Red Prince

The Red Prince | Part 8 : Dua Perempuan

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

red prince cover - CopyBlack Line Art Butterflies Woman Phone Wallpaper(15)

11 votes, average: 1.00 out of 1 (11 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Wajah perempuan itu … perempuan yang ia tolong beberapa malam lalu dalam kondisi terluka itu … ternyata adalah perempuan klan biru!

Azure berdiri, tubuhnya kemudian membungkuk, menyentuh sekali lagi kelopak bunga yang kini tampak makin cerah setelah sentuhan tangannya yang menguarkan aura biru beberapa waktu lalu.

Sepertinya malam ini cukup.

Perempuan itu menghela napas panjang dan seketika menoleh saat merasa dirinya sedang diamati. Spontan kedua tangan disembunyikannya di belakang tubuh. Azure membelalak melihat sosok laki-laki yang pada beberapa malam lalu itu menolongnya. Tatapannya terpaku beberapa saat, lalu perempuan itu memalingkan wajah.

Sungguh. Bukan karena ia tak mau bersitatap dengan lelaki itu, tetapi karena ia tak sanggup berlama-lama menatap wajah indah nan tampan dengan aura kharismatik yang membuat dadanya terasa berdebar. Lagipula, bukankah lelaki itu tak suka bertemu dengannya? Sepertinya, perbuatannya yang pulang ke dalam flat dalam keadaan mabuk itu berhasil membuat laki-laki itu risih.

Tubuh Reddish masih terpaku di tempat, begitu juga dengan pandangannya yang seakan tak mau melepaskan pemandangan cantik yang kini tersaji secara dekat di hadapannya. Ia seperti sedang melihat bidadari dengan pesona warna birunya di tubuh dan sekeliling perempuan itu yang saat ini seolah menyihirnya dengan aura ketenangan hingga perlahan perasaannya terasa tenteram melihat itu semua.

“Aku menemukanmu … lagi.” Reddish berkata pelan dengan perasaan yang tak terdefinisi saat akhirnya berhasil menggerakkan mulutnya untuk berucap.

Azure seketika mengarahkan pandangannya ke lelaki itu saat mendengar suaranya dengan aksen serak. Perempuan itu menipiskan bibir. Mengartikan ucapannya itu sebagai sebuah umpatan kesal karena kesialannya bertemu dengan dirinya lagi.

“Terima kasih. Maaf aku tak sempat mengatakannya padamu waktu itu. Mungkin ini terlambat tapi … semoga tak mengurangi maknanya. Terima kasih karena pertolonganmu.” Azure berkata dengan berkali-kali mengembuskan napasnya melalui mulut, mengusir rasa tak nyaman yang kian membuat tangannya dingin.

Reddish bergeming. Tatapannya tak terbaca saat memandangi bagaimana Azure terlihat melengos di bawah pandangan matanya. Laki-laki itu menghela napas.

“Bagaimana tubuhmu? Apakah sekarang sudah membaik?” Reddish memilih untuk mengabaikan ucapan terima kasih Azure dan menanyakan kabar perempuan itu.

“Ya. Aku baik-baik saja sejak waktu itu.” Azure tersenyum tipis. Tubuhnya yang menegang kaku perlahan melemas saat melihat jika lelaki itu sedang dalam suasana tenang.

“Aku pergi dulu.” Azure memutuskan cepat, membalikkan badan hendak menyudahi percakapan canggung itu.

“Tunggu.” Reddish tiba-tiba melangkah, mendekati perempuan itu yang kini berdiri membelakanginya.

Laki-laki itu berdiri di samping Azure. Menyakukan kedua tangannya di saku celana. “Kau tak ingin tahu namaku? Apakah waktu telah terlalu malam untukmu bagi kita berbincang singkat?” tanyanya menatap lurus ke depan, membiarkan Azure kali ini menoleh dan memandangi wajahnya saat mendengar ucapan penuh percaya diri dari lelaki itu.

