Red Prince

The Red Prince | Part 22 : Keinginan Reddish

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

red prince cover - CopyRed 3

10 votes, average: 1.00 out of 1 (10 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Mata Ecru menyipit saat berusaha mengenali penampakan bayangan itu. Lalu, saat pengetahuan tentang siapa makhluk tersebut masuk ke dalam benaknya, sontak Ecru ternganga dengan ekspresi terkejutnya.

“Vantablack!” Ecru berseru memanggil.

Candy yang saat itu masih bersimpuh dengan ekspresi terluka di wajahnya itu menengadah. Tak jauh dari tempatnya berada, Ecru tampak berdiri dengan tatapan lurus ke depan, berteriak memanggil ke arah para prajurit dan lelaki klan hitam serta klan biru yang masih dicekal lengannya.

Rombongan itu berhenti mendengar Ecru berseru. Kesemuanya menoleh. Dari bayangan hitam yang tampak samar itu, muncul sosok tak terduga yang berjalan mengekor di barisan paling belakang. Wujudnya tampak serupa titik kecil, sebelum memperlihatkan diri seutuhnya kepada si pemanggil. Dan sosok itu membalikkan badan, lantas tersenyum lebar kepada Ecru.

“Paman Ecru!” serunya.

Crow yang melihat anak lelaki yang tak disangka akan mengikutinya itu menampakkan ekspresi marah hingga aura hitam memendar dari tubuhnya. Namun tentu saja ia tak bisa apa-apa karena prajurit merah milik Reddish itu ternyata memiliki tubuh yang kuat bahkan ketika hanya mencekal lengannya.

“Bocah! Apa yang kaulakukan di sini?” Crow mendesis marah, menatap tajam pada Vantablack yang seketika menunduk.

“Aku memerintahmu untuk melakukan tugasmu dari markas. Kenapa kau ada di sini? Kau sedang cari mati? Pulanglah!” perintahnya diiringi sumpah serapah penuh kemarahan yang keluar dari mulutnya.

“Aku yang memintanya datang kemari.” Ecru melangkah mendekati anak lelaki itu dan merangkulnya sebagai bentuk perlindungan. “Prajurit, bawa mereka,” lanjutnya mengulang perintah dari Reddish tadi saat melihat jika para prajurit itu terlihat bergeming, menunggu hingga interaksi antara tawanan mereka dengan pemimpin klan kuning itu selesai.

Mereka menjura mengiyakan perintah Ecru dengan tangan masih memegang erat lengan Crow, Sky, serta Heather. Kemudian, tanpa menerima protes lagi dari keduanya, para prajurit itu mengentakkan aura merah di tubuhnya dan melayang, melesat cepat membawa dua orang itu ke kastil putih, di mana Jade dan yang lainnya telah menunggu di sana.

Ecru mengalihkan perhatiannya kepada Vantablack lagi. Lelaki klan kuning itu berlutut dengan menekuk salah satu kakinya hingga dapat berdiri sejajar dengan anak klan hitam itu dan menatap wajahnya. Sebelah tangan Ecru mengusap rambut hitam super kelam yang terasa tebal di telapak tangannya, wajahnya berubah cerah.

“Aku senang melihatmu lagi,” ucapnya dengan ekspresi hangat.

Ecru memandangi bocah lelaki itu dari ujung kepala hingga ujung kaki tanpa terlewat. Dia sungguh tak menyangka anak lelaki klan hitam ini memiliki kekuatan yang begitu besarnya hingga Reddish pun tak mampu menjangkaunya.

Vermilion berkata jika kekuatan hitam dari makhluk yang berhasil menutupi Azure dari penglihatan Reddish itu adalah kekuatan terlarang. Namun jika dipikir-pikir lagi, kekuatan terlarang yang dimaksud oleh Vermilion itu sepertinya adalah karena kekuatan itu dimiliki oleh anak berusia sepuluh tahun yang tak tahu menahu dengan kekuatan dirinya dan belum bisa mengontrol dengan baik, untuk apa sebenarnya kekuatan hitamnya itu harus digunakan.

