Red Prince

The Red Prince | Part 19 : Peringatan Bahaya

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

red prince cover - CopyRed 3

10 votes, average: 1.00 out of 1 (10 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Bukankah rasa hangat yang kuberikan itu selalu menyamankanmu? Termasuk saat ini ketika aku mencumbumu? Debaran jantungmu itu tak bisa berbohong meski kau menyangkalnya dengan seribu kali kata ‘tidak’
~Reddish~

Tubuh Azure bergetar hebat mendapat ciuman tak disangka tersebut. Perempuan itu meletakkan kedua tangannya pada dada Reddish untuk mengingatkan lelaki itu jika sepertinya ada yang salah dengan dirinya kali ini. Namun, tindakan Azure itu justru memicu hasrat yang lebih hebat lagi di diri Reddish. Lelaki itu kembali menciumi bibir Azure dengan gerakan sensual, menyatukan kedua bibir mereka dengan ciumannya yang panas, mendorong tubuh Azure untuk rebah dan kian menguasai ciuman itu semakin dalam, membuat Azure terhanyut dan tak bisa melawan.

“Reddish ….” Azure berucap di sela-sela ciuman mereka. Wajahnya tampak merah padam dengan dadanya yang kembang kempis oleh sesuatu hal yang belum pernah dirasakan tubuhnya sebelum ini. Aliran darahnya terasa menderas, seluruh tubuhnya memanas dan lihatlah bibirnya yang begitu lembap dengan bibir Reddish yang masih mencumbu di sana.

Dengan gerakan pelan, Reddish menghentikan ciumannya dengan napas terengah. Menyakiti dirinya sendiri dengan menahan hasratnya kuat-kuat.

Aura merah dari tubuh Reddish menguar sangat pekat, begitu juga dengan kekuatan biru yang memendar sama kuatnya dari tubuh Azure. Aura kedunya terlihat berpilinan di atas peraduan itu, saling melingkupi satu sama lain. Meski begitu, aura merah dan biru itu tak bisa menyatu, terlihat sama-sama memendar dengan dua warna berbeda. Hal itu terjadi karena keduanya belum menjalani ritual dan penyucian pernikahan, sehingga kedua warna itu tak bisa melebur bersama, hanya mengambang dalam intensitas besar karena keduanya sedang sama-sama terbakar hasrat.

“Kau merasakannya.” Reddish berbisik parau dengan hidungnya yang menempel pada hidung Azure, menggesek lembut di sana dengan matanya yang terpejam. Kedua lengannya yang masih bertumpu di sisi kiri dan kanan Azure itu membelai sisi kepala perempuan itu dengan gerakan lembut, membuat tubuh Azure kian teraliri nuansa aneh mendebarkan yang membuat napasnya panas.

Perempuan itu masih tak menyangka jika dirinya akan bisa begitu dekat dengan posisi seintim ini dengan Reddish. Azure terpaku dan diam-diam berusaha mengatur napasnya yang tak beraturan. Tubuhnya tak bergerak, dengan kedua tangannya yang masih berada di bahu Reddish.

Geraham Reddish sedikit bekedut, lalu kedua mata merahnya terbuka perlahan, begitu dekat dengan mata Azure yang membelalak mengamati tubuh lelaki di atasnya tanpa sadar. Terkesiap dengan mata merah yang memandanginya intens itu, sontak kepala Azure tertoleh, memunculkan senyum di bibir Reddish.

“Aku hanya sedang menguji dan ingin menilaimu.” Lelaki itu berucap memecah segala pikiran-pikiran liar di benak Azure.

“Jiwa dan tubuhmu selalu menerima kehangatan yang kuberikan saat dirimu terluka dan tak sadarkan diri. Bukankah rasa hangat yang kuberikan itu selalu menyamankanmu? Termasuk saat ini ketika aku mencumbumu? Debaran jantungmu itu tak bisa berbohong meski kau menyangkalnya dengan seribu kali kata ‘tidak’,” ujarnya pongah dengan sebelah bibir terangkat.

