, Reddish yang ternyata juga memiliki kemampuan khusus itu pada akhirnya harus menikahi dirinya sesuai petunjuk dari pelangi semesta untuk penggenapan warna.

Namun, sebagai pemimpin tertinggi, tidakkah Reddish seharusnya hanya memanfaatkan kehadirannya untuk kepentingan negeri? Mengapa lelaki itu mendadak berubah menjadi lelaki melankolis yang menyebalkan?

“Sepertinya, Reddish salah kali ini.” Azure menipiskan bibirnya dengan senyum kaku dan menghela napas panjang. “Karena sekarang aku ingin mengenakannya,” imbuhnya dengan ekspresi serius ke arah si pelayan.

Makhluk perempuan merah itu mendongak begitu mendengar ucapan Azure yang  mungkin saja tak akan pernah ia sangka. Pelayan itu masih teringat insiden nona Azure yang memukul-mukulkan tangannya ke pembatas magis di ambang pintu ruang kamar tuannya saat memaksa diri untuk keluar, seolah memberi penegasan jika perempuan biru ini lebih baik mati daripada harus hidup bersama tuan Reddishnya. Namun sekarang ….

“Apalagi yang kautunggu? Cepat ambilkan untukku.” Azure memerintah sekali lagi saat melihat jika pelayan itu hanya bergeming dan menatapnya dengan ragu.

“Ba-baik, Nona. Saya akan segera kembali,” sahutnya sembari bergegas membalikkan badan dan keluar ruangan untuk memenuhi perintah.

Azure mengembuskan napas panjang.

Semoga saja rapat besar itu belum dimulai. Semoga saja masih ada kesempatan untuknya bisa datang di aula itu dan memberikan suaranya untuk Reddish. Perempuan itu melangkah perlahan menuju jendela besar di sana. Kedua matanya kembali melebar saat melihat jika tak ada sesuatu pun yang bisa ditangkap oleh kedua matanya selain pemandangan awan yang bergumpal-gumpal membentuk mendung.

Azure mengernyitkan kening saat mengingat jika dirinya juga melihat pemandangan yang sama saat ia berada di taman raksasa itu.

Suara sapaan pelayan yang datang membawa jubah dan mahkota itu membuat Azure segera membalikkan badan. “Apa yang terjadi?” Azure bertanya murung sembari menoleh kembali ke arah jendela.

Si pelayan tergeragap dengan ekspresi bingung. Perempuan biru itu sedikit menyeret tangan si pelayan. “Apakah kastil ini telah berpindah lokasi? Mengapa aku tak bisa melihat apa pun selain awan mendung?” tanyanya cemas.

“Apa maksud Nona?” Pelayan itu balik bertanya, pandangannya memindai ke arah luar jendela. “Kastil ini tidak berpindah, Nona. Tuan meminta saya menjaga Anda agar tetap berada di kamar ini sampai beliau selesai dengan urusannya,” ucapnya takzim.

Mendengar ucapan pelayan yang menirukan ucapan Reddish itu, Azure justru beringas mengenakan jubahnya lalu mengambil mahkota dari nampan yang dibawa si pelayan dengan gerakan serampangan. Sesaat setelahnya, sesudah memastikan jika kesemuanya telah terpasang sempurna, Azure tak memperhatikan pelayan itu lagi yang berusaha memanggil dan menghalang-halanginya pergi.

Tiba di pintu ruangan utama, Crimson yang terkesiap melihat penampilan Azure itu berdiri di ambang pintu.

“Nona. Anda harus tetap tinggal. Itu perintah tuan Reddish.” Crimson bersikap keras kepala dengan bersikukuh berdiri di tempatnya.

Mendengar suara Crimson itu, para prajurit serentak mendekat, para penjaga pintu yang berjaga juga turut datang.

“Nona, dengarkan saya-” Crimson berusaha membujuk.

“Aku maharani di sini. Adakah yang lebih tinggi daripada kedudukanku di sini saat ini?” Azure menggertak, menatap satu persatu makhluk warna yang mengelilinginya di ambang ruangan utama milik Reddish itu.

Semua makhluk menunduk.

“Biarkan aku lewat,” titahnya sembari berdiri di depan Crimson, memaksa lelaki klan merah itu untuk meminggirkan tubuhnya.

Tuan Reddish dan Nona Azure sama penting di hati dan kesetiannya. Ia tadi begitu percaya diri menganggap tugas ini sebagai tugas ringan yang tak membutuhkan tenaga karena Crimson hanya harus berjaga di pintu utama ini seperti biasanya. Reddish pasti tak akan pernah mengira jika istrinya itu akan berpenampilan seperti ini saat ini. Menyampirkan jubah maharani di pundaknya serta mengenakan mahkota merah di rambut birunya. Terlebih, Azure saat ini membuang sifat aslinya dan bersikap begitu arogan dengan mengatasnamakan ucapannya sebagai perintah seorang maharani.

Apa yang bisa Crimson lakukan?

Dengan berat hati, Crimson akhirnya bersibak dengan ekspresi kecut. Ia tak bisa menolak perintah Reddish, pun juga tak bisa menolak perintah Azure sebagai istri Reddish. Apalah mereka berdua ini, mempersoalkan perkara yang sama dengan perintah yang saling bertentangan satu sama lain?

Crimson menyeka keringat yang berbulir di pelipis. “Apakah Anda hendak menyusul tuan Reddish di kastil putih, Nona? Situasi di sana sedang tidak kondusif,” beritahunya dengan kening mengernyit.

“Aku harus melakukan sesuatu. Tidakkah kau tahu jika Reddish ingin mundur dari kepemimpinannya? Tidakkah kalian ingin mendukungnya agar tetap berada di sisi kalian?” tanyanya masih dengan tatapan tajam ke arah semua makhluk di tempat itu.

“Kami semua sangat setia kepada Tuan Reddish, Nona. Kami akan mengikuti perintah apa pun yang beliau tugaskan karena kami selalu meyakini jika keputusan tuan Reddish adalah keputusan terbaik untuk kami semua. Dan kami … tak berani berbuat sesuatu sekecil apa pun tanpa diperintah.” Pemimpin prajurit yang berdiri di barisan paling depan itu memberanikan diri bersuara.

Azure mengembuskan napas panjang. “Kau kawal aku sampai kastil putih,” ucapnya pada Crimson yang seketika mengangguk patuh.

Perempuan biru itu melangkah lebar kemudian, berjalan dengan penuh keyakinan menuju ujung lorong dari ruangan utama itu, meninggalkan kerumunan pelayan dan prajurit yang menatapnya dengan penuh kekhawatiran.

Langkah Azure berhenti di sebuah balkon. Kepalanya tertengadah saat melihat jika cuaca begitu gelap dengan angin yang berembus kencang tak bersahabat.

“Aku sedang tak bisa melihat apa pun saat ini. Bawalah aku ke kastil putih itu, Crimson.” Azure mengangkat sebelah tangannya yang menguarkan aura biru.

Lelaki klan merah itu tak bisa berbuat apa-apa selain menurut dan membiarkan Azure mengikuti terbang di belakangnya, menembus angin kencang yang terasa kian menampar-nampar wajah.

***

“Tidakkah kau ingin berbuat sesuatu agar kita bisa terlepas dari tempat menyebalkan ini?” Sky menendang-nendang tembok berwarna gelap di ruang penjara itu.

“Kita masih memiliki Navy. Dia akan menolong kita.” Crow berkata datar tanpa ekspresi, seolah yakin jika apa yang diucapkannya itu akan benar-benar akan menjadi kenyataan.

“Kau yakin jika Navy bisa kita andalkan?” Sky menggeram dengan dadanya yang kembang kempis menahan marah.

Crow menoleh dengan sebelah alisnya yang terangkat. “Seharusnya aku yang bertanya seperti itu padamu. Kenapa jadi kau yang bertanya? Kau mulai meragukan kemampuan saudaramu sendiri, heh?” tanyanya dengan ekspresi heran.

“Bukan begitu. Kau tahu sendiri. Navy adalah salah satu makhluk eksentrik yang kadang tak bisa dimengerti jalan pikirannya.” Lelaki klan biru itu mendengus.

Ada senyum samar di wajah Crow yang tak sempat diperhatikan oleh Sky. Bocah itu tak tahu saja jika ia telah meminta Jade untuk menegosiasikan persyaratan agar Reddish pasti mundur dari jabatannya itu. Dia telah menyiapkan pula anggota koloni yang siap mendukungnya dari belakang.

“Aku tak menyangka jika Reddish bisa semudah itu menyerah dengan keadaannya. Bukankah ini jalan mulus bagi kita?” Crow berucap sembari mengusap-usap jenggotnya yang panjang.

“Vantablack? Bagaimana dengan anak itu? Bukankah dia berada di bawah kendali pemimpin klan kuning itu saat ini?” Sky mondar-mandir menggigit ujung jemarinya dengan ekspresi gusar membuat Crow mendecak.

“Sepertinya aku memang benar-benar ingin keluar dari tempat ini sekarang juga. Bukan karena ingin lari, tapi karena aku muak mendengar keluh kesahmu itu, Sky! Bisakah kau tak usah panik seperti itu?” decaknya sambil lalu bangkit dari duduknya, menunjuk-nunjuk Sky dengan jemarinya.

“Bisakah kalian tenang? Suara kalian sangat berisik dan mengganggu ketenangan para tahanan yang lain. Bersikaplah baik jika tak ingin dipindah ke ruang tahanan yang lebih gelap dari ini.” Seorang penjaga berklan merah berdiri dengan ekspresi garangnya di luar terali.

Crow yang masih memandang marah ke arah Sky itu hanya mendengus sebelum kemudian kembali mengempaskan tubuhnya di ranjang kecil ruang tahanan itu, diikuti Sky yang turut duduk dengan gelisah.

***

“Bukankah tuan Reddish dipastikan akan mendapatkan seluruh dukungan dari anggota koloni klan? Bagaimana jika kita menaikkan syarat pengambilan keputusan itu menjadi delapan puluh persen suara?” Makhluk berjubah abu-abu yang duduk di barisn paling atas itu bersuara dengan wajahnya yang tertutup tudung jubahnya yang besar, menghalangi siapa pun untuk dapat melihat dengan jelas warna tubuhnya.

Semua makhluk menengok dengan rasa penasaran ke arah makhluk berjubah abu-abu itu, mencerna kalimatnya dengan kening mengernyit.

“Ah, kau rupanya sepihak denganku.” Suara Reddish tiba-tiba saja terdengar dari arah pintu, membuat semua makhluk terkesiap dan seketika mengalihkan pandangan ke suara khas yang sangat mereka kenal tersebut.

“Aku bahkan tak ingin hanya delapan puluh persen. Aku ingin seratus persen anggota koloni mendukungku jika menginginkanku bertahan.” Dengan nada dinginnya Reddish membungkam seluruh kericuhan di ruang aula itu.

Para makhluk yang masih dalam posisi berdiri dan menjura itu sontak menegakkan badan.

Bagaimana mungkin? Bagaimana mungkin tuan Reddish meminta hal seperti itu sementara tentu saja anggota koloni klan biru tak ada yang mau menghadiri rapat besar ini?

Navy tersenyum dengan sebelah bibirnya yang terangkat. Ekspresinya tampak puas dalam bayang-bayang warna abu-abu yang menaungi wajahnya.

“Reddish. Kami tak membutuhkan pemimpin sempurna karena yang kami butuhkan adalah kau! Tak ada yang bisa mewakili kami selain kau! Peduli setan dengan kutukan dan segala hal tentang ketidaksempurnaan fisik yang dimiliki olehmu.” Ecru berseru, mewakili seluruh pemimpin klan yang seketika mengangguk setuju dengan ucapan pemimpin klan kuning itu.

Reddish mengangkat sebelah tangan. “Sekarang tinggal berhitung saja dan keputusan akhir itu tercipta sudah,” ucapnya keras kepala dengan senyum puas di wajah manisnya. “Jade, pimpinlah para makhluk untuk melakukan pemungutan suara,” perintahnya tanpa menoleh.

Jade mengangguk tipis, membuat suara gaduh kembali mengisi ruangan itu. Saat Jade mulai berhitung, serentak semua pemimpin klan dan beberapa perwakilan koloni mengacungkan tangan. Debaran jantung terpompa cepat pada diri semua makhluk. Mereka menanti-nanti dengan cemas karena tentu saja suara mereka yang kompak itu tak cukup mewakili apa yang diinginkan oleh Reddish.

Sampai suara itu datang. Pintu ruang aula itu terbuka dengan keras kembali, membuat rasa penasaran sekaligus keterkejutan kembali melanda semua makhluk di rapat besar itu.

Reddish yang tak mampu menebak siapa makhluk yang berani-beraninya menginterupsi jalannya rapat besar itu kemudian membalikkan badan.

“Aku mewakili klan biru memberikan suaraku. Aku datang mendukung suamiku.” Azure berucap sembari mengangkat sebelah tangannya. Tatapannya lurus ke arah Reddish yang sepertinya sedang terkejut atas kedatangannya.

Sebelah alis Reddish terangkat dengan pandangannya yang dingin. “Azure. Sedang apa kau di sini?”

 

Bersambung ….

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

The Red Prince | Part 24 : Karena Kau Adalah Azure

red prince cover - CopyRed 3

9 votes, average: 1.00 out of 1 (9 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

“Reddish. Aku menyerahkan diri. Hukumlah aku. Penjarakan aku di tempat paling gelap agar aku bisa enyah dari segala rasa bersalahku padamu,” pintanya dengan suara sengau, tak meninggalkan ekspresi wajahnya yang penuh getir, bercampur aduk dengan air mata yang tak habis-habis keluar membasahi pipi, membuat pundaknya berguncang-guncang oleh tangis.

Ecru dan Vantablack bersibak, menatap dengan kening mengernyit ke arah Candy yang sedang tersungkur. Anak lelaki klan hitam dan pemimpin klan kuning itu kemudian menoleh ke arah Reddish yang terlihat sama sekali tak terpengaruh oleh sikap bibinya itu.

“Vantablack, Ecru, kali ini sampai di sini. Aku akan memanggil lagi jika diperlukan.” Reddish memerintah dingin dengan tatapan tajam ke arah Candy.

“Baik,” sahut dua makhluk itu bersamaan, menjura, dan melangkah beriringan keluar ruangan.

Setelah memastikan jika Ecru dan Vantablack melangkah menjauh, barulah Reddish mengembuskan napas panjangnya, mengempaskan tubuhnya ke sandaran kursi dan bersedekap. Kedua matanya memicing ke arah Candy, bibirnya mendecak sesaat sebelum berucap,

“Aku melihat jika kau belum berhenti menangis sejak hari pernikahanku itu, Candy? Apa ini ada hubungannya dengan makhluk ungu itu? Apakah ada kaitannya dengan Carmine? Apa yang kaudapatkan?” berondongnya dengan tanpa perasaan, bertanya dengan tepat menusuk hati Candy.

Perempuan itu tahu betul jika Reddish pastilah telah meminta makhluk-makhluknya untuk mengawasinya lebih ketat. Tapi, ia tidak menyangka jika keponakannya itu tahu jikalau ia dirundung kesedihan hingga menangis tanpa jeda bahkan hingga saat ini.

Candy mendongak perlahan, membalas tatapan Reddish yang sedang menahan kesabaran padanya. “Aku … aku bersikukuh mengambil sampel darah makhluk itu.” Terdengar Candy menghela napas panjang. Pandangannya kini terarah ke lantai, bingung hendak memulai berkata-kata.

“Lantas?” Reddish memajukan tubuhnya, bersikap antisipatif dengan mengangkat sebelah alisnya dengan ekspresi serius.

Candy menelan ludah. “Dia … Heather … makhluk ungu itu … dia adalah makhluk klan merah. Aku … aku telah menunggu perubahan penelitian sampel darah itu semalaman dan … darah ungu itu, berubah warna menjadi merah,” terangnya dengan ekspresi pahit.

Perempuan itu memberanikan diri mengangkat wajah, meski pandangannya tetap menghadap ke bawah. Sungguh meskipun ia telah siap jika Reddish akan melempar  tubuhnya karena marah, ia tetap saja takut menghadapi Reddish yang sedang antisipatif seperti ini.

“Ini semua salahku.” Candy mendongak, memperlihatkan kedua matanya yang bengkak karena terlalu banyak menangis. “Kamu tahu Carmine adalah makhluk pemetik tanaman obat yang selalu mendampingiku. Hari itu … aku menunjukkan padanya sebuah ramuan penunduk makhluk hasil penelitianku selama beberapa minggu. Aku … aku menitipkan ramuan kecil itu di kantong bajunya sembari aku melanjutkan aktivitasku memilah-milah tanaman. Dari detik itulah … aku … aku ….” Air mata meluncur deras dari kedua mata Candy. Perempuan itu berusaha tegar walau ekspresinya tampak payah. “Aku kehilangan Carmine. Dia tiba-tiba saja menghilang tanpa jejak. Tak bisa kutemukan dan terjadilah apa yang kukhawatirkan. Ramuan berwarna ungu yang belum sempurna itu mengenai tubuh Carmine. Dia terkena ramuan itu hingga membuat dirinya … berubah. Entah bagaimana caranya,” ucapnya serak diiringi air mata yang mengalir lagi dari kedua ujung matanya.

“Aku teledor. Semua makhluk pengubah warna … yang mengganggumu itu … aku menemukan jejak-jejak ramuanku di sana.” Candy menunduk dalam. “Aku tak berhati-hati. Maafkan aku,” ucapnya lirih.

Reddish mengetatkan gerahamnya sembari memejam. Ekspresinya tampak kalut. Terdengar helaan napas kerasnya kemudian. Ada-ada saja persoalan rumit yang membuat pikirannya semakin panas.

“Baik.” Reddish berkata dengan ekspresi lelah dan kembali mengempaskan punggungnya di sandaran kursi serta membuka mata.

Tubuh Candy bergetar mendengar ucapan Reddish itu.

“Aku memaafkanmu.” Reddish kembali menatap tajam pada bibinya.

“Dan karena aku menyayangimu, aku akan mengabulkan permintaanmu untuk mengurungmu di ruang tahanan tingkat tiga sesuai yang kaukatakan,” ujarnya lembut, bersenjang dengan ekspresinya yang mengeras.

Candy menggigit bibir. Dia sudah tahu jika Reddish pasti tak akan bermurah hati jika itu tentang hal-hal yang mengusik lelaki temperamental itu. Perempuan itu menelan ludah dan mulai berhitung. Kepalanya kian menunduk. Ada hawa panas yang mulai membakar mengelilingi dirinya.

“Kau tahu, aku tak menoleransi kebohongan.” Reddish mengangkat kedua tangan dengan nyala api yang membara. “Kau tak berpikir panjang dan hanya mengutamakan perasaanmu sendiri. Tidakkah kau tahu?” geramnya dengan dada kembang kempis, mulai terbakar amarah. “Aku hampir celaka karena makhluk-makhluk sialan itu! Kau tak berbicara jujur padaku dan membuka kesempatan kepada Carmine untuk dieksploitasi! Apakah kau meremehkanku? Kau berpikir jika aku tak akan mampu untuk menemukannya?” Reddish berteriak dengan mengempaskan kekuatan merahnya ke seluruh penjuru ruangan, membuat tubuh Candy terpelanting menabrak sisi sofa hingga posisi sofa itu bergeser dari tempatnya. Suara gelegar hantaman kekuatan api Reddish yang mengenai semua barang di tempat itu terdengar nyaring hingga membuat dinding-dinding sekitar ruangan itu begetar.

Lelaki klan merah itu berdiri. Aura merah memancar kuat dari tubuhnya. “Kenapa kau … kenapa harus kau, Candy.” Reddish berucap putus asa. Ada rasa kecewa yang begitu dalam tampak dari ekspresi wajahnya. Ada rasa terpukul yang sulit ia jelaskan. Ada kemarahan memuncak yang membuat hatinya terasa beku sejenak. Ada rasa sakit yang terlampau sakit hingga Reddish tak tahu lagi harus bagaimana.

Dia telah merasakan bagaimana dahsyatnya sebuah kebohongan mampu mengguncang jiwanya. Reddish tak mengerti mengapa ayahnya harus menutup fakta mengenai kebenaran ayah Azure yang memang ingin menusuk ayahnya itu dari belakang, tentang ayah Azure yang pada waktu itu memang menginginkan kekuasaan kepemimpinan negeri. Apakah ayahnya itu tak pernah berpikir jika persoalan itu akan panjang hingga saat ini?

Reddish merasakan dadanya penuh tumpat. Kali ini, di tangannya, dia tak akan memberi ampun. Pengkhianatan dan kebohongan adalah harga mati di tangannya.

Berderap-derap terdengar suara para prajurit mendekat. Crimson memimpin jalan, berdiri di ambang pintu. Dia tahu jika suara mengerikan tadi adalah karena baru saja Reddish melampiaskan kemarahannya. Lelaki tua itu membelalak melihat seisi ruangan yang hangus. Kedua matanya terbuka semakin lebar saat melihat Candy terlihat tak sadarkan diri dengan tubuh pucat di sisi sofa. Crimson sedikit mendongak dan menemukan jika Reddish tengah berdiri dengan tatapan kosong.

“Tu-tuan ….” Crimson berkata terbata.

“Dia telah membuat kekacauan karena kurang berhati-hati. Kau tahu harus melakukan apa.” Reddish berucap tanpa ekspresi, berdiri angkuh di tengah-tengah ruangannya yang porak-poranda.

“Ta-tapi … ini Nona Candy?” Crimson bertanya dengan bingung.

Apa yang sebenarnya terjadi hingga tuan Reddish mengeluarkan api dan menghanguskan ruang kerjanya ini?

“Apakah matamu sudah rabun? Tentu saja dia adalah Candy,” sahutnya ketus.

Crimson mendekat ke arah Candy dengan tubuh gemetar. “Baik. Baik, Tuan. Saya akan segera melaksanakan perintah,” ujar lelaki itu pada akhirnya.

Reddish tak menyahut lagi. Pemimpin klan merah itu berjalan tegas menyibak barisan prajurit yang membungkuk dalam dengan penuh hormat kepadanya. Tak ada yang memperhatikan bagaimana ekspresi Reddish yang saat itu muram, penuh kesedihan mendalam.

Esok hari tempat ini bukanlah miliknya lagi. Setelah rapat besar pemimpin klan itu, Reddish akan segera membawa Azure pergi dari tempat ini. Terbang sejauh mungkin.

***

Mocha menjura di hadapan Azure. Entah sejak kapan kekuatan warna cokelat yang menyelubungi mereka berdua itu musnah. Semuanya berlalu sangat cepat hingga perempuan itu tak mampu mengingat secara jelas, apa yang tadi ia lakukan.

“Tuan Mocha.” Dua pelayan perempuan yang berpapasan dengan lelaki klan cokelat itu menyapa.

Azure yang masih berdiri di sisi kursi itu hanya diam mengamati para makhluk yang sedang berinteraksi tersebut. Semula, ia mengira jika pelayan dan prajurit di tempat ini akan terkejut atau bersikap melawan karena Mocha telah menyelinap masuk. Namun, siapa sangka jika ternyata mereka memperlakukan makhluk cokelat itu dengan baik dan menghormatinya?

Salah tingkah karena tetap saja merasa jika ia telah ketahuan berdua dengan makhluk laki-laki di alam terbuka seperti ini, Azure berusaha memasang wajah datar, mengusap sedikit pipinya yang sedikit basah oleh tangisannya tadi yang seperti mimpi karena saking cepatnya waktu berlalu dalam lingkupan kekuatan ajaib pemimpin klan cokelat itu. Penasaran dengan aktivitas Mocha yang sebenarnya di taman ini, Azure memutuskan untuk bertanya kepada dua pelayan yang kini telah berdiri di hadapannya.

“Apa yang pemimpin klan cokelat itu lakukan di tempat ini?” tanya Azure sembari memandang lagi ke arah Mocha berjalan yang kini tiba-tiba saja telah kosong. Entah ke mana lelaki itu pergi.

“Tuan Mocha sering mengunjungi taman ini, Nona. Beliau gemar berkebun. Aktivitasnya akhir-akhir ini adalah mengambil getah pohon Auburn di hutan pohon itu,” terangnya sembari menunjuk ke arah belakang Azure.

Perempuan biru itu menoleh ke belakang, kedua alisnya terangkat saat menyadari jika ternyata, pemandangan di belakangnya tampak sedikit gelap dengan pepohonan rimbun berwarna merah dengan batang-batangnya yang tampak merah kecokelatan.

“Pohon Auburn ini unik karena memiliki getah berwarna cokelat. Tuan Reddish memberi izinnya kepada klan cokelat untuk mengambil getah tersebut. Kabarnya, getah itu digunakan oleh makhluk klan cokelat untuk membuat berbagai macam kerajinan, Nona.” Pelayan itu menjelaskan dengan senyum ramah.

Azure balas tersenyum dan mengangguk tipis.

Syukurlah. Dia ternyata tak perlu khawatir Reddish akan murka saat tahu jika lelaki klan cokelat itu menemuinya. Sebagai makhluk pengendali waktu, apakah Mocha telah tahu jika dirinya akan datang ke tempat ini sehingga dia telah bersiap?

“Kami mengantar minuman untuk teman bersantai Anda, Nona.” Kedua pelayan itu berucap memecah lamunan Azure. Mereka memberi hormat lantas melewati tubuh Azure untuk meletakkan minuman itu di meja kecil yang ada di sudut kursi kayu tersebut. Tanpa kata lagi, dua pelayan itu mengangguk singkat lantas berlalu pergi, meninggalkan Azure yang termangu sendirian di sana.

Semua makhluk di tempat ini begitu baik kepadanya dan terlihat tulus. Apakah mereka memang seperti itu dari semula? Mereka menerimanya? Tidakkah mereka merasa jijik kepadanya karena ia adalah makhluk klan biru? Anggota makhluk pembelot tak tahu malu yang …

Azure menarik napas panjang. Udara yang berembus terasa bersemangat mengisi oksigen ke dalam paru-parunya. Kepala perempuan itu tertengadah, rambut birunya berkibar mengikuti arah angin.

Dia teringat Reddish yang marah dengan ekspresi terluka ketika ia membuka pembahasan tentang perang warna antara koloninya dengan koloni klan merah waktu itu.

Reddish berkata jika dirinya sedang berdusta untuk menjaga nama baik keluarga?

Azure menampakkan ekspresi keruh, sebelum kemudian membiarkan air matanya mengalir kembali.

Mengapa ayahnya begitu tega membohongi mereka semua? Apakah Sky dan yang lainnya tahu tentang kebenaran ini? Astaga … ingin rasanya ia tenggelam jauh ke dalam lautan hingga Reddish tak mampu melihatnya lagi.

Perempuan itu mengeluarkan warna biru dari kedua tangan, mengangkat tubuhnya dan terbang tinggi hingga melewati benteng tertinggi kastil merah itu. Dia telah memutuskan. Mungkin inilah waktunya untuk enyah.

Saat hendak melesat terbang, Azure melebarkan matanya dengan tercengang. Pemandangan yang terbentang di hadapannya sungguh tak pernah ia duga sebelumnya.

Bukankah kastil merah ini terletak tak jauh dari kastil-kastil serta rumah penduduk warna di sekelilingnya? Mengapa … mengapa tak ada apa-apa di hadapannya? Apakah Reddish telah memindahkan kastil ini hingga jauh ke tempat antah berantah yang tak mungkin bisa diketahui olehnya? Apakah Reddish sedang merencanakan sesuatu untuk memenjarakannya di kastil mewah ini? Apakah sebenarnya … Reddish hanya ingin membalas dendam dengan menipunya terlebih dahulu?

Tubuh Azure melemas saat memikirkan itu semua.

Tapi ada Crimson di tempat ini? Dan semua prajurit? Dan pelayan? Dan Reddish pun … para makhluk berkata jika tuan mereka sedang sibuk membahas pekerjaan di ruang kerjanya. Jadi, kastil ini memang benar kastil milik Reddish. Kastil yang sama seperti saat Reddish menjemputnya di hari pernikahan.

Azure mengusap pelipisnya sekilas saat dirasakannya jika pikirannya terasa kacau.

Apakah ini adalah karena dia baru saja terlingkupi oleh kekuatan waktu milik Mocha?

Di tengah-tengah kebingungannya itu, ia melihat jika awan-awan yang bergerak dari kejauhan menampakkan sebuah bangunan kastil. Mata Azure memicing demi melihat lebih jelas penampakan kastil yang begitu jauh dari tempatnya mengudara itu.

Mata Azure melebar kembali saat menemukan warna bangunan kastil yang terlihat seperti halnya kotak kecil dari arahnya saat ini.

Kastil biru? Apakah itu kastil biru?

Perempuan itu merasakan jika jantungnya berdesir oleh perasaan rindu tak menentu yang memenuhi dadanya. Sudah lama sekali dia tak menginjakkan kakinya di kastil itu. Telah sekian purnama bangunan milik ayahnya itu terbengkalai dan tak lagi dijadikan markas oleh koloninya.

Apakah masih ada makhluk biru di tempat itu? Para pelayan … apakah masih ada yang tersisa di sana? Hewan-hewan biru, apakah masih ada yang bertahan?

Azure tersenyum kecut. Kebingungan tentang lokasi kastil ini, serta ingatan tentang ucapan-ucapan Mocha padanya mulai teralihkan saat perempuan itu teringat pada kenangan-kenangan manis di rumahnya pada masa lampau.

Sepertinya alam memang mendukungnya untuk pergi. Dia tak layak berada di kastil pemimpin ini. Dia tak sanggup lagi untuk bertatap muka dengan Reddish.

Azure mengernyitkan dahi. Semilir angin berembus kencang sekali lagi. Perempuan itu bersiap melesat pergi.

***

Reddish melangkah menuju ruang peraduannya dengan hening tanpa diikuti siapa pun. Suasana hatinya sedang sangat buruk. Crimson bahkan tak berani mengikuti lelaki itu tanpa dipanggil dan tak menyerahkan Candy kepada yang lain.

Lelaki klan merah itu melangkah cepat begitu memasuki pintu kamar. Keningnya mengernyit saat menemukan jika ruangan itu sepi, tak ada jejak Azure di mana-mana. Ruang kamarnya belum tersentuh setelah dibersihkan, sepertinya Azure memutuskan untuk keluar ruangan dan entah sekarang berada di mana.

Lelaki itu bergeming sejenak, menyambungkan komunikasi pikirannya dengan Crimson yang saat ini sedang berada di ruang tahanan.

“Ke mana Azure?”

Crimson terdengar takzim menjawab di seberang, “Nona Azure tadi ingin berjalan-jalan untuk menghirup udara segar, Tuan. Saat ini sedang berada di taman raksasa di sisi kastil. Pelayan telah saya perintahkan untuk mengantar minuman.”

“Taman raksasa?” Reddish mengangkat sebelah alis. “Apakah kau telah memberitahunya jika kastil ini bebas untuk dia kunjungi?”

“Ya, Tuan.”

Reddish menghela napas panjang.

Semoga saja perempuan itu belum sempat keluar dari benteng.

Ada senyum hangat yang tersungging dari bibir lelaki itu, mencairkan segala emosi dan kekesalannya beberapa waktu lalu.

Dia rindu Azure. Baru sebentar juga meninggalkan perempuan itu, dia sudah rindu.

Reddish melanjutkan langkahnya menuju langkan, menguarkan warna merahnya dan terbang cepat menuju lokasi Azure berada. Dari kamar ini, taman raksasa itu berada di sebelah kiri, tepat pada ujung belakang kastil. Akan membutuhkan waktu cukup lama jika ia harus berjalan kaki, dan mungkin saja Azure tak akan terkejar.

Lelaki itu tak peduli jika angin langit sedang berembus cukup kencang saat ini. Awan mendadak berubah abu-abu pertanda hujan akan turun. Reddish mengernyitkan kening saat melihat pelangi semesta yang tegak melengkung di langit negeri. Sepertinya, ini adalah waktu penyemaian warna. Warna pelangi semesta yang telah lengkap itu sepertinya mengundang langit untuk menurunkan hujan.

Reddish tak sabar untuk menyemai warna bersama perempuan biru itu. Dia tak sabar menantikan saat-saat di mana seluruh tenaganya berada di titik puncak lantas luruh bersama titik-titik hujan yang turun membasahi permukaan bumi.

Lelaki itu menghentikan terbangnya beberapa saat sembari mengamati sekeliling. Di taman raksasa ini, ada begitu banyak sudut-sudut tempat untuk bersantai di mana tersedia sebuah kursi kayu dengan meja kecilnya sebagai tempat minuman. Istrinya selalu terlihat mencolok di kastilnya yang berwarna merah ini. Tentu saja ia akan dengan mudah menemukan Azure.

Saat Reddish hendak kembali menyapukan pandangannya ke taman raksasa itu, ia justru melihat kerlip cahaya biru tak jauh dari tempatnya mengambang di udara.

Azure terlihat memunggunginya entah sedang melihat apa. Perempuan itu bergeming, membiarkan rambut panjang dan gaunnya tersapu angin.

Ada rasa lega yang mengembang di hatinya, menyebar ke seluruh pembuluh darah, dan menggerakkan tubuhnya untuk menghambur ke arah Azure. Tanpa aba-aba, Reddish menabrak tubuh perempuan itu dari belakang lalu memeluknya rapat, melampiaskan rasa rindunya yang berjejal penuh di dalam jiwanya.

Azure terkejut setengah mati hingga hampir-hampir tubuhnya kehilangan keseimbangan dan terjatuh seandainya makhluk kurang ajar yang menabraknya itu tak menangkap tubuhnya.

Tunggu.

Azure merasakan jika makhluk itu menyandarkan kepala di bahunya, menciumi sisi lehernya yang tertutup rambut. Jantungnya berdegup cepat. Kepala perempuan itu menunduk dan menemukan jika dua lengan berwarna merah sedang memeluknya. Lengan merah dengan pucuk tato api di pergelangan tangannya.

Reddish!

“Sudah selesai menghirup udara segarnya, hm?” Reddish berbisik mesra di dekat telinga Azure.

Perempuan itu menelan ludah.

“Aku … ingin bicara.” Azure berucap serak.

Reddish mengangkat kepalanya dan mendongak. “Sepertinya langit akan segera menurunkan hujannya setelah sekian lama,” ujarnya sambil menggerak-gerakkan lengannya yang memeluk Azure, menunjukkan perlindungannya kepada perempuan itu terhadap udara dingin yang melingkupi keduanya.

“Ayo berbicara di tempat yang hangat.” Reddish melempar senyum manisnya yang sungguh tak mampu ditolak pesonanya oleh perempuan itu. Membuat wajah Azure panas meski ia tak bisa melihat ekspresi Reddish saat ini.

“Reddish.” Ekspresi Azure tetap tak berubah. “Aku ….”

Lelaki itu tak mau tahu, menundukkan kepalanya lagi dan mengecup pipi Azure yang terasa dingin di bibirnya.

“Balikkan badanmu, Azure,” Reddish berbisik.

“Tidak mau.” Azure menjawab ketus.

Reddish tersenyum. Azure sedang merajuk.

Apakah perempuan ini tahu jika pandangan matanya telah dimanipulasi olehnya?

Tatapan Reddish lalu tertuju ke depan tepat di mana Azure sedang memandang. Alis lelaki itu terangkat sebelah.

Ah, kastil biru.

“Apakah kau mau pergi ke sana? Mungkin kita bisa mencoba bercinta di rumahmu jika kau mau.” Reddish tiba-tiba berucap membuat wajah Azure kian merona merah. Perempuan itu meronta ingin melepaskan diri, tetapi Reddish tak membiarkannya. Lelaki itu justru memeluk kian rapat.

Bayangan sambaran kilat dan suara gemuruh mulai menghiasi cakrawala. Reddish menyipit memandangi panorama kelam di sekelilingnya.

“Tapi kastil biru sangat jauh.” Reddish tampak menimbang-nimbang dengan serius. “Kau memaksaku melakukannya, istriku, jadi, jangan keluarkan aura birumu saat ini. Gunakan tanganmu untuk berpegangan,” perintahnya lantas mengangkat tubuh perempuan itu tinggi-tinggi dalam gendongannya.

Azure yang merasakan gerakan cepat dari Reddish itu hanya menjerit tertahan dan memegangi apa saja yang bisa ia gunakan untuk berpegangan.

“Aku tidak ingin pulang ke kastilmu.” Azure berucap dengan wajahnya yang murung.

“Kita tidak pulang. Kita hanya akan bercinta dan … berbicara?” Reddish mengucapkan kalimatnya dengan kembali berbisik di sisi wajah perempuan itu, membuat Azure memukul-mukulkan tangannya di dada Reddish.

Lelaki itu terkekeh dan kembali terbang, membawa tubuh Azure bersamanya.

***

Reddish menciumi Azure tanpa ampun begitu mereka tiba di ruangan. Berbeda dengan reaksi Azure sebelumnya di mana perempuan itu akan melawan, kali ini, Azure terlihat begitu murung dan pasrah. Bukan. Bukan pasrah. Azure seperti sedang tak peduli pada apa pun. Perempuan itu menerima cumbuannya dengan tatapan kosong yang tak memandang ke arahnya.

Lelaki itu memagut bibir istrinya sekali lagi sebelum melepaskannya sejenak. Mereka berdua berdiri di tengah ruang, seolah tak ada waktu bagi Reddish untuk sekadar membiarkan perempuan itu mengistirahatkan kakinya yang sedari tadi berdiri menerima cumbuannya.

Napas lelaki itu terasa panas, mengembus di sisi pipi Azure. “Aku berjanji kita akan bicara nanti,” bujuknya.

Pandangan Azure beralih ke kedua mata merah itu. Memandanginya dengan tatapan sendu.
“Kenapa kau menikahiku?” tanya Azure kemudian setelah hening beberapa saat.

Reddish sedikit mengernyitkan dahinya dan memandangi dalam-dalam kedua mata perempuannya. Ada ketidakpercayaan yang memancar dari kedua mata biru itu.

Azure memalingkan wajah. Ekspresinya tampak kalut dengan menundukkan kepalanya dalam-dalam.

“Bukankah ada perempuan biru lainnya … yang tentu saja bisa kautemukan, bukan?” tanyanya lagi.

Reddish mengangkat wajah Azure dalam tangkupan kedua telapak tangan di sisi pipi perempuan itu.

“Aku … aku tak merasa layak berada di sini.” Azure mengernyitkan dahinya dengan kedua matanya yang berkaca-kaca. “Tidakkah kau merasa jika … menikahiku adalah mengkhianati kepercayaanmu sendiri? Kau tahu ayahku adalah seorang yang tamak dan hendak mencelakai ayahmu? Kau bahkan bisa meminta anggota klanmu untuk menikahiku … kenapa-“

Reddish membungkam mulut Azure dengan bibirnya. Lelaki itu menciumi Azure dengan sepenuh perasaan. Menikmati tiap sentuhan bibir dan lidahnya dengan mulut Azure yang membuat dirinya kian terbakar.

“Aku menikahimu karena kau adalah Azure.” Reddish berucap di sela-sela ciumannya. “Aku tak peduli dengan apa pun yang terjadi di masa lalu.” Lelaki itu menempelkan dahinya di dahi Azure, seolah dengan begitu, ia bisa menenangkan pikirannya yang sedang kalut.