“Aku tak mengganggumu? Kau bilang … kau berharap bahwa kita sebaiknya tak bertemu lagi, bukan?” Azure bertanya dengan ekspresi mencela malu-malu.

“Aku berubah pikiran,” jawabnya singkat dengan nada angkuh.

Azure menghela napas lalu mengangguk. Perempuan itu lalu melangkah pelan diiringi Reddish yang kini berjalan bersisian dengannya.

“Siapa namamu?” Azure bertanya dengan canggung kemudian.

Reddish tersenyum tipis. “Alan. Panggil saja aku Alan.”

“Alan.” Tanpa sadar Azure merapalkan nama itu, seolah sedang menanamkan betul-betul ingatan tentang nama itu di benaknya.

Reddish melirik sekilas. Senyumnya tampak tipis menghiasi bibir.

Sepertinya, daripada membawa paksa perempuan itu ke negeri langit lalu mengurungnya di ruang tahanan, Reddish kali ini lebih memilih cara halus seperti ini dengan melakukan pendekatan ala lelaki kepada perempuan. Agaknya akan menyenangkan menikmati saat-saat di mana perempuan itu pasrah dan tertarik pada dirinya. Dan lagi, tak tahu mengapa, ia merasakan dorongan kuat untuk menjaga perempuan itu sebaik-baiknya hingga nanti ia berhasil membawanya ke negeri langit.

Dia tak ingin perempuan itu terluka.

Reddish berbelok kemudian, memilih jalan terdekat untuk keluar dari area taman itu. Azure memilih diam. Tak memprotes saat kemungkinan lelaki bernama Alan itu mengajaknya untuk pergi ke tempat lain sebagai lokasi mereka menghabiskan sisa malam.

Azure mengernyitkan kening. Pikirannya bertualang sendiri pada ingatan saat ia bertemu dengan lelaki klan merah pada waktu itu. Apakah terlalu egois jika dirinya memilih berada di dunia manusia saja dan tak pernah kembali ke negeri langit? Sebab, entah seperti apa keadaan negeri di atas awan itu, ia merasakan firasat tak baik jika harus menerima pernikahannya dengan lelaki itu. Menikah dengan lelaki klan merah lain selain pemimpin negeri langit?

Azure merasa sudah terlalu lelah untuk berkubang lagi pada persoalan yang sama. Ingin rasanya ia hidup seperti ini saja. Menikmati perannya sebagai manusia.

Bukankah perempuan klan biru tidak hanya dirinya seorang? Jadi ….

“Kau melamun.” Reddish menoleh. Wajahnya yang tampan itu tampak bercahaya saat berada di bawah neon box sebuah kafe kecil di salah satu sudut kota.

Azure berdeham salah tingkah dan memalingkan wajah sesaat. Perempuan itu kemudian menengadah untuk membaca papan petunjuk tempat, melihat sedang di mana mereka saat ini.

Reddish memimpin langkah, seolah yakin benar jika Azure mau mengikutinya. Sejenak perempuan itu menatap punggung Reddish yang saat ini berjalan mendahuluinya hingga telah membuka pintu kafe dan masuk ke dalam.

Azure mau tak mau melangkah juga. Diikutinya ke mana lelaki itu memutuskan untuk duduk.

Reddish memilih meja di lokasi tengah di mana terdapat sebuah meja bundar dan dua kursi yang saling berhadapan. Lelaki itu mengempaskan tubuh di salah satu kursinya, disusul Azure yang duduk di seberangnya.

Reddish berbincang singkat pada pelayan yang datang mendekat dan duduk bersedekap dengan kedua tangannya di meja lantas memusatkan perhatiannya secara penuh ke arah Azure. Hati Reddish menghangaat tanpa sebab saat melihat warna biru yang pada masa sebelumnya begitu gencar ia cari.

