Red Prince

The Red Prince | Part 17 : Rahasia Terbongkar

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

red prince cover - CopyRed 3

12 votes, average: 1.00 out of 1 (12 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Dunia manusia dilanda kemarau panjang. Sebagian besar benua mengalami musim kering merata pada beberapa waktu terakhir. Tanah-tanah berdebu meringkai haus hujan, pepohonan serta tanaman-tanaman bunga berakhir mengering tanpa memunculkan buah ataupun bunganya yang semula indah menghiasi pandangan.

Flavia duduk termangu di taman kota. Pandangannya tampak menerawang, menatap bunga-bunga biru yang semula begitu mencolok dengan warna biru cerahnya itu yang kini mulai layu. Tak ada lagi bunga biru yang pada beberapa waktu lalu menjadi pusat perhatian seluruh warga kota bahkan turis asing. Taman yang semula ramai oleh banyak sekali pasang mata yang memuja keindahannya itu kini seperti sepetak tanah tak berpenghuni yang tak terawat. Tanaman-tanaman bunga yang pada waktu lalu tumbuh subur beraneka warna dan didominasi warna biru itu saat ini hanya menyisakan batang dan daunnya yang berserak menyedihkan di atas tanah. Rerumputan yang semula tumbuh subur bak permadani yang selalu nyaman untuk tempat bersantai itu kini mengering, walau penyiram tanaman otomatis masih mengalirkan airnya pada periode waktu tertentu.

Flavia meneguk lagi air dari botol minuman yang biasa dibawanya untuk bekal. Dia teringat Carissa. Perempuan pendiam yang tiba-tiba saja menghilang entah ke mana. Biasanya di malam-malam seperti ini, mereka akan menghabiskan waktu bersama untuk melepas penat dengan mampir ke kafe atau bar terdekat, berjalan melewati taman ini dan membicarakan apa saja tentang yang terjadi hari itu atau rencana mereka untuk menghabiskan waktu bersama keesokan harinya.

Perempuan itu tahu Carissa menyimpan sesuatu yang tak ingin dibagi dengannya. Wajahnya yang selalu pucat serta tatapan matanya yang menyiratkan kekosongan itu selalu mengusik perasaan Flavia. Namun, berkali-kali ia secara halus membuka lengannya sebagai teman baik yang selalu mencoba mengerti keadaan temannya, tetapi tetap saja Carissa masih menutup rapat tentang kehidupannya yang seolah penuh misteri itu.

Sekarang, Carissa tak ada lagi. Bos mereka di toko toserba itu hanya mendengus dan mengangguk pelan tanpa komentar saat dikabari olehnya jika ia tak bertemu dengan Carissa dan perempuan itu tak bisa dihubungi. Seolah mengikhlaskan begitu saja kepergian Carissa yang tanpa kabar. Orang-orang di sekitar flat tempat tinggal Carissa pun hanya mengangkat bahu dan menggeleng tipis, tak tahu dan tak mau tahu tentang kehidupan perempuan lajang yang jarang bergaul tersebut.

Flavia sendiri saat ini tak ada teman. Dia belum menemukan lagi teman baik seperti Carissa yang bisa menghibur hari-harinya. Teman-temannya di toserba itu berusia jauh lebih muda darinya yang telah lama bekerja di sana, sehingga mereka lebih sering menggerombol dengan pegawai seusia mereka serta melakukan hobi dan kegiatan bersama-sama, menghormati dan menganggap Flavia dan Carissa sebagai pegawai senior sehingga mereka lebih sering mengabaikannya.

Flavia mengembuskan napas panjang, pandangannya yang sempat melamun itu kembali ke sekitar.  Carissa seolah enyah dengan membawa serta keindahan taman favorit mereka ini, berikut cuaca dan musim yang entah bagaimana tak terlihat baik. Warna-warna hijau pepohonan yang meskipun tumbuh jarang di perkotaan seperti ini, tetapi tetap saja menampakkan begitu banyak perbedaan seolah warna-warna enggan menempel di tempatnya, memilih luntur dan pasrah pada layu yang mengunggis keindahannya.

Flavia beranjak berdiri sembari mencangklong lagi tas selempang yang sempat ia letakkan di kursi saat ia duduk tadi. Embusan angin malam kian kencang meniup-niupkan udara dinginnya ke sekeliling. Seolah menampar-nampar kulitnya serta mengejek Flavia yang saat itu kesepian.