“Aku berjanji jika kita memang tidak sedang pulang saat ini. Setelah rapat besar pemimpin klan esok hari, kita tak akan di sini lagi. Aku berjanji akan memenuhi keinginanmu untuk pegi dari sini. Aku berjanji,” ucapnya dengan terengah dan tak memberi kesempatan Azure untuk berbicara karena ia dengan keras kepala melanjutkan lagi ciuman mereka, menuntun Azure untuk semakin memundurkan langkah hingga tiba di tepi ranjang.

Reddish memeluk Azure dan perlahan menidurkan perempuan itu di peraduan, tanpa melepaskan ciuman.

Azure memejamkan mata. Pasrah pada keinginan tubuhnya yang tak bisa ia kendalikan. Pikirannya sedang terbagi dua dan Azure tak bisa berpikir jernih. Tubuhnya terasa dingin dan ia membutuhkan Reddish untuk menghangatkannya.

“Izinkan aku untuk bertingkah pongah terakhir kalinya di depanmu, Azure.” Reddish menyembunyikan wajahnya dan berkata dengan menggoda di tepian telinga istrinya. “Aku menghendakimu. Aku menghendakimu dan kau tak boleh menolak.”

Tangan Reddish bergerak liar menyentuh seluruh permukaan kulit Azure hingga gaun perempuan itu tanggal. Bibirnya mengecupi semua yang tampak di matanya tanpa terlewat, membuat Azure tak bisa menahan lenguhan.

Reddish tak kuasa menahan diri, ia memagut bibir perempuannya seiring tubuh keduanya yang kian rapat, memadu keinginan untuk mencapai puncak hasrat bersama-sama dalam kehangatan yang memabukkan.

 

Bersambung ….

 

Terima kasih telah membaca :)
Untuk minggu-minggu ke depan, mohon maaf karena sepertinya akan terlambat untuk posting cerita karena sedang ada banyak kesibukan.

Selamat menjalani hari, teman-teman Vitamins

Regards,
~Bintang

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

The Red Prince | Part 23 : Bui yang Paling Memenjarakan

red prince cover - CopyRed 3

10 votes, average: 1.00 out of 1 (10 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

“Aku tak butuh lagi tempat tertutup atau ruang tahanan khusus untuk menawan istriku, karena … aku telah memiliki bui yang paling menjeratnya sekalipun ia pergi ke ujung dunia langit untuk menghindar. Aku. Dia akan tertahan oleh hatinya yang terpaut padaku.”
~Reddish

 

Reddish terduduk di ruang kerjanya dengan sebelah tangan yang menumpu kepala. Ekspresinya tampak serius sekaligus heran saat melihat Ecru membawa masuk seorang anak kecil anggota koloni klan hitam dengan warna pekat yang sama sekali belum pernah Reddish lihat.

Sebelum lelaki klan merah itu sempat angkat bicara dan bertanya, Ecru terlebih dahulu melemparkan kejutannya kepada Reddish.

“Aku membawa apa yang kauminta.” Ecru berucap dengan pandangannya yang menatap lurus ke arah Reddish. Senyum tampak terkembang di bibirnya.

Reddish memajukan tubuh, menatap Ecru dengan sebelah alisnya yang terangkat. “Anak kecil ini adalah si pemilik kekuatan bersembunyi itu?” tanyanya dengan tatapan penuh penilaian ke arah Vantablack.

Anak hitam itu menunduk, tak berani menampakkan wajahnya di hadapan Reddish. Tubuhnya gemetar, masih tak percaya jika pada waktu lalu, dia harus melaksanakan perintah untuk melawan pemimpin agung mereka yang saat ini sedang mengawasinya tajam seolah dengan penuh pertimbangan, akan membunuhnya atau tidak.

Reddish terpaku menatap Vantablack. Hatinya entah bagaimana merasakan gejolak yang  tak bisa ia mengerti sebabnya saat melihat anak kecil yang saat ini tertunduk takut kepadanya. Lelaki itu justru sedang membayangkan rupa putranya kelak alih-alih memikirkan akan bagaimana ia terhadap anak lelaki klan hitam yang sudah berulang kali menguarkan kekuatan untuk menghalanginya itu.

“Ya.” Ecru menunduk lantas mengusapkan tangannya ke pundak Vantablack, merangkulnya rapat. “Namanya Vantablack. Anggota koloni klan hitam. Si pemilik kekuatan hitam paling hitam yang mampu menyerap semua warna, si penyembunyi aura paling baik yang pernah ada,” puji Ecru.

“Tidak yang paling baik.” Reddish mengangkat sebelah tangannya, menguarkan aura merah, lalu tanpa sempat Ecru dan Vantablack bersiap diri, lelaki klan merah itu telah mengarahkan kekuatannya ke tubuh Vantablack, membuat anak kecil itu terangkat ke udara, membuatnya berteriak kecil karena terkejut dengan mukanya yang pias.

“Aku bisa melihat kekuatannya dengan kedua mataku yang cacat,” geramnya sembari mengangkat tinggi-tinggi tubuh Vantablack di ruangan itu. Ekspresinya tampak gelap dengan aura merah pekat yang memendar dari seluruh tubuhnya, membuatnya tampak menyala dengan aura mengerikan. Vantablack tampak ingin beteriak menahan sakit, tapi pada akhirnya ia hanya melenguh lirih dengan ketakutan yang semakin berjejal di jiwanya.

“Reddish.” Ecru mencoba menegur dengan tak tahu harus berbuat apa, sementara anak kecil itu betul-betul ketakutan. Kepalanya menengadah ke arah Vantablack dan Reddish bergantian.

“Aku bisa saja membunuhmu saat ini juga, Anak Kecil.” Reddish menatap tajam ke arah Vantablack.

“Reddish. Tahan emosimu!” bentak Ecru dengan wajahnya yang cemas.

“Tapi sepertinya, kau bisa diajak bekerjasama dengan baik.” Reddish berucap sambil mengendurkan kekuatannya hingga siksaan rasa sakit di tubuh anak itu sepertinya berkurang. Vantablack membuka kedua matanya, masih dengan tubuhnya yang melayang di udara.

“Am-ampun, Tuan. Saya hanya diperintah. Sa-saya  tidak tahu jika itu semua melawan Anda. Saya su-sungguh-sungguh tidak tahu,” ucapnya hampir menangis. Tak membayangkan jika ternyata ia akan dieksekusi secepat ini di hari pertama ia bertemu dengan tuan Reddish. Otaknya yang kecil itu mengajaknya mengingat ibunya, ayahnya, dan orang-orang yang  belum sempat ia temui. Dia ingin menangis dengan memeluk mereka.

Kedua mata Reddish menyipit. Gerakan tangannya tampak turun, lalu perlahan, tubuh Vantablack mendarat di lantai ruangan itu. Anak lelaki itu tersungkur dengan terbatuk-batuk, bersujud dengan gemetar. Ecru yang melihatnya hanya mampu mengembuskan napas panjang, tak bisa berbuat apa-apa saat sahabatnya itu berkehendak.

“Aku akan membebaskanmu. Namun, aku akan menangkap kedua orangtuamu agar turut berada di kastil ini menjadi tahanan sebagai gantinya. Dan kau … hanya perlu mengabdi kepadaku secara pribadi sebagai tanda kepatuhan.” Reddish berucap angkuh yang membuat Ecru dan Vantablack sama-sama dilanda keterkejutan.

“Ap-apa … Tuan?” Vantablack berucap dengan perasaan polosnya yang campur aduk. Ia tak percaya jika pemimpin klan merah itu akan membebaskannya, tetapi, orang tuanya harus ditahan?

“Ya. Aku sungguh murah hati, bukan? Aku tak membunuhmu dan juga menyelamatkan orangtuamu.” Reddish tersenyum dengan wajahnya yang cerah, tetapi entah bagaimana hal itu justru terlihat mengerikan dengan tatapan mata merahnya yang menusuk serta kalimatnya yang dibalut ancaman. Di akhir Reddish mengakhiri kalimatnya, di saat itu pula lelaki itu memejam sejenak, memerintahkan kepada prajurit andalannya untuk datang ke tempat orangtua Vantablack dan menjemputnya.

Kening Ecru mengernyit. “Lokasi tempat tinggal Vantablack dan orangtuanya berada di tempat tersembunyi. Aku membutuhkan banyak waktu untuk bisa menemukannya. Tidakkah kau berpikir jika mungkin saja saat ini mereka telah ditawan oleh Crow dan koloninya?” tanyanya dengan nada ragu. “Bukankah itu akan membuat keadaan semakin sulit?” imbuhnya lagi dengan nada tak mengerti.

“Kenapa aku harus khawatir? Bukankah Vantablack ada di depanku saat ini?” Reddish memandangi Ecru lantas beralih menunduk, menatap anak lelaki hitam yang saat ini sedang bergelut dengan pikirannya sendiri.

“Sembunyikan kediamanmu dan orangtuamu itu, Anak Kecil. Tunjukkan kepada prajurit merahku di mana rumahmu berada.” Reddish memerintah sembari besedekap.

Vantablack menengadah mendengar perintah itu. Saat kedua mata gelapnya bersitatap dengan Reddish dan memahami pengertian yang disampaikan oleh lelaki klan merah itu melalui matanya, anak itu mengembuskan napas lega dan tersenyum.

“Baik, Tuan. Saya akan melakukannya.” Dengan sikap menjura yang menggemaskan, Vantablack kemudian berdiri dengan mengangkat kedua tangan. Sebelah tangannya yang satu tampak memegangi pergelangan tangannya yang lain dengan telapaknya yang terbuka. Kedua mata bocah itu memejam. Dari kedua tangannya itu, muncullah aura hitam pekat, memendar tipis, menghalangi pandangan Ecru dan Reddish yang saat itu terlihat begitu antusias mengamati pergerakan Vantablack yang sedang menguarkan aura misteriusnya.

Dalam pandangannya yang sedang mengatup itu, jiwa Vantablack membuka. Seperti roh yang memiliki kehidupan, aura hitam itu membuka mata pekatnya, lantas meluncur ke segala arah, memburu lokasi yang saat ini ada dalam pikiran kecil Vantablack, mengejarnya cepat, dan menangkapnya dengan menyelubungkan warna hitamnya pekat itu ke lokasi rumahnya yang jauh nun di sana.

Setelah yakin jika selubung warna gelap itu terpasang sempurna di tempat yang ditujunya, kedua mata Vantablack perlahan membuka, seiring dengan kekuatan hitamnya yang perlahan menghilang. Matanya yang pada mulanya keseluruhan berwarna hitam itu berubah. Menampilkan hanya manik matanya saja yang pekat seperti lorong tak tertembus.

Setelah itu, Vantablack menengadah dan tersenyum ceria ke arah Reddish. “Sudah, Tuan,” ucapnya riang.

“Kekuatan jiwa. Hebat sekali. Kau mengendalikan kekuatan hitammu dengan kekuatan jiwa. Jenis kekuatan yang belum pernah dipakai oleh makhluk langit sebelumnya.” Reddish mengangkat sebelah bibir, memuji Vantablack dalam pandangannya yang penuh penilaian.

Melihat Vantablack yang tak mengerti serta mengangkat kedua alisnya dengan penuh tanya, Reddish mengibaskan tangannya.

“Lupakan. Kau belum mengerti,” ujarnya meremehkan.

“Kekuatan jiwa.” Ecru mengangguk-angguk seolah sedang mempelajari hal itu dalam benaknya. “Apakah maksudmu, Vantablack menggunakan kekuatan mata batinnya?” tanyanya ke arah Reddish.

“Ya. Dia mengendalikan aura hitamnya menggunakan pandangan heningnya. Tanpa seorang saja bisa menghancurkannya kecuali makhluk itu juga turut melihat melalui mata batin,” paparnya sembari memajukan tubuh, menumpukan tubuhnya di meja.

“Kerja bagus, Ecru. Dia akan sangat berguna untukku,” pujinya dengan senyuman manis yang penuh kepuasan.

Kedua mata merah Reddish lalu kembali menatap Vantablack. “Aku punya tugas lagi untukmu, Vantablack. Kau harus membuat pandangan istriku itu tak mampu melihat selain kastil ini dan kastil biru,” titahnya dengan rona merah bersemburat di pipinya.

***

Azure mengarahkan aura biru ke pakaiannya yang tergeletak di lantai kamar, lalu menyentuh lengannya sendiri. Dalam sekejap baju biru itu terpasang di tubuhnya yang telanjang.

Astaga. Bagaimana bisa seperti ini? Mengapa tubuhnya terasa begitu lemas dan … sakit?

Wajah perempuan itu memerah saat kepalanya menoleh ke belakang, ke arah peraduan yang saat ini berantakan tak karuan.

Reddish? Lelaki itu pergi ke mana?

“Nona Azure.” Suara seorang pelayan perempuan mengalihkan perhatian Azure seketika.

“Anda sudah bangun,” lanjutnya diiringi langkah kaki yang kian membawanya masuk semakin jauh ke dalam ruangan tanpa merasa perlu meminta izin.

“Saya diperintah oleh tuan Reddish untuk mengantar minuman,” ucapnya sembari meletakkan nampan kecil berisi sebotol minuman dan satu gelas kaca. “Apakah ada yang Anda butuhkan? Saya akan segera memenuhinya,” imbuhnya lagi dengan penuh hormat.

Azure menoleh ke arah pintu. Keningnya sedikit berkerut saat melihat jika pintu utama kamar ini bisa dilewati oleh seorang pelayan.

“Apakah aku bisa keluar dari tempat ini?” tanyanya tiba-tiba, mengutarakan apa yang saat itu terlintas dalam benaknya.

Pelayan itu terkejut hingga mendongak untuk menatap wajah nonanya saat mendengar kalimat itu. Dadanya bedebaran oleh rasa tak menentu.

Melihat wajah pias pelayan itu, Azure berdeham. “Maksudku, apakah Reddish tak lagi mengunci ruangan ini dengan segelnya? Kau bisa masuk kemari … jadi, apakah aku bisa keluar sejenak untuk berjalan-jalan?” Azure tersenyum kaku dengan ekspresinya yang gugup.

“Ah, tentu saja, Nona. Anda sekarang adalah maharani tuan Reddish. Kastil ini adalah hak Anda. Jadi, Anda bebas melakukan apa pun di tempat ini. Begitu yang tuan Reddish katakan untuk saya sampaikan kepada Anda,” jawabnya ramah. “Sekarang, sebaiknya Anda minum dulu, Nona. Tubuh Anda harus terisi banyak tenaga sebelum beraktivitas. Minuman ini adalah ramuan pemulih tenaga dari Nona Candy.” Pelayan itu berkata sembari menunduk dengan wajah memerah.

Azure berdeham lagi. Si pelayan tampaknya tak akan melanjutkan kata-katanya, tetapi Azure sangat paham dengan ‘ramuan pemulih tenaga’ itu.

“Baik. Aku akan meminumnya. Sementara, tidak ada yang kubutuhkan. Kau boleh pergi.” Azure tersenyum masam, mengusir secara terang-terangan.

“Baik, Nona.” Pelayan itu menjura. Tak tampak ada ekspresi tersinggung di wajahnya, ia lalu membalas tatapan Azure dengan tersenyum manis dan meninggalkan ruangan dengan cepat.

Azure menatap minuman berwarna hijau bening di dalam botol itu, memandanginya dengan ekspresi getir saat merasakan jika hatinya kini jatuh ke dalam penyesalan dan amarah yang sudah tak ada artinya lagi.

Dirinya akhirnya berakhir di tangan Reddish.

Lingkupan warna merah yang kini membentang di sekelilingnya, aroma Reddish yang begitu melekat di tubuhnya, membuat napasnya sesak.

Azure menengadah. Menatap ke langit-langit merah ruangan itu. Entah bagaimana ia tak bisa menangis. Hatinya telah seluruhnya runtuh. Bagaimana bisa ia begitu mudah berharap serta tak berhati-hati? Dan setelah memutuskan jika ia telah berbuat sesuatu yang menurutnya benar, memberikan hatinya untuk Reddish, di detik terakhir, ia masih harus tetampar kebohongan lagi?

Untuk apa sebenarnya Reddish bersikukuh memilikinya? Apakah lelaki itu sudah  gila? Bagaimana mungkin seorang pemimpin negeri yang begitu dihormati, menikah dengan cara memaksa seperti ini? Apakah ia sedang berpura-pura tak tahu jika masih ada makhluk klan ungu yang bertahan hidup?

Azure tertawa dalam ekspresinya yang kecut.

Sepertinya Reddish memang sudah gila! Pantaslah jika ia sadar diri dan hendak mundur dari kepemimpinan!

Azure menuang ramuan hijau bening itu ke dalam gelas lantas meneguknya cepat dalam beberapa kali helaan napas. Masih dengan dadanya yang kembang kempis menahan kesal, Azure menuang lagi minuman itu. Memenuhi gelasnya lagi lalu meneguknya hingga tandas.

Tanpa ia sadari, tubuhnya yang semula terasa lemah dan kehilangan tenaga itu berangsur pulih. Azure mengabaikan minuman itu dan beranjak berdiri.

Dia harus keluar dari ruangan ini atau semua hal tentang Reddish akan semakin menyiksanya.

Azure melangkah dengan berhitung dan tatapan matanya yang penuh kewaspadaan. Saat ia tiba pada ambang pintu, ia berhenti sejenak di sana.

Ya. Bukankah pada hari pernikahannya, semua orang sudah bebas berlalu lalang di tempat ini? Jadi pastilah dia akan bebas pergi ke mana pun saat ini.

Perempuan itu menghela napas panjang. Ia mengamati sekeliling dan mengingat-ingat lagi jalur lorong yang ia lalui saat Reddish menjemputnya waktu itu. Azure melangkah perlahan, lalu justru mengambil jalan yang berlawanan. Lorong sebelah kiri adalah lorong menuju ke arah luar yang pasti dijaga ketat oleh prajurit berkekuatan tinggi. Dia memutuskan untuk mempelajari ruangan demi ruangan di kastil ini, menemukan celah kosong untuk tempatnya bersembunyi sebelum mengalihkan perhatian semua makhluk untuknya pergi.

Reddish sudah mendapatkan apa yang dia inginkan, bukan? Lelaki itu telah mendapatkan tubuhnya. Jadi, tak ada gunanya ia terus berada di sini agar ia tak semakin terjerat oleh lelaki klan merah itu.

Azure menghela napas panjang , melangkah lagi sembari mengamati sekitar lorong dan ruangan-ruangan yang berbaris memanjang di sepanjang sisinya. Ada begitu banyak penjaga yang sepertinya ditugaskan untuk menjaga seisi kastil ini dengan cermat. Perempuan itu sempat melihat beberapa pelayan yang menghentikan langkah saat berpapasan dengannya, menjura, lantas berjalan kembali setelah Azure berlalu.

Astaga. Bagaimana bisa dia akan diam-diam keluar dari tempat ini sementara ada seribu mata yang ditempatkan untuk menjaganya?

“Nona Azure.” Crimson menyapa, sedikit membuat Azure terperanjat.

“Ah, Crimson.” Azure tersenyum tipis.

“Apa yang Anda lakukan di sini? Apakah Anda hendak keluar untuk mencari udara segar?” tanyanya dengan nada ramah kemudian.

Azure mengangkat kedua alis.

Reddish membiarkannya keluar? Lelaki itu membebaskannya? Reddish tak takut jika dia akan lari? Kalau begitu, mungkinkah Reddish akan mengizinkannya keluar dari kastil ini tanpa ia harus bersusah payah?

“Ya. Aku butuh udara segar,” jawabnya sembari mengangguk.

“Mari saya antar, Nona.” Crimson bersibak, mempersilakan Azure untuk berjalan di sisinya.

Azure mengiyakan dengan wajah masam, lalu berjalan lagi untuk mengelilingi kastil itu, memutari berbagai lorong, mengawasi setiap ruangan hingga tiba di sebuah pintu besar yang menampilkan taman raksasa yang membuat Azure menelan ludah. Taman itu memiliki sebuah danau kecil yang dikelilingi pepohonan tinggi. Rumput-rumputnya berwarna merah dengan airnya yang bening berkilauan diterpa sinar.

“Ada sebuah kursi di ujung danau ini, Nona. Anda bisa menghabiskan waktu di sana jika Anda mau.” Crimson berkata sembari menunjuk ke arah kursi yang tampak kecil nun jauh di seberang danau.

Pandangan Azure lalu mengikuti telunjuk Crimson. Kedua matanya menyipit agar dapat melihat dengan jelas area tempat duduk tersebut. Nuansa teduh yang ditawarkan tempat itu begitu menggoda. Daun-daun merah yang meliuk-liuk bersama dengan ranting-ranting pertanda angin sedang berembus di tempat itu tampak begitu nyaman. Apalagi taman itu teduh, berada di bawah pohon besar yang menggugurkan bunga merah kecokelatan yang tampak melambai-lambaikan keindahannya pada Azure, menariknya untuk datang.

“Aku bisa pergi ke sana seorang diri. Aku akan pergi sendiri.” Azure berucap tegas, menoleh ke arah Crimson dengan nada penuh keyakinan sehingga mau tak mau lelaki tua itu patuh.

“Baik, Nona. Hubungi saya jika Anda membutuhkan sesuatu.” Crimson mengangguk lantas membalikkan badan, masuk lagi ke dalam ruangan.

“Kau yakin tak mengawasiku? Kau akan pergi begitu saja?” Azure tiba-tiba bertanya, membuat Crimson menghentikan langkah dan membalikkan tubuhnya kembali. Entah kenapa, keputusan Reddish yang terlalu longgar ini justru mencurigakan.

Apakah ada perangkap lainnya yang sedang Reddish persiapkan untuknya?

Crimson tersenyum. “Saya hanya menjalankan apa yang tuan Reddish perintahkan, Nona,” jawabnya dengan nada hangat.

Tampak Azure mendengus lantas turut membalikkan badan, siap menuruni tangga untuk tiba di tanah berumput merah yang tampak cerah tersebut. Perempuan itu mengeluarkan auranya tipis, mengangkat tubuhnya, dan melesat menuju kursi kayu berwarna merah tua di sudut taman.

Angin tampak bertiup semilir, membuat rambut Azure yang panjang bergelombang itu menari-nari indah mengiringinya yang tengah terbang.

Kakinya mendarat di sisi kursi. Perempuan itu tak pikir panjang lalu bersiap duduk saat mendadak ada suara gemeresak dari balik rumput pagar yang menjulang tinggi hampir setinggi Azure. Dengan sikap waspada, Azure mempersiapkan kekuatannya, menghadapkan tubuhnya pada kursi dan mengawasi pergerakan dari balik semak.

Tak berapa lama, muncullah sosok makhluk berklan cokelat dengan sikap hormatnya yang membuat Azure mengernyitkan dahi.

“Makhluk klan cokelat? Apa yang kaulakukan di tempat ini?” tegur Azure dengan suaranya yang tajam. Kali ini dia tak akan lengah. Dia tak akan percaya begitu saja pada makhluk di depannya ini. Berkali-kali ia jatuh tertipu pada makhluk-makhluk yang berubah warna, membuat Azure membangun benteng pertahanan lebih tinggi untuk melindungi diri.

“Salam hormat untuk Nona Azure.” Makhluk itu menjura sebagaimana makhluk lainnya yang hormat kepadanya sebagai maharani Reddish.

Azure tak menanggapi dan justru menatap makhluk itu semakin tajam.

Makhluk itu tampak tersenyum, mengabaikan sikap tegang Azure kepadanya. “Saya adalah Mocha. Pemimpin klan cokelat,” ucapnya memperkenalkan diri sembari mengangguk. “Saya begitu putus asa untuk bisa bertemu dengan Anda, Nona. Tapi untunglah, sepertinya keberuntungan sedang memilih saya saat ini sehingga saya bisa bertemu dengan Anda di sini tanpa saya harus berusaha keras.”

Azure menoleh mengawasi sekeliling. “Pergilah. Sebelum tak ada pengampunan untukmu karena telah menemuiku,” ancamnya kemudian.

“Saya ingin menyampaikan kabar penting untuk Anda, Nona. Saya tak bisa menunda karena esok hari adalah hari penentuan. Dan tenanglah ….” Mocha menguarkan aura cokelat dari sebelah tangan dan melemparkannya ke udara, membuat warna cokelat itu melingkupi Mocha dan turut pula menyelubungi Azure.

Azure membelalak. “Apa yang kaulakukan!” serunya panik.

“Tenang, Nona. Saya adalah pemilik kekuatan waktu. Saya bisa memastikan jika saat ini, waktu yang sedang berjalan dalam lingkup kekuatan cokelat ini berjalan lebih cepat dari waktu yang melambat di negeri langit. Mereka yang mungkin saja tak sengaja melihat saya berinteraksi dengan Anda, hanya akan melihat jika saya berdiri selama satu menit di depan Anda tanpa membuat makhluk lain apalagi tuan Reddish curiga,” paparnya tanpa diminta dengan menampilkan ekspresinya yang datar meski tubuhnya bereaksi sebaliknya, begitu gugup dengan jantung berdebaran karena sedang betul-betul berhitung dengan keberuntungan dan waktu.

Tuan Reddish mereka menjadi pemimpin tidaklah main-main. Makhluk klan merah itu selalu tahu apa yang ingin diketahuinya dengan tindakan-tindakannya yang tak dapat dicegah oleh sesiapa bahkan dewan warna sekali pun.

Perempuan biru itu bersedekap. “Asal kau berjanji tidak akan ada kekacauan ….” Azure mengawasi seluruh tubuh makhluk cokelat itu dengan saksama. “Aku akan menurutimu. Namun jika setitik saja kutemukan kau sedang berusaha menipuku, maka hidupmu akan berakhir detik itu juga,” ujarnya dengan ancaman nyata yang membuat makhluk cokelat itu menipiskan bibir dengan ekspresi keruh bercampur ketersinggungan.

Dirinya adalah pemimpin klan cokelat yang begitu dihormati oleh koloninya, tetapi tetap saja, di hadapan makhluk dominan seperti nona Azure ini, dia tak ada apa-apanya.

Azure meyakinkan diri dengan menatap lurus ke kedua mata cokelat Mocha yang meski takut-takut menatapnya, tampak begitu teguh dengan apa yang ia ucapkan. Dan memang sepertinya, makhluk ini benar-benar sedang mempertaruhkan nyawa karena nekat menelusup masuk ke dalam kastil Reddish dan … hendak menemuinya?

“Saya bisa menjamin, Nona. Sekarang, izinkan saya menyentuh tangan Anda.” Mocha mengulurkan tangannya yang disambut oleh Azure dengan enggan.

Lalu tanpa diduga, dari genggaman tangan itu, Azure dibuat terkesiap saat tiba-tiba saja ia merasa jika lingkungan sekitarnya berubah kelam dengan nuansa cokelat khas lelaki itu. Mocha seperti menariknya ke dimensi waktu lain yang tak diketahuinya.

Lelaki itu melepas genggaman tangannya ketika mereka tiba di atas bukit tempat tongkat pemimpin negeri itu tertancap di sana.

“Saya tidak memiliki maksud apa-apa selain untuk menunjukkan hal-hal yang sekiranya perlu untuk Anda ketahui.” Mocha mengusapkan tangannya ke udara dan tiba-tiba saja,  gambaran itu bergerak. Azure seperti sedang mengenang masa lalu yang menjadi nyata saat ia melihat sosok Yale, sang ayah yang sedang menatap tongkat itu dalam raut wajahnya yang dipenuhi amarah.

Lalu, peristiwa bertahun lalu yang hampir terlupakan dan tak diketahui oleh makhluk-makhluk lainnya di mana ayah Azure berusaha mencabut tongkat kepemimpinan itu dari tempatnya, kemurkaan ayah Reddish, perang warna, dan peristiwa yang susul menyusul setelahnya, seolah hidup kembali di depan mata Azure, membuat perempuan itu menampakkan ekspresinya yang berubah-ubah saat menyaksikan peristiwa demi peristiwa yang mungkin tidak akan dipercayainya andai saja cerita itu hanya didongengkan dengan mulut tanpa ada bukti masa lalu.

Tentang kebohongan cerita ayahnya yang pada masa dahulu dielu-elukan karena membela kebenaran yang ternyata hanya kisah dusta belaka, cerita ayah Reddish yang berbesar hati menyembunyikan kasus memalukan ayahnya ….

“Ayah ….” Tanpa sadar Azure memanggil serak saat air mata kepedihan yang terbungkus rasa malu itu mengalir ke pipinya.

Semua insiden itu berganti-ganti tempat dan waktu, membuat dada Azure seakan mau pecah saat pada akhirnya ia mengetahui rahasia besar yang mungkin saja tak banyak makhluk tahu tentang kedua mata Reddish yang buta warna. Tentang bagaimana lelaki itu berusaha mencarinya, tentang usahanya menentang dewan warna, tentang kejadian sebenarnya makhluk ungu bernama Heather ….

“Nona Azure, saya harap Anda mengerti maksud saya dan mau membantu kami dalam rapat besar pemimpin klan yang akan diadakan esok hari.” Mocha berucap sembari menunduk hormat. “Kami butuh bantuan Anda, Nona. Kami mengharapkan Anda,” lanjutnya lagi dengan nada penuh permohonan tulus.

Azure jatuh bersimpuh. Dari kedua matanya mengalir deras air mata. Tubuhnya lemas, hatinya remuk redam. Ia tak sempat mendengarkan ucapan Mocha, karena lelaki itu buru-buru meninggalkan tempat saat dilihatnya seorang pelayan datang membawa minuman dengan gemetar melihat Azure yang menangis tersedu-sedu.

Dia telah salah paham. Koloni klan birunya telah keliru. Mereka buta kepercayaan pada Yale.

Apa yang harus dia lakukan? Apakah ia masih akan punya muka saat bertemu dengan Reddish nanti?

Dirinya tinggallah makhluk menyedihkan yang sekarang bahkan tak punya nyali untuk sekadar membalikkan badan dan berjalan dengan tegak di kastil ini.

***

“Hanya bisa melihat kastil ini dan kastil biru?” Ecru bertanya dengan sebelah alisnya yang terangkat. “Kau mengizinkan istrimu keluar dan pulang ke kastilnya? Kau yakin itu baik untukmu?” tanyanya dengan nada tak mengerti.

“Tentu saja. Memangnya kenapa?” Reddish tersenyum manis, bertopang dagu dengan kedua tangannya yang berjalinan di meja.

“Azure pasti akan kembali ke koloninya setelah ini. Dan itu akan semakin membuat banyak petentangan antara dirimu dan koloni klan biru. Kau bukan sengaja ingin memancing perang warna lagi, bukan?” tanya Ecru penuh selidik.

“Aku tidak membebaskan Azure. Lagipula, angota koloni klan biru yang lainnya belum kembali ke kastil mereka meski sudah kuperintah. Azure hanya akan bertandang ke kastil kosong saat ia pergi ke sana,” jawabnya sembari mengangkat bahu. “Dan … aku tak butuh lagi tempat tertutup atau ruang tahanan khusus untuk menawan istriku, karena … aku telah memiliki bui yang paling menjeratnya sekalipun ia pergi ke ujung dunia langit untuk menghindar. Aku. Dia akan tertahan oleh hatinya yang terpaut padaku,” ucapnya pongah dengan penuh percaya diri.

Ecru sedikit mengangkat sudur bibirnya saat mendengar kalimat Reddish tersebut. “Ah, rupanya kau telah menjadi pencinta yang andal setelah satu hari menikah,” pujinya dengan nada mengejek.

Belum sempat Reddish mengeluarkan kata-kata untuk menanggapi ucapan sahabatnya itu, tiba-tiba saja suara berdebum pintu ruangan yang dipaksa terbuka terdengar nyaring. Candy memaksa masuk diikuti beberapa prajurit yang sepertinya tak bisa mengandalikan perempuan itu. Candy menjatuhkan diri tersungkur di lantai ruangan, membuat Reddish, Ecru, dan Vantablack yang masih berada di ruangan itu terkesiap.

“Reddish. Aku menyerahkan diri. Hukumlah aku. Penjarakan aku di tempat paling gelap agar aku bisa enyah dari segala rasa bersalahku padamu,” pintanya dengan suara sengau, tak meninggalkan ekspresi wajahnya yang penuh getir, bercampur aduk dengan air mata yang tak habis-habis keluar membasahi pipi, membuat pundaknya berguncang-guncang oleh tangis.

 

Bersambung ….

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

The Red Prince | Part 22 : Keinginan Reddish

red prince cover - CopyRed 3

9 votes, average: 1.00 out of 1 (9 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Mata Ecru menyipit saat berusaha mengenali penampakan bayangan itu. Lalu, saat pengetahuan tentang siapa makhluk tersebut masuk ke dalam benaknya, sontak Ecru ternganga dengan ekspresi terkejutnya.

“Vantablack!” Ecru berseru memanggil.

Candy yang saat itu masih bersimpuh dengan ekspresi terluka di wajahnya itu menengadah. Tak jauh dari tempatnya berada, Ecru tampak berdiri dengan tatapan lurus ke depan, berteriak memanggil ke arah para prajurit dan lelaki klan hitam serta klan biru yang masih dicekal lengannya.

Rombongan itu berhenti mendengar Ecru berseru. Kesemuanya menoleh. Dari bayangan hitam yang tampak samar itu, muncul sosok tak terduga yang berjalan mengekor di barisan paling belakang. Wujudnya tampak serupa titik kecil, sebelum memperlihatkan diri seutuhnya kepada si pemanggil. Dan sosok itu membalikkan badan, lantas tersenyum lebar kepada Ecru.

“Paman Ecru!” serunya.

Crow yang melihat anak lelaki yang tak disangka akan mengikutinya itu menampakkan ekspresi marah hingga aura hitam memendar dari tubuhnya. Namun tentu saja ia tak bisa apa-apa karena prajurit merah milik Reddish itu ternyata memiliki tubuh yang kuat bahkan ketika hanya mencekal lengannya.

“Bocah! Apa yang kaulakukan di sini?” Crow mendesis marah, menatap tajam pada Vantablack yang seketika menunduk.

“Aku memerintahmu untuk melakukan tugasmu dari markas. Kenapa kau ada di sini? Kau sedang cari mati? Pulanglah!” perintahnya diiringi sumpah serapah penuh kemarahan yang keluar dari mulutnya.

“Aku yang memintanya datang kemari.” Ecru melangkah mendekati anak lelaki itu dan merangkulnya sebagai bentuk perlindungan. “Prajurit, bawa mereka,” lanjutnya mengulang perintah dari Reddish tadi saat melihat jika para prajurit itu terlihat bergeming, menunggu hingga interaksi antara tawanan mereka dengan pemimpin klan kuning itu selesai.

Mereka menjura mengiyakan perintah Ecru dengan tangan masih memegang erat lengan Crow, Sky, serta Heather. Kemudian, tanpa menerima protes lagi dari keduanya, para prajurit itu mengentakkan aura merah di tubuhnya dan melayang, melesat cepat membawa dua orang itu ke kastil putih, di mana Jade dan yang lainnya telah menunggu di sana.

Ecru mengalihkan perhatiannya kepada Vantablack lagi. Lelaki klan kuning itu berlutut dengan menekuk salah satu kakinya hingga dapat berdiri sejajar dengan anak klan hitam itu dan menatap wajahnya. Sebelah tangan Ecru mengusap rambut hitam super kelam yang terasa tebal di telapak tangannya, wajahnya berubah cerah.

“Aku senang melihatmu lagi,” ucapnya dengan ekspresi hangat.

Ecru memandangi bocah lelaki itu dari ujung kepala hingga ujung kaki tanpa terlewat. Dia sungguh tak menyangka anak lelaki klan hitam ini memiliki kekuatan yang begitu besarnya hingga Reddish pun tak mampu menjangkaunya.

Vermilion berkata jika kekuatan hitam dari makhluk yang berhasil menutupi Azure dari penglihatan Reddish itu adalah kekuatan terlarang. Namun jika dipikir-pikir lagi, kekuatan terlarang yang dimaksud oleh Vermilion itu sepertinya adalah karena kekuatan itu dimiliki oleh anak berusia sepuluh tahun yang tak tahu menahu dengan kekuatan dirinya dan belum bisa mengontrol dengan baik, untuk apa sebenarnya kekuatan hitamnya itu harus digunakan.

Semula, saat menemukan pusat aura hitam itu di salah satu rumah penduduk yang sepertinya sengaja dipisah dan disembunyikan oleh Crow, Ecru benar-benar tak yakin jika ia akan menang melawan kekuatan hitam ajaib itu. Ia berpikir bahwa pemilik kekuatan hitam yang mampu menyembunyikan aura warna sekaligus makhluk warna dalam kubah hitamnya yang tak terlihat itu adalah makhluk klan warna dengan tubuhnya yang tinggi besar dengan aura hitam yang sangat kuat dan tak mampu tertembus oleh kekuatan kuningnya yang mewakili cahaya matahari.

Tapi siapa sangka jika ternyata pemilik aura hitam itu adalah seorang anak kecil yang masih berusia sepuluh tahun dan masih berada dalam perlindungan kedua orangtuanya yang juga makhluk klan hitam.

Ecru ingat bagaimana ekspresi ketiga makhluk hitam itu saat melihat dirinya. Tubuhnya yang mencolok cerah berwarna kuning di ruangan gelap penuh warna hitam itu terasa memberi firasat buruk bagi mereka yang telah lama tinggal bertiga saja tanpa makhluk lain selama sebelas tahun terakhir. Namun bukan Ecru namanya jika ia tak mampu mengambil hati keluarga kecil itu. Bersama Fuschia, ia bisa mencapai rencana mereka untuk mengalihpihakkan keluarga kecil itu atas nama perintah pemimpin mereka, Reddish sang lelaki klan merah.

Saat itu Vantablack dengan penampilannya yang membuat bulu kuduk berdiri, terlihat memandang Ecru sembari memeluk tubuh ibunya. Kedua pupil matanya yang hitam legam seperti lubang kecil yang sangat padat tak tertembus cahaya itu melihat Ecru dengan tatapan takut. Lalu, setelelah aura merah muda dari Fuschia memendar tipis di ruangan itu yang membuat ketiga makhluk hitam itu terkesiap, nuansa tegang yang semula canggung itu memudar. Sepasang suami istri itu terlihat berdiri menyambut dan menyapa dengan pengenalan saat menyebut nama Ecru ketika bersama-sama menjura di hadapan lelaki klan kuning tersebut.

Mereka pada akhirnya duduk di sebuah taman kecil di belakang rumah. Ada satu meja bundar dengan kemilau granit berwarna hitam, dikelilingi beberapa kursi yang memutari meja. Ecru mengambil tempat duduk sembarang di salah satu kursi, diikuti Fuschia yang duduk di sampingnya.

Istri dari pemilik rumah itu tampak melangkah menjauh dari tempat itu, pergi ke area dapur dan mempersiapkan minuman. Ecru tak sempat mengatakan jika dia tak sedang ingin minum kali ini karena hanya ingin berbincang sejenak dengan putra mereka, tetapi perhatian lelaki klan kuning dan perempuan klan merah muda itu tampak takjub dan tak bisa menoleh dari anak lelaki dengan rambut tebalnya yang berwarna hitam kelam, ujung-ujung jemarinya yang entah bagaimana terlihat memiliki begitu banyak urat hitam serta pakaiannya yang juga tampak membuat dada Ecru berdesir karena warna hitamnya yang seperti lubang dimensi ke tempat antah berantah yang membuat lelaki itu merasa merinding.

