Red Prince

The Red Prince | Part 6 : Minuman Pelembut Hati

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

red prince cover - CopyBlack Line Art Butterflies Woman Phone Wallpaper(15)

12 votes, average: 1.00 out of 1 (12 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Fajar menggariskan cahayanya di cakrawala. Warna langit dunia manusia bersemburat jingga di ujung timur. Reddish kembali ke negeri langit setelah akhirnya selesai menanamkan kekuatan merahnya ke setiap jengkal permukaan bumi.

Ada tiga titik yang menjadi pusat pancaran kekuatannya. Dan dari singgasananya di kastil merah, ia akan tahu barang setitik saja kekuatan yang menyala dari para anggota klan yang menyamar di dunia manusia. Dan ia sungguh berharap jika ada sedikit saja aura kekuatan berbeda yang melintas di sana, membuatnya bergerak dan yah, paling tidak ia bisa berolahraga ringan dengan pertarungan agar tubuhnya yang telah lama hanya diam di singgasana pemimpin itu terlatih kembali.

Reddish melayang ringan lalu mendarat di kastil merah pada sisi kanan tempat tinggalnya yang kini dijaga oleh anggota klan merah. Tubuhnya yang semula menyamar itu telah kembali ke wujud semula dengan warna mata dan rambutnya yang berwarna merah serta pakaiannya yang berjubah panjang berwarna merah tua. Tak lupa, pergelangan hingga lengan kanannya kini menampakkan kembali kulitnya yang bertato api meski kini tertutup kain bajunya, sebagai tanda lahir yang menyatakan secara tersirat jika Reddish menyimpan kekuatan besar di dalam tubuhnya. Dan benar adanya. Buktinya, saat ini Reddish menjadi pemimpin klan merah sekaligus memimpin negeri langit melanjutkan kepemimpinan sang ayah.

Lelaki itu melangkah melewati selasar bangunan dengan langkah konstan. Kedua matanya tampak menatap lurus ke depan seolah sedang mengamati secara acak apa saja yang ada di hadapannya, meskipun saat ini pikirannya sedang terus bersiaga memindai pergerakan sekecil apa pun yang sedang terjadi di dunia manusia.

Namun hingga beberapa jam setelah kekuatan merahnya itu tersebar, ia tidak merasakan ada pergerakan aneh yang muncul.

Reddish mendecak. Sungguh ia jarang mendapati kegagalan. Dan sekarang, segalanya yang tampak tak sesuai dengan rencananya itu membuatnya marah. Terlebih lagi, dari semua hal yang bisa masuk ke dalam pikirannya dan terpindai ke dalam tubuhnya adalah manusia perempuan yang ditolongnya kemarin malam!

Manusia perempuan itu!

Reddish memejamkan mata menahan amarah. Kedua gerahamnya mengetat dengan ekspresi mengeras, berusaha sekuat tenaga menghapus bayang-bayang perempuan itu dari benaknya, tetapi, tidak bisa.

Lelaki itu hampir saja melemparkan kekuatan merahnya dan mengenai tembok kastil jika saja seorang anggota klannya tak datang menginterupsi.

Dengan keberanian yang sungguh sedang ia pertaruhkan dengan nyawanya, lelaki klan merah itu menyapa meski dengan tubuh dan bibir gemetar.

“Tuan Reddish.”

Reddish seketika menoleh dan memicingkan mata. Tubuhnya menegang mendengar suara sapaan dari belakang tubuhnya itu.

“Sa-saya mendapat pesan dari Nyonya Candy. Jika Tuan telah kembali, Tuan … Tuan diminta untuk datang ke ruangan Nyonya,” ucapnya terbata.

Reddish membalikkan tubuh dengan aura menantang. “Datang ke ruangannya?” tanyanya dengan terkekeh sinis. “Dia yang membutuhkanku dan aku yang harus datang ke ruangannya? Tidakkah ia tahu jika tenagaku hampir terkuras dengan menyebar kekuatan merah hampir di seluruh permukaan bumi? Suruh dia datang kemari,” perintahnya angkuh lalu kembali memunggungi anggota klannya itu dan melanjutkan langkahnya menuju ruang pribadinya di ujung bangunan. Tak dipedulikannya lelaki itu yang bertambah gemetar karena ucapannya.