Ke mana sebenarnya Carissa pergi? Ada persoalan pelik seperti apa sehingga ia lebih memilih kabur darinya begitu saja?

Pertanyaan-pertanyaan itu terulang setiap malam tanpa bosan, meski Flavia tahu jika sepertinya tak akan ada keajaiban yang terjadi meskipun ia merapal pertanyaan itu di hatinya terus menerus.

***

Ini pasti karena kekuatannya yang terkuras tadi serta kecerobohannya yang membiarkan matanya yang begitu berharga itu terbuka begitu saja tanpa pelindung sejak ia menemukan Azure.

Reddish melangkah pelan tanpa suara meninggalkan kamarnya, tanpa tahu jika sejak tadi sesungguhnya Azure telah terbangun dan terkejut dengan wajah pias mendapati Reddish mengeluarkan darah begitu banyak hingga mengalir di tangannya.

Ada apa dengan lelaki itu? Apakah mata merahnya yang galak itu memiliki cedera yang tak ia ketahui?

Azure menopang tubuhnya dengan kedua tangan lantas duduk perlahan bersandar di kepala ranjang. Bibirnya menampakkan senyum sinis.

Baguslah. Ternyata, tanpa ia berbuat apa-apa, Reddish telah mendapatkan balasannya sendiri. Sudah sepantasnya laki-laki ketus, sombong, dan tak punya perasaan yang selalu menatapnya tajam itu memiliki sakit mata.

Azure lalu mengangkat alis saat baru menyadari jika tubuhnya kini telah sehat kembali. Tubuhnya yang semula terasa lemah tak berdaya setelah mencoba melawan kekuatan merah yang sekuat batu itu kini pulih kembali. Seluruh badannya terasa segar, aliran kekuatan tubuhnya kembali terisi penuh, seakan tidurnya baru saja mengembalikan energi birunya.

Azure menyingkap selimut yang menutup setengah tubuhnya, melihat dengan teliti keadaan dirinya mulai dari ujung kaki hingga seluruh badan dengan kedua tangannya yang kembali terangkat. Jemarinya yang lentik dengan ukiran akar-akar biru itu membuka, memendarkan aura biru tipis dan keningnya mengernyit.

Reddish memulihkannya lagi? Nuansa hangat yang terasa menyembuhkan di tubuhnya tadi adalah kekuatan Reddish?

Tanpa sadar Azure menurunkan tangannya cepat dan menoleh ke pintu dengan geraham mengetat. Menatap ke arah lelaki itu pergi meninggalkan ruangan saat sebelah matanya berdarah tadi.

Azure mengusap-usap dengan gerakan kasar pada sebelah tubuhnya yang tadi sempat tersentuh tubuh Reddish hingga terasa ngilu.

Apakah proses penyembuhannya memang harus begitu? Dengan dipeluk? Astaga … Baru saja kemarin malam lelaki itu berkencan dengan Sapphire dan dini hari ini Reddish tidur dengan memeluknya?

Ekspresi Azure berubah marah. Dia merasa harga dirinya dijatuhkan begitu saja dengan menjadi perempuan simpanan Reddish. Tidak. Dia tidak mau. Dirinya bukan perempuan gampangan yang bisa seenak jidat dimanfaatkan begitu saja untuk kepentingan laki-laki mesum itu.

Napas Azure terengah dengan kemarahan yang membakar habis seluruh kesabarannya. Perempuan itu bangkit dari ranjang. Menoleh ke sana kemari untuk menemukan pintu yang dicarinya. Dan benar saja, di ujung ruangan kamar itu terdapat sebuah pintu berukuran cukup besar yang Azure yakini sebagai ruang mandi.

Perempuan itu berjalan cepat menyeberangi ruangan menghampiri pintu tersebut. Perlahan sebelah tangannya menyentuh permukaan pintu itu dan terbukalah perlahan daun pintunya, memperlihatkan ruangan besar dengan sisi dindingnya yang berwarna merah gelap begitu juga dengan lantainya. Di sisi ruangan itu terdapat bath tub berukuran besar berwarna merah, sebuah wastafel, dan di sisi berlawanannya terdapat ruang shower dengan pancurannya yang tinggi. Ruangan itu dihiasi dengan tanaman-tanaman hias dan kursi kecil yang entah disediakan untuk apa.