Astaga. Baru sekecil ini dan aura yang ditampakkan Vantablack telah menguar besar membuat makhluk-makhluk merasa terintimidasi. Pantas saja jika Crow menyembunyikannya dengan begitu lihai di tempat ini. Lelaki klan hitam itu memilih untuk tak membawa Vantablack ke markas dan memilih menyembunyikan makhluk hitam ini dengan membiarkannya membaur di rumah-rumah penduduk langit meski letaknya sedikit terpisah. Ecru memahami dan ia tahu jika alasannya hanya satu.

Agar keberadaan Vantablack tak dicurigai dan tak dijadikan mangsa bagi makhluk-makhluk lainnya terutama oleh Reddish. Tentu saja Crow tak menyadari jika Reddish telah curiga. Kekuatan aura hitam itu terlihat begitu jelas di matanya yang cacat, yang tak siapa pun bisa melihat seperti dirinya.

Vantablack tersenyum dan membalas ucapan Ecru. “Aku juga senang bisa kembali bertemu dengan Paman,” sahutnya.

“Kau kemari tanpa Crow dan Sky tahu? Bagaimana bisa mereka tak menyadarinya?” Ecru bertanya lembut kemudian.

“Aku bisa berbuat sesukaku, Paman. Aku akan membuat siapa yang tak kukehendaki untuk bisa melihatku tak akan bisa melihatku. Aku hanya mengikuti perintah Paman untuk datang ke pesta pernikahan ini, tetapi juga dengan tetap menjalankan apa perintah yang diberikan oleh Tuan Crow kepadaku,” tuturnya dengan nada pongah yang lucu.

Ecru terkekeh. “Anak pintar,” pujinya sembari mengusap kedua pundak anak itu. Kening Ecru mengernyit kemudian. “Memangnya, apa perintah Crow yang harus kaujalankan, Vantablack?”

Anak lelaki itu mendongak, memandangi pelangi semesta yang kini telah sempurna berwarna meski belum sepenuhnya cerah, lantas tatapannya tampak memicing ke arah kastil merah yang membentang gagah di depan mereka. “Aku diperintah untuk menghalangi siapa pun dari bisa melihat aura ungu yang keluar dari kastil itu, Paman.” Vantablack mengacungkan jemarinya ke arah kastil merah di mana di sana saat ini tampak aura ungu yang begitu kuat memendar dari arah puncak kastil, yang tentu saja hanya bisa dilihat dari kedua mata gelap Vantablack.

Ecru turut menatap ke arah yang ditunjuk oleh anak itu, lantas menghela napas panjang. “Apakah Crow memberitahumu mengapa kau harus melakukannya?” Lelaki klan kuning itu berdiri dan bersedekap, mencoba menggali informasi dari sudut pandang Vantablack yang masih anak-anak.

Anak klan hitam itu mendongak ke arah Ecru, lantas menunduk dengan wajah muram. “Aku tak boleh memberitahukan kepada siapa pun mengenai ini, Paman. Maafkan aku,” ucapnya lirih.

Ecru menunduk. Ada ekspresi gelap yang menghiasi wajahnya sebelum ia merangkul bocah itu lagi. Napasnya terdengar terembus panjang saat ia memikirkan hal itu. Dia tentu saja tahu alasannya. Dia hanya ingin tahu dari sudut pandang anak itu. Makhluk ungu itu adalah jawabannya. Para pembelot itu ingin menggagalkan pernikahan Reddish dan sengaja unjuk gigi untuk menyatakan jika mereka tak sudi mendukung kepemimpinan Reddish dalam pemerintahan negeri langit. Mereka ingin Reddish turun takhta dan entahlah apa lagi rencana busuk mereka.

“Kau tahu siapa yang ada di kastil merah itu, Vanta?” Ada ekspresi kecut sekaligus marah yang ditampakkan Ecru dalam ekspresinya.

Saat ini Reddish pasti sudah tak menahan-nahan diri lagi untuk menyentuh perempuan biru itu. Lelaki klan merah itu pastilah sedang dimabuk kepayang oleh aktivitas ranjang bersama istrinya dan Ecru memahami itu. Dia menyaksikan sendiri bagaimana Reddish yang selalu tampil kaku dan galak di segala situasi itu berakhir dengan wajahnya yang memerah saat membicarakan tentang maharaninya. Reddish barangkali akan menyangkal atas apa yang dirasakan hatinya, tetapi tingkah laku dan ekspresinya tak bisa mengelak.

Dari semua bayangan tentang Reddish yang sedang bersama istrinya, bayangan tentang bagaimana aura ungu yang pada akhirnya memendar ke angkasa dengan indahnya setelah lama tak terlihat, semua itu membuat Ecru mengetatkan gerahamnya kesal karena ia tak mampu menembus aura hitam Vantablack yang sedang melingkupi di sana. Ia tak mampu melihat aura ungu yang sangat ia nantikan itu.

Vantablack mendongak. “Aku tidak tahu. Memangnya, siapa, Paman?” tanyanya dengan nada polos, lantas memandangi lagi kastil merah yang saat ini ajaibnya menguarkan aura ungu alih-alih merah di matanya yang kecil.

Ecru tampak mendengus. “Reddish. Pemilik kastil ini adalah Reddish. Pemimpin kita. Pengantin yang tadi disucikan di panggung pernikahan itu,” jawabnya tegas, mengedikkan kepala ke arah samping, di mana panggung yang semula diisi banyak orang itu kini telah kosong.

Vantablack membelalak. “Ap-apa, Paman? Tuan Reddish?” tanyanya dengan bibir gemetar dan seketika tersungkur jatuh ke tanah dengan ekspresi ketakutan.

***

Napas Reddish memburu. Tubuhnya masih membungkuk di atas Azure setelah hasratnya meledak sekian kali di tubuh perempuan itu. Kedua matanya tampak melembut saat melihat bagaimana Azure juga merasakan hal yang sama dengannya. Perempuan itu memejamkan mata dengan mulutnya yang terbuka, tersengal-sengal setelah ciuman Reddish yang tiada henti pun setelah perempuan itu merasakan tubuhnya yang seolah melayang saat lelaki klan merah itu menuntaskan sesi bercinta mereka.

Azure merasakan seluruh tubuhnya seakan tak memiliki tulang. Ia tak mampu bergerak bahkan untuk sekadar menggeser tubuhnya dan menjauh dari Reddish atau untuk sekadar mengucapkan kata-kata agar Reddish pergi. Meski entah bagaimana, setelah mereka bercinta, rasa benci dan kecewa yang semula sangat erat menusuk hatinya itu sirna begitu saja.

Apa yang telah Reddish lakukan kepadanya?

Lelaki itu akhirnya mengangkat tubuhnya dan berbaring di sisi Azure. Merapat ke tubuh istrinya, memeluknya dari samping. Nuansa ruang peraduan itu masih pekat oleh pendar warna ungu yang indah, sebelum perlahan kemudian menghilang seiring tubuh keduanya yang mulai tenang.

“Terima kasih.” Reddish berbisik parau di sisi telinga Azure dan mengecup pelipis perempuan itu dengan sayang. Reddish membelai rambut biru Azure dengan gerakan ringan, menyingkirkan anak-anak rambutnya yang basah oleh keringat dan tampak berantakan, walau justru hal itu membuat Azure semakin terlihat menggoda dan manis di matanya.

Ingin sekali Azure mengumpat kesal lantas pergi dari ruangan, tetapi sepertinya, setelah proses penyucian itu, tubuh dan jiwanya mulai tak bisa diajak bekerjasama satu sama lain. Pikirannya selalu memiliki kehendak yang tak mau dituruti oleh tubuhnya. Seperti saat ini. Tubuhnya memilih pasrah dan kedua matanya tak mampu menahan godaan nikmatnya tertidur dalam perasaan puas setelah Reddish menyentuhnya.

Menanggapi ucapan Reddish itu, wajahnya malahan terasa memerah sebelum kemudian kedua matanya mengatup rapat, terbuai oleh rasa kantuk setelah kepalanya menyentuh lengan Reddish yang dengan sukarela membantali tubuhnya dan memeluknya seperti boneka.

Reddish tersenyum kecil. Azure sangat pas di pelukannya. Tubuh perempuan ini terasa memenuhi semua keinginan tubuhnya. Perempuan ini adalah pelengkap jiwanya.

Pandangan Reddish lalu tertambat pada permukaan perut Azure yang telanjang. Lelaki itu mengernyitkan kening dan perasaan waswas seketika menyergap dadanya. Azure harus segera mengandung. Mereka tak bisa hanya mengandalkan sesi kedekatan mereka untuk menyalakan warna ungu itu. Anak itu harus terwujud, dan Reddish sudah bertekad untuk mengakhiri kutukan buta warna itu dengan mengakhiri jabatannya sebagai pemimpin negeri langit.

Ia ingin anaknya hidup dalam ketenangan dan kedamaian tanpa harus menanggung kutukan sebagai pemimpin klan apalagi pemimpin negeri di kemudian hari. Ia ingin hidup bersama keluarga kecilnya tanpa ada banyak hal yang mengganggu. Ia ingin membesarkan anaknya sebagaimana anak-anak langit pada umumnya, tanpa ada tuntutan, tanpa ada keharusan menjadi yang terkuat seperti yang Reddish alami.

Lelaki itu menangkupkan selimut ke tubuh mereka, lantas mengeratkan pelukan serta mencium pipi Azure lama … dalam gerakannya yang penuh kasih dibalut keputusasaan atas harapan yang sepertinya akan sulit ia dapatkan.

Reddish memejamkan mata. Ia menyayangi perempuan ini. Ia menyayangi calon anaknya, bahkan sebelum anak itu terbentuk.

***

“Tinggalkan kami!” Jade berseru marah. Para prajurit merah yang mengantar Crow, Sky, dan Heather, si lelaki klan ungu itu tampak sedikit berjingkat karena terkejut. White terlihat memajukan langkah. Memegangi pundak Jade untuk menenangkan lelaki itu.

“Tenang, Jade. Kau tak bisa menghakimi saudaramu seorang diri meski kau adalah dewan warna.”

Jade yang masih dilingkupi amarah serta mengeluarkan aura hitam dari tangannya itu tampak tak terpengaruh oleh kalimat White.

“Aku menanggalkan jabatan dewan warnaku saat ini. Aku ingin menyelesaikan urusan ini atas nama keluarga koloni klan terlebih dahulu sebelum menyelesaikannya atas nama negeri.” Jade mengeyel. Lantas menatap tajam pada semua makhluk warna di ruangan itu, menegaskan keinginannya agar dirinya dibiarkan berdua saja bersama Crow.

White saling lempar pandang dengan dewan warna yang lain, lalu mengangkat bahu, mengembuskan napas panjang. “Baiklah. Kami akan pergi,” ucapnya. “Hanya jika kau bisa mengendalikan emosimu dan tak melukai saudaramu,” lanjutnya melepaskan usapan tangannya di bahu Jade.

Lelaki klan putih itu memimpin jalan, diikuti semua makhluk yang berjalan bederap mengekor di belakangnya. Dua prajurit di antaranya berjalan di barisan terakhir masih dengan mencekal lengan Sky dan Heather.

Melihat pintu tertutup, Jade tak membuang-buang waktu lagi dan langsung mencekal bagian depan jubah yang dikenakan Crow. Pemimpin klan hitam itu tak terkejut seolah serangan dari Jade adalah hal biasa.

“Kau mempermalukanku!” Jade menggeram. “Apa yang kaulakukan hingga kau bersikap bodoh di tengah-tengah upacara Reddish tadi? Kau sengaja ingin ditangkap, hah?” serunya tak menahan-nahan lagi.

Crow bergeming, meski tubuhnya diguncang-guncang oleh sebelah tangan Jade.

“Ya. Aku ingin bertemu denganmu. Hanya ini satu-satunya cara.” Crow menjawab tegas. Ekspresi wajahnya tak berubah.

“Kau gila!” geramnya sembari menyentakkan tangannya saat melepaskan jubah Crow. “Kau akan mendapat hukuman setelah ini. Hukuman yang berat. Karena kau telah ingkar pada kepemimpinan Reddish,” ancamnya dengan wajah merah menahan kesal.

“Kaupikir dirimu bagaimana, heh? Kau tak ingkar? Kau hormat pada anak ingusan itu? Aku yang paling tahu bagaimana dirimu.” Crow berucap tenang membuat Jade mengusap wajahnya dengan gerakan kasar.

Crow bersedekap, mengawasi bagaimana saudaranya itu terlihat gusar. “Namun sepertinya kau memang belum tahu banyak tentang Reddish? Tentang kedua matanya yang buta?” tanyanya dengan mengangkat bahu.

Jade menoleh. Menatap Crow dengan gerahamnya yang saling beradu. “Kau tak sedang membual hanya agar bisa ke ruangan ini, bukan?” tanyanya dengan nada curiga. “Aku tahu akal licikmu,” imbuhnya dengan nada memuji sekaligus merendahkan yang membuat Crow terkekeh.

“Tentu saja tidak. Kaupikir bagaimana Reddish bisa menemukan perempuan klan biru itu? Bagaimana dia bisa membunuh makhluk-makhluk pengubah warna yang menghampirinya? Tentu saja itu karena matanya yang buta.”

“Kau tahu semuanya.” Jade menukas cepat. “Aku jadi bertanya-tanya jangan-jangan semua ini ulahmu. Kau yang menyembunyikan perempuan biru itu hingga kami harus bersusah payah mencarinya tanpa harapan?” tanyanya penuh tuduhan.

“Kami?” Terdengar suara tawa Crow memenuhi ruangan. “Wah, kau ternyata sudah begitu akrab dengan kastil dewan warna ini sehingga menggabungkan dirimu dengan Reddish dengan sebutan kami? Bukan main ….” Crow mengusap jenggot panjangnya.

Napas Jade memburu.

Orang tua kolot di depannya ini benar-benar!

“Aku hanya ingin memintamu satu hal saja untuk rapat besar pemimpin klan esok hari.” Crow berucap serius kemudian.

Jade sungguh tak tahu lagi dengan pemikiran makhluk klan hitam di depannya ini. Ia lalu memejam sejenak mengusir amarah, lalu membuka mata seiring embusan napas yang berusaha keras ia netralkan. “Apa yang kauinginkan?”

***

Dunia manusia gempar! Kemunculan pelangi dengan bentuknya yang besar dan cerah setelah sekian lama tak memunculkan diri itu membuat semua orang terpana dan menyempatkan waktu untuk mengagumi keindahannya dengan mendongak serta tak henti-henti memuji. Sebagian dari mereka bahkan tak menyia-nyiakan kesempatan dengan mengangkat ponsel tinggi-tinggi lantas mengambil potret sebaik yang mereka bisa untuk mengambil panorama indah itu. meng-upload gambarnya ke berbagai sosial media hingga dalam waktu sepersekian detik, fenomena munculnya pelangi itu menjadi berita utama di banyak saluran di seluruh dunia.

Pelangi hanya soal hujan dan cahaya, kata sebagian orang. Namun, sebagian lagi percaya jika kemunculan pelangi itu ada hubungannya dengan makhluk-makhluk mitologi yang sedang berpesta di langit sana. Lagipula, beberapa bulan terakhir dunia dilanda musim kering, tak ada hujan, tak ada awan mendung dan tak memungkinkan pelangi untuk muncul. Namun kal ini keadaannya sungguh ajaib.

Orang-orang bersama-sama mengatupkan tangan dan berdoa, semoga munculnya pelangi di tengah-tengah musim panas ini menjadi pertanda baik jika sebentar lagi akan turun hujan. Hujan dengan begitu banyak air dan pelangi yang mengangkasa di banyak langit belahan dunia.

Flavia ada di salah satunya. Perempuan itu berdiri di belakang dinding kaca. Memegangi permukaan kacanya dengan tatapan tak menentu. Ia hanya terdiam dengan benaknya yang masih saja mengingat Carissa. Keanehan demi keanehan ini entah bagaimana terasa begitu melekat dengan kepergian teman kerjanya itu. Baginya. Entah dengan orang lain yang sama sekali tak mengenal Carissa.

Flavia mengembuskan napas panjang. Di saat ia membalikkan badan, kedua matanya membelalak dengan sebelah alis terangkat saat melihat para pegawai yang berlarian berkerumun menuju ruang staf. Penasaran dengan apa yang terjadi, Flavia pun melangkah mendekat untuk mengetahui apa yang terjadi.

Di ruangan kecil itu, televisi layar datar yang berukuran cukup besar dan dipasang di dinding ruangan sedang menyala. Menayangkan sebuah saluran berita yang membuat semua pegawai di tempat itu hening dan khidmat mendengarkan.

Tampil di acara televisi  itu sebuah taman di sudut kota dengan warnanya yang abu-abu.

Sepertinya sebuah tampilan cctv.

Ada seorang perempuan yang terduduk di sana. Diperlihatkan jika si perempuan setiap malam menghabiskn waktu di sana, hanya terdiam di kursi taman, dan kadangkala berjongkok di sisi sebuah rumpun bunga yang tumbuh subur dalam sepetak tanah yang ada di taman itu. Semuanya tampak biasa saja hingga pemandangan itu terjadi. Si perempuan itu mengusap-usapkan tangannya dengan penuh kasih ke kelopak-kelopak bunga seperti sedang membelai binatang peliharaan yang begitu ia sayangi.

Yang tampil selanjutnya di acara berita itu adalah perbandingan taman kota sebelumnya yang tampak indah dengan penampakan taman kota dalam potret nyata akhir-akhir ini di mana taman tersebut tak lagi memiliki keindahan seperti sebelumnya yang begitu menakjubkan, dilanjutkan dengan tampilan cctv yang memperlihatkan jika si perempuan yang telah beberapa lama tak mengunjungi taman itu seiring taman yang tak terawat. Tayangan berpindah lagi ke cctv yang menampilkan sosok perempuan dalam jarak dekat yang diperbesar. Sosok itu tak begitu jelas dan buram, meski begitu, saat pembawa berita berkata jika sosok perempuan itu diduga adalah salah seorang pegawai pramuniaga di salah satu toko di kota ini, semua pegawai yang menyaksikan acara berita itu seketika menoleh ke arah diri mereka sendiri saat menemukan jika seragam pakaian yang dikenakan oleh perempuan misterius itu ternyata sama dengan yang mereka kenakan. Terdengar riuh sejenak saat masing-masing dari mereka saling menduga siapa pelakunya.

Flavia terpaku dengan wajah pucat. Seolah ia sedang dihadapkan pada jawaban dari pertanyaan yang tak ditemukannya selama ini yang begitu mengejutkannya.

Semua pegawai di sana memandangi Flavia kemudian, dengan tatapan penuh tanya saat mungkin saja isi pikiran mereka sama dengan pemikiran Flavia saat ini.

Pegawai yang menghilang itu. Perempuan misterius itu adalah ….

“Apa yang kalian lakukan di tempat ini? Toserba hampir waktunya buka dan kalian harus bersiap-siap.” Sang bos berkata ketus sambil menampakkan wajah dingin saat memerintah.

Perhatian semua pegawai lantas tertuju kepada lelaki itu. Mereka mengangguk hormat dan masing-masing mengucapkan permintaan maaf sebelum membubarkan diri dari kerumunan itu, melupakan sejenak urusan perempuan misterius yang sempat membuat jantung mereka berdegup cepat oleh rasa penasaran yang tak terkendali.

Flavia turut melangkah keluar ruangan, sesekali kepalanya tampak menoleh ke arah dinding kaca yang saat itu masih membentangkan pemandangan langit biru cerah dengan pelangi berukuran besar yang membentang di cakrawala.

***

Ecru berlutut, dengan sebelah kakinya yang menekuk. Kedua tangannya memegangi punggung Vantablack yang saat itu masih tersungkur di tanah.

“Apa … apa yang telah kulakukan kepada tuan Reddish, Paman? Apakah aku berbuat kesalahan besar? Orangtuaku berkata jika tuan Reddish tak pernah tanggung-tanggung dalam memberikan hukumannya kepada makhluk warna yang mencoba melawannya. Tapi … tapi aku juga tak bisa melawan tuan Crow. Sebab … sebab di depan tuan Crow, tidak hanya aku yang akan mendapatkan hukuman. Tapi … tapi juga kedua orangtuaku,” ucap Vantablack dalam suaranya yang lirih dengan pandangannya yang lurus menatap ke tanah. Kedua matanya membelalak penuh teror yang membuat wajah mungilnya menjadi pias.

Ecru menunduk, menatap warna hitam nan sangat gelap yang tampak meringkuk kecil itu. sebelah tangan Ecru mengusap punggung anak itu dan membimbingnya agar terduduk.

“Ini bukan salahmu, kau tak perlu takut,” ucap Ecru kemudian. Vantablack masih menunduk. Tak berani menatap lelaki klan kuning yang ia sebut ‘paman’ itu.

“Kau aman saat ini karena telah bersamaku.” Ecru menepuk-nepuk lembut pundak anak itu untuk menenangkan. “Dan sepertinya, Reddish tak akan memarahimu kali ini … jika kau mau menuruti perintahnya,” tambahnya dengan nada membujuk disertai ancaman lembut yang seketika membuat Vantablack mendongak.

“Benarkah, Paman?” tanyanya dengan wajah cerah saat melihat Ecru tersenyum ke arahnya dengan tatapan misterius yang tak bisa dimengerti oleh mata polos anak itu.

 

Bersambung ….

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

The Red Prince | Part 21 : Aura Ungu

red prince cover - CopyRed 3

13 votes, average: 1.00 out of 1 (13 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Perempuan klan merah itu tampak histeris dan memanggil-manggil nama lelaki makhluk ungu itu hingga suaranya serak.

“Carmine! Carmine!”

Suasana ricuh dari ruang terbuka dari para makhluk yang berhamburan dan berusaha terbang untuk menyelamatkan diri dari suara dentuman yang mengerikan itu beku sejenak. Candy dengan ekspresi wajahnya yang shock itu berlari menuruni tangga dengan cepat, menghampiri lelaki yang saat ini tertelungkup di lantai.

Kedua mata Reddish menyipit dengan ekspresi gelap, sebelah lengannya merangkul Azure rapat dengan gerakan posesif yang membuat perempuan itu terkesiap. Aura Reddish menyala pekat dari tubuhnya, siap menyerang, begitu juga dengan Azure yang dipenuhi emosi bergejolak di dadanya. Aura keduanya kembali menguar pekat, bersatu menampakkan warna ungu cerah yang sayangnya tak siapa pun memperhatikannya. Aura ungu itu terbang mengangkasa, berpendar naik semakin tinggi seolah tertarik oleh langit yang saat ini membentang kelabu di atas negeri itu.

Di tengah nuansa tegang penuh penantian mencekam, di sela tangisan Candy yang terdengar parau itu, tiba-tiba saja cahaya putih tampak bersinar terang, menyilaukan mata para makhluk yang sedang berada di sana termasuk Reddish dan Azure. Membuat mereka semua harus menutup kedua mata dengan lengan, tak mampu menahan kuatnya cahaya putih yang amat terang itu. Lalu, tak beberapa lama setelahnya, sinar itu meredup, berganti dengan sorot sinar berwarna-warni dari arah pelangi semesta yang gagah menaungi langit.

Sinar-sinar itu merambat perlahan dari ujung jauh di utara, bergerak perlahan-lahan memenuhi setiap garis warna pelangi semesta tersebut. Dan saat warna-warna cerah itu hampir memenuhi separuh dari setengah bentuk lingkaran pelangi, terkejutlah semuanya ketika warna ungu muncul di sana. Makhluk-makhluk langit itu terpana dengan perasaan tak menentu yang membuat kening mereka mengernyit dalam lantas menoleh lagi ke arah pusat ruangan.

Lelaki klan ungu yang semula tampak anteng itu kini mulai bergerak, tubuhnya gemetar dengan pendar aura ungu yang sangat tipis melingkupi tubuhnya. Crow yang semula hampir putus asa itu turut ternganga melihat semua kejadian itu.

Lelaki ungu itu bangkit! Dia telah membangkitkan pelangi semesta!

Pandangan semua mata lantas tertuju ke arah Reddish yang kala itu tengah merangkul rapat pundak Azure dengan sebelah tangannya.

Tak ada warna ungu yang memendar di antara keduanya!

Tampak ekspresi tak percaya berbalut keterkejutan yang menampar kesadaran semua makhluk di tempat itu.

“Kalian lihat? Makhluk ungu ini telah membangkitkan pelangi semesta.” Crow berseru, mengalihkan perhatian semua makhluk termasuk dewan warna yang saat ini sedang menelaah satu demi satu hal yang saat ini ada di depan mereka.

“Reddish dan Azure tidak mampu mengeluarkan aura ungu mereka karena tentu saja kalah oleh aura makhluk ungu ini,” imbuhnya lagi dengan suara lantang nan penuh keyakinan. Menatap tajam pada Reddish yang saat ini terlihat menahan marah dan hampir kehilangan kendali.

White menoleh ke arah Reddish dan Azure yang saat ini tampak begitu dekat dengan tubuh keduanya yang saling merapat.

Reddish mengeluarkan aura merahnya yang panas, sementara Azure yang tampak shock dan tak tahu harus berbuat apa itu hanya bergeming, diam, dengan aura birunya yang dingin penuh kebingungan. Merah dan biru. Kenapa aura mereka tidak bisa menyatu setelah disucikan? Bukankah tadi sempat muncul warna ungu dari genggaman tangan mereka?

“Carmine! Inikah kau Carmine?” Candy yang bersimpuh dan memangku kepala lelaki klan ungu itu terisak histeris dengan suara pilu yang tak dapat dimengerti semua orang.

“Carmine? Apa yang kau maksud jika namanya adalah Carmine, Candy? Carmine adalah warna koloniku. Kenapa kau menyebutnya Carmine?” Reddish tampak menggeram dengan kalimatnya yang sengaja diucapkan lambat-lambat itu.

Crow tergelak melihat bagaimana Reddish bersuara menahan murka. “Ah, rupanya kau tak tahu? Bibimu itu begitu tergila-gila dengan kekasihnya dahulu sehingga menganggap setiap orang asing adalah Carmine, kekasihnya yang telah hilang. Ah, tak kusangka dia benar-benar gila sekarang dengan menganggap lelaki klan ungu ini sebagai kekasihnya,” ucap Crow tanpa perasaan dengan gerak tubuh dan ekspresi berpura-pura iba yang membuat Candy mendongak.

“Lelaki ini bukan anggota klan ungu. Dia bukan klan ungu!” Candy berteriak putus asa.

Lelaki klan ungu itu berusaha untuk terduduk dari pangkuan Candy. Menopang tubuhnya dengan susah payah dibantu lengan-lengan Candy yang membantunya bangkit. Napas lelaki itu terengah, tampak susah payah seolah udara tak mau berbaik hati mengisi rongga paru-parunya yang telah lama tak teraliri udara segar.

Lelaki klan ungu itu menoleh perlahan ke arah Candy dengan kening mengernyit. Bibirnya yang kering dengan napasnya yang tersengal itu terlihat begitu menyakitkan sehingga suaranya tak kunjung keluar dari tenggorokannya.

“Aku … bukan … Carmine.” Lelaki itu terbatuk-batuk kemudian dengan suaranya yang menyedihkan. Dari mulutnya yang kering itu, tepercik darah ungu yang bercecer di sebelah tangannya yang digunakan untuk melap bibirnya.

Candy ternganga. Kedua matanya memindai dari ujung kepala hingga ujung kaki lelaki itu yang saat ini duduk dengan sebelah tangannya yang menopang tubuh membuat air mata tampak tak mau berhenti mengalir ke pipi Candy.

Entah bagaimana, Candy merasa begitu familier dengan lelaki ini. Bentuk rambut, wajah, warna iris, dan posisi duduk lelaki itu yang sedang bersila setelah bangkit dari pangkuannya, membuatnya teringat lagi dengan kenangan-kenangan bahagia yang sekarang ini membuatnya terlihat begitu menyedihkan.

“Kau akan dihukum dengan hukuman paling berat karena telah mempermainkan penguasa langit dengan menangkap dan membuat makhluk langit berada dalam bahaya sekaligus membahayakan semua koloni.” Raven berkata tegas pada saudara sepupunya itu.

Crow seperti telah kebal dengan ancaman-ancaman yang tertuju padanya. Lelaki klan hitam itu justru tertawa kembali. “Kau tak akan bisa menghukumku. Penguasa langit tidak akan menghukum makhluk yang telah menyalakan kembali pelangi semesta. Aku yang telah menghidupkan makhluk ungu ini, jadi aku termasuk yang berjasa dalam pembangkitan warna pelangi semesta kali ini,” ujarnya pongah.

“Dan kau, Azure. Apakah kau telah menjadi bodoh dan kehilangan harga dirimu dengan mau dipermalukan oleh Reddish di pernikahan ini? Lihatlah. Tak ada semakhluk pun dengan aura biru yang saat ini turut merayakan pernikahanmu. Dan lagi ….” Sky bersedekap sembari memajukan langkah dengan gerak tubuhnya yang penuh keangkuhan. “Aku dan segenap koloni klan biru, tak akan rela jika kau, putra pemimpin klan kami, diperistri oleh makhluk tak sempurna yang mengaku-ngaku akan mengabadikan kejayaan negeri langit.” Sky terkekeh mengejek. “Tak sepantasnya kau … Reddish, menyentuhkan tanganmu di tubuh saudariku! Lihatlah wahai makhluk langit! Pemimpin kalian adalah makhluk buta warna! Dia selama ini menggunakan alat bantu di matanya!” Sky mengangkat tangannya saat berbicara, menarik perhatian.

Lagi-lagi, para makhluk aneka warna itu menatap ke arah Reddish. Namun, seketika menunduk, tak berani menatap pemimpin mereka meski ucapan makhluk klan biru itu terdengar mengejutkan hati dan membuat siapa saja begitu ingin tahu.

Azure mendongak, menatap Reddish yang saat itu begitu dekat dengannya dan sedang menatap ke depan. Kedua mata perempuan itu berkaca-kaca, bibirnya bergetar, kelu, penuh ketidakpercayaan.

“Kemari, Azure.” Sky memusatkan perhatiannya kepada perempuan biru itu. “Kau tak pantas berada di sana,” lanjutnya dengan tatapan tajam.

Reddish mencengkeram bahu Azure menahan kemarahannya, membuat Azure menitikkan air mata.

“Apa maksud semua ini, Reddish?”

“Reddish tak sempat mencari tahu keberadaan anggota klan ungu ini karena dia tentu saja terobsesi untuk menguasai klan biru, meneruskan dendam ayahnya dan ingin membuktikan bahwa tak ada klan mana pun yang bisa menandingi klan merah. Kalian lihat? Masih ada makhluk klan ungu di sini sementara Reddish membutakan diri dan mengharuskan dirinya menikahi perempuan kami.” Sky berkata lantang.

Azure meronta, ingin melepaskan diri dari rengkuhan lengan Reddis di pundaknya.

“Lepaskan aku.” Azure berucap lemah, membuat dewan warna yang ada di kiri dan kanan mereka menoleh.

Kali ini Reddish membiarkan perempuan itu terlepas dari lengannya. Lelaki itu tampak memejam sejenak sebelum kembali membuka matanya dengan tatapan tajam ke arah Sky.

“Rupanya kau begitu pengertian dengan mengumumkan hal itu dan mendahuluiku berbicara.” Reddish menyipitkan mata penuh perhitungan ke arah Sky, Crow, dan lelaki klan ungu yang saat ini masih terduduk di lantai dengan Candy yang masih tergugu-gugu di sampingnya.

Sky mengangkat alis, tak mengerti dengan apa yang diucapkan oleh Reddish.

Reddish memajukan tubuhnya satu jangkahan. “Aku memang hendak memberitahukan hal ini kepada semua klanku dan kepada dewan warna yang ada di sini,” ucapnya dingin membuat semua makhluk terangkat pandangannya dan menatapnya dengan penuh ingin tahu.

“Aku, Reddish, putra mahkota dari Mahogany, pemimpin klan merah sekaligus pemimpin negeri langit terdahulu, telah melaksanakan tugas terakhirku untuk menjalani pernikahan campuran dengan Azure, putri Yale dari klan biru sebagai wujud pengabdianku untuk membangkitkan kembali pelangi semesta.” Reddish menengadahkan pandangannya, menatap ke arah pelangi semesta yang kini menyala terang dengan warna-warninya yang indah, diikuti semua makhluk yang turut menengadah, dengan perasaan mereka yang berdebar penuh antisipasi, menanti ucapan Reddish sambil menelan ludah.

“Aku dilahirkan dengan kedua mataku yang buta, tapi berkat pemilihan yang terkuat dari semua klan, akhirnya akulah yang berdiri di sini, memimpin kalian semua selama ini. Oleh karena itu, sebagai pemimpin dengan kekuasaan mutlak yang tak mampu dianulir bahkan oleh dewan warna sekalipun, mulai detik ini, aku memutuskan untuk mengubah peraturan pemilihan pemimpin negeri.”

Suara riuh ramai terdengar. Semua berbisik-bisik dengan rasa tak percaya dan penuh debar kengerian akan apa yang akan diucapkan oleh Reddish selanjutnya. Reddish mengangkat tangannya untuk membungkam dengungan suara para makhluk itu, hingga semuanya diam tak berani berkata-kata lagi.

“Perubahan peraturan itu adalah … pemimpin negeri langit yang akan terpilih adalah dari dia yang paling kuat … dan paling sempurna,” lanjutnya menatap tajam lagi pada Sky yang seketika itu menoleh ke arah Crow yang juga mengangkat sebelah alisnya begitu mendengar ucapan Reddish itu.

Suara shock tak tertahan terlontar dari semua mulut para makhluk.

“Dan aku memintamu … anggota klan biru, untuk kembali menempati kastil biru bersama dengan seluruh kolonimu-“

“Tidak bisa, Reddish.”

Perkataan Reddish terinterupsi oleh Sky yang tentu saja menolak.

“Aku sedang memerintahmu. Kau tak bisa menolak perintah dari pemimpinmu.” Reddish berkata dingin, mengabaikan tatapan tak terbaca dari Azure yang sejak tadi memandanginya.

Sky mendengus dan hanya bisa menampakkan ekspresi geramnya tanpa bisa berucap lagi.

Reddish kembali mengedarkan pandangan ke arah semua makhluk warna yang membentang tumpah ruah di hadapannya.

“Aku ingin semua makhluk berada di negeri ini, karena aku, mulai detik ini, menyatakan untuk mundur dari kepemimpinan negeri langit dan menyerahkan jabatan pemimpin sementara kepada dewan warna sebelum ada pemilihan ulang pemimpin negeri langit yang selanjutnya.” Reddish berucap menyulut kehebohan.

“Reddish!” Jade yang terlebih dahulu membuka suara setelah beberapa lama para dewan warna itu hanya terdiam menilai situasi.

“Hei. Kau gila?” Ecru yang berada di barisan paling depan itu hendak menyerbu ke arah Reddish, tetapi ditahan oleh para pengawal yang berusaha menenangkan dirinya.

“Tuan Reddish. Perkara pemimpin negeri ini bukan hal yang main-main. Anda tak bisa seenaknya mengubah kebijakan mentang-mentang Anda adalah pengesah peraturan mutlak.” Shamrock mendadak berucap lantang dari tempatnya berdiri. Ekspresinya tampak tak habis pikir dengan keterkejutan nyata yang membuatnya ternganga.

“Kami menolak Anda mundur, Tuan.” Fuschia dengan sikap menjuranya berkata tegas.

“Klan kami juga menolak.” Mocha, pemimpin klan cokelat, turut memajukan langkah dan menyatakan dukungannya.

“Kami yang paling tahu, siapa yang pantas menjadi pemimpin kami,” Sandstone, mewakili makhluk oranye, berseru pula memberi sumbangan suara, menatap tajam pada Sky.

“Kau tak bisa mengambil keputusan seenaknya, Reddish. Kita harus membicarakannya dalam rapat besar pemimpin klan.” Alabaster berkata menengahi, memandangi Reddish sejenak, kemudian memandang ke lautan makhluk warna yang ada di sana.

“Kalian masih belum menyelesaikan prosesi penyucian pernikahan kali ini.” Lelaki klan putih itu memiringkan tubuhnya menghadap Azure. “Nona Azure, Anda belum mengucapkan ikrar Anda. Mungkin itu yang membuat warna kalian berdua tiba-tiba tak bisa menyatu-“

“Tidak perlu.” Reddish menukas, lantas menoleh perlahan ke arah Azure. Menatap bagaimana perempuan itu kini memandangnya dengan tatapan skeptis. “Mengucapkan atau tidak mengucapkan ikrar, Azure tetaplah istriku karena telah ada prosesi penyucian warna oleh dewan warna. Dia adalah maharaniku dan itu tak bisa disangkal,” ucapnya dingin menatap Azure yang saat ini berusaha melangkah menjauh darinya.

Azure menggeleng tipis. Hatinya terasa hancur sekian kali hingga perasaannya kini remuk redam. Air mata berlinang menderas di pipinya dan itu masih tak bisa meredakan kepedihan mendalam di dadanya yang terasa kejam menusuk hati.

Bagaimana mungkin lelaki pemimpin klan merah ini menipunya? Bagaimana bisa masih ada makhluk ungu yang bertahan di tengah kekeraskepalaan Reddish yang berusaha menikahinya? Bagaimana bisa ini semua terjadi setelah hati Azure … terikat dengan Reddish?

Azure membalas tatapan dingin Reddish yang menghunuskan kemarahan diiringi langkah kakinya yang penuh intimidasi ke arahnya.

“Aku … aku tidak-“

Reddish menyambar cepat tubuh Azure, membawa perempuan itu dalam gendongan lantas menerbangkan tubuhnya.

“Aku akan datang pada rapat besar pemimpin klan esok pagi.” Reddish memandangi lagi orang-orang yang tadi bersikukuh mendukungnya. “Kuharap kalian memikirkan matang-matang apa yang akan kalian putuskan sebelum menyesal,” imbuhnya lagi dengan nada penuh penekanan berbalut ancaman lantas menatap tajam pada Sky, Crow, dan makhluk klan ungu itu.

“Penjarakan mereka di kastil putih, Jade,” perintahnya lagi sebelum kemudian terbang menuju kastil miliknya dengan membawa Azure.

Jade dan dewan warna lainnya hanya mengembuskan napas panjang atas keputusan Reddish itu. Sungguh tak disangka jika prosesi penyucian pernikahan itu akan berujung seperti ini. Langit negeri berubah cerah, pelangi semesta menyala terang, tetapi malahan nuansa tegang yang menyelubungi hati mereka saat ini.

“Upacara penyucian pernikahan telah selesai. Semua anggota warna diperbolehkan meninggalkan tempat.” Raven berseru kemudian, diikuti pegerakan para makhuk yang mengangkasa meninggalkan ruang terbuka itu, terkecuali Sky, Crow, dan makhluk ungu tersebut yang langsung dicekal oleh prajurit hitam dan putih yang mencengkeram lengan mereka di kiri dan kanan.

Ruang terbuka itu perlahan sepi, ditinggal pergi oleh para makhluk warna yang melenggang pergi dengan nuansa kelabu itu. Candy tak bergerak. Perempuan klan merah itu masih bersimpuh dengan kepala menunduk. Ekspresinya tampak terluka hingga wajahnya pias.

Ecru menatap pemandangan Candy yang terduduk lemas itu dengan kening mengernyit penuh rasa kasihan. Namun, belum sempat ia melangkah mendekat, dari tempat Sky dan Crow tadi berdiri, ia melihat bayangan makhluk gelap yang tak asing di matanya.

Mata Ecru menyipit saat berusaha mengenali penampakan bayangan itu. Lalu, saat pengetahuan tentang siapa makhluk tersebut masuk ke dalam benaknya, sontak Ecru ternganga dengan ekspresi terkejutnya.

