Red Prince

The Red Prince | Part 11 : Murka

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

red prince cover - CopyRed 3

14 votes, average: 1.00 out of 1 (14 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

“Kau terlalu kuat menguarkan aura birumu itu, sehingga warnanya terlalu mencolok.” Suara teguran di belakang tubuhnya itu tak membuat Azure terkejut.

Perempuan itu justru memandangi telapak tangannya dan mengernyitkan dahi.

“Oh, ya? Aku terlalu kuat.” Azure mengulang kata-kata itu seperti sedang mengingatkan dirinya sendiri. Namun, saat ia mulai menyentuh sebuah kelopak bunga dengan warna biru yang mengalir dari tangannya, saat itulah dirinya terkesiap.

Azure menoleh dan tertegun melihat sosok tinggi yang menjulang di belakangnya. Lelaki … lelaki dengan keseluruhan penampilannya yang berwarna merah!

Azure berdiri cepat, menghadap lelaki yang saat ini sedang menatapnya penuh tanpa berkedip, dihias senyum manis yang terkembang di bibirnya.

Brick.

Perempuan itu menelan ludah. Menatap tak percaya pada lelaki di depannya. Jantung Azure berdebar cepat tak terkendali, dikuasai debaran aneh yang seolah begitu kuatnya menekan rongga dada. Sejenak, nuansa malam yang ada di tempat itu berubah menjadi dingin dan sepi. Dikuasai oleh aura hitam nan kelam yang saat itu menguar begitu kuatnya dari tubuh Onyx meskipun ia saat ini tengah menyamar menjadi lelaki klan merah. Aura hitam yang tak bisa dilihat oleh Azure.

Lelaki itu melangkah satu jangkahan ke depan, hingga hanya menyisakan sedikit jarak yang begitu dekat dengan Azure. Onyx lantas mengangkat tangannya dan dengan pelan menyentuh kepala perempuan itu, mengusap rambutnya yang terasa begitu lembut di telapak tangannya.

Azure sendiri masih bergeming. Dia memandangi Onyx dengan tatapannya yang seakan sedang meyakinkan dirinya sendiri.

Lelaki klan merah inilah yang datang pertama kali menemuinya. Lelaki inilah yang pada akhirnya harus dipililhnya. Jadi, mau tak mau, ingin tak ingin, Azure harus memutuskan. Dirinya harus siap atas keputusannya ini. Dia akan memilih Brick dan kembali ke negeri langit. Menikahi lelaki klan merah ini dan melanjutkan kehidupannya menjadi makhluk langit lagi seutuhnya, meninggalkan kehidupannya sebagai manusia yang selama ini menjadi naungan kehidupannya saat bersembunyi.

“Kenapa kau menatapku seperti itu?” Onyx bertanya dengan gerahamnya yang berkedut, masih dengan senyum yang menghiasi bibir.

Lelaki itu melirik sekilas pada penampilannya dan berpura-pura bertanya lagi, “Ada yang salah dengan penampilanku saat ini?”

Azure mengangkat alisnya dan baru tersadar jika dirinya menatap hingga terpaku pada lelaki yang saat ini begitu dekat dengannya itu.

“Tidak apa-apa,” ucap Azure kemudian berdeham dan memalingkan wajah dengan senyum kaku yang membuat bibirnya tampak menipis dengan ekspresi pahit. Namun, belum sempurna wajahnya tertoleh, Onyx telah terlebih dahulu menggunakan jari-jemarinya untuk memegangi dagu Azure dan menghadapkan wajah perempuan itu padanya.

Seperti pada semalam lalu di mana Azure tak menolak sentuhannya, kini Onyx menjadi semakin percaya diri dan menganggap sikap perempuan itu sebagai penerimaan atas dirinya.

“Apakah kau sudah membuat keputusan? Apakah pada akhirnya kau menerimaku, Azure?” tanyanya dengan kening mengernyit, mempelajari ekspresi wajah perempuan itu yang sepertinya tak menolak untuk dibaca, membiarkan lelaki yang ia anggap bernama Brick itu untuk menelaah di kedalaman matanya hingga membuat Onyx kian mengetatkan gerahamnya dan menatap Azure dengan pandangan yang begitu ingin.

Tidak tahukah perempuan ini jika ekspresinya yang demikian itu membuatnya begitu ingin merasai kelembutan kulit wajahnya dengan bibirnya?

