Red Prince

The Red Prince | Part 2 : Dunia Manusia

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

red prince cover - CopyBlack Line Art Butterflies Woman Phone Wallpaper(15)

17 votes, average: 1.00 out of 1 (17 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Hujan mengguyur kota. Lebat menyapu-nyapukan derasnya pada apa saja yang beruntung tertimpa airnya yang sejuk. Suasana lengang di luar gedung. Bersenjang dengan ruangan-ruangan pertokoan, restoran, dan kafe yang ramai oleh pengunjung yang terus berdatangan meski untuk sekadar berteduh atau pun memang berniat menghabiskan waktu di tempat-tempat tersebut.

Perempuan berambut hitam lurus dengan tubuh tinggi itu berkacak pinggang menatap sekardus besar berisi pakaian yang masih harus ditatanya di gantungan-gantungan baju. Pekerjaan menjadi seorang pramuniaga mengharuskan ia menata tampilan barang-barang dagangan sebaik dan semenarik mungkin. Karena ini adalah akhir pekan, pekerjaannya menjadi ekstra sebab banyak sekali pengunjung yang datang membeli pakaian. Rak-rak di beberapa tempat terlihat berkurang banyak sehingga ia harus menambah lagi stok barang dagangan hingga penuh kembali dan memuaskan para pengunjung yang hendak memilih dan membeli.

Toko pakaian yang menjadi tempatnya bekerja ini adalah toserba dua lantai yang menjual beraneka macam pakaian mulai dari perlengkapan bayi baru lahir hingga pakaian orang dewasa. Letaknya begitu strategis karena berada di pusat kota serta terkenal menjadi toserba yang sangat lengkap dan memiliki banyak pelanggan dari berbagai kalangan serta kota.

Helaan napasnya terdengar. Sebelah tangannya terangkat dan pandangannya terarah ke jam di pergelangan tangan yang hampir menunjuk waktu pukul tujuh malam. Kedua matanya lalu memindai seisi toko yang sangat luas itu dan dengan lega ia menyimpulkan jika pengunjung yang datang mulai berkurang, tidak sepadat tadi.

Suara petir menyambar mengejutkannya kemudian. Kepalanya lalu menoleh ke arah jendela yang menampakkan betapa derasnya hujan kali ini. Kaca-kacanya menampakkan titik-titik air hampir di keseluruhan permukaannya.  Hujan betul-betul membasahi secara sempurna apa saja yang ada di luar ruangan.

Sepertinya, dewi air dan para makhluk langit tengah bersorak-sorai atas datangnya waktu penyemaian warna.

Perempuan itu lalu menatap sebelah telapak tangannya yang mulai menguarkan aura biru. Keningnya mengernyit. Telah setahun berlalu ia bersembunyi di dunia manusia dan baru kali inilah ia seolah tak bisa menahan diri untuk tak mengeluarkan aura tubuhnya. Hal itu hanya ada satu penyebab.

Hujan.

Oh, sungguh dirinya sudah lama sekali tak menebarkan warnanya di bawah hujan. Terbang bersama makhluk klan warna lainnya dan dengan suka cita menebar warnanya di permukaan bumi. Mungkin itu adalah naluri alami tubuhnya sebagai makhluk langit yang memang sudah sejak awal mula diajarkan untuk memiliki tugas menyemai warna. Mungkin juga karena ia terlalu lama menyembunyikan diri sehingga kekuatan biru yang seharusnya keluar dari tubuhnya berteriak ingin unjuk diri.

Untunglah selama ini ia bisa mengakali sedikit dengan pergi ke taman-taman bunga di mana terdapat air serta bunga-bunga berwarna biru yang bisa ia jadikan objek penebaran warnanya. Selain itu, saat putus asa dan begitu lelah setelah bekerja lembur sementara tubuhnya terasa sakit akibat terlalu lama tak mengeluarkan aura warna, ia biasanya berendam di bathtub di tempat tinggalnya, membiarkan tubuhnya tenggelam serta mengeluarkan warna biru dari tubuhnya di air tersebut dan membiarkannya terbuang begitu saja dalam sekali dua kali waktu.

Kilat menyalakan cahayanya membuat si perempuan melebarkan mata setelah beberapa waktu terlarut dalam lamunan. Dengan penuh ingin, kedua kaki jenjangnya melangkah mendekati jendela dengan kedua tangan yang tanpa sadar menyentuh permukaan kacanya kemudian. Merasakan betapa dinginnya udara di luar saat itu.