“Vantablack!” Ecru berseru memanggil.

***

Reddish membawa Azure ke dalam ruang peraduannya. Azure yang berusaha turun dan meronta terus menerus dari gendongan Reddish itu pada akhirnya mendapat kesempatan untuk bebas setelah lelaki klan merah itu menurunkannya dari gendongan.

Mereka berdiri berhadapan dengan ekspresi yang saling bertolak belakang. Reddish yang begitu membara dengan aura merahnya yang panas, sementara Azure dengan ekspresi rapuhnya yang mendinginkan ruangan.

Azure seakan kehilangan kekuatannya untuk melawan dan justru kian menangis saat melihat lelaki klan merah itu di depannya. Hatinya terlalu sakit dan tubuhnya terasa lemas mengingat bagaimana dia tertipu oleh makhluk laki-laki itu untuk kesekian kali.

“Kaubilang aku boleh menyentuhmu setelah menikah.” Reddish masih memasang ekspresi dingin di wajahnya saat berucap.

Azure memundurkan langkah membuat Reddish menyipitkan matanya dengan tatapan menilai. “Aku … aku belum mengucapkan ikrarku. Kau … kau tak berhak menyentuhku,” ucap perempuan itu dengan ekspresi terluka. Kedua lengannya erat memeluk tubuh, menyatakan usahanya untuk melindungi diri yang tentu saja sia-sia.

Reddish melangkah cepat dan mendesak Azure hingga perempuan itu menabrak dinding merah di belakangnya. Kedua tangan Reddish memerangkap Azure di sisi kiri dan kanannya, menatap perempuan itu lekat.

Ada ekspresi tersinggung yang pekat ditampilkan Reddish dalam ekspresinya. Dari semua kemungkinan yang dipikirkannya di hari-hari lalu, dia tak menyangka jika serangan yang datang di hari pernikahannya adalah kemunculan makhluk ungu yang tentu saja mengejutkannya berikut pernyataan lelaki klan biru tadi yang entah bagaimana bisa tahu rahasia besar menyangkut kedua matanya. Namun, pikiran Reddish yang cerdas itu tentu saja masih bergumul dengan sejuta tanya dan antisipasi tentang semua hal yang datang bertubi-tubi itu. Dan itu akan diurusnya nanti. Sekarang, Reddish benar-benar tak bisa mengalihkan perhatiannya lagi selain kepada perempuan biru di hadapannya ini.

Reddish mendekatkan wajahnya, mengembuskan napas panasnya ke sisi wajah Azure yang penuh air mata.

“Aku tak pernah menerima pembatalan kata-kata, Azure.” Reddish menggesekkan bibirnya ke bibir Azure, senyumnya tampak menyeringai kejam, menampakkan ekspresi gelap yang belum ditunjukkannya kepada perempuan itu. “Aku tak peduli kau mengucapkan ikrar atau tidak, Perempuan. Kau telah sah menjadi milikku dan tak akan pernah bisa lepas lagi.”

Reddish melumat bibir Azure tanpa ampun. Tak memberi kesempatan pada perempuan itu untuk menghindar. Sebelah tangan Reddish menelusup ke sisi leher Azure dan menekan kepalanya semakin mendekat ke arahnya, membuat lelaki itu semakin menggila dengan ciumannya yang dalam dan sensual, menyesap, menggigit dan menguasai ciuman panas itu tanpa ampun. Sebelah tangan Reddish yang lain memeluk erat tubuh Azure dengan usapan tangannya yang ahli menelusuri punggung dalam gerakan ringan nan menggoda.

Di tengah kedua matanya yang berkabut, dimabuk oleh sensasi panas berkat kedekatan intimnya dengan Azure itu, Reddish melebarkan mata dan tanpa sadar melepaskan ciumannya demi melihat selubung warna yang melingkupi mereka berdua.

Azure yang hampir limbung memanfaatkan kesempatan itu untuk menarik napas dalam-dalam dan mencengkeram trench coat milik Reddish untuk berpegangan.

“Kau melihatnya?” Reddish mengangkat tangannya ke udara dan menguarkan aura merah miliknya hingga makin pekatlah warna ungu yang melingkupi mereka berdua. Azure yang saat itu masih mengatur napas seketika mendongak dan melihat jika wajah Reddish kini tampak bekerlipan oleh warna ungu yang cerah nan indah.

Sontak Azure menunduk dan melihat dirinya sendiri, lantas terkejut pula saat warna ungu itu juga melingkupi dirinya.

“Aura kita … menyatu?” Azure turut mengangkat tangannya dengan wajah merona. “Tapi … tapi kenapa makkhluk-makhluk lainnya tak dapat melihat warna ini? Apakah … apakah hanya kita berdua yang bisa melihatnya?”

Melepas ketegangan serta kebencian yang sempat merecoki hatinya, Azure melebarkan mata dengan kelegaan yang entah bagaimana begitu kurang ajar masuk ke hatinya.

Apakah ini artinya pernikahan itu benar-benar berhasil? Apa yang sebenarnya terjadi ?

Reddish mengetatkan gerahamnya melihat ekspresi Azure yang ternganga dengan wajah merona itu. Tanpa menunggu lagi, lelaki itu mengangkat dengan entengnya tubuh Azure ke dalam gendongan lantas berkata dengan kalimatnya yang penuh godaan.

“Kalau begitu … kita tak punya banyak waktu untuk menunda lagi. Kita harus segera menciptakan makhluk ungu itu untuk menjaga agar pelangi semesta tetap menyala, bukan? Bukankah bekerja berdua akan lebih memberikan hasil yang maksimal ketimbang mengandalkan makhluk ungu sialan yang lemah itu?”

Reddish melangkah cepat membuat tubuh Azure terayun di dalam rengkuhan tubuh Reddish yang memeluknya rapat.

“Kau … mau apa?” Azure bertanya dengan wajahnya yang memucat saat melihat jika langkah lelaki itu semakin dekat ke arah ranjang.

Reddish tak menjawab pertanyaan retorik itu dan hanya mengangkat sebelah bibir dalam senyuman yang memperlihatkan lesung pipitnya yang manis. Diletakkannya perlahan-lahan Azure ke peraduan. Saat perempuan itu hendak meloncat dengan bersegera untuk duduk, Reddish memasang tubuhnya cepat, membungkuk di atas Azure hingga mau tak mau perempuan itu berbaring kembali.

Reddish menumpukan tubuhnya dengan kedua tangan, mendekatkan wajahnya ke wajah Azure hingga napas mereka saling beradu satu sama lain.

“Aku mau kau, Azure. Aku mau kau menjadi milikku seutuhnya,” bisiknya dengan sedikit menempelkan bibirnya ke sisi telinga perempuan biru itu.

Azure memejam merasakan dadanya bedebar kencang beriringan dengan tubuhnya yang mendingin diterpa kegugupan yang turut mengalirkan nuansa panas ke seluruh tubuh.

Merasakan jika tubuh Azure sedikit gemetar dan menyambut sentuhannya, Reddish mulai menggeserkan bibirnya dan menciumi pipi Azure dengan lembut, mengecupi rahang, dan mencium mesra bibir perempuan itu sebelum melumatnya dengan penuh perasaan selama beberapa waktu.

Azure tak tahu apa yang sedang terjadi dengan dirinya, karena seolah anggota tubuhnya begerak sendiri, kedua tangan Azure secara alami merangkul leher Reddish hingga semakin pekatlah aura merah yang memendar dari tubuh lelaki itu. Kedua kaki Azure bergerak, memberi keleluasaan kepada Reddish dan Reddish tak membuang-buang waktu lagi untuk segera menempatkan diri.

“Azure ….” Reddish berbisik dengan suaranya yang serak saat merasakan hasratnya yang berkobar berkat sentuhan tangan dingin Azure di leher dan bagian belakang kepalanya.

Reddish tahu perempuan itu telah hanyut dalam sentuhannya yang sangat intim. Kedua mata Azure memejam, keningnya tampak mengernyit dalam gerakan bibir dan lidahnya yang polos saat menyambut Reddish yang semakin memperdalam gerakan-gerakan bibir dan lidahnya yang lihai di mulut Azure.

Sebelah tangan Reddish mulai bergerak melepas jas dan seluruh pakaian berwarna merah ketat yang menempel erat pada tubuhnya dalam sekali sentuhan, membuat Azure membuka tipis kedua matanya yang terlingkupi aura biru nan penuh hasrat dengan wajahnya yang merona melihat bagaimana kekar dan kokohnya tubuh Reddish.

Lelaki merah ini …

Azure sungguh tak tahu lagi dengan perasaan tak karuan yang saat ini mengembang di dadanya. Dia yakin jika Reddish saat ini hanya sedang terbakar oleh hasrat kelelakiannya yang tak terbendung begitu mereka berdua disahkan oleh ikatan pernikahan. Azure sungguh tak ingin tertipu lagi oleh keadaan yang memberinya harapan. Hatinya yang telah lama ia tata dan telah sempurna mengabaikan perasaan itu tak ingin kecewa karena kebodohannya sendiri. Karena bahkan di saat Azure mulai berpasrah pada apa yang harus dihadapinya dan menyerahkan hatinya, dia harus kembali ditampar oleh kenyataan jika ternyata tidak seharusnya pernikahan ini terjadi karena masih ada makhluk ungu di luar sana yang masih bertahan?

Di tengah-tengah pemikiran yang bertubi-tubi membebani jiwanya, Azure terkesiap saat merasakan jika saat ini gaun yang tadi ia kenakan telah terambil dari tubuhnya hingga sekarang tak ada lagi sebenang kain pun yang menghalangi tubuh Reddish yang telah berada di posisinya. Kedua mata Azure mengatup kembali saat melihat jika Reddish sedang memandanginya begitu dekat dengan tatapan matanya yang dalam. Di sisi lain, lelaki itu seolah tak perlu meminta izin lagi saat berusaha memenuhi tubuh Azure dengan dirinya.

“Aku … tak akan meminta maaf … untuk ini.” Reddish berucap serak saat tubuhnya mulai bergerak. Bibirnya kembali mencecap bibir Azure dalam ciumannya yang panas, melingkupi tubuh Azure dengan kenikmatan tak tertolak yang memberi perempuan itu pengalaman luar biasa saat seluruh dirinya penuh sesak oleh Reddish yang tak mau berhenti mencumbu dan menyatukan diri mereka dalam kehangatan penuh aura ungu yang tak disadari oleh keduanya.

Aura ungu itu berpendaran kuat di sekitar peraduan, bekerlipan memenuhi ruangan, lantas menyebar dan bergerak mencari celah-celah kecil dari ruangan itu, terbang mengangkasa menuju pelangi semesta, membuat cahaya warna ungunya menyala semakin kuat, kian terang, seiring Reddish dan Azure yang tak berhenti saling memuaskan hasrat.

 

bersambung….

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

The Red Prince | Part 20 : Pernikahan Agung

red prince cover - CopyRed 3

15 votes, average: 1.00 out of 1 (15 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

“Reddish! Pernikahan itu harus dilaksanakan lebih cepat! Malam ini juga! Kita tak punya banyak waktu lagi!”

Reddish terpaku mendengar perintah itu. Dadanya berdesir. Kedua tangannya mengepal rapat. Entah bagaimana firasat buruk yang semula hanya ia anggap sebagai perasaannya yang sedang penuh oleh rasa antisipasi karena pernikahannya telah begitu dekat ternyata tidak sesederhana itu. Situasi benar-benar genting dan dirinya tak tahu jika sampai garis warna ungu itu benar-benar runtuh, apakah ia dapat menyelamatkan negeri ini atau tidak.

Reddish semula berpikir jika akan ada sesuatu hal yang tak mampu ia duga selama proses pernikahan nantinya. Oleh karena itu, persiapannya sejauh ini adalah bagaimana menyiapkan kekuatan merahnya sebaik mungkin untuk menghalau segala serangan yang berusaha menggagalkan pernikahannya. Namun, sungguh bodoh jika ada makhluk yang mengambil kesempatan itu untuk menyerangnya, bukan? Dia berada di ruang penyucian itu untuk menyelamatkan negeri ini dari kehancuran. Maka, siapa saja yang sedang berusaha menghancurkannya, maka sungguh ia sedang mempercepat proses kehancuran negeri ini, karena menemukan pengganti pemimpin negeri tidaklah bisa dilakukan dalam sekejapan mata tanpa proses yang panjang.

“Kau benar-benar telah menemukan perempuan klan biru itu, bukan?” Jade bertanya kemudian seolah baru tersadar jika bisa saja, ucapan Reddish tentang pertemuannya dengan makhluk biru itu hanyalah bualannya semata agar dirinya tak terdesak. Sungguh Jade berharap bukan itu yang terjadi. Dia benar-benar mengandalkan Reddish kali ini.

Reddish masih bergeming di tempatnya dan tak memberi jawaban, membuat Jade tersulut emosi dan bertanya dengan suaranya yang membentak.

“Reddish. Kau dengar aku? Jangan sampai aku menghajarmu kali ini!”

Reddis menelan ludah dan mengerjap. “Ya. Tentu saja aku sudah menemukannya, dia berada dalam tempat terbaik di kastilku. Persiapkan semua hal yang diperlukan, Jade. Aku dan pengantinku akan segera siap,” sahutnya kemudian dengan nada mantap.

“Baik. Persiapan akan segera selesai secepat mungkin dan kami akan tiba terlebih dahulu untuk memastikan jika situasi dan segala halnya aman dan terkendali sampai kalian tiba dan siap untuk melaksanakan ritual pernikahan.” Nada suara Jade menurun kali ini. Lelaki itu mau tak mau harus bekerjasama dengan Reddish saat ini demi keselamatan negeri.

“Kami akan segera datang.” Reddish menutup komunikasi.

Ecru yang sejak tadi diam mendengarkan ucapan-ucapan Reddish itu melangkah mendekat. Lelaki klan kuning itu tahu jika sahabatnya sedang dalam keadaan terdesak untuk memenuhi tugasnya membangkitkan lagi pelangi semesta. Oleh karena itu, dia tak akan menahan Reddish lebih lama lagi di ruangan ini dan dia harus kembali untuk turut mempersiapkan koloninya dalam menyambut pernikahan itu.

“Aku tahu kau pasti bisa, Reddish. Aku tahu kita semua masih akan hidup dalam kejayaan ribuan bahkan ratusan ribu tahun lagi sampai tak terbatas. Aku percaya padamu.” Ecru menepuk pundak kukuh sahabatnya itu dalam gerakan pelan untuk menenangkan sekaligus memberi dukungan semangat.

Reddish menghela napas panjang dan menoleh sedikit ke arah Ecru yang berdiri di sampingnya. Bibirnya menipis dan gerahamnya berkedut. “Aku akan memberikan semua yang aku bisa dan akan segera menyelesaikan semuanya,” ucapnya dengan suara parau nan penuh arti.

Ecru sekali lagi menepuk pundak Reddish, mengangguk tipis, menularkan keyakinan. Lelaki itu lantas tak menunggu-nunggu lagi  melangkah meninggalkan ruangan.

Reddish membalikkan badan dan turut melesat keluar, pikirannya yang sedang kalut itu hanya terpikirkan satu hal saat ini.

Tadi, dia meninggalkan Azure dalam keadaan tertidur nyenyak di peraduannya. Apakah perempuan itu turut terkejut dengan suara dentuman itu? Ataukah dia masih tertidur sebelum ia memerintah seorang pelayan perempuan untuk memasuki kamarnya?

***

Azure terbangun dalam keadaan tubuhnya yang bugar setelah begitu lama dia tak bisa tertidur dengan nyaman dalam hidupnya bertahun terakhir. Perempuan itu mengerutkan keningnya dengan penuh tanya saat mendengar suara riuh ramai dari arah luar kastil ini yang tak biasa. Tidak. Dia terbangun bukan karena suara ramai itu, dia terbangun karena suara seorang perempuan yang membangunkannya dengan mengguncang-guncang tubuhnya.

“Nona, Anda harus segera bersiap.” Suara pelayan itu mengalihkan perhatian Azure dari tatapannya ke arah jendela besar di kamar itu.

Azure tampak menoleh dengan mengusap kedua matanya, seolah rasa kantuknya  tak mau pergi begitu saja setelah dia mendudukkan diri dan mendengar sorak semarai dari luar ruangan.

“Bersiap? Bersiap untuk apa?” Azure bertanya dengan kening mengernyit dalam.

“Astaga, Nona. Anda tak mendengar?” tanya pelayan itu dengan ekspresi tak  percaya. “Pelangi semesta mengeluarkan dentuman yang begitu keras hingga garis warna ungunya retak dan hampir runtuh. Lihatlah ke luar, Nona,” ucapnya seraya menengok ke arah pintu di mana para pelayan yang mendapatkan tugas untuk mendandani Azure dalam persiapan pernikahan itu sedang menunggu di sana, menanti sang calon maharani itu terbangun dari tidurnya.

Para pelayan itu kemudian melangkah beriringan membawa semua perlengkapan yang diperlukan, bersamaan dengan Azure yang turun dari ranjang dan mendekat ke arah jendela. Dia tak sempat memikirkan lagi jika ternyata ruang peraduan ini telah bebas dari segel milik Reddish sehingga para pelayan bisa mendekat ke arahnya. Dia tak sempat memikirkan tentang pelariannya itu karena saat ini, ekspresinya tampak ternganga dan wajahnya memucat saat melihat jika pelangi semesta yang menggantung di langit kelabu negeri ini meretakkan garis warna ungunya dengan mengerikan.

Astaga. Sepertinya keadaan benar-benar sedang dalam situasi berbahaya.

Azure membalikkan badan dan seolah baru tersadar sepenuhnya akan apa yang terjadi, dia melihat salah seorang pelayan mendorong maneken yang dipasangi gaun pengantinnya yang begitu indah. Gaun pernikahan berwarna azure untuknya.

“Kemari, Nona. Saya akan membantu Anda membersihkan diri dan mengenakan gaun ini,” ucap pelayan itu ramah disertai gerakan tangannya yang mempersilakan perempuan biru itu mendekat.

Azure seperti tersihir dengan kedua kakinya yang menurut begitu saja permintaan pelayan itu.

“Kami akan memastikan jika Anda datang dengan penampilan terbaik untuk tuan Reddish. Kami akan sebaik mungkin merias Anda dalam waktu yang terburu ini, Nona.” Pelayan itu kembali menebar senyum ramah.

Azure tak bisa berpikir lagi dan dia pasrah pada para pelayan yang saat itu sedang mencoba melepas pakaian birunya, melap tubuhnya dan membantu mengenakan gaun mewah itu ke tubuhnya. Tidak hanya itu, dalam waktu bersamaan, pelayan lainnya yang entah berjumlah berapa yang tak sempat Azure hitung, dengan cekatan mendekat ke arahnya, menyisir rambutnya, mengusap kulit tubuhnya dengan cairan harum yang tak sempat perempuan itu perhatikan, merias wajahnya dan segala pernak-pernik yang sepertinya dipersiapkan dalam waktu mendadak dan begitu cepat mengingat upacara pernikahannya dengan Reddish itu dimajukan setelah mendapat peringatan bahaya yang tak terhindarkan tersebut.

Di saat semua pelayan sibuk mempersiapkannya, di tengah hiruk pikuk semua makhluk yang sedang sibuk mempersiapkan pernikahan mendadak itu, kedua mata Azure berkaca-kaca.

Hatinya terasa sakit berada dalam lingkupan warna merah yang begitu asing baginya itu. Dia teringat keluarganya, Azure teringat koloninya yang saat ini entah berada di mana.

Setetes air mata mengaliri pipi Azure ….

***

Kesibukan yang sama tampak di ruangan Reddish. Lelaki itu tadi dihadang oleh Crimson yang mengatakan jika dirinya harus segera berganti pakaian. Reddish yang saat itu hendak melangkah menuju ruang peraduannya, harus mengalah saat Crimson berkata bahwa ruang kamarnya sedang dipenuhi oleh barang-barang perlengkapan untuk Azure serta pelayan-pelayan yang sedang sibuk mengurusi segala keperluan calon maharaninya itu.

Menghela napas panjang dan menguatkan hatinya menahan sabar untuk menunda pertemuannya dengan Azure, Reddish akhirnya bergeming di ruangan besar ini dan membiarkan para pelayan pria membantunya berganti pakaian.

Dari baju kebesarannya dengan jubah besar yang selalu tersampir di pundaknya, lelaki itu kini berganti mengenakan jas panjang berwarna merah dibalut celana dan baju merah yang pas menutup tubuhnya. Tatanan rambut pendeknya yang semula dibiarkan tergerai begitu saja, kini tersisir rapi ke belakang, membuat aura ketampanan wajahnya terlihat berbeda dan lebih maskulin dari biasanya.

Reddish tak sempat memperhatikan penampilannya di cermin meski ada dua cermin besar yang dihadapkan padanya saat ini. Lelaki itu terus saja menatap ke arah luar ruangan di mana pemandangan pelangi semesta terlihat utuh di sana. Reddish memejam, kali ini dengan hatinya yang turut serta menunduk dalam doanya yang khidmat untuk para dewa penguasa langit agar ia masih diberi sempat untuk menyelesaikan salah satu tugasnya sebagai pemimpin ini.

“Anda sudah selesai, Tuan.” Salah seorang pelayan memundurkan langkah setelah menyelesaikan tugasnya dan memberi tahu.

Reddish membuka mata kemudian. “Bagaimana pengantinku?” tanyanya  kemudian.

“Nona Azure hampir selesai. Anda bisa menunggunya terlebih dahulu di luar kamar sementara para pelayan menyelesaikan riasannya,” sahutnya dengan suara yakin sembari menunduk.

Reddish menghela napas, menengok kembali ke arah jendela sebelum kemudian melangkah keluar ruangan, mempercepat langkah menuju kamarnya sendiri.

Ketika hampir tiba di ruang peraduan itu, tampak para pelayan perempuan yang bertugas untuk Azure, mulai membawa keluar kotak-kotak besar yang tadi digunakan untuk membawa barang-barang keperluan perempuan biru itu. Mereka semua sontak menghentikan langkah saat melihat Reddish sedang berdiri tak jauh dari ruang kamarnya, menanti calon maharaninya.

Reddish mengibaskan tangan, memerintah secara isyarat bahwa mereka diperbolehkan melanjutkan langkah untuk kembali ke tempat mereka masing-masing.

“Reddish.” Suara seorang perempuan menyapa dari arah belakang tubuhnya. Lelaki itu menoleh, di antara para pelayan yang sedang berjalan melewati sisi kiri dan kanannya, Reddish melihat jika Candylah yang datang. Perempuan merah itu menghampirinya didampingi oleh seorang pelayan yang membawa nampan berisi mahkota miliknya.

“Kau lupa memakainya, Keponakan Kecil.” Candy berkata dengan wajah sendunya yang penuh haru. Dua makhluk pelayan datang menyusul kemudian membawa mahkota maharani dengan batu-bau merah yang tampak berkilau di semua sisinya.

Reddish tersenyum kecil dengan sudut bibirnya yang berkedut. Candy lantas mengambil mahkota itu dengan kedua tangan dan melangkah mendekat. Reddish yang masih terpaku pada mahkota kepemimpinan miliknya itu kemudian sedikit membungkukkan tubuh tingginya untuk mempersilakan sang bibi memasangkan mahkota itu ke kepalanya.

Lelaki itu menegang saat merasakan mahkota itu terpasang. Hari ini tentu saja bukanlah kali pertama Reddish mengenakan mahkota tersebut, tetapi entah bagaimana, saat ini, ketika dia mengenakan pakaian pengantin yang sama sekali tak pernah terpikirkan sebelumnya, dengan seorang pelayan yang membawakan satu lagi mahkota untuk maharaninya, dadanya terasa sesak oleh perasaan yang amat sulit untuk ia telaah apa namanya. Reddish begitu senang, khawatir, sekaligus bercampur baur dengan rasa teriris yang membuat hatinya perih saat ia harus memberikan pernikahan kepada calon maharaninya dengan terburu-buru seperti ini.

“Kau tampan sekali,” puji Candy dengan ketulusaan yang membuat bibirnya mengulum senyum sembari menepuk-nepuk pundak keponakannya itu, mengusap-usap jas yang dikenakan oleh Reddish untuk merapikan penampilannya walau sebenarnya, tak ada yang kurang dari diri lelaki klan merah itu. Dia sangat gagah dan tampan, bahkan hingga Candy sendiri terpesona melihatnya.

“Terima kasih.” Reddish menjawab parau dengan nada tulus yang sama.

Candy tampak menghela napas panjang untuk menahan perasaannya. Perempuan itu mengangguk tipis menanggapi ucapan terima kasih Reddish. Candy lalu mengangkat tangannya dengan gerakan mempersilakan.

“Maharanimu telah siap di dalam sana. Jemputlah dia, kami akan menunggu di depan.” Perempuan itu tersenyum tipis dan segera berlalu dari lorong itu, diikuti para pelayan yang menjura ke arah Reddish lantas berjalan membuntut di belakang perempuan merah itu.

Suasana lorong itu senyap kemudian. Reddish tampak mengamati sekeliling sebelum melangkah lagi menuju ruang kamarnya yang tinggal beberapa jangkahan lagi. Namun, belum tiba langkah Reddish membawanya masuk, Azure tampak terlebih dahulu menampakkan diri keluar ruangan. Perempuan itu berjalan menunduk dengan kedua tangannya yang berada di samping tubuh, mengangkat sedikit gaunnya yang megah untuk mempermudah dirinya dalam berjalan.

Reddish menghentikan langkah kakinya dalam keterpukauan yang tak bisa ditahan. Pemandangan perempuan biru nan cantik dan anggun yang begitu mencolok di ruangannya yang serba merah itu membuat gelombang kenangan mengantarkan Reddish kembali ke masa di mana ia melihat satu-satunya warna biru pada diri perempuan itu di dunia manusia. Keterkejutannya pada waktu itu kini berganti menjadi keterpesonaan atas seluruh diri Azure dari ujung kepala hingga ujung kaki tiada henti.

Sementara Azure yang telah berhasil keluar dari ruangan dan menyadari jika dirinya sedang ditatap itu sontak memandang ke depan. Ke tempat di mana Reddish saat ini sedang berdiri menunggunya dengan pakaian pengantinnya yang berwarna merah beserta mahkota yang membuat penampilan lelaki itu benar-benar terlihat seperti pangeran di negeri dongeng yang hampir-hampir Azure tak bisa membayangkan seperti apa paras tampannya sebelumnya.

Sesungguhnya Reddish hanya berganti baju, menyisir rambutnya lebih rapi dan mengenakan mahkota. Namun, entah bagaimana dada Azure terasa berdebar saat melihat Reddish dengan pakaian seperti itu, berdiri tak jauh darinya dan sedang terang-terangan memandang dengan penuh kagum ke arahnya.

Reddish berdeham. Lelaki itu melangkah mendekat dan menyakukan kedua tangannya di saku jas. “Aku memang tak pernah salah memilih pakaian. Gaun itu sangat … cantik,” ujarnya dengan memandang lekat kedua mata Azure yang kini tampak manis dengan riasan yang bekerlipan di sekeliling matanya.

Azure membuang muka sejenak dengan tatapan kesal. “Tapi kurasa ukurannya agak kekecilan,” sahut perempuan itu dengan sikap pura-pura tak nyaman, mengibaskan gaun bagian bawahnya dengan gerak tubuh mengejek.

Reddish terkekeh. “Tidak apa-apa. Mungkin dengan kekecilan lekuk tubuhmu akan lebih terlihat, tapi jangan khawatir, tidak akan ada yang memperhatikannya,” ujarnya dengan nada menggoda yang menyebalkan.

Lelaki itu lalu mengalihkan pandangan ke arah samping di mana ada seorang pelayan perempuan yang masih berdiri di sana. Sebelah tangannya terangkat dengan jemarinya yang mengisyaratan panggilan untuk mendekat.

“Pasang tudung itu sekarang,” perintahnya membuat Azure seketika menoleh. Dilihatnya pelayan merah itu membawa sebuah kain panjang menjuntai dengan warna senada dengan gaun yang sedang ia kenakan.

Setelah berdiri cukup dekat dengan Azure, pelayan itu sedikit membungkuk untuk meminta izin kepada Reddish dan juga Azure yang saat itu menoleh ke arah Reddish dengan mengangkat sebelah alisnya karena bingung.

“Menunduklah sedikit.” Reddish membalas tatapan Azure yang penuh dengan ketidakmengertian itu dengan kalimat perintah.

Azure menghela napas panjang dan menuruti perintah Reddish itu dengan sedikit mencondongkan tubuhnya. Dengan segera, pelayan itu memasang kain panjang yang ternyata tudung itu ke kepala Azure, menatanya cepat dan membiarkan kain panjang itu menutup seluruh diri Azure, membuat penampilannya terlihat megah dengan tambahan kain veil tersebut.

Reddish tersenyum tipis dengan rasa puas yang mengembang penuh di dada. Dia tak main-main dengan ucapannya kepada Ecru dan juga Candy waktu itu jika dia akan memakaikan kain veil ini agar makhluk-makhluk yang memelototkan mata karena rasa penasaran terhadap perempuan birunya ini tak dapat melihatnya dengan jelas.

Hanya kedua matanya yang cacat inilah yang boleh memandangi dengan ekspresi kagum dan terpesona pada Azure. Hanya dirinya seorang yang bisa menikmati dengan utuh betapa cantiknya makhluk klan biru yang akan menjadi maharaninya ini.

Azure yang lagi-lagi dibuat terpana karena sikap Reddish yang begitu perhatian dengan memasangkan kain tudung itu terpaksa dipupuskan kembali rasa senangnya setelah mendengar ucapan Reddish yang tanpa perasaan.

“Kau tak layak dilihat oleh siapa pun nanti di ruang pernikahan. Tak akan ada yang memuji-mujimu di sana. Aku hanya sedang berbelaskasihan agar kau tak malu karena dirimu yang seperti itu,” ujarnya dengan tatapan teduh saat mengucapkan kalimatnya, begitu berbanding terbalik dengan ucapannya yang terdengar penuh celaan.

Azure yang tak dapat melihat dengan jelas ekspresi Reddish di sampingnya hanya mendengus sebal. “Dan aku yang jelek ini sungguh tak ada serasi-serasinya bergandengan tangan dengan makhluk merah yang sangat angkuh. Tak apa, karena aku sedang terus membayangkan jika aku bersanding dengan seorang pangeran biru yang baik hati dan bukan kau,” sahutnya dengan suara ketus.

Reddish tampak tak tersinggung dengan ucapan Azure itu, dia malah terkekeh senang selah ucapan Azure itu adalah pujian. “Mari, Nona Azure. Kita harus cepat.” Reddish mengulurkan sebelah tangannya yang segera disambut oleh tangan Azure yang sedikit menyentakkan gerakannya.

Reddish tersenyum kecil melihat sikap kesal perempuan itu. Dia lantas menggenggam tangan lembut itu erat dalam lingkupan jari jemarinya, membuat Azure lagi-lagi terkesiap. Keduanya lalu berjalan beriringan melewati lorong panjang di sisi ruang pribadi Reddish itu menuju ruang terbuka di sisi depan kastil merah ini untuk segera melangsungkan ritual penyucian pernikahan.

Azure tanpa sadar terus memperhatikan sebelah tangannya yang kini bergenggaman dengan jemari Reddish. Nuansa hangat dan sejuk yang berbaur menjadi satu itu membuat dada Azure kian bedebar. Ada rasa tak percaya jika waktunya akan tiba secepat ini.

Dia akan menjadi maharani di kastil merah ini. Menjadi istri Reddish.

***

Ruang penyucian pernikahan itu bukanlah ruangan biasa. Tempat itu adalah sebuah tanah lapang yang begitu luas dengan tembok-tembok tinggi yang dipadu pilar-pilar kokoh berwarna merah yang berdiri tegak mengelilingi tempat tersebut. Ruang itu dibuat tanpa atap, sehingga saat ini, mereka yang sedang berkumpul di tempat itu dapat melihat bagaimana pelangi semesta yang begitu besar menaungi negeri itu tampak begitu megah meski dengan warnanya yang pucat.

Reddish dan Azure tiba di pintu keluar dan berhenti di sana. Para pengiring pengantin berseragam merah tampak mengikuti kemudian di belakang mereka sambil membawa kendi-kendi berisi bunga. Candy, Crimson dan seorang pelayan berdiri di barisan paling depan, memimpin ratusan pasukan pengiring yang telah siap mengantar Reddish menuju area pusat ruang terbuka itu. Sang bibi membawa mahkota maharani di tangannya, didampingi Crimson di sebelah kanan dan pelayannya di sebelah kiri. Mereka tampak melangkah maju beriringan ke belakang Reddish dan Azure yang terlihat bergandengan tangan menunggu mereka.

Dari posisi mereka yang tinggi ini, Reddish dan Azure dapat melihat ruang penyucian itu kini telah penuh oleh para makhluk langit berbagai klan warna yang berkumpul menjadi satu, melakukan penghormatan sekaligus memuaskan rasa ingin tahu mereka terhadap makhluk klan biru calon pendamping Reddish yang telah lama tak terlihat itu.

Reddish mengetatkan genggaman tangannya, lantas mulai melangkah perlahan, menuruni tangga. Di sisi kiri dan kanan sepanjang tangga itu, para makhluk pengiring yang juga membawa kendi berisi bunga di tangan mereka, mulai menaburkan kelopak-kelopk bunga yang harumnya semerbak itu ke arah Reddish dan Azure, mengantar mereka berdua ke tempat penyucian.

Sementara di sekeliling area panggung penyucian itu, para makhluk aneka warna mulai menguarkan aura warna mereka dalam iring-iringan musik dan tarian yang mengalun merdu, menggema di seluruh area. Para makhluk yang menari itu bersama-sama menggerakkan tubuh mereka dalam gerak penuh harmoni dengan aura mereka yang menguar bersamaan, membuat udara di sekeliling mereka penuh dengan aura warna berwarna-warni yang membubung tinggi ke langit sebagai tanda jika mereka saat ini sedang berada dalam nuansa penuh pengharapan agar pelangi semesta berkenan untuk memunculkan warnanya lagi.

Azure tampak melangkah seirama dengan Reddish yang berjalan pelan di sisinya. Perempuan itu terlihat khidmat dan tak melawan atas apa yang sedang dihadapkan padanya itu, walau sejujurnya Azure sangat ingin menangis dengan dadanya yang sesak oleh kepedihan.

Perempuan itu merasa hilang di antara aura warna yang mengambang memenuhi sekelilingnya. Bagaimana tidak, di antara warna-warna yang berdoa untuk bersatunya dua warna miliknya dan Reddish itu, hanya warna birulah yang tak tampak di sana selain dirinya.

Pada upacara pernikahan biasa, pengantin laki-laki akan datang dengan para keluarga dan pengiring-pengiring di belakangnya dengan warna serupa, begitu juga dengan pengantin perempuan yang datang dari arah berlawanan yang juga membawa rombongan koloni warnanya yang seragam. Kedua sejoli itu lantas bertemu di meja penyucian dalam nuansa hangat bertabur dua warna keluarga yang saling bertaburan mengiringi keduanya.

Tapi, lihatlah saat ini di mana Azure hanya seorang diri dengan warnanya yang tunggal. Tak ada satu pun anggota koloni warnanya yang turut menguarkan aura birunya untuk menyambut Azure. Azure justru datang bersamaan dengan calon suaminya yang berbeda warna, dengan para pengiringnya yang keseluruhannya berwarna merah.

Sekali lagi Reddish menggerakkan tangannya dalam genggaman Azure untuk menguatkan, paham benar apa yang sedang bekecamuk di kepala perempuan mungil itu. Azure hanya menoleh tipis dan mendapati Reddish sedang menatap ke arahnya, meski entah apa kata yang diucapkan lelaki itu lewat pandangan matanya tersebut.

Mungkin lelaki itu saat ini sedang berpuas hati karena berhasil mempermalukannya pada upacara pernikahan mereka kali ini. Membuatnya tampak menyedihkan dengan menunjukkan kepada semua orang jika Azure benar-benar telah termakan oleh kesombongannya sendiri sebagai klan biru yang menolak bekerjasama dengan pemerintahan Reddish saat ini dengan tiada satu makhluk biru pun yang mendukungnya menikah. Namun, Azure saat ini berusaha untuk tak peduli dengan itu semua karena keinginannya dan keinginan Reddish sama kuat dan terdesak saat ini untuk menyatukan dua warna mereka demi warna ungu yang kembali menyala.

Di sisi lain, para makhluk berbagai warna berusaha membuka mata mereka lebar-lebar dan berbisik-bisik dengan suara penasaran demi bisa melihat dengan jelas seperti apa paras calon maharani pemimpin mereka itu meski percuma. Para makhluk penasaran itu hanya bisa melihat jika perempuan klan biru itu memiliki warna biru muda yang tampak manis, dibalut gaun indah yang menutupi tubuhnya dengan elegan. Dari sisi terjauh pun, para makhluk warna hanya bisa menyaksikan jika pengantin Reddish itu tertutupi oleh kain veil panjang menjuntai yang membuat penampilannya tampak anggun. Mereka menafikan kenyataan jika perempuan biru itu adalah seorang pemberontak yang pada masa sebelum ini menolak dengan keras untuk bekerjasama dengan kepemimpinan negeri.

Reddish dan Azure tak memedulikan apa pun. Mereka hanya terus melangkah hingga akhirnya tiba di meja penyucian itu beberapa saat kemudian diikuti Candy yang menghentikan langkahnya beberapa langkah dari arah Reddish dan Azure. Jade, Raven, Alabaster, dan juga White telah menunggu di sana dengan sebuah bejana berisi air berwarna bening. Keempat dewan warna itu lantas mengangkat kedua tangan mereka, mengucapkan kata-kata serupa mantra selama beberapa waktu. Secara ajaib, air bening di dalam bejana itu tampak bergerak-gerak. Dengan kekuatan aura mereka, para dewan warna itu lantas mengangkat air dari bejana itu, membuat kilau beningnya tampak indah bekerlipan di udara. Setelahnya air bening itu bergerak menyelubungi tubuh Reddish dan Azure yang terpaku diam di sana, membuat dua makhluk berbeda warna itu merasakan aura agung yang begitu besar terasa melingkupi, membuat seluruh jiwanya terasa ringan dengan dada berdegup cepat dan kedua mata terpejam merasakan betapa indahnya aura bening yang dikatakan merupakan air suci untuk penyatuan dua warna itu.

Baik Reddish maupun Azure sama-sama terpana saat merasakan jika kedua tangan mereka yang bergenggaman itu sama-sama mengeluarkan aura warna tipis mereka yang saat ini tampak telah bersatu menjadi satu warna baru yang tentu saja telah begitu lama para makhluk langit nantikan perwujudannya.

Semua mata menantikan keajaiban itu di mana dua warna agung, merah dan biru dari dua makhluk tertinggi klan merah dan klan biru itu bersatu. Semua pasang mata dari berbagai makhluk klan warna tampak antusias memandang ke depan, ke arah lingkaran besar di mana Reddish dan Azure mulai berdiri berhadapan.

“Kalian berdua telah disucikan. Reddish dan Azure, kalian telah disatukan dan direstui oleh kami sebagai wakil penguasa langit dalam ikatan pernikahan yang sah. Kedua warna kalian akan menyatu dalam perpaduan aura berwarna ungu nan agung.” Jade berucap kemudian.

