Red Prince

The Red Prince | Part 14 : Tawanan

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

red prince cover - CopyRed 3

11 votes, average: 1.00 out of 1 (11 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Rasa-rasanya, sudah lama sekali Azure berada dalam mimpi buruk ini. Berulang kali ingatan tentang pertemuannya dengan lelaki klan hitam yang menyamar dan perjumpaannya dengan Reddish itu berkelebat dalam angan-angannya, membuat Azure benar-benar lelah. Mimpi itu seperti ruang penyiksaan, tak putus-putus memberi rasa sakit seolah tak mau berhenti hingga Azure dijemput ajalnya.

Ucapan-ucapan si lelaki klan hitam yang mengatakan jika dirinya akan menjadi tawanan Reddish itu bergema di kepala, membuat Azure kini tak bisa meyakinkan diri di manakah sebenarnya ia sedang berada. Lalu ucapan Reddish yang penuh dengan kemarahan memuncak yang mengatakan jika ia sedang ditipu itu tak mau kalah. Lagi-lagi membuat sekelumit pertanyaan yang tak mau ia tahu jawabannya itu muncul juga dalam benaknya.

Jika lelaki klan merah itu ternyata adalah lelaki klan hitam … bagaimana dengan nasib para anggota koloni negeri langit? Bukankah saat ini negerinya itu sedang membutuhkan kehadiran warga klan ungu untuk membangkitkan lagi pelangi semesta yang padam? Lantas jika saja ia berhasil menikah dengan lelaki klan hitam itu … bukankah warna turunannya akan menjadi warna biru atau hitam?

Mengapa lelaki klan hitam itu mengejarnya? Apakah ia berniat menghancurkan negeri langit dengan menggagalkan upaya pernikahan campuran klan merah dengan klan biru?

Wajah Azure yang terpejam itu tampak mengernyitkan kening samar.

Jadi, saat ini, dirinya ada di mana? Pertarungan itu dimenangkan oleh siapa? Apakah Reddish dengan kekuatan besarnya itu pada akhirnya mengalahkan lelaki klan hitam? Ataukah sebaliknya?

Bayangan-bayangan tentang dirinya yang dimasukkan ke dalam ruang penjara yang gelap dan dingin seketika membuat Azure ditelan oleh halusinasi ketakutannya sendiri. Ia tahu bagaimana bentuk ruang tahanan bagi para pembelot di negeri langit ini karena sebagai anggota klan biru di mana klannya termasuk ke dalam tiga jajaran kepemimpinan negeri langit, kastil biru miliknya pun memiliki ruang tahanan tersendiri yang dibagi menjadi beberapa jenis. Ruang tahanan untuk hukuman ringan, sedang, dan berat di mana masing-masing jenis hukuman itu memiliki ruang penghukuman dengan bentuknya yang berbeda-beda. Aksi kejahatan seperti pecurian, pembegalan, ditempatkan di ruang tahanan atas dengan ukuran ruangan yang kecil di mana para tawanan itu masih  bisa melihat cahaya matahari dari sela-sela terali besi yang biasanya terpasang sisi ujung tembok bagian atas. Pembunuhan, kasus korupsi, dan sebagainya ditempatkan di ruang tahanan sedang di mana ruangan itu memiliki pencahayaan temaram dan tak  memiliki tempat untuk tidur, lalu ruang tahanan terakhir yang paling berat adalah sebuah ruangan gelap nan dingin yang diletakkan terpencil dari ruangan lainnya. Mereka yang ditempatkan di sini adalah mereka yang makar dengan kepemimpinan negeri langit.

Azure menahan napas sejenak. Dirinya yang tentu saja dianggap sebagai pembelot bagi pemimpin klan merah ini tentu saja ditempatkan di ruangan paling bawah dengan tempat yang sangat gelap, jauh dari para tawanan lain yang ditahan karena kasus yang tak seberat dirinya.

Azure tampak putus asa dalam mimpinya itu.