903242_720

Azure sejenak terpaku kagum menatap ruang mandi yang eksotis itu, membayangkan jika dirinya harus bertelanjang dan mandi di sana. Perempuan itu menelan ludah, lalu seolah tersadar dari lamunan, perempuan itu menggeleng-gelengkan kepala dan mengerjapkan matanya dengan cepat kemudian melangkah memasuki ruang mandi itu dengan kakinya yang telanjang, menutup pintu di belakangnya dan mulai melepas pakaian.

***

“Tuan. Tuan Reddish. Apakah tidak sebaiknya Anda datang ke ruang pengobatan?” Crimson melangkah tergopoh-gopoh mengikuti Reddish yang melangkah cepat menuju ruangannya.

Reddish menoleh cepat mendengar tawaran Crimson itu. “Apakah kau sudah gila? Bagaimana mungkin aku mendatangi ruang pengobatan dengan keadaanku yang seperti ini?” tanyanya dengan ketus. Merujuk pada keadaan matanya yang cacat.

Tidak ada seorang pun tahu keadaan matanya itu selain Ecru, Candy, dan juga Crimson sendiri sebagai pelayannya. Mereka semua disumpah untuk menjaga rahasia tersebut sampai mati. Jadi, untuk lebih amannya, Reddish bersikeras meminta Candy datang ke ruangannya dan menyembuhkannya seperti biasa.

“Kalau begitu, saya akan mencari Nona Candy sampai ketemu. Saya berusaha menghubunginya melalui pikiran sedari tadi, tetapi sepertinya Nona Candy sedang menutup komunikasi sehingga saya tidak tahu di mana beliau berada.” Crimson menjawab jujur, berusaha mendapat maklum dari atasannya itu sehingga tak mendapat lemparan kekuatan aura merah Reddish kali ini.

“Apa?” Reddish bertanya tak percaya  sambil meringis mendengar informasi itu. “Candy menutup komunikasi?” tanyanya lagi.

“Iya, Tuan,” jawabnya patuh.

Reddish mendengus lantas berpikir cepat, memikirkan jalan buntu itu lalu berkata, “Cari Candy di sebelah selatan bukit, tempat ladang tumbuh-tumbuhan obat tertanam. Ruang penelitiannya kututup. Dia pasti sedang menghabiskan waktu di sana. Cari dia dan bawa kemari dengan peralatan lengkap seperti biasanya. Dan ingat untuk menutup akses ke tempat ini serta menunda pertemuanku dengan siapa pun. Aku tak ingin dikunjungi dan pergi ke manapun,” perintahnya sambil mengibaskan tangan, mengisyaratkan pengusiran kepada lelaki tua klan merah itu.

“Baik, Tuan. Apakah … Anda bisa menahan sakitnya? Perlukah saya mengambil ramuan penahan sakit untuk sementara waktu-“

Reddish melemparkan kekuatan merahnya ke arah pintu, hampir mengenai tubuh Crimson yang berdiri tegang dan bertambah tegang saat ini.

“Lakukan apa yang kuperintahkan, Crimson. Aku lelah jika kau terlalu banyak bertanya,” ujarnya lantang yang membuat Crimson bergerak dengan tubuh gemetarnya meninggalkan ruangan.

Reddish tersenyum pahit melihat tingkah Crimson itu. Sebelah tangannya yang masih memegangi pelipis di dekat matanya yang memejam itu memijitnya perlahan, meredakan rasa pening sekaligus pedih di mata yang belum juga mau pergi.

Ditinggalkan sendiri di ruangan itu, Reddish menyandarkan kepalanya di ujung sandaran kursi hingga kepalanya tertengadah.

Dia tak menyangka jika ternyata akan separah ini akibatnya. Reddish telah mengenakan lensa pembantu itu sejak usianya lima tahun dan belum pernah sekali pun ia melepasnya. Beberapa waktu lalu, saat ia melepas lensa itu dengan tegang di ruangan Candy, ternyata tak ada darah sema sekali yang keluar dari matanya. Namun ia tak menyangka jika matanya ini begitu rapuh dan mudah terluka jika tak ditutup.

Astaga. Akankah seperti ini keadaannya seterusnya? Dia harus mengenakan lensa bantu itu seumur hidup?

Reddish menghela napas panjang. Tubuhnya menegak saat dia berusaha mengalihkan perhatian dari kedua mata terkutuk miliknya itu.

Pikirannya berkelana menemukan nama-nama pelayan yang beberapa hari terakhir ini diberi tugas untuk mempersiapkan segala sesuatunya terkait upacara pernikahannya esok hari.

