Red Prince

The Red Prince | Part 29 : Cahaya Petir

Bookmark
Please login to bookmarkClose

No account yet? Register

Cover

20 votes, average: 1.00 out of 1 (20 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

 

“Aku belum berterima kasih padamu.” Reddish memiringkan tubuhnya menghadap perut Azure dan mengecupnya singkat. Sebelah tangannya memeluk hingga punggung, membelainya perlahan.

Saat ini keduanya tengah berada di lapangan berumput yang terletak di salah satu sudut taman raksasa kastil merah. Lapangan berumput itu memiliki jenis tanaman rumput berdaun bulat yang tumbuh lebat dengan batangnya yang lunak serta hanya mampu tumbuh hingga 3 sentimeter tingginya, membuat makhluk-makhluk  yang sedang berbaring di atasnya merasakan sensasi seperti tengah berbaring di atas kasur yang empuk dan nyaman.

Nuansa bahagia tampak tak pernah padam dari wajah Reddish dan Azure setelah percintaan yang begitu mewakili perasaan mereka itu.

“Kenapa kau harus berterima kasih?” Azure mengusap kepala Reddish sembari menunduk, menatap sisi wajah Reddish yang memperlihatkan hidungnya yang bangir. Tubuh perempuan itu bersandar di sebuah batang pohon di tepi lapangan berumput tersebut dengan kaki berselonjor sementara Reddish berbaring miring berbantalkan pangkuannya.

“Karena telah banyak hal yang kaulakukan untukku.” Reddish tersenyum tipis, masih dengan kedua matanya yang memejam. “Kau adalah penyelamat negeri langit, kau telah menyelamatkanku dan kau harus menanggung segala ketidaknyamanan karena mengandung putraku. Aku berutang banyak, Azure,” imbuhnya dengan merapatkan pelukan tubuhnya dengan gemas.

Azure menyandarkan kepala, pandangannya tampak menerawang dengan bibir tersenyum kecut. “Tidakkah aku yang seharusnya berterima kasih?” tanyanya diiringi napasnya yang mengembus panjang. “Aku adalah makhluk asing di klan merahmu. Makhluk tak tahu malu yang pada awalnya terus menerus melawanmu sementara kau tahu jika ternyata klankulah yang sebenarnya tak tahu diri. Aku datang kemari membawa kemarahan sementara kau … dan semua anggotamu di sini sama baiknya seperti kau. Kalian memperlakukanku seolah mata kalian buta dan tak melihat jika warnaku biru. Tidakkah kau menyesal menyucikan diri denganku?” Tatapan Azure merendah kemudian dan ia menemukan jika Reddish terdiam mendengar ucapannya dengan matanya yang membuka. Dan seketika itu juga, Azure terbeliak sembari menutup mulutnya saat kesadaran tentang arti ucapannya itu yang mungkin saja membuat Reddish tak nyaman.

“Ah, Reddish. Ma-maksud ucapanku tadi-“

Reddish bangkit terduduk. Sebelah kakinya tertekuk dengan sikunya yang berada di atas lutut. Kedua mata merahnya terlihat memandangi Azure begitu lama. Ingin rasanya lelaki itu melepas saja lensa bantu di sebelah matanya itu karena sepertinya ia sudah tak membutuhkannya lagi. Ia sudah cukup dengan warna Azure di matanya. Ia tak tertarik lagi melihat warna lain selain warna istrinya bahkan ia tak peduli dengan warna merahnya sendiri seandainya saja warna tersebut harus berubah ketika masa tua menjemput usianya.

Azure sendiri membalas tatapan Reddish dengan kening mengernyit penuh ketidakmengertian. Apa yang sebenarnya tengah dipikirkan lelaki itu?