Kalimat menusuk itu membuat Azure kembali menghadapkan wajahnya pada Reddish dengan tatapan sebal.

“Aku hanya ingin tahu, apakah itu reaksi alami tubuhmu, ataukah karena kau mengenali dengan baik nuansa hangat itu lantas terbiasa dan ketagihan karenanya?”

“Reddish.” Azure berseru ketus, kedua telapak tangannya diam-diam menguarkan aura biru yang memendar semakin pekat karena kemarahan yang mulai merasuki hatinya, tetapi kali ini dengan cepat, Reddish berhasil mencengkeram kedua pergelangan tangan Azure dan meletakannya di atas kepala perempuan itu, membuat posisi mereka saat ini terlihat benar-benar seperti pasangan yang hendak bercinta. Dengan leluasa lelaki itu menciumi Azure lagi. Namun dengan cepat Azure menoleh hingga Reddish hanya mendapatkan ujung bibirnya saja.

“Besok adalah hari penobatanmu sebagai maharaniku.” Reddish berucap dengan bibirnya yang merambat ke mana-mana menciumi Azure di sisi wajahnya yang berpaling. Pipinya, rahangnya, dan berakhir di sisi telinga Azure.

Dengan suara menggoda, Reddish berbisik parau, “Aku ingin kau mulai terbiasa denganku, karena tentu saja, aku akan melakukan lebih dari ini terhadapmu setelah upacara pernikahan nanti. Aku tak akan memberimu waktu untuk menolak lagi.”

Azure memberanikan diri untuk menantang tatapan Reddish. Wajahnya terlihat begitu lelah dengan desakan emosi yang membuat napasnya naik turun.

“Setelah menikah. Jadi tolong, sekarang lepaskan aku, wahai pemimpin klan merah,” ucapnya dengan mata berkaca-kaca. Kalimatnya terdengar halus, walau sebenarnya Azure mengucapkannya dengan nada penuh celaan.

Reddish melepaskan cengkeraman tangannya dari kedua pergelangan tangan Azure. Namun tentu saja Reddish tak sebaik hati itu untuk melepaskan perempuannya begitu saja. Tubuh lelaki itu berguling ke samping, lantas dengan cepat meraih tubuh Azure dalam dekapannya. Perempuan itu terbelalak oleh gerakan cepat itu sehingga tanpa bisa ia hindari, saat ini dirinya telah berbaring miring dengan berbantalkan lengan Reddish, berhadap-hadapan dengan dada bidang lelaki itu yang terbungkus baju kebesarannya yang berwarna merah tua.

Sebelah tangan Reddish yang lain memeluk tubuh perempuan itu, mengusap rambut biru Azure dengan gerakan membuai.

“Ah, jadi pada akhirnya kau menerima dengan lapang hati posisimu sebagai calon istriku, hm? Tidak ingin lari lagi setelah kau tahu jika dirimu adalah satu-satunya?” Reddish bertanya dengan sebelah bibirnya terangkat, mengucapkan kalimat yang mengena di hati Azure, menampakkan rona merah muda yang merambati pipi perempuan itu nan tirus.

“Aku tidak lari karena sementara ini aku tidak bisa lari. Kau mengurungku di sini, Tuan Reddish, aku belum bisa mengalahkan kekuatan merahmu.” Azure berucap menunduk, kedua tangannya mencengkeram baju bagian depan Reddish sebagai pelampiasannya atas rasa malu di hati setelah ia menyadari kebodohannya dengan menunjukkan rasa tak suka secara terang-terangan kepada perempuan klan biru yang ternyata tak ada itu.

Azure besikukuh melepaskan diri dari dekapan Reddish, tetapi semakin berusaha, Reddish justru kian merapatkan pelukannya.

“Kau memang tak akan lari, Azure.” Reddish mengecup pucuk kepala perempuan itu dalam tubuhnya yang bergerak membuai perempuan itu dalam dekapan. “Kau akan selalu ada dalam pelukanku, tubuhmu tak akan betah berlama-lama jauh dariku setelah aura kita menyatu nantinya. Aku bisa memastikan itu,” ucapnya seolah tengah memantrai Azure dalam janji hidup bersama dalam kalimatnya yang berbalut ancaman.