Dari kedua mata Azure yang kini berwarna cokelat muda, tatapan Onyx menjelajah makin ke bawah hingga tiba di bibir Azure yang mungil.

“Apakah begitu berat membuka mulutmu untuk menjawab pertanyaanku? Ataukah … harus aku yang membukanya?” Lelaki itu bertanya dengan nada menggoda yang disengaja yang membuat wajah Azure merah padam. Perempuan itu dengan cepat menggunakan sebelah tangannya untuk melepaskan tangan Onyx dari dagunya. Wajahnya yang terbebas kini menatap datar pada dada lelaki itu yang kembang kempis seolah tak sabar menanti kata-kata apa yang akan keluar dari mulut perempuan itu.

“Ya. Aku sudah memutuskan.” Azure menjawab kemudian. Memberanikan dirinya menantang tatapan Onyx yang tentu saja tak lepas darinya sedari tadi.

“Dan apa keputusanmu itu?” Onyx bertanya tak sabar.

Terdengar Azure menghela napas panjang.

“Aku akan ikut denganmu. Aku akan menikahimu demi pelangi semesta. Aku akan bersamamu demi kebangkitan kembali klan ungu yang telah punah. Aku-“ Ucapan Azure terhenti ketika tanpa aba-aba, Onyx memeluk tubuhnya rapat.

Menciptakan hening yang berdenging di tempat itu.

Azure berkali-kali menarik dan mengembuskan napas panjang, menetralkan perasaan yang entah bagaimana tak bisa terdefinisikan. Lelaki itu sedikit membungkuk, memeluk Azure seolah takut jika Azure akan berubah pikiran lantas pergi meninggalkannya.

Tidak. Azure tak boleh pergi. Azure adalah miliknya seorang. Hanya boleh menjadi miliknya seorang.

Onyx mengusap punggung Azure pelan. Mengkhayati kedekatan mereka yang seperti mimpi. Sungguh demi apa pun, Onyx bahagia saat ini. Begitu bahagia saat akhirnya bisa menaklukkan perempuan yang ia cintai. Perempuan yang begitu ingin ia nikahi. Perempuan yang sangat-sangat ia inginkan.

Azure berdiri kaku, membiarkan Onyx meluapkan perasaannya. Perempuan itu hanya bergeming, tak menyambut pelukan lelaki yang saat ini begitu bergetar dengan rasa cinta yang meluap-luap kepadanya.

Dirinya mungkin saat ini masih setengah hati menerima lelaki klan merah ini. Namun Azure berjanji pada dirinya sendiri. Dia telah teguh mengatasnamakan segalanya demi negeri langit. Dia memang telah terbuang dan hidup terpencil dari koloninya di dunia manusia ini, tetapi sedendam-dendam dirinya dengan segala masa lalu, ia masih memiliki pikiran logis dan hati nurani yang hidup. Dia tak boleh mementingkan egonya di saat seluruh negeri sedang terancam. Dan di atas itu semua, dia akan belajar untuk hidup bersama dengan lelaki ini. Lelaki klan merah yang telah ditakdirkan untuk menjadi pasangannya ini.

Onyx mengendurkan pelukannya. Lelaki itu melepaskan lengannya dari tubuh Azure dan berakhir memegangi kedua pundak Azure dan mengusapnya lembut.

“Terima kasih, Azure. Terima kasih telah mau menerimaku.” Onyx berucap dengan hati bahagia penuh kepuasan pada nada suaranya. Hampir-hampir lupa menyembunyikan ekspresi licik di matanya saking bahagianya.

Dirinya telah berhasil mengelabui perempuan klan biru ini dengan sempurna. Entah karena berada di dunia manusia dan tak mampu menggunakan kekuatannya dengan maksimal, ataukah memang karena penyamarannya yang betul-betul sempurna, Azure benar-benar tak tahu dan tak menyadari jika hingga detik ini, dirinya telah masuk ke perangkap klan hitam.

Azure hanya tersenyum tipis dan mengangguk. “Aku hanya melakukan hal kecil,” ujarnya masih dengan ekspresi terpaksa.