Kalau diingat-ingat, pembicaraan tentang kondisi kedua mata Reddish yang langka itu belum pernah ada sama sekali di antara dirinya dengan Reddish dan Azure tak pernah berani bertanya karena khawatir jika hal itu merupakan perkara sensitif yang membuat Reddish meledak marah. Lagipula, Azure pada awalnya sungguh tak tahu jika ternyata Reddish memiliki keadaan istimewa tersebut dan sekarang setelah semuanya berjalan lebih baik, Azure tak pernah keberatan atas kondisi Reddish. Apapun itu.

Tanpa diduga kekehan meluncur dari bibir Reddish. Lelaki itu mengulurkan tangannya dan menyentuh pipi Azure yang tirus dengan kedua matanya yang menatap teduh. “Bagaimana aku bisa menyesal saat warna paling indah di kedua mataku yang buta ini hanya warnamu, Azure? Kedua mata cacatku ini memang terkutuk tetapi sungguh saat ini aku begitu mensyukurinya karena ia adalah jalanku untuk menemukanmu. Seandainya pun aku tak bisa melihat warnamu, maka aku akan tetap mensyukurinya karena aku memiliki hati dan cintamu. Aku tak pernah menyesal karena itu kau.” Reddish menggenggam tangan Azure, lalu meletakkannya di pipinya sendiri sembari memejam.

Aura biru Azure yang memendar tipis dari sebelah tangannya berkat luapan perasaannya yang haru itu berbaur dengan genggaman tangan Reddish yang memerah, memperlihatkan aura campuran yang seketika membuat Azure menelan ludah.

Bisa-bisanya ia teringat buah berwarna ungu di dunia manusia itu yang terasa manis. Flavia yang suka sekali dengan buah-buahan pernah sesekali waktu mengajaknya ke sebuah gerai jus di tengah kota. Entah bagaimana perempuan manusia itu bisa mengerti jika dirinya tak bisa memakan makanan berat dan lebih menyukai makanan berair seperti buah. Dan ajakannya ke gerai jus itu sungguh pilihan tepat untuk Azure karena gerai minuman adalah dunianya yang tak bisa ia tolak.

Mata Reddish membuka di tengah-tengah Azure yang sedang memikirkan tentang anggur. Kedua alis lelaki itu mengerut. “Apakah kau merasa tak nyaman?” tanyanya cemas dengan ekspresi menilai.

“Tidak apa-apa-“ Azure tersenyum, hendak menenangkan Reddish dengan kalimatnya, tetapi Reddish tiba-tiba saja menukas ucapannya dengan kesimpulannya sendiri.

“Sepertinya aku harus menunda satu hari lagi upacara penyemaian warna para makhluk kalau begitu,” ucapnya lirih dengan ekspresi seriusnya.

Kedua alis Azure terangkat mendengar kalimat Reddish itu. “Upacara penyemaian warna?”

Reddish yang sedang berkutat dengan pikirannya sendiri itu kembali memandangi istrinya. “Ya. Para makhluk sedang mempersiapkan upacara penyemaian warna yang akan diadakan sebentar lagi. Aku akan menunggu sampai fisikmu siap-“

“Aku baik-baik saja, Reddish. Tidakkah kaulihat sendiri? Aku sangat sehat dan warnaku juga baik-baik saja meskipun aku sedang hamil. Aku akan siap menyemai warnaku sesuai rencana kalian,” ucap Azure menggebu-gebu tanpa sadar, memegangi kedua tangan Reddish seperti sedang memohon.

Upacara penyemaian warna itu sangat menggoda karena itu adalah kesempatannya untuk kembali dekat dengan dunia manusia. Ia akan bahagia melihat dunia biru itu lagi. Terlebih ia tiba-tiba rindu sekali dengan minuman manis khas dunia manusia tersebut.

“Kau sangat bersemangat dan antusias.” Reddish berkomentar dengan tatapan menggoda. “Apakah ada yang kauinginkan?” tanyanya dengan kening mengernyit, seakan bisa membaca ekspresi istrinya yang sedang senang itu, membuat kedua pipi Azure bersemu karena malu.