Semula, saat menemukan pusat aura hitam itu di salah satu rumah penduduk yang sepertinya sengaja dipisah dan disembunyikan oleh Crow, Ecru benar-benar tak yakin jika ia akan menang melawan kekuatan hitam ajaib itu. Ia berpikir bahwa pemilik kekuatan hitam yang mampu menyembunyikan aura warna sekaligus makhluk warna dalam kubah hitamnya yang tak terlihat itu adalah makhluk klan warna dengan tubuhnya yang tinggi besar dengan aura hitam yang sangat kuat dan tak mampu tertembus oleh kekuatan kuningnya yang mewakili cahaya matahari.

Tapi siapa sangka jika ternyata pemilik aura hitam itu adalah seorang anak kecil yang masih berusia sepuluh tahun dan masih berada dalam perlindungan kedua orangtuanya yang juga makhluk klan hitam.

Ecru ingat bagaimana ekspresi ketiga makhluk hitam itu saat melihat dirinya. Tubuhnya yang mencolok cerah berwarna kuning di ruangan gelap penuh warna hitam itu terasa memberi firasat buruk bagi mereka yang telah lama tinggal bertiga saja tanpa makhluk lain selama sebelas tahun terakhir. Namun bukan Ecru namanya jika ia tak mampu mengambil hati keluarga kecil itu. Bersama Fuschia, ia bisa mencapai rencana mereka untuk mengalihpihakkan keluarga kecil itu atas nama perintah pemimpin mereka, Reddish sang lelaki klan merah.

Saat itu Vantablack dengan penampilannya yang membuat bulu kuduk berdiri, terlihat memandang Ecru sembari memeluk tubuh ibunya. Kedua pupil matanya yang hitam legam seperti lubang kecil yang sangat padat tak tertembus cahaya itu melihat Ecru dengan tatapan takut. Lalu, setelelah aura merah muda dari Fuschia memendar tipis di ruangan itu yang membuat ketiga makhluk hitam itu terkesiap, nuansa tegang yang semula canggung itu memudar. Sepasang suami istri itu terlihat berdiri menyambut dan menyapa dengan pengenalan saat menyebut nama Ecru ketika bersama-sama menjura di hadapan lelaki klan kuning tersebut.

Mereka pada akhirnya duduk di sebuah taman kecil di belakang rumah. Ada satu meja bundar dengan kemilau granit berwarna hitam, dikelilingi beberapa kursi yang memutari meja. Ecru mengambil tempat duduk sembarang di salah satu kursi, diikuti Fuschia yang duduk di sampingnya.

Istri dari pemilik rumah itu tampak melangkah menjauh dari tempat itu, pergi ke area dapur dan mempersiapkan minuman. Ecru tak sempat mengatakan jika dia tak sedang ingin minum kali ini karena hanya ingin berbincang sejenak dengan putra mereka, tetapi perhatian lelaki klan kuning dan perempuan klan merah muda itu tampak takjub dan tak bisa menoleh dari anak lelaki dengan rambut tebalnya yang berwarna hitam kelam, ujung-ujung jemarinya yang entah bagaimana terlihat memiliki begitu banyak urat hitam serta pakaiannya yang juga tampak membuat dada Ecru berdesir karena warna hitamnya yang seperti lubang dimensi ke tempat antah berantah yang membuat lelaki itu merasa merinding.

Astaga. Baru sekecil ini dan aura yang ditampakkan Vantablack telah menguar besar membuat makhluk-makhluk merasa terintimidasi. Pantas saja jika Crow menyembunyikannya dengan begitu lihai di tempat ini. Lelaki klan hitam itu memilih untuk tak membawa Vantablack ke markas dan memilih menyembunyikan makhluk hitam ini dengan membiarkannya membaur di rumah-rumah penduduk langit meski letaknya sedikit terpisah. Ecru memahami dan ia tahu jika alasannya hanya satu.

Agar keberadaan Vantablack tak dicurigai dan tak dijadikan mangsa bagi makhluk-makhluk lainnya terutama oleh Reddish. Tentu saja Crow tak menyadari jika Reddish telah curiga. Kekuatan aura hitam itu terlihat begitu jelas di matanya yang cacat, yang tak siapa pun bisa melihat seperti dirinya.

Vantablack tersenyum dan membalas ucapan Ecru. “Aku juga senang bisa kembali bertemu dengan Paman,” sahutnya.