Nuansa hening nan tegang itu berubah seketika menjadi nuansa haru yang berpendar di seluruh penjuru ruang terbuka tersebut. Semua makhluk tampak berkaca-kaca menyaksikan pemimpin mereka yang kini telah memiliki maharani untuk negeri mereka.

Candy melangkah maju ke sisi Reddish dan Azure, membawakan nampan berisi mahkota maharani sebagai tanda penobatan perempuan biru itu. Reddish menoleh, memandangi mahkota itu dengan jantung berdebar, mengambilnya dengan kedua tangan, lantas mengulurkan tangannya untuk memakaikan mahkota itu di kepala istrinya. Setelah terpasang tepat, Reddish melangkah maju semakin dekat sembari membuka kain veil itu untuk mengucapkan penobatan kepada istrinya. Sebelah tangan Reddish terangkat ke sisi kepala Azure, menguarkan warna merah dari tangannya saat berkata,

“Kau, Azure. Dengan ini kunobatkan sebagai maharaniku, maharani pemimpin klan merah, pemimpin negeri langit dan akan mendampingiku dalam mewujudkan kejayaan negeri dalam waktu ke depan yang tiada batas. Aku akan membersamaimu dalam cinta dan kasih sayang yang tulus, dalam kehidupan bersama yang tiada akhir.” Reddish berucap lantang hingga suaranya terdengar jauh, merdu nan penuh khidmat di ruangan yang luas itu.

Saat Azure hendak menyahut ucapan Reddish itu, tiba-tiba saja, dari arah kerumunan makhluk warna yang sedang antusias mendengarkan penobatan itu, datanglah tiga makhluk warna yang datang dengan baju tudungnya nan berwarna-warni memecah keheningan. Mereka datang dengan langkah  yang mendesak tanpa peduli pada makhluk lainnya hingga menimbulkan keributan dan menyita perhatian. Semua makhluk termasuk mereka yang berada di atas penggung pernikahan itu menoleh dengan rasa penasaran.

Setelah tiba pada tujuan mereka yaitu berada di sisi panggung yang terletak menjulang di tengah ruang tersebut, mereka membuka tudung mantel yang ternyata adalah kamuflase. Reddish menyipitkan pandangan dengan aura kemarahan yang seketika menyala kuat. Para dewan warna yang terkejut melihat sikap para makhluk pembuat onar itu melangkah maju di sisi kiri dan kanan Reddish serta Azure dalam gerakan melindungi.

Saat tahu siapa yang datang, Jadelah yang mengawali percakapan. “Crow. Apa yang kaulakukan?” tanyanya pada pemimpin klan hitam tersebut. Ekspresinya tampak gelap, mengalahkan warna gelap dari aura hitam yang menguar di tubuhnya.

Terdengar suara tawa dari arah makhluk klan hitam yang saat itu mengenakan mantel berwarna putih. “Aku datang membawakan apa yang seharusnya ada,” ucapnya angkuh. “Pernikahan kalian berdua tak ada gunanya lagi, Reddish. Aku datang membawa makhluk klan ungu untuk dibangkitkan,” lanjutnya dengan suara kerasnya yang dalam, membuat para makhluk warna yang ada di tempat itu terkejut setengah mati dengan wajah pias.

Lelaki di samping Crow yang mengenakan mantel hijau itu membuka tudungnya dan memperlihatkan semakhluk laki-laki tak sadarkan diri dalam rangkulannya yang juga dipakaikan mantel. Semua mata membelalak tak percaya pada apa yang mereka lihat lantas saling berucap dalam keriuhan tak terhindarkan.

Makhluk klan ungu!

“Apa maksudmu?” Jade bertanya dengan nada marah.

“Maksud kami adalah ….” Seorang makhluk yang membuka tudung oranyenya turut berucap menjawab. “Kami akan membawa Azure kembali kepada kami. Dia tak pantas berada di sisi makhluk cacat yang mengaku-ngaku akan meneruskan kejayaan negeri langit ini. ” Sky menyahut, menatap lekat pada Azure yang saat itu ternganga melihat kehadiran saudaranya.

Crow mengeluarkan kekuatannya, persis sama seperti yang dilakukan dewan warna tadi dalam penyucian pernikahan, dia menggunakan kata-kata mantra dengan menggunakan air suci untuk menghidupkan kembali makhluk ungu tersebut. Namun, saat kekuatan Crow mulai menyelubungi makhluk ungu itu, saat lelaki klan ungu itu mulai membuka mata dan proses penghidupan selesai, bukan aura ungu yang memancar dari makhluk itu, tak ada warna ungu yang menyala dan pelangi semesta tak menunjukkan kehidupannya seperti yang Crow dan Sky harap-harapkan pasti terjadi. Yang lebih mendebarkan dan mengejutkan dari itu adalah saat sekali lagi, pelangi semesta justru mengeluarkan suara dentumannya yang amat keras, membuat orang-orang menjerit ketakutan. Dan, di antara suara teriakan ketakutan itu, terdengar suara seruan tak terduga yang muncul dari arah panggung pernikahan. Itu suara Candy!

Perempuan klan merah itu tampak histeris dan memanggil-manggil nama lelaki makhluk ungu itu hingga suaranya serak.

“Carmine! Carmine!”

 

Bersambung ….

 

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

The Red Prince | Part 19 : Peringatan Bahaya

red prince cover - CopyRed 3

9 votes, average: 1.00 out of 1 (9 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Bukankah rasa hangat yang kuberikan itu selalu menyamankanmu? Termasuk saat ini ketika aku mencumbumu? Debaran jantungmu itu tak bisa berbohong meski kau menyangkalnya dengan seribu kali kata ‘tidak’
~Reddish~

Tubuh Azure bergetar hebat mendapat ciuman tak disangka tersebut. Perempuan itu meletakkan kedua tangannya pada dada Reddish untuk mengingatkan lelaki itu jika sepertinya ada yang salah dengan dirinya kali ini. Namun, tindakan Azure itu justru memicu hasrat yang lebih hebat lagi di diri Reddish. Lelaki itu kembali menciumi bibir Azure dengan gerakan sensual, menyatukan kedua bibir mereka dengan ciumannya yang panas, mendorong tubuh Azure untuk rebah dan kian menguasai ciuman itu semakin dalam, membuat Azure terhanyut dan tak bisa melawan.

“Reddish ….” Azure berucap di sela-sela ciuman mereka. Wajahnya tampak merah padam dengan dadanya yang kembang kempis oleh sesuatu hal yang belum pernah dirasakan tubuhnya sebelum ini. Aliran darahnya terasa menderas, seluruh tubuhnya memanas dan lihatlah bibirnya yang begitu lembap dengan bibir Reddish yang masih mencumbu di sana.

Dengan gerakan pelan, Reddish menghentikan ciumannya dengan napas terengah. Menyakiti dirinya sendiri dengan menahan hasratnya kuat-kuat.

Aura merah dari tubuh Reddish menguar sangat pekat, begitu juga dengan kekuatan biru yang memendar sama kuatnya dari tubuh Azure. Aura kedunya terlihat berpilinan di atas peraduan itu, saling melingkupi satu sama lain. Meski begitu, aura merah dan biru itu tak bisa menyatu, terlihat sama-sama memendar dengan dua warna berbeda. Hal itu terjadi karena keduanya belum menjalani ritual dan penyucian pernikahan, sehingga kedua warna itu tak bisa melebur bersama, hanya mengambang dalam intensitas besar karena keduanya sedang sama-sama terbakar hasrat.

“Kau merasakannya.” Reddish berbisik parau dengan hidungnya yang menempel pada hidung Azure, menggesek lembut di sana dengan matanya yang terpejam. Kedua lengannya yang masih bertumpu di sisi kiri dan kanan Azure itu membelai sisi kepala perempuan itu dengan gerakan lembut, membuat tubuh Azure kian teraliri nuansa aneh mendebarkan yang membuat napasnya panas.

Perempuan itu masih tak menyangka jika dirinya akan bisa begitu dekat dengan posisi seintim ini dengan Reddish. Azure terpaku dan diam-diam berusaha mengatur napasnya yang tak beraturan. Tubuhnya tak bergerak, dengan kedua tangannya yang masih berada di bahu Reddish.

Geraham Reddish sedikit bekedut, lalu kedua mata merahnya terbuka perlahan, begitu dekat dengan mata Azure yang membelalak mengamati tubuh lelaki di atasnya tanpa sadar. Terkesiap dengan mata merah yang memandanginya intens itu, sontak kepala Azure tertoleh, memunculkan senyum di bibir Reddish.

“Aku hanya sedang menguji dan ingin menilaimu.” Lelaki itu berucap memecah segala pikiran-pikiran liar di benak Azure.

“Jiwa dan tubuhmu selalu menerima kehangatan yang kuberikan saat dirimu terluka dan tak sadarkan diri. Bukankah rasa hangat yang kuberikan itu selalu menyamankanmu? Termasuk saat ini ketika aku mencumbumu? Debaran jantungmu itu tak bisa berbohong meski kau menyangkalnya dengan seribu kali kata ‘tidak’,” ujarnya pongah dengan sebelah bibir terangkat.

Kalimat menusuk itu membuat Azure kembali menghadapkan wajahnya pada Reddish dengan tatapan sebal.

“Aku hanya ingin tahu, apakah itu reaksi alami tubuhmu, ataukah karena kau mengenali dengan baik nuansa hangat itu lantas terbiasa dan ketagihan karenanya?”

“Reddish.” Azure berseru ketus, kedua telapak tangannya diam-diam menguarkan aura biru yang memendar semakin pekat karena kemarahan yang mulai merasuki hatinya, tetapi kali ini dengan cepat, Reddish berhasil mencengkeram kedua pergelangan tangan Azure dan meletakannya di atas kepala perempuan itu, membuat posisi mereka saat ini terlihat benar-benar seperti pasangan yang hendak bercinta. Dengan leluasa lelaki itu menciumi Azure lagi. Namun dengan cepat Azure menoleh hingga Reddish hanya mendapatkan ujung bibirnya saja.

“Besok adalah hari penobatanmu sebagai maharaniku.” Reddish berucap dengan bibirnya yang merambat ke mana-mana menciumi Azure di sisi wajahnya yang berpaling. Pipinya, rahangnya, dan berakhir di sisi telinga Azure.

Dengan suara menggoda, Reddish berbisik parau, “Aku ingin kau mulai terbiasa denganku, karena tentu saja, aku akan melakukan lebih dari ini terhadapmu setelah upacara pernikahan nanti. Aku tak akan memberimu waktu untuk menolak lagi.”

Azure memberanikan diri untuk menantang tatapan Reddish. Wajahnya terlihat begitu lelah dengan desakan emosi yang membuat napasnya naik turun.

“Setelah menikah. Jadi tolong, sekarang lepaskan aku, wahai pemimpin klan merah,” ucapnya dengan mata berkaca-kaca. Kalimatnya terdengar halus, walau sebenarnya Azure mengucapkannya dengan nada penuh celaan.

Reddish melepaskan cengkeraman tangannya dari kedua pergelangan tangan Azure. Namun tentu saja Reddish tak sebaik hati itu untuk melepaskan perempuannya begitu saja. Tubuh lelaki itu berguling ke samping, lantas dengan cepat meraih tubuh Azure dalam dekapannya. Perempuan itu terbelalak oleh gerakan cepat itu sehingga tanpa bisa ia hindari, saat ini dirinya telah berbaring miring dengan berbantalkan lengan Reddish, berhadap-hadapan dengan dada bidang lelaki itu yang terbungkus baju kebesarannya yang berwarna merah tua.

Sebelah tangan Reddish yang lain memeluk tubuh perempuan itu, mengusap rambut biru Azure dengan gerakan membuai.

“Ah, jadi pada akhirnya kau menerima dengan lapang hati posisimu sebagai calon istriku, hm? Tidak ingin lari lagi setelah kau tahu jika dirimu adalah satu-satunya?” Reddish bertanya dengan sebelah bibirnya terangkat, mengucapkan kalimat yang mengena di hati Azure, menampakkan rona merah muda yang merambati pipi perempuan itu nan tirus.

“Aku tidak lari karena sementara ini aku tidak bisa lari. Kau mengurungku di sini, Tuan Reddish, aku belum bisa mengalahkan kekuatan merahmu.” Azure berucap menunduk, kedua tangannya mencengkeram baju bagian depan Reddish sebagai pelampiasannya atas rasa malu di hati setelah ia menyadari kebodohannya dengan menunjukkan rasa tak suka secara terang-terangan kepada perempuan klan biru yang ternyata tak ada itu.

Azure besikukuh melepaskan diri dari dekapan Reddish, tetapi semakin berusaha, Reddish justru kian merapatkan pelukannya.

“Kau memang tak akan lari, Azure.” Reddish mengecup pucuk kepala perempuan itu dalam tubuhnya yang bergerak membuai perempuan itu dalam dekapan. “Kau akan selalu ada dalam pelukanku, tubuhmu tak akan betah berlama-lama jauh dariku setelah aura kita menyatu nantinya. Aku bisa memastikan itu,” ucapnya seolah tengah memantrai Azure dalam janji hidup bersama dalam kalimatnya yang berbalut ancaman.

“Lepaskan, Reddish!” Tubuh Azure meronta.

Reddish menyeringai dalam kekuasaan lengan-lengan kokohnya yang melingkupi perempuan itu. “Bukankah lebih baik bercakap-cakap dengan posisi seperti ini? Aku bisa menyentuhmu dan kau pun kuberi kebebasan untuk menyentuhku. Apalagi yang lebih baik dari ini di mana kita sedang memenuhi kebutuhan hati dengan tubuh yang saling dekat? Hm … kau hanya perlu terbiasa,” ujarnya dengan penuh percaya diri, yakin benar jika Azure yang saat ini sedang berusaha melepaskan diri dari dirinya itu sejujurnya hanya masih malu dan gengsi untuk mengakui jika hatinya telah terpaut dengan dirinya.

Tentu saja. Sebagai lelaki klan merah yang dikenal dengan aura merahnya yang garang sebagai kelebihan sekaligus kutukan karena ditakuti oleh bangsa warna, Reddish bersyukur jika para dewa begitu berbaik hati dengan menciptakan wajah rupawan bagi koloni klannya. Wajah rupawan yang begitu digilai oleh makhluk perempuan di tanah langit ini. Seakan klan merah memanglah diciptakan sebagai klan di tingkat puncak di mana dirinya dan anggotanya memiliki semua yang diinginkan oleh penduduk langit. Kehidupan yang nyaman, dihormati, disegani oleh banyak makhluk serta mempunyai paras di atas rata-rata daripada makhluk-makhluk klan lainnya yang membuat mereka terpesona bahkan sejak pandangan pertama.

Begitu juga dengan Azure yang tak bisa menghilangkan rasa kagum kepada Reddish dan lagi-lagi saat ini perempuan itu seolah tak mampu menyangkal tubuhnya yang secara alami menerima dengan suka hati kedekatannya dengan lelaki ini. Tubuh Azure yang dingin berkat kebencian dari sisi egonya itu, perlahan menghangat, membuat segala luapan emosi yang semula begitu gigih menguasai semangatnya untuk menjauh dari Reddish itu perlahan memudar.

Tubuh Azure melemas. Perempuan itu seperti disihir karena rasa kantuk yang mendadak menyelubungi tubuhnya. Azure menguap tanpa sadar hingga matanya berkaca-kaca ingin memejam. Sekuat tenaga ia menggerak-gerakkan tangannya mengusir kantuk, tetapi tubuhnya terlalu keras kepala menuruti rasa ingin tidur yang begitu kuat melandanya itu.

“Aku akan selalu berbaik hati untuk memberimu kedekatan seperti ini, Azure. Jangan khawatir. Aku milikmu seutuhnya.” Reddish berucap dengan tersenyum angkuh, seolah pelukan dan ciuman dari seorang makhluk klan merah yang begitu dipuja-puja oleh para perempuan itu adalah sesuatu yang berharga dan patut ia sombongkan di depan perempuan polos ini.

Tak ada suara tanggapan atau sanggahan dari perempuan yang dipeluknya itu selama beberapa waktu. Lalu, saat merasakan jika tubuh Azure begitu rileks dan anteng dengan napasnya yang mengembus teratur, Reddish menunduk. Sebelah alisnya terangkat saat melihat jika Azure ternyata tertidur pulas dalam dekapannya. Perempuan itu seperti sudah berada dalam tidurnya yang nyenyak dengan wajahnya yang terlihat damai tanpa ekspresi.

Senyum Reddish terbentuk lagi di bibirnya. “Kau tidur di pelukanku di tengah-tengah usaha kerasmu untuk melepaskan diri dariku,” ucapnya pelan di depan wajah Azure. Perempuan itu tak menyahut tentu saja, tetapi entah bagaimana, Azure semakin menyurukkan kepalanya ke dada Reddish, sebelah lengannya bahkan melingkar ke punggung Reddish membuat lelaki itu terperangah, tak mampu bergerak.

“Dan kau juga sangat serakah,” lanjut Reddish dengan terkekeh senang penuh kasih di dalam ucapannya yang terdengar mencela.

Reddish menelentangkan tubuhnya kemudian, membiarkan Azure memeluknya sesuka hati. Tubuh Azure yang sejuk terasa begitu pas di sisi tubuhnya yang panas, seolah mereka benar-benar saling melengkapi bahkan sejak mereka belum disatukan oleh upacara pernikahan. Untuk sejenak, Reddish membiarkan dirinya menikmati posisi nyaman itu. Kedua matanya memejam dengan ekspresi wajahnya yang damai, meski seluruh tubuhnya bergolak oleh keinginan kelelakiannya yang sedari tadi ia tahan.

Tidak mengapa. Ia hanya perlu menahan satu hari ini dan ia akan mendapatkan keleluasaanya menyentuh Azure sebagai istrinya setelah penyucian pernikahan itu tanpa batas waktu, hingga beratus-ratus tahun lagi tanpa batasan.

Di tengah-tengah pemikiran untuk menghibur dirinya itu, lagi-lagi Azure bergerak. Perempuan itu seolah tahu jika Reddih mengubah posisi tidurnya menjadi telentang, sehingga saat merasakan jika pelukan sebelah tangan Reddish yang hangat itu menjauh, Azure tanpa sadar menumpangkan kakinya di kaki Reddish yang jenjang, membuat tubuh Reddish tegang kembali.

Astaga pengganggu kecil ini!

Dengan senyum masam Reddish akhirnya memiringkan tubuhnya lagi, memeluk perempuan itu kembali seperti posisinya semula, mengutuk tingkahnya sendiri yang membuat hasrat dalam dirinya semakin menjadi.

Tubuh Azure bergeming dengan suara embusan napasnya yang menyiratkan kenyamanan. Bersenjang dengan Reddish yang menampakkan senyum pahit karena hampir putus asa menahan diri. Pada saat itu, ketika sebelah tangan Reddish hendak menyentuh lagi rambut biru Azure yang berserak di sisi kepala dan di sebelah tangannya yang menjadi bantalan kepala Azure, sebuah suara panggilan mengejutkannya, menggema di kepala.

“Reddish? Di mana kau?” Suara Ecru terdengar nyaring, menyapa dengan suara khasnya.

***

Ecru duduk dengan kening mengernyit, tangannya bersedekap dengan ekspresinya yang tampak menilai ke arah Reddish.

“Apa yang terjadi padamu? Kenapa kau terlihat gusar? Apakah perempuan biru itu membuat masalah?” tanyanya dengan serius kemudian.

Reddish tampak salah tingkah dan berdeham sebelum memulai kalimatnya. Tubuhnya tampak membungkuk maju, bertumpu pada kedua sikunya di atas lutut. “Ya. Dia sangat liar dan senang sekali membuatku tersiksa. Aku sampai kewalahan,” jawab Reddish sambil menggigit bibir bawahnya, menunjukkan rasa gemasnya saat mengingat bagaimana Azure justru berbalik memeluknya seperti guling saat dirinya berusaha sekuat tenaga untuk menahan diri. Wajahnya merona beberapa saat.

“Wow.” Ecru turut memajukan tubuhnya dengan tatapannya yang melebar penuh ketertarikan. “Liar,” ucapnya menirukan kata-kata Reddish tadi.

“Apakah ternyata diam-diam dia adalah perempuan ganas yang suka menyerang lelaki terlebih dahulu?” Ecru bertanya sambil memindai pandangannya terhadap Reddish mulai dari ujung kepala hingga ujung kaki. “Apakah dia mencakar? Menggigit?” tanyanya lagi sembari mengucapkan apa yang terbayang dalam benaknya.

Adegan Reddish yang terduduk di ranjang sambil memundurkan tubuh dengan ekspresi ngerinya sementara perempuan biru itu perlahan mendekati Reddish dengan merangkak sambil memperlihatkan lekuk tubuhnya yang erotis entah bagaimana menjadi gambaran paling tidak bisa dipercaya olehnya saat ini meskipun adegan itu adalah satu-satunya yang bisa mewakili kata ‘liar’ yang merujuk ke tingkah perempuan itu.

Reddish menengadah mendengar kalimat aneh Ecru itu. Dadanya berdebar oleh rasa berbunga-bunga yang sekuat tenaga ia tutupi. Dia tak membenarkan, tetapi tak menampik pula. Reddish hanya mendengus lantas menegakkan tubuh, sebelah tangannya tampak bertopang pada sandaran sofa, sementara jemarinya mengusap-usap mulutnya seakan ia sedang kehabisan kata-kata dan begitu takut jika ucapannya kemudian akan keliru dan membuat Ecru menertawakannya.

“Apa maksudmu? Tentu saja tidak. Kami tak melakukan hal-hal seperti yang ada dalam pikiran kotormu itu.” Reddish menyanggah dengan ekspresinya yang terlihat tak tenang.

Ecru mengamati tingkah Reddish itu dalam kependiaman. “Ah, kau tampak kacau sekali, Reddish, padahal esok adalah hari pernikahanmu,” komentar Ecru kemudian dengan nada mengasihani.

“Aku tidak kacau, Ecru, aku sangat siap untuk besok, aku … dan juga dia. Perempuan biru itu pada akhirnya mau menerima pernikahan ini tanpa syarat,” sangkal Reddish dengan melirik sahabatnya itu yang masih bergumul pada bayangan pikirannya sendiri. “Ada hal penting apa yang ingin kausampaikan sehingga kau meluangkan waktu kemari di sela kesibukanmu melatih para prajurit?” tanya Reddish mengalihkan topik kemudian.

Ecru mengangguk menyetujui. “Ya, dia memang harus menerimamu, Reddish. Waktu kita semakin sempit untuk sekadar bernegosiasi,” komentarnya lalu berdeham sebelum mengungkapkan pertanyaannya. “Eh, apakah persiapan pernikahanmu sudah selesai?” dengan keras kepala, Ecru tetap mempertanyakan hal pribadi sahabatnya itu.

“Ya. Semuanya telah kupersiapkan dengan baik. Dewan warna juga telah selesai mempersiapkan bagiannya.” Reddish mengangguk tipis.

“Matamu … apakah telah baik-baik saja? Apakah perempuan itu tahu tentang kedua matamu yang abu-abu?”

Suara benda pecah terdengar dari luar ruangan. Reddish dan Ecru seketika bangkit dari posisi duduk dan menoleh tajam. Memasang kuda-kuda.

Crimson melangkah masuk kemudian. Lelaki itu memasang ekspresi yang sama seriusnya dengan Reddish dan Ecru, diikuti seorang pelayan yang melangkah dengan takut-takut ke dalam ruangan.

“Dia menjatuhkan botol minuman jamuan untuk Anda dan Tuan Ecru, Tuan.” Crimson memberi penjelasan.

Reddish menautkan kedua tangannya di belakang punggung dengan tatapan tajam. Ekspresinya tampak menilai dalam diam.

“Ma-maafkan saya, Tuan Reddish. Saya kurang berhati-hati-“

“Masukkan dia ke ruang tahanan, Crimson.” Reddish memerintah.

Ecru menoleh dengan sebelah alis terangkat, hendak mempertanyakan sikap Reddish yang tak disangka akan begitu kejam untuk seorang pelayan yang melakukan kesalahan kecil.

Bagaimana mungkin Reddish memenjarakan seorang pelayan hanya karena dia memecahkan satu botol minuman?

“Kau tahu tugasmu, Crimson.” Mengabaikan tatapan penuh tanya di wajah Ecru, Reddish melanjutkan perintahnya, diikuti Crimson yang menjentikkan jari untuk mengundang para prajurit yang bersiaga di depan ruangan.

Dua orang prajurit bertubuh kekar kemudian mendekat dan menjura di depan Reddish serta Ecru lantas tanpa menunggu perintah dua kali seketika menyeret lengan di kanan dan kiri pelayan itu keluar dari ruangan, tak mengacuhkan ekspresi takut dan seruannya yang meminta belas kasihan.

Ecru mengusap dagu sembari terus mengamati pergerakan para prajurit itu hingga suaranya menjauh dari ruangan ini.

“Jadi … apa yang ingin kausampaikan?” Reddish membanting tubuhnya di sofa lagi.

Ecru yang teralihkan perhatiannya itu menoleh. Lelaki itu lalu mengikuti Reddish untuk duduk kembali di kursinya. “Ah, baiklah. Lupakan urusan pelayan itu,” ucapnya seperti sedang berbicara kepada dirinya sendiri setelah Reddish ternyata tak mau kalah dengan terus menanyai tujuannya kemari.

Lelaki klan kuning itu duduk bersandar kemudian. Ekspresinya tampak menimbang-nimbang sembari menghela napas. “Aku dan Vermilion berhasil menemukan satu kekuatan misterius yang selama ini berhasil menyembunyikan perempuan klan biru itu di dunia manusia. Dia adalah pemilik kekuatan hitam paling hitam yang pernah ada.”

Reddish memajukan tubuhnya dengan antusias. “Di mana dia saat ini? Aku harus menemuinya segera.”

Ecru tersenyum. “Tenang, Sobat. Kau fokuslah pada pernikahanmu esok hari. Kau tak boleh terlihat meninggalkan kastil ini sampai penyucian pernikahan itu terlaksana. Untuk perkara ini biarkan aku yang bergerak,”ucapnya menenangkan.

Pemimpin klan merah itu mengangkat sebelah alisnya dengan ekspresi heran. “Kau serius? Kenapa senyummu tampak mencurigakan, Ecru?”

Lelaki klan kuning itu terkekeh. “Bukan apa-apa. Kau pasti akan melihat makhluk misterius itu dengan segera. Aku dan Vermilion telah mengatasinya.”

Reddish masih menatap Ecru dengan tatapan tajam. Mempelajari apa yang sedang dipikirkan oleh sahabatnya itu. Namun, setelah beberapa lama ia tak menemukan keraguan di mata Ecru, Reddish akhirnya menghela napas lega dan mengangguk tipis.

“Oke. Aku ingin kau menanganinya sebaik mungkin sebelum penyucian pernikahanku tiba. Entah bagaimana … aku memiliki perasaan jika esok tak akan baik-baik saja, Ecru. Aku seperti harus bersiap dengan lebih waspada untuk pernikahan itu.” Reddish mengungkapkan apa yang ada dalam pikirannya. Wajahnya terlihat berkerut dengan ekspresi gelap.

Ecru bersedekap. “Karena perempuan itu? Apakah kau sedang takut jika kau tak bisa mengendalikan dan menguasai si liar itu seutuhnya, heh?” tanyanya dengan mengangkat sebelah alis.

Reddish menoleh cepat.

Astaga sepertinya dia salah menggunakan kosa kata tadi.

“Bukan, Ecru. Hei, kau tak boleh meremehkan keahlianku sebagai seorang makhluk tertinggi di negeri ini. Aku sangat ahli dalam apa pun, termasuk dalam menguasai seorang makhluk perempuan. Kau tahu, dia telah kutaklukkan dengan lengan-lenganku” kilahnya menyombongkan diri. Lupa dengan pembahasan tentang firasat buruknya yang membuatnya tak nyaman itu.

Ecru menatap Reddish dengan takjub kemudian. “Wah, perempuan itu liar dan-“

“Kau selalu menyebutnya perempuan itu, perempuan itu. Namanya adalah Azure. Azure. Tidak bisakah kau menyebut namanya saat membicarakannya?” tukas Reddish cepat dengan ekspresi sebal.

Perempuan itu memiliki nama yang indah. Sangat indah dan sangat cocok untuk mewakili keseluruhan diri perempuan itu yang manis. Azure. Perempuannya yang sangat angkuh, tapi juga sangat rapuh dan begitu menggemaskan ketika kepalanya yang mungil itu terasa pas dalam rengkuhan bantalan lengan-lengannya yang kuat.

Ecru terkekeh lagi. “Azure,” tirunya sembari mengangguk-angguk. Dengan ekspresi menggoda, Ecru kemudian melanjutkan kalimatnya tadi. “Azure … ternyata adalah perempuan manis nan liar yang mudah ditaklukkan. Sepertinya aku setuju denganmu. Mendengar namanya saja-“

Reddish menggebrak meja di depannya hingga aura merahnya tampak mengepul di sana.

Kurang ajar! Bagaimana bisa Ecru menyebut nama perempuan itu dengan ekspresi yang berbeda? Apakah diam-diam Ecru terpesona pada perempuan itu hanya dari mendengar namanya saja? Bagaimana jika sahabatnya yang jail itu kian terpesona saat melihat perempuan birunya nanti saat upacara pernikahan?

Rasa cemburu dibalut posesif yang sangat pekat menguar dari diri Reddish. Aura merahnya bahkan membuat warna merah di tubuh Reddish menjadi semakin menyala merah, berikut tatapan matanya yang saat ini begitu tajam seolah mampu menguliti Ecru seandainya bisa.

Lelaki klan kuning itu memasang ekspresi terkejut dan pura-pura takut meski dalam hati ia tertawa karena bisa menggoda sahabatnya itu hingga di titik Reddish akhirnya menunjukkan rasa cemburunya yang sangat kuat!

“Sebut dia dengan kata-katamu semula ‘perempuan itu’ saja. Ya. Itu lebih baik karena memang dia tak pantas mendapatkan penghormatann dengan disebut namanya. Ah, ya. Seperti itu.” Reddish berseru dengan wajahnya yang tampak jengkel ke arah Ecru. Ingin menunjukkan jika dirinya tak peduli dengan perempuan itu, meskipun hal itu justru semakin meyakinkan Ecru jika Reddish benar-benar sedang cemburu, bahkan dengan lelaki lain yang hanya menyebut nama perempuannya.

“Baiklah. Baiklah.” Ecru akhirnya menampakkan senyum tipis di bibirnya. Tak ingin menggoda Reddish lebih jauh lagi karena bisa saja ruangan ini menjadi hangus karena Reddish yang meledak marah saat digoda olehnya terus menerus.

“Tak perlu memerintahkan pelayanmu untuk mengganti minumannya, Red. Karena aku harus segera kembali ke kastilku.” Ecru berucap sembari bersiap-siap berdiri. Namun, belum genap sikap berpamitannya itu selesai, suara dentuman yang begitu keras mendadak terdengar dari atas mereka.

Reddish bangkit dari duduknya begitu juga dengan Ecru yang sontak menegakkan tubuh dengan pandangan matanya yang terarah ke luar ruangan, menatap dinding kaca yang melebar di ruangan itu, memperlihatkan pemandangan yang membuat kedua laki-laki itu terkesiap bukan kepalang.

Pelangi semesta yang menggantung di langit negeri itu berguncang, garis warna yang biasanya memancarkan warna ungu itu retak, seperti baru saja terjadi gempa bersamaan suara dentuman tadi. Garis warna ungu itu retak di mana-mana dan tampak mengkhawatirkan seperti akan runtuh.

Wajah Reddish memucat melihat itu semua.

Astaga. Hal buruk itu terjadi lebih cepat!

Kericuhan menimpa seluruh penduduk. Kastil merah yang semula hening itu terlihat ramai oleh gegap gempita para makhluk yang heboh atas suara ledakan dari langit itu

Suara panggilan bertubi-tubi memenuhi kepala Reddish kemudian. Salah satunya adalah dari Jade, sang dewan warna yang mengatakan hal tak terduga yang seketika membuat dada Reddish perih oleh segala ketakutan.

“Reddish! Pernikahan itu harus dilaksanakan lebih cepat! Malam ini juga! Kita tak punya banyak waktu lagi!”

***

Lelaki klan ungu itu tertidur tenang di peraduan. Warna ungu di tubuhnya hampir pudar, sementara Crow, Sky, dan Navy berdiri di sisi ranjang dengan tatapan menilai.

“Bisakah dia bertahan hingga esok hari?” Sky bertanya dengan nada penuh keraguan.

Crow menjentikkan jarinya, lalu dari arah belakang, datanglah seorang pelayan klan hitam yang datang membawa nampan.

Sky dan Navy menoleh, mengamati pergerakan pelayan hitam itu hingga langkahnya tiba di sisi ranjang, meletakkan isi nampan itu di meja nakas sebelum kemudian berpamita keluar ruangan.

Sebuah mangkuk berwarna hitam dengan isinya yang serupa air berwarna gelap itu menyita perhatian Sky dan Navy saat ini.

“Cairan apa itu?” Navy bertanya dengan sebelah alis terangkat.

“Ini adalah saripati bunga ungu dari tanah selatan. Ramuan inilah satu-satunya yang bisa membuat manusia ungu ini bertahan hidup dalam tidur panjangnya.” Crow menjelaskan dengan nada bangga.

“Kita harus meminumkannya?-“ Kalimat Sky tak sempat berlanjut karena mendadak, dari tempat mereka yang begitu jauh terpendam dalam tanah gua ini, terdengar suara yang begitu nyaring dari arah luar.

“Suara apa itu?” Navy yang biasanya peka terhadap hal-hal yang terjadi di sekitarnya, kali ini bertanya pula dengan mata terbelalak.

Mereka bertiga saling bertatapan.

“Ayo, kita harus melihatnya. Semoga itu bukan serangan mendadak dari Reddish yang tiba-tiba saja tahu keberadaan kita.” Crow berjalan terlebih dahulu, menerabas gelapnya lorong di gua itu diikuti oleh Sky dan Navy yang turut melangkah dengan dada berdebar kencang.

“Astaga. Semoga bukan itu yang terjadi.” Sky menyahut dengan napasnya yang terengah penuh kengerian.

Langkah ketiganya bederap, lalu setelah beberapa kali berhasil melewati lorong demi lorong, mereka tiba di permukaan tanah itu dengan sikap waspada. Sky, Navy, dan Crow berdiri saling membelakangi dan menatap sekitar. Lingkungan di permukaan gua itu tampak gulita dengan langit malam yang kian menambah suasana gelap.

Senyap dan tak ada apa pun yang mencurigakan.

Lalu, saat suara ledakan yang keras itu terdengar lagi dengan sangat jelas dari atas, mereka mendongak, kedua mata mereka membelalak saat melihat jika pelangi semestalah yang mengeluarkan suara. Garis warna terakhir pelangi itu memperlihatkan kondisinya yang hampir jatuh dengan retakan-retakan yang menyeluruh di semua sisinya.

“Sepertinya pelangi semesta akan segera meruntuhkan warnanya jika kita tak segera menghidupkan lelaki klan ungu itu. Ayo cepat! Kita harus segera membangunkan makhluk ungu itu dan menjemput saudara perempuan birumu di kastil merah.” Crow berseru dan kembali ke dalam gua dengan Navy dan Sky yang berjalan di sisinya.

Kejutan menyenangkan itu akan dimulai lebih awal!

 

bersambung….

 

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

The Red Prince | Part 18 : Cemburu Buta

red prince cover - CopyRed 3

12 votes, average: 1.00 out of 1 (12 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Segera perempuan itu melangkah semakin jauh ke dalam ruangan dengan kedua matanya yang memindai sekeliling. Saat tiba di sisi peraduan besar yang ada di kamar itu, ekspresi terkejut tampak melumuri wajah Fuschia saat bayangan tentang perempuan bahagia yang akan menjadi calon maharani Reddish itu ternyata tak seperti yang ada dalam benaknya, membuat perempuan itu menelan ludah.

Tampak di tepi ranjang besar berwarna merah itu, duduk seorang perempuan klan biru dengan wajah menunduk. Ekspresi wajahnya terlihat kelam dan penuh dengan nuansa kesedihan nan dingin yang menguar di penjuru kamar itu.

Fuschia menghentikan langkahnya beberapa jangkauan dari tempat Azure. Perempuan itu sepertinya menyadari kedatangan Fuschia, hanya saja, enggan untuk sekadar menengadah dan menyambut.

“Nona.” Fuschia menyapa dengan sebelah tangannya terangkat, mengisyaratkan perkenalan.

Azure perlahan mengangkat pandangan, menatap perempuan klan merah muda yang kini sedang tersenyum hangat ke arahnya. Wajah perempuan ini seperti tidak asing, familier di ingatan Azure.

Klan merah muda, pemimpinnya adalah seorang perempuan. Azure berusaha menggali memori tentang hal tersebut dan saat sebersit ingatan menghampirinya, tentang pemimpin klan merah muda yang dikenal begitu ramah dan mudah beradaptasi itu, Azure lantas balik menyapa dengan pengetahuan nama yang tak disangka akan diucapkan olehnya.

“Fuschia.” Sudut bibir Azure berkedut saat menyebut nama perempuan klan merah tersebut.

Kedua mata Fuschia melebar dengan ekspresi terkejut sekaligus bahagia yang menghiasi wajah mungilnya. “Ah, Anda mengenali saya?” tanyanya dengan nada takjub penuh ketidakpercayaan. “Sungguh sebuah kehormatan bagi saya bisa dikenali oleh Anda, Nona.” Fuschia menjura dengan suaranya yang penuh hormat kemudian.

Azure diam tak menanggapi. Perempuan itu menampakkan wajah sinisnya tanpa mau mengarahkan tatapannya pada Fuschia.

“Ada perlu apa kau menemuiku?” Azure bertanya dengan nada dingin.

Fuschia memasang senyum terbaiknya. “Saya diperintah oleh tuan Reddish untuk menemani Anda. Bolehkah saya duduk?” tanyanya dengan penuh harap.

Azure mengangguk. “Duduklah,” ujarnya mengedikkan kepala ke tepi ranjang di sampingnya.

Namun, tentu saja Fuschia tak merasa pantas sehingga lancang duduk di sisi calon maharani pemimpin mereka. Setelah diperintah untuk duduk, Fuschia dengan sigap menyeret sebuah kursi kayu lantas mendekatkannya ke depan Azure.

“Apa yang kaulakukan?” Azure mengangkat sebelah alis begitu Fuschia duduk di depan tubuhnya dengan posisi lebih rendah seperti sedang menghadap dengan penuh hormat.

“Saya duduk di sini, Nona,” sahut Fuschia dengan menunduk.

“Duduklah di sini.” Azure menepuk-nepuk peraduan itu sebagai isyarat agar Fuschia mau duduk di sampingnya.

“Saya tidak berani, Nona.” Fuschia menunduk dengan senyuman yang masih terkembang di bibirnya.

Ada senyum penuh celaan yang tertampil di ekspresi Azure kemudian.

“Kau tidak berani? Atau kau tidak mau?” Azure bersedekap. “Aku tahu jika diriku memanglah hanya seorang tawanan … seperti perempuan klan biru yang lainnya juga. Tetapi kau terlalu terang-terangan menolakku sebagai sesama makhluk perempuan,” ujarnya dengan nada tersinggung yang sengaja diucapkannya agar perempuan klan merah muda itu kesal dan segera enyah dari ruang tahanannya itu.