Perempuan itu mengalihkan pandangannya sejenak, lantas berdeham untuk mencari kata-kata yang tepat sebagai alasan.

“Bisakah kita pergi ke dunia manusia setelah penyemaian?” Azure melempar senyum kecut karena wajah Reddish mendadak dingin mendengar permintaannya.

“Dunia manusia? Kau ingin apa?” Reddish menatap tajam pada istrinya yang saat itu tampak pucat karena nada bertanya lelaki itu yang tak bersahabat.

Reddish masih belum lupa bagaimana Azure hampir celaka karena makhluk pengubah warna yang tak sempat ia hancurkan itu. Dunia manusia menjadi tempat yang tak aman meskipun ia dan Azure telah terikat penyucian pernikahan. Ada banyak makhluk dari berbagai jenis klan yang sangat tidak menjamin keamanan mereka berdua. Terlebih kini Azure sedang mengandung.

Azure menelan ludah, lalu memberanikan diri membalas tatapan Reddish. Tak ada untungnya ia menutup-nutupi toh Reddish pasti akan tahu juga.

Perempuan itu pada akhirnya memaksa tersenyum di bawah tatapan Reddish yang menilai. Dia tahu jika Reddish akan kesal padanya saat mengetahui keinginan konyolnya itu. “Apakah kaulupa?” tanyanya sembari mengambil napas, membuat Reddish mengangkat sebelah alisnya dengan ekspresi bertanya.

“Lupa? Aku melupakan sesuatu?” Ekspresi Reddish berubah, mendadak lupa akan kemarahannya tentang dunia manusia tersebut.

Azure menarik napas panjang. “Ya. Kau menjanjikan padaku jika kencan kita yang pertama itu akan berlanjut ke kencan kedua, ketiga, dan seterusnya? Bagaimana jika kita kencan sebagai manusia? Aku … aku ingin meminum jus buah anggur yang terkenal sangat manis di kota tempatku tinggal,” bujuknya dengan ekspresi berbinar membujuk.

Reddish kembali mengernyitkan kening. “Jus buah anggur? Apakah yang kaumaksud itu adalah wine? Tapi wine di dunia manusia terkenal sebagai minuman yang memabukkan meski kita sebagai makhluk peminum masih bisa menoleransinya. Apakah ….” Tatapan Reddish tertuju ke arah perut Azure yang masih ramping. “Apakah itu tidak apa-apa untuk kandunganmu?”

Wine?” Azure mengangkat sebelah alisnya. “Kau pernah meminum wine?”

Reddish tampak salah tingkah dan berdeham. “Ya. Aku … aku pernah meminumnya sebagai minuman penghilang stres. Kau tahu? Aku tidak boleh mabuk karena dari sekian banyak makhluk, aku adalah makhluk yang paling sedikit tidur karena harus menyelesaikan banyak urusan. Oleh karena itu, kastil tak menyediakanku minuman yang seperti itu. Biasanya … jika sudah putus asa karena pikiranku sangat pening, aku akan turun ke dunia manusia dan meminumnya bersama Ecru untuk mencari ketenangan,” jelasnya dengan ekspresi kecut, seperti anak kecil yang takut saat sedang berkata jujur setelah ketahuan berbuat kesalahan dan takut dimarahi ibunya.

Azure bersedekap.

“Aku tidak sampai mabuk. Aku bahkan mungkin satu-satunya yang tak bisa mabuk hanya karena meminum wine.” Reddish kembali membela diri dengan putus asa tanpa diminta.

“Apakah rasanya sama seperti jus anggur yang di gerai-gerai jus itu?” tanya Azure tanpa dinyana.

Azure tahu jika wine hanya bisa didapatkan di tempat-tempat mewah dengan para pengunjungnya yang terkenal borjuis dan berdasi. Sementara perempuan itu tak pernah tertarik dengan tempat semacam itu meski ia bisa mengubah dirinya dalam sekejap menjadi manusia-manusia seperti apa pun yang ia inginkan. Jadi, di dunia manusia yang sering disebut-sebut sebagai tempat pembuangan baginya itu, ia hanya mengenal beberapa jenis minuman ringan termasuk aneka jus buah-buahan segar yang diperkenalkan Flavia padanya.