Apakah pikirannya yang mendadak tak bisa lepas dari perempuan ini sebenarnya adalah sebuah petunjuk? Apakah tubuhnya diam-diam telah menandai dan menemukan perempuan bernama Carissa di dunia manusia ini sebagai pasangannya?

“Apa yang kaulakukan malam-malam di taman bunga itu?” Reddish memulai percakapan.

Azure yang semula menoleh dan memilih memandangi jalanan yang mulai lengang itu menatap Reddish kemudian.

“Aku … aku suka bunga. Aku … aku tak tahu bagaimana mulanya sehingga saat aku pulang bekerja, aku merasa harus mengucapkan selamat tidur pada bunga-bunga itu sehingga aku bisa tidur nyenyak.” Azure memikirkan jawaban cepat-cepat dengan alasan yang kira-kira bisa diterima oleh lelaki itu.

Reddish tersenyum kecil. Tubuh perempuan di depannya yang didominasi warna biru itu kini menampakkan wajahnya yang bersemu merah.

“Kau sendiri … apa yang kaulakukan? Mengapa kau ada di sekitar lokasi ini? Apakah kau tinggal di area ini?” Azure turut bertanya dan mengernyitkan dahi dengan ekspresi berpikir lalu memajukan tubuhnya setelah menemukan kesimpulannya sendiri. “Kau … apakah tempat tinggalmu adalah tempat di mana kau meletakkanku waktu itu? Ah, ya, maaf aku lupa. Tentu saja itu adalah tempat tinggalmu.” Azure terkekeh kecil seolah begitu bodohnya dia telah melupakan hal tersebut.

Seorang pelayan datang dengan dua minuman kemudian. Pelayan itu tersenyum ramah pada Reddish dan Azure, meletakkan minuman ke meja dan meninggalkan tempat setelah mengucapkan basa-basi selamat menikmati.

“Aku tak tinggal di sana,” sangkal Reddish dengan senyuman tipis dan itu berhasil membuat Azure yang semula bermonolog dengan yakin dan sedang menyeruput cokelat panasnya itu mengangkat alis.

“Lalu?” Azure bertanya setelah meletakkan gelasnya kembali.

“Aku hanya sedang berkunjung kemari. Tempat tinggalku sangat jauh,” jawab Reddish penuh arti.

“Oh, ya?”

Reddish terkekeh riang dan turut menyeruput minuman pahit yang ada di depannya. “Kau percaya padaku? Orang yang baru dua kali kautemui ini?”

Lelaki itu memandangi Azure dengan sukacita. Entah bagaimana tidak ada kebencian yang saat ini dirasakannya ketika duduk berhadapan dengan perempuan klan biru itu. Tidak seperti dugaannya sebelumnya jika ia akan langsung melemparkan kekuatan merahnya dan bertarung singkat untuk kemudian meringkusnya serta membawa paksa ke negeri langit dalam suasana permusuhan.

“Kenapa tidak?” Azure mengangkat bahu. “Kau pun tak mengenalku sebelumnya tapi kau menolongku. Kau menolongku karena aku butuh ditolong. Tak ada perlakuan yang tak semestinya padahal jika ada niat jahat di hatimu, aku yang dalam kondisi lemah waktu itu pasti sudah habis di tanganmu, tapi kau tak melakukannya. Jadi menurutku … kau patut dipercaya. Setidaknya … sampai aku melihat jika kau ternyata tak bisa dipercaya lagi.” Azure menjabarkan jawabannya dengan lancar. Rasa canggung yang semula begitu melekat di hatinya itu perlahan memudar. Berganti dengan nuansa tenang di tengah dilema perasaannya yang begitu kalut saat ia memikirkan tentang tawaran pernikahan dengan lelaki klan merah.

Azure meneguk cokelatnya sembari melihat ke arah jalanan yang sesekali memperlihatkan kendaraan yang saling menyalip.

