Asia melangkah keluar dari kamar mandi dengan kulit yang terasa pedih. Tubuhnya dibalut handuk putih panjang. Dia melangkah dan berdiri di atas karpet tebal yang menenggelamkan kakinya, tidak mempedulikan air yang menetes-netes dari rambutnya yang basah.
Setelah mandi dan menggosok seluruh tubuhnya sambil menangis keras-keras untuk meluapkan emosi, Asia akhirnya bisa mendapatkan akal sehatnya kembali.
Oke. Yang pertama, dia harus tenang. Dia harus mencoba mencari tahu dimana dirinya sekarang dan mencari jalan untuk kabur. Setelah itu dia harus mencoba mencari tahu di mana Cesar berada.
Cesar…. Asia meringis, merasakan denyutan pedih di dadanya. Dimana saudara kembarnya itu sekarang? Dalam kondisi Asia yang hilang ingatan, dia pasti telah mengecewakan Cesar dan membuat saudara kembarnya itu salah paham.
Asia ingin menangis ketika mengingat insiden di tengah salju ketika anak buah Cesar berusaha menculiknya. Sekarang dia mengerti semua. Kondisinya yang lupa ingatan telah dimanfaatkan Jenderal Akira yang brengsek untuk mengadu domba mereka berdua. Asia ingat sekali salah seorang penculik itu mengatakan bahwa perintah Cesar adalah untuk membunuh Asia.
Cesar tidak tahu bahwa Asia mengalami lupa ingatan, kakak kembarnya pasti merasa terluka dan sakit hati karena Asia tiba-tiba berbalik arah kepada Jenderal Akira.
Asia harus berhasil menemukan Cesar, kemudian menjelaskan semua kepadanya. Mereka kemudian bisa melarikan diri, hidup berpindah-pindah dan menyamar untuk menghindari kejaran Jenderal Akira.
Tetapi untuk melakukan itu semua, tentulah dia harus berhasil melarikan diri dari rumah ini.
Asia berusaha memindai kembali ingatannya. Paris membawanya kemari dari ruang rahasia yang berada di bagian bawah tanah rumah sakit militer milik pemerintah. Sayangnya, ketika mereka akan keluar dari lorong putih itu, Paris meminta izin untuk menutup matanya dengan penutup mata berwarna hitam. Demi keamanan, katanya waktu itu. Sementara Asia yang sedang amnesia dan bodoh mengiyakan begitu saja tanpa prasangka apapun.
Ketika penutup matanya di buka, Asia sudah berada di kamar ini.
Dia memang tidak tahu di mana dirinya berada sekarang, tetapi dia harus segera mencari tahu.
Asia melangkah menuju ke arah lemari kayu besar yang ada di dinding, dan membuka lemari itu. Dia menatap masam ke seluruh gaun yang tergantung di situ. Gaun yang disediakan oleh Jenderal Akira untuknya.
Semua gaun itu berwarna putih.
Sejak awal dia berada dalam tawanan Jenderal Akira, lelaki berengsek itu selalu memaksanya memakai baju berwarna putih, entah kenapa.
Asia mengambil salah satu gaun, meraba dan memeriksa untuk menemukan apakah ada alat pelacak kecil di sana – dia pernah mencoba melarikan diri dulu, ketika itu mereka sedang berada di benteng bagian perbatasan, Kala itu Jenderal Akira memang memindahkannya setiap beberapa periode secara terus menerus untuk menghindari lokasinya terlacak oleh Cesar dan pasukannya. Ketika itu Asia berhasil melarikan diri dan sempat memasuki hutan hanya untuk ditangkap dengan mudah karena ternyata di dalam gaunnya tersimpan alat pelacak kecil yang tidak terdeteksi olehnya.
Asia tidak mau melakukan kesalahan yang sama. Dengan teliti diperiksanya setiap detail gaun, di bagian lipatan, di bagian kerah, bahkan di bagian renda serta serat kain, ketika dia tidak menemukan alat pelacak yang dicuriganya, barulah dia memakai gaun itu.
Setelah berpakaian lengkap, Asia berjingkat pelan ke arah jendela, dan mengintip. Yang pertama kali dirasakannya adalah kekecewaan. Jendela itu dibatasi oleh kaca bening anti peluru yang sangat tebal, khas seluruh kamar di rumah Jenderal Akira, belum lagi dengan teralis besi yang menghalangi, sangat rapat di kedua sisi, baik sisi dalam dan sisi luar.