Reddish salah mengartikan ekspresi Azure yang memberengut itu. Suara tawa keluar dari mulutnya kemudian. Suara tawa yang sangat langka hingga hewan-hewan merah yang sedang bersembunyi di taman raksasa itu menghentikan gerakan mereka sembari menggelar tanya dengan takjub.

Lelaki itu merengkuh Azure dalam rangkulan lengannya, bersama-sama bersandar di bawah pohon merah tua itu. “Tentu saja rasanya berbeda,” jawabnya sembari tersenyum manis. “Jadi, kau ingin minum minuman ungu itu?” tanyanya memastikan. Tahu benar jika mungkin keinginan Azure itu adalah salah satu keadaan mengidam yang sedang dialami makhluk perempuan di awal-awal kehamilannya. Reddish bisa saja memerintah siapa saja pelayan yang ia kehendaki untuk mengambil minuman itu di dunia manusia, tetapi tawaran Azure untuk berkencan berdua tanpa gangguan itu terlalu menggoda untuk ditolak.

Azure menengadah dengan malu-malu. “Ya. Apakah bisa?” tanyanya dengan mengerutkan kening penuh harap.

Reddish menunduk, mengecup pucuk hidung Azure dengan sayang. “Ya. Tentu saja. Ayo kita kembali menjadi Alan dan Carissa. Kita akan memenuhi keinginan anak ungu itu dengan kencan sebagai manusia,” jawabnya tegas yang membuat wajah Azure tersenyum senang lantas memeluk erat Reddish tanpa aba-aba, membuat lelaki klan merah itu membeku sejenak.

***

Musim kering dengan debu yang yang bercampur ke udara itu masih belum berubah. Kondisi dunia manusia masih sama. Menanti hujan turun. Onyx berjalan perlahan di antara ratusan pedestrian yang turut menghabiskan sisa minggu dengan berjalan-jalan di sekitar taman kota. Lelaki itu berpenampilan selayaknya manusia lainnya, mengenakan topi rajut berwarna cokelat, masker dan mafela yang membelit lehernya. Trench coat tampak rapat menutupi tubuhnya yang kini tampak kurus, dilengkapi celana warna gelap yang membungkus kaki jenjangnya.

Sudah setengah jam ia menghabiskan waktu untuk berjalan dari ujung ke ujung jalan yang entah di mana sebenarnya tujuannya pergi. Setelah bermeditasi dan cukup kuat untuk terbangun, ia memutuskan untuk keluar dari persembunyian milik Crow di dunia manusia ini meski sekarang ia tak punya kekuatan apa-apa lagi yang pantas membawanya kembali ke dunia langit. Masih untung dirinya selamat dari serangan Reddish waktu itu, walau pada akhirnya ia tak bisa lagi menjadi makhluk penyemai warna seperti makhluk warna lainnya.

Tak ada yang tahu jika warna hitam khas yang menjadi identitasnya kini telah pudar. Seluruh permukaan tubuh Onyx kini berwarna pucat, rambutnya yang semula hitam kini hanya tinggal sisa-sisa bercak yang aneh jika dilihat, pupil matanya yang semula hitam legam kini berwarna abu-abu dengan bercak hitam pula yang tampak mengerikan. Semua itu tak bisa diubah. Onyx harus menerima keadaan tubuhnya yang kini cacat, bukan manusia, tapi juga bukan lagi makhluk langit dengan kekuaan hitamnya seperti sedia kala.

