Vitamins Blog

Cerpen | Untuk Laura

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

black-1175218_1920

 

7 votes, average: 1.00 out of 1 (7 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

Kota Ockland dilanda kericuhan. Keamanan kota sedang diobrak-abrik oleh sindikat kriminal yang bergerak secara senyap menculik warga kota di beberapa tempat. Pihak regensi beserta tim investigasi telah menurunkan tim khusus untuk menyelesaikan persoalan tersebut. CCTV dipasang hampir di semua sudut strategis berikut petugas yang disebar hampir di semua wilayah.

Laura berjalan cepat dengan napas terengah saat tiba di pintu gang. Area tempat tinggalnya ini sesungguhnya adalah area yang jauh dari hiruk pikuk serangan para penjahat itu dan termasuk wilayah aman karena berada di lokasi terdekat dengan kantor polisi setempat.

Waktu menunjuk pukul sepuluh malam. Laura merasakan dadanya seolah akan meledak karena sedari tadi menahan rasa cemas sekaligus lelah karena langkahnya yang cepat. Perempuan itu bersandar pada tembok di salah satu sisi tersembunyi sebuah rumah tak jauh dari jalur masuk tempat tinggalnya. Tadi, Laura mengira jika dirinya akan menjadi korban penculikan selanjutnya setelah selama 1 kilometer jauhnya ia dibuntuti oleh seseorang.

Laura membuka ponselnya dan menggerutu. Keegan. Teman lelakinya itu biasanya akan berbaik hati menemaninya pulang mulai dari halte bus kedua hingga depan jalan menuju gang rumahnya ini. Keegan berkata jika rumahnya berada dua kilometer dari tempat Laura turun dari bus sehingga bukan masalah besar jika ia menemani Laura pulang.

Bagi Laura sendiri, Keegan adalah sosok sempurna yang memenuhi segala ekspektasinya tentang lelaki idaman. Keegan adalah lelaki pekerja keras, penyayang, dan peduli dengan orang lain. Hal itu masih ditambah dengan fisiknya yang gagah dan rupawan.

Sejenak Laura tersenyum tipis saat mengingat pendapatnya sendiri tentang lelaki itu, tetapi dengan cepat ia mendecak lantas menyakukan kembali ponselnya dengan gerakan kasar saat tahu jika sepertinya Keegan tak akan datang. Baru saja akan melanjutkan langkah setelah yakin jika tak ada siapa pun yang mengikutinya, Laura justru mendengar suara derapan langkah kaki yang terdengar tegas di belakangnya.

Astaga. Apakah dirinya lengah sehingga membiarkan penguntit itu berhasil menemukannya meski ia bersembunyi di tempat gelap?

Tubuh Laura gemetar dengan antisipasi yang terlambat meski ia pada akhirnya berhasil maju selangkah demi selangkah dengan tersendat-sendat. Langkah kaki itu kian dekat membuat Laura memejam dan bersiap melawan dengan sepenuh kemampuannya yang seadanya apa pun resikonya. Perempuan itu mencengkeram tas yang diselempangkannya dan bersiap melemparkannya ke belakang lantas hendak berlari.

Laura menghitung dalam hati seiring derap langkah kaki di belakangnya yang kian cepat. Perempuan itu secepat kilat melempar tas di tangannya dan seketika itu juga keterkejutan kedua saat tangannya tiba-tiba dicengkeram membuat jantungnya seolah betul-betul terlepas dari tempatnya.

“Laura.”

***

Sudut jalan itu sepi. Lelaki yang tampak mengenakan pakaian serba hitam dan penutup kepala itu menghentikan langkah. Perempuan yang diikutinya tadi sepertinya menyadari jika ada orang yang sengaja membuntutinya dan itu adalah masalah besar.

Pemimpinnya dengan tegas mengatakan jika ia hanya harus mengawasi perempuan itu hingga tiba di rumahnya tanpa ketahuan.

Telanjur. Lebih baik ia segera pergi dari tempat ini.

Lelaki itu menengok penunjuk waktu di pergelangan tangan, menghitung waktu.