“Laporkan perkembangan persiapan pernikahan itu sekarang juga,” titahnya dengan angkuh setelah seorang penjahit gaun menjawab panggilannya dari seberang sana.

“Fuschia, segera ke kamar pribadiku, mungkin saat ini Azure membutuhkanmu. Aku memberimu izin untuk masuk ke sana,” lanjutnya di tengah-tengah suara yang begitu bising di dalam kepalanya yang tengah sibuk dengan ucapan-ucapan para pelayan dan orang-orang yang dihubunginya.

***

Crimson terbang rendah setelah tiba di tepi bukit. Tatapannya memindai ke sekeliling di mana tumbuh beraneka tanaman dengan ukurannya yang cukup tinggi sehingga menghalangi pandangan. Tadi dirinya terbang dan tak melihat nona Candy di mana pun. Sekarang, Crimson memutuskan untuk berjalan kaki menyingkap semak di perkebunan itu.

Hari beranjak siang di dunia langit dengan langit kelabu serta pelangi semesta yang menggantung tanpa warna di atas sana. Nuansa sejuk tanpa terik matahari dengan angin sepoi-sepoi memang cocok untuk beraktivitas di luar ruangan seperti ini. Pantas saja jika memang benar nona Candy sedang berada di area ini, dia menutup akses komunikasi dan begitu menikmati waktu pribadinya bercengkerama dengan aneka tumbuhan obat yang membentang luas di tepi bukit ini.

Crimson menyibak lagi batang-batang tanaman yang tumbuh tak beraturan di depannya. Langkahnya bergemeresak menginjak dun-daun kering yan berjatuhan di tanah. Lelaki itu celingak-celinguk sambil terus menajamkan pandangannya setelah beberapa waktu menjangkahkan kakinya jauh ke dalam semak tumbuhan itu.

“Nona Candy!” Crimson berseru memanggil.

Candy yang sedang berjongkok di salah satu sudut perkebunan itu mulai waspada saat telinganya yang tajam mendengar suara langkah kaki di belakang jauh dari tempat Crimson berada sekarang. Candy memakai topi lebarnya berwarna hijau yang menyaru dengan sekeliling dan menutupi keseluruhan tubuhnya yang tak terlihat dari atas jika ada makhluk yang kebetulan melintas di atasnya.

Dia tak sendiri di tempat ini. Ada beberapa makhluk yang juga sedang turut mencari tanaman untuk membuat ramuan, sebagian adalah anak buah Candy, lalu sebagian lagi adalah makhluk klan warna lain yang juga sedang dalam misi yang sama.

Candy bangkit berdiri dengan dua kantong yang ia talikan di pinggangnya yang penuh dengan dedaunan dan aneka kayu-kayuan sebagai bahan ramuan.

Ada yang diam-diam datang kemari? Apakah makhluk itu bermaksud baik … atau buruk?

Perempuan itu memicing dan bersiap terbang saat didengarnya suara Crimson memanggilnya kemudian.

Tubuh Candy yang semula tegang langsung melemas kemudian.

“Aku di sini.” Candy melepas topinya dan mengangkatnya tinggi-tinggi untuk memberikan petunjuk bagi lelaki pengawal Reddish itu agar menemukan keberadaannya.

“Ya, Nona.” Suara Crimson menyahut terdengar mulai dekat.

Tak berapa lama, suara gemeresak itu tiba di hadapan Candy yang sedang berkacak pinggang, menunggu kedatangan lelaki itu.

“Nona Candy.” Crimson menjura begitu menemukan sosok merah Candy dan berdiri di hadapannya.

“Anda menutup komunikasi, sehingga saya mencari Anda hingga kemari. Beruntunglah tuan Reddish begitu memahami Anda sehingga saat beliau berkata jika Anda sedang berada di tempat ini, saya langsung bisa menemukan Anda,” jelasnya dengan menunduk.

Cih. Memahami? Memahami bagian mananya? Reddish jelas tak tahu jika Candy begitu putus asa untuk menyibukkan diri agar tak duduk melamun saat ruang penelitiannya itu diblokir oleh Reddish.

Candy meringis dengan ekspresi masam. “Aku memakai topi ini,” ucapnya sembari sedikit mengangkat topi yang tertenteng di tangannya dan mengangkat bahu. “Topi ini bisa menghalangiku dari makhluk lain yang berusaha menembus pikiranku,” lanjutnya dengan senyum kaku tanpa rasa bersalah.