Lelaki itu menarik napas panjang. Langkahnya terhenti kemudian tanpa sengaja di depan sebuah toko pakaian yang terlihat ramai dipenuhi pengunjung. Onyx mengernyitkan dahi. Dia ingat betul tempat ini. Tempat di mana dahulu Azure bersembunyi dan mengubah dirinya menjadi seorang pramuniaga selama beberapa waktu sampai Reddish menemukan dan membawanya kembali ke negeri langit.

Perasaan melankolis membawa langkah lelaki itu masuk ke dalam toko. Dadanya berdesir seolah ia memasuki waktu yang sama seperti berbulan-bulan lalu saat Azure masih berdiri di dalam ruangan, tersenyum tipis pada setiap pelanggan, termasuk tanpa sadar menyambutnya yang tengah menyamar menjadi manusia. Bayangan penuh kenangan manis itu kini berbaur dengan rasa sakit di dadanya saat memikirkan jika pastilah saat ini hidup perempuan biru itu teramat sulit di tangan Reddish.

Mengapa takdirnya begitu sial. Harus sampai seperti inikah rasa patah hati itu menghancurkan dirinya? Jangankah memiliki harapan untuk merengkuh Azure ke dalam pelukannya, berharap kebaikan tentang dirinya sendiri saja ia tak mampu.

Onyx memejamkan mata dan menarik napas panjang kembali saat ledakan perasaan itu menguasai hati dan pikirannya.

“Selamat siang. Ada yang bisa saya bantu? Anda ingin membeli apa?” Suara lembut seorang perempuan memecah lamunan Onyx.

Lelaki itu menoleh dan melihat seorang perempuan berdiri di sampingnya. Kedua matanya melebar saat mengenali jika perempuan yang menyapanya itu adalah teman manusia Azure yang ia tahu bernama Flavia.

Onyx menelan ludah. Bayangan kenangan saat Azure tengah berjalan berdua dan bercengkerama dengan makhluk perempuan yang satu ini terngiang-ngiang dalam benaknya. Ingin rasanya ia menarik perempuan itu keluar dan bertanya banyak hal tentang Azure yang bisa untuk sekadar mengobati rindunya yang tak mungkin lagi bersambut. Keinginan itu begitu kuatnya ingin ia lakukan, tetapi dengan cepat Onyx segera membuang sikap kakunya dan menanggapi Flavia dengan tersenyum ramah seperti seharusnya.

“Aku mencari sweater. Adakah di sini?” Onyx menjawab seraya mengedarkan pandangan, berpura-pura mencari melalui kedua matanya untuk menemukan barang yang ia cari.

Flavia balas tersenyum. “Ada. Mari saya antar menuju rak sweater,” jawabnya sembari memimpin jalan, menuju tempat yang ia maksud.

Perempuan itu menjelaskan banyak hal dengan antusias, berbicara ramah mengenai kualitas bahan-bahan yang digunakan toko mereka, memperkenalkan berbagai merek yang pada akhirnya membuat Onyx mendengus tak sabar.

“Aku memilih yang ini,” putusnya cepat, mengambil satu sweater berwarna hitam dan menyerahkannya kepada Flavia.

Sembari mengangguk sopan dan menerima barang dari Onyx, Flavia mengeluarkan kertas kecil dan menuliskan catatan barang serta harga yang harus Onyx bayar, membiarkan lelaki itu berdiri menunggu. Tak lama kemudian, dengan ramah, Flavia menyerahkan kertas tersebut kepada Onyx yang langsung diterima oleh lelaki itu dengan dingin dan membawakan sweater tersebut ke arah kasir.

“Hei.” Onyx tanpa sadar memanggil, membuat Flavia yang tengah berjalan memunggunginya itu berhenti dan segera membalikkan badan.

“Ya? Ada lagi yang Anda butuhkan?” tanyanya dengan senyum tipis.

Terlihat Onyx menimbang-nimbang sejenak, lantas berucap dalam satu tarikan napas, “Bisakah aku bekerja di tempat ini?” tanyanya tanpa diduga, membuat Flavia melebarkan mata karena terkejut.