“Baik. Baik Tuan,” jawabnya lalu berlalu cepat dari tempatnya berdiri, kembali menghadap Candy dengan jantung yang tak henti-hentinya berdebar cepat, bersiap mendapat amukan kemarahan yang sama.

Reddish menyibak pintu ruangannya kasar, lalu mengempaskan dirinya di sebuah sofa besar berwarna merah di dekat pintu. Lelaki itu duduk menengadah dengan kedua matanya yang terpejam, bersandarkan punggung sofa yang melengkung tebal dan empuk.

Lelaki itu tidak berbohong. Ia merasakan nyeri di sekujur tubuh saat ini. Kekuatan merahnya tersedot keluar begitu banyak saat ia dengan nekat menyebar kekuatan pemindaian di dunia manusia beberapa waktu lalu. Ia lelah. Dan entah bagaimanalah saat matanya memejam seperti ini hendak mengistirahatkan tubuh, bayangan makhluk pengganggu itu kembali datang.

Sial! Bagaimana bisa wajah perempuan itu terbayang terus menerus di angan-angannya dan sulit sekali dihilangkan!

Reddish seketika membuka mata dan menegakkan kepalanya. Sungguh ia malas berinteraksi dengan perempuan. Ia lebih suka kesehariannya dengan para lelaki yang tak terlalu ribet dan memusingkan. Baginya makhluk klan langit perempuan juga sama menyebalkannya dengan manusia perempuan. Mereka terlalu banyak bertanya, cengeng, mudah menangis dan segala hal yang tak ia suka. Termasuk bibinya itu.

Reddish hendak membaringkan lagi kepalanya yang lelah pada sandaran sofa saat tanpa peringatan dan ketukan di pintu, dengan langkah terburu-buru sembari mengangkat sedikit gaun merahnya yang terseret di lantai, seorang perempuan berambut panjang sepunggung yang digerai begitu saja dengan tato berbentuk gelang di pergelangan tangan, masuk tanpa permisi ke ruangan Reddish.

Perempuan itu datang dengan wajah bersungut-sungut marah. Ia tidak menyangka jika Reddish akan begitu angkuh menolak perintahnya untuk mendatangi ruangannya. Sekarang, justru dirinya yang harus melangkah jauh memutari seisi kastil hanya untuk menemui Reddish yang sepertinya suasana hatinya sedang memburuk dan tak ingin diganggu.

Reddish sama sekali tak terkejut mengetahui perempuan itu masuk ke ruangannya dengan serampangan tanpa permisi. Dia hanya melihat melalui ekor matanya, lalu menyapa dengan ekspresi dingin.

“Ada apa, Bibi?” tanyanya tanpa mau menoleh. Kedua mata merahnya menatap jendela besar yang membentang di sepanjang dinding ruangan itu, memperlihatkan nuansa abu-abu pekat karena pelangi semesta yang masih padam di langit sana.

Candy mendengus dan tak menahan-nahan lagi ucapannya. “Aku harus berjalan memutari kastil hanya untuk datang kemari, Reddish. Tak bisakah kau bersopan santun sedikit dengan mempersilakanku duduk?” tegurnya dengan nada ketus.

Reddish sama sekali tak tersinggung dengan teguran itu. Dengan sikap santai, ia justru mengambil gelas minuman yang sepertinya telah dipersiapkan dengan tergesa begitu pelayan mengetahui jika ia telah kembali.

“Bibi bukan tamu, aku tak perlu melayanimu dengan cara yang seperti itu. Terserah Bibi akan bersikap bagaimana asal tak membuat gaduh dan merusak tatanan ruanganku. Lagipula, aku juga membiarkan Bibi tak mengetuk pintu terlebih dahulu, jadi, lekas katakan apa yang harus Bibi katakan karena aku lelah dan ingin tidur,” ujarnya dengan nada menyebalkan yang membuat Candy dengan marah duduk begitu saja di ujung sofa.