Lalu, di sisa-sisa mimpi yang masih membuatnya berada di tengah-tengah antara keadaan tidur dan sadarnya, Azure merasakan jika tubuhnya terasa hangat.

Hangat? Apakah ia ada di kastil milik lelaki klan hitam itu? Apakah pada akhirnya lelaki klan hitam itu mengalahkan Reddish?

Kepedihan mendadak menghunjam hati Azure entah kenapa. Bayangan tentang Alan, Alan yang terluka karena pada akhirnya berhasil dipukul mundur oleh anggota klan hitam itu menggulirkan rasa sakit yang membuat dadanya sesak. Namun, ingatan tentang Alan yang ternyata tak ada itu lebih menyakitkan dari semuanya. Seolah lelaki bernama Alan itu hanyalan fantasi semata yang tak mengizinkan Azure untuk memiliki harapan lebih kepadanya dari sekadar mengingat tentang sebuah nama.

Kesedihan itu membuat Azure tanpa sadar mengeluarkan air mata. Tetesnya yang dingin mengalir dari sudut matanya dan terasa membasahi sisi pipinya itu membuat Azure pada akhirnya mengerjap. Kedua matanya terasa berat dan nuansa kantuk entah bagaimana begitu kuat menghinggapi kesadarannya. Meski begitu, Azure berjuang sekuat tenaga mengangkat sebelah tangannya untuk mengusap air mata yang terasa nyata saat ini.

Nuansa kelam yang tadi menyelubunginya itu perlahan pudar saat Azure benar-benar telah terbangun dari tidur lelapnya. Kedua mata indahnya itu bergerak-gerak perlahan, pasrah pada apa yang akan dilihatnya nanti. Ada sedikit rasa berdebar meskipun perempuan itu berusaha keras menguatkan hati. Bersiap menerima kenyataan.

Pikirannya yang masih terbawa suasana mimpi buruk itu kembali membayangkan ruangan hitam dengan aksesorinya yang gelap, nuansa suram, tirai jendela yang kelabu menutupi pandangan, dan segala ciri khas tentang kastil klan hitam. Namun, saat Azure berhasil membuka matanya dengan sempurna, ekspresi keterkejutan langsung kentara di wajahnya begitu matanya menangkap pemandangan yang sungguh berbeda seratus delapan puluh derajat dari apa yang dipikirkannya.

Ruangan ini berwarna merah menyala!

Azure sontak terduduk dan menunduk, memperhatikan tubuhnya dengan ngeri. Matanya melebar saat menyadari dirinya ternyata berada di sebuah ranjang mewah berwarna merah dengan selimut tebal menutupi setengah tubuhnya alih-alih dirinya diikat dengan rantai besi seperti pada bayangan-bayangan ketakutannya.

Apakah ini ada di dunia mimpinya yang lain? Ataukah semua yang ada di depan matanya ini adalah tipuan?

Azure mengeluarkan tangannya yang masih berada di balik selimut. Dibukanya telapak tangannya, menunjukkan jika dirinya kini telah kembali ke wujudnya semula. Lalu perlahan, dikeluarkannya kekuatan biru miliknya dari telapak tangan itu.

Biru.

Azure menipiskan bibir saat melihat dengan pasti dan jelas bagaimana aura biru itu menguar dari telapak tangannya.

Ini bukan mimpi! Dirinya tidak sedang bermimpi!

Kembali air mata merebak di pelupuk matanya, berkaca-kaca hingga makin banyak, lalu tumpah di pipinya lagi saat hatinya terasa pedih dan kacau ketika mengingat tentang Reddish.

***

“Katakan! ramuan apa sebenarnya yang kauberikan padaku!” Reddish menggeram, cengkeramannya di dagu Candy semakin kuat membuat perempuan klan merah itu meringis kesakitan.

“Reddish.” Ecru mencoba menjadi penengah situasi karena tiba-tiba saja sahabatnya itu dikuasai oleh kemarahan yang meledak.