“Tidak, Azure. Bagimu, mungkin yang kaulakukan itu hanya hal sepele dan tak berguna, tetapi bagiku ….” Tangan Onyx bergerak menyentuh pipi Azure dengan gerakan ringan diiringi pandangan matanya yang terlihat sendu. Sentuhan itu lama-kelamaan turun ke bawah, mengusap dagu, hingga godaan itu pun tak terhindarkan lagi, tangan Onyx mengusap perlahan sisi bibir Azure dengan gerakan perlahan yang begitu memuja, seakan takut jika gerakannya itu bisa membekaskan luka di kulit Azure yang lembut.

Kedua mata lelaki itu terpaku di sana, pada bibir Azure yang berulang kali membuka dan menutup seperti sedang berusaha menenangkan dirinya dengan gerakan tersebut. Onyx menahan diri sekuat tenaga, bercampur dengan ketidakpercayaan jika ia akan mampu menyentuh Azure dengan sedekat itu.

“Bagiku … semuanya sangat berarti.” Onyx akhirnya menyelesaikan kalimatnya setelah sekian menit dirinya hanya diam dan membiarkan kedua tangannya menikmati kedekatan kulit mereka.

Lelaki itu mendekatkan wajahnya dengan kepala yang sedikit menunduk, mendekat ke arah Azure, mencurahkan segala perasaan yang saat ini begitu kuat menyelubungi dirinya.

***

Ecru mengembuskan napas panjang. Lelaki itu keluar dari ruang tahanan perempuan klan biru itu dengan wajah yang kian tampak lelah. Acara interogasi singkat yang seharusnya bisa berlangsung cepat itu entah bagaimana berubah menjadi semacam acara mengobrol yang membuat Ecru justru tergelitik untuk beramah-tamah seiring perempuan itu yang bersikap begitu kooperatif di tengah ketidaktahuannya yang aneh.

Ecru lalu menutup pintu sekadarnya, memasrahkan sepenuhnya ruang tahanan itu kepada kepala penjaga yang sedari tadi berdiri di sisi kiri pintu ruang tahanan, menunggunya hingga selesai.

Candy yang berdiri di sisi berlawanan dari pintu itu dan menyadari jika Ecru telah keluar dari sana, sontak memanggil Ecru yang sepertinya tak engah jika ada Candy yang menunggu di luar ruang tahanan itu.

“Tuan Ecru.” Candy menyapa dengan membungkukkan badannya, menunggu Ecru memberi tanggapan.

Ecru yang mendengar sapaan dari arah belakangnya seketika menoleh. Kedua alisnya terangkat saat melihat jika Candy, perempuan klan merahlah yang ada di sana. Lelaki itu kemudian membalikkan badan dan membalas sapaan formal tersebut.

“Ah, Nona Candy.” Ecru mengangguk. “Apa yang Anda lakukan di tempat ini?” tanyanya sembari menoleh ke arah kepala penjaga yang tetap berdiri tegap dan menatap lurus ke depan seolah tak ada apa pun di sekelilingnya.

Candy kembali berdiri. Kedua jemari lentiknya yang memegangi gaunnya itu kemudian menyatu di depan tubuh ketika berucap.

“Saya mendapat izin dari Reddish untuk mengunjungi perempuan klan biru di sini, Tuan Ecru,” jawabnya sambil diam-diam memandangi Ecru yang terlihat berantakan.

“Apakah Anda baik-baik saja? Apakah perempuan itu bermasalah?” Candy bertanya ketika menemukan kesimpulannya sendiri jika lelaki itu mungkin saja kesulitan menghadapi perempuan klan biru itu.

Ecru tersenyum. “Saya hanya lelah dan kurang mengambil waktu istirahat. Tidak ada masalah apa-apa dengan perempuan itu. Dia aman untuk Anda kunjungi,” ucapnya kemudian.

Ada senyum tipis yang memperlihatkan kelegaan di mata Candy.

“Apakah Anda hendak melakukan pemeriksaan kepadanya?” Ecru mengernyitkan dahi. Dia tahu betul jika perempuan klan merah ini adalah seorang peneliti andal yang telah melakukan banyak penelitian serta menciptakan banyak ramuan yang telah tersebar di seluruh penjuru negeri. Terlebih, kemungkinan besar Reddish pastilah telah bercerita tentang keadaan yang lelaki itu lihat mengenai perempuan itu yang entah bagaimana tidak menampakkan aura biru di mata Reddish yang ajaib.