“Lepaskan, Reddish!” Tubuh Azure meronta.

Reddish menyeringai dalam kekuasaan lengan-lengan kokohnya yang melingkupi perempuan itu. “Bukankah lebih baik bercakap-cakap dengan posisi seperti ini? Aku bisa menyentuhmu dan kau pun kuberi kebebasan untuk menyentuhku. Apalagi yang lebih baik dari ini di mana kita sedang memenuhi kebutuhan hati dengan tubuh yang saling dekat? Hm … kau hanya perlu terbiasa,” ujarnya dengan penuh percaya diri, yakin benar jika Azure yang saat ini sedang berusaha melepaskan diri dari dirinya itu sejujurnya hanya masih malu dan gengsi untuk mengakui jika hatinya telah terpaut dengan dirinya.

Tentu saja. Sebagai lelaki klan merah yang dikenal dengan aura merahnya yang garang sebagai kelebihan sekaligus kutukan karena ditakuti oleh bangsa warna, Reddish bersyukur jika para dewa begitu berbaik hati dengan menciptakan wajah rupawan bagi koloni klannya. Wajah rupawan yang begitu digilai oleh makhluk perempuan di tanah langit ini. Seakan klan merah memanglah diciptakan sebagai klan di tingkat puncak di mana dirinya dan anggotanya memiliki semua yang diinginkan oleh penduduk langit. Kehidupan yang nyaman, dihormati, disegani oleh banyak makhluk serta mempunyai paras di atas rata-rata daripada makhluk-makhluk klan lainnya yang membuat mereka terpesona bahkan sejak pandangan pertama.

Begitu juga dengan Azure yang tak bisa menghilangkan rasa kagum kepada Reddish dan lagi-lagi saat ini perempuan itu seolah tak mampu menyangkal tubuhnya yang secara alami menerima dengan suka hati kedekatannya dengan lelaki ini. Tubuh Azure yang dingin berkat kebencian dari sisi egonya itu, perlahan menghangat, membuat segala luapan emosi yang semula begitu gigih menguasai semangatnya untuk menjauh dari Reddish itu perlahan memudar.

Tubuh Azure melemas. Perempuan itu seperti disihir karena rasa kantuk yang mendadak menyelubungi tubuhnya. Azure menguap tanpa sadar hingga matanya berkaca-kaca ingin memejam. Sekuat tenaga ia menggerak-gerakkan tangannya mengusir kantuk, tetapi tubuhnya terlalu keras kepala menuruti rasa ingin tidur yang begitu kuat melandanya itu.

“Aku akan selalu berbaik hati untuk memberimu kedekatan seperti ini, Azure. Jangan khawatir. Aku milikmu seutuhnya.” Reddish berucap dengan tersenyum angkuh, seolah pelukan dan ciuman dari seorang makhluk klan merah yang begitu dipuja-puja oleh para perempuan itu adalah sesuatu yang berharga dan patut ia sombongkan di depan perempuan polos ini.

Tak ada suara tanggapan atau sanggahan dari perempuan yang dipeluknya itu selama beberapa waktu. Lalu, saat merasakan jika tubuh Azure begitu rileks dan anteng dengan napasnya yang mengembus teratur, Reddish menunduk. Sebelah alisnya terangkat saat melihat jika Azure ternyata tertidur pulas dalam dekapannya. Perempuan itu seperti sudah berada dalam tidurnya yang nyenyak dengan wajahnya yang terlihat damai tanpa ekspresi.

Senyum Reddish terbentuk lagi di bibirnya. “Kau tidur di pelukanku di tengah-tengah usaha kerasmu untuk melepaskan diri dariku,” ucapnya pelan di depan wajah Azure. Perempuan itu tak menyahut tentu saja, tetapi entah bagaimana, Azure semakin menyurukkan kepalanya ke dada Reddish, sebelah lengannya bahkan melingkar ke punggung Reddish membuat lelaki itu terperangah, tak mampu bergerak.