Wajah Fuschia mendadak pias dengan mulut ternganga mendengar kalimat Azure. Secepat ia mampu, tubuhnya bangkit berdiri dari kursi itu dan ekspresinya yang tampak serius saat berkata,

“Saya benar-benar tidak berani, Nona. Anda … Anda adalah calon maharani pemimpin negeri ini yang sangat saya hormati. Saya begitu menjunjung tinggi kepemimpinan Tuan Reddish. Oleh karenanya, saya menghormati Anda juga sebagai pasangannya.” Kening Fuschia berkerut saat melanjutkan kalimatnya dengan pertanyaan. “Dan … apa yang Anda maksud dengan perempuan klan biru yang lain? Sebab, setahu saya, perempuan klan biru yang telah ditemukan oleh Tuan Reddish dan akan segera dinobatkan sebagai maharani hanyalah Anda seorang. Tidak ada yang lain lagi,” jelasnya dengan suara bersemangat yang membuat Azure menegakkan punggung serta menatap lekat-lekat Fuschia dalam ekspresi dinginnya.

Azure terkekeh dengan sinis. “Ah, apakah sebagai klan merah mudah yang dikenal punya banyak cinta itu kau menjadi seorang ahli berkata-kata juga untuk menggoda yang lainnya? Apakah Reddish akan berucap seperti itu juga kepadaku nantinya? Hanya aku, tak ada yang lain?” ucapnya panjang lebar tanpa jeda napas, menirukan ucapan Fuschia tadi dengan gaya dibuat-buat untuk mengejek di akhir kalimatnya.

Mendengar perkataan Azure yang terdengar ketus dan terang-terangan mencelanya itu, Fuschia justru melempar senyumnya lagi dengan santai. “Tentu saja tuan Reddish akan mengatakan seperti itu juga nantinya, Nona. Anda adalah perempuan istimewa bagi beliau,” jawabnya tanpa rasa berdosa, ditambah dengan ekspresinya yang bersungguh-sungguh.

“Kalau boleh saya tahu, Anda tadi berkata jika ada perempuan klan biru lainnya? Siapakah itu? Apakah Anda mengetahui dan mengenalnya?” tanyanya dengan eksprsi penuh ingin tahu.

Fuschia sungguh-sungguh dengan pertanyaannya. Dirinya bahkan terkejut mendengar nona Azure tadi berucap dengan penuh kesal saat menyebut tentang ‘perempuan klan biru lain’. Ucapan Fuschia tadi bukanlah kebohongan karena memanglah tidak ada perempuan klan biru lain selain nona Azure di kastil milik tuan Reddish ini.

Tunggu dulu. Kening Fuschia mengernyit saat memikirkan sebuah kemungkinan yang melintas di benaknya.

“Sapphire? Bukankah dia adalah anggota koloni klanku? Dia juga ditempatkan di kastil ini, bukan? Apakah kau tak tahu?” cecar Azure dengan pertanyaan yang sungguh terdengar konyol di telinga Fuschia.

Tanpa disangka, jawaban dari pertanyaan itu adalah suara tawa renyah dari mulut Fuschia. Perempuan klan merah muda itu tertawa tanpa merasa malu hingga Azure mengernyitkan kening dalam-dalam saat melihatnya.

Apanya yang perlu ditertawakan? Apakah Fuschia baru ingat jika penghormatan yang setinggi langit kepadanya itu ternyata keliru? Ternyata Fuschia baru ingat jika dia masih harus menghormat juga kepada calon maharani Reddish yang lain?

“Nah, kau baru ingat,” sahut Azure dengan ekspresi serius.

Pemikirannya sendiri tentang calon maharani Reddish itu jadi membuat dadanya kian penuh oleh rasa sebal saat menebak-nebak jika mungkin saja Reddish saat ini tengah menghabiskan waktu bersama Sapphire itu.

Bayangan-bayangan adegan mesra Reddish dengan perempuan itu membuat tanpa sadar sebelah tangan Azure mengusap-usap lagi bekas kedekatannya dengan Reddish beberapa waktu lalu.

“Ya. Saya memang baru ingat dan menyadari.” Fuschia menutup mulutnya kembali, menahan tawa, lalu melanjutkan kalimatnya.

“Anda sepertinya tengah dilanda cemburu buta, Nona,” ujar Fuschia sembari menyengir ke arah Azure yang tergeragap mendengar tuduhan Fuschia yang tepat mengenai hatinya itu hingga Azure terbatuk-batuk.

“Cemburu katamu? Bagaimana mungkin? Kalau saja bisa, aku sudah enyah dari tempat ini karena tak sudi menjadi perempuan simpanan pemimpinmu itu,” serunya dengan ketus.

Lagi-lagi Fuschia menampakkan ekspresi bersahabat dengan mengulum senyum. “Dari mana Anda mendengar nama Sapphire? Apakah tuan Reddish sendiri yang mengatakannya kepada Anda? Saya rasa tidak mungkin, karena jika Anda tahu, Sapphire hanyalah nama. Makhluk perempuan  itu sebenarnya adalah anggota koloni klan hijau, kekasih Shamrock yang diperdaya sehingga diubah warnanya menjadi biru. Saat ini, Olive, perempuan klan hijau yang ditangkap dan dipenjarakan di kastil putih itu telah mati, Nona. Tuan Reddish menghabisinya dengan tangan beliau sendiri,” jelas Fuschia tanpa diminta, menjelaskan kesalahpahaman yang selama ini tertanam di benak Azure dengan ekspresinya yang serius.

Azure tak memberi tanggapan. Perempuan itu menampilkan ekspresi tak terbaca meski hatinya berdegup oleh rasa aneh yang mengalirkan setitik kelegaan saat mendengar Fuschia berkata jika Sapphire adalah … perempuan palsu?

Mengapa saat Reddish sudah tahu jika perempuan itu adalah perempuan hijau yang diubah warnanya, lelaki itu tetap bersikeras untuk mengadakan acara jamuan malam dengannya?

Pertanyaan itu begitu ingin ia lontarkan, tetapi lidahnya terlalu kelu dan gengsinya begitu tinggi saat dirinya harus mengorek-ngorek dan bertanya perihal kehidupan Reddish di depan perempuan klan merah muda ini.

Azure berteriak dalam hati jika dirinya tidak peduli dengan apa yang dilakukan lelaki itu. Dia tak ingin tahu.

Fuschia mengawasi ekspresi nona Azure yang dingin meski dari tatapan kedua matanya yang kini sedang memandangke arah samping, ke segala benda acak yang menjadi tatapan pelampiasannya saat perempuan itu berpikir, Fuschia tahu jika sesungguhnya Azure menyimpan perasaannya sendiri yang tak ingin diketahui olehnya. Entah seperti apa pertemuan tuan Reddish dengan Nona Azure ini, tetapi Fuschia yakin jika tuan Reddishnya adalah lelaki bijaksana yang memperlakukan nona Azure ini dengan baik. Nyatanya, beliau menempatkan calon maharaninya itu di sisinya yang paling pribadi, di tempat yang tersembunyi nan paling aman di sebaik-baik ruangan di kastil merah ini.

“Ah, sebenarnya ada banyak sekali musuh tersembunyi di kastil ini. Kami memang seperti hidup rukun dalam kebersamaan, tetapi siapa yang tahu jika ada pemberontak lainnya yang sedang menyusun rencana dan menghancurkan tuan Reddish? Bahkan dewan warna sendiri … mereka memiliki penilaian tersendiri kepada pemimpin kita sehingga mereka lebih banyak berseteru ketimbang duduk bersama dan bermusyawarah saat menyelesaikan masalah.” Fuschia menggigit bibirnya sedikit saat mengucapkan informasi itu, berharap ada sedikit rasa simpati di hati nona Azure kepada calon suaminya.

Perempuan itu lantas menghela napas panjang, segera mengalihkan pembicaraan dengan topik tak menyenangkan itu dengan pembahasan lainnya walau Azure tak bereaksi apa-apa atas secuil cerita tentang tuan Reddishnya itu.

Azure menoleh, menghindari tatapan Fuschia. Kedua netra birunya beralih memandangi jendela dengan pemandangan abu-abu di sana dengan tatapan menerawang.

Meski begitu, Fuschia tetap bersemangat melontarkan kembali kalimat-kalimatnya. “Nona, tahukan Anda jika kami, para pemimipin klan dan prajurit telah berusaha menemukan Anda dalam waktu yang lama tapi tidak juga membuahkan hasil? Dewan warna yang begitu bersikukuh jika harus melakukan penyisiran di seluruh daratan negeri ini hampir putus asa saat tiba-tiba saja tuan Reddish berkata jika beliau sudah menemukan perempuannya, Anda, yang ditempatkan oleh beliau di ruang kamar beliau yang Agung ini.”

Kalimat itu diucapkan oleh Fuschia dengan nada bahagia, seolah perempuan itu sedang menceritakan dongeng indah kepada Azure, hingga Azure menoleh dengan terpana, menatap Fuschia lekat dengan mulut ternganga penuh ketidakpercayaan, seakan ucapan Fuschia itu adalah sebuah keajaiban yang menjadi nyata.

***

“Mengeluarkan darah?” Sky mengusap dagunya dengan ekspresi berpikir. Kepalanya menoleh ke arah Navy serta Crow yang saat itu juga tengah mengernyitkan dahi mendengar kabar dari pelayan klan merah yang melapor kepada mereka itu.

“Ya, Tuan. Tuan Crimson berkata jika sebelah mata tuan Reddish mengalami pendarahan dan harus segera ditolong,” jelasnya lagi.

“Apakah itu sesuatu yang krusial dari keadaan Reddish? Apakah itu tidak terlalu biasa? Memangnya apa yang salah dengan mata berdarah? Kita semua bisa mengalami itu.” Sky menampik informasi itu. “Tidak adakah sesuatu hal lain yang lebih penting? Kau pergi sejauh ini hanya untuk melaporkan itu?” tegur Sky kemudian.

Si pelayan klan merah itu menelan ludah dengan gugup dan kepalanya menunduk.

Pada mulanya, dirinya disekap oleh tuan Sky beberapa waktu lalu dan diancam dengan kelemahannya yang paling lemah yaitu istri dan anaknya. Tuan Skynya berkata jika anggota keluarganya itu kini dalam pengawasan dirinya dan Navy. Mereka berdua tak akan segan-segan melukai bahkan membunuh dua makhluk yang dicintainya itu jika si pelayan tak menurut. Demi cintanya kepada dua makhluk yang telah menemani hidupnya begitu lama itu, akhirnya si pelayan pasrah dan mengingkari sumpah setianya kepada Reddish dan beralih pihak kepada dua makhluk klan biru itu untuk akan selalu memberikan informasi apa saja terkait Reddish di kastil merah.

Dia berada dalam dua dilema yang begitu dalam terkait tindakannya itu. Saat ini, dirinya memang bisa menyelamatkan istri dan anaknya dari ancaman tuan Sky, tetapi bagaimana jika di waktu-waktu ke depan, giliran dirinya yang ketahuan oleh prajurit merah dan ditangkap lalu mendapat hukuman kematian dari dewan warna? Bukankah itu sama juga dengan dirinya memberikan siksaan kepada dua makhluk terkasihnya itu dengan ketiadaan dirinya?

Si pelayan menunduk kian dalam. Tak mau memikirkan kemungkinan buruk yang begitu menyiksa hati dan jiwanya dengan kejam itu. Dia tak sempat berpikir terlalu jauh mengenai kenyataan bahwa ternyata sebagian koloni klan biru bersembunyi di tempat paling tidak mungkin ditempati oleh makhluk langit ini, yaitu sebuah gua dalam dengan sisi tanahnya yang berwarna cokelat gelap di balik bukit jauh dari keberadaan kastil para pemimpin klan di pusat negeri.

Biasanya para makhluk langit tinggal di lingkungan yang sama dengan warna mereka, hal itu telah menjadi kebiasaan dan merupakan sebuah kekhasan dan kenyamanan tersendiri bagi mereka saat tinggal di ruangan yang mewakili diri mereka.

Hal itu dirasakan oleh si pelayan di mana dirinya saat ini merasa kosong dengan kekuatan merah yang begitu kecil mengalir di tubuhnya itu seakan menghilang dari dirinya ketika ia berada di ruangan gelap bersama dengan tiga makhluk berkekuatan tinggi yang sangat berlawanan dengan dirinya sebagai makhluk klan merah.

“Ya, Tuan. Hanya itu … informasi yang saya dapatkan di tanah ladang tadi. Saya belum …  mendapatkan informasi selain kabar itu,” ujarnya dengan ketakutan yang merayapi hatinya.

Hening mengisi ruangan. Hanya terdengar suara api yang gemeresak membakar kayu-kayu kering di perapian.

“Jadi … Reddish mengalaminya juga.” Tanpa diduga, Navy berkata dengan kening mengernyit.

Semua orang yang terdiam dengan pemikiran-pemikirannya masing-masing itu sontak menoleh ke arah Navy.

“Apa maksudmu dengan Reddish turut mengalaminya juga, Navy?” Sky menatap tajam dengan ekspresi berani pada makhluk klan biru yang berusia jauh di atasnya itu.

Navy melemaskan tubuh dan bersedekap, bayangan api dari perapian yang memantul di wajahnya itu membuat ekspresi gelapnya kian mengerikan. Navy menyeringai, lantas mengungkapkan pengetahuan yang selama ini dipendamnya dalam-dalam.

“Yale, ayah Azure, pemimpin koloni klan biru pada masa dahulu, berjuang keras untuk melengserkan takhta Mahogany, ayah Reddish, adalah karena keadaan Mahogany sebagai pemimpin yang tak sempurna. Lelaki pemimpin klan merah itu memiliki kekurangan pada kedua matanya yang buta-“

“Buta?” Sky menukas keras dengan ekspresi penuh tanya yang pekat begitu mendengar kejutan itu.

“Aku belum selesai bicara, Sky, jangan memotong kalimatku,” tegur Navy dengan kalimatnya yang dalam.

“Mahogany memiliki buta warna. Kedua matanya itu tak memiliki kemampuan untuk membedakan warna, sehingga yang tampak di matanya hanyalah warna abu dan putih,” papar Navy dengan nada tak suka yang tak ditutup-tutupi.

“Lalu … bagaimana bisa Mahogany terlihat sempurna seperti tak memiliki kekurangan? Apakah … dia memakai alat bantu?” Crow, yang sepertinya juga baru saja mengetahui tentang kenyataan itu turut bertanya. Mahogany adalah pemimpin klan merah yang seangkatan dengannya. Usia mereka hampir sejajar, sehingga sedikit banyak Crow paham mengenai kepemimpinan dan bagaimana karakter lelaki klan merah itu meski hanya bisa dihitung dengan jari pertemuan langsung mereka berdua selama hidup Crow.

“Ya, tepat sekali.” Navy menyahut. “Mereka tentu saja berusaha keras sedemikian rupa agar Mahogany tetap bisa menjalani hidupnya seperti biasa. Lelaki klan merah itu mengenakan lensa bantu sehingga dia bisa melihat seperti mata normal. Tapi sayangnya, kekuatan merahnya terlalu kuat untuk dikalahkan meski pada akhirnya Mahogany berakhir juga dengan kekalahannya melawan penyakit tuanya saat bertempur dalam perang warna beberapa masa yang lalu.”

Kisah itu mengudara kembali seolah penampakan Mahogany dan cerita-cerita kehidupannya melayang-layang di udara di depan mereka. Menampilkan kisah tersembunyi mengejutkan yang sama sekali tak pernah mereka sangka akan terjadi.

“Ah, jadi, Reddish menuruni ayahnya? Lelaki itu buta warna? Begitu maksudmu?” Sky bertanya dengan kesimpulan dalam kalimatnya.

“Kemungkinan besar seperti itu.” Navy menjawab sembari menoleh ke arah lelaki klan merah yang saat itu anteng tak bergerak jauh di sisi pintu, menanti perintah selanjutnya.

“Kau,” sapa Navy membuat pelayan itu tegeragap.

Lelaki merah itu menengadah sedikit lantas menjura. “Saya, Tuan.”

“Lanjutkan tugasmu mengintai Reddish. Kalau perlu, bagaimana caranya agar kau bisa berada di dekat lelaki klan merah itu agar informasi yang kaudapatkan semakin jelas. Aku memberimu waktu hingga 1 jam sebelum pernikahan Reddish tiba,” perintah Navy dengan kejam tanpa peduli jika kalimatnya kian menambah ketakutan di jiwa pelayan itu. “Kualitas kerjamu akan sebanding dengan perlakuan kami kepada dua makhluk kesayanganmu itu, anak dan istrimu,” ancamnya dengan tatapan tajam. “Jadi, lakukan tugas ini dengan sebaik-baik kekuatanmu,” lanjutnya masih dengan kalimat mengancam, membuat si pelayan itu tak bisa berbuat apa-apa selain menurut dan menurut.

“Baik, Tuan Navy. Saya akan segera kembali dengan informasi lainnya yang berguna untuk Tuan-tuan semuanya,” janjinya tanpa pikir panjang.

Navy tersenyum puas di sudut bibirnya.

“Pergilah. Aku telah memerintahkan Vantablack untuk melindungimu saat kau berada jauh di tempat ini hingga kau bisa aman terbang kembali ke kastil merah tanpa semakhluk pun yang bisa tahu di mana lokasimu.” Crow memerintah dengan angkuh diiringi kepergian si pelayan merah.

“Jadi, kita punya senjata rangkap untuk menembak Reddish tepat sasaran.” Sky bersedekap dengan senyum senang tersimpul di bibirnya.

“Lelaki klan ungu itu dan juga kenyataan tentang diri Reddish yang tak sempurna jika perkiraanku benar.” Navy menyambung.

Suara kekehan terdengar dari mulut Crow kemudian. “Bukankah akan menjadi pertunjukan yang menyenangkan di hari pernikahan Reddish saat kita menghidupkan kembali lelaki klan ungu itu serta mengumumkan kenyataan mencengangkan yang akan membuat negeri langit gempar?” Kali ini Crow tertawa.

Tawanya menular ke Sky dan Navy yang saat itu turut terbahak setelah mendapat amunisi penyerangan kepada Reddish untuk ke sekian kali.

“Mungkin karena memanglah yang sempurna yang seharusnya berada di depan? Alam selalu merestui kita setelah kita gagal pada rencana-rencana sebelumnya.” Sky menyeringai.

“Bersiaplah kalian. Mungkin waktu ini adalah saat pengadilan untuk kalian yang seharusnya memimpin negeri ini dengan sempurna karena kalian adalah makhluk sempurna.” Crow menyemangati dua makhluk biru itu dengan suaranya yang penuh provokasi.

***

Reddish berdiri di belakang jendela besar ruang pribadinya. Tatapannya menerawang jauh, mengamati alam langit yang saat itu terlihat mengkhawatirkan di matanya. Tidak. Reddish tidak sedang melamun. Dia tengah mendengarkan dengan saksama percakapan Fuschia dan juga Azure di dalam ruang peraduannya.

Reddish mendengar semuanya. Bagaimana Fuschia berucap ramah, bagaimana berulang kali perempuan klan merah muda itu memuji-mujinya di depan Azure yang membuatnya mual, bagaimana pada akhirnya Fuschia menceritakan tentang kenyataan sebenarnya pada Azure jika Azure saat ini bukanlah berada di ruang tahanan, melainkan di ruang kamar pribadinya. Reddish juga mendengarkan dengan kening mengernyit saat Azure menyebut-nyebut tentang Sapphire, nama makhluk klan biru palsu yang telah mati itu.

Ada rona merah muda yang melintas di wajah Reddish saat mendengar suara Azure yang bening itu menyatakan nada tak suka pada perempuan yang bahkan sejujurnya tak ada itu. Reddish lalu menautkan jemarinya di belakang tubuh, berdiri dengan tegap saat otaknya yang cemerlang itu berhasil menyambungkan percakapan Azure beberapa waktu lalu yang didengarnya saat perempuan itu bercakap-cakap dengan Crimson hingga akhirnya pingsan di depan pintu.

Azure cemburu? Mengira dirinya menyimpan banyak perempuan klan biru di kastilnya sebagai calon maharani?

Sudut bibir Reddish berkedut mendengar kesimpulan hatinya sendiri. Hatinya mengembang penuh senang mendengar bagaimana suara Azure yang penuh nada cemburu. Sepertinya akan menyenangkan jika ia menggoda Azure sekali lagi, menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bagaimana ekspresi perempuan itu saat sedang cemburu.

Reddish tersenyum tipis saat hatinya merasa bahagia. Tatapannya lalu terarah pada pelangi semesta yang saat ini padam di langit sana. Ia bersumpah dalam hati sebagai pemimpin negeri, jika dirinya akan memenuhi kewajiban penghidupan itu dengan segera. Reddish memastikan jika tak ada yang mampu menghalanginya lagi saat upacara pernikahannya nanti.

Azure akan menjadi istrinya. Perempuan itu akan menjadi hak miliknya dan tak ada siapa pun yang boleh menyentuhkan tangannya kepada maharaninya itu. Azure akan tinggal di kamar itu seumur hidupnya, dengannya, dan dengan anak-anak mereka nantinya.

Reddish mengucapkan kesungguhan itu dengan keinginan memiliki yang begitu kuat di dalam jiwanya. Lalu … sebuah pemikiran lain mendadak tebersit di benaknya. Sebuah bisikan … bisikan tentang sesuatu hal buruk yang sedang mengejar-ngejarnya di belakang.

Ekspresi Reddish yang cerah itu berubah kelam.

Kedua matanya yang cacat.

Entah bagaimana Reddish merasakan aura yang kuat berwarna gelap mengenai kedua matanya itu.

Apakah firasatnya benar? Apakah ada makhluk lain di luar izinnya yang saat ini mengetahui perihal kelemahannya itu dan sedang bersiap menyerangnya?

Ini semua mengingatkannya kepada sang ayah. Reddish tak ingin sejarah perang warna kembali terulang. Dia ingin negeri ini tetap baik-baik saja. Prioritasnya adalah kehidupan negeri. Reddish telah berpikir matang dan memiliki rencananya sendiri. Sebuah rencana yang pasti akan membuat semua makhluk tercengang karena keterkejutan yang menampar mereka.

Vermilion pernah berkata padanya jika kekuatan bersembunyi paling hebat dimiliki oleh kekuatan makhluk klan hitam. Lalu, siapakah pemilik kekuatan itu sehingga bahkan Reddish tak bisa menemukan dan mempelajarinya?

Ingatan tentang Azure yang ternyata disembunyikan oleh makhluk klan hitam itu mengusik perasaan marah di hatinya. Reddish bersumpah untuk akan menempatkan Azurenya yang berharga itu jauh dari jangkauan makhluk manapun. Azure adalah kunci dari segalanya saat ini, dia adalah satu-satunya perempuan yang akan menjadi miliknya untuk membangkitkan kembali pelangi semesta yang menjadi tugasnya itu.

Rasa posesif yang menggelegak begitu kuat menguar dari dalam tubuhnya, memunculkan pendar aura merah yang menyelubungi lelaki itu. Reddish memejam sejenak dengan geraham bekedut, berusaha menetralkan aura merah yang begitu pekat keluar dari jiwanya.

Lalu, suara seorang pelayan perempuan terdengar menyapa dari luar ruangan, membuat Reddish terdistraksi dari gelapnya pemikirannya sendiri dan menoleh.

Reddish sesungguhnya tak ingin bedekatan dengan perempuan-perempuan pelayan di kastilnya ini. Namun, keberadaan Azure mengubah semua tatanan. Reddish mendadak meminta Crimson untuk mengadakan seleksi pelayan perempuan untuk calon maharaninya. Sehingga, di sinilah para pelayan itu, menyiapkan segala kebutuhan dan bertugas menemani serta merias Azure esok hari.

“Tuan Reddish.”

“Masuklah,” sahutnya dingin.

Setelahnya, masuklah bederap-derap para pelayan yang dimintanya untuk datang. Mereka membawa apa saja yang Reddish minta. Gaun untuk Azure, mantel miliknya serta berbagai pilihan aksesori serta tata cara upacara penyucian pernikahan untuk dirinya dan Azure.

Reddish menatap terpesona pada gaun berwarna biru azure yang dipajang menggunakan maneken.

gaun

Gaun itu tampak sederhana, tetapi entah bagaimana Reddish membayangkan jika Azure akan tampak cantik sekali saat mengenakannya. Warna gaun itu tepat sama sepeti warna rambut Azure yang indah, sama seperti alis dan bulu matanya, kedua pupil matanya, kedua ujung tangannya ….

Reddish mendengus saat dadanya bergetar ketika sekilas saja ia membayangkan tentang Azure. Lelaki itu tiba-tiba saja melangkah cepat melewati berbagai barang yang yang bahkan belum selesai dimasukkan oleh para pelayan. Reddish melangkah terburu-buru dan tak memperhatikan sama sekali jika langkahnya itu sesekali tampak menabrak gantungan baju dan meja-meja dorong tempat para pelayan meletakkan aksesori.

Dengan terkejut sekaligus bingung harus berbuat apa, satu dari sekian banyak pelayan yang berada di tempat itu memberanikan diri untuk berseru, “Tuan Reddish, Anda hendak ke mana?”

Reddish menghentikan langkahnya dan tertegun, seolah ia baru saja kehilangan akal sehatnya sehingga tak mampu berpikir.

“Aku menyukai semuanya. Siapkan saja yang paling baik,” ujarnya tanpa menoleh lalu melanjutkan lagi langkahnya yang sempat tertunda.

Hanya ada satu hal yang ada di pikirannya yang membuatnya gila saat ini. Azure.

Reddish seperti kesetanan dengan melangkah cepat hingga lupa jika masih ada Fuschia di kamar pribadinya itu yang masih berbincang dengan Azure, terlebih, ia seperti menganggap Crimson tak ada dengan mengabaikan segala bentuk penghormatan lelaki itu padanya.

Ruangan pribadi yang tadi didatangi oleh para pelayan itu terletak tak begitu jauh dari ruang peraduannya, hanya terpisah oleh satu lorong yang membuat Reddish bisa cepat sampai di sana.

“Keluar.” Reddish memerintah kepada Fuschia dengan tatapan dingin yang hanya tertuju kepada Azure, mengabaikan Fuschia yang saat itu terkejut setengah mati saat sang pemilik kamar datang tanpa pemberitahuan. Walau demikian, Fuschia tetap bersikap seperti sedia kala dengan melempar senyum manis penuh hormatnya dan segera berlalu dari hadapan dua orang yang sepertinya tengah bersitegang itu.

Azure melempar tatapan tak terbaca ke arah Reddish yang saat itu melangkah kian dekat kepadanya.

Apa yang terjadi pada lelaki ini? Mengapa pandangan matanya tampak begitu marah?

Reddish mengetatkan gerahamnya saat melihat Azure sedang terduduk di tepi ranjang. Sikap perempuan itu masih sama seperti sebelumnya, sama sekali tak memperlihatkan ketertarikan dan justru mengangkat sebelah alisnya dengan ekspresi tak suka atas kedatangan Reddish yang tiba-tiba. Namun, kenyataan saat ini di mana Azure dengan warna birunya yang mencolok, menghiasi tepi peraduannya yang didominasi warna merah itu kembali menyulut hasratnya yang tak bisa dibendung.

Reddish melangkah semakin dekat ke depan tubuh Azure hingga perempuan itu tampak kebingungan lalu hendak menjauh dengan semakin naik ke atas peraduan, tetapi lengan Reddish yang kuat berhasil menahan pundak Azure hingga perempuan itu kaku tak bergerak dengan tatapan membelalak ke arah Reddish.

Reddish membungkuk merendahkan tubuhnya, hingga kini kedua mata mereka yang saling bertatapan itu menjadi dekat. Lelaki itu tak memberi kesempatan bagi Azure untuk menghindar saat tiba-tiba saja, Reddish mencium bibirnya dengan lembut.

Tubuh Azure bergetar hebat mendapat ciuman tak disangka itu. Perempuan itu meletakkan kedua tangannya pada dada Reddish untuk mengingatkan lelaki itu jika sepertinya ada yang salah dengan dirinya kali ini. Namun, tindakan Azure itu justru memicu hasrat yang lebih hebat lagi di diri Reddish. Lelaki itu kembali menciumi bibir Azure dengan gerakan sensual, menyatukan kedua bibir mereka dengan ciumannya yang panas, mendorong tubuh Azure untuk rebah dan kian menguasai ciuman itu semakin dalam, membuat Azure terhanyut dan tak bisa melawan.

 

bersambung….

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

The Red Prince | Part 17 : Rahasia Terbongkar

red prince cover - CopyRed 3

11 votes, average: 1.00 out of 1 (11 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Dunia manusia dilanda kemarau panjang. Sebagian besar benua mengalami musim kering merata pada beberapa waktu terakhir. Tanah-tanah berdebu meringkai haus hujan, pepohonan serta tanaman-tanaman bunga berakhir mengering tanpa memunculkan buah ataupun bunganya yang semula indah menghiasi pandangan.

Flavia duduk termangu di taman kota. Pandangannya tampak menerawang, menatap bunga-bunga biru yang semula begitu mencolok dengan warna biru cerahnya itu yang kini mulai layu. Tak ada lagi bunga biru yang pada beberapa waktu lalu menjadi pusat perhatian seluruh warga kota bahkan turis asing. Taman yang semula ramai oleh banyak sekali pasang mata yang memuja keindahannya itu kini seperti sepetak tanah tak berpenghuni yang tak terawat. Tanaman-tanaman bunga yang pada waktu lalu tumbuh subur beraneka warna dan didominasi warna biru itu saat ini hanya menyisakan batang dan daunnya yang berserak menyedihkan di atas tanah. Rerumputan yang semula tumbuh subur bak permadani yang selalu nyaman untuk tempat bersantai itu kini mengering, walau penyiram tanaman otomatis masih mengalirkan airnya pada periode waktu tertentu.

Flavia meneguk lagi air dari botol minuman yang biasa dibawanya untuk bekal. Dia teringat Carissa. Perempuan pendiam yang tiba-tiba saja menghilang entah ke mana. Biasanya di malam-malam seperti ini, mereka akan menghabiskan waktu bersama untuk melepas penat dengan mampir ke kafe atau bar terdekat, berjalan melewati taman ini dan membicarakan apa saja tentang yang terjadi hari itu atau rencana mereka untuk menghabiskan waktu bersama keesokan harinya.

Perempuan itu tahu Carissa menyimpan sesuatu yang tak ingin dibagi dengannya. Wajahnya yang selalu pucat serta tatapan matanya yang menyiratkan kekosongan itu selalu mengusik perasaan Flavia. Namun, berkali-kali ia secara halus membuka lengannya sebagai teman baik yang selalu mencoba mengerti keadaan temannya, tetapi tetap saja Carissa masih menutup rapat tentang kehidupannya yang seolah penuh misteri itu.

Sekarang, Carissa tak ada lagi. Bos mereka di toko toserba itu hanya mendengus dan mengangguk pelan tanpa komentar saat dikabari olehnya jika ia tak bertemu dengan Carissa dan perempuan itu tak bisa dihubungi. Seolah mengikhlaskan begitu saja kepergian Carissa yang tanpa kabar. Orang-orang di sekitar flat tempat tinggal Carissa pun hanya mengangkat bahu dan menggeleng tipis, tak tahu dan tak mau tahu tentang kehidupan perempuan lajang yang jarang bergaul tersebut.

Flavia sendiri saat ini tak ada teman. Dia belum menemukan lagi teman baik seperti Carissa yang bisa menghibur hari-harinya. Teman-temannya di toserba itu berusia jauh lebih muda darinya yang telah lama bekerja di sana, sehingga mereka lebih sering menggerombol dengan pegawai seusia mereka serta melakukan hobi dan kegiatan bersama-sama, menghormati dan menganggap Flavia dan Carissa sebagai pegawai senior sehingga mereka lebih sering mengabaikannya.

Flavia mengembuskan napas panjang, pandangannya yang sempat melamun itu kembali ke sekitar.  Carissa seolah enyah dengan membawa serta keindahan taman favorit mereka ini, berikut cuaca dan musim yang entah bagaimana tak terlihat baik. Warna-warna hijau pepohonan yang meskipun tumbuh jarang di perkotaan seperti ini, tetapi tetap saja menampakkan begitu banyak perbedaan seolah warna-warna enggan menempel di tempatnya, memilih luntur dan pasrah pada layu yang mengunggis keindahannya.

Flavia beranjak berdiri sembari mencangklong lagi tas selempang yang sempat ia letakkan di kursi saat ia duduk tadi. Embusan angin malam kian kencang meniup-niupkan udara dinginnya ke sekeliling. Seolah menampar-nampar kulitnya serta mengejek Flavia yang saat itu kesepian.

Ke mana sebenarnya Carissa pergi? Ada persoalan pelik seperti apa sehingga ia lebih memilih kabur darinya begitu saja?

Pertanyaan-pertanyaan itu terulang setiap malam tanpa bosan, meski Flavia tahu jika sepertinya tak akan ada keajaiban yang terjadi meskipun ia merapal pertanyaan itu di hatinya terus menerus.

***

Ini pasti karena kekuatannya yang terkuras tadi serta kecerobohannya yang membiarkan matanya yang begitu berharga itu terbuka begitu saja tanpa pelindung sejak ia menemukan Azure.

Reddish melangkah pelan tanpa suara meninggalkan kamarnya, tanpa tahu jika sejak tadi sesungguhnya Azure telah terbangun dan terkejut dengan wajah pias mendapati Reddish mengeluarkan darah begitu banyak hingga mengalir di tangannya.

Ada apa dengan lelaki itu? Apakah mata merahnya yang galak itu memiliki cedera yang tak ia ketahui?

Azure menopang tubuhnya dengan kedua tangan lantas duduk perlahan bersandar di kepala ranjang. Bibirnya menampakkan senyum sinis.

Baguslah. Ternyata, tanpa ia berbuat apa-apa, Reddish telah mendapatkan balasannya sendiri. Sudah sepantasnya laki-laki ketus, sombong, dan tak punya perasaan yang selalu menatapnya tajam itu memiliki sakit mata.

Azure lalu mengangkat alis saat baru menyadari jika tubuhnya kini telah sehat kembali. Tubuhnya yang semula terasa lemah tak berdaya setelah mencoba melawan kekuatan merah yang sekuat batu itu kini pulih kembali. Seluruh badannya terasa segar, aliran kekuatan tubuhnya kembali terisi penuh, seakan tidurnya baru saja mengembalikan energi birunya.

Azure menyingkap selimut yang menutup setengah tubuhnya, melihat dengan teliti keadaan dirinya mulai dari ujung kaki hingga seluruh badan dengan kedua tangannya yang kembali terangkat. Jemarinya yang lentik dengan ukiran akar-akar biru itu membuka, memendarkan aura biru tipis dan keningnya mengernyit.

Reddish memulihkannya lagi? Nuansa hangat yang terasa menyembuhkan di tubuhnya tadi adalah kekuatan Reddish?

Tanpa sadar Azure menurunkan tangannya cepat dan menoleh ke pintu dengan geraham mengetat. Menatap ke arah lelaki itu pergi meninggalkan ruangan saat sebelah matanya berdarah tadi.

Azure mengusap-usap dengan gerakan kasar pada sebelah tubuhnya yang tadi sempat tersentuh tubuh Reddish hingga terasa ngilu.

Apakah proses penyembuhannya memang harus begitu? Dengan dipeluk? Astaga … Baru saja kemarin malam lelaki itu berkencan dengan Sapphire dan dini hari ini Reddish tidur dengan memeluknya?

Ekspresi Azure berubah marah. Dia merasa harga dirinya dijatuhkan begitu saja dengan menjadi perempuan simpanan Reddish. Tidak. Dia tidak mau. Dirinya bukan perempuan gampangan yang bisa seenak jidat dimanfaatkan begitu saja untuk kepentingan laki-laki mesum itu.

Napas Azure terengah dengan kemarahan yang membakar habis seluruh kesabarannya. Perempuan itu bangkit dari ranjang. Menoleh ke sana kemari untuk menemukan pintu yang dicarinya. Dan benar saja, di ujung ruangan kamar itu terdapat sebuah pintu berukuran cukup besar yang Azure yakini sebagai ruang mandi.

Perempuan itu berjalan cepat menyeberangi ruangan menghampiri pintu tersebut. Perlahan sebelah tangannya menyentuh permukaan pintu itu dan terbukalah perlahan daun pintunya, memperlihatkan ruangan besar dengan sisi dindingnya yang berwarna merah gelap begitu juga dengan lantainya. Di sisi ruangan itu terdapat bath tub berukuran besar berwarna merah, sebuah wastafel, dan di sisi berlawanannya terdapat ruang shower dengan pancurannya yang tinggi. Ruangan itu dihiasi dengan tanaman-tanaman hias dan kursi kecil yang entah disediakan untuk apa.

903242_720

Azure sejenak terpaku kagum menatap ruang mandi yang eksotis itu, membayangkan jika dirinya harus bertelanjang dan mandi di sana. Perempuan itu menelan ludah, lalu seolah tersadar dari lamunan, perempuan itu menggeleng-gelengkan kepala dan mengerjapkan matanya dengan cepat kemudian melangkah memasuki ruang mandi itu dengan kakinya yang telanjang, menutup pintu di belakangnya dan mulai melepas pakaian.

***

“Tuan. Tuan Reddish. Apakah tidak sebaiknya Anda datang ke ruang pengobatan?” Crimson melangkah tergopoh-gopoh mengikuti Reddish yang melangkah cepat menuju ruangannya.

Reddish menoleh cepat mendengar tawaran Crimson itu. “Apakah kau sudah gila? Bagaimana mungkin aku mendatangi ruang pengobatan dengan keadaanku yang seperti ini?” tanyanya dengan ketus. Merujuk pada keadaan matanya yang cacat.

Tidak ada seorang pun tahu keadaan matanya itu selain Ecru, Candy, dan juga Crimson sendiri sebagai pelayannya. Mereka semua disumpah untuk menjaga rahasia tersebut sampai mati. Jadi, untuk lebih amannya, Reddish bersikeras meminta Candy datang ke ruangannya dan menyembuhkannya seperti biasa.

“Kalau begitu, saya akan mencari Nona Candy sampai ketemu. Saya berusaha menghubunginya melalui pikiran sedari tadi, tetapi sepertinya Nona Candy sedang menutup komunikasi sehingga saya tidak tahu di mana beliau berada.” Crimson menjawab jujur, berusaha mendapat maklum dari atasannya itu sehingga tak mendapat lemparan kekuatan aura merah Reddish kali ini.

“Apa?” Reddish bertanya tak percaya  sambil meringis mendengar informasi itu. “Candy menutup komunikasi?” tanyanya lagi.

“Iya, Tuan,” jawabnya patuh.

Reddish mendengus lantas berpikir cepat, memikirkan jalan buntu itu lalu berkata, “Cari Candy di sebelah selatan bukit, tempat ladang tumbuh-tumbuhan obat tertanam. Ruang penelitiannya kututup. Dia pasti sedang menghabiskan waktu di sana. Cari dia dan bawa kemari dengan peralatan lengkap seperti biasanya. Dan ingat untuk menutup akses ke tempat ini serta menunda pertemuanku dengan siapa pun. Aku tak ingin dikunjungi dan pergi ke manapun,” perintahnya sambil mengibaskan tangan, mengisyaratkan pengusiran kepada lelaki tua klan merah itu.