***

Suasana ceria memenuhi ruang pertemuan pemimpin klan warna di kastil merah. Reddish baru saja mengumumkan jika upacara penyemaian warna akan dilaksanakan sore nanti menjelang senja. Wajah-wajah para pemimpin klan tampak dipenuhi semangat setelah pada akhirnya pemimpin mereka diberikan kepastian tentang upacara penyemaian warna yang telah begitu lama mereka nantikan.

“Persiapkan diri dan anggota kalian dengan baik. Kita akan turun ke langit manusia sampai matahari tenggelam,” titah lelaki merah itu kemudian.

“Kami sudah sangat tidak sabar menanti penyemaian warna, Tuan. Selama beberapa minggu ini, kami telah mempersiapkan kekuatan kami dengan baik.” Shamrock menjawab dengan suara patuh.

“Ya. Kami juga.” Suara kompak dari pemimpin klan yang lainnya turut menyahut.

“Berarti … eh, keadaan Nona Azure sudah lebih baik?” tanya White dari sudut ruangan.

“Anda … akan mengajaknya serta?” Fuschia bertanya antusias.

“Ya. Istriku telah membaik. Penyemaian warna sore nanti adalah permintaannya dan tentu saja … ya. Dia akan ikut. Istriku adalah makhluk biru terbaik yang kita miliki saat ini. Dia akan memenuhi semua warna biru yang menjadi tugasnya dan dia akan kuat untuk itu.” Reddish tanpa sadar berkata dengan wajahnya yang ramah saat membicarakan tentang Azure yang dengan bangga ia sebut-sebut sebagai istrinya.

“Syukurlah ….” gumaman terdengar kemudian dari mulut-mulut petinggi klan di tempat tersebut.

“Kita berkumpul di aula besar. Pastikan anggota kalian berkumpul sebelum senja. Aku akan menyusul.” Reddish berdiri dari duduknya diikuti pemimpin-pemimpin yang lain.

“Aku ingin melihat sendiri bagaimana persiapan anggota klan. Dimulai dari klan oranye,” ucapnya lantas mendahului berjalan, memimpin langkah untuk melihat secara langsung persiapan anggota klan warna dalam meracik ramuan-ramuan mereka.

Suara entak sepatu menggema bersusul-susulan. Reddish berhenti sejenak dan membalikkan badan. “Ada berapa banyak anggota klan yang kalian persiapkan?”

Semua makhluk di lorong itu mengernyitkan dahi dan saling melempar pandang sebelum kompak memberi isyarat dengan mengangguk.

“Kurang lebih 500 makhluk di masing-masing klan, Tuan. Kami telah bersepakat sebelumnya jika kami akan serentak memberangkatkan jumlah anggota yang sama.” Sandstone memberi jawaban.

Reddish sepertinya cukup puas karena ia hanya mengerutkan bibir dan mengangguk tipis sebagai persetujuan. “Bagus,” komentarnya lalu kembali membalikkan badan, berjalan cepat untuk segera tiba di ujung lorong dan terbang bersama-sama menuju wilayah klan oranye di ujung negeri.

***

Sama seperti warnanya di dunia manusia yang berada di ufuk langit, wilayah klan oranye berada di lokasi ujung negeri langit. Reddish dan para pemimpin klan lainnya yang terbang bersama-sama itu menginjakkan kaki di tanah milik Sandstone.

Dua penjaga gerbang klan oranye yang selalu berdiri di sisi gerbang itu seketika menjura begitu melihat rombongan para pemimpin klan yang datang. Ini adalah kunjungan resmi, oleh karenanya, Reddish juga memenuhi peraturan kunjungan resmi dengan masuk area melalui gerbang depan.

Gerbang raksasa yang menjulang itu pun terbuka, para makhluk yang sedang sibuk berlatih dan mempersiapkan diri fokus seluruhnya ke arah gerbang yang, membuat aktivitas mereka berhenti sejenak. Setelah tahu jika ada warna merah menyala yang tampak dari kejauhan, mereka berbaris membentuk dua baris panjang berhadap-hadapan dan menjura serempak, menunjukkan penghormatan mereka.