Beberapa saat kemudian, sebuah sepeda motor besar dengan warna gelap berhenti persis di depannya. Tak menunggu waktu lebih lama, ia segera membonceng di belakang dan pengendaranya pun segera memutar gas, melaju di jalanan besar itu, menyaru dengan kendaraan lain, membaur dengan mobil petugas yang sesekali membunyikan sirene, menandakan petugas patroli yang benar-benar tak beristirahat malam itu.

***

Laura meletakkan gelasnya dengan tangan gemetar. Bayang-bayang dirinya dibuntuti orang tak dikenal lantas tiba-tiba ditikam benar-benar membuat kepalanya pening.

“Kau dibuntuti?” Keegan mengernyitkan dahi.

Laura mengangguk pelan. “Kau mendadak datang di belakangku. Apa kau tak melihat? Kupikir kaulah orang itu. Sialan!” umpatnya sembari memukul lengan Keegan.

Raut wajah Keegan berubah gelap sesaat sebelum berucap dengan nada getir, “Maafkan aku, Laura. Aku ada lembur hari ini dan tak bisa menemanimu pulang—”

Suara rentetan tembakan dari televisi yang menyala menyela kalimat Keegan. Keduanya menoleh cepat dan melihat jika kanal berita terbaru sedang memperlihatkan suasana keributan di salah satu rumah yang sedang dikepung. Ada begitu banyak polisi dan juga warga kota yang tertarik ingin melihat proses penangkapan di sebuah rumah yang diduga sebagai kediaman pelaku penculikan.

Suara embusan napas Laura terdengar putus asa. “Apakah menurutmu para polisi akan berhasil menangkap salah satu saja dari mereka malam ini?” tanyanya dengan nada cemas. “Aku ingin sekali pindah dari kota ini tapi seluruh jalan menuju keluar wilayah kota menjadi tempat yang paling tidak aman,” keluhnya dengan senyum kecut. “Teman-teman kerjaku banyak yang kehilangan anggota keluarga mereka. Aku takut.” Laura tanpa sadar mengusap lengannya sembari memeluk badan, menunjukkan ketakutannya yang tak terbendung.

Ada tatapan tak biasa dari kedua mata Keegan mendengar kalimat Laura itu. “Bagaimana jika kita menikah saja sehingga kau hanya harus di rumah dan aku yang akan bekerja?” celetuknya yang berhasil membuat kedua mata Laura melotot marah.

Namun, berbeda dari biasanya di mana Keegan yang setelah mencandai Laura itu akan mengeluarkan suara tawanya, kali ini lelaki itu memasang ekspresi wajahnya yang serius dan menatap Laura dengan penuh harap.
“Aku bersungguh-sungguh, Laura. Kau telah mengenalku dan aku mengenalmu dengan baik. Bukankah aku telah memberi apa yang kaubutuhkan selama ini? Aku akan menjamin keamananmu dan mencukupimu. Apakah itu tak cukup memberimu pertimbangan?” Keegan meraih tangan Laura dan menggenggamnya.

Entah bagaimana hal itu terasa berbeda bagi Laura dari sentuhan Keegan selama ini yang hanya menyentuh lengan saat memanggilnya.

“Keegan. Mungkin ini terlalu terburu-buru. Aku—”

“Aku berjanji atas perihal yang kuucapkan tadi, Laura. Kau akan menjadi satu-satunya. Aku berjanji tak akan meninggalkanmu apa pun alasannya. Aku mencintaimu.” Keegan berucap lembut penuh kesungguhan, menyentuh perasaan Laura hingga perempuan itu berkaca-kaca.

***

Suara tawa terdengar keras di dalam sebuah mobil minivan yang sedang melaju di jalanan lengang pinggir kota. Dua laki-laki tampak berbincang dengan bahasa asing dan entah sedang membicarakan apa.

“Siapa … kalian?” Suara tanya penuh teror dari mulut seorang perempuan yang duduk di kursi tengah mobil itu terdengar parau. Seingatnya, tadi ia sedang berada di meja kerjanya dan menyalakan laptop, tetapi entah bagaimana kini ia sudah berada di kendaraan asing bersama dua laki-laki yang tak dikenalnya!