“Kau kemari tanpa Crow dan Sky tahu? Bagaimana bisa mereka tak menyadarinya?” Ecru bertanya lembut kemudian.

“Aku bisa berbuat sesukaku, Paman. Aku akan membuat siapa yang tak kukehendaki untuk bisa melihatku tak akan bisa melihatku. Aku hanya mengikuti perintah Paman untuk datang ke pesta pernikahan ini, tetapi juga dengan tetap menjalankan apa perintah yang diberikan oleh Tuan Crow kepadaku,” tuturnya dengan nada pongah yang lucu.

Ecru terkekeh. “Anak pintar,” pujinya sembari mengusap kedua pundak anak itu. Kening Ecru mengernyit kemudian. “Memangnya, apa perintah Crow yang harus kaujalankan, Vantablack?”

Anak lelaki itu mendongak, memandangi pelangi semesta yang kini telah sempurna berwarna meski belum sepenuhnya cerah, lantas tatapannya tampak memicing ke arah kastil merah yang membentang gagah di depan mereka. “Aku diperintah untuk menghalangi siapa pun dari bisa melihat aura ungu yang keluar dari kastil itu, Paman.” Vantablack mengacungkan jemarinya ke arah kastil merah di mana di sana saat ini tampak aura ungu yang begitu kuat memendar dari arah puncak kastil, yang tentu saja hanya bisa dilihat dari kedua mata gelap Vantablack.

Ecru turut menatap ke arah yang ditunjuk oleh anak itu, lantas menghela napas panjang. “Apakah Crow memberitahumu mengapa kau harus melakukannya?” Lelaki klan kuning itu berdiri dan bersedekap, mencoba menggali informasi dari sudut pandang Vantablack yang masih anak-anak.

Anak klan hitam itu mendongak ke arah Ecru, lantas menunduk dengan wajah muram. “Aku tak boleh memberitahukan kepada siapa pun mengenai ini, Paman. Maafkan aku,” ucapnya lirih.

Ecru menunduk. Ada ekspresi gelap yang menghiasi wajahnya sebelum ia merangkul bocah itu lagi. Napasnya terdengar terembus panjang saat ia memikirkan hal itu. Dia tentu saja tahu alasannya. Dia hanya ingin tahu dari sudut pandang anak itu. Makhluk ungu itu adalah jawabannya. Para pembelot itu ingin menggagalkan pernikahan Reddish dan sengaja unjuk gigi untuk menyatakan jika mereka tak sudi mendukung kepemimpinan Reddish dalam pemerintahan negeri langit. Mereka ingin Reddish turun takhta dan entahlah apa lagi rencana busuk mereka.

“Kau tahu siapa yang ada di kastil merah itu, Vanta?” Ada ekspresi kecut sekaligus marah yang ditampakkan Ecru dalam ekspresinya.

Saat ini Reddish pasti sudah tak menahan-nahan diri lagi untuk menyentuh perempuan biru itu. Lelaki klan merah itu pastilah sedang dimabuk kepayang oleh aktivitas ranjang bersama istrinya dan Ecru memahami itu. Dia menyaksikan sendiri bagaimana Reddish yang selalu tampil kaku dan galak di segala situasi itu berakhir dengan wajahnya yang memerah saat membicarakan tentang maharaninya. Reddish barangkali akan menyangkal atas apa yang dirasakan hatinya, tetapi tingkah laku dan ekspresinya tak bisa mengelak.

Dari semua bayangan tentang Reddish yang sedang bersama istrinya, bayangan tentang bagaimana aura ungu yang pada akhirnya memendar ke angkasa dengan indahnya setelah lama tak terlihat, semua itu membuat Ecru mengetatkan gerahamnya kesal karena ia tak mampu menembus aura hitam Vantablack yang sedang melingkupi di sana. Ia tak mampu melihat aura ungu yang sangat ia nantikan itu.

Vantablack mendongak. “Aku tidak tahu. Memangnya, siapa, Paman?” tanyanya dengan nada polos, lantas memandangi lagi kastil merah yang saat ini ajaibnya menguarkan aura ungu alih-alih merah di matanya yang kecil.

Ecru tampak mendengus. “Reddish. Pemilik kastil ini adalah Reddish. Pemimpin kita. Pengantin yang tadi disucikan di panggung pernikahan itu,” jawabnya tegas, mengedikkan kepala ke arah samping, di mana panggung yang semula diisi banyak orang itu kini telah kosong.