Crimson mengangkat sebelah alis. “Ah, begitu rupanya,” ujarnya masih dengan penuh hormat ke arah Candy.

Wajah Candy berubah serius saat ia mendengus dan bertanya kemudian. “Ada perlu apa? Kenapa sampai kau mencariku kemari? Apakah Reddish memutuskan untuk memperpanjang hukumanku menjadi dua kali lipat karena dia begitu kesal?” Candy menyerocos dengan nada ketus.

“Oh, bukan, Nona. Ada situasi genting yang terjadi.” Crimson merendahkan nada bicaranya lantas sedikit membungkuk ke arah Candy agar suaranya yang lirih itu bisa didengar oleh perempuan merah tersebut.

“Situasi genting?” Candy mengernyitkan kedua alis merahnya dengan suara lirih yang sama.

“Ya, Nona. Sebelah mata tuan Reddish mengalami pendarahan dan saat ini darah itu masih mengalir deras dari matanya. Saya takut jika sampai terjadi sesuatu yang buruk sementara tuan Reddish tak mau diberikan obat selama saya mencari Anda. Beliau hanya mau ditangani oleh Anda. Oleh karena itu-“

Perkataan Crimson yang lambat dan khidmat itu membuat Candy tak sabar sehingga perempuan itu seketika menerbangkan tubuhnya, meninggalkan kabut merah di depan tubuh Crimson saat lelaki itu terkesiap karena tiba-tiba saja nona Candy telah lenyap dari depan tubuhnya.

“Ayo, cepat, aku harus segera menolong Reddish. Aku tak punya banyak waktu,” seru Candy dengan tubuhnya yang telah melayang, lalu melesat cepat tanpa peduli pada Crimson, meninggalkan lelaki itu yang hanya tergugu-gugu dengan ekspresi masam.

Tampak ekspresi tubuh Crimson yang lelah meladeni para petinggi klan merah itu yang suka semena-mena memerintahnya. Meski begitu, Crimson lantas menguarkan aura merahnya dan turut mengangkasa, menyusul Candy yang telah berlalu cepat menuju kastil merah.

Dari arah lain di perkebunan itu, suara gemeresak langkah kaki terdengar tersuruk-suruk pergi setelah mengintai dua makhluk klan merah yang sedari tadi bercakap-cakap lalu terbang terburu itu. Posisinya berada memang tak begitu dekat, tetapi di tengah suasana hening perkebunan ini, percakapan lirih itu bisa terdengar hingga tempatnya berdiri, membuat kedua matanya membelalak dengan dada berdegup oleh ketidakpercayaan yang hinggap di hatinya.

Mata Reddish berdarah? Apakah Reddish memiliki kelemahan pada matanya?

Kabar tak disangka yang diterimanya itu disimpannya hati-hati dalam ingatan. Sepertinya alam sedang berpihak kepadanya kali ini dengan memberikan informasi berharga dan cepat itu kepadanya.

Dia harus segera memberi tahu Sky, tuannya.

Kabar ini harus sampai di telinga tuannya itu cepat karena ia harus kembali lagi ke tempat ini agar tak mencurigakan makhluk-makhluk lainnya. Dirinya bisa saja bermeditasi sejenak untuk mengabari tuannya itu melalui kekuatan pikiran. Namun, sebagai bawahan yang bekerja sebagai pemetik tanaman di kastil merah yang terbiasa berada di gudang barang dan memiliki tempat beristirahat yang terbatas dengan beberapa orang di kamarnya, dia tak punya tempat khusus untuk melakukan meditasi itu dan akan terlihat aneh bagi bawahan sepertinya jika melakukan panggilan dengan alam pikiran.

Sosok itu melangkah cepat kemudian, lalu terbang seperti  kilat menuju persembunyian Sky dan Navy yang berada jauh dari lokasinya saat ini.

***

“Reddish.”Candy menyapa cepat begitu ia tiba di pintu ruangan Reddish.

Tatapan perempuan itu seketika tertuju ke arah kursi besar yang biasa diduduki oleh keponakannya itu, tetapi tak ada di sana. Candy lantas mencari ke seluruh penjuru ruangan dan mendapati Reddish tengah duduk membungkuk di sofa besarnya yang terletak di sisi ruangan sebelah pintu masuk tempat perempuan itu berdiri.