“Baik, Tuan. Apakah … Anda bisa menahan sakitnya? Perlukah saya mengambil ramuan penahan sakit untuk sementara waktu-“

Reddish melemparkan kekuatan merahnya ke arah pintu, hampir mengenai tubuh Crimson yang berdiri tegang dan bertambah tegang saat ini.

“Lakukan apa yang kuperintahkan, Crimson. Aku lelah jika kau terlalu banyak bertanya,” ujarnya lantang yang membuat Crimson bergerak dengan tubuh gemetarnya meninggalkan ruangan.

Reddish tersenyum pahit melihat tingkah Crimson itu. Sebelah tangannya yang masih memegangi pelipis di dekat matanya yang memejam itu memijitnya perlahan, meredakan rasa pening sekaligus pedih di mata yang belum juga mau pergi.

Ditinggalkan sendiri di ruangan itu, Reddish menyandarkan kepalanya di ujung sandaran kursi hingga kepalanya tertengadah.

Dia tak menyangka jika ternyata akan separah ini akibatnya. Reddish telah mengenakan lensa pembantu itu sejak usianya lima tahun dan belum pernah sekali pun ia melepasnya. Beberapa waktu lalu, saat ia melepas lensa itu dengan tegang di ruangan Candy, ternyata tak ada darah sema sekali yang keluar dari matanya. Namun ia tak menyangka jika matanya ini begitu rapuh dan mudah terluka jika tak ditutup.

Astaga. Akankah seperti ini keadaannya seterusnya? Dia harus mengenakan lensa bantu itu seumur hidup?

Reddish menghela napas panjang. Tubuhnya menegak saat dia berusaha mengalihkan perhatian dari kedua mata terkutuk miliknya itu.

Pikirannya berkelana menemukan nama-nama pelayan yang beberapa hari terakhir ini diberi tugas untuk mempersiapkan segala sesuatunya terkait upacara pernikahannya esok hari.

“Laporkan perkembangan persiapan pernikahan itu sekarang juga,” titahnya dengan angkuh setelah seorang penjahit gaun menjawab panggilannya dari seberang sana.

“Fuschia, segera ke kamar pribadiku, mungkin saat ini Azure membutuhkanmu. Aku memberimu izin untuk masuk ke sana,” lanjutnya di tengah-tengah suara yang begitu bising di dalam kepalanya yang tengah sibuk dengan ucapan-ucapan para pelayan dan orang-orang yang dihubunginya.

***

Crimson terbang rendah setelah tiba di tepi bukit. Tatapannya memindai ke sekeliling di mana tumbuh beraneka tanaman dengan ukurannya yang cukup tinggi sehingga menghalangi pandangan. Tadi dirinya terbang dan tak melihat nona Candy di mana pun. Sekarang, Crimson memutuskan untuk berjalan kaki menyingkap semak di perkebunan itu.

Hari beranjak siang di dunia langit dengan langit kelabu serta pelangi semesta yang menggantung tanpa warna di atas sana. Nuansa sejuk tanpa terik matahari dengan angin sepoi-sepoi memang cocok untuk beraktivitas di luar ruangan seperti ini. Pantas saja jika memang benar nona Candy sedang berada di area ini, dia menutup akses komunikasi dan begitu menikmati waktu pribadinya bercengkerama dengan aneka tumbuhan obat yang membentang luas di tepi bukit ini.

Crimson menyibak lagi batang-batang tanaman yang tumbuh tak beraturan di depannya. Langkahnya bergemeresak menginjak dun-daun kering yan berjatuhan di tanah. Lelaki itu celingak-celinguk sambil terus menajamkan pandangannya setelah beberapa waktu menjangkahkan kakinya jauh ke dalam semak tumbuhan itu.

“Nona Candy!” Crimson berseru memanggil.

Candy yang sedang berjongkok di salah satu sudut perkebunan itu mulai waspada saat telinganya yang tajam mendengar suara langkah kaki di belakang jauh dari tempat Crimson berada sekarang. Candy memakai topi lebarnya berwarna hijau yang menyaru dengan sekeliling dan menutupi keseluruhan tubuhnya yang tak terlihat dari atas jika ada makhluk yang kebetulan melintas di atasnya.

Dia tak sendiri di tempat ini. Ada beberapa makhluk yang juga sedang turut mencari tanaman untuk membuat ramuan, sebagian adalah anak buah Candy, lalu sebagian lagi adalah makhluk klan warna lain yang juga sedang dalam misi yang sama.

Candy bangkit berdiri dengan dua kantong yang ia talikan di pinggangnya yang penuh dengan dedaunan dan aneka kayu-kayuan sebagai bahan ramuan.

Ada yang diam-diam datang kemari? Apakah makhluk itu bermaksud baik … atau buruk?

Perempuan itu memicing dan bersiap terbang saat didengarnya suara Crimson memanggilnya kemudian.

Tubuh Candy yang semula tegang langsung melemas kemudian.

“Aku di sini.” Candy melepas topinya dan mengangkatnya tinggi-tinggi untuk memberikan petunjuk bagi lelaki pengawal Reddish itu agar menemukan keberadaannya.

“Ya, Nona.” Suara Crimson menyahut terdengar mulai dekat.

Tak berapa lama, suara gemeresak itu tiba di hadapan Candy yang sedang berkacak pinggang, menunggu kedatangan lelaki itu.

“Nona Candy.” Crimson menjura begitu menemukan sosok merah Candy dan berdiri di hadapannya.

“Anda menutup komunikasi, sehingga saya mencari Anda hingga kemari. Beruntunglah tuan Reddish begitu memahami Anda sehingga saat beliau berkata jika Anda sedang berada di tempat ini, saya langsung bisa menemukan Anda,” jelasnya dengan menunduk.

Cih. Memahami? Memahami bagian mananya? Reddish jelas tak tahu jika Candy begitu putus asa untuk menyibukkan diri agar tak duduk melamun saat ruang penelitiannya itu diblokir oleh Reddish.

Candy meringis dengan ekspresi masam. “Aku memakai topi ini,” ucapnya sembari sedikit mengangkat topi yang tertenteng di tangannya dan mengangkat bahu. “Topi ini bisa menghalangiku dari makhluk lain yang berusaha menembus pikiranku,” lanjutnya dengan senyum kaku tanpa rasa bersalah.

Crimson mengangkat sebelah alis. “Ah, begitu rupanya,” ujarnya masih dengan penuh hormat ke arah Candy.

Wajah Candy berubah serius saat ia mendengus dan bertanya kemudian. “Ada perlu apa? Kenapa sampai kau mencariku kemari? Apakah Reddish memutuskan untuk memperpanjang hukumanku menjadi dua kali lipat karena dia begitu kesal?” Candy menyerocos dengan nada ketus.

“Oh, bukan, Nona. Ada situasi genting yang terjadi.” Crimson merendahkan nada bicaranya lantas sedikit membungkuk ke arah Candy agar suaranya yang lirih itu bisa didengar oleh perempuan merah tersebut.

“Situasi genting?” Candy mengernyitkan kedua alis merahnya dengan suara lirih yang sama.

“Ya, Nona. Sebelah mata tuan Reddish mengalami pendarahan dan saat ini darah itu masih mengalir deras dari matanya. Saya takut jika sampai terjadi sesuatu yang buruk sementara tuan Reddish tak mau diberikan obat selama saya mencari Anda. Beliau hanya mau ditangani oleh Anda. Oleh karena itu-“

Perkataan Crimson yang lambat dan khidmat itu membuat Candy tak sabar sehingga perempuan itu seketika menerbangkan tubuhnya, meninggalkan kabut merah di depan tubuh Crimson saat lelaki itu terkesiap karena tiba-tiba saja nona Candy telah lenyap dari depan tubuhnya.

“Ayo, cepat, aku harus segera menolong Reddish. Aku tak punya banyak waktu,” seru Candy dengan tubuhnya yang telah melayang, lalu melesat cepat tanpa peduli pada Crimson, meninggalkan lelaki itu yang hanya tergugu-gugu dengan ekspresi masam.

Tampak ekspresi tubuh Crimson yang lelah meladeni para petinggi klan merah itu yang suka semena-mena memerintahnya. Meski begitu, Crimson lantas menguarkan aura merahnya dan turut mengangkasa, menyusul Candy yang telah berlalu cepat menuju kastil merah.

Dari arah lain di perkebunan itu, suara gemeresak langkah kaki terdengar tersuruk-suruk pergi setelah mengintai dua makhluk klan merah yang sedari tadi bercakap-cakap lalu terbang terburu itu. Posisinya berada memang tak begitu dekat, tetapi di tengah suasana hening perkebunan ini, percakapan lirih itu bisa terdengar hingga tempatnya berdiri, membuat kedua matanya membelalak dengan dada berdegup oleh ketidakpercayaan yang hinggap di hatinya.

Mata Reddish berdarah? Apakah Reddish memiliki kelemahan pada matanya?

Kabar tak disangka yang diterimanya itu disimpannya hati-hati dalam ingatan. Sepertinya alam sedang berpihak kepadanya kali ini dengan memberikan informasi berharga dan cepat itu kepadanya.

Dia harus segera memberi tahu Sky, tuannya.

Kabar ini harus sampai di telinga tuannya itu cepat karena ia harus kembali lagi ke tempat ini agar tak mencurigakan makhluk-makhluk lainnya. Dirinya bisa saja bermeditasi sejenak untuk mengabari tuannya itu melalui kekuatan pikiran. Namun, sebagai bawahan yang bekerja sebagai pemetik tanaman di kastil merah yang terbiasa berada di gudang barang dan memiliki tempat beristirahat yang terbatas dengan beberapa orang di kamarnya, dia tak punya tempat khusus untuk melakukan meditasi itu dan akan terlihat aneh bagi bawahan sepertinya jika melakukan panggilan dengan alam pikiran.

Sosok itu melangkah cepat kemudian, lalu terbang seperti  kilat menuju persembunyian Sky dan Navy yang berada jauh dari lokasinya saat ini.

***

“Reddish.”Candy menyapa cepat begitu ia tiba di pintu ruangan Reddish.

Tatapan perempuan itu seketika tertuju ke arah kursi besar yang biasa diduduki oleh keponakannya itu, tetapi tak ada di sana. Candy lantas mencari ke seluruh penjuru ruangan dan mendapati Reddish tengah duduk membungkuk di sofa besarnya yang terletak di sisi ruangan sebelah pintu masuk tempat perempuan itu berdiri.

Reddish menoleh begitu mendengar suara Candy yang tersengal-sengal memanggilnya.

Candy membelalak begitu melihat penampakan wajah Reddish saat ini. Keponakannya itu terlihat menyeramkan seperti hantu-hantu di dunia manusia di mana wajahnya tampak belepotan warna merah dari darah yang masih mengalir dari sebelah matanya. Penampilannya yang serba merah itu kian mengerikan dengan tatapan tajamnya yang tampak tersinggung saat melihat ekspresi Candy.

“Kau lama sekali,” komentar Reddish dengan ekspresi galaknya lantas mengalihkan pandangan. Tangannya kembali mengusap sebelah matanya yang terasa pedih luar biasa itu.

Candy buru-buru duduk di sofa itu mendekati Reddish, meletakkan barang-barang yang dibawanya ke meja lalu memfokuskan perhatiannya ke arah lelaki itu.

“Berbaringlah. Aku akan mengobatinya. Astaga … kau terlalu kuat mengusap matamu. Lihatlah, sklera matamu sangat merah,” ujarnya dengan nada cemas saat melihat betapa parahnya luka di mata Reddish.

“Diam dan obati saja. Aku butuh sembuh dengan cepat,” tegur Reddih dengan nada ketus meskipun saat ini dirinya tengah berbaring pasrah di samping Candy yang tengah melap sekitar mata Reddish dengan sikap kesal.

“Ah, ya. Pernikahanmu akan dilaksanakan esok hari. Kau harus tampil sempurna dan setampan mungkin untuk perempuan klan birumu itu,” ujarnya dengan nada menggoda yang dibuat-buat, ekspresi wajahnya tampak sinis.

Reddish mendengus kemudian tanpa tanggapan.

Candy dengan telaten membersihkan darah yang tercecer di wajah Reddish, mengusap kelopak mata lelaki itu perlahan.

“Buka matamu,” perintah Candy dingin.

Dengan menurut, Reddish pun membuka kedua matanya, membiarkan bibinya itu melakukan apa saja kepada matanya.

Setelah selesai membersihkan, Candy kemudian mengambil sebotol ramuan kecil tak berwarna, lalu mengambil pipet dan mulai memasukkan ramuan tersebut.

“Tahan sebentar. Mungkin akan ada sensasi terbakar sejenak di matamu, tetapi itu tak lama. Setelah obatnya meresap, matamu akan terasa sejuk dan sklera matamu memutih kembali. Aku juga akan memasangkan lensa pelindung matamu … agar tak berdarah lagi seperti ini.” Candy menjelaskan tanpa diminta, tanpa mendapat komentar dari Reddish yang saat itu tengah tegang mendengar tentang ‘sensasi terbakar’ yang sejenak membuat bibirnya menipis penuh antisipasi. Meski begitu, Reddish tak melawan dan mengikuti apa pun yang dilakukan oleh Candy.

Dengan lembut, Candy mulai memasukkan tetes demi tetes ramuan itu ke sebelah mata Reddish. Pada mulanya, Reddish hanya memperlihatkan tubuhnya yang kaku dengan dadanya yang kembang kempis oleh rasa bedebar berpadu tegang. Tapi pada tetesan ketiga, Reddish mengaduh keras hingga lelaki itu terduduk karena tak tahan oleh rasa sakit yang amat sangat menjalari mata hingga pipinya dan membuat wajahnya terasa panas.

“Ah!”

Candy terlonjak terkejut mendapati sikap Reddish itu. Hatinya teriris perih melihat bagaimana lelaki tangguh di depannya itu kini merintih kesakitan sembari menutup sebelah wajahnya yang memerah. Reddish terengah-engah hingga membutuhkan beberapa waktu baginya untuk menenangkan diri begitu rasa menyiksa itu perlahan enyah dari tubuhnya.

Dengan tangan gemetar dan mengepal, Reddish menurunkan tangannya masih dengan kedua matanya yang terpejam.

Sejuk.

Rasa sejuk itu mulai terasa perlahan merambat di sebelah matanya.

Takut-takut, Candy memegangi pundak Reddish, berusaha menguatkan lelaki itu. Reddish bergeming beberapa saat.

“Reddish.” Candy memanggil perlahan.

Terlihat Reddish menghela napas, membuka matanya perlahan dan menoleh tipis. “Pasang lensanya,” perintahnya dingin.

Candy mengembuskan napas lega. Perempuan itu tersenyum lantas mengurai suasana tegang di tempat itu dengan ucapannya yang ceria.

“Ya. Berbaringlah kembali. Aku akan memasangkannya,” tuturnya dengan ketulusan yang memancar dari ekspresi wajahnya yang penuh sayang.

***

Fuschia melangkah tegap di lorong lebar menuju ruang pribadi Reddish, pemimpin klan merah sekaligus orang yang paling dihormatinya itu. Tadi ia mendengar jelas jika Reddish memerintahnya untuk menemui perempuan klan biru yang saat ini ditahan di ruang kamarnya.

Ah, Reddish yang manis. Bisa-bisanya lelaki itu menempatkan calon maharaninya di ruangannya yang Agung. Perempuan itu saat ini pastilah sedang menunggu dengan jantung berdebar serta ekspresi wajahnya yang berseri-seri karena pernikahan yang akan berlangsung sebentar lagi.

Tanpa sadar Fuschia menampakkan senyum tipis di bibirnya yang berwarna merah muda. Dia tahu benar maksud Reddish mengundanganya kemari. Klan merah muda yang terkenal dengan kekuatan hipnotisnya itu di sisi lain memiliki kepribadian hangat yang mudah diterima oleh makhluk lain. Reddish pasti ingin jika calon maharaninya itu memiliki suasana hati yang baik sebelum mereka naik panggung pernikahan.

Wajah Fuschia berkerut sejenak ketika memikirkan tentang perempuan klan biru itu. Sebenarnya, siapa perempuan yang berhasil ditemukan oleh Reddish? Apakah sebelum ini dia telah sempat bertemu dengan perempuan biru itu? Sebab beberapa waktu terakhir menjelang perang warna beberapa tahun lalu itu, koloni klan biru terkenal dengan pribadi mereka yang begitu sulit bergaul. Mereka seakan angkuh dengan kekuatan mereka yang digadang-gadang setara dengan koloni klan penguasa langit saat itu, koloni klan merah.

Lamunan Fuschia sepanjang perjalanannya itu terpecah saat dirinya melihat jika ada dua orang penjaga yang siaga menyilangkan tombak mereka di pintu. Dua orang itu mengamati Fuschia sejenak lantas membukakan akses begitu saja baginya, seolah ucapan Reddish tentang dirinya yang mendapat izin masuk itu telah diketahui oleh semua penjaga sehingga Fuschia dapat masuk dengan mudah.

Langkah perempuan itu ringan dengan wajahnya yang tampak ceria. Tak berapa jauh kakinya memasuki lorong itu, dia melihat lagi seorang lelaki klan merah yang berjaga di sisi pintu. Lelaki itu menyadari kehadirannya dan seketika memasang gerak tubuh menyambut kedatangan Fuschia.

“Tuan Crimson, bukan?” Fuschia bertanya ramah.

“Ya, Nona Fuschia. Nona Azure berada di dalam kamar. Sebaiknya Anda segera masuk saja,” ucap Crimson mempersilakan.

“Baiklah. Terima kasih,” sahutnya lantas melangkah menuju depan pintu, lalu tanpa ragu lagi menembus segel merah yang jelas terlihat di sana dengan dada bedegup cepat.

Sejenak Fuschia memejam saat tubuhnya bersentuhan dengan aura hangat milik Reddish itu. Ketika menemukan jika memang dirinya telah diberi izin untuk memasuki ruang peraduan itu, Fuschia merasakan dadanya dialiri oleh kelegaan nyata yang membuatnya tersenyum.

Segera perempuan itu melangkah semakin jauh ke dalam ruangan dengan kedua matanya yang memindai sekeliling. Saat tiba di sisi peraduan besar yang ada di kamar itu, ekspresi terkejut tampak melumuri wajah Fuschia saat bayangan tentang perempuan bahagia yang akan menjadi calon maharani Reddish itu ternyata tak seperti yang ada dalam benaknya, membuat perempuan itu menelan ludah.

 

bersambung….

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

The Red Prince | Part 16 : Api dan Air

red prince cover - CopyRed 3

8 votes, average: 1.00 out of 1 (8 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Sky berdiri dengan tatapan tajam ke arah jendela ruangan yang saat ini ditempatinya. Nuansa temaram berikut aura gelap yang memancar dari tubuhnya membuat malam hari yang berlalu di tempat itu menjadi mencekam.

Sky menyaksikan semuanya. Dia melihat dengan mata kepalanya sendiri saat tadi Reddish menghabisi perempuan klan hijau itu tanpa perasaan. Adegan mengerikan di mana lelaki klan merah itu menguarkan kekuatannya untuk menguliti warna biru yang berhasil Sky dan Navy paksakan kepada perempun klan hijau itu berkelebat terus menerus di benaknya, seolah kejadian itu baru saja terjadi dan tak mau berhenti mengirimkan keterkejutan yang menghantam dadanya tanpa ampun.

Lelaki klan biru itu masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Ternyata dengan kekuatan merahnya, Reddish bisa menguak hal tersembunyi yang sebelumnya tak pernah ia duga. Lebih dari itu, hal paling mendasar yang begitu mengusik rasa ingin tahunya adalah … dengan cara apa Reddish bisa tahu jika perempuan klan biru yang dikirimkan kepadanya itu bukanlah perempuan klan biru yang sebenarnya? Bagaimana Reddish bisa melakukan penyelidikan sampai sebegitu detailnya sehingga rencananya bisa hancur berantakan seperti ini?

Lelaki itu bersedekap dengan sebelah tangannya yang mengusap dagu, berpikir keras untuk menemukan benang merah yang sesuai dengan apa yang dia lihat serta rencana yang kira-kira akan Reddish jalankan dengan tindakannya itu.

Reddish membunuh perempuan klan hijau itu begitu saja? Tidakkah dia ingin menyelidiki siapa dalang yang ada di balik ini semua? Atau jangan-jangan … diam-diam Reddish akan mengirim prajurit pembunuh ke markasnya ini setelah melakukan penyelidikan tersembunyi yang tak pernah diketahui siapa pun? Lantas pemburu itu tiba-tiba saja akan berdiri di depannya dan menikamnya?

Sky membelalak. Tatapannya dipenuhi teror saat membayangkan kemungkinan terburuk dari semua hal yang tak mampu terbaca itu. Bibirnya menipis dengan jengkel saat segala ketidaktahuan itu memerangkapnya dengan kejam, membuatnya tak bisa berpikir dan buntu untuk menentukan tindakan apa yang akan dia lakukan.

Ekspresinya tampak frustrasi, sebelah tangannya mengacak rambut birunya yang semula tertata rapi itu hingga berantakan. Wajahnya terlihat payah dan decakan kesal meluncur begitu saja dari mulutnya. Lelaki itu membalikkan badan dan hendak keluar ruangan saat tiba-tiba saja, di belakang tubuhnya, Crow, sang pemimpin klan hitam itu telah berdiri di sana.

Sky terkesiap sejenak. Meski begitu, ia mampu menahan keterkejutannya sehingga ekspresinya tetap tenang.

“Ah, Tuan Crow. Anda datang tanpa memberi kabar.” Sky menyapa.

Lelaki tua dengan jenggot hitam panjangnya itu beralih menatap Sky begitu lelaki klan biru itu menyambutnya.

“Rencanamu dan Navy gagal,” sahut Crow dengan kalimat menusuk berikut tatapannya yang penuh spekulasi. “Semua ini karena ramuan pengubah warna yang ternyata tak berguna itu. Bagaimana mungkin Reddish akan dengan mudahnya mengetahu i jika makhluk yang kita kirimkan itu ternyata bukanlah makhluk asli?” serunya dengan tanpa menahan-nahan suaranya.

Sky mengetatkan gerahamnya dengan ekspresi tak suka. “Vantablack juga gagal kali ini dalam menyembunyikan Azure dan juga Onyx. Reddish entah dengan kekuatan macam apa mampu mengetahui jika ternyata Azure yang menyamar di dunia manusia itu ternyata adalah koloniku klan biru. Dan Onyx … bagaimana keadaan anggota Anda itu saat ini?” ucapnya memaparkan pula kegagalan yang dialami Crow dalam rencana mereka kali ini dengan nada meremehkan yang sama.

“Vantablack tak pernah gagal. Dia adalah pemilik kekuatan paling hitam dengan aura yang paling kuat yang pernah ada, melebihi kekuatanku. Aku yakin jika pasti ada sesuatu yang belum kita ketahui tentang Reddish sehingga semua rencana yang telah matang ini bisa hancur begitu saja.”

Sky berdeham. “Mengenai ramuan pengubah warna itu … sejujurnya saya dan Navy tak pernah tahu dari mana ramuan itu berasal. Saya hanya menemukan lelaki klan ungu itu tak sadarkan diri dengan botol kecil berwarna ungu di sisi tubuhnya. Dengan kemampuan terbatas akhirnya saya meneliti dan menemukan jika ternyata ramuan itu bisa mengubah warna. Mungkin saja lelaki klan ungu itu adalah seorang peneliti? Bagaimana jika kita membangkitkannya segera dan mengalihkan lelaki itu di pihak kita untuk melancarkan rencana?” tanyanya lalu mengerjap sejenak seolah teringat sesuatu.

“Ah, tentu saja rencana pembangkitan itu sesuai dengan rencana Anda, Tuan Crow, saya hanya ingin memastikan jika lelaki klan ungu yang saat ini masih mati suri itu nanti bisa kita gunakan,” imbuhnya dengan ekspresi berpikir.

Crow memandangi jendela dengan tatapan menerawang. “Kapan pernikahan Reddish dan Azure akan digelar?” tanyanya menatap Sky yang saat itu turut menatap jendela.

Sky menoleh. “Sesuai rencana mereka, pernikahan akan digelar setelah malam perjamuan, Tuan Crow, yang itu berarti, jika akan diakan perjamuan ulang untuk Azure, maka tinggal satu hari lagi pernikahan itu digelar. Dewan warna pasti tidak akan menunda-nunda lagi pernikahan itu karena keadaan genting yang terjadi serta waktu yang mendesak. Saya akan memastikannya setelah anak buah saya pulang kembali dari kastil putih dan melaporkan segala sesuatunya.”

Lelaki klan hitam itu mengangguk. “Pastikan kali ini tak ada celah untuk kegagalan. Kita akan menjalankan rencana selanjutnya dengan menggagalkan pernikahan Reddish dengan anggota klanmu itu. Kita akan datang tepat sebelum pernikahan itu disucikan. Aku akan segera membangkitkan lelaki klan ungu itu begitu kita tiba di sana,” ujarnya dengan seringaian penuh keyakinan akan rencana mereka.

“Aku akan memberikan kejutan di upacara pernikahan Reddish dengan hal tak terlupakan,” lanjutnya dengan pongah.

“Ah, dan jangan lupa, Sky. Kita tetap harus menyelidiki tentang Reddish dan kekuatan yang dimilikinya itu. Barangkali, itu bisa menjadi senjata tambahan bagi kita untuk semakin memberi kejutan bagi Reddish dengan hal yang saaaangat menyakitkan dan tak pernah terlupakan baginya.”

Suara tawa Crow menggema kemudian. Tawa berbalur keinginan kuat untuk membalas dendam.

***

“Kau selalu gegabah!” Jade berseru keras ke arah Reddish yang saat itu duduk di tengah-tengah ruang aula dewan warna yang biasa mereka gunakan sebagai ruang penghakiman.

“Ada laporan jika kau telah dua kali menggunakan kekuatanmu itu untuk mencelakai anggota klan yang lain. Klan hitam dan klan hijau yang baru saja terjadi.” White menyambung. “Tidak bisakah kau bernegosiasi dengan kami terlebih dahulu sehingga semua duduk persoalan bisa lebih jelas dan kita bisa menemukan penyelesaian yang lebih baik?” tanyanya dengan ekspresi meminta persetujuan.

Reddish yang saat itu terdiam dan mengarahkan tatapannya pada lantai ruangan di tempat itu akhirnya mengalihkan pandangan. Menatap ke arah empat orang dewan warna yang saat itu duduk tak jauh dari arahnya. Dia begitu kesal karena perjalanan menuju kamarnya tadi dihadang oleh Jade yang tak menerima alasan untuknya bisa mangkir dari panggilan.

Perdebatan panjang terjadi di lorong. Dan karena Reddish tak ingin membongkar keberadaan Azure dengan dirinya yang gigih kembali ke kamarnya, dengan berdecak sebal, akhirnya Reddish menuruti keinginan para dewan untuk melakukan pembicaraan terkait tahanan perempuan klan biru yang ternyata memiliki wujud asli sebagai perempuan klan hijau.

“Untuk apa?” tanya Reddish dengan ekspresi tak terbaca.

Keempat lelaki dewan warna itu saling berpandangan. “Apa maksudmu?” Raven kali ini bersuara.

“Akan selalu ada pengkhianat di negeri ini. Semuanya memusatkan perhatian kepadaku dan hendak menjatuhkanku sebagai pemimpin. Sementara kalian semua, ada di bawahku sebagai rakyatku tak peduli kalian pemimpin klan atau anggota klan. Kalian pikir, apa yang akan dijalankan oleh undang-undang ketika menemukan penjahat sekelas makhluk makar itu? Apakah mereka akan menghukumnya seperti yang aku lakukan?” Reddish berucap dengan ekspresi dingin.

Ada kekehan kecil di sudut bibir pemimpin klan merah itu saat menatap semua dewan warna yang terdiam. “Sayangnya … tidak.”

Ekspresi tegang tampak di semua wajah. Reddish melanjutkan kalimatnya, “Aku tidak akan melanjutkan apa yang dilakukan oleh ayahku. Aku tak ingin menghabisi seluruh anggota klan karena kesalahan satu orang,” ujarnya tegas. “Tidak akan ada lagi satu koloni klan yang terbuang karena kesalahan yang dilakukan oleh satu makhluk. Satu makhluk yang melakukan kesalahan, maka hukuman yang pantas akan diterima oleh makhluk itu, khusus jika itu menyangkut diriku. Aku tak peduli jika itu adalah urusan makar terhadap kalian dewan warna atau perkara  negeri, aku akan melemparkan keputusan final di tangan kalian. Tapi untuk yang ini, aku akan menanganinya sendiri. Aku akan meminta perubahan undang-undang tentang ini. Tentang berurusan dengan pemimpin negeri langit-“

Jade buru-buru menyela.

“Kau tak bisa semaumu mengubah peraturan, Reddish. Ada banyak pertimbangan-“

Reddish turut menukas,

“Aku bisa,” sahutnya dengan keras kepala.

“Baik. Lalu menurutmu, apa langkah yang harus kita tempuh untuk segera menyelesaikan perkara pelangi semesta yang tak kunjung selesai ini. Kita tak punya banyak waktu-“

“Aku akan menikah dengan perempuan klan biru sesuai rencana.” Reddish menjawab cepat sambil menegakkan tubuh dengan tatapan menyala oleh ketidaksabaran.

Ada ekspresi heran penuh celaan dari wajah Jade. Lelaki yang dikenal sebagai dewan warna paling ketus dan antipati terhadap Reddish itu terlihat begitu bersemangat mengonfrontasi pemimpin klan merah itu saat ini.

“Kau baru saja kehilangan calon pendampingmu. Dan kau dengan mudahnya mengatakan jika kau akan menikah? Astaga.” Jade mengusap wajahnya dengan gerakan kasar, seolah dia begitu muak dengan apa yang mereka bahas kali ini.

“Reddish. Apa rencanamu untuk menemukan kembali perempuan klan biru?” Alabaster bertanya menengahi perseteruan antara Reddish dengan Jade. Nada bicaranya terdengar tenang meski ia juga berwajah tegang saat mengucapkan pertanyaannya.

“Aku sudah menemukannya.” Reddish menjawab cepat. “Dengan caraku,” lanjutnya sengaja berteka-teki, tak menjelaskan tentang kedua matanya yang cacat itu, karena ia tahu bahwa ini bukan waktu yang tepat untuk menjelaskan.

Reddish tahu benar jika suatu saat nanti, kelemahan dan kutukannya ini akan meledak menjadi kabar yang menggemparkan di dunia langit. Dan dia telah bersiap diri menerimanya. Dia akan berela hati turun takhta dan menyerahkan kepemimpinan negeri langit itu kepada siapa saja yang pantas. Mungkin, kriteria pemimpin negeri langit yang paling kuat itu terlihat kurang pas sebab Reddish sebagai yang terkuat ternyata memiliki kelemahan vital di mana sebagai makhluk warna yang akan selalu berhadapan dengan persoalan warna, Reddish ternyata tak mampu memenuhinya. Jadi barangkali, kriteria yang lebih tepat adalah yang paling sempurna?

Reddish menarik napas panjang.

Semua dewan warna mengangkat alis dan terkejut mendengar kalimat singkat dari Reddish itu.

“Di mana perempuan klan biru itu saat ini? Kau berjalan seorang diri tanpa kami?-” Raven berseru ketus dengan hendak melontarkan kalimat panjag lebarnya untuk lagi-lagi menyerang pendapat Reddish, tetapi dengan cepat Reddish menukas,

“Kalian tinggal mempersiapkan apa yang seharusnya kalian lakukan. Sisanya adalah urusanku,” ucapnya lalu bangkit berdiri, sedikit membungkukkan kepalanya untuk menghormat sebelum membalikkan badan dan meninggalkan ruangan itu.

***

Reddish melangkah cepat. Dia sudah menunda banyak waktu untuk diskusi tiada guna dengan dewan warna kolot itu dan kekhawatiran seketika menyergapnya tanpa ampun.

Perempuan klan biru itu … bagaimana keadaannya saat ini?

Reddish telah mengantisipasi tindakan Azure yang pasti akan memaksa keluar dari ruang kamarnya, sehingga ia hanya membuat segel ruangan itu sebagai penghalangnya untuk keluar, tanpa melukai seperti segel miliknya yang terpasang di tempat lain.

Tak ia duga jika Azure akan sekeras kepala itu untuk melakukan tindakan sia-sia hingga mengancam keselamatannya.

Dari ujung lorong, dapat ia lihat dari jauh jika Crimson masih berdiri di depan kamarnya dengan gelisah, seakan telah begitu lama Crimson menanti sementara dirinya tak kunjung datang. Begitu mendengar suara derap sepatunya yang mulai mendekat, lelaki tua itu menoleh dan ada embusan napas lega yang terpancar dari ekspresinya.

“Tuan Reddish,” sapanya dengan sikap menjura.

Reddish tak sempat memberi tanggapan karena perhatiannya seketika tertuju pada Azure yang dengan gigih masih memukulkan kekuatannya meski dengan gerakan lemah ke arah pembatas beraura merah itu. Bibirnya menipis saat dilihatnya warna kulit Azure begitu pucat dan aura biru yang berusaha dikeluarkannya mati-matian itu tinggal memendar tipis seakan telah habis.

“Kau boleh pergi, Crimson. Aku akan mengatasinya.” Reddish berucap tanpa menoleh.

Crimson memandang sejenak ke arah pintu kamar tuannya itu dengan ekspresi sedih, lalu mengangguk dan pergi dengan langkah lebarnya meninggalkan sudut ruangan tersebut.

Reddish melangkah maju.

“Ber … henti.” Azure yang menumpukan tubuhnya ke pembatas pintu itu perlahan menatap Reddish dengan mulutnya yang terengah kehabisan tenaga.

Lelaki itu seketika menghentikan langkah.

“Jangan … berani-berani … menyentuhku,” lanjutnya dengan susah payah. Perempuan itu mulai terhuyung dan kehilangan keseimbangannya dalam berdiri saat tangannya yang gemetar itu mulai kehilangan kekuatannya untuk menopang tubuh.

Azure memejamkan mata dalam ekspresi kesakitan sebelum sepenuhnya pasrah pada kegelapan yang menyambut kesadarannya.

Reddish dengan sigap menangkap tubuh perempuan itu sebelum menyentuh lantai. Tangannya yang kuat menyangga tubuh kurus Azure dan seketika mengangkatnya dalam gendongan, membawanya kembali ke peraduan.

Lelaki itu mendengus sebal walau gerakannya begitu pelan dan lembut dalam meletakkan perempuan itu ke atas ranjang. Azure kembali tak sadarkan diri dengan seluruh tubuhnya yang dingin berkeringat, seluruh kulitnya tampak pias dan itu membuat Reddish cemas setengah mati.

Pernikahan mereka akan digelar satu hari lagi dan ia tak ingin kehilangan Azure. Perempuan ini adalah satu-satunya perempuan menyebalkan yang diizinkan oleh Reddish untuk terus bersikap menyebalkan kepadanya. Azure adalah makhluk pengganggu yang Reddish akan sangat senang diganggu olehnya. Reddish menyukai bagaimana perempuan itu menunjukkan ketidaksukaan terhadapnya dan itu semakin membuatnya gila untuk ingin segera memiliki perempuan ini seutuhnya.

Perlahan, tangan Reddish terulur. Lelaki itu menyentuhkan telapak tangannya pada dahi Azure yang dingin. Memendarkan kekuatan merahnya untuk menyelubungi tubuh Azure.

Tak semudah yang sebelum-sebelumnya di mana dalam sekali sentuhan, warna merah dari tangan Reddish itu meresap dan menghangatkan tubuh Azure dan menyembuhkan dalam sekejap, kali ini, Reddish harus menyalurkan aura merahnya itu berkali-kali lipat lebih banyak, membuat ekspresi lelaki itu mengeras diliputi kelelahan karena harus berusaha keras untuk menyalurkan kehangatannya di tubuh Azure.

Sebenarnya, ada cara-cara lain yang bisa dilakukan untuk menyembuhkan makhluk langit yang terluka atau kehabisan tenaga seperti ini, yaitu dengan meminum ramuan penyembuh yang dibuat oleh Candy dan yang kedua adalah dengan meminum sebutir bola kecil berwarna biru yang tentu saja hanya ada di kalangan koloni klan biru.

Bola kecil berwarna biru pekat itu didapat dari pengkristalan tetes air biru yang hanya bisa ditemukan di dasar gua yang terdapat di kaki bukit hijau di ujung paling timur negeri langit. Tetes air biru itu dipercaya sebagai berkat dari para penguasa langit nan Agung yang mampu mengembalikan kekuatan aura biru para makhluk klan biru.

Cara kedua ini tentu saja tak dapat Reddish lakukan karena saat ini keberadaan klan biru yang terpecah belah dan tentu saja tak akan dengan mudah ditemukan. Lalu mengenai ramuan penyembuh itu, karena Candy sedang dalam masa hukumannya untuk menutup ruang penelitiannya, menjadi tidak mungkin bagi Reddish saat ini untuk meminta banyak bantuan kepada bibinya itu, meski ada peneliti lain yang bisa ia panggil sebagai bala bantuan.

Dari cara-cara yang membutuhkan waktu lama itu, Reddish lebih memilih mengorbankan dirinya sebagai pasangan Azure. Karena seperti api dan air yang memiliki nilai panas dan dingin yang saling berlawanan tetapi saling membutuhkan, Reddish yang mewakili kekuatan api itu mampu menghangatkan tubuh Azure yang dingin, begitu juga dengan Azure yang mewakili kekuatan air, dia mampu mendinginkan tubuh Reddish yang sedang dilanda sakit dengan tubuhnya yang panas.

Sebelah tangan Reddish menyentuh kembali dahi Azure yang terasa dingin tetapi terasa nyaman di telapak tangannya itu, lalu ia mengulang kembali penyaluran aura hangat dari tubuhnya. Azure tak bereaksi sama sekali. Perempuan itu anteng dengan kedua matanya yang memejam rapat, kalah oleh habisnya kekuatan tubuhnya karena terlalu memaksa menembus segel merah milik Reddish.

Selama beberapa waktu, ruang kamar itu dipenuhi oleh nuansa hangat. Azure yang semula berada dalam titik tergelap di tidurnya itu, mulai merasakan jika tubuhnya yang semula menggigil dan kesakitan tersebut dilingkupi oleh rasa hangat nan nyaman.

Nuansa hangat ini lagi. Apa yang sebenarnya terjadi sehingga kehangatan itu selalu bisa menyembuhkannya?

Azure membiarkan kedamaian yang memeluknya rapat itu menyelubungi tubuhnya selama beberapa waktu. Dia ingin selalu berada dalam nuansa nyaman ini. Dipeluk rasa hangat yang membahagiakan tubuhnya.

Lalu, dalam keinginan kuatnya untuk membuka mata yang terasa begitu berat dan terputus-putus karena begitu kuatnya rasa kantuk yang melanda pikirannya, dalam waktu yang begitu lama, ia mampu melihat dalam pandangan kabur tak jelas jika dirinya saat ini masih berada dalam ruangan yang sama seperti sebelumnya.

Ruang kamar berwarna merah yang memenjarakannya!

Dan yang lebih membuatnya terkejut setengah mati seakan ingin melenting berdiri dengan seluruh tubuhnya yang lemah itu adalah saat ia merasakan embusan napas teratur dari sisi tubuhnya, begitu rapat dengan badannya.

Azure meringis lemah dengan kebingungan pekat yang melanda pikirannya.