“Kau boleh keluar, Ecru,” perintah Reddish tanpa mau menoleh ke arah lelaki klan kuning yang tampak serba salah itu.

Ecru menghela napas panjang, mengangguk-angguk dengan ekspresi frustrasi lantas berlalu dari ruangan Reddish tanpa suara.

Setelah hening beberapa saat menunggu Ecru keluar dari ruangan, Reddish kembali memusatkan perhatiannya kepada bibinya yang malang.

“Kenapa kau ketakutan?” Reddish bertanya lagi dengan menyeringai. “Apakah kau memang hendak melemahkan lalu menghilangkan kekuatanku?” selidiknya dengan penuh tuduhan. “Jawab!” raungnya dengan suara keras yang menggema di seisi ruangan. Meninggalkan gaung mengerikan dari suara Reddish yang meledak marah.

Reddish berkata sembari mengingat-ingat lagi tentang keadaan dirinya yang aneh beberapa waktu lalu. Dia yang tiba-tiba terbangun dengan perasaan damai yang begitu mengekang jiwanya yang selama ini dikuasai oleh emosi. Dia yang sesungguhnya bisa menghajar lelaki klan hitam itu seketika saat mereka tengah berada di kafe malam itu. Tapi apa, dengan impulsif Reddish justru kembali ke kastilnya untuk mempersiapkan lensa dan membuatnya hampir terlambat.

“Su-sungguh aku tak berniat jahat kepadamu, Reddish. Mana mungkin aku melakukannya? Kau-kau adalah keponakanku satu-satunya yang sangat aku sayangi. Aku tak bermaksud bu-buruk.” Candy berucap dengan keringat deras membasahi pelipis, jantungnya berdebaran seperti mau meledak ditatap oleh Reddish dengan mata merahnya yang menyala terang, seperti hendak membunuhnya.

“Tak bermaksud buruk? Lalu apa, Candy? Tak perlu berbelit-belit!” sentaknya yang membuat Candy berkali-kali hampir terloncat saking terkejutnya.

Candy menelan ludah. “It-itu. Itu adalah minuman untuk melembutkan hati,” jawabnya terbata.

Kening Reddish mengernyit menuntut penjelasan setelah mendengar nama minuman aneh yang makin membuatnya curiga.

“Aku berpikir … aku berpikir jika kau akan kesulitan mendekati perempuan klan biru itu jika dirimu terus menerus menampilkan dirimu yang galak itu.” Candy menjawab pelan meski kalimatnya lebih terdengar sebagai kalimat ejekan. Bibirnya terlipat, wajahnya penuh ekspresi penyesalan setelah mengeluarkan kalimatnya itu.

“Apa katamu?” Reddish menggeram untuk ke sekian kali, kali ini diiringi dengan ekspresi tersinggung karena ucapan bibinya tersebut.

“Kenapa kau begitu sombong seolah sangat tahu tentang diriku? Apa yang akan kulakukan, apa rencanaku pada perempuan itu adalah urusanku dan bukan urusanmu!” Dengan gerakan menyentak, Reddish melepaskan cengkeramannya di dagu Candy, membuat sang bibi terhuyung ke belakang.

Candy mengusap dagunya yang terasa nyeri dan memerah dengan sebelah tangannya.

“Kau dihukum. Semua aktivitas penelitianmu akan dibekukan selama satu minggu.” Reddish berucap tegas.

Candy menengadah dengan terperangah.

Ditutup? Satu minggu?

“Tap-tapi Reddish.”

“Kau meminumkan ramuan ilegal kepadaku, Candy. Kaupikir aku tak tahu?” tanyanya sembari menyembunyikan kedua tangannya di belakang tubuh dengan sikap menghardik, seperti seorang ayah yang sedang menasihati putrinya yang susah diatur.

Candy kehabisan kata-kata.

Ya, memang ramuan itu masihlah ilegal, belum diluncurkan secara resmi, tetapi tentu saja Candy sudah menjamin jika ramuan hasil penelitiannya itu aman dikonsumsi dan tak menimbulkan efek samping yang membahayakan. Namun, bagaimanalah menjelaskannya kepada Reddish agar anak laki-laki itu mengerti?