Reddish membiarkan para makhluk itu memberi penghormatan tanpa membalas, pandangannya memindai aktivitas anggota klan oranye yang sepertinya sedang sibuk mempersiapkan kekuatan mereka untuk acara yang sangat mereka tunggu.

“Di mana yang lainnya?” Reddish menghentikan langkah ketika mereka tiba di depan gerbang area rumah warga klan. Rumah-rumah oranye yang tertata hingga setengah perbukitan yang ada di depan mereka itu tampak sepi.

“Ampun, Tuan. Warga klan sedang berada di gudang obat klan oranye untuk bersama-sama membuat ramuan penguat warna.” Sandstone menjawab pasti.

Reddish menengadah dan memindai lokasi perumahan itu dengan saksama. Rumah-rumah itu bersih, rapi, serta menunjukkan jika bentuk bangunannya masih kokoh untuk ditempati.

“Anda ingin melihat ke sana?” tawar Sandstone kemudian.

“Mocha.” Reddish memanggil tanpa menoleh. Pemimpin klan cokelat itu lantas melangkah maju mendekatinya.

“Saya, Tuan.” Mocha menjura begitu berdiri sejangkauan di sisi Reddish.

“Aku mengizinkanmu untuk memperlihatkan mereka kepadaku,” perintah lelaki klan merah itu. Kekuatan klan cokelat yang bisa menampilkan keadaan di tempat lain baik di waktu sekarang atau masa lalu itu tak diragukan lagi, terutama Mocha sebagai pemimpin klannya yang mashur disebut-sebut sebagai pengendali waktu terbaik di wilayahnya.

“Baik.” Mocha mengangguk sejenak kepada Sandstone sebagai tanda meminta izin lantas menjura di depan Reddish sebelum mengatraksikan kekuatannya, melemparkan aura warnanya ke udara dan memperlihatkan aktivitas para makhluk yang sedang sibuk menyiapkan ramuan, meminumkan ramuan kepada keluarganya dan saling mentransfer kekuatan aura untuk memenuhi batas maksimal kekuatan aura mereka.

Para pemimpin klan itu memandangi tampilan raksasa itu dengan cermat. Ada berbagai tingkatan usia yang diikutkan oleh Sandstone kali ini dalam upacara penyemaian warna.

“Ada anak usia belia yang kauikutkan, Sandstone. Mereka tak akan merepotkan?”

“Saya sudah memilih yang terbaik, Tuan. Mereka-mereka yang saya ikutkan sudah dipastikan akan bertahan selama proses penyemaian. Mereka juga adalah yang terlatih karena terbiasa mengikuti orangtua mereka dala menyemai warna klan,” jelasnya sembari menunduk.

“Cukup,” perintahnya kepada Mocha. “Selanjutnya ….” Reddish menoleh ke belakang, mencari-cari sosok kuning dalam rombongan itu. “Giliran klanmu, Ecru.”

***

Azure berdiri di belakang jendela ruang pribadi Reddish di pucuk kastil merah. Sudah berjam-jam lelaki itu pergi dan belum juga menunjukkan tanda-tanda akan kembali.

“Waktunya mandi dan bersiap, Nona.” Seorang pelayan melangkah perlahan dengan nada suaranya yang ragu menyapa Azure dari belakang.

Perempuan itu membalikkan badan. “Reddish belum kembali?”

“Belum, Nona. Rombongan pemimpin semua klan dikabarkan mendampingi Tuan Reddish dalam meninjau langsung persiapan upacara penyemaian.”

“Meninjau langsung?” Azure mengernyitkan dahi.

“Ya, Nona. Mendatangi wilayah demi wilayah klan warna,” jawab pelayan itu dengan menunduk.