Candy mengangguk dan langsung mengambil kesimpulan yang sama jika mungkin saja Reddish juga bercerita tentang perempuan itu kepada Ecru.

“Ya, Tuan Klan Kuning. Saya akan memeriksanya, barangkali ada sesuatu yang bisa saya temukan,” jawabnya.

Perempuan itu kemudian mengangguk hormat, meminta izin untuk masuk ke ruang tahanan. Tak enak hati menahan Ecru lebih lama lagi sementara ia tahu jika keadaan lelaki klan kuning itu ternyata sedang kelelahan dan ingin segera beristirahat.

“Maaf telah menghambat perjalanan pulang Anda dengan banyak bertanya, izinkan saya masuk ke ruang tahanan,” ujarnya dengan senyum di bibir yang terlihat manis.

“Tak mengapa, Nona. Semoga pemeriksaan Anda membuahkan hasil.” Ecru membalas anggukan kepala Candy lalu membalikkan badan dan berlalu dari tempat itu tanpa mau repot-repot menunggu Candy memberi tanggapan atas ucapannya.

Candy menatap kepergian lelaki dengan penampilan serba kuning itu hingga pintu utama ruang tahanan tertutup. Perempuan itu lantas menghela napas panjang dan mulai melangkahkan kakinya memasuki ruang tahanan tersebut.

“Saya berjaga di sini, Nona. Tuan Crimson saya minta berada di depan menunggu Anda.” Kepala penjaga berseragam hitam itu berucap tegas dengan suaranya yang khas.

“Ya. Aku tidak akan lama.” Candy memegang gagang pintu dan siap memulai langkahnya ke dalam ruangan itu. Namun, sang penjaga berucap lagi, kali ini dengan nada cemas.

“Panggil saya jika terjadi sesuatu, Nona. Saya selalu bersiap di depan pintu.” Penjaga itu mengangguk hormat.

“Terima kasih.” Candy membalas ucapan itu dengan senyum terbaiknya.

Perempuan itu lalu menoleh dan mengamati seisi ruang tahanan elite tersebut sebelum kemudian benar-benar menjangkahkan kakinya ke dalam ruangan. Tampak di depannya ruangan berwarna putih dengan segala aksesorinya yang berwarna senada.

Ada sebuah tempat tidur besar di ujung ruangan, satu lemari di sisi kiri dan satu set meja dan kursi di sebelah kanannya.

Dari semua hal yang saat ini sedang ditatapnya, sebuah pergerakan di sisi ranjang dengan warnanya yang berbeda langsung mencuri perhatian Candy. Kedua mata merahnya lantas bertemu tatap dengan seorang perempuan yang terkesiap dan sedang berusaha untuk semakin menggeser duduknya hingga ujung ranjang.

Candy tersenyum dan berusaha menampakkan wajah seramah mungkin agar perempuan tawanan itu tak merasa terpojok.

Di sisi lain, perempuan itu merasakan dadanya kembali berdebar. Sosok lelaki klan kuning yang menguarkan aura ceria itu saja tetap membuatnya merinding karena terus saja mencecarnya dengan pertanyaan yang meskipun diucapkan dengan ramah, tetap saja tak menutup-nutupi aura kekuatannya yang membuatnya begitu tak siap karena tak bisa melakukan apa-apa apalagi melawan selain memberi keterangan yang tak ia ketahui.

Lalu ini … perempuan klan merah. Perempuan ini menguarkan aura yang lebih kuat dari lelaki tadi.

Candy makin mendekat. Tanpa memedulikan tatapan ngeri si perempuan, Candy justru duduk di ujung ranjang. Memiringkan tubuhnya, menghadap perempuan itu.

“Hai.” Candy membuka suara. Auranya yang kuat itu tampak kontras dengan wajahnya yang penuh senyuman.

Perempuan itu tak henti-hentinya menatap Candy dengan tatapan menilai.

“Siapa namamu? Aku Candy.” Candy betul-betul mengabaikan segala ekspresi berlawanan yang ditunjukkan perempuan biru itu dan malahan mengulurkan tangan mengajak bersalaman.

Sapphire memandangi tangan Candy yang terulur. “Ak-aku Sap-Sapphire,” jawabnya terbata dengan takut-takut menjulurkan sebelah tangannya.