Apakah saat ini ia sedang bermimpi? Apakah tubuhnya yang lemah itu lantas menuntunnya ke dalam mimpi buruk dan kebingungan tak terperi hingga tak mampu membedakan mana keadaan nyata dan hanya bunga tidur?

Tetapi sepertinya, ini memang hanya mimpi buruk karena dalam beberapa waktu terakhir ini ia seringkali bertemu dengan lelaki klan merah itu hingga bahkan dalam keadaan tak sadarkan diri dan dilingkupi mimpi pun, Reddish tak mau kalah dengan menunjukkan dominasi lelaki itu atas dirinya.

Azure berusaha sekuat tenaga membuka matanya saat melihat dengan kepalanya yang pening jika wajah Reddish begitu dekat dengan wajahnya!

Reddish tertidur sambil memeluknya!

***

Empat gelas … lima gelas ….

Candy meletakkan gelas di tangannya dengan gerakan keras ke meja hingga menimbulkan suara gemeletak yang nyaring di telinga. Perempuan itu lantas meletakkan kepalanya ke meja, dengan sebelah tangannya yang masih memegang gelas.

Candy tak mau berhitung, ini malam ke berapa dari hukumannya menjauhi ruang penelitiannya itu. Yang pasti, dia ingin menghabiskan malam-malam sepinya dengan cepat dan ingin segera berganti hari. Di siang hari begitu ia terbangun dari tidur lelapnya setelah meminum begitu banyak minuman pengantar tidur, ia akan menyibukkan diri dengan aktivitas luar untuk memetik tanaman dan mencari berbagai jenis bahan sebagai persiapan penelitiannya di waktu ke depan. Seperti biasanya, ia ingin sekali membuat pikirannya terus terjaga akan hal-hal lain karena jika ia hanya duduk diam dan melamun, hanya bayangan Carmine dan segala tentang kenangan lelaki itu sajalah yang terus menggoda benak dan hatinya. Membuatnya menjadi tampak menyedihkan sebagai makhluk perempuan yang kesepian ditinggal pergi kekasihnya yang menghilang tanpa kabar.

Reddish tak pernah tahu jika Candy sedang mempersiapkan ramuan penawar dari sebotol kecil ramuan pengubah warna berwarna ungu yang dahulu sempat dibawa oleh Carmine entah ke mana. Kekasihnya itu hingga kini tak kembali, begitu juga dengan kabar mengenai perubahan warna makhluk menjadi makhluk ungu lemah di negeri langit. Namun, sebagai penebus keteledorannya di masa lalu, Candy tetap bertekad untuk menyelesaikan apa yang telah dilakukannya itu hingga akhir. Dia telah membuat ramuan beracun itu dan dia akan menciptakan penawarnya. Entah berguna entah tidak.

Candy memejam sembari mendengus. Dia rindu Carmine. Dia masih saja mencintai Carmine setelah bertahun lamanya mereka berpisah.

Astaga. Bahkan saat ini di ambang kesadarannya yang hampir terenggut oleh kantuk, di titik Candy sangat ingin lupa pada lelaki klan merah yang dicintainya itu, justru wajah Carminelah yang tecermin di depan matanya, seolah lelaki itu sedang berada di hadapannya, mendatanginya di waktu malam dan mengantarkan tidur perempuan itu dengan usapan lembutnya di kepala seperti di masa dahulu.

Oh, Candy pasti sudah dilanda kantuk yang hebat sekarang. Dia pasti sudah bermimpi saat ini.

Carmine ….

Candy menyebut nama itu lirih, seperti merapal doa sebelum tidur. Lirih … nan memedihkan hati.

***

Reddish mengerutkan kening dalam tidurnya, seakan keadaan tubuhnya saat ini begitu tak nyaman. Lelaki itu perlahan mengangkat kelopak matanya lantas membelalak begitu menyadari jika dirinya baru saja tertidur.

Tidur?

Astaga. Bagaimana bisa dirinya tertidur-

Reddish menoleh ke sisi kanannya di mana Azure sedang berbaring tidur di sana. Lelaki itu kemudian duduk, mengamati dengan saksama keadaan Azure yang tampaknya sudah lebih baik.

Dan benarlah. Perempuan itu saat ini tampak sedang tertidur alih-alih pingsan seperti sebelumnya. Napas perempuan itu teratur, naik turun dengan lembut dan konstan. Ekspresinya terlihat tenang dengan rona wajah yang telah kembali seperti semula. Warna pucat yang sempat hinggap di kulitnya itu kini tiada lagi, berganti dengan wajah cantiknya yang biasa.

Reddish mengembuskan napas lega. Sepertinya dirinya kelelahan pula setelah memaksa menguarkan aura merahnya dengan begitu kuat untuk menyalurkan kehangatan ke tubuh Azure. Lelaki itu mengawasi secara saksama wajah perempuan itu dan mengangguk tipis, menyetujui pemikirannya sendiri jika Azure masihlah tertidur sejak tadi dan belum sempat terbangun lalu melihat dirinya yang saat itu tertidur sembari memeluknya.

Tentu saja.

Lelaki itu seperti sedang berbicara dengan dirinya sendiri.

Jika Azure telah sadarkan diri dan melihat Reddish di sisinya, tentu saja posisi Reddish bangun tidak akan seperti ini. Perempuan itu pastilah telah melempar Reddish ke dinding, atau paling tidak menyemburkan kekuatan birunya yang membuat dia bangun terpaksa.

Reddish mengusap wajahnya kasar dan menyesali keputusannya untuk berbaring di sisi perempuan itu hingga membuatnya terlena. Tadi ia begitu kehabisan tenaga hingga akhirnya terduduk dengan napasnya yang terengah lelah di sisi Azure. Seluruh tubuhnya terasa ngilu dan godaan untuk membaringkan tubuh terasa sangat menggoda apalagi memang dirinya saat itu berada di dalam kamar, di atas ranjangnya sendiri.

Akhirnya, setelah tubuh Azure tak lagi dingin dan ia merasa cukup, Reddish berbaring dengan mata nyalang. Tak mampu terpejam. Tubuhnya terlalu lelah untuk melangkah keluar atau melakukan panggilan kepada pelayannya untuk mengantarkan minuman pengantar tidur, sehingga secara impulsif Reddish akhirnya berbaring miring, menambatkan tatapannya pada makhluk perempuan yang saat itu begitu menggoda hasrat kepemilikan di dalam dirinya. Lalu, didorong oleh perasaan lega dan bahagia saat melihat Azure bisa ia sembuhkan, lelaki itu sedikit memaksa tubuh Azure untuk berbantalkan lengannya, lantas dengan senang hati Reddish memeluk perempuan berharganya itu dilingkupi perasaan syukur tak terkira.

Berkali-kali ia menciumi kepala Azure dalam gerakan lembut, melingkarkan lengannya ke tubuh Azure sebelum turut memejamkan mata dalam lingkupan lelah nan penuh kedamaian saat dekat dengan tubuh perempuannya.

Reddish mengenang semua itu dengan rona merah muda yang beberapa saat melintas di pipinya. Lelaki itu seketika mengerjap dan dengan gerakan pelan segera turun dari ranjang. Namun, tepat di saat kakinya baru saja menapak lantai, Reddish merasakan jika sebelah matanya yang tak memakai lensa itu terasa pedih hingga tanpa sadar ia memejam dan mengusap dengan jemarinya.

Saat membuka mata, betapa terkejut dirinya saat mendapati jika sebelah matanya itu mengeluarkan darah. Semakin sering ia mengerjap-ngerjapkan mata dan mengusapnya, semakin banyaklah darah yang keluar dari matanya. Darah itu berwarna merah segar, mengalir seperti air mata tetapi dengan rasa sakit yang membuat Reddish mendecak dengan rintihan sakit yang tanpa sadar keluar dari mulutnya.

Ini pasti karena kekuatannya yang terkuras tadi serta kecerobohannya yang membiarkan matanya yang begitu berharga itu terbuka begitu saja tanpa pelindung sejak ia menemukan Azure.

Reddish melangkah pelan tanpa suara meninggalkan kamarnya, tanpa tahu jika sejak tadi sesungguhnya Azure telah terbangun dan terkejut dengan wajah pias mendapati Reddish mengeluarkan darah begitu banyak hingga mengalir di tangannya.

 

***

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

The Red Prince | Part 15 : Perempuan Istimewa

red prince cover - CopyRed 3

11 votes, average: 1.00 out of 1 (11 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Ruang perjamuan itu terletak terpisah dari bangunan kastil utama. Dikelilingi langsung oleh hamparan pemandangan awan putih nan lembut di semua sisi, menjulang jauh dengan jembatan panjang sebagai penghubungnya yang menjadi jalan bagi para pelayan dan koki kastil untuk mempersiapkan jamuan minum bagi pemimpin mereka dalam menyambut tamu.

Ruangan tersebut berukuran cukup luas dengan pilar-pilar yang menyangga atapnya dengan kukuh. Dinding-dindingnya terbuka di semua sisi, mengalirkan udara sejuk yang nyaman ke seluruh penjuru. Pilar-pilar besar itu dihias dengan lampu-lampu kecil dan tanaman rambat yang menutupi sebagian besar permukaannya, membuat kesejukan kian mengisi ruangan terbuka itu dengan warna hijau beningnya yang unik.

Dan di sinilah Sapphire. Duduk di salah satu kursi di meja perjamuan yang terletak di tengah-tengah ruangan itu dengan dada berdegup cepat. Sore tadi, setelah salah seorang pelayan membawakan gaun yang cukup pantas baginya untuk memenuhi undangan Reddish di tempat perjamuan ini, Sapphire segera berganti baju dan merapikan diri sekenanya setelah sebelumnya ia membersihkan dan menyegarkan diri di salah satu ruang mandi di sisi ruang tahanan itu.

Jantungnya berdetak kian cepat dari waktu ke waktu yang kian membawanya ke waktu di mana Reddish akan datang menemuinya dan mengajaknya minum bersama. Dia tak tahu jika akan ada proses perjamuan semacam ini untuk penyambutannya sebagai calon maharani pemimpin negeri. Tidak ada ingatan tentang itu di pikirannya, atau … dia telah lupa?

Bagaimana pun, segala keanehan dan kejanggalan yang menerpa dirinya itu entah bagaimana tak bisa ia dapatkan penjelasannya. Saat ini, yang tertanam dalam benaknya adalah bahwa ia hanya harus menuruti semua yang diperintahkan dan diminta oleh Reddish nanti agar dirinya aman.

Menurut dan mengiyakan semua perintah.

Sapphire mengulang-ulang kata-kata itu dalam hatinya di sela-sela debaran jantungnya yang tak mau dikendalikan. Tampak ia berkali-kali mengembuskan napas melalui mulutnya untuk menetralkan kegugupannya yang tak mau pergi.

Dia diminta datang lebih awal ke tempat ini, agar ketika Reddish datang nanti, dia telah bersiap dan tak membuat lelaki itu menunggu. Dan Sapphire mengerti. Dia akan berusaha menjadi perempuan yang santun dan memuliakan Reddish sebagai calon suaminya. Dia akan berusaha bersikap sebaik mungkin dan memuaskan hati lelaki itu sehingga perjamuan ini akan berjalan lancar nantinya.

Sekali lagi Sapphire mengembuskan napas panjangnya melalui mulut, bersikap elegan dengan tetap duduk tegak di kursi yang disediakan untuknya di seberang kursi milik Reddish.

Meja di depannya masih kosong, para pelayan diperintahkan untuk menyajikan minum-minuman di perjamuan itu nanti setelah Reddish datang.

Sapphire melirik sekeliling. Para penjaga ruang tahanan yang tadi mengantarkannya kemari masih berdiri tegak di tempatnya. Mereka semua tampak tak melepaskan tatapan tajam kepanya seolah tugas mengawasi dirinya itu betul-betul harus dilakukan secara saksama tanpa boleh melewatkan pengawasan terhadap gerak tubuhnya sedikit pun. Para penjaga itu berdiri bak patung dengan kedua mata mereka yang diciptakan menatap dirinya.

Tempat itu begitu hening. Dan Sapphire bahkan tak berani untuk sekadar mengeraskan suara embusan napas yang sedari tadi ia tahan-tahan.

Suara lantang salah seorang penjaga yang berdiri di sisi jalan masuk terdengar tiba-tiba membuat Sapphire terloncat berdiri karena terkejut.

“Tuan Reddish datang,” ucap penjaga itu dengan lantang seiring tubuhnya yang mengawali sikap menjura.

Mendengar ucapan itu, semua prajurit yang ada di tempat itu seketika membungkuk, begitu juga dengan Sapphire yang berdiri di sisi kursi dengan sikap tubuh yang sama.

Reddish berjalan tegap dengan ekspresinya yang dingin. Langkahnya berderap cepat. Di belakangnya, beberapa pengawal mengikuti dengan jangkahan yang serempak. Seharusnya, jamuan malam ini juga turut dihadiri oleh para pemimpin klan warna lainnya sebagai pendamping. Ruangan yang luas ini akan dipenuhi oleh banyak set meja dan kursi, sementara meja utama di bagian tengah yang terletak lebih tinggi, akan secara khusus diisi oleh pemimpin negeri dan calon pendampingnya. Namun sepertinya, jamuan malam kali ini akan berbeda sebab ruangan luas itu dikosongkan dan hanya menyisakan satu meja dengan dua kursi yang berhadapan. Selain itu, suasananya terlihat tegang alih-alih romantis karena prajurit yang sejak semula mengawasi Sapphire di ruang tahanan, turut dihadirkan pula di ruangan ini sebagai penjaga perempuan itu.

Reddish menghentikan langkahnya beberapa jarak dari tempat Sapphire. Sengaja menjaga agar letak mereka tetap berjauhan. Kedua mata Reddish menyipit dan ekspresinya terlihat menahan marah. Perempun klan biru palsu yang ada di depannya itu masih membungkuk dengan khidmat, tanpa tahu jika Reddish sedang bersusah payah untuk menahan diri agar tak langsung menyerang dan membunuhnya.

“Tinggalkan kami.” Reddish berucap kemudian dengan tegas.

Semua prajurit berikut pengawal yang ada di tempat itu seketika menegakkan badan dan mengangkat alis. Kesemuanya saling berpandangan satu sama lain dengan ekspresi penuh tanya. Sapphire tampak menegakkan tubuhnya perlahan sambil menggigit bibir. Kepalanya menunduk dengan kedua jemari tangannya yang berjalinan di depan tubuh.

“Tuan Reddish. Perempuan klan biru itu-ah, maksud saya Nona Sapphire, harus tetap mendapat pengawalan di tempat terbuka seperti ini. Kami … kami tidak akan membiarkan Anda menghadapinya sendirian di sini. Dengan setulus kesetiaan kami, kami ingin terus berjaga di sini demi Anda.” Sang kepala prajurit yang saat itu merangkap sebagai kepala ruang tahanan di kastil putih itu terlihat bersungguh-sungguh dengan ucapannya.

Kepala prajurit itu mengira jika perempuan biru itu begitu istimewa di hadapan tuannya, diletakkan di ruang tahanan mewah yang terdapat di sisi terluar ruang tahanan kastil putih, ditambah lagi dengan tidak adanya hukuman tambahan bagi perempuan itu setelah Reddish mengetahui jika perempuan itu telah melukai Candy, bibinya. Namun, pikirannya mendadak tidak mengerti saat pelayan yang diminta oleh Reddish untuk mengantarkan baju ganti kepada perempuan itu mengantarkan baju ala kadarnya yang sangat tidak sesuai dengan acara jamuan malam ini alih-alih memberikan gaun yang mewah pula kepada peremuan itu. Ada rasa tak mengenakkan yang tiba-tiba saja menggelayuti hatinya. Oleh karena itu, dia seketika menolak untuk pergi dan bersikeras untuk akan tetap berjaga di ruangan ini.

Reddish mengetatkan geraham masih dengan ekspresi dinginnya yang sama. “Ada yang ingin aku lakukan. Dan aku tak mau diganggu.” Tanpa disangka, Reddish menjawab tenang kemudian dengan kalimatnya yang misterius.

Sapphire berikut kepala prajurit itu menengadah dengan terkejut.

Suara dehaman terdengar dari sang kepala prajurit.

Kenapa dia bodoh sekali. Apakah karena dia terlalu memikirkan tentang penampilan nona Sapphire yang biasa saja itu sehingga dia malahan berpikiran buruk? Ah, tentu saja tuan Reddishnya akan menghabiskan waktu berdua saja dengan calon istrinya itu tanpa diganggu siapa pun bukan?

Sapphire bertemu pandang sejenak dengan kedua mata merah Reddish. Kepalanya menunduk lagi saat wajahnya tampak tersipu mendengar ucapan Reddish yang membuatnya berdebar itu.

Astaga. Apakah Reddish tipikal lelaki yang terburu-buru sehingga tak sabaran seperti ini? Oh, apakah penampilannya yang tampak biasa saja seperti inilah yang mampu menggoda hasrat lelaki itu hingga mereka akan langsung melakukannya malam ini?

Pikiran-pikiran liar penuh adegan mesra dan romantis itu mendadak berseliweran di kepala Sapphire tanpa bisa ditahan.

“Baik, Tuan Reddish. Kami akan meninggalkan ruangan ini untuk Anda berdua. Kami akan berjaga di kastil seberang,” sahut sang kepala pelayan lantas mengedikkan kepala ke arah pintu kepada semua prajurit di tempat itu.

Suara berderap perlahan terdengar tak beberapa lama setelah sang pemimpin prajurit itu memimpin jalan. Reddish memiringkan badan, beralih menghadap ke sisi ruangan yang saat itu gelap dengan kerlip lampu-lampu rumah klan warna yang tampak dari kejauhan, tak sudi menghadapkan tubuh lama-lama ke arah perempuan palsu itu, menunggu hingga semua prajurit tuntas meninggalkan ruangan.

Sapphire melirik melalui sudut matanya ke arah Reddish yang saat ini masih berdiri memunggunginya. Perasaan gugup yang semula begitu membuatnya berdebar itu entah bagaimana kini berubah menjadi sebuah ketakutan yang membuat tubuhnya gemetar. Bulu kuduknya berdiri hingga tanpa terasa kedua tangannya saling memeluk dan mengusap untuk meredakan rasa tak nyaman yang kian memunculkan keringat di pelipisnya.

Sepertinya, ini adalah kali kedua dia berhadapan dengan Reddish secara langsung. Namun, kali ini terasa berbeda. Aura yang dikeluarkan oleh lelaki itu yang penuh dingin serta kedatangannya yang seolah membawa firasat buruk baginya itu entah kenapa makin membuat nyalinya ciut.

Sapphire masih berdiri mematung di tempat. Tak tahu harus berbuat apa sementara dia tak berani untuk sekadar memulai sapaan. Tetapi untunglah, tak berapa lama setelah para prajurit itu tiba di pos penjagaan mereka di kastil, Reddish membalikkan tubuh, mendekat ke meja dan mendudukkan dirinya di kursi yang tersedia untuknya.

“Duduk,” titahnya setelah melihat jika Sapphire hanya berdiri kaku di samping kursi.

Reddish menyatukan kedua tangan di depan tubuh, menumpukan tangannya pada siku. Tatapannya menajam pada perempuan itu yang sontak mengangguk dan kembali duduk.

Beberapa pelayan yang ditugaskan untuk membawakan aneka minuman mulai berdatangan. Mereka semua adalah pelayan laki-laki klan merah yang masing-masing membawa sebotol minuman serta beberapa di antara mereka membawa nampan berisi gelas. Para pelayan itu bergerak dalam diam, menyajikan minuman, gelas, serta lap ke hadapan Reddish dan Sapphire.

“Kalian juga pergi, tak perlu melayaniku.” Reddish memerintah dengan tegas. Kali ini tak ada protes dari para pelayan itu. Mereka mengangguk dan berjalan beriringan ke arah pintu, lantas meninggalkan ruangan itu dengan segera.

Keheningan menyergap seluruh penjuru ruangan. Nuansa sejuk yang makin lama makin berubah dingin itu kini mencekam karena sikap Reddish yang tak mampu ditebak. Aura merah yang tadinya tak nampak itu perlahan muncul di sekeliling tubuh Reddish, membuat penampilannya benar-benar seperti iblis dengan sorot mata indahnya yang saat ini seakan mampu membunuh Sapphire dalam kematian penuh ketakutan.

“Berani-beraninya kau.” Reddish mendesis dengan suaranya yang pelan. Namun, hampir semua sudut ruangan itu mampu menangkap setiap kata yang keluar dari mulut sang pemimpin klan merah itu.

Sapphire menengadah begitu mendengar ucapan Reddish. Bibirnya gemetar saat lidahnya yang kelu itu bersusah payah berusaha mengeluarkan suara. “Be-berani? Berani apa, Tu-Tuan?” tanyanya dengan menampilkan senyum kaku penuh canggung yang sangat kentara di wajahnya.

Reddish bergeming, seolah sedang menimbang-nimbang, cara apakah yang paling menyakitkan untuk memberi hukuman kepada perempuan ini?

Tanpa diduga, Reddish meraih botol minuman di depannya dan menuangkannya ke gelas milik Sapphire. “Minum,” titahnya kemudian.

Ketakutan yang tadinya sempat melanda Sapphire itu perlahan sirna. Perempuan itu menelan ludah.

Ternyata … Reddish adalah lelaki yang manis.

Tanpa sadar, senyum tipis muncul di sudut bibir perempuan itu saat sebelah tangannya meraih gelas dengan leher tinggi itu tanpa ragu dan mendekatkannya ke mulutnya.

“Sikap yang manis belum tentu menunjukkan jika itu adalah wujud dari perhatian. Itu bisa berarti apa saja, tanpa kita pernah tahu maksud sebenarnya.” Reddish berucap dengan pandangannya yang terarah ke meja.

Sapphire seketika terbatuk-batuk dengan keras mendengar kalimat Reddish yang terdengar menohok. Seolah lelaki itu mampu membaca apa yang ada di pikirannya.

“Dan aku akan menunjukkannya kepadamu. Balasan apa yang akan diterima jika seseorang bersikap manis tetapi menyimpan racun di belakangnya,” ujarnya lagi sembari mengeluarkan kekuatan merah di telapak tangan kanannya sembari menimang-nimangnya sejenak. Kedua mata merah Reddish melihat berganti-ganti pada tangannya yang sedang mengeluarkan aura merah dan ke arah perempuan itu yang terlihat tertegun dengan penuh ketidakmengertian.

Tanpa aba-aba, Reddish lalu melempar kekuatan merahnya tepat ke leher Sapphire.

Perempuan itu terkejut bukan kepalang. Rasa panas menyengat yang menghinggapi leher bagian depannya itu membuat napasnya tecekat.

“Tu-Tuan. A-apa yang Anda lakukan?” Sapphire bertanya takut-takut dengan tubuhnya yang kini tak bisa digerakkan.

Reddish bangkit dari duduknya. Sebelah tangannya yang masih memegangi leher Sapphire dari jauh itu bergerak perlahan, membuat tubuh Sapphire semakin terangkat, ke atas … dan makin tinggi.

Aura merah lelaki itu bertambah pekat. Kemarahan tak bisa ditutupi lagi dari ekspresinya yang mengeras.

“Seharusnya aku yang bertanya kepadamu. Apa yang kaulakukan di tempat ini? Siapa yang menyuruhmu? Berani-beraninya kau menipuku!”Mata Reddish menyipit. Sebelah matanya yang tak menggunakan lensa dan melihat jika perempuan itu tak berwarna di mata cacatnya itu seketika menyulut kemarahannya kian menjadi-jadi.

Tubuh Sapphire yang melayang-layang di udara itu kini di selubungi warna merah pekat, begitu pekatnya hingga membuat jeritan kesakitan terdengar nyaring menggema di ruangan itu. Aura merah yang memancar begitu besar itu menyala terang, menyala bak matahari malam yang menyilaukan mata siapa pun yang melihat.

Lalu, tanpa dinyana oleh siapa pun yang sedang sial menyaksikan dan berusaha mengintip dari jauh acara jamuan malam yang mereka sangka akan menjadi malam romanis itu, warna biru Sapphire mulai luntur perlahan. Pudar … hilang dengan begitu menyakitkan, mengubah warna biru pekat yang semula begitu lekat dengan perempuan itu lalu menampilkan warna aslinya yang tentu saja jauh berbeda.

Hijau! Perempuan klan hijau!

Reddish tak menahan-nahan kekuatannya lagi. Sebelah tangan yang ia gunakan untuk mengangkat perempuan itu ke udara semakin lama semakin besar menguarkan aura merah. Perempuan itu meregang nyawa dalam kesakitan. Dan seolah itu belum cukup, warna asli dari Sapphire pun perlahan memudar, tubuhnya yang semula tampak normal itu seperti mengering setelah seluruh warna hilang dari tubuhnya.

Tanpa perasaan, Reddish menyentakkan tangannya dan jatuhlah tubuh perempuan malang itu ke lantai dengan warnanya yang sempurna berwarna hijau pucat.

Dari arah pintu, entah kapan datangnya, Shamrock berlari mendekat. Lelaki pemimpin klan hijau itu bersimpuh. Tak berani menyentuhkan tangannya pada jasad perempuan yang kini telah mati itu. Matanya menatap nanar dengan ketidakpecayaan yang menghantam dirinya hingga wajahnya tampak pucat.

“O-Olive ….”

Kekasihnya … bagaimana bisa jadi begini?

***

Azure bersedekap di sisi ranjang. Ekspresinya tampak kecut sepeninggal Reddish tadi. Lelaki itu terburu-buru meninggalkannya setelah mendapat kabar tentang perempuan klan biru bernama Sapphire?

Ini tidak seperti dugaannya sebelum ini di mana dirinya akan disekap di ruang tahanan, menjadi tawanan dengan tangan dan kaki diikat, mulut disumpal, serta dibiarkan begitu saja sembari  menunggu keputusan yang mau tak mau harus dihadapinya.

Perempuan itu menipiskan bibir. Rasa tersinggung begitu mengusik hatinya saat ini.

Apakah rumor yang berkembang selama ini ternyata salah? Apakah kabar yang menyatakan jika lelaki klan merah begitu membenci perempuan dan tak suka hidup dengan perempuan itu ternyata hanyalah kabar burung agar perilaku buruk mereka yang ternyata suka hidup dengan banyak perempuan itu tertutupi sehingga mereka bisa bebas?

Azure ber-cih dengan ekspresi sebal. Sepertinya, akan lebih baik jika dirinya saat ini ditempatkan di ruangan gelap dengan kaki diikat daripada ia berada di ruangan mewah ini, mampu bergerak leluasa, tetapi dirinya lagi-lagi tak berharga di mata klan merah itu. Dia hanya menjadi salah satu koleksi perempuan klan biru yang entah akan menjadi apa statusnya di kastil merah ini.

Selir? Selir ke berapakah dirinya ini?

Senyum getir tampak mengembang di wajah Azure.

Dasar Reddish sialan!

Kebencian Azure yang semula pupus oleh perasaan kagum kepada jelmaan manusia Reddish yang bernama Alan itu kini musnah sudah. Hatinya yang mendadak harus menerima kekecewaan dan segala kenyataan pahit itu kembali membuat hatinya beku.

Dirinya tidak akan mau lagi diinjak dan diperlakukan seenaknya oleh makhluk-makhluk klan merah di tempat ini. Dia adalah makhluk klan biru yang seharusnya mendapatkan hak yang setara seperti makhluk-makhluk langit lainnya, bukan? Lagipula, Reddish ternyata telah memiliki perempuan klan biru lainnya yang bisa lelaki itu gunakan sebagai maharaninya untuk membangkitkan kembali bangsa ungu yang harus segera dilahirkan untuk kebangkitan pelangi semesta.

Dia tak semestinya berada di sini. Mungkin inilah jalan yang tanpa sadar telah Reddish berikan kepadanya untuk kembali ke negeri langit dan mengembalikan kejayaan koloni klan biru. Dia tak akan menjadi perempuan lemah dengan menyerah begitu saja. Dia akan enyah dari kastil ini dan melakukan ritual pemanggilan kepada anggota-anggotanya yang lain hingga mereka semua bisa menempati kastil biru yang telah lama terbengkelai.

Azure tidak akan lari dan bersembunyi seperti yang dilakukannya bersama koloninya di waktu lampau. Kali ini dia akan menghadapi segala sesuatunya dengan berani, apa apun risikonya, walau nyawa taruhannya. Perempuan itu bertekad kuat dengan matanya yang menyala penuh semangat diiringi aura biru yang memendar dari tubuhnya.

Perempuan itu kemudian memindai sekeliling, mencari pintu, jendela, atau apa saja yang bisa ia gunakan untuk keluar. Namun, di tengah-tengah kedua matanya  yang sedang mengamati kamar merah itu, ia melihat lelaki pelayan yang tadi memberitahu Reddish untuk keluar itu masih berdiri di sisi pintu. Lelaki yang sepertinya telah berumur ratusan tahun karena begitu pudar warna merah yang ada di tubuhnya itu berdiri dalam diam, anteng tak bergerak.

Sepertinya dia ditugaskan untuk berjaga di ruangan ini.

Azure melangkah kemudian, mendekat ke arah pintu. Tatapannya tampak tak percaya saat memandangi pintu di depannya itu. Perempuan itu mengangkat alis dan tersenyum tipis dengan nada penuh ejekan.

Tawanan Reddish bilang? Apakah lelaki itu sedang mengejeknya dengan menunjukkan jika kastil merah mampu memiliki ruang tahanan selebar ini dengan tanpa penjagaan prajurit? Apakah Reddish berpikir jika dirinya begitu tergila-gila padanya sehingga dia tak mungkin ingin keluar dan melarikan diri? Ruang tahanan macam apa yang dibangun dengan pintu kamar tidur seperti ini dan dengan penjaganya yang sudah tua?

“Tuan Merah.” Azure menyapa.

Crimson menoleh. Kedua alisnya terangkat saat melihat jika Azure kini berdiri di belakang pintu. “Ada yang Anda butuhkan, Nona? Saya akan segera mempersipkannya,” sahutnya dengan menunduk.

“Aku ingin minum,” jawabnya dengan ekspresi dingin.

“Baik. Saya akan segera memanggil pelayan untuk menyiapkan-“

“Tidak perlu. Aku yang akan mengambilnya sendiri,” ucap Azure dengan penuh percaya diri. Dia begitu yakin dan tak percaya serta tak mengerti dengan sistem ruang tahanan di tempat ini, sehingga dia begitu meyakini jika dia pasti bisa menembus orang-orang yang ditempatkan Reddish di sekeliling ruangan ini.

Ada ekspresi heran yang ditunjukkan oleh Crimson dalam sesaat. “Tentu saja tidak bisa, Nona. Anda harus tetap dalam ruangan seperti perintah tuan Reddish. Anda tak bisa keluar,” tuturnya menjelaskan hal yang tentu saja sudah diketahui oleh Azure.

“Begitu? Ternyata ruangan mewah ini memiliki kekurangan juga dengan tidak menyediakan rak minum pribadi bagi penghuninya?” tanyanya penuh ejekan. Kedua matanya memandangi sekeliling dengan tatapan menilai. Kedua tangannya terlipat di depan tubuh, sengaja mengonfrontasi lelaki klan merah yang sepertinya adalah tangan kanan Reddish itu.

“Tuan Reddish jarang menikmati minuman malam sebelum tidur, Nona. Beliau juga tak terbiasa membawa minuman ke dalam kamar. Ruang untuk bekerja, menikmati minuman semuanya berada di ruang terpisah.” Crimson menjelaskan dengan kalimat padat, masih dengan kepala menunduk.

“Ah, egois sekali. Hanya karena dia tak menyukainya sehingga melakukan pengaturan terhadap semua ruangan?” Azure terkekeh dengan nada mencela.

Kening tua Crimson mengernyit. “Apa maksud Nona?”

Ada ketidakmengertian dalam pikiran Crimson ketika menerima kalimat Azure itu.

Apa maksudnya dengan melakukan pengaturan semua ruangan? Tentu saja tuannya itu tak mengatur ruangan lain seperti ruangannya yang mewah ini. Hanya ruangan inilah yang begitu luas dengan penataan yang apik sedemikian rupa sesuai dengan selera tuan Reddish. Namun sayangnya, nona biru di depannya ini tak diizinkan untuk menjelajah ke ruangan lainnya untuk melihat, karena tuan Reddish berniat menyembunyikan nona Azure hingga waktu pernikahan mereka tiba.

Lalu, tiba-tiba saja, pemikiran lain muncul di benak Crimson.

Apakah Nona Azure menganggap jika ruangan ini adalah ruang tahanan  di kastil merah?

Wajah Crimson berubah cerah seketika. Tidak tahukan nona cantik ini jika dirinya sedang berada di ruang kamar tuan Reddish yang Agung? Tidak tahukah jika posisinya saat ini begitu istimewa dengan ditempatkan di ruangan pribadi tuannya?

Belum sempat mengutarakan isi pikirannya, kembali Azure terlebih dahulu bertanya,

“Apakah ruangan perempuan klan biru yang lain juga seperti ini? Aku ingin bertemu dengan mereka dan memastikan jika kami ditempatkan di ruangan yang layak sebagai timbal balik kerjasama untuk menghidupkan kembali pelangi semesta di negeri langit.” Azure berucap tegas. “Tentu aku diizinkan, bukan? Karena sebagai makhluk klan biru, kami juga berhak atas keputusan menerima atau menolak kerjasama yang kalian tawarkan,” imbuhnya dengan pandangan menilai.

Kening Crimson mengernyit lebih dalam. Tak bisa memahami maksud kalimat aneh dari perempuan di depannya itu.

Perempuan klan biru yang lain?

Crimson mengerjap kemudian saat teringat sesuatu.

Ah, apakah nona Azure tadi mendengar percakapan singkatnya dengan tuan Reddish tadi tentang Sapphire? Perempuan biru palsu itu?

Azure menatap Crimson tajam, mengamati setiap perubahan ekspresi lelaki tua itu yang tampak lamban dan menyebalkan. Membuatnya tak sabar. Azure bergerak semakin maju hendak keluar ruangan, dipenuhi kekeraskepalaan atas keputusannya yang sepihak itu. Tak memberi kesempatan kepada Crimson untuk menjawab atau pun memberi penjelasan.

Crimson mengangkat kedua alis dengan gugup. Dia tahu betapa kuatnya segel merah yang ditanamkan oleh tuannya di sekeliling ruang kamar ini. Tidak ada yang berani menyentuhkan kulitnya apalagi meloncat hendak melewati ambang batas di mana segel itu ditanamkan karena efeknya akan luar biasa menyakitkan. Tubuh mereka akan seperti tersengat aliran listrik hingga membuat tubuh mereka mati rasa dan terluka untuk sementara waktu. Hanya Reddish sendiri dan Crimson yang bisa keluar masuk ke ruang kamar ini. Crimson dipercaya oleh Reddish sebagai sambung tangan dari para pelayan yang hendak memberikan keperluan bagi Azure. Meski begitu, Crimson sendiri sangat ketakutan saat hendak melewati pintu bersegel itu. Khawtir jika tuan Reddish mendadak berubah pikiran dan membuatnya mati karena terhantam kekuatan segel tersebut.

Dan sekarang … nona Azure hendak memaksa keluar?

“Nona. No-nona mohon berhenti,” pinta Crimson dengan terbata. Kedua tangannya terangkat ke depan dada dengan gerakan memohon sekaligus melarang yang tak diindahkan oleh Azure.

Bagaimana jika terjadi sesuatu yang buruk dengan nona ini setelah dia berusaha keluar melewati pintu dengan segel kuat milik tuan Reddish? Dirinya pasti akan segera dipensiunkan dini dan menerima hukuman tahanan dalam waktu yang lama karena tak berhasil membujuk nona biru ini dan membuatnya celaka. Lebih buruk dari itu … bagaimana jika dia terlempar oleh kekuatan merah milik tuan Reddish? Dirinya pasti akan habis seketika!

Azure begitu gigih. Perempuan itu melangkah cepat lalu memukulkan tangannya yang saat itu telah memancarkan aura biru pekat yang sangat kuat tepat ke arah Crimson. Hendak meninju lelaki penjaga itu dengan aura birunya.

Crimson terbelalak hingga tanpa sadar mulutnya ternganga saat adegan cepat itu berlangsung di depan matanya. Kekuatan biru itu tepat terarah ke arahnya dan …

“Ah!” Azure menjerit saat pukulan tangannya seolah terhalangi oleh benda sekeras batu. Tubuhnya terhuyung ke belakang tanpa bisa ditahan. Dengan napas terengah, perempuan itu menatap tak percaya pada tangannya, lalu dengan tertegun kembali menatap ke arah pintu di mana di sana ada kekuatan merah yang memendar tipis dan menghalanginya untuk menghajar Crimson.

Lelaki itu terpaku dengan tatapan takjub, berbanding terbalik dengan Azure yang kian termakan kemarahan lantas memukul-mukulkan kekuatan birunya ke arah pintu itu bertubi-tubi dengan sia-sia.

Dan selanjutnya, yang terlihat di sudut tempat itu adalah Crimson yang berdiri dengan ternganga dan Azure yang bertingkah konyol dengan tanpa putus asa berusaha menembus kekuatan merah milik Reddish itu dengan melempar kekuatan auranya seperti cipratan air yang sedang bersikukuh melawan api besar selama beberapa waktu.

***

Reddish bergeming di tempatnya berdiri menyaksikan bagaimana Shamrock, sang pemimpin klan hijau itu terisak-isak sambil berlutut, menangisi perempuan hijau yang ternyata bernama Olive.

“Kau mengenalnya?” Reddish bertanya kemudian, memecah suara tangis yang membuatnya tak nyaman.

“Dia … dia adalah Olive, kekasihku, wahai pemimpin klan merah.” Lelaki itu menelan ludah. “Dia tiba-tiba menghilang selama beberapa waktu dan kami tak bisa menemukannya,” tambahnya lagi dengan suara sengau.

Reddish mengamati sekeliling. Tatapannya yang tajam bisa melihat jika saat ini dirinya sedang diawasi oleh para makhluk langit yang sembunyi-sembunyi dan sedang mengintainya.

“Maaf. Maafkan saya. Saya telah lama memiliki firasat jika ada yang tak beres dengan perempuan klan biru ini. Perawakannya begitu tidak asing dan entah bagaimana saya ingin terus mengikutinya. Maafkan saya. Saya bersembunyi di balik pintu dan menyaksikan semuanya,” akunya dengan ekspresi pedih.

Suara langkah yang seirama terdengar mendekat. Reddish dengan kekuatan pikirannya memanggil sang kepala prajurit beserta beberapa anak buahnya.

“Bereskan tahanan itu seperti aturan biasanya.” Reddish memerintah dengan tatapan dingin kepada semua prajurit yang kini berdiri di sisinya.

“Reddish. Apakah tak boleh jika saya saja yang menyemayamkannya? Saya ingin memberi penghormatan terakhir untuknya-“ ucapan Shamrock tak sampai pada akhir kalimat, karena tubuh Reddish telah berlalu dari ruangan itu, tak mau barang mendengarkan apalagi bernegosiasi atas permohonannya.

Tuan. Tuan Reddish. Nona Azure berusaha merangsek keluar dari ruangan dengan memukul-mukulkan kekuatan birunya hingga kelelahan.

Suara Crimson yang terdengar cemas itu membuat Reddish tak membuang-buang waktu lagi dan berjalan cepat menuju kamarnya di mana Azure sedang mengamuk di sana.

 

bersambung….

Terima kasih telah membaca ^^

 

Baca Parts Lainnya Klik Di sini