“Kau belum mengujikannya secara resmi, bukan? Bagaimana jika ternyata ramuan itu meracuniku? Maka, jika itu sampai terjadi, itu adalah salahmu. Aku tak bisa membelamu lagi di depan dewan warna walau kau adalah bibiku,” cercanya dengan kalimat pedas.

“Kau terlalu berlebihan, Reddish. Aku tak sejahat itu hingga memberikan minuman yang beracun kepadamu,” kilahnya dengan kepala menunduk, tak berani menantang kedua mata Reddish yang saat itu masih menyala marah kepadanya.

“Kau boleh keluar,” ucap Reddish kemudian dengan angkuh sembari membalikkan badan, menghadapkan tubuhnya pada jendela besar berwarna gelap yang saat itu membentangkan pemandangan kerlip warna-warni lentera rumah-rumah penduduk langit.

Candy mengambil napas panjang.

Crimson memasuki ruangan. Lelaki itu takut-takut untuk mendekat. Menatap dengan mencuri pandang ke arah Reddish dan Candy bergantian. Crimson melangkah pelan ke sisi Reddish yang saat itu berdiri memunggungi dirinya dan Candy dari arah pintu. Lelaki itu berdiri sembari menunduk, siap menerima perintah.

“Crimson, segel ruangan penelitian Candy selama seminggu. Dimulai saat ini juga.” Reddish berucap kejam dengan suaranya yang lantang. Seolah sedang meyakinkan Candy jika ucapannya tidaklah main-main. Reddish benar-benar mewujudkan perkataannya untuk menutup akses Candy ke ruang penelitian kesayangannya itu.

Lelaki tua itu mengangkat alis dan menengadah dengan ekspresi penuh tanya yang pekat di wajahnya.

Reddish mendengus, lalu mengeluarkan sesuatu dari saku celananya dan menyodorkannya ke hadapan Crimson. Crimson menerima benda berbentuk lingkaran seukuran telapak tangan itu dengan tangan gemetar.

Crimson menoleh ke arah Candy yang saat itu terlihat lelah dengan ekspresi kesal bukan main. Tapi seperti Crimson, perempuan itu tak punya kuasa apa-apa dan hanya mendengus lalu berjalan cepat keluar ruangan tanpa mau repot-repot menutup pintunya kembali.

Sesaat setelah menyaksikan Candy yang meninggalkan ruangan dengan terburu-buru itu, Crimson akhirnya menunduk lagi ketika menghadapkan wajahnya pada Reddish. “Ba-baik, Tuan, saya akan melaksanakannya sekarang juga.”

***

Crow, pemimpin klan hitam itu berdiri dengan ekspresi keruh. Di hadapannya berbaring dua makhluk warna yang saat ini tak sadarkan diri dan tak berdaya. Onyx dan makhluk klan ungu. Saat ini mereka berada di ruangan tersembunyi yang betul-betul tersembunyi, tak diketahui oleh siapa pun selain Onyx, Crow, dan satu pelayan klan hitam pengikut Crow yang setia.

“Sepertinya, masih membutuhkan beberapa hari lagi bagi Tuan Onyx untuk bisa sadarkan diri.” Sang pelayan berucap di belakang Crow.

Bagaimana pun, setelah kalah dari Reddish beberapa waktu lalu, Onyx telah kehilangan semua kekuatannya dan kini telah menjadi makhluk klan hitam yang hampir pudar warnanya. Namun, berkat kekuatan besar Crow di usianya yang telah mencapai ratusan tahun itu, kekuatan Crow mampu menopang tubuh Onyx hingga sekarang.

Onyx adalah anak kerabat istrinya yang begitu ia sayangi. Meski seringkali membangkang dan merepotkan, tetapi Crow tetaplah peduli pada lelaki muda itu. Apalagi anak itu tak pernah punya keinginan muluk-muluk dan hanya meminta satu hal yang sebenarnya tak cukup sulit tetapi ternyata memiliki risiko besar yang melibatkan negeri langit, yaitu keinginannya untuk mempersunting Azure, perempuan klan biru yang begitu Onyx cintai.