“Ah, Sapphire. Namamu indah seperti warna rambutmu,” puji Candi dengan sengaja. Perempuan itu kemudian menoleh ke arah meja dan menemukan sebuah gelas berisi minuman yang tinggal seperempatnya.

“Kau sudah mendapat jatah minummu, ya? Berarti aku tak menguras energimu karena kau sudah minum,” simpulnya dengan percaya diri.

“Kau … perempuan klan merah.” Sapphire memberanikan diri berkata, mengabaikan perhatian Candy yang sepertinya hanya basa-basi. “Apa yang kauinginkan dariku?”

Candy tersenyum. “Tadi mungkin kau sudah berbicara banyak dengan pemimpin klan kuning. Jadi sekarang … sepertinya aku tidak akan banyak berbicara lagi.” Candy menatap perempuan klan biru itu dengan ekspresinya yang mulai mengeras.

“Aku adalah seorang peneliti. Jadi aku kemari untuk menelitimu. Meneliti tubuhmu.” Candy memandangi dengan saksama penampilan perempuan di depannya.

Sapphire memalingkan wajah. Entah bagaimana di mata Candy saat ini, Sapphire yang pada mulanya begitu takut, setelah melihat sekilas penampilannya yang ramah, dia menjadi begitu berani dan seakan terang-terangan menunjukkan sikap bermusuhan.

Apakah karena mereka sama-sama perempuan?

Candy mengerutkan kening. “Aku membutuhkan darahmu. Dan aku membutuhkan tanganmu untuk mengambilnya. Kemarikan tanganmu.” Perempuan klan merah itu mulai terpancing dengan amarah saat melihat bagaimana Sapphire tak mau memperhatikannya lagi.

Sementara itu tanpa diduga, entah dari mana datangnya, Sapphire tiba-tiba merasakan ada dorongan kekuatan yang begitu besar melesat masuk ke dalam tubuhnya dari arah yang tidak ia tahu. Kekuatan itu merasuk cepat dan tanpa aba-aba menguasai seluruh indra dan pikirannya yang semula tumpul seolah tak bisa diajak berpikir.

Sejenak ia terkesiap hingga membuatnya terkejut dan menahan napas. Sapphire yang semula menunduk itu mengerjap, seperti baru saja tersadar dari keadaan yang tak seharusnya. Perempuan itu lalu menatap pada kedua tangannya yang terpangku di atas paha. Aura biru mulai menguar dari sana, perlahan, dan semakin kuat.

“Tidakkah kalian berbelas kasihan padaku sedikit saja? Aku baru saja dicecar oleh pertanyaan-pertanyaan melelahkan yang aku sendiri tak tahu jawabannya. Sekarang kaubilang akan mengambil darahku-“

Suara tamparan terdengar memenuhi ruangan. Candy melayangkan tangannya dengan kuat ke pipi Sapphire hingga memerah.

“Aku tidak membutuhkan mulutmu, duhai perempuan biru. Apakah kau tak dengar aku berkata tadi jika aku membutuhkan tanganmu untuk kuambil darahnya?” Candy menggeram, melepas aktingnya sebagai perempuan baik hati nan ramah yang telah sia-sia ia tampilkan saat memasuki ruangan ini tadi.

“Aku tidak mau. Aku lelah dan ingin beristirahat.” Sapphire menolak santai.

Candy yang telah mempersiapkan aura merahnya itu lantas menatap tajam dengan dadanya yang kembang kempis menahan amarah. Seketika itu juga, ia melemparkan kekuatannya kepada Sapphire dengan niat untuk melumpuhkan. Namun tanpa disangka, perempuan klan biru itu mampu menangkis dan balik melemparkan kekuatan birunya kepada Candy, mengayunkan tangannya yang telah terisi kekuatan biru dan membuat Candy yang sedang dikuasai kemarahan itu lengah dan tak siap menerima serangan, membuat perempuan klan merah itu terdorong mundur dan hampir-hampir menabrak pintu di belakangnya.

Belum sempat menguasai diri lagi, Candy melihat jika perempuan klan biru itu berdiri dan menghadapkan tubuh padanya, melemparkan sekali lagi kekuatan biru yang sedari tadi menguar dari tangannya, tepat mengenai bagian depan tubuh Candy, kali ini sukses membuat tubuh Candy menghantam pintu dengan suara berdebum yang mengerikan.