Benarkah saat ini ia sedang diburu oleh pemimpin klan merah itu? Lalu lelaki yang bernama Brick itulah yang melindunginya dari pengejaran?

Azure menghela napas lantas menatap sesekali ke arah Reddish yang ternyata tak malu-malu untuk menatapnya terang-terangan, membuat pipi perempuan itu memerah.

Sosok lelaki di depannya ini terlihat berbeda dari terakhir kali Azure melihat. Alan yang pertama kali Azure tahu adalah sosok lelaki galak nan angkuh dengan ucapannya yang menusuk. Namun, tentu saja penilaian pertama tak bisa jadi patokan, bukan? Bisa saja pada waktu itu Alan sedang menghadapi persoalan besar sehingga membuatnya begitu tergesa dan marah saat ia interupsi.

“Jadi … kau menerimaku sebagai orang baik? Apakah kau tak keberatan jika menganggap ini adalah kencan pertama? Lalu melanjutkannya dengan kencan kedua, ketiga, dan seterusnya?” Reddish berkata lembut dengan nada menggoda.

Azure memandangi wajah Reddish dengan berani kali ini.

Pikirannya yang masih semrawut tentang perdebatan tiada akhir perihal persoalan negeri langit itu entah bagaimana membuat Azure justru kalah dan malahan jatuh pada pesona manusia laki-laki di depannya ini dan dengan jail hatinya melanjutkan lagi perkataannya pada lamunannya tadi.

Bukankah perempuan klan biru tidak hanya dirinya seorang? Jadi … bagaimana jika dirinya berkencan saja dengan manusia laki-laki ini dan memutuskan untuk selamanya tinggal di dunia manusia?

***

Shamrock dan Sandstone tak kenal kata kasihan. Dua laki-laki bertubuh kekar itu terbang secepat kilat dari arah hutan menuju kastil putih tempat dewan warna berada. Sapphire dengan tertatih-tatih berusaha menetralkan napasnya yang tak teratur berkat gerakan kasar dua lelaki yang mencengkeram kedua lengannya tanpa perasaan dan mengajaknya bergerak cepat sementara tubuhnya begitu lemah dan lelah.

Ada apa sebenarnya dengan mereka? Mengapa dirinya seolah-olah adalah penjahat yang baru saja ditemukan dan harus menghadap dewan warna? Dan lagi, siapa itu Reddish? Mengapa ia harus menjadi pengantin Reddish?

“Ayo! Cepatlah sedikit!” Shamrock menggeram tak sabar saat Sapphire berkali-kali menghentikan langkahnya.

Perempuan itu meski tampak lemah, tampaknya masih mampu untuk berpikir dan hendak menolak dibawa saat pertanyaan demi pertanyaannya belum terjawab. Namun, dibalik ketidaktahuan yang meyakinkan dari diri perempuan itu, Shamrock dan Sandstone sempat tak habis pikir.

Bagaimana bisa perempuan itu bisa berada di hutan lebat seperti tadi? Apakah ia tersesat? Apakah ia mengalami celaka dan lupa atas segalanya?

Sandstone terlihat mendengus. Sekilas ia melirik ke arah Shamrock yang tetap memasang wajah garang dan mulai kehilangan kesabaran saat perempuan itu mulai tak bisa diajak kerjasama.

Mereka saat ini telah tiba di area depan kastil putih yang mulai ramai oleh beberapa pelayan saat melihat kedatangan Shamrock dan Sandstone yang tak hanya berdua, tetapi juga membawa perempuan klan biru yang selama ini mereka cari-cari dan tak terduga akan dibawa oleh dua pemimpin klan itu pada malam hari seperti ini.

Ecru keluar dari ruang aula dewan warna begitu mendengar suara riuh dari luar ruangan. Lelaki itu berdiri di ambang pintu, membuat tiga tamu yang baru saja datang membawa kehebohan itu menghentikan langkah melihat aura kuning yang menghadang mereka.