Perempuan itu kemudian menjentikkan jemarinya dan menoleh ke arah pintu. Tak lama, datanglah seorang pelayan dengan membawa nampan di tangannya. Nampan itu berisi satu gelas penuh minuman berwarna putih pekat seperti susu yang sepertinya sengaja diseduh dingin, karena saat pelayan itu menaruh gelas ke meja, kulacino tampak di nampan, membasah di sana.

Candy menghela napas panjang, berusaha menekan emosi yang saat ini bergolak di dada karena tingkah laku Reddish. Sungguh berbeda jauh dengan kakaknya yang meskipun memiliki sifat dasar percaya diri dan angkuh yang sama dengan Reddish, kakaknya, ayah Reddish, adalah pribadi yang hangat kepada keluarganya.

Perempuan itu mendengus lagi lalu menatap tajam pada keponakannya. “Bibi hanya ingin mengingatkanmu, Reddish. Sudah terlalu lama kita melakukan pencarian. Sepertinya kau harus sesegera mungkin membuka lensa matamu untuk mempercepat proses pencarian,” tuturnya lugas.

Hening beberapa saat dan tak ada sahutan dari Reddish.

Lelaki itu kemudian meletakkan gelasnya ke meja. “Aku tahu.”

“Aku hanya ingin menggunakannya di saat yang tepat sehingga tak harus berlama-lama menggunakan mata sialan ini,” umpat Reddish dengan ekspresi tak nyaman saat membahas tentang kedua matanya.

Tak ada yang tahu tentang kelemahan Reddish yang satu ini selain Ecru dan Candy. Hanya mereka berdua yang paham bagaimana di balik sikap pongah dan sifat temperamental seorang Reddish, ada satu kelemahan yang diam-diam selalu menjadi sebab lelaki itu tak bisa beristirahat dengan tenang di malam-malamnya yang senyap.

“Bibi akan membantumu.” Suara Candy terdengar lirih kemudian. Tahu jika ini adalah aib yang tak boleh siapa pun tahu. Dan ia paham betul jika Reddish tak suka saat orang lain harus memerintah-merintahnya seperti saat ini.

“Tidak perlu,” sanggah Reddish cepat. “Aku bisa melakukannya sendiri –“

“Reddish.” Candy menyela cepat. “Kau tak bisa melakukannya sendiri. Harus ada orang lain yang membantu. Dan kau …,” ucapnya mengerutkan kening dan sengaja memutus kalimatnya. “Kau ingin perawat yang membantumu? Kau serius? Kau tentu bisa membayangkan apa yang akan terjadi saat pelayan melihat matamu berdarah saat kau melepasnya? Mereka pasti akan memanggil perawat dan itu berarti, kau siap saat rahasia besarmu itu diketahui semua orang.” Candy memperlembut ucapan walau setiap katanya dipenuhi penekanan, berharap Reddish mau mendengarkan nasihatnya kali ini.

Reddish tampak memejam. Ada seberkas ekspresi pedih yang ditunjukkan lelaki itu, tetapi dengan cepat Reddish menghapusnya.

Dirinya sungguh menerima keadaan kedua matanya itu dengan besar hati. Pun sebetulnya ia tak keberatan jika semua makhluk langit mengetahui tentang kelemahannya dan mengolok-oloknya sebagai pemimpin dengan fisik tak sempurna. Hanya saja, ia tak ingin anggota klannya menjadi kehilangan rasa aman karena kekurangan dirinya itu. Nalurinya sebagai pemimpin selalu berbisik bahwa ia harus menyembunyikan kelemahannya itu dan tampil sebagai laki-laki sempurna hanya agar koloni-koloni klan di bawahnya tak merasa khawatir. Dirinya tak ingin menjadi sosok laki-laki lemah yang dikasihani. Dia adalah Reddish. Reddish yang tangguh dan kuat di hadapan semua makhluk langit.

Memikirkan itu semua membuat Reddish mau tak mau harus  menerima saran Candy kali ini. Dengan sikap malas, akhirnya Reddish mengangguk.