Crow mengembuskan napas panjangnya dengan ekspresi lelah.

Tidak ia sangka, ternyata mereka malahan masih di sini, berada pada tempat persembunyian dengan Onyx yang terluka parah, kehilangan kekuatan tubuhnya karena kadung ketahuan dan kalah oleh sang pemimpin negeri langit itu.

“Apakah kita tetap harus menjalankan rencana selanjutnya tanpa Onyx dan bersikap seperti pahlawan kesiangan dengan menghadirkan lelaki klan ungu itu untuk menggagalkan rencana pernikahan Reddish dan Azure?” Crow berucap lirih, seperti hendak berucap kepada dirinya sendiri, tetapi tatapannya yang tajam ke arah Onyx, disertai ekspresi campur aduk yang tak terlukiskan, seolah sedang meminta pendapat dari lelaki klan hitam yang kini tinggal menghitung waktu atas kematiannya itu.

Sang pelayan turut menatap dengan sedih ke arah Onyx. Lelaki itu meskipun kini tak lagi menampilkan kulit mukanya yang pucat, tetapi tetap saja dengan hilangnya kekuatan hitam dari tubuhnya, tubuhnya yang semula gagah itu tampak lesu.

Rencana awal mereka, saat Onyx berhasil menikah dengan Azure, mereka akan membangkitkan kembali lelaki klan ungu itu sebagai ganti pernikahan klan merah dan biru seperti yang digadang-gadang para koloni negeri langit sebelumnya. Namun, karena kini pernikahan Onyx dan Azure tak terlaksana, maka rencana kedua mereka adalah menggagalkan pernikahan Azure dan Reddish dengan menghadirkan lelaki klan ungu itu di kastil milik dewan warna, tepat di hari pernikahan keduanya.

“Lanjutkan … Crow.” Suara serak dengan batuk-batuk kering yang menyiksa itu mendadak terdengar dari arah Onyx.

Crow membelalak. Langkahnya tergesa mendekat saat dilihatnya Onyx memaksa diri untuk duduk dengan susah payah disertai napasnya yang tersengal-sengal.

“Onyx.” Lelaki tua itu meletakkan sebelah tangannya di punggung Onyx untuk membantu lelaki itu duduk.

Ekspresi Onyx tampak meringis sakit. “Lanjutkan rencanamu. Aku … aku akan menemui Azure setelah aku lebih baik dari ini,” ujarnya dengan suara kesakitan. Selesai kalimat itu diucapkannya, darah hitam mengucur dari mulutnya. Seakan ucapannya itu begitu menyiksa tenggorokan dan membuatnya berdarah.

“Kau terlalu memaksa diri. Rebahkan tubuhmu lagi.” Crow berkata ketus, tetapi meski begitu, ia membimbing Onyx untuk tertidur lagi dengan gerakan pelan, dibantu oleh pelayannya yang sedari tadi berdiri di sisi ranjang.

Lelaki tua itu tampak mengambil napas panjang, berusaha susah payah untuk menahan diri, agar tak meluapkan kekesalannya pada anak muda klan hitam yang tengah dimabuk asmara itu. Sebelah tangannya tampak mengusap jenggot hitamnya yang pekat, alisnya mengernyit ketika berkata kemudian,

“Baiklah. Semoga Reddish tak terpikir untuk mengejarmu sampai mencariku sebagai pemimpin klan hitam, karena aku yang akan memberikan kejutan padanya terlebih dahulu. Kejutan … yang menyakitkan.” Crow menyeringai dengan ekspresi murkanya yang mengerikan.

***

Sepertinya perempuan itu menangis.