Ecru mengangkat sebelah alis dengan ekspresi menilai, berbeda dengan makhluk langit lainnya yang seketika menunjukkan berbagai ekspresi, mulai dari ekspresi bahagia karena calon pengantin pemimpin mereka yang akhirnya ditemukan, ekspresi mencemooh karena ketidaksukaan mereka pada makhluk klan biru yang mashur sebagai pengkhianat, ekspresi kasihan melihat bagaimana penampilan Sapphire yang tampak compang-camping, hingga ekspresi murka yang ditampakkan oleh Jade dan kawan-kawan dewan warna begitu melihat perempuan klan biru itu datang dengan setengah diseret seolah memperlihatkan keengganan bercampur rasa takut yang kentara dari mimik wajahnya yang pucat.

“Perempuan klan biru?” Sekali lagi Ecru tampak menunjukkan keraguannya dengan bertanya. Lelaki itu bersedekap sembari menyandarkan tubuhnya di ambang pintu.

“Di mana kalian menemukannya? Mengapa penampilannya seperti itu?” tanyanya tanpa sempat memberi hormat kepada dua pemimpin klan lainnya yang saat ini ada di depannya. Tatapannya tajam memindai perempuan itu dari ujung kepala hingga ujung kaki dengan tatapan tak percaya.

“Salam untuk Pemimpin Klan Kuning.” Sandstone mengawali memberi hormat dengan mengangguk, diikuti Shamrock yang melakukan gerakan sama di sampingnya.

Ecru mengalihkan pandangan. “Salam hormat kembali untuk Pemimpin Klan Hijau dan Pemimpin Klan Jingga,” ucapnya mengangguk singkat.

“Kami menemukannya secara tak sengaja di dalam hutan lebat.” Shamrock menjawab pertanyaan dari Ecru itu kemudian.

“Secara tak sengaja?” Ecru menatap tajam pada perempuan yang saat ini menunduk itu dengan pandangan menyelisik.

“Betul, Ecru. Kami sebenarnya hendak kembali dan memutuskan untuk melakukan pencarian ke dalam hutan itu esok hari. Namun, ada suara tak biasa yang kami dengar dari hutan sehingga membuat kami memutuskan untuk mendatanginya saat itu juga.” Sandstone menimpali.

Kening Ecru mengernyit.

Jade dan White datang mendekat.

“Ternyata dia bersembunyi di dalam hutan lebat? Dan ternyata begitu mudahnya ditemukan?” Jade bertanya dengan nada tak percaya yang penuh kemarahan. Tak habis pikir pula jika tempat terakhir yang tak memungkinkan sebagai tempat bersembunyi itu benarlah menjadi area persembunyian klan biru.

“Shamrock, bawa dia ke ruang tahanan yang layak. Pastikan dia aman dan tak bisa melarikan diri,” perintahnya sembari menoleh ke arah penjaga dan prajurit yang saat itu langsung datang mendekat, menggantikan posisi Shamrock dan Sandstone yang saat itu masih mencekal lengan Sapphire.

Dua prajurit itu dengan tak kalah kasarnya menyeret tangan Sapphire yang saat itu berusaha meronta dengan tubuhnya yang lemah, tetapi tak bisa apa-apa lagi selain menurut agar ia bisa segera duduk tenang dan selesai dengan urusan para prajurit yang tak mau berbelas kasihan padanya yang lemah dan kesakitan.

Para makhluk langit yang ada di depan ruang aula itu menatap bersama-sama ke arah tiga orang yang berjalan menjauh dari mereka. Jade kemudian mengalihkan perhatiannya lagi ke arah Sandstone dan Shamrock.

“Kalian hanya menemukan perempuan itu saja? Tak ada anggota klan biru yang lain?” tanyanya dengan tatapan tajam.