Azure mengembuskan napas panjang. Senyum penuh ironi mewarnai wajahnya manakala ia teringat kastil biru miliknya yang terbengkalai dan kosong tanpa ada satu makhluk pun yang bersarang di sana.

Apakah Reddish mengunjungi kastil miliknya pula? Apakah dalam upacara nanti hanya akan ada dirinya seorang dari klan biru?

Sungguh ia berharap jika tiba-tiba saja ada kemunculan makhluk biru lainnya yang turut serta mengikuti upacara penyemaian kali ini. Bagaimanapun, upacara ini adalah kehidupan mereka sebagai makhluk langit, mereka akan merasa benar-benar hidup dan kekuatan aura mereka akan bertambah setelah melakukan penyemaian.

“Anda ingin mandi sekarang … atau menunggu Tuan Reddish?” pelayan itu melirik-lirik Azure yang justru terdiam dan melamun.

“Sekarang saja.” Azure memasang senyum kaku lantas menjangkahkan kaki menuju ruang mandi.

“Baik, Nona.” Pelayan tersebut bersegera mengambil baju ganti untuk tuannya, mempersiapkan kain tebal selayaknya handuk, menaruhnya di sisi dalam ruang mandi, lalu menunggu dengan setia di sisi dalam ambang pintu, berjaga di sana kalau-kalau ada makhluk tamu yang ingin bertemu, meskipun sikap berjaganya itu hanyalah formalitas semata sebab Reddish jelas-jelas tak mengizinkan sembarang makhluk untuk mengunjunginya hingga ke ruangan paling pribadi miliknya tersebut.

Azure melangkah ke dalam ruang mandi itu sembari melamun. Hari telah menjelang sore dan semakin dekat dengan waktu upacara penyemaian.

Tidakkah Reddish ingin menengoknya barang sejenak sebelum pergi memimpin upacara? Reddish dan rombongannya baik-baik saja, bukan?

Ketidaktahuan yang dibisiki oleh firasat buruk berkat kekhawatirannya itu membuat Azure berpikir berlebihan dan mulai cemas. Dengan cepat ia segera menyelesaikan ritual mandinya yang sungguh terasa malas ia lakukan itu.

Azure menenggelamkan dirinya dalam bak yang telah diisi air penuh busa mandi dan aroma wewangian itu secepat ia bisa. Meraih kain tebal untuk mengeringkan diri, mengambil gaun yang telah disiapkan untuknya lalu terburu-buru hendak keluar dari ruang mandi. Namun, betapa terkejutnya ia ketika tiba-tiba saja, ada secercah cahaya berwarna ungu seperti kilat dari langit yang menyambar pandangannya melalui celah-celah jendela. Seolah itu belum cukup memberi kejutan, suara petir yang menggelegar tiba-tiba saja terdengar berulang-ulang, membuat Azure tanpa sadar berteriak dan menutup kedua telinganya dengan kedua telapak tangan penuh gemetar ketakutan.

 

Bersambung ….

 

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

 

Selamat menyambut tahun baru, semoga 2023 lebih baik dalam segala hal, aamiin 

10 Komentar

  1. 🌻SeraFinaMoonLigt menulis:

    Amin… Semoga di tahun 2023 makin sukses dalam menulis kak Bintang.

  2. Jayaning Sila Astuti menulis:

    selamat tahun baru juga.. terima kasih menyambutnya dengan update..

  3. rhafatimatuzzahra menulis:

    :lovelove

  4. Bidadari Jelita menulis:

    Lanjuuutt pinisiriiiiinnnn :lovelove

  5. Dian Sarah Wati menulis:

    Selamat taun baru kak…
    Semangat nulisnya :lovelove :lovelove :lovelove :lovelove :lovelove

  6. Tks y kak udh update.

  7. Dona Nurhayati menulis:

    Lanjut.. :muach

  8. selinokt18 menulis:

    :lovelove :lovelove :lovelove

  9. Uhuuuyyy….