Reddish menoleh begitu mendengar suara Candy yang tersengal-sengal memanggilnya.

Candy membelalak begitu melihat penampakan wajah Reddish saat ini. Keponakannya itu terlihat menyeramkan seperti hantu-hantu di dunia manusia di mana wajahnya tampak belepotan warna merah dari darah yang masih mengalir dari sebelah matanya. Penampilannya yang serba merah itu kian mengerikan dengan tatapan tajamnya yang tampak tersinggung saat melihat ekspresi Candy.

“Kau lama sekali,” komentar Reddish dengan ekspresi galaknya lantas mengalihkan pandangan. Tangannya kembali mengusap sebelah matanya yang terasa pedih luar biasa itu.

Candy buru-buru duduk di sofa itu mendekati Reddish, meletakkan barang-barang yang dibawanya ke meja lalu memfokuskan perhatiannya ke arah lelaki itu.

“Berbaringlah. Aku akan mengobatinya. Astaga … kau terlalu kuat mengusap matamu. Lihatlah, sklera matamu sangat merah,” ujarnya dengan nada cemas saat melihat betapa parahnya luka di mata Reddish.

“Diam dan obati saja. Aku butuh sembuh dengan cepat,” tegur Reddih dengan nada ketus meskipun saat ini dirinya tengah berbaring pasrah di samping Candy yang tengah melap sekitar mata Reddish dengan sikap kesal.

“Ah, ya. Pernikahanmu akan dilaksanakan esok hari. Kau harus tampil sempurna dan setampan mungkin untuk perempuan klan birumu itu,” ujarnya dengan nada menggoda yang dibuat-buat, ekspresi wajahnya tampak sinis.

Reddish mendengus kemudian tanpa tanggapan.

Candy dengan telaten membersihkan darah yang tercecer di wajah Reddish, mengusap kelopak mata lelaki itu perlahan.

“Buka matamu,” perintah Candy dingin.

Dengan menurut, Reddish pun membuka kedua matanya, membiarkan bibinya itu melakukan apa saja kepada matanya.

Setelah selesai membersihkan, Candy kemudian mengambil sebotol ramuan kecil tak berwarna, lalu mengambil pipet dan mulai memasukkan ramuan tersebut.

“Tahan sebentar. Mungkin akan ada sensasi terbakar sejenak di matamu, tetapi itu tak lama. Setelah obatnya meresap, matamu akan terasa sejuk dan sklera matamu memutih kembali. Aku juga akan memasangkan lensa pelindung matamu … agar tak berdarah lagi seperti ini.” Candy menjelaskan tanpa diminta, tanpa mendapat komentar dari Reddish yang saat itu tengah tegang mendengar tentang ‘sensasi terbakar’ yang sejenak membuat bibirnya menipis penuh antisipasi. Meski begitu, Reddish tak melawan dan mengikuti apa pun yang dilakukan oleh Candy.

Dengan lembut, Candy mulai memasukkan tetes demi tetes ramuan itu ke sebelah mata Reddish. Pada mulanya, Reddish hanya memperlihatkan tubuhnya yang kaku dengan dadanya yang kembang kempis oleh rasa bedebar berpadu tegang. Tapi pada tetesan ketiga, Reddish mengaduh keras hingga lelaki itu terduduk karena tak tahan oleh rasa sakit yang amat sangat menjalari mata hingga pipinya dan membuat wajahnya terasa panas.

“Ah!”

Candy terlonjak terkejut mendapati sikap Reddish itu. Hatinya teriris perih melihat bagaimana lelaki tangguh di depannya itu kini merintih kesakitan sembari menutup sebelah wajahnya yang memerah. Reddish terengah-engah hingga membutuhkan beberapa waktu baginya untuk menenangkan diri begitu rasa menyiksa itu perlahan enyah dari tubuhnya.

Dengan tangan gemetar dan mengepal, Reddish menurunkan tangannya masih dengan kedua matanya yang terpejam.

Sejuk.

Rasa sejuk itu mulai terasa perlahan merambat di sebelah matanya.

Takut-takut, Candy memegangi pundak Reddish, berusaha menguatkan lelaki itu. Reddish bergeming beberapa saat.

“Reddish.” Candy memanggil perlahan.

Terlihat Reddish menghela napas, membuka matanya perlahan dan menoleh tipis. “Pasang lensanya,” perintahnya dingin.