Dua lelaki itu saling berpandangan sejenak. “Sepertinya hutan itu bukanlah lokasi persembunyian mereka. Karena sepertinya perempuan klan biru itu sedang tersesat dan kelelahan karena saat kami menemukannya pertama kali di sana, kondisinya memang sudah seperti itu. Dia tampak kebingungan dan tak melawan. Kami memang dengan mudah bisa menangkapnya, tetapi tidakkah aneh saat perempuan klan biru itu seakan tak memiliki kekuatan apa-apa untuk melawan?” Sandstone menjelaskan pemikirannya dengan wajah berkerut penuh dugaan.

“Ya. Dia betul-betul kebingungan dan tak mengenali kami. Ah, tidak hanya tidak mengenali kami. Dia bahkan terkejut setengah mati saat kami menyebutkan alasan membawanya kemari. Tidakkah seharusnya dia tahu jika dia sedang diincar karena harus menjadi pengantin pemimpin negeri langit karena pelangi semesta yang sedang padam?” Shamrock turut menggebu-gebu dalam berucap, merasakan kejanggalan yang sama dengan semua orang di tempat itu.

Jade mengelus jenggot hitam panjangnya dengan ekspresi tajam. Ecru yang hanya diam menyimak pembicaraan itu berulang kali mengembuskan napas.

Tentu saja ini aneh. Bukankah seharusnya hanya Reddish yang bisa menemukan perempuan klan biru itu? Sudahkah sahabatnya itu melepas lensa matanya dan melakukan penyelidikan serta pencariannya seperti rencananya semula? Mengapa Reddish sama sekali tak memberi kabar padanya? Apa yang sebenarnya telah dilakukan oleh lelaki itu?

Pertanyaan yang kian berkecamuk di kepala dan tentu saja tak bisa menemukan jawaban jika ia tak bertemu dengan Reddish itu membuatnya menggeleng-gelengkan kepala tanpa sadar. Tindakannya itu membuat makhluk langit yang masih berada di sana menoleh.

“Ada apa, Ecru?” Jade bertanya dengan sebelah alis terangkat.

Ecru yang sadar telah menjadi pusat perhatian itu lantas berdeham. “Sepertinya aku harus segera mengabarkan ini kepada Reddish,” tuturnya sembari melangkah, membelah kerumunan. “Bukankah ia harus segera tahu jika calon pengantinnya telah ditemukan?” tanyanya dengan senyum kaku sembari memiringkan badan.

“Ah, ya. Benar. Bawa Reddish kemari karena kita harus segera mengambil tindakan.” Jade memberi perintah kemudian.

Ecru hanya mengangguk tipis dan melanjutkan langkah. Lelaki itu menatap lurus ke arah pintu besar berwarna putih yang menghubungkan bangunan ini dengan area luar lantas mengarahkan langkahnya ke sana.

Begitu meninggalkan pintu itu beberapa langkah, Ecru menolehkan kepala ke kanan kiri melihat situasi, mencari lokasi aman untuk menghubungi sahabatnya itu. Saat diketahuinya para penjaga ternyata berdiri dengan jarak aman dengannya, Ecru memejam kemudian. Lelaki itu mulai membisikkan kalimatnya dengan nada tenang. Meski begitu, ia tak bisa menyembunyikan suaranya yang penuh dengan kecemasan.

“Reddish, kau sedang di mana?”

***

“Apakah kau memang seperti itu? Sering melamun?” Reddish bertanya saat Azure hanya diam dan menatapnya sambil melamun.

Azure mengangkat alis dan berdeham lalu memalingkan wajah dengan rona merah di pipi. Perempuan itu menyeruput lagi minuman di cangkirnya dengan dada berdebar.

“Bagaimana?” Lelaki itu bertanya lagi. Kali ini dengan memajukan tubuhnya lebih dekat.

Ah, bagaimanalah ini, mengapa makhluk penggangu yang satu ini begitu cantik? Sungguh, Carissa saat ini sangatlah cantik dengan tampilan aslinya sebagai makhluk klan biru.