Kepalanya lalu tertengadah menatap langit yang saat itu gulita. Matanya yang awas memindai ke sana kemari dan seketika itu juga keningnya mengernyit.

Apa yang terjadi?

Dia tak melihat satu pun titik atau kelebatan makhluk langit yang terbang di angkasa. Dia tadi membayangkan jika saat melihat melalui jendela ini, hatinya akan berdebar oleh perasaan rindu yang kuat karena begitu ingin bergabung dengan makhluk langit lainnya dalam menunaikan tugas. Namun, yang terasa di hatinya saat ini adalah perasaan terkejut karena yang ia tatap hanyalah kegelapan. Kegelapan dengan hujan yang begitu kosong seolah keberadaan klan warna telah musnah dan tak pernah meninggalkan jejaknya.

Saat pikirannya menduga-duga tentang apa yang terjadi, suara sapaan dari arah belakang tubuh sekaligus tepukan di bahu membuat perempuan itu terkejut bukan main.

“Carissa? Apa yang kaulakukan di sini?” Salah seorang rekan pramuniaganya menatap ke wajah perempuan itu yang pucat, lalu turut memandangi ke arah luar jendela seperti yang perempuan tadi lakukan dan keningnya mengerut, mengira jika temannya itu sedang kebingungan, bagaimana jika waktu pulang sudah tiba nanti sementara hujan masih lebat?

Ditanya mendadak seperti itu, Carissa seketika memandangi tangannya dan mengembuskan napas lega. Untunglah ia tidak lupa menyembunyikan aura biru yang tadi sempat menguar dari telapak tangannya.

Di dunia manusia, perempuan klan biru itu menyamar menjadi perempuan dengan bola mata berwarna cokelat muda dengan nama Carissa. Perempuan yang mengaku datang dari kota yang cukup jauh dan singgah ke tempat ini untuk mengadu nasib.

Carissa kemudian tersenyum. “Tidak ada apa-apa, aku hanya tidak menyangka jika hujan pada awal musim penghujan ini begitu derasnya,” jawabnya dengan kembali menatap jendela.

Rekannya itu melakukan hal yang sama, memandangi jendela dan mengangguk-angguk. “Benar. Kemarau pergi lebih cepat dan musim penghujan seolah tak sabar untuk kembali datang,” ucapnya sembari menoleh ke arah Carissa. “Kau tak usah khawatir, kita bisa pulang bersama-sama nanti. Aku menyimpan payung besar di lokerku. Kita bisa memakainya bersama-sama,” tawarnya dengan tersenyum.

Carissa membalas tawaran itu dengan senyum tipis. “Terima kasih, Flavia.”

“Ya, bukan masalah,” jawabnya ringan sambil lalu. “Apakah kau sudah selesai? Atau belum?” Flavia bertanya lagi, menoleh ke sembarang arah, melihat-lihat rak pakaian lalu kardus berisi pakaian yang sepertinya masih belum tersentuh.

Carissa yang baru teringat jika ia tadi berada di sini adalah hendak melakukan tugasnya untuk menata pakaian, langsung membelalak dan terburu-buru mendekati kardus yang tadi ia bawa dengan hand truck, berdiri di belakangnya dengan sikap tangan berada pada pegangannya, siap mendorong kembali hand truck itu.

“Aku belum selesai.” Carissa memperlihatkan wajah penuh ekspresi meminta maaf dan menyesal karena justru sibuk dengan kegiatannya sendiri dan melupakan pekerjaannya.

Flavia terkekeh. “Aku tahu. Ayo kubantu.” Tanpa menunggu tanggapan dari Carissa, Flavia lalu melangkah ke samping perempuan itu dan mulai mendorong hand truck di tangannya sehingga mau tak mau Carissa pun turut melangkah.

Mereka berdua berhenti pada beberapa rak pakaian, membentangkan hanger lalu memajangnya dengan tatanan rapi. Menghabiskan waktu bekerja mereka secepat mungkin.

Selama waktu itu, yang tampak di mata Flavia adalah Carissa yang muram. Temannya itu memang memiliki watak tak banyak bicara dan cenderung cuek terhadap keadaan di sekitar yang sekiranya tak membutuhkan kehadirannya. Namun saat ini tidak begitu. Carissa memang diam seperti biasanya, tetapi wajahnya menyiratkan sesuatu hal tak terkatakan yang begitu memenuhi kepala.

Flavia begitu ingin bertanya, tetapi seperti kesempatan-kesempatan sebelumnya, kebaikan hati dan ketulusannya terhadap Carissa tak pernah ditanggapi dengan sepenuh hati. Carissa hanya akan berkata bahwa ia lelah dan membutuhkan banyak waktu beristirahat.

Flavia menghela napas panjang. Mencoba tak terlalu memusingkan keadaan Carissa pada saat itu.

***

Lelaki bermata merah dengan rambutnya yang berwarna senada itu tengah duduk dengan ekspresi tubuh penuh lelah. Ini adalah waktu satu tahun setelah padamnya cahaya pelangi dan ia belum mendapatkan apa-apa. Entah bagaimana sebabnya, klan biru yang pada mulanya masih bisa diketahui keberadaannya di tengah-tengah negeri langit itu mendadak musnah. Para pencari yang berpencar turun ke dunia manusia pun sama saja. Klan biru mendadak habis dalam sekejap dan itu menimbulkan pertanyaan berbagai pihak.

Ini aneh.

Dalam ramalan yang terbaca dari buku-buku di perpustakaan negeri langit, dunia langit masihlah akan mencapai kejayaan ribuan tahun lagi. Musnahnya satu warna, apalagi itu adalah warna utama adalah pertanda buruk. Negeri langit akan tiba pada masa kehancuran. Langit akan runtuh dan klan warna telah sampai pada masa penghabisan.

Tetapi ini tidak. Klan biru sangat sulit ditemukan, seakan menandakan diri bahwa mereka telah tiada, sementara kehidupan negeri langit masih berlangsung, walau langit masih terbentang kelabu dengan lengkungan pelanginya yang tak lagi menyala.

Sungguh sial!

Reddish mendengus putus asa. Kenapa pula harus klan ungu yang hilang? Ini sama dengan memperpanjang persoalan. Seolah persoalan pelik ayahnya dan klan biru beberapa waktu lalu itu berestafet dan kini menjadi gilirannya. Masih dengan klan yang sama. Ini seperti hendak pergi ke suatu tempat yang tak diketahui di mana letak dan jaraknya, lalu masih diminta untuk menemukan orang di sana, masih ditambah lagi dengan persoalan pernikahan yang harus terjadi dan menghadirkan seorang bayi berklan turunan yang entah pula akan berhasil atau tidak.

Sialnya lagi, semua itu menjadi perannya saat ini ketika ia baru saja terpilih menjadi pemimpin klan merah sekaligus memimpin negeri langit.

Klan ungu telah hilang. Dan satu-satunya cara untuk membangkitkannya adalah dengan menemukan perempuan klan biru dan menikahinya.

Reddish menampakkan wajahnya yang berkerut penuh kegetiran. Pelangi semesta tak boleh terlalu lama padam. Ia harus kembali bergerak.

Suara seseorang yang meminta izin masuk membuyarkan Reddish dari lamunan. Lelaki itu berkata pelan memberi izin, lalu seolah tergesa, orang tersebut bergegas menyibak pintu merah ruangan itu dan tampaklah Crimson.

“Bagaimana? Apakah ada hasil?” Reddish memajukan tubuh, menumpukan lengan pada meja di hadapannya. Bibirnya terlihat menyunggingkan senyum penuh ironi, seolah tahu jika anak buahnya itu tak berhasil menjalankan tugasnya. Lagi.

“Saya telah melaksanakan perintah. Semua klan warna telah mengerahkan kekuatan mereka untuk menemukan keberadaan satu orang saja dari klan biru. Mereka pergi ke segala penjuru, bahkan menjajah ke dunia manusia, ke semua benua, tetapi tetap saja ….” Suara Crimson menggebu-gebu pada awalnya, tetapi saat tiba pada informasi penting itu, mulutnya seolah bisu sehingga kalimatnya terputus.

Reddish sangat tahu. Bahkan tanpa mereka dengan susah payah mencari ke segala penjuru, ia tahu jika perempuan klan biru itu belum bisa ditemukan. Kutukan sekaligus kelebihan yang dimilikinya membuat lelaki itu sebenarnya mampu mencari seorang diri, tetapi, para klan warna yang lain, terlebih dewan warna yang hobi sekali mengeyel, meminta Reddish agar mengerahkan semua pasukan klan warna untuk melakukan pencarian agar segera membuahkan hasil.

Lelaki itu memejam sejenak dan menghela napas lelah, kepalanya tertoleh ke arah jendela kaca besar yang memperlihatkan bentangan pemandangan awan beserta rumah-rumah warganya yang berwarna-warni, seolah dengan begitu ia bisa melegakan perasaan serta pikirannya yang kalut karena kedatangan Crimson dan kabar buruknya yang tiada habis.

Mereka para penghuni dunia langit memiliki ciri khas yang seharusnya begitu memudahkan dalam pencarian. Jika dilihat dari ciri fisiknya, klan warna memiliki warna rambut dan pupil mata sesuai asal warnanya, pun dengan pakaian yang mereka kenakan. Seperti Reddish dari klan merah yang memiliki rambut berwarna merah dan pupil mata merah cerah. Hal itu masih ditambah dengan pakaian yang membungkus tubuh tingginya dengan warna merah gelap, membuatnya tampak seram dengan aura merah yang selalu memancar dari tubuh manakala ia tengah menunjukkan emosinya.

Seharusnya semudah itu saat mereka hendak menemukan perempuan klan biru. Karena mereka hanya harus menemukan perempuan berambut dan bermata biru yang khas sebagai cirinya. Namun sayangnya, kadangkala para penghuni langit itu suka bertualang dan turun ke dunia manusia lantas menyaru menyerupai manusia biasa serta menutup rapat tubuhnya dari menguarkan aura asap biru dari dalam tubuh mereka. Terlebih kehidupan klan biru yang memang terpecah belah akibat perang warna beberapa waktu lalu. Ada yang hidup sembunyi-sembunyi di negeri langit dan ada pula yang memutuskan pergi ke dunia manusia dan hidup selamanya di sana.

“Kami belum menemukan apa pun,” lanjutnya sembari menghela napas. “Dan juga ….” Crimson berkata ragu kemudian dengan menelan ludah.

Reddish yang saat itu memandang ke luar jendela dan larut dalam lamunannya, seketika menatap tajam Crimson dengan pikirannya yang menduga-duga. “Dan apa, Crimson? Katakan!” perintahnya dengan nada menuntut yang tidak sabar.

Crimson sedikit terkesiap. “Dewan warna … mulai kehabisan kesabaran dan berkata bahwa mereka akan memberhentikan Anda sementara sebagai pemimpin negeri langit jika pencarian klan biru tidak juga mendapatkan titik temu. Mereka bersikukuh bahwa sudah terlalu lama pelangi semesta padam dan jika harus menunggu lebih lama lagi, mereka tidak bisa menjamin bahwa negeri langit akan baik-baik saja,” jelasnya dengan berkali-kali berdeham karena sadar jika ucapannya itu, meskipun meniru para dewan warna yang tadi ditemuinya, adalah ucapan kurang ajar yang seyogianya tak terucap dari mulutnya. Namun, bagaimanalah ia bagai makan buah simalakama.

Reddish mengepalkan tangannya geram.

Berani-beraninya para orang tua itu meremehkannya!

Ekspresi lelaki itu berubah penuh amarah dengan kabut tipis berwarna merah yang mulai memendar dari tubuhnya, pertanda ia sedang berada dalam gejolak emosi yang tak bisa ditahan. Reddish memejam, mencoba mengontrol amarah yang siap meledak dari dirinya.

Crimson menunduk dalam. Tubuhnya panas dingin dengan keringat yang mengalir dari kepala, memacu jantungnya terpacu cepat, takut jika ia menjadi pelampiasan pemimpinnya itu lagi.

“Di mana mereka sekarang?” Reddish berdiri dari kursinya.

“Eh, para dewan warna sedang berada di aula. Masih dengan perdebatan sengit mereka tentang bagaimana menemukan klan biru yang belum juga berhasil.” Crimson berjingkat saat perkataannya itu ditanggapi dengan daun pintu yang berderit, Reddish secepat kilat meninggalkan ruangan tanpa memberi kesempatan kepada Crimson untuk menyelesaikan kalimatnya.

***

“Ini sudah setahun dan Reddish masih santai-santai saja. Apakah ia tidak merasa memikul beban tanggung jawab itu? Dia sekarang adalah satu-satunya yang kita harapkan karena kebetulan warna yang menghilang adalah warna ungu. Warna campuran dari klan merah dan juga klan biru.” Jade, dewan warna dari klan hitam itu berkata dengan ekspresi tak suka saat menyebut tentang Reddish.

Usianya yang lebih lama ratusan tahun dari Reddish tentu saja merasa terhina karena sebagai orang tua, dirinya harus menunduk patuh pada anak ingusan kemarin sore yang tentu saja usianya jauh lebih muda darinya. Dari segi keilmuan dan pengalaman, Reddish tentu saja tak ada apa-apanya dibanding mereka dewan warna.

“Mau bagaimana lagi? Reddish masih muda, pengalamannya belumlah banyak dan ia baru saja diangkat menjadi pemimpin negeri. Seandainya bisa, tentu aku akan lebih memilih Merlot yang lebih berpengalaman.” Alabaster, dewan warna dari klan putih menimpali dengan bersemangat.

“Aku bahkan berharap jika satu dari klan biru yang tersisa itu ternyata adalah laki-laki, sehingga kita tak memerlukan Reddish dan tinggal mencari kandidat perempuan klan merah yang bisa kita pasangkan dengannya.” Jade menambahkan lagi.

White dan Raven hanya mengembuskan napas lelah mendengar musyawarah yang lebih tepat disebut sebagai aksi menguatkan pendapat masing-masing untuk membenarkan pemikiran tentang menyingkirkan sejenak Reddish dari urusan negeri langit.

Sebenarnya, pemimpin negeri langit ditentukan berdasarkan besarnya kekuatan fisik dan kemampuan memimpin dalam hal intelektualitas dan ketangkasan. Dan seolah menjadi takdir turun temurun, tak memberi kesempatan kepada dua klan utama lainnya, klan merah dari generasi ke generasi selalu menjadi yang nomor satu di antara klan biru dan klan kuning. Terlebih dalam hal penampilan, klan merah terkenal dengan postur tubuhnya yang tinggi serta memiliki ketampanan dan kecantikan yang khas, sehingga tanpa diperintah untuk memilih pun, para warga klan warna lainnya terutama kaum perempuan, begitu menggilai laki-laki klan merah. Berharap jika beruntung, mereka bisa mendapatkan kesempatan langka untuk menikahi klan pemimpin itu meski harapannya sangat tipis.

Di samping kelebihannya yang istimewa, para bangsa klan merah terkenal dengan wataknya yang angkuh, kasar dan temperamental, baik kaum laki-laki maupun perempuannya, dan hal itulah yang membuat dewan warna begitu malas jika berhubungan dengan klan merah.

Keempat orang dewan warna itu mengembuskan napas panjang dengan pikiran masing-masing selama beberapa waktu sampai terdengar suara sapaan yang begitu familier dan membuat mereka semua membeku.

“Sepertinya … ada yang membutuhkan bantuan untuk memutuskan hasil musyawarah.” Reddish menyandarkan tubuhnya di alang pintu, kedua tangannya tersaku pada kantong celana dengan senyum membunuh yang terpancar dari mata merahnya yang menyala.

Semua mata terarah ke sumber suara dan mereka terlambat untuk terkejut karena saat ini, dengan aura tubuhnya yang memancar kuat berwarna merah dan mendominasi ruangan putih itu dengan angkuh, lelaki itu berjalan perlahan seakan mulai menghitung dengan puas, irama degup jantung para dewan warna yang kian cepat.

Lelaki itu lalu duduk di kursi paling ujung, tempat yang memang biasanya digunakan olehnya ketika melakukan pertemuan dengan dewan warna ini.

Para orang tua itu saling pandang dengan wajah-wajah gugup yang kentara sekali dari ekspresi mereka. Reddish menyeringai dan memasang gerak tubuh penuh teror dengan memajukan tubuhnya di meja, menyatukan jari-jemarinya di sana dan menyapukan pandangan ke keempat dewan warna itu tanpa terlewat.

“Apa lagi yang kalian tunggu?” Reddish mengeluarkan suara lagi ketika dilihatnya Jade, Alabaster, White, dan Raven hanya terdiam dan tak tahu harus menanggapi apa.

“Aku sudah ada di sini. Lebih baik jika kita berembuk bersama, bukan? Akan lebih efektif dan tak membuang-buang waktu bagiku, dan juga untuk kalian,” ujarnya perlahan dengan jari telunjuk teracung ke dirinya sendiri, lantas menunjuk acak ke tempat dewan warna itu duduk.

Hening.

Keheningan yang kian membuat aura merah Reddish semakin pekat karena ia begitu kuatnya menahan kemarahan.

White terlihat mengangkat kepala. Lelaki dengan usia paling muda di antara keempat dewan warna itu menelan ludah, sebelum pada akhirnya memberanikan diri untuk menyuarakan pendapatnya.

“Red-Reddish. Apa rencanamu selanjutnya setelah ini? Kami … kami tak bisa menjamin bahwa segala sesuatunya akan baik-baik saja jika terlalu lama negeri langit kehilangan sinar pelanginya,” ujarnya tergagap.

Reddish menyandarkan tubuhnya pada kursi. Kedua tangannya bersedekap dengan sikap santai yang bertolak belakang dengan aura merahnya yang masih menyala kuat.

“Kenapa kalian menjadi tidak sabaran seperti anak kecil?” Reddish bertanya dengan sebelah alisnya yang terangkat. “Apakah kalian sudah merasa menjadi yang paling tahu? Ataukah sebenarnya kalian ini tak punya kemampuan apa-apa dan hanya mengandalkan jabatan?” tanyanya dengan nada mencibir.

Lelaki itu kembali memajukan tubuhnya dan bertopang pada meja dengan kedua tangan. “Aku jadi curiga, sebenarnya, kalian ini hendak berusaha menghidupkan kembali cahaya pelangi dengan segala cara demi kelangsungan negeri langit, ataukah sebenarnya kalian hendak mencari keuntungan urusan sendiri dengan menggantiku sebagai pemimpin dengan orang lain atas nama kasus ini? Kalian benar-benar tak tahu, ya?-“

“Reddish.” Jade menyela dengan aksen suaranya yang berat.

Semua mata menatap lelaki klan hitam itu dengan saksama kemudian. “Jaga ucapanmu. Kami adalah dewan warna yang terikat sumpah dengan penguasa alam semesta untuk menjadi penyelesai masalah di negeri langit. Kamu tentu mengetahui hal itu dengan sangat baik. Kami bahkan telah mengabdikan diri menjadi dewan warna sejak sebelum kelahiranmu. Bagaimana bisa kau berpikir kami sedang dalam usaha untuk mencari penggantimu?”

Kembali Reddish menyeringai. “Nah, camkan kata-katamu sendiri dengan baik, Jade.” Lelaki itu menyapu pandang ke semua dewan warna di depannya. “Sumpahmu dan segala sesuatu tentang kehidupanmu sebagai dewan warna adalah urusanmu. Aku tak peduli. Yang aku ingin kalian tahu, bahwa semesta memilih pemimpin negeri langit bukanlah acak atau sembarang pilih dengan tanpa alasan. Dengan tanpa tujuan. Kami, pemimpin negeri langit, ditakdirkan untuk memimpin karena kamilah yang akan menjadi penolong bagi bencana yang akan terjadi di negeri langit selanjutnya. Kalian tidak tahu, bukan? Bahwa sebagai pemimpin, kami memang membawa kekuatan yang sangat besar, pengaruh yang tak bisa ditolak oleh semua klan warna, tetapi, kalian harus tahu, bahwa kami, aku, pemimpin saat ini, dan ayahku, serta pemimpin-pemimpin sebelumnya dilahirkan dengan kutukan menyiksa yang juga begitu besar.” Lelaki itu menghentikan kalimatnya sejenak, mengambil napas dengan ekspresi terpukul.

Kutukan?

Keempat dewan warna itu tertegun mendengar ucapan panjang lebar Reddish yang tak disangka akan keluar dari mulutnya.

“Sebelum warna ungu pelangi itu padam sejujurnya aku sudah tahu bahwa akan ada hal besar yang melibatkanku di kemudian hari. Kekhawatiran-kekhawatiran itu telah tertanam dalam dadaku.” Nada suara Reddish berubah serak.

“Kalian dengar baik-baik.” Tatapan Reddish kembali menajam. “Aku akan menemukan pasanganku dengan caraku sendiri. Langkah yang kalian tempuh dengan menyebar seluruh anggota klan warna ke segala penjuru itu sungguh tak berguna dan tak menyelesaikan masalah. Mereka tak memiliki apa-apa untuk menemukan klan biru itu. Mereka tak memiliki apa yang kumiliki,” pungkas Reddish dengan kalimat penuh teka-teki yang membuat dewan warna itu membisu ditelan ketidaktahuan pekat yang membuat mereka terlihat begitu bodoh karena telah meremehkan seorang Reddish.

Reddish bangkit dari duduknya dan berjalan menuju pintu. Matanya terpejam sejenak saat langkah telah membawanya membelakangi dewan warna dalam ruangan.

Lelaki itu menghela napas dengan berat. Sesungguhnya ia hanya sedang menggertak. Reddish saat ini bertaruh pada ucapannya sendiri, apakah ia akan berhasil atau tidak jika ia menggunakan langkah terakhir untuk menemukan klan biru yang seakan musnah ditelan bumi itu.

***

Hari beranjak kian malam. Langit kelabu itu masih tak bosan-bosannya bertengger di cakrawala. Reddish menelan minuman berwarna cokelat bening itu dengan tangan terkepal. Lidahnya sedang tak bisa diajak bekerjasama untuk menikmati minuman yang sebetulnya terasa lezat dan menyegarkan tenggorokan itu. Pikirannya yang tengah kalut membuat apa saja yang dilakukan dan dikonsumsinya terasa hambar. Reddish seperti sedang menanti sesuatu yang sebetulnya tak pernah dinantinya.

Perempuan klan biru dan menikah.

Menikah?

Heh, lelaki itu bahkan tak mengenal perempuan selain ibunya sendiri yang telah lama wafat saat ia berusia empat tahun. Di lingkungan tempat tinggalnya di area klan merah pun ia jarang berpapasan dengan perempuan. Semua pelayan dan pasukannya semuanya adalah laki-laki.

Tak terbayang akan bagaimana kehidupannya nanti saat tiba-tiba saja ia harus tinggal  dan hidup dengan perempuan dari klan lain serta hidup bersama layaknya keluarga.

“Kau yakin akan melepas lensa itu? Apakah kau masih ingat gambaran menggunakan mata aslimu dan bagaimana rasanya?” Ecru meneguk dengan penuh nikmat minuman yang sama dengan Reddish, seolah sengaja memamerkan jika ia beruntung karena saat ini tidak sedang menerima kutukan itu. Terlebih karena memang Ecru adalah makhluk periang. Satu-satunya rekan Reddish dari pemimpin klan kuning saat ini yang bisa diajaknya berbicara dari hati ke hati tanpa penghalang, diberi keleluasaan untuk mengetahui barang sekecil apa pun rahasia Reddish yang tak siapa pun tahu.

“Tentu saja aku ingat.” Reddish menjawab dengan ekspresi pedih. “Waktu itu adalah saat kematian ibuku. Aku menangis terlalu keras dan membiarkan alat bantu itu terlepas dari mataku. Kau tahu, bukan? Aku sempat bersumpah pada diriku sendiri jika saat itu adalah saat terakhir di mana aku akan melepas lensa itu, tidak akan pernah lagi di masa depan nanti. Tapi ….” Reddish menghela napas perlahan.

“Tapi kali ini kau harus melakukannya, Kawan.” Ecru meletakkan gelas di meja dan memiringkan tubuhnya, memfokuskan perhatian seluruhnya kepada Reddish, menandakan bahwa ucapannya adalah suatu hal yang penting dan bukan candaan. “Aku mengerti dirimu, tapi sungguh aku berharap jika selain sebagai kutukan, matamu yang ajaib itu bisa menjadi penolongmu. Kau pasti ingin agar urusan pelangi semesta ini segera usai, bukan?”

Reddish mendengus. Ia hendak menikmati waktu sorenya ini dengan bersantai untuk melepas penat setelah sehari penuh berkutat dengan urusan-urusan negeri langit, tapi alih-alih mendapat ketenangan, ia justru makin merasa tertekan karena sekarang sahabatnya sendiri turut memerintah-merintahnya seperti para dewan warna itu.

Reddish melenting berdiri.

“Hei. Kau mau ke mana?” Ecru mengangkat alis.

“Aku ingin pergi ke dunia manusia. Kata makhluk-makhluk langit yang sudah seringkali bertandang ke sana, minuman sejenis itu di dunia manusia lebih bisa menyembuhkan stres daripada di tempat kita. Aku ingin mencobanya.” Reddish mengedikkan dagu ke arah meja di mana minuman berwarna cokelat bening miliknya tadi belum habis setengahnya.

Lelaki itu seketika terbang meninggalkan kabut merah yang pekat melingkupi Ecru. Membuat lelaki klan kuning itu menggeleng tak mengerti dan mau tak mau menyusul Reddish yang terlebih dahulu terbang.

Minuman yang bisa menyembuhkan stres?

Ecru mengulang-ulang kata-kata Reddish itu dalam hati, hingga rasa penasaran yang sama turut mengembang di dadanya. Lelaki itu memandang ke arah Reddish yang telah jauh lalu berseru. “Hei, Reddish. Tunggu aku!”

 

~Cerita ini tersedia juga di aplikasi Wattpad dengan judul yang sama~

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

 

KONTEN PREMIUM PSA


 

Semua E-book bisa dibaca OFFLINE via Google Playbook juga memiliki tambahan parts bonus khusus yang tidak diterbitkan di web. Support web dan Authors PSA dengan membeli E-book resmi hanya di Google Play. Silakan tap/klik cover E-book di bawah ini.

Download dan install PSA App terbaru di Google PlayWelcome To PSAFolow instagram PSA di @projectsairaakira

Baca Novel Bagus Gratis Sampai Tamat – Project Sairaakira

15 Komentar

  1. famelovenda menulis:

    Dua dunia !! Dunia langit plus bumi!!

    Akhirnyaaa, udah ada gambaran jodohnya Mas Reddish, tinggal nunggu mereka ketrmu aja. :lovelove

    Apakah mereka akan ketemu saat Mas Reddish belanja baju? Turun ke bumi unttuk beli baju! Ayo, diborong, Mas, munpung lagi banyak diskon. Beli 1 gratis 3 plus bonus hati pramuniaganya juga :ohyeaaaaaaaaah! :ohyeaaaaaaaaah! :ohyeaaaaaaaaah!

    1. Waitt ini diskon apa obral sich :DUKDUKDUK :DUKDUKDUK

    2. Bintang Timur menulis:

      wkwkwkwk

  2. Woiii..woiii bang jenis minuman apa itu ??? Mau dong biar ga ikutan stress :ohyeaaaaaaaaah! :ohyeaaaaaaaaah! :ohyeaaaaaaaaah!

    Btw kostum kalo du istana langit gmn ya??? Apa yg berjubah2 gitu kah :backstab :backstab

    Satu lagi mahluk langit blm mengenal softlense sama pewarna rambut ya??
    Bolehlah red prince nanti ane kenalin tu sosftlense sm pewarna rambut maunya yg merk apa?? :muach :muach

    Yook lanjut.. :kudukungkau :kudukungkau

    1. Bintang Timur menulis:

      ini Reddish pakai softlense :backstab

  3. selinokt18 menulis:

    Semangat mas Reddish dalam proses menemukan mbak Carissa. Terima kasih updatenya ka Bin

    1. Bintang Timur menulis:

      semangat 45 :backstab

  4. Indah Narty menulis:

    Seru nih :lovelove

    1. Bintang Timur menulis:

      terima kasih dah baca ya :lovelove

  5. Roronoa ZoroNa menulis:

    Mas Reddish, jangan lupa sangu uang buat beli mimik~ Duh, jadi penasaran, mimik apa yg bikin ilang stress, kolak pisang kah? atau dawet ayu? Ehehe :lovelove :lovelove :lovelove

  6. Dian Sarah Wati menulis:

    Red mau minum2..jan byk2 tar mabok

  7. Punya mata kayak rasenggan gitu mungkin ya.
    Terus minumannya tuh namanya jamu tolak sutres😀😀😀

  8. Ya bertemulah kalian berdua dibumi :lovelove

  9. @siirenuddin menulis:

    Ternyata softlen sdh ada d dunia langit tp sejak kapan