Candy mengembuskan napas lega. Perempuan itu tersenyum lantas mengurai suasana tegang di tempat itu dengan ucapannya yang ceria.

“Ya. Berbaringlah kembali. Aku akan memasangkannya,” tuturnya dengan ketulusan yang memancar dari ekspresi wajahnya yang penuh sayang.

***

Fuschia melangkah tegap di lorong lebar menuju ruang pribadi Reddish, pemimpin klan merah sekaligus orang yang paling dihormatinya itu. Tadi ia mendengar jelas jika Reddish memerintahnya untuk menemui perempuan klan biru yang saat ini ditahan di ruang kamarnya.

Ah, Reddish yang manis. Bisa-bisanya lelaki itu menempatkan calon maharaninya di ruangannya yang Agung. Perempuan itu saat ini pastilah sedang menunggu dengan jantung berdebar serta ekspresi wajahnya yang berseri-seri karena pernikahan yang akan berlangsung sebentar lagi.

Tanpa sadar Fuschia menampakkan senyum tipis di bibirnya yang berwarna merah muda. Dia tahu benar maksud Reddish mengundanganya kemari. Klan merah muda yang terkenal dengan kekuatan hipnotisnya itu di sisi lain memiliki kepribadian hangat yang mudah diterima oleh makhluk lain. Reddish pasti ingin jika calon maharaninya itu memiliki suasana hati yang baik sebelum mereka naik panggung pernikahan.

Wajah Fuschia berkerut sejenak ketika memikirkan tentang perempuan klan biru itu. Sebenarnya, siapa perempuan yang berhasil ditemukan oleh Reddish? Apakah sebelum ini dia telah sempat bertemu dengan perempuan biru itu? Sebab beberapa waktu terakhir menjelang perang warna beberapa tahun lalu itu, koloni klan biru terkenal dengan pribadi mereka yang begitu sulit bergaul. Mereka seakan angkuh dengan kekuatan mereka yang digadang-gadang setara dengan koloni klan penguasa langit saat itu, koloni klan merah.

Lamunan Fuschia sepanjang perjalanannya itu terpecah saat dirinya melihat jika ada dua orang penjaga yang siaga menyilangkan tombak mereka di pintu. Dua orang itu mengamati Fuschia sejenak lantas membukakan akses begitu saja baginya, seolah ucapan Reddish tentang dirinya yang mendapat izin masuk itu telah diketahui oleh semua penjaga sehingga Fuschia dapat masuk dengan mudah.

Langkah perempuan itu ringan dengan wajahnya yang tampak ceria. Tak berapa jauh kakinya memasuki lorong itu, dia melihat lagi seorang lelaki klan merah yang berjaga di sisi pintu. Lelaki itu menyadari kehadirannya dan seketika memasang gerak tubuh menyambut kedatangan Fuschia.

“Tuan Crimson, bukan?” Fuschia bertanya ramah.

“Ya, Nona Fuschia. Nona Azure berada di dalam kamar. Sebaiknya Anda segera masuk saja,” ucap Crimson mempersilakan.

“Baiklah. Terima kasih,” sahutnya lantas melangkah menuju depan pintu, lalu tanpa ragu lagi menembus segel merah yang jelas terlihat di sana dengan dada bedegup cepat.

Sejenak Fuschia memejam saat tubuhnya bersentuhan dengan aura hangat milik Reddish itu. Ketika menemukan jika memang dirinya telah diberi izin untuk memasuki ruang peraduan itu, Fuschia merasakan dadanya dialiri oleh kelegaan nyata yang membuatnya tersenyum.

Segera perempuan itu melangkah semakin jauh ke dalam ruangan dengan kedua matanya yang memindai sekeliling. Saat tiba di sisi peraduan besar yang ada di kamar itu, ekspresi terkejut tampak melumuri wajah Fuschia saat bayangan tentang perempuan bahagia yang akan menjadi calon maharani Reddish itu ternyata tak seperti yang ada dalam benaknya, membuat perempuan itu menelan ludah.

 

bersambung….

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

4 Komentar

  1. Tak seindah angan

  2. Dona Nurhayati menulis:

    Ekspresi nya benar benar berbeda :backstab

  3. dewantilaraswaty menulis:

    :ohyeaaaaaaaaah! :ohyeaaaaaaaaah! :ohyeaaaaaaaaah! :ohyeaaaaaaaaah! :ohyeaaaaaaaaah! :ohyeaaaaaaaaah!

  4. Hayolooohhh