“Dan kau juga sangat serakah,” lanjut Reddish dengan terkekeh senang penuh kasih di dalam ucapannya yang terdengar mencela.

Reddish menelentangkan tubuhnya kemudian, membiarkan Azure memeluknya sesuka hati. Tubuh Azure yang sejuk terasa begitu pas di sisi tubuhnya yang panas, seolah mereka benar-benar saling melengkapi bahkan sejak mereka belum disatukan oleh upacara pernikahan. Untuk sejenak, Reddish membiarkan dirinya menikmati posisi nyaman itu. Kedua matanya memejam dengan ekspresi wajahnya yang damai, meski seluruh tubuhnya bergolak oleh keinginan kelelakiannya yang sedari tadi ia tahan.

Tidak mengapa. Ia hanya perlu menahan satu hari ini dan ia akan mendapatkan keleluasaanya menyentuh Azure sebagai istrinya setelah penyucian pernikahan itu tanpa batas waktu, hingga beratus-ratus tahun lagi tanpa batasan.

Di tengah-tengah pemikiran untuk menghibur dirinya itu, lagi-lagi Azure bergerak. Perempuan itu seolah tahu jika Reddih mengubah posisi tidurnya menjadi telentang, sehingga saat merasakan jika pelukan sebelah tangan Reddish yang hangat itu menjauh, Azure tanpa sadar menumpangkan kakinya di kaki Reddish yang jenjang, membuat tubuh Reddish tegang kembali.

Astaga pengganggu kecil ini!

Dengan senyum masam Reddish akhirnya memiringkan tubuhnya lagi, memeluk perempuan itu kembali seperti posisinya semula, mengutuk tingkahnya sendiri yang membuat hasrat dalam dirinya semakin menjadi.

Tubuh Azure bergeming dengan suara embusan napasnya yang menyiratkan kenyamanan. Bersenjang dengan Reddish yang menampakkan senyum pahit karena hampir putus asa menahan diri. Pada saat itu, ketika sebelah tangan Reddish hendak menyentuh lagi rambut biru Azure yang berserak di sisi kepala dan di sebelah tangannya yang menjadi bantalan kepala Azure, sebuah suara panggilan mengejutkannya, menggema di kepala.

“Reddish? Di mana kau?” Suara Ecru terdengar nyaring, menyapa dengan suara khasnya.

***

Ecru duduk dengan kening mengernyit, tangannya bersedekap dengan ekspresinya yang tampak menilai ke arah Reddish.

“Apa yang terjadi padamu? Kenapa kau terlihat gusar? Apakah perempuan biru itu membuat masalah?” tanyanya dengan serius kemudian.

Reddish tampak salah tingkah dan berdeham sebelum memulai kalimatnya. Tubuhnya tampak membungkuk maju, bertumpu pada kedua sikunya di atas lutut. “Ya. Dia sangat liar dan senang sekali membuatku tersiksa. Aku sampai kewalahan,” jawab Reddish sambil menggigit bibir bawahnya, menunjukkan rasa gemasnya saat mengingat bagaimana Azure justru berbalik memeluknya seperti guling saat dirinya berusaha sekuat tenaga untuk menahan diri. Wajahnya merona beberapa saat.

“Wow.” Ecru turut memajukan tubuhnya dengan tatapannya yang melebar penuh ketertarikan. “Liar,” ucapnya menirukan kata-kata Reddish tadi.

“Apakah ternyata diam-diam dia adalah perempuan ganas yang suka menyerang lelaki terlebih dahulu?” Ecru bertanya sambil memindai pandangannya terhadap Reddish mulai dari ujung kepala hingga ujung kaki. “Apakah dia mencakar? Menggigit?” tanyanya lagi sembari mengucapkan apa yang terbayang dalam benaknya.