Reddish berkata dalam hati saat melihat bagaimana bekas air mata itu masih mengalir di pipi Azure. Lelaki itu saat ini sedang berdiri di sisi ranjang. Mengawasi Azure yang sepertinya beberapa waktu lalu sempat terbangun, kembali ditimpa shock lantas kelelahan dan kembali tidur. Lebih dari itu, Reddish merasa lega saat melihat jika saat ini wajah Azure telah menampakkan rona wajahnya yang semula. Warna pucatnya telah sirna, berganti menjadi wajah perempuan birunya yang cantik seperti sebelumnya.

Tanpa sadar Reddish tersenyum tipis.

Bagaimana bisa perempuan dengan warna yang sangat berbeda ini terlihat begitu indah? Warna birunya yang sangat kontras dengan segala hal berwarna merah di ruangannya itu terasa sejuk di mata Reddish saat ini.

Mungkin karena pembawaan aura biru yang membawa kekuatan air di dalam tubuhnya? Ataukah lebih jauh dari itu, Reddish sesungguhnya telah terikat dengan perempuan ini tanpa ia sadari?

Ya. Apa pun itu, pertemuan Reddish dengan perempuan ini memanglah sudah menjadi takdir yang telah ditetapkan oleh semesta. Pasangan Reddish adalah perempuan klan biru, perempuan yang saat ini telah menempati ruang paling pribadi di kastilnya dan juga … di hatinya.

Azure terkejut mendapati dirinya kembali tertidur setelah tadi ia puas menangis. Kedua mata dengan bulu mata biru itu membuka tipis dengan dengusan napas sebal.

Ruangan ini tetaplah berwarna merah. Sungguh Azure berharap jika segala hal tak mengenakkan ini hanyalah mimpi. Namun ternyata, Azure masih berada di ruangan milik Reddish yang penuh dengan warna khasnya yang bercorak merah. Dia tidak sedang berada di dunia mimpi. Perempuan itu menampakkan wajahnya yang memberengut kesal, bibirnya tampak mengerucut dengan kedua tangannya yang mengepal, lantas memukul-mukul selimut tebal yang saat itu masih menutupi tubuhnya.

“Mimpi buruk, eh?” Reddish bertanya membuat Azure yang tak menyadari keberadaan lelaki itu seketika menoleh ke arahnya dan membelalak.

Azure melenting duduk, melempar tatapan sinis ke arah Reddish yang saat itu berdiri menjulang di hadapannya, di sisi ujung ranjang. Lelaki itu tampak memakai pakaian resmi dengan jubah merah yang membuat penampilannya semakin gagah.

Azure melengos. “Ya. Aku bermimpi buruk. Dan mimpi itu menjadi kenyataan saat ini,” ujarnya dengan nada menyindir.

Reddish tersenyum tipis. “Oh, ya? Kau seolah menyesali mimpi dan kenyataan yang kauhadapi saat ini, padahal tubuhmu begitu menikmati ranjangku yang empuk dan tak mau beranjak dari sana? hm?” Reddish bersedekap.

Azure tersentak, seketika ia bangkit dan melempar dirinya berdiri di sisi ranjang, menempel meja nakas, seolah hendak menjauhkan dirinya sejauh mungkin dari Reddish. Wajahnya tampak memerah. “Aku bukannya tak mau pergi dari ranjangmu, tetapi posisi itu adalah posisi paling aman yang memungkinkan aku berada jauh darimu,” kilahnya berusaha mencari alasan.

Reddish menyeringai. “Kenapa kau begitu enggan dan sok menolak tempat ini? Bukankah ini yang kau mau? Kau ingin bersama dengan lelaki klan merah, bukan? Kau ingin menyelamatkan negeri ini dengan menikahi lelaki klan merah? Apakah kau pura-pura pikun?” tanyanya dengan telak yang membuat Azure kian memiringkan kepala untuk menyembunyikan wajahnya.