Kalau begini keaadannya, satu-satunya jalan keluar adalah melalui pintu. Halangan paling berat untuk melarikan diri melalui pintu adalah menghadapi para penjaga dan pengawal yang ditempatkan oleh Jenderal Akira di seluruh akses keluar masuk itu.
Asia mengamati ke bawah lewat jendela, mengerutkan kening ketika melihat tidak banyak penjaga yang mengelilingi rumah. Ini tidak sama dengan benteng milik Jenderal Akira yang sulit tertembus. Rumah tempatnya berada sekarang lebih mirip rumah peristirahatan di tengah hutan, karena itulah tidak ada benteng yang mengelilingi dan tidak ada pasukan patroli yang mengawasi bagaikan elang mencari mangsa dari bagian atas benteng.
Jantung Asia berdebar ketika memikirkan bahwa mungkin saja ada harapan untuknya melarikan diri dari rumah ini. Mungkin saja karena menganggap dirinya sedang amnesia, berubah menjadi gadis penurut yang mudah diatur, maka Jenderal Akira mengendorkan kewaspadaannya.
Kalau begitu… dia harus memikirkan cara untuk memastikan rencana pelariannya kali ini benar-benar matang. Dia tidak boleh gagal lagi seperti yang kemarin-kemarin.
Asia melangkah pelan, duduk di pinggiran ranjang, berpikir dengan keras. Kalau dia mencoba melarikan diri, Jenderal Akira akan mengerahkan seluruh kekuatannya untuk mengejar dan mencarinya. Dan di dunia kecil yang seluruhnya dikuasai oleh sang Jenderal, sangatlah sulit menemukan tempat bersembunyi yang aman dan tidak terlacak. Dia sudah pasti akan tertangkap dalam waktu singkat.
Satu-satunya jalan adalah mencoba melenyapkan Jenderal Akira sebelum kemudian dia melarikan diri.
Tetapi bisakah dia?
Asia meremas kedua jemarinya dengan cemas, tiba-tiba merasa takut. Apakah dia bisa? Asia sendiri tidak tahu jawabannya. Rencana melenyapkan Jenderal Akira yang terkenal memiliki insting yang sangat kuat itu adalah rencana yang sangat berbahaya dengan kemungkinan keberhasilan yang sangat kecil.
***
Pintu kamarnya yang diketuk membuat Asia terlonjak, terlepas dari lamunannya. Dia menarik napas panjang sebelum bersuara.
Pelan-pelan. Kendalikan diri. Gumamnya dalam hati, merapalkan mantra dan menanamkan tekad di otaknya supaya bisa berakting layaknya Asia yang masih amnesia.
“Siapa?” tanyanya pelan, melirik ke arah pintu, merasa jantungnya berdetak kencang ketika membayangkan mungkin saja Jenderal Akira yang berada di balik pintu.
Tidak mungkin. Gumamnya menenangkan diri sendiri sekali lagi. Jika itu adalah Jenderal Akira, maka pria brengsek itu pasti akan langsung masuk tanpa repot-repot mengetuk pintu.
“Nyonya Asia, ini Paris. Saya datang mengantarkan dokter Frederick untuk memeriksa anda.”
Asia menghela napas panjang. Paris dan dokter Frederick. Ini berarti dia harus berakting meyakinkan di depan dua orang sekaligus, dua orang kepercayaan Jenderal Akira.
Dia harus bisa, kesempatan ini baik untuk melatih dirinya sebelum menghadapi Jenderal Akira.
Jika Paris dan dokter Frederick tidak menyadari bahwa ingatannya telah kembali, maka kemungkinan besar Jenderal Akira juga tidak akan sadar.
Dengan segera Asia naik ke atas ranjang, berbaring dan menyelimuti tubuhnya sampai ke dada, dia lalu memasang muka datar dan bergumam,
“Masuk.” Suaranya terdengar serak karena debar dan antisipasi, membuat Asia berdehem beberapa kali untuk menormalkan suara.
Pintupun terbuka, menampilkan Paris yang melepas topi hitam militernya memegangnya dengan sebelah tangan di dada dan bersikap hormat, ada senyum ramah di matanya.
“Anda nampak segar.” Paris menyapa, menyadari bahwa rambut Asia masih basah.
Asia hanya menganggukkan kepala, mencoba menelan rasa benci yang muncul dan mulai membayangi matanya. Lelaki ini, Paris…. orang kepercayaan Jenderal Akira, orang yang membantu Jenderal Akira menculiknya, menyekapnya…..