Adegan Reddish yang terduduk di ranjang sambil memundurkan tubuh dengan ekspresi ngerinya sementara perempuan biru itu perlahan mendekati Reddish dengan merangkak sambil memperlihatkan lekuk tubuhnya yang erotis entah bagaimana menjadi gambaran paling tidak bisa dipercaya olehnya saat ini meskipun adegan itu adalah satu-satunya yang bisa mewakili kata ‘liar’ yang merujuk ke tingkah perempuan itu.

Reddish menengadah mendengar kalimat aneh Ecru itu. Dadanya berdebar oleh rasa berbunga-bunga yang sekuat tenaga ia tutupi. Dia tak membenarkan, tetapi tak menampik pula. Reddish hanya mendengus lantas menegakkan tubuh, sebelah tangannya tampak bertopang pada sandaran sofa, sementara jemarinya mengusap-usap mulutnya seakan ia sedang kehabisan kata-kata dan begitu takut jika ucapannya kemudian akan keliru dan membuat Ecru menertawakannya.

“Apa maksudmu? Tentu saja tidak. Kami tak melakukan hal-hal seperti yang ada dalam pikiran kotormu itu.” Reddish menyanggah dengan ekspresinya yang terlihat tak tenang.

Ecru mengamati tingkah Reddish itu dalam kependiaman. “Ah, kau tampak kacau sekali, Reddish, padahal esok adalah hari pernikahanmu,” komentar Ecru kemudian dengan nada mengasihani.

“Aku tidak kacau, Ecru, aku sangat siap untuk besok, aku … dan juga dia. Perempuan biru itu pada akhirnya mau menerima pernikahan ini tanpa syarat,” sangkal Reddish dengan melirik sahabatnya itu yang masih bergumul pada bayangan pikirannya sendiri. “Ada hal penting apa yang ingin kausampaikan sehingga kau meluangkan waktu kemari di sela kesibukanmu melatih para prajurit?” tanya Reddish mengalihkan topik kemudian.

Ecru mengangguk menyetujui. “Ya, dia memang harus menerimamu, Reddish. Waktu kita semakin sempit untuk sekadar bernegosiasi,” komentarnya lalu berdeham sebelum mengungkapkan pertanyaannya. “Eh, apakah persiapan pernikahanmu sudah selesai?” dengan keras kepala, Ecru tetap mempertanyakan hal pribadi sahabatnya itu.

“Ya. Semuanya telah kupersiapkan dengan baik. Dewan warna juga telah selesai mempersiapkan bagiannya.” Reddish mengangguk tipis.

“Matamu … apakah telah baik-baik saja? Apakah perempuan itu tahu tentang kedua matamu yang abu-abu?”

Suara benda pecah terdengar dari luar ruangan. Reddish dan Ecru seketika bangkit dari posisi duduk dan menoleh tajam. Memasang kuda-kuda.

Crimson melangkah masuk kemudian. Lelaki itu memasang ekspresi yang sama seriusnya dengan Reddish dan Ecru, diikuti seorang pelayan yang melangkah dengan takut-takut ke dalam ruangan.

“Dia menjatuhkan botol minuman jamuan untuk Anda dan Tuan Ecru, Tuan.” Crimson memberi penjelasan.

Reddish menautkan kedua tangannya di belakang punggung dengan tatapan tajam. Ekspresinya tampak menilai dalam diam.

“Ma-maafkan saya, Tuan Reddish. Saya kurang berhati-hati-“

“Masukkan dia ke ruang tahanan, Crimson.” Reddish memerintah.

Ecru menoleh dengan sebelah alis terangkat, hendak mempertanyakan sikap Reddish yang tak disangka akan begitu kejam untuk seorang pelayan yang melakukan kesalahan kecil.

Bagaimana mungkin Reddish memenjarakan seorang pelayan hanya karena dia memecahkan satu botol minuman?

“Kau tahu tugasmu, Crimson.” Mengabaikan tatapan penuh tanya di wajah Ecru, Reddish melanjutkan perintahnya, diikuti Crimson yang menjentikkan jari untuk mengundang para prajurit yang bersiaga di depan ruangan.