“Baiklah. Saat ini, aku sedang tak ingin membuat Bibi kecewa dengan semakin tak sopan. Aku menerima bantuan Bibi,” ucapnya tak meninggalkan keangkuhan dalam nada suaranya.

Candy mengangkat sebelah alis mendengar kalimat Reddish itu.

Astaga. Anak ini. Bisa-bisanya dia memutar kalimat dan membalikkan keadaan jika orang lainlah yang selalu di bawah dan membutuhkan dirinya.

Perempuan itu mengembuskan napas panjang. Sudah bersyukur dirinya saat ini dengan Reddish yang mau merendahkan ego dan menerima saran darinya. Lelah rasanya jika harus berlama-lama adu pendapat dengan keponakannya yang keras kepala ini.

“Baik. Bibi akan mempersiapkan segala sesuatunya. Kau datanglah ke tempat meditasi malam ini setelah istirhatmu selesai.” Candy tak menunggu tanggapan dan langsung bangkit dari posisi duduknya.

“Siapkan tempat yang paling gelap. Aku tak ingin ada setitik cahaya pun terlihat saat aku membuka mata,” pintanya dengan nada memerintah.

Perempuan itu bergeming sejenak. “Ya. Bibi tak akan lupa,” jawabnya kemudian dengan ekspresi tak terbaca, lalu melangkah hendak meninggalkan ruangan.

“Kau meninggalkan minumanmu di meja, Bibi.” Reddish mengingatkan sembari memandang tak suka gelas pada yang mulai meninggalkan kulacino semakin banyak.

Candy kembali menghentikan langkah. Kali ini dengan tubuhnya yang berbalik, menatap Reddish dengan pandangan berharap yang tak ia tunjukkan sepenuhnya.

“Itu untukmu. Bibi membuat ramuan itu khusus untukmu. Minumlah dan habiskan dalam satu kali minum. Itu akan membuat tenagamu cepat pulih untuk nanti malam.”

Tak menunggu tanggapan Reddish, Candy mengangsurkan langkahnya hingga tuntas melalui pintu dan betul-betul pergi dari ruangan tersebut.

Di koloni klan merah, Candy memang terkenal sebagai pencipta minuman andal yang dipercaya dengan keberhasilan penelitiannya. Reddish tak pernah meragukannya. Oleh karena itu, saat Candy tadi berkata jika minuman itu adalah untuk mengembalikan energinya, dengan cepat lelaki itu membungkuk, meraih gelas tersebut dan menimangnya sejenak sebelum kemudian meneguknya perlahan hingga tandas. Menikmati bagaimana minuman yang begitu gurih dengan sedikit sensasi manis yang terasa seperti campuran madu dan terasa dingin itu membuat lidahnya bersuka cita.

Candy berdiri bersandar pada tembok di sisi pintu. Ia belum benar-benar pergi dari sana, memastikan tujuan terselubungnya kali ini berhasil. Dan saat terdengar suara adu gelas dengan meja kaca yang artinya Reddish telah menghabiskan minuman itu, Candy tersenyum puas. Bibirnya terangkat dengan ekspresi senang yang kentara di wajahnya.

Minuman itu telah masuk ke tubuh Reddish. Minuman pelembut hati.

Sungguh Candy berharap hati Reddish yang sekeras batu dan sifatnya yang pemarah itu sedikit mereda. Bukan untuknya, tetapi untuk perempuan calon istri keponakannya itu nantinya. Sebab, dirinya yang hanya sekali waktu bertemu dengan Reddish saja harus menahan dada yang kembang kempis penuh kesal saat mendengar ucapan Reddish yang seenaknya, apalagi perempuan yang harus bertemu dengan Reddish setiap hari dan terus menerus berinteraksi dengannya.

Walau efek samping dari minuman pelembut hati itu belum ia ketahui secara pasti karena Reddish adalah pencicip minuman pelembut hati pertamanya, tapi, Candy yakin jika efek buruknya hanyalah nol koma sekian persen saja, selebihnya adalah Reddish yang terlahir kembali dengan jiwanya yang baru, jiwa yang bijaksana dengan temperamennya yang bisa diterima oleh orang lain dan memudahkannya nanti dalam pernikahan yang akan dilaksanakan lelaki itu sebentar lagi.