Asia menundukkan kepala, takut bertatapan dengan Paris sehingga lelaki itu menyadari ada api benci yang menyala di matanya. Sementara Paris malah menatapnya khawatir.
“Anda tidak apa-apa, nyonya? Anda merasa pusing?”
Asia menggelengkan kepalanya lemah, pura-pura memejamkan mata. “Tidak apa-apa, aku hanya sedikit lelah.”
Paris langsung menatap prihatin, “Dokter Frederick akan memeriksa anda dan membantu anda meminum obat, setelah itu anda bisa beristirahat. Saya selalu berharap anda lekas pulih.”
Asia menganggukkan kepalanya. Matanya mengekor gerakan Paris yang hendak keluar ruangan sebelum sebuah pikiran terlintas di benaknya.
“Letnan Paris…” panggilnya pelan, membuat langkah Paris terhenti. Asia menguatkan diri ketika harus bertatapan dengan mata biru Paris yang bening, dia memaksakan diri untuk tersenyum lemah, “Buah…. bolehkah aku meminta sekeranjang buah-buahan…. kalau bisa apel segar yang belum dikupas…. lidahku terasa pahit setelah meminum obat.” Pintanya pelan.
“Nyonya Asia memang membutuhkan vitamin dari buah-buahan untuk membantu memperbaiki daya tahan tubuhnya.” Dokter Frederick yang sudah duduk di sisi ranjang menimpali permintaan Asia dengan nada setuju.
Paris menganggukkan kepala dan tersenyum, “Saya akan menghubungi bagian dapur.” Gumamnya, memberi hormat sekali lagi dan melangkah pergi meninggalkan ruangan.
Sepeninggal Paris, Asia membiarkan dirinya diperiksa oleh dokter Frederick, sang dokter memeriksa tekanan darah, memeriksa denyut nadi dan kondisinya. Lalu tersenyum.
“Anda akan segera membaik, jangan lupa minum obat secara rutin untuk mempercepat proses pemulihan.” Pesannya.
Asia hanya menganggukkan kepala, lalu membuang muka, merasa muak harus berakting lemah di hadapan dokter Frederick. Lelaki ini juga merupakan salah satu kaki tangan Jenderal Akira yang jahat dan Asia membencinya.
Setelah selesai memeriksanya, dokter Frederick menyodorkan obat kepadanya. Asia menatap butiran obat mungil itu dengan panik. Nanti dia harus memikirkan cara supaya tidak perlu meminum obat itu lagi. Obat yang diberikan dokter Frederick untuk memulihkan kondisinya pasca keguguran memiliki efek jelek, yaitu membuatnya mengantuk dan tertidur sepanjang hari.
Kalau dia mau melarikan diri dari sini, dia tidak boleh hanya diam dan tidur seharian.
Untuk sekarang, Asia tidak punya pilihan lain selain menerima obat itu. Dokter Frederick pasti akan melaporkan kepada Jenderal Akira kalau dia sampai menolak meminum obatnya, dan hal itu bisa memancing kecurigaan sang Jenderal.
Di bawah tatapan mata sang dokter, Asia memasukkan obat itu ke mulutnya, membiarkan obat itu pecah dan meresap ke dalam indera perasanya.
“Kalau begitu saya akan berpamitan. Besok pagi saya akan kembali untuk melakukan pemeriksaan rutin.” Gumam dokter Frederick sebelum mengangguk kepada Asia, dan beranjak pergi meninggalkan ruangan.
Bersamaan dengan perginya dokter Frederick, pintupun terbuka, seorang pelayan masuk membawa sekeranjang besar apel merah nan segar dan ranum dan meletakkannya di atas nakas samping ranjang. Mata Asia menelusuri keranjang apel itu, dan berbinar ketika menemukan apa yang diinginkannya.
Sekeranjang apel segar yang belum dikupas selalu disajikan sepaket dengan pisau buah yang ramping dan tajam.
Setelah pelayan itu pergi, Asia mengambil sebutir apel dan pisau, lalu mengupas dengan gerakan pelan berhati-hati. Matanya menelusuri sekeliling ruangan, berusaha menemukan kamera tersembunyi yang mungkin saja terpasang di dalam ruangan ini. Tidak ada kamera, tapi tetap saja dia tidak yakin. Mata telanjangnya mungkin tidak bisa menemukan keberadaan kamera di kamar ini, tetapi bukan berarti kamera itu tidak ada.