Vantablack membelalak. “Ap-apa, Paman? Tuan Reddish?” tanyanya dengan bibir gemetar dan seketika tersungkur jatuh ke tanah dengan ekspresi ketakutan.

***

Napas Reddish memburu. Tubuhnya masih membungkuk di atas Azure setelah hasratnya meledak sekian kali di tubuh perempuan itu. Kedua matanya tampak melembut saat melihat bagaimana Azure juga merasakan hal yang sama dengannya. Perempuan itu memejamkan mata dengan mulutnya yang terbuka, tersengal-sengal setelah ciuman Reddish yang tiada henti pun setelah perempuan itu merasakan tubuhnya yang seolah melayang saat lelaki klan merah itu menuntaskan sesi bercinta mereka.

Azure merasakan seluruh tubuhnya seakan tak memiliki tulang. Ia tak mampu bergerak bahkan untuk sekadar menggeser tubuhnya dan menjauh dari Reddish atau untuk sekadar mengucapkan kata-kata agar Reddish pergi. Meski entah bagaimana, setelah mereka bercinta, rasa benci dan kecewa yang semula sangat erat menusuk hatinya itu sirna begitu saja.

Apa yang telah Reddish lakukan kepadanya?

Lelaki itu akhirnya mengangkat tubuhnya dan berbaring di sisi Azure. Merapat ke tubuh istrinya, memeluknya dari samping. Nuansa ruang peraduan itu masih pekat oleh pendar warna ungu yang indah, sebelum perlahan kemudian menghilang seiring tubuh keduanya yang mulai tenang.

“Terima kasih.” Reddish berbisik parau di sisi telinga Azure dan mengecup pelipis perempuan itu dengan sayang. Reddish membelai rambut biru Azure dengan gerakan ringan, menyingkirkan anak-anak rambutnya yang basah oleh keringat dan tampak berantakan, walau justru hal itu membuat Azure semakin terlihat menggoda dan manis di matanya.

Ingin sekali Azure mengumpat kesal lantas pergi dari ruangan, tetapi sepertinya, setelah proses penyucian itu, tubuh dan jiwanya mulai tak bisa diajak bekerjasama satu sama lain. Pikirannya selalu memiliki kehendak yang tak mau dituruti oleh tubuhnya. Seperti saat ini. Tubuhnya memilih pasrah dan kedua matanya tak mampu menahan godaan nikmatnya tertidur dalam perasaan puas setelah Reddish menyentuhnya.

Menanggapi ucapan Reddish itu, wajahnya malahan terasa memerah sebelum kemudian kedua matanya mengatup rapat, terbuai oleh rasa kantuk setelah kepalanya menyentuh lengan Reddish yang dengan sukarela membantali tubuhnya dan memeluknya seperti boneka.

Reddish tersenyum kecil. Azure sangat pas di pelukannya. Tubuh perempuan ini terasa memenuhi semua keinginan tubuhnya. Perempuan ini adalah pelengkap jiwanya.

Pandangan Reddish lalu tertambat pada permukaan perut Azure yang telanjang. Lelaki itu mengernyitkan kening dan perasaan waswas seketika menyergap dadanya. Azure harus segera mengandung. Mereka tak bisa hanya mengandalkan sesi kedekatan mereka untuk menyalakan warna ungu itu. Anak itu harus terwujud, dan Reddish sudah bertekad untuk mengakhiri kutukan buta warna itu dengan mengakhiri jabatannya sebagai pemimpin negeri langit.

Ia ingin anaknya hidup dalam ketenangan dan kedamaian tanpa harus menanggung kutukan sebagai pemimpin klan apalagi pemimpin negeri di kemudian hari. Ia ingin hidup bersama keluarga kecilnya tanpa ada banyak hal yang mengganggu. Ia ingin membesarkan anaknya sebagaimana anak-anak langit pada umumnya, tanpa ada tuntutan, tanpa ada keharusan menjadi yang terkuat seperti yang Reddish alami.

Lelaki itu menangkupkan selimut ke tubuh mereka, lantas mengeratkan pelukan serta mencium pipi Azure lama … dalam gerakannya yang penuh kasih dibalut keputusasaan atas harapan yang sepertinya akan sulit ia dapatkan.