Candy bertepuk tangan kecil dengan senyuman yang masih merekah di bibirnya saat memikirkan jika rencananya itu berhasil.

Ini semua ia lakukan karena ia begitu menyayangi Reddish dan menginginkan yang terbaik bagi keponakan kecilnya itu.

Perempuan itu berlalu kemudian dari tempat itu sembari mengangkat gaunnya dengan jemarinya yang lentik, melangkah menuju ruangannya kembali di ujung kastil.

***

“Dia sudah bangun.” Sky berucap pelan di samping Navy yang juga tengah berdiri bersedekap mengawasi ke arah peraduan.

Perempuan klan hijau yang kini telah tersamar menjadi perempuan klan biru itu perlahan mengerutkan kening, seakan keadaan tubuhnya begitu tak nyaman saat kesadaran perlahan membangunkannya.

Bulu mata biru yang kini bertengger di kelopak matanya pun bergerak-gerak. Begitu beratnya mengajak kedua matanya membuka. Sebelah tangannya yang terkulai bebas di samping tubuh mulai terangkat, hendak menyentuh kepalanya yang terasa pening entah kenapa.

“Bantu dia.” Navy mengedikkan dagu, memerintah Sky untuk datang mendekati perempuan itu.

Sky lalu melangkah menuju sebuah meja kecil, di mana ada segelas air di sana. Saat melihat perempuan itu yang mulai kuat menumpukan tangannya untuk duduk, Sky bergegas datang mendekat dan mendudukkan diri di tepi ranjang, menatakan bantal di punggung perempuan itu.

“Minumlah. Kau pasti haus.” Sky menyodorkan gelas di tangannya.

Setelah berhasil duduk dengan tubuhnya yang lemah, perempuan itu mulai membuka mata dan menatap sekeliling lalu kedua tatapannya tertambat pada mata laki-laki berwarna biru tua yang tampak ramah. Begitu melihat segelas air putih di tangan lelaki itu, perempuan itu tampak menelan ludah dan barulah ia merasakan jika tenggorokannya sangat kering dan merindukan air.

“Ini. Minumlah.” Sky berucap lagi.

Perempuan itu mengangguk. Sky dengan baik hati mendekatkan gelas itu ke mulut si perempuan. Begitu hausnya dia hingga begitu menyentuh ujung gelas dan meminumnya, cairan bening itu habis dalam beberapa kali teguk.

Sky tersenyum lalu memiringkan badan, menaruh gelasnya kembali ke meja.

“Namamu Sapphire.” Navy berucap cepat, melangkah beberapa jangkahan mendekati ranjang.

Laki-laki bertampang serius itu tahu jika saat ini perempuan itu pastilah sedang kebingungan. Berada di tempat yang tak diketahui dengan kondisi tubuh lemah dan otaknya yang bingung seakan tak mampu diajak berpikir.

Perempuan itu menatap ke arah Navy dengan mata melebar. “Sapphire?” tanyanya membeo.

“Ya. Kau adalah Sapphire. Anggota kami klan biru,” tambah Navy lagi dengan ekspresi kaku.

Perempuan itu seketika melebarkan mata. Sontak kepalanya menunduk menatap kedua tangannya yang terpangku di atas kakinya yang selonjor tertutup selimut. Keningnya mengernyit. Dilihatnya secara saksama kuku-kuku tangannya yang berwarna biru muda di mana terdapat urat-urat kecil berwarna biru senada di sekitar ujung jari-jemarinya yang cantik.

Sapphire lantas membelai rambutnya dan membawanya dalam genggaman seolah tak yakin benar jika dirinya adalah anggota klan biru seperti yang dikatakan oleh lelaki tadi. Matanya kembali membelalak kemudian saat menemukan jika rambutnya yang bergelombang ternyata juga memiliki warna biru.