Asia menggigit apelnya dengan gerakan biasa, mengunyahnya pelan-pelan berusaha tampak santai dan tenang untuk berjaga-jaga jika ada kamera tersembunyi. Sementara itu tangannya yang satunya bergerak pelan, menyelipkan pisau buah yang tipis tersebut ke sela-sela antara tempat tidur dengan kepala ranjang.
***
“Bagaimana kondisinya?” Jenderal Akira berdiri di depan jendela kaca tebal bening yang menampilan sosok Cesar terbaring tak bergerak di tempat tidur dengan berbagai selang dan alat penunjang kehidupan yang terhubung dengan tubuhnya.
Mata Akira menatap perimeter detak jantung yang stabil, dan juga ke arah botol infus berwarna merah yang tergantung di dekat tubuh Cesar. Cesar memang tidak sedang diinfus, lelaki itu sedang diambil darahnya.
Proses pengambilan darah memang tidak sesederhana yang dibayangkan. Dengan kondisi Cesar yang dibuat koma, segalanya menjadi lebih rumit, memerlukan pemantauan maksimal dari team dokter sehingga Cesar bisa menghasilkan cukup darah, darah berkualitas tinggi untuk diambil.
Pengambilan darah juga tidak bisa sembarangan. Setelah darah diambil, mereka baru bisa mengambil kembali dua minggu kemudian, untuk memastikan produksi darah sudah terisi kembali. Dokter memang memberikan obat khusus penambah darah bagi Cesar, hal inilah yang membuatnya bisa diambil darahnya hanya dalam periode dua minggu, lebih cepat dari manusia kebanyakan.
“Kondisinya stabil Jenderal.” Dokter Frederick menjawab hormat, “Saya kira dalam waktu beberapa bulan ke depan, kita akan bisa memenuhi persediaan darah untuk Nyonya Asia.”
Akira menganggukkan kepalanya. “Begitu kau selesai, bicara padaku, aku yang akan menangani Cesar sampai saat kematiannya.”
***
Sentuhan lembut jemari yang hangat terasa menelusuri pipinya, membuat Asia yang sedang berbaring miring dengan posisi meringkuk bergerak, menggeliat pelan. Dia masih merasa lemah dan mengantuk…. akibat efek obat yang diminumnya…
Obat? …Astaga… Asia membuka matanya pelan-pelan dengan waspada ketika kesadarannya kembali.
Dia tertidur pulas seharian karena obat sialan itu!
“Pipimu dingin sekali.” Suara bernada tajam itu membuat Asia terkesiap dan membuka matanya lebar-lebar, kepalanya menoleh pelan ke arah asal suara, dan menemukan Jenderal Akira yang duduk di tepi ranjang, masih dengan jubah militernya yang mengerikan.
Lelaki itu sedang menatapnya dalam-dalam dengan mata tajamnya yang berwarna kecokelatan.
Asia menghirup napas sekuatnya dan menghembuskannya pelan. Jantungnya berdebar karena tatapan mata tajam itu seakan menelanjanginya. Tapi Asia sadar bahwa dirinya tidak boleh kalah, dia harus berhasil berakting seolah-olah tidak ada apapun yang terjadi. Untuk saat ini, Jenderal Akira tidak boleh menyadari bahwa ingatan Asia sudah kembali.
Asia mencoba tersenyum lemah, “Obat itu membuatku tertidur, tadi siang aku mematikan pemanas karena terasa gerah, tetapi aku lupa menyalakannya lagi.” Jawabnya pelan, bersyukur karena suasana kamar itu remang oleh lampu tidur nan redup sehingga bisa menyamarkan kegugupannya.
“Pantas ruangan ini dingin sekali.” Jenderal Akira bangkit, membuka kancing jubahnya dan meletakkannya di atas kursi. Lelaki itu juga melepaskan topi militer hitamnya di sana, menampilkan rambut cokelat gelap yang sedikit acak-acakan di balik topi. Baru kali ini Asia melihat Jenderal Akira dengan penampilan manusiawi, tidak kaku layaknya robot.
“Aku akan menyalakan perapian.” Gumam Jenderal Akira datar, lalu menatap Asia dengan pandangan tak terbantahkan, “Dan kau mandilah dengan air hangat itu akan mengembalikan suhu badanmu supaya menghangat juga.”