Dapat Reddish lihat jari-jemari perempuan itu yang lentik dengan kuku-kukunya yang berwarna biru dan ujung-ujung jarinya yang mengakar dengan warna serupa sedang memegang cangkir.

Azure berdeham sekali lagi dan mengangguk tipis. “Mungkin … bisa kita coba?” jawabnya dengan bertanya.

Reddish terkekeh. “Baik. Tapi, sebelum kita menjalani kencan yang kedua dan selanjutnya, aku ingin menunjukkan padamu sebuah rahasia. Rahasiaku yang harus kauketahui sebagai calon orang yang akan dekat denganku,” ujarnya dengan menatap tajam dan nada yang lebih serius dari sebelumnya.

“Secepat itu?” Azure meletakkan cangkirnya dan duduk kikuk dengan kedua tangan di pangkuan.

“Tentu saja. Kita berdua sudah dewasa, bukan? Aku tak berniat main-main. Dan aku bukanlah orang yang suka berbasa-basi. Jadi-“

“Kau baru bertemu denganku dua kali, Alan. Dan kau akan langsung percaya padaku dan membagi segala hal tentang rahasiamu itu kepadaku? Apakah kau tak takut akan menyesal di kemudian hari?” Azure kembali memberondong pertanyaan dengan ekspresi berkerut.

Reddish telah membuka mulutnya hendak menjawab lagi pertanyaan Azure itu saat tiba-tiba suara Ecru terdengar nyaring di kepala dengan nada suara tak biasa.

“Ada sambungan telepon untukku. Bisakah aku keluar sebentar?” Reddish berdiri dan menatap Azure sambil tersenyum. Bertolak belakang dengan tatapannya yang kini berubah dingin.

Azure mengangkat alis, terkejut karena mendadak lelaki itu menguarkan aura seram yang seketika memberdirikan bulu kuduk.

Dengan terbata perempuan itu mempersilakan, tanpa sadar memandangi Reddish yang saat itu melangkah menjauh darinya dan keluar dari pintu kafe.

“Azure.”

Suara sapaan di depannya, tepat di tempat duduk yang tadi diduduki oleh Reddish itu membuat Azure terkesiap.

Laki-laki di depannya itu mempunyai penampilan seperti manusia biasa, tetapi Azure tahu betul siapa sesungguhnya lelaki yang tanpa izin duduk di depannya itu.

Sontak Azure bersedekap, menatap Onyx dengan tatapan tak suka yang dilemparkannya terang-terangan.

“Kau. Apa yang kaulakukan disitu?” Azure menunjuk tempat duduk yang saat ini diduduki Onyx.

Onyx mengangkat alis dan memandangi tubuhnya sendiri. Lelaki itu tersenyum kemudian. Tahu maksud perkataan Azure tentang dirinya yang tak mendapati izin duduk di sana. Namun tak lama, lelaki itu menatap perempuannya dengan pandangan bersungguh-sungguh. Menghela napas panjang, menoleh ke arah luar kafe di mana Reddish tadi melangkah, lalu beralih lagi menatap Azure.

“Sepertinya, kau menemukan teman baru? Apakah menyenangkan?”

***

Reddish berhenti melangkah saat tiba di sisi sebuah pohon yang cukup rimbun di depan kafe itu. Tatapannya memicing ke arah Azure dan seorang laki-laki yang entah dari mana datangnya tiba-tiba saja telah menggantikan posisinya duduk di seberang Carissa.

“Aku sedang di dunia manusia,” jawabnya segera.

“Shamrock dan Sandstone baru saja tiba di markas putih. Mereka hadir membawa kegaduhan karena datang bersama seorang perempuan klan biru yang baru saja mereka temukan di dalam hutan lebat.” Ecru langsung menjelaskan singkat.

Reddish mengernyitkan dahi. “Perempuan klan biru?” tanyanya dengan nada datar.