Sky dan Navy saling berpandangan sejenak dan tersenyum dalam pemahaman yang sama. Usaha mereka berhasil. Perempuan itu benar-benar lupa jati dirinya dan menganggap apa yang terlihat di matanya adalah suatu kebenaran.

“Sapphire.” Sky menyapa kemudian saat dilihatnya perempuan itu telah mulai bisa menerima identitas dirinya yang kini melekat di tubuhnya.

Sapphire menengadah.

“Kami hendak membawamu ke hutan untuk mencari lagi bunga Flax biru,” ucap Sky memulai percakapan.

“Bunga Flax biru?” Sapphire bertanya dengan nada tertarik.

blue_flax3

“Ya. Kau pasti lupa. Tapi selama kau tak sadarkan diri, kau terus mengigau tentang bunga kesayanganmu yang mati itu.” Sky mulai mengarang cerita indahnya dengan nada penuh kasih untuk meyakinkan perempuan itu agar memercayai penuturannya.

Sapphire mengernyitkan kening dan berusaha mengingat-ingat.

“Kau terjatuh dan mengalami luka di kepala saat berjalan di hutan, bersikeras menemukan bunga biru itu.” Navy menambahkan, kali ini dengan ekspresinya yang sedikit melunak.

“Ayo.” Sky mengulurkan tangannya. “Kau masih lemah, aku akan membantumu terbang,” imbuhnya menggerakkan tangannya dengan gerakan mengundang.

Sapphire tak henti-hentinya mengernyitkan kening. Menatap telapak tangan Sky yang terbuka ke arahnya. Pikirannya yang masih berkabut itu entah bagaimana merasakan aura mendesak nan terburu-buru dari dua laki-laki di hadapannya.

Mereka berkata bahwa dirinya adalah adik mereka? Tapi mengapa tak ada nuansa familier di jiwanya menyangkut itu semua?

Terdengar Sky mengembuskan napas panjang. “Bunga Flax biru itu hanya akan mekar satu kali dalam seminggu. Kalau kita tak cepat-cepat, kita tak akan bisa menemukannya nanti.” Sky berusaha melebarkan senyuman meski ia geram bukan main.

Sungguh perempuan yang lambat!

Sapphire mengerjap lalu menatap Sky.

“Jadi, ayo. Kita tak punya banyak waktu lagi.” Sky berucap dengan ekspresi seriusnya kali ini. “Aku tak ingin kau mengeyel lagi dan celaka lagi nantinya.”

Mendengar desakan yang begitu beruntun dari lelaki itu, Sapphire akhirnya mengiyakan dengan mulai menyibak selimut yang sedari tadi menutupi kakinya.

Dengan sigap Sky membantu Sapphire yang tertatih, memapahnya hingga mampu berdiri tegak.

“Lakukan tugasmu dengan baik, Sky.” Navy berucap dengan nada misterius kemudian. Pandangan tampak tajam ke arah Sky. Lelaki tua itu kemudian melangkah keluar terlebih dahulu dari ruangan, membebankan tugas itu sepenuhnya kepada anak buahnya.

Sky tak sempat menyahut, lelaki itu lalu mengalihkan fokusnya lagi ke Sapphire yang kini sedang dirangkulnya. Keduanya turut melangkah keluar ruangan, berjalan menuju lorong panjang dengan nuansa temaram di sekelilingnya.

Sapphire kali ini hanya diam menurut, berjalan perlahan mengikuti ke mana Sky mengarahkan jalan. Lelaki itu juga tak banyak mengajaknya bicara lagi seperti tadi, memapahnya dengan sabar, melewati langkah demi langkah yang membawa mereka menuju sebuah pintu yang dijaga oleh dua orang klan biru pada sisi kiri dan kanannya.

Sapphire tak sempat bertanya mengapa kediaman mereka ini didominasi oleh warna gelap, cokelat hingga hitam pekat. Aura Sky di luar ruangan ini entah bagaimana terasa berbeda, seolah-olah kependiamannya itu memintanya pula untuk tak banyak bicara, tidak seperti tadi saat mereka berada di dalam kamar. Sky yang ramah kini berubah sama seperti laki-laki tua itu, dingin dan kaku.