Asia tertegun mendengar perkataan Jenderal Akira. Mandi Air hangat?
Tanpa sadar matanya beralih ke arah tirai jendela yang tersingkap dan menampilkan pemandangan di luar yang dipenuhi cahaya matahari berwarna orange redup. Hari sudah menjelang malam, meskipun matahari seolah-oleh masih enggan beranjak tidur.
Mandi.… Ya, setidaknya di dalam kamar mandi dia bisa menenangkan diri dan lepas dari suasana kamar yang menyesakkan karena kehadiran Jenderal Akira di dalamnya.
“Baiklah, aku.. aku akan mandi.” Asia menyingkap selimutnya dan berdiri, sayangnya karena terburu-buru, tubuhnya terhuyung.
Beruntung Jenderal Akira dengan sigap menangkapnya dari belakang. Kedua lengan kokoh sang Jenderal melingkupi Asia dari belakang, sementara napasnya yang panas berhembus di puncak kepala Asia, membuat Asia terkesiap dan menegang, menahan rasa ingin melarikan diri dan mendorong lelaki ini.
Jenderal Akira sendiri nampak santai dan tampak tidak terburu-buru untuk melepaskan Asia, tubuhnya malah sedikit membungkuk, hingga bibirnya sejajar dengan telinga Asia, menghembuskan napas panas yang membuat bulu kuduk Asia berdiri,
“Hati-hati, Asia.” Akira berbisik dengan suara serak dan rendah, tepat di telinga Asia. Membuat Asia memekik lalu menggeliat melepaskan diri dari pegangan sang Jenderal. Kali ini sang Jenderal tidak menahannya, hingga Asia bisa terlepas dengan mudah,
“Aku… aku harus mandi.” Bisik Asia gugup, lalu melangkah terbirit-birit memasuki kamar mandi dan membanting pintu di belakangnya.
***
DI dalam kamar mandi, Asia menyandarkan dirinya di balik pintu dan memejamkan mata. Jantungnya berdebar begitu keras hingga Asia harus meletakkan kedua tangan di dada kiri untuk menenangkan debaran itu.
Hampir saja.
Asia merasa takut. Bagaimana kalau Jenderal Akira menjamahnya atau meminta Asia menyentuh tubuhnya seperti semalam? Akankah Asia tahan berpura-pura? Tahankah dia melakukan itu semua di atas rasa benci bercampur ketakutan pada sang Jenderal?
Mata Asia terasa panas, dia ingin menangis tapi takut menimbulkan kecurigaan. Dihelanya napas kembali panjang-panjang berusaha membuang isak yang terkumpul di rongga dada. Asia kemudian menatap ke arah pancuran air hangat itu, dan menelan ludah untuk membulatkan tekad.
Dia akan mandi dan berpura-pura tidak enak badan, lalu meminta izin untuk beristirahat lebih cepat, setelah itu, dia tinggal menunggu malam tiba. Dengan kewaspadaan Jenderal Akira yang memudar karena mengiranya masih hilang ingatan, sang Jenderal akan tidur di sebelahnya seperti malam-malam sebelumnya, tanpa pertahanan diri.
Dan ketika waktunya tiba, Asia akan mengambil pisau buah yang diselipkannya tadi, lalu menancapkan pisau itu tepat ke jantung Jenderal Akira yang jahat.
***
“Kau butuh bantuan?” pintu kamar mandi itu terbuka sedikit, membuat Asia yang sedang berdiri telanjang di bawah pancuran air panas terkesiap kaget.
“Tidak… tidak… saya sudah hampir selesai.” Serunya panik, matanya menatap onggokan pakaiannya yang basah terkena air, pakaian itu sudah jelas tidak bisa digunakan lagi. Dengan putus asa. Asia memindai seluruh area kamar mandi untuk mencari handuk. Dirinya semakin panik karena tidak menemukan handuk satupun di sana.
Sialan. Rutuknya dalam hati. Seharusnya dia mengunci pintu.
Lalu apa yang ditakutkannya terjadi, pintu itu terbuka dan Jenderal Akira muncul di sana. Asia berusaha menyembunyikan dirinya di antara kucuran air pancuran yang deras dan menimbulkan uap karena hangatnya, Asia berharap air dan uap itu akan melindungi ketelanjangannya dari mata Jenderal Akira yang tak tahu sopan santun. Jemarinya memegang tembok marmer di depannya, merasa malu karena bagian belakang tubuhnya yang telanjang terekspos oleh mata Jenderal Akira.
“Aku membawakanmu handuk.” Jenderal Akira membawa handuk putih besar di sebelah tangannya, “Kau sudah selesai mandi? Kemarilah.”
Asia memejamkan matanya dan menggertakkan gigi. Kenapa? Kenapa di saat dia sedang butuh berakting untuk membunuh kecurigaan Jenderal Akira, lelaki itu malah bertingkah lembut dan seolah mengujinya?
Lelaki ini tidak pernah pulang sesore ini sebelumnya, apalagi mengantarkan handuk ketika dia mandi sore. Kenapa harus sekarang dia bersiklap seperti ini?
Asia menguatkan diri, lalu membalikkan tubuh dan melangkah telanjang ke arah Jenderal Akira. Sang Jenderal membentangkan handuk putih besar itu, lalu menggunakannya untuk melingkupi tubuh Asia, membungkusnya seperti kepompong.
“Aku sudah menyalakan perapian dan meminta koki menyiapkan makan malam di kamar. Berpakaianlah dulu sementara aku mandi.” Gumamnya dengan suara tak terbaca.
Asia menganggukkan kepalanya, menghindari kontak mata dengan Sang Jenderal. Dia hanya ingin cepat-cepat menyingkir dari ruangan kamar mandi ini. Berakting sebagai perempuan penurut dan tak berdaya di depan sang Jenderal terasa menyiksa.
Asia begitu tergoda… sangat tergoda untuk melayangkan telapak tangannya dan menampar pipi lelaki itu keras-keras, meluapkan kemarahan dan rasa bencinya sepuasnya. Lalu setelahnya dia bisa mencakar wajah lelaki itu, menimbulkan bekas luka permanen yang jelek di wajahnya hingga Jenderal Akira tidak akan diagungkan lagi karena ketampanannya
Tetapi dia harus bersabar, karena kesabaran selalu membuahkan hasil yang manis.
Dengan gumaman tak jelas, Asia berhasil melangkah melewati Jenderal Akira dan keluar dari kamar mandi. Syukurlah Jenderal Akira membiarkannya, sepertinya lelaki itu langsung melepas pakaiannya dan melangkah ke bawah pancuran.
Ketika memasuki kamar dengan berbalut handuk, Asia langsung menatap ke arah Jendela luar, gelap pekat sudah menaungi hutan pinus di luar sana, menciptakan suasana pekat yang hitam legam. Sementara di dalam kamar terasa semakin remang karena hanya bergantung pada nyala perapian. Di meja rendah depan perapian, berbagai macam hidangan makan malam diletakkan, nampak menggugah selesa.
Asia merasakan perutnya keroncongan. Tadi siang dia lupa makan karena tertidur pulas. Hanya sebutir apel saja yang sempat masuk ke dalam perutnya. Pelayan tadi mengantarkan makan siang untuknya dan diletakkan di meja, tetapi karena Asia tidak menyentuhnya, bagian pembersih ruangan sepertinya mengambil kembali makanan itu untuk menyingkirkannya.
Dia harus makan banyak malam ini untuk mengisi tenaga. Siapa tahu di dalam pelariannya nanti dia akan susah mendapatkan makanan dan harus bertahan hidup dengan apapun yang ada.
Suara pancuran di dalam kamar mandi masih terdengar, Asia cepat-cepat membuka lemari dan memilih gaun lagi, kali ini dia memilih gaun yang agak tebal, untuk berjaga-jaga jika malam ini dia berhasil melarikan diri. Sayangnya, gaun dengan bahan tebal ini memiliki resleting yang memanjang dari punggung sampai ke pinggang bagian bawahnya, membuatnya agak kesulitan untuk menarik resleting bajunya.
Asia berdiri di depan kaca rias, berusaha menarik-narik resleting itu ketika pintu kamar mandi terbuka dan sang Jenderal melangkah telanjang keluar dari kamar mandi. Lelaki itu tampak seperti seorang adonis dengan tubuh kokoh dan air yang menetes-netes di kulitnya, menciptakan bayangan berkilauan yang membungkus keindahan ragawinya.
Astaga. Ya Ampun…. Asia mengernyit ketika merasakan wajahnya merah padam dan pipinya terasa panas ketika matanya tidak sengaja menangkap ketelanjangan yang ditampilkan tanpa malu-malu itu. Saat ini Asia berdiri di depan cermin dan Jenderal Akira berdiri di belakangnya, membuat seluruh bayangan ketelanjangan sang Jenderal terpantul di cermin yang saat ini sedang ditatap oleh Asia.
Kedua mata itu bertatapan dalam hening.
“Handuk.” Jenderal Akira mengulurkan jemarinya, memberi isyarat kepada Asia dengan ekspresi tak peduli.
Asia, yang belum berhasil menarik resletingnya langsung terloncat mendengar permintaan itu, dia bergegas membuka lemari dan menemukan handuk besar bersih di sana.
Apapun agar Jenderal berengsek itu menutup ketelanjangannya… Batinnya kesal.
Jenderal Akira menerima handuk itu dari jemari Asia, lalu menggunakannya untuk menggosok rambutnya yang basah. Sementara itu, Asia memalingkan muka, berusaha membuang perhatiannya dari tubuh telanjang sang Jenderal. Matanya menghindar untuk melirik langsung ke arah Sang Jenderal yang sekarang melangkah ke lemari pakaian dan dengan santainya mengambil celana piyama hitam yang tampak nyaman dan memakainya.
“Perlu bantuan?”
Suara itu membuat Asia terkesiap. Dan kemudian baru menyadari bahwa sejak tadi dia tercenung dengan mata menatap ke cermin, mengawasi pantulan Jenderal Akira yang sedang berpakaian.
“Bantuan untuk apa?” Asia bertanya linglung sementara matanya menatap waspada ke arah cermin. DI sana terlihat bahwa Jenderal Akira sedang berjalan ke arahnya, lalu berhenti di belakangnya.
Sekali lagi kedua mata mereka bertatapan melalui cermin. Mata Asia yang waspada dan takut, dengan mata Jenderal Akira yang begitu gelap tak terbaca karena kedalamannya.
“Memasang resleting gaunmu.”
Lagi-lagi Asia terkesiap ketika jemari Jenderal Akira yang panas menyentuh kulit punggungnya yang dingin. Sentuhan itu menimbulkan rasa berpendar di sana, dan menyebabkan perutnya bergolak.
Jenderal Akira sendiri mulai menarik resleting itu ke atas, sementara jemarinya yang lain sengaja, disentuhkan menggoda dengan sentuhan seringan bulu ke sepanjang tulang punggung Asia ketika lelaki itu menarik resleting ke atas.
Asia merasakan seluruh bulu romanya merinding, dia meringis dan mulai terengah, berharap semua siksaan ini berakhir. Sentuhan itu menimbulkan sensasi rasa yang tidak dimengertinya, sensasi rasa yang membuat dadanya membuncah dan tubuhnya gemetaran.
Sayangnya, Jenderal Akira tampaknya ingin bermain-main, lelaki itu menghentikan gerakannya sebelum tarikan resleting itu sampai ke ujung, jemarinya bergerak naik, merayapi pundak Asia dan menurunkan sedikit gaunnya sehingga pundaknya terlihat. Jenderal Akira lalu menyingkirkan rambut panjang Asia yang menutup leher, membawanya ke sisi lain kepalanya.
Gerakannya ini membuat sisi leher dan pundak Asia yang lembut terekspos, Sang Jenderal menunduk, lalu memberikan kecupan-kecupan kecil panas mulai dari bawah telinga Asia yang sensitif sampai ke pundak mungilnya yang gemetar.
Desahan pelan tanpa sengaja lolos dari bibir Asia, membuatnya hampir menangis dalam hati. bingung harus berbuat apa. Sementara bibir itu semakin panas mengecupi leher dan pundaknya, meninggalkan jejak-jejak basah dan panas di sana.
Asia menatap ke arah cermin, ke arah rambut gelap sang Jenderal yang terbenam di sisi lehernya, lelaki itu masih menunduk untuk menciumi telinganya, dan kemudian mata itu terangkat, menatap Asia di cermin, membuat Asia gemetaran setengah mati karena harus menahan diri untuk tidak memberontak dan menyingkirkan sang Jenderal dari tubuhnya.
Kemudian, tanpa diduga, sebelah jemari Jenderal Akira bergerak menelusuri jemari tangan kirinya, dan menyelipkan sesuatu yang berat dan dingin di jari manisnya.
Asia mengangkat jarinya penasaran, dan menemukan cincin pernikahan emas yang melingkari jarinya.
“Cincin pernikahan?” Tanyanya lemas, tiba-tiba ingatannya berkelebat pada kenangan buruk ketika Jenderal Akira memasangkan cincin itu ke jarinya setelah mengucapkan janji pernikahan, sementara Paris menodongkan pistol ke kepalanya, memaksanya untuk menandatangani dokumen pernikahan yang sudah disiapkan.
“Aku melepaskan cincin ini darimu ketika kau masuk rumah sakit, karena kau harus menjalani berbagai pemeriksaan yang tidak memperbolehkan ada logam apapun di tubuhmu,” Akira masih berdiri di belakang Asia, tubuh mereka merapat, dada Akira dengan punggung Asia.
“Aku ingin kau terus memakainya.” Mata Akira sedikit bersinar kejam, kebiasannya kalau memerintah orang, diimbangi dengan suara yang tak terbantahkan. Lelaki itu lalu menarik resleting baju Asia sampai ke atas, dan melangkah mundur, memberikan jarak antara tubuhnya dan tubuh Asia.
“Aku pasti akan memakainya.” Asia tersenyum lembut, berusaha terlihat meyakinkan sambil menganggukkan kepalanya sedikit kepada Jenderal Akira. Jemarinya menggenggam, merasakan logam dingin itu di sana.
Asia pasti akan membuang cincin itu. Langsung membuangnya.
Begitu dia berhasil keluar dari rumah ini dan melarikan diri, hal pertama yang akan dilakukannya adalah membuang cincin itu ke semak-semak, atau sungai atau dimanapun, pokoknya sejauh mungkin dari dirinya.
***
Mereka duduk di depan perapian dan menyantap hidangan di kamar itu dalam hening.
Jenderal Akira menyelesaikan santapannya dan meneguk air dalam gelasnya yang bergagang tinggi, lalu tiba-tiba bertanya.
“Kata dokter Frederick kau menolak makan siang dan hanya meminta makan apel.”
Asia merasakan ada aliran keringat kecemasan yang mulai menetes di sepanjang tulang punggungnya, kenapa lelaki ini bertanya begitu? Bagian dari percakapan rutin? Atau jangan-jangan Jenderal Akira mulai curiga karena dia meminta buah apel utuh berkulit berikut pisaunya?
Asia menggelengkan kepala sedikit, berusaha menepis pikiran negatif di otaknya dan memasang wajah datar.
“Mulutku pahit karena obat dan tiba-tiba ingin apel untuk menyegarkan mulut.” Asia bergumam dengan nada tenang yang dipaksakan, “Dan mengenai tidak makan siang, bukannya aku tidak mau makan siang, tetapi obat itu membuatku tertidur pulas sehingga melewatkan makan siangku.”
Akira bergeming, melipat tangannya dan menatap Asia dalam-dalam. “Begitu.” Gumamnya kemudian dengan nada yang tidak bisa ditebak.
Lelaki itu lalu berdiri meninggalkan depan perapian dan melangkah ke arah ranjang.
“Apakah kau siap untuk tidur, Asia?” Jenderal Akira memberi isyarat kepada Asia supaya mendekatinya, hingga mau tak mau Asia menurut meskipun dia tidak mampu menduga sama sekali apa yang akan dilakukan Sang Jenderal kepadanya kalau mereka berdua sudah berbaring bersama-sama di tempat tidur.
Sang Jenderal kemudian menghelanya ke arah tempat tidur, membuatnya berbaring seperti anak kecil, dan tanpa diduga-duga malahan menyelimuti tubuh Asia.
Tak lama kemudian, Jenderal Akira menyusul berbaring ke sisi ranjang yang lain, di sebelah Asia. Mata lelaki itu terpejam.
“Aku ingin istirahat sebenar.” Gumaman itu keluar dari bibir Sang Jenderal yang berbaring beku. Entah kenapa Sang Jenderal tiba-tiba nampak begitu lelah.
Asia hampir saja berteriak karena senang mendengar perkataan Jenderal Akira. Semuanya lebih mudah. Batinnya bergolak penuh antisipasi. Malam ini dia tidak perlu merasakan ketakutannya, Jenderal Akira langsung tertidur dan tidak merayunya, sehingga Asia tidak perlu merasakan siksaan harus menghadapi sentuhan intim sang Jenderal.
***
Malam beranjak semakin larut sementara Asia berbaring miring sambil memunggungi Jenderal Akira. Matanya nyalang meski napasnya dibuat supaya terdengar seteratur mungkin.
Dia