Kepala penjaga yang kaget bukan main saat mendengar sekaligus melihat jika pintu ruang tahanan itu bergerak dengan keras, sontak membuka pintu itu dan terkesiap saat tubuh Candy terhuyung dan hendak jatuh.

“Nona Candy!”

***

Reddish tengah bercermin, menyempurnakan pemasangan lensa mata kirinya yang saat ini tengah dikenakannya lagi. Tak ada yang berbeda jika dilihat sekilas pandang, tetapi bagi Reddish, kedua matanya itu kini menjadi dua mata sempurna yang bisa ia gunakan untuk melihat dengan dua pandangan berbeda sekaligus.

Mata kanannya yang kini tetap memperlihatkan nuansa putih, hitam, dan abu-abu, lalu mata kirinya yang saat ini bisa melihat dengan sempurna, sempurna yang sejujurnya sama-sama cacatnya dengan mata aslinya, karena seolah mata lensa itu tak bisa membedakan, mana yang benar dan salah saat melihat aura makhluk langit yang dilihatnya.

Reddish menarik napas panjang dan melihat secara utuh penampilannya sekali lagi yang masih dalam wujud makhluk langit berwarna merah.

Ia siap menjemput Azure, ia siap membuka segala kenyataan pada perempuan itu lantas membawanya ke kastil ini untuk persiapan pernikahan mereka.

“Tuan Reddish, apakah Anda akan pergi lagi seorang diri?” Salah seorang pelayan yang saat itu berdiri di sisi pintu itu akhirnya memberanikan diri untuk bersuara.

Reddish mengalihkan pandangannya kepada pelayan itu dari arah cermin. “Di mana Candy? Apakah dia masih berada di ruang tahanan?” tanyanya kemudian.

“Masih, Tuan. Tuan Crimson pun belum kembali, masih mendampingi Nona Candy di sana.” Pelayan itu menjawab sembari menunduk.

Reddish mengangguk tipis. “Kalau begitu, aku akan pergi sendiri,” komentarnya sembari membalikkan badan, bersiap pergi.

“Mak-maksud saya, Anda hendak pergi seorang diri lagi tanpa pengawalan?” Pelayan itu kian menunduk, takut jika ia salah kata dan membuat tuannya itu murka.

“Tentu saja. Aku bisa mengatasi urusanku sendiri. Kalian para penjaga tetaplah di sini mengamankan situasi, sebab kita tak tahu apa rencana musuh ke depannya sehingga kita harus tetap waspada dan mengamankan lokasi ini dan juga kastil putih.” Reddish memberi perintah dalam ucapannya.

“Baik, Tuan. Saya akan menyampaikannya kepada kepala pengawal,” ucap pelayan itu dengan takzim.

Reddish hanya mengangguk, tak menanggapi kalimat pelayan itu dan seketika berlalu dari ruang pribadinya yang luas tersebut. Ia membiarkan pelayan pribadinya itu berada di sana sebab tak seperti pemasangan lensa sebelumnya yang mengharuskannya berbaring dan membutuhkan bantuan orang lain, lensa baru yang dimodifikasi oleh Candy ini begitu mudah dipasang tanpa alat dan tentu saja tak membuat curiga karena pemasangannya yang tak menarik perhatian. Hanya seperti sedang merapikan penampilan semata seperti biasa.

Meski sebenarnya Reddish tahu jika para pelayannya tak mungkin berani melihat secara terbuka apa yang sedang dilakukannya.

Reddish keluar dari ruang demi ruang di kastil merah miliknya itu. Melangkah dengan jangkahan konstan yang meninggalkan gema suara berulang dari entakan sepatunya dengan lantai.

Suasana gelap berkat malam yang telah menjemput hari itu tampak di pintu yang saat ini mulai terlihat di arah depan tepat lurus dari arah Reddish berjalan kali ini. Ada rasa tak sabar sekaligus senang yang kini berdegup tak henti di dadanya.

Padahal baru kemarin malam Reddish bertemu dengan perempuan biru itu, tetapi aduhai kenapa ia seolah tak sabar untuk bertemu seperti sudah lama sekali mereka berpisah.

Reddish tiba di pintu, melihat dua penjaga yang kini membungkukkan badan saat dirinya berdiri di ambangnya.