“Kau ingin menikahi lelaki klan merah penipu itu, tapi kau juga begitu menginginkan Alan. Di saat-saat terakhir sebelum kau pingsan, kau bahkan menyebut-nyebut nama Alan seolah kau begitu memujanya—”

“Berhenti.” Azure menukas, kali ini kepalanya terangkat, menghadap Reddish yang … astaga … Azure menelan ludah, sempat terpaku sejenak saat melihat jika Reddish saat itu mengubah wujudnya ke bentuk tubuh Alan, laki-laki manusia yang tanpa hati telah mencuri perasaannya itu.

“Aku Alan. Kau ingat?” Reddish mengangkat bahunya, seolah menegaskan perubahan wujudnya, menggoda Azure yang sedang salah tingkah.

Azure menipiskan bibir dengan kesal. Tatapannya tampak membara. “Ya. Kau memang Alan dan kau juga penipu!”

Secepat kilat Reddish mengubah wujudnya kembali. Lelaki itu mengetatkan gerahamnya dengan ekspresi geram. Kakinya melangkah mendekati Azure yang kini tampak memalingkan wajah dengan tubuh gemetar.

“Dan kau, kau mudah sekali tertipu. Tidakkah kau mau berhati-hati untuk keselamatanmu? Kenapa kau begitu lemah menyangkut laki-laki? Tidakkah kauingin bersikap tegas dan lebih memilih menggunakan logikamu untuk berpikir?” hardiknya keras. Reddish mendesak Azure hingga tubuhnya kini hampir menempel ke tubuh Azure yang memeluk tubuhnya sendiri dengan posisi nyaris terduduk di meja nakas saking takutnya. Warna merah memendar semakin pekat dari tubuh Reddish.

Sebelah tangan Reddish bergerak, memegangi pucuk dagu Azure dan mendongakkannya, memaksa mereka untuk saling bertatapan.

“Bekerjasamalah dengan baik. Tidakkah mulutmu harus mengucapkan terima kasih karena aku berkali-kali menolongmu?” tegurnya dengan nada angkuh yang membuat Azure menampakkan wajah marah.

Di sisi tubuhnya, kedua tangan Azure diam-diam mengeluarkan warna birunya, bersiap menyerang.

“Kau tak ada bedanya dengan yang lain. Makhluk yang merasa paling kuat dan haus ucapan terima kasih.” Azure menipiskan bibirnya. Dadanya tampak naik turun menahan emosi.

Reddish menyipitkan mata. “Dan kau pun sama dengan para pendahulumu, selalu merasa bisa bersaing dan suka menusuk dari belakang,” sindirnya dengan sengaja menatap ke bawah, di mana Azure sedang menyembunyikan kedua tangannya yang telah memendarkan aura biru.

“Lepaskan aku!” Azure melempar kekuatannya hingga Reddish sedikit tersentak ke belakang.

Lelaki itu menatap bagian depan pakaiannya yang tergores warna biru di beberapa sisi, lantas kembali menatap Azure.

“Menghina keluargaku berarti menghina klan biru. Tidakkah kau sadar dengan ucapanmu itu, Reddish? Kau mengandalkan kekuatan dan takhtamu lalu menghancurkan koloniku. Kau tanpa tahu malu melibas kami padahal kau sekarang mengemis kerjasama dariku? Siapa sesungguhnya di sini yang tak bisa berpikir dengan logika?” Azure berucap lantang dengan tak menutup-nutupi ekspresinya yang terluka dan marah yang bercampur aduk jadi satu.

Reddish kembali memajukan langkah. “Ah, sepertinya ada yang membelokkan cerita sejarah demi menjaga nama baik keluarga?” tanyanya dengan kalimat yang berhasil membuat Azure terpaku sejenak dengan ekspresi tak mengerti.

“Kau pikir aku sedang mengarang cerita? Bahkan semua makhluk langit pun akan sama pahamnya jika menilik peristiwa yang terjadi di masa lampau di mana kolonimu berusaha menghabisi klan biru karena takut keluargamu turun takhta!” serunya dengan menggebu-gebu. Hati Azure terasa sakit saat Reddish menyebut-nyebut tentang pendahulunya, ayahnya.