Reddish memejamkan mata. Ia menyayangi perempuan ini. Ia menyayangi calon anaknya, bahkan sebelum anak itu terbentuk.

***

“Tinggalkan kami!” Jade berseru marah. Para prajurit merah yang mengantar Crow, Sky, dan Heather, si lelaki klan ungu itu tampak sedikit berjingkat karena terkejut. White terlihat memajukan langkah. Memegangi pundak Jade untuk menenangkan lelaki itu.

“Tenang, Jade. Kau tak bisa menghakimi saudaramu seorang diri meski kau adalah dewan warna.”

Jade yang masih dilingkupi amarah serta mengeluarkan aura hitam dari tangannya itu tampak tak terpengaruh oleh kalimat White.

“Aku menanggalkan jabatan dewan warnaku saat ini. Aku ingin menyelesaikan urusan ini atas nama keluarga koloni klan terlebih dahulu sebelum menyelesaikannya atas nama negeri.” Jade mengeyel. Lantas menatap tajam pada semua makhluk warna di ruangan itu, menegaskan keinginannya agar dirinya dibiarkan berdua saja bersama Crow.

White saling lempar pandang dengan dewan warna yang lain, lalu mengangkat bahu, mengembuskan napas panjang. “Baiklah. Kami akan pergi,” ucapnya. “Hanya jika kau bisa mengendalikan emosimu dan tak melukai saudaramu,” lanjutnya melepaskan usapan tangannya di bahu Jade.

Lelaki klan putih itu memimpin jalan, diikuti semua makhluk yang berjalan bederap mengekor di belakangnya. Dua prajurit di antaranya berjalan di barisan terakhir masih dengan mencekal lengan Sky dan Heather.

Melihat pintu tertutup, Jade tak membuang-buang waktu lagi dan langsung mencekal bagian depan jubah yang dikenakan Crow. Pemimpin klan hitam itu tak terkejut seolah serangan dari Jade adalah hal biasa.

“Kau mempermalukanku!” Jade menggeram. “Apa yang kaulakukan hingga kau bersikap bodoh di tengah-tengah upacara Reddish tadi? Kau sengaja ingin ditangkap, hah?” serunya tak menahan-nahan lagi.

Crow bergeming, meski tubuhnya diguncang-guncang oleh sebelah tangan Jade.

“Ya. Aku ingin bertemu denganmu. Hanya ini satu-satunya cara.” Crow menjawab tegas. Ekspresi wajahnya tak berubah.

“Kau gila!” geramnya sembari menyentakkan tangannya saat melepaskan jubah Crow. “Kau akan mendapat hukuman setelah ini. Hukuman yang berat. Karena kau telah ingkar pada kepemimpinan Reddish,” ancamnya dengan wajah merah menahan kesal.

“Kaupikir dirimu bagaimana, heh? Kau tak ingkar? Kau hormat pada anak ingusan itu? Aku yang paling tahu bagaimana dirimu.” Crow berucap tenang membuat Jade mengusap wajahnya dengan gerakan kasar.

Crow bersedekap, mengawasi bagaimana saudaranya itu terlihat gusar. “Namun sepertinya kau memang belum tahu banyak tentang Reddish? Tentang kedua matanya yang buta?” tanyanya dengan mengangkat bahu.

Jade menoleh. Menatap Crow dengan gerahamnya yang saling beradu. “Kau tak sedang membual hanya agar bisa ke ruangan ini, bukan?” tanyanya dengan nada curiga. “Aku tahu akal licikmu,” imbuhnya dengan nada memuji sekaligus merendahkan yang membuat Crow terkekeh.

“Tentu saja tidak. Kaupikir bagaimana Reddish bisa menemukan perempuan klan biru itu? Bagaimana dia bisa membunuh makhluk-makhluk pengubah warna yang menghampirinya? Tentu saja itu karena matanya yang buta.”

“Kau tahu semuanya.” Jade menukas cepat. “Aku jadi bertanya-tanya jangan-jangan semua ini ulahmu. Kau yang menyembunyikan perempuan biru itu hingga kami harus bersusah payah mencarinya tanpa harapan?” tanyanya penuh tuduhan.