Lelaki itu lantas melihat ke bawah, ke sebuah tempat yang kini masihlah berupa gumpalan awan putih yang terlihat remang berkat nuansa malam. Mata Reddish terpaku di sana, seolah bisa melihat lokasi bekerlip biru yang akan didatanginya itu.

Ada seberkas senyuman tipis yang tersungging di bibir Reddish saat dalam sekejapan mata, lelaki itu melesat turun, terbang secepat kilat dan mengubah kembali penampilannya dalam wujud Alan, si manusia laki-laki bermata biru, lantas menapak tanah.

Taman kota itu kini ada di hadapannya, dengan pencahayaan yang temaram dari lampu-lampu taman yang menyala utuh di tengah kegelapan di sekelilingnya.

Reddish mulai melangkah dengan tubuhnya yang tegap, senyum tengah ia siapkan saat membayangkan jika Carissa sedang duduk santai di salah satu kursi taman, menatap kagum pada bunga-bunga biru yang baru saja diwarnainya.

Tapi sepertinya bayangan Reddish yang indah itu tak terjadi. Ketika lelaki itu baru saja menginjakkan kakinya pada tepian taman, ia melihat pemandangan yang membuat dadanya berdenyut nyeri oleh perasaan aneh yang sungguh membuatnya tak nyaman. Tak nyaman dan lama-kelamaan berubah menjadi sebuah kemarahan yang menyulut batas kesabarannya hingga membuatnya seketika ingin melemparkan tinjunya yang penuh dengan kekuatan api merah.

Carissa sedang berdua dengan lelaki yang kemarin malam datang menemui perempuan itu di kafe tempat mereka bertemu. Mereka berdiri begitu dekat dengan lelaki itu yang kini sedang memesrai Carissa dengan sebelah tangannya yang tengah mengusap bibir Carissa. Kepala lelaki itu menunduk, bersiap untuk memberikan ciuman yang seketika membuat Reddish mengepalkan tangan penuh murka atas kecemburuan.

Reddish menyipitkan mata dan menatap tajam pada lelaki yang saat ini terang-terangan menampakkan wujudnya sebagai lelaki klan merah.

Lelaki klan merah? Tunggu dulu.

Reddish memfokuskan pandangan dengan mata kirinya yang memakai lensa. Benar lelaki itu terlihat sebagai lelaki klan merah. Lelaki klan merah yang menguarkan aura hitam yang sangat pekat hingga nyaris membuat pandangan Reddis terganggu karena lingkaran beraura hitam yang saat ini membungkus keduanya.

Lelaki klan merah dengan aura hitam?

Heh. Reddish menyeringai marah saat menemukan kesimpulan jika ternyata lelaki klan hitam itu sedang dalam penyamarannya sebagai lelaki klan merah dan tengah berusaha menipu Carissa dengan penampilannya.

Melihat si lelaki yang hampir berhasil mendaratkan bibirnya ke bibir Carissa yang pasrah, Reddish kembali dikuasai oleh kemarahan yang memuncak dan membuatnya tak membuang waktu lagi untuk melangkah cepat dan mendekat, menginterupsi kegiatan dua makhluk langit itu yang sepertinya tengah asyik dengan urusan mereka sendiri, tak memperhatikan jika saat ini ada orang lain yang datang ke arah mereka.

Reddish lalu menyapa dengan suaranya yang menggeram, seperti singa yang mengaum dan siap menerkam tangkapannya lalu mencabik-cabiknya tanpa ampun.

“Carissa.”

 

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

 

KONTEN PREMIUM PSA


 

Semua E-book bisa dibaca OFFLINE via Google Playbook juga memiliki tambahan parts bonus khusus yang tidak diterbitkan di web. Support web dan Authors PSA dengan membeli E-book resmi hanya di Google Play. Silakan tap/klik cover E-book di bawah ini.

Download dan install PSA App terbaru di Google PlayWelcome To PSAFolow instagram PSA di @projectsairaakira

Baca Novel Bagus Gratis Sampai Tamat – Project Sairaakira

5 Komentar

  1. Indah Narty menulis:

    Carissa

  2. Akhirnya Reddish tau kalo onyx anak klan hitam :backstab

  3. Julie Permana menulis:

    :lovelove

  4. Hitam selalu bikin :pedas

  5. selinokt18 menulis:

    :lovelove :lovelove :lovelove