Sky sempat melirik bagaimana ekspresi perempuan itu yang serba kebingungan, tetapi ia tak peduli. Saat ini setelah berhasil mengajak perempuan ini keluar dari persembunyian, ia hanya perlu meninggalkannya di kedalaman hutan dengan mencabut kemampuan terbangnya nanti.

Beberapa langkah kemudian keduanya tiba di pintu. Sapphire sedikit mengerut merasakan embusan angin besar yang menghadang di depan tubuhnya. Keningnya berkerut kembali saat pertanyaan demi pertanyaan kembali memenuhi benaknya yang kosong.

Sky merangkulnya semakin erat, membuat lagi-lagi Sapphire tersadar dari lamunan.

“Berpegang padaku,” perintahnya cepat.

Tak menunggu Sapphire bersiap lebih lama, Sky seketika menguarkan aura birunya dan melesat cepat, naik ke langit dengan Sapphire yang juga tertatih-tatih menguarkan aura birunya perlahan, mengimbangi Sky yang begitu kuat dan cepat.

Sapphire menatap ke depan dan mengetatkan pelukannya di pinggang lelaki itu. Sky mengajaknya terbang semakin tinggi, menembus angin kencang yang entah bagaimana terasa lebih dingin. Jauh dan makin jauh dari tempat tinggal mereka tadi.

Berkali-kali Sapphire menangkap ekspresi Sky yang tak tenang dengan kepalanya yang tertoleh ke sana kemari, seolah perjalanan mereka ini adalah sebuah pelarian sehingga ia begitu tergesa dan takut ketahuan.

Perlahan, setelah sekian menit keduanya terbang, tak jauh dari mereka, hutan langit yang berbentuk hutan pohon berwarna hijau mulai terlihat. Daun-daunnya yang berwarna hijau bening serta batang-batang pohonnya yang berwarna cokelat lembut itu kian dekat.

Sky memperlambat terbangnya. Aura biru di tubuhnya tak sepekat tadi.

Saat keduanya menapak di kelembutan tanah putih yang menyapa kaki mereka, Sky melepas rangkulan.

“Cepat, Sapphire. Ayo, kita harus masuk ke dalam hutan.” Sky menggenggam tangan perempuan itu dan melangkah dengan sedikit menyeretnya. Diam-diam menyedot aura biru hingga tinggal separuhnya saja yang tersisa di tubuh Sapphire. Membuat Sapphire yang tahu jika telah ditinggalkan sendirian di dalam hutan nanti tak punya jalan lain selain berjalan hingga kelelahan karena tak bisa terbang untuk keluar dari hutan.

Mereka masuk ke bagian hutan lebat dengan pepohonan yang begitu rapat pada tiap jengkal langkahnya.

“Bunga itu, apakah ada di kedalaman hutan sana?” Sapphire memberanikan diri bertanya dengan ucapan yang terbata karena napasnya yang tersengal.

Sembari menghitung-hitung jarak dan melangkah kian dalam ke kedalaman hutan lebat itu, Sky menoleh sedikit dan terus melangkah cepat.

“Ya. Sedikit lagi,” jawabnya.

Sapphire tak bisa mengira-ngira waktu, karena meskipun dedaunan yang bening itu bisa tertembus oleh cahaya, tetapi ia lagi-lagi tak mengerti, mengapa langit dunia langit itu tampak abu-abu sedari tadi?

Sky menghentikan langkah, melepaskan pertautan tanganya dengan Sapphire.

“Kau lelah?” tanyanya sembari membalikkan badan, menghadapkan tubuhnya pada Sapphire yang sedari tadi berjalan mengekor di belakangnya. Tatapannya tajam, tampak begitu kontras dengan ucapannya yang penuh perhatian.

“Aku akan mencari minum,” ujarnya tanpa meminta persetujuan lalu menoleh ke kiri dan ke kanan seakan sedang mencari tempat yang tepat untuk mencapai tujuannya itu.

“Ya.” Sapphire tersenyum dan mengangguk tipis.