Azure sungguh tahu bagaimana koloni mereka berusaha untuk bertahan hidup. Azure merasakan bagaimana nelangsanya ia dan koloninya yang saat ini hidup terpisah-pisah dan harus sembunyi-sembunyi agar tak dihabisi oleh koloni klan merah yang kejam.

Kedua mata Reddish menyipit. Benaknya terasa lelah dan ia sedang malas berkonfrontasi serta menjelaskan apa pun saat ini. Reddish tentu saja tahu bagaimana cerita sebenarnya tentang koloni klan biru yang berusaha merebut takhta klan merah yang masih berjaya pada waktu itu. Lelaki itu tahu semuanya, tetapi ayahnya, bersikeras agar cukuplah dengan mereka memukul mundur klan biru saja. Segala kisah memalukan dan penuh kepedihan tentang ayah Azure yang begitu tamak itu tak pernah muncul ke permukaan. Karena yang terlihat oleh makhluk langit pertama kali memanglah pemandangan ayah Reddish yang menyerang ayah Azure berkali-kali seolah tanpa alasan. Keduanya bertarung hari demi hari hingga perang warna itu pecah. Melewatkan alasan yang sebenarnya tentang mengapa ayah Reddish menyerang ayah Azure di masa lalu.

Ekspresi Reddish yang keruh itu disalahartikan oleh Azure sebagai ekspresi tak mampu berkata-kata. Reddish pastilah sedang merenungi kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat oleh klan merah pada klan biru masa dahulu.

“Kau tak bisa menyangkalnya.” Azure tersenyum tipis penuh kemenangan.

Reddish yang sedang bergumul dengan pikirannya sendiri itu kembali menatap Azure begitu mendengar kalimat perempuan itu padanya.

“Ya, sebagai klan terkuat, kami memang sudah seharusnya menyerang klan yang lemah dan tak berdaya seperti klanmu.” Reddish mengucapkan kalimatnya dengan lantang. Sengaja menggunakan kalimat tersebut untuk membuat Azure semakin kesal.

“Dan ketahuilah, Azure, jangan besar kepala dengan semua kebaikan yang kulakukan kepadamu karena statusmu saat ini adalah tawananku. Dan aku tak pernah sudi kastilku dikotori oleh tawanan yang sekarat.” Reddish berseru dengan ekspresinya yang mengeras. Kedua mata merahnya menyorot tajam pada kedalaman mata Azure yang saat itu kian membara oleh hinaan yang terang-terangan dilontarkan oleh Reddish.

“Tu-tuan Reddish.” Crimson menyapa canggung di ambang pintu ruangan. “Nona Sapphire telah siap. Dia menunggu Anda di ruang perjamuan,” sambungnya lagi dengan sikap menjura.

Reddish tak menyahut. Tanpa memberi kesempatan bagi Azure untuk mengomentari kalimatnya, lelaki itu seketika membalikkan badan dan berlalu meninggalkan ruang kamarnya, meninggalkan Azure yang saat itu mengernyitkan kening dalam saat mendengar nama Sapphire dari pelayan Reddish itu.

Sap-Sapphire? Perempuan klan biru? Ada makhluk klan biru selain dirinya yang ditawan di kastil merah ini?

Azure memasang ekspresi ngeri yang tak habis pikir dengan mengusapkan tangannya pada sebelah kepala. Ada rasa teriris di sudut hatinya saat mendengar ucapan Crimson itu yang membuat ekspresi getir tampak di wajahnya.

Astaga. Apakah selain keangkuhan, rasa percaya diri yang begitu tinggi serta ucapan-ucapannya yang terkenal ketus itu, ternyata … ternyata makhluk klan merah senang mengoleksi perempuan?

 

to be continued

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

6 Komentar

  1. Tks ya kak udh update.

  2. Makasih kakakuu dah update :lovelove

  3. Thanks updateannya kak :lovelove

  4. selinokt18 menulis:

    :lovelove :lovelove :lovelove

  5. Kebiasaan ih suudzon muluuu