Salah seorang dari dua laki-laki itu kembali tertawa. “Sebentar lagi kita tiba, Sayang. Kau akan segera tahu,” ucapnya dengan senyum sinis sembari mengangkat ponselnya ke telinga.

“Tuan. Kami sudah membawa target selanjutnya.” Laki-laki itu berkata dengan penuh keangkuhan.

“Ah, bagus. Aku sedang berada di tempat biasa. Kususul kalian sesegera mungkin,” sahut seseorang di seberang telepon lantas memutus sambungan.

“Tuan Lee sedang pergi?” Lelaki yang berada di balik kemudi bertanya.

“Ya. Dia sedang bersama wanitanya. Sebentar lagi akan menyusul kita ke markas.”

Kendaraan roda empat itu terus melaju membelah jalanan mulus di tengah hutan pinus, menuju tempat tujuan.

***

Keegan masih menggenggam tangan Laura ketika pada akhirnya mereka berjalan turun dari mobil yang dikendarai Keegan. Laura tak sempat memperhatikan sekeliling bahkan tak peduli lagi dengan tujuan mereka pergi kali ini karena selama perjalanan tadi, yang ada dalam pikirannya hanyalah pernyataan Keegan yang tak pernah disangka-sangkanya, bercampur aduk dengan kebingungan hatinya sendiri yang tak berkesudahan.

Laura tersentak dari lamunannya ketika mereka berdua tiba di depan sebuah rumah besar di mana sudah ada banyak sekali anggota polisi yang berjajar seolah menunggu mereka berdua.

“Kee-Keegan.” Langkah Laura sontak berhenti dengan wajahnya yang pias. Perempuan itu menyentakkan genggaman tangannya saat mengetahui jika Keegan sama terpakunya seperti dirinya. “Apa … yang terjadi?” tanya Laura terbata, mulutnya terasa kering bahkan untuk sekadar menelan ludah menenangkan diri dan memahami situasi.

Pikiran Laura yang lelah kini tumpul seketika saat tak berhasil mengumpulkan barang satu kemungkinan tentang apa yang sedang dihadapinya.

“Kau … Keegan ….”

Tanpa disangka, dari semua ekspresi gugup dan takut yang bisa ditunjukkan oleh Keegan kepada Laura atas peristiwa ini, lelaki itu justru memiringkan tubuhnya dan tersenyum lebar dengan aura menakutkan hingga membuat Laura tanpa sadar memundurkan kakinya gemetar. Tak berapa lama, sebuah mobil minivan datang membunyikan klakson, mengalihkan perhatian semuanya.

Dua orang lelaki dan satu orang perempuan yang dicekal tangannya turun dari kendaraan itu.

Para polisi yang semula anteng seperti patung itu mendadak menundukkan tubuh mereka yang tentu saja merupakan isyarat tanda menghormat setelah Keegan menatap tajam ke arah mereka semua, setelah itu, serempak para polisi itu melepas resleting baju hingga ke atas kepala, membuat penampilan mereka berubah total menjadi selayaknya seorang pengawal berpakaian serba hitam.

Belum selesai hal itu membuat Laura kembali tertimpa shock, pintu besar rumah itu terbuka lebar, memperlihatkan beberapa pelayan dengan pakaian khasnya yang begitu rapi, berdiri seperti boneka dengan tatapan kosong.

“Tuan Keegan Lee.” Mereka menyapa serempak.

Laura membelalak mendengar suara sapaan itu, wajahnya berubah pucat saat tanpa sadar ia mengamati dan mengenali beberapa perempuan yang beberapa waktu lalu berkali-kali masuk ke dalam saluran berita televisi, menjadi berita utama perempuan hilang yang menghebohkan.

Laura jatuh terduduk dengan dadanya yang sesak diikuti kedua matanya yang membasah. Tak mampu berkata-kata.

“Selamat datang di rumah, Laura. Bagaimana? Apakah kau menyukai mereka? Kalau kau tak setuju, aku bisa dengan mudah mengganti mereka semua.”

Tangis Laura pecah, diikuti isakannya yang berujung pada suara teriakan putus asa penuh kengerian yang tak bisa ditutup-tutupi lagi.

 

TAMAT

 

2 Komentar

  1. selinokt18 menulis:

    Keegan kamu menyeramkan.