“Kami?” Terdengar suara tawa Crow memenuhi ruangan. “Wah, kau ternyata sudah begitu akrab dengan kastil dewan warna ini sehingga menggabungkan dirimu dengan Reddish dengan sebutan kami? Bukan main ….” Crow mengusap jenggot panjangnya.

Napas Jade memburu.

Orang tua kolot di depannya ini benar-benar!

“Aku hanya ingin memintamu satu hal saja untuk rapat besar pemimpin klan esok hari.” Crow berucap serius kemudian.

Jade sungguh tak tahu lagi dengan pemikiran makhluk klan hitam di depannya ini. Ia lalu memejam sejenak mengusir amarah, lalu membuka mata seiring embusan napas yang berusaha keras ia netralkan. “Apa yang kauinginkan?”

***

Dunia manusia gempar! Kemunculan pelangi dengan bentuknya yang besar dan cerah setelah sekian lama tak memunculkan diri itu membuat semua orang terpana dan menyempatkan waktu untuk mengagumi keindahannya dengan mendongak serta tak henti-henti memuji. Sebagian dari mereka bahkan tak menyia-nyiakan kesempatan dengan mengangkat ponsel tinggi-tinggi lantas mengambil potret sebaik yang mereka bisa untuk mengambil panorama indah itu. meng-upload gambarnya ke berbagai sosial media hingga dalam waktu sepersekian detik, fenomena munculnya pelangi itu menjadi berita utama di banyak saluran di seluruh dunia.

Pelangi hanya soal hujan dan cahaya, kata sebagian orang. Namun, sebagian lagi percaya jika kemunculan pelangi itu ada hubungannya dengan makhluk-makhluk mitologi yang sedang berpesta di langit sana. Lagipula, beberapa bulan terakhir dunia dilanda musim kering, tak ada hujan, tak ada awan mendung dan tak memungkinkan pelangi untuk muncul. Namun kal ini keadaannya sungguh ajaib.

Orang-orang bersama-sama mengatupkan tangan dan berdoa, semoga munculnya pelangi di tengah-tengah musim panas ini menjadi pertanda baik jika sebentar lagi akan turun hujan. Hujan dengan begitu banyak air dan pelangi yang mengangkasa di banyak langit belahan dunia.

Flavia ada di salah satunya. Perempuan itu berdiri di belakang dinding kaca. Memegangi permukaan kacanya dengan tatapan tak menentu. Ia hanya terdiam dengan benaknya yang masih saja mengingat Carissa. Keanehan demi keanehan ini entah bagaimana terasa begitu melekat dengan kepergian teman kerjanya itu. Baginya. Entah dengan orang lain yang sama sekali tak mengenal Carissa.

Flavia mengembuskan napas panjang. Di saat ia membalikkan badan, kedua matanya membelalak dengan sebelah alis terangkat saat melihat para pegawai yang berlarian berkerumun menuju ruang staf. Penasaran dengan apa yang terjadi, Flavia pun melangkah mendekat untuk mengetahui apa yang terjadi.

Di ruangan kecil itu, televisi layar datar yang berukuran cukup besar dan dipasang di dinding ruangan sedang menyala. Menayangkan sebuah saluran berita yang membuat semua pegawai di tempat itu hening dan khidmat mendengarkan.

Tampil di acara televisi  itu sebuah taman di sudut kota dengan warnanya yang abu-abu.

Sepertinya sebuah tampilan cctv.

Ada seorang perempuan yang terduduk di sana. Diperlihatkan jika si perempuan setiap malam menghabiskn waktu di sana, hanya terdiam di kursi taman, dan kadangkala berjongkok di sisi sebuah rumpun bunga yang tumbuh subur dalam sepetak tanah yang ada di taman itu. Semuanya tampak biasa saja hingga pemandangan itu terjadi. Si perempuan itu mengusap-usapkan tangannya dengan penuh kasih ke kelopak-kelopak bunga seperti sedang membelai binatang peliharaan yang begitu ia sayangi.