Dua orang prajurit bertubuh kekar kemudian mendekat dan menjura di depan Reddish serta Ecru lantas tanpa menunggu perintah dua kali seketika menyeret lengan di kanan dan kiri pelayan itu keluar dari ruangan, tak mengacuhkan ekspresi takut dan seruannya yang meminta belas kasihan.

Ecru mengusap dagu sembari terus mengamati pergerakan para prajurit itu hingga suaranya menjauh dari ruangan ini.

“Jadi … apa yang ingin kausampaikan?” Reddish membanting tubuhnya di sofa lagi.

Ecru yang teralihkan perhatiannya itu menoleh. Lelaki itu lalu mengikuti Reddish untuk duduk kembali di kursinya. “Ah, baiklah. Lupakan urusan pelayan itu,” ucapnya seperti sedang berbicara kepada dirinya sendiri setelah Reddish ternyata tak mau kalah dengan terus menanyai tujuannya kemari.

Lelaki klan kuning itu duduk bersandar kemudian. Ekspresinya tampak menimbang-nimbang sembari menghela napas. “Aku dan Vermilion berhasil menemukan satu kekuatan misterius yang selama ini berhasil menyembunyikan perempuan klan biru itu di dunia manusia. Dia adalah pemilik kekuatan hitam paling hitam yang pernah ada.”

Reddish memajukan tubuhnya dengan antusias. “Di mana dia saat ini? Aku harus menemuinya segera.”

Ecru tersenyum. “Tenang, Sobat. Kau fokuslah pada pernikahanmu esok hari. Kau tak boleh terlihat meninggalkan kastil ini sampai penyucian pernikahan itu terlaksana. Untuk perkara ini biarkan aku yang bergerak,”ucapnya menenangkan.

Pemimpin klan merah itu mengangkat sebelah alisnya dengan ekspresi heran. “Kau serius? Kenapa senyummu tampak mencurigakan, Ecru?”

Lelaki klan kuning itu terkekeh. “Bukan apa-apa. Kau pasti akan melihat makhluk misterius itu dengan segera. Aku dan Vermilion telah mengatasinya.”

Reddish masih menatap Ecru dengan tatapan tajam. Mempelajari apa yang sedang dipikirkan oleh sahabatnya itu. Namun, setelah beberapa lama ia tak menemukan keraguan di mata Ecru, Reddish akhirnya menghela napas lega dan mengangguk tipis.

“Oke. Aku ingin kau menanganinya sebaik mungkin sebelum penyucian pernikahanku tiba. Entah bagaimana … aku memiliki perasaan jika esok tak akan baik-baik saja, Ecru. Aku seperti harus bersiap dengan lebih waspada untuk pernikahan itu.” Reddish mengungkapkan apa yang ada dalam pikirannya. Wajahnya terlihat berkerut dengan ekspresi gelap.

Ecru bersedekap. “Karena perempuan itu? Apakah kau sedang takut jika kau tak bisa mengendalikan dan menguasai si liar itu seutuhnya, heh?” tanyanya dengan mengangkat sebelah alis.

Reddish menoleh cepat.

Astaga sepertinya dia salah menggunakan kosa kata tadi.

“Bukan, Ecru. Hei, kau tak boleh meremehkan keahlianku sebagai seorang makhluk tertinggi di negeri ini. Aku sangat ahli dalam apa pun, termasuk dalam menguasai seorang makhluk perempuan. Kau tahu, dia telah kutaklukkan dengan lengan-lenganku” kilahnya menyombongkan diri. Lupa dengan pembahasan tentang firasat buruknya yang membuatnya tak nyaman itu.

Ecru menatap Reddish dengan takjub kemudian. “Wah, perempuan itu liar dan-“

“Kau selalu menyebutnya perempuan itu, perempuan itu. Namanya adalah Azure. Azure. Tidak bisakah kau menyebut namanya saat membicarakannya?” tukas Reddish cepat dengan ekspresi sebal.

Perempuan itu memiliki nama yang indah. Sangat indah dan sangat cocok untuk mewakili keseluruhan diri perempuan itu yang manis. Azure. Perempuannya yang sangat angkuh, tapi juga sangat rapuh dan begitu menggemaskan ketika kepalanya yang mungil itu terasa pas dalam rengkuhan bantalan lengan-lengannya yang kuat.

Ecru terkekeh lagi. “Azure,” tirunya sembari mengangguk-angguk. Dengan ekspresi menggoda, Ecru kemudian melanjutkan kalimatnya tadi. “Azure … ternyata adalah perempuan manis nan liar yang mudah ditaklukkan. Sepertinya aku setuju denganmu. Mendengar namanya saja-“

Reddish menggebrak meja di depannya hingga aura merahnya tampak mengepul di sana.

Kurang ajar! Bagaimana bisa Ecru menyebut nama perempuan itu dengan ekspresi yang berbeda? Apakah diam-diam Ecru terpesona pada perempuan itu hanya dari mendengar namanya saja? Bagaimana jika sahabatnya yang jail itu kian terpesona saat melihat perempuan birunya nanti saat upacara pernikahan?

Rasa cemburu dibalut posesif yang sangat pekat menguar dari diri Reddish. Aura merahnya bahkan membuat warna merah di tubuh Reddish menjadi semakin menyala merah, berikut tatapan matanya yang saat ini begitu tajam seolah mampu menguliti Ecru seandainya bisa.

Lelaki klan kuning itu memasang ekspresi terkejut dan pura-pura takut meski dalam hati ia tertawa karena bisa menggoda sahabatnya itu hingga di titik Reddish akhirnya menunjukkan rasa cemburunya yang sangat kuat!

“Sebut dia dengan kata-katamu semula ‘perempuan itu’ saja. Ya. Itu lebih baik karena memang dia tak pantas mendapatkan penghormatann dengan disebut namanya. Ah, ya. Seperti itu.” Reddish berseru dengan wajahnya yang tampak jengkel ke arah Ecru. Ingin menunjukkan jika dirinya tak peduli dengan perempuan itu, meskipun hal itu justru semakin meyakinkan Ecru jika Reddish benar-benar sedang cemburu, bahkan dengan lelaki lain yang hanya menyebut nama perempuannya.

“Baiklah. Baiklah.” Ecru akhirnya menampakkan senyum tipis di bibirnya. Tak ingin menggoda Reddish lebih jauh lagi karena bisa saja ruangan ini menjadi hangus karena Reddish yang meledak marah saat digoda olehnya terus menerus.

“Tak perlu memerintahkan pelayanmu untuk mengganti minumannya, Red. Karena aku harus segera kembali ke kastilku.” Ecru berucap sembari bersiap-siap berdiri. Namun, belum genap sikap berpamitannya itu selesai, suara dentuman yang begitu keras mendadak terdengar dari atas mereka.

Reddish bangkit dari duduknya begitu juga dengan Ecru yang sontak menegakkan tubuh dengan pandangan matanya yang terarah ke luar ruangan, menatap dinding kaca yang melebar di ruangan itu, memperlihatkan pemandangan yang membuat kedua laki-laki itu terkesiap bukan kepalang.

Pelangi semesta yang menggantung di langit negeri itu berguncang, garis warna yang biasanya memancarkan warna ungu itu retak, seperti baru saja terjadi gempa bersamaan suara dentuman tadi. Garis warna ungu itu retak di mana-mana dan tampak mengkhawatirkan seperti akan runtuh.

Wajah Reddish memucat melihat itu semua.

Astaga. Hal buruk itu terjadi lebih cepat!

Kericuhan menimpa seluruh penduduk. Kastil merah yang semula hening itu terlihat ramai oleh gegap gempita para makhluk yang heboh atas suara ledakan dari langit itu

Suara panggilan bertubi-tubi memenuhi kepala Reddish kemudian. Salah satunya adalah dari Jade, sang dewan warna yang mengatakan hal tak terduga yang seketika membuat dada Reddish perih oleh segala ketakutan.

“Reddish! Pernikahan itu harus dilaksanakan lebih cepat! Malam ini juga! Kita tak punya banyak waktu lagi!”

***

Lelaki klan ungu itu tertidur tenang di peraduan. Warna ungu di tubuhnya hampir pudar, sementara Crow, Sky, dan Navy berdiri di sisi ranjang dengan tatapan menilai.

“Bisakah dia bertahan hingga esok hari?” Sky bertanya dengan nada penuh keraguan.

Crow menjentikkan jarinya, lalu dari arah belakang, datanglah seorang pelayan klan hitam yang datang membawa nampan.

Sky dan Navy menoleh, mengamati pergerakan pelayan hitam itu hingga langkahnya tiba di sisi ranjang, meletakkan isi nampan itu di meja nakas sebelum kemudian berpamita keluar ruangan.

Sebuah mangkuk berwarna hitam dengan isinya yang serupa air berwarna gelap itu menyita perhatian Sky dan Navy saat ini.

“Cairan apa itu?” Navy bertanya dengan sebelah alis terangkat.

“Ini adalah saripati bunga ungu dari tanah selatan. Ramuan inilah satu-satunya yang bisa membuat manusia ungu ini bertahan hidup dalam tidur panjangnya.” Crow menjelaskan dengan nada bangga.

“Kita harus meminumkannya?-“ Kalimat Sky tak sempat berlanjut karena mendadak, dari tempat mereka yang begitu jauh terpendam dalam tanah gua ini, terdengar suara yang begitu nyaring dari arah luar.

“Suara apa itu?” Navy yang biasanya peka terhadap hal-hal yang terjadi di sekitarnya, kali ini bertanya pula dengan mata terbelalak.

Mereka bertiga saling bertatapan.

“Ayo, kita harus melihatnya. Semoga itu bukan serangan mendadak dari Reddish yang tiba-tiba saja tahu keberadaan kita.” Crow berjalan terlebih dahulu, menerabas gelapnya lorong di gua itu diikuti oleh Sky dan Navy yang turut melangkah dengan dada berdebar kencang.

“Astaga. Semoga bukan itu yang terjadi.” Sky menyahut dengan napasnya yang terengah penuh kengerian.

Langkah ketiganya bederap, lalu setelah beberapa kali berhasil melewati lorong demi lorong, mereka tiba di permukaan tanah itu dengan sikap waspada. Sky, Navy, dan Crow berdiri saling membelakangi dan menatap sekitar. Lingkungan di permukaan gua itu tampak gulita dengan langit malam yang kian menambah suasana gelap.

Senyap dan tak ada apa pun yang mencurigakan.

Lalu, saat suara ledakan yang keras itu terdengar lagi dengan sangat jelas dari atas, mereka mendongak, kedua mata mereka membelalak saat melihat jika pelangi semestalah yang mengeluarkan suara. Garis warna terakhir pelangi itu memperlihatkan kondisinya yang hampir jatuh dengan retakan-retakan yang menyeluruh di semua sisinya.

“Sepertinya pelangi semesta akan segera meruntuhkan warnanya jika kita tak segera menghidupkan lelaki klan ungu itu. Ayo cepat! Kita harus segera membangunkan makhluk ungu itu dan menjemput saudara perempuan birumu di kastil merah.” Crow berseru dan kembali ke dalam gua dengan Navy dan Sky yang berjalan di sisinya.

Kejutan menyenangkan itu akan dimulai lebih awal!

 

bersambung….

 

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

10 Komentar

  1. Dona Nurhayati menulis:

    :berikamiadegankiss! :DUKDUKDUK :lalayeye
    Cepat Reddish, cepat menikah..

    1. bentar atuh, dandan dulu :cintakumembarapadamuh :cintakumembarapadamuh

  2. :lovely semangat bin bin , oh romance

    1. matursuwun Gendis

  3. Sikk asikk :lovelove :backstab

  4. Tks ya kak udh update.

  5. rhafatimatuzzahra menulis:

    :lovelove

  6. Aseeek bentar lagi nikah, bentar mau beli amplop kondangan dulu

  7. Musim kondangan kek nya

  8. Yeyy kondangan :lovelove