Sky melangkah kembali. Menyibak dedaunan serta ranting pohon yang begitu liar tumbuh dan berserak di sekitar mereka.

Sapphire memeluk tubuhnya dengan kedua lengannya yang kurus. Sudah tak terdengar lagi suara gemeresak Sky yang sedari tadi melangkah sembari menyingkirkan ranting-ranting kering. Keningnya mengernyit kemudian dengan bulu kuduknya yang meremang saat menyadari jika suasana di dalam hutan itu begitu sepi, tak ada suara hewan-hewan langit yang biasanya terbang sesekali melintas mengepakkan sayap.

Perempuan itu tak menyadari jika kini tinggal dirinya seorang di hutan itu. Sky dengan bersorak riang telah pergi meninggalkannya, kembali ke tempat persembunyian mereka di balik gunung. Berpesta karena telah berhasil melepaskan umpan.

***

Azure melangkah memasuki pintu karyawan saat dirinya tiba di salah satu sisi bangunan toserba. Flavia telah terlebih dahulu tiba. Perempuan itu tersenyum ceria saat melihat Azure sedang meletakkan barang-barangnya di loker.

“Kau tak apa-apa, Carissa? Wajahmu sedikit pucat.” Flavia mengamati dengan saksama wajah teman perempuannya itu dengan kening berkerut.

Azure mengangkat alis. “Ah, tidak apa-apa Flavia. Mungkin karena aku kurang tidur semalam,” sanggahnya dengan alasan sedapatnya. Melempar senyum tipis kepada teman kerjanya itu.

Kedua perempuan itu lantas melanjutkan perbincangan mereka sembari melangkah bersama-sama menuju gudang pakaian, tempat mereka harus mengambil beberapa stok pakaian dan menatanya di etalase.

Semuanya tampak biasa-biasa saja dan berjalan sesuai kebiasaan. Namun, tidak bagi Onyx. Laki-laki klan hitam yang sedari tadi membuntuti ke mana pun Azure pergi itu betul-betul tak menyangka jika perempuan yang dicintainya itu kini telah pulih sepenuhnya seolah tak pernah terluka.

Bukankah Azure sempat tak bisa melangkah dengan benar karena bahunya terluka? Kemarin itu tentu Azure tidak berpura-pura, bukan? Onyx ingat betul saat dirinya menyamar menjadi Brick, lelaki klan merah. Dia dengan tenaganya yang setengah-setengah itu melemparkan kekuatannya ke arah bahu Azure. Lebih dari itu, Onyx juga ingat jika Azure terluka di bagian pelipisnya dan seharusnya saat ini meninggalkan bekas luka. Bagaimana bisa sekarang ini perempuan itu tampak begitu sehat tanpa bekas luka sedikit pun?

Rencana beradegan mesra dengan ia yang merawat luka Azure pun musnah sudah. Tangan Onyx terkepal saat merasakan sesuatu yang tak beres telah terjadi. Lelaki itu kemudian melesat cepat untuk kembali ke markasnya. Hendak mengadukan hal penting ini kepada anggotanya yang lain.

 

To be continued-
Terima kasih telah membaca sampai sejauh ini ^^

 

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

 

KONTEN PREMIUM PSA


 

Semua E-book bisa dibaca OFFLINE via Google Playbook juga memiliki tambahan parts bonus khusus yang tidak diterbitkan di web. Support web dan Authors PSA dengan membeli E-book resmi hanya di Google Play. Silakan tap/klik cover E-book di bawah ini.

Download dan install PSA App terbaru di Google PlayWelcome To PSAFolow instagram PSA di @projectsairaakira

Baca Novel Bagus Gratis Sampai Tamat – Project Sairaakira

6 Komentar

  1. Seruu juga sepertinya

  2. Indah Narty menulis:

    Lanjutkan bang :lovelove :lovelove

  3. Iihhh makin penasaran sama lanjutannya :berikamiadegankiss! :lovelove

  4. Dian Sarah Wati menulis:

    Jan sampe reddist salah penglihatan,justru biru palsu yg keliatan

  5. Andai didunia nyata ada minuman kek gituuuu