Yang tampil selanjutnya di acara berita itu adalah perbandingan taman kota sebelumnya yang tampak indah dengan penampakan taman kota dalam potret nyata akhir-akhir ini di mana taman tersebut tak lagi memiliki keindahan seperti sebelumnya yang begitu menakjubkan, dilanjutkan dengan tampilan cctv yang memperlihatkan jika si perempuan yang telah beberapa lama tak mengunjungi taman itu seiring taman yang tak terawat. Tayangan berpindah lagi ke cctv yang menampilkan sosok perempuan dalam jarak dekat yang diperbesar. Sosok itu tak begitu jelas dan buram, meski begitu, saat pembawa berita berkata jika sosok perempuan itu diduga adalah salah seorang pegawai pramuniaga di salah satu toko di kota ini, semua pegawai yang menyaksikan acara berita itu seketika menoleh ke arah diri mereka sendiri saat menemukan jika seragam pakaian yang dikenakan oleh perempuan misterius itu ternyata sama dengan yang mereka kenakan. Terdengar riuh sejenak saat masing-masing dari mereka saling menduga siapa pelakunya.

Flavia terpaku dengan wajah pucat. Seolah ia sedang dihadapkan pada jawaban dari pertanyaan yang tak ditemukannya selama ini yang begitu mengejutkannya.

Semua pegawai di sana memandangi Flavia kemudian, dengan tatapan penuh tanya saat mungkin saja isi pikiran mereka sama dengan pemikiran Flavia saat ini.

Pegawai yang menghilang itu. Perempuan misterius itu adalah ….

“Apa yang kalian lakukan di tempat ini? Toserba hampir waktunya buka dan kalian harus bersiap-siap.” Sang bos berkata ketus sambil menampakkan wajah dingin saat memerintah.

Perhatian semua pegawai lantas tertuju kepada lelaki itu. Mereka mengangguk hormat dan masing-masing mengucapkan permintaan maaf sebelum membubarkan diri dari kerumunan itu, melupakan sejenak urusan perempuan misterius yang sempat membuat jantung mereka berdegup cepat oleh rasa penasaran yang tak terkendali.

Flavia turut melangkah keluar ruangan, sesekali kepalanya tampak menoleh ke arah dinding kaca yang saat itu masih membentangkan pemandangan langit biru cerah dengan pelangi berukuran besar yang membentang di cakrawala.

***

Ecru berlutut, dengan sebelah kakinya yang menekuk. Kedua tangannya memegangi punggung Vantablack yang saat itu masih tersungkur di tanah.

“Apa … apa yang telah kulakukan kepada tuan Reddish, Paman? Apakah aku berbuat kesalahan besar? Orangtuaku berkata jika tuan Reddish tak pernah tanggung-tanggung dalam memberikan hukumannya kepada makhluk warna yang mencoba melawannya. Tapi … tapi aku juga tak bisa melawan tuan Crow. Sebab … sebab di depan tuan Crow, tidak hanya aku yang akan mendapatkan hukuman. Tapi … tapi juga kedua orangtuaku,” ucap Vantablack dalam suaranya yang lirih dengan pandangannya yang lurus menatap ke tanah. Kedua matanya membelalak penuh teror yang membuat wajah mungilnya menjadi pias.

Ecru menunduk, menatap warna hitam nan sangat gelap yang tampak meringkuk kecil itu. sebelah tangan Ecru mengusap punggung anak itu dan membimbingnya agar terduduk.

“Ini bukan salahmu, kau tak perlu takut,” ucap Ecru kemudian. Vantablack masih menunduk. Tak berani menatap lelaki klan kuning yang ia sebut ‘paman’ itu.

“Kau aman saat ini karena telah bersamaku.” Ecru menepuk-nepuk lembut pundak anak itu untuk menenangkan. “Dan sepertinya, Reddish tak akan memarahimu kali ini … jika kau mau menuruti perintahnya,” tambahnya dengan nada membujuk disertai ancaman lembut yang seketika membuat Vantablack mendongak.

“Benarkah, Paman?” tanyanya dengan wajah cerah saat melihat Ecru tersenyum ke arahnya dengan tatapan misterius yang tak bisa dimengerti oleh mata polos anak itu.

 

Bersambung ….

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

5 Komentar

  1. Jayaning Sila Astuti menulis:

    pinter banget ecru, membujuk vantablack..

  2. Tks ya kak udh update.

  3. Smart :lovelove :lovelove

  4. Keluarkan semua keinginanmu