Tatapannya yang semula tajam tapi berulang kali kehilangan fokusnya karena sedang berbicara dengan Ecru itu tiba-tiba saja membelalak saat baru disadarinya bahwa lelaki yang duduk di depan Azure itu menguarkan semacam aura gelap yang turut berpendar ke arah Azure, membentuk lingkaran kecil yang menyelubungi mereka berdua.

Tak didengarkannya Ecru yang sedari tadi menjelaskan panjang lebar tentang apa yang saat ini terjadi di negeri langit, tepatnya di kastil putih tempat para dewan warna dan pemimpin klan warna lainnya sedang berkumpul.

Sayang sekali saat ini Reddish tak membawa lensa bantu untuk matanya yang cacat itu, sehingga selain warna biru Azure yang saat ini tampak begitu menyala di matanya, yang ada di sekeliling Azure adalah warna abu dan hitam.

“Aku akan pulang.” Reddish menukas ucapan Ecru yang entah saat itu sedang menjelaskan apa, memutus komunikasi dan melangkah lagi menuju kafe, kembali mendekati Azure yang saat ini sedang memasang ekspresi sebal pada lelaki itu seolah Azure baru saja ketahuan tengah bersama lelaki lain dan sedang berusaha mati-matian menjelaskan alasan.

Tapi Reddish tak peduli, dengan ekspresi dinginnya yang masih sama, ia berdiri tak jauh dari meja itu, mengabaikan sepenuhnya kehadiran si lelaki dan menatap Azure dengan tatapan lembut.

“Besok malam. Di taman yang tadi,” ucap Reddish kemudian. “Aku harus pergi,” imbuhnya diakhiri dengan senyuman kaku, memasang tatapan tajam pada lelaki di depan Azure dan kembali membalikkan badan. Menghilang di antara pedestrian, bersembunyi lagi untuk bisa terbang ke negeri langit. Mengabaikan sementara waktu kebersamaan Azure dengan lelaki itu agar dirinya tak mencurigakan.

Ada dua perempuan klan biru yang datang bersamaan malam ini. Sepertinya Reddish harus menemui perempuan klan biru satu lagi yang saat ini berada di kastil putih. Memastikan dan mempelajari apa yang terjadi.

Lelaki itu memejam di tengah tubuhnya yang melesat naik, memindai kekuatan merahnya yang masih tersebar di permukaan bumi.

Tidak ada kekuatan aneh apa pun yang saat ini terpindai di dunia manusia. Sepertinya ia harus selalu membawa serta lensa mata itu dan membuatnya menjadi mudah dipakai kapan pun ia membutuhkan. Lalu lelaki dengan aura gelap itu … tunggu saja. Jika firasat Reddish benar, maka tidak salah lagi, dialah yang selama ini menyembunyikan Azure dengan kekuatan hitamnya!

Reddish terbang cepat, tak sabar untuk menemukan segala jawaban atas teka-teki yang saat ini terpecah-pecah menjadi bagian-bagian kecil yang belum bisa ia satukan gambaran utuhnya.

 

Selamat malam minggu, selamat begadang :lovely

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

 

KONTEN PREMIUM PSA


 

Semua E-book bisa dibaca OFFLINE via Google Playbook juga memiliki tambahan parts bonus khusus yang tidak diterbitkan di web. Support web dan Authors PSA dengan membeli E-book resmi hanya di Google Play. Silakan tap/klik cover E-book di bawah ini.

Download dan install PSA App terbaru di Google PlayWelcome To PSAFolow instagram PSA di @projectsairaakira

Baca Novel Bagus Gratis Sampai Tamat – Project Sairaakira

7 Komentar

  1. Dona Nurhayati menulis:

    Lanjut lagi thor :berikamiadegankiss!

  2. Indah Narty menulis:

    Lanjut lagi :backstab

  3. Lanjut kakk :lovelove

  4. Tks ya kak udh update.

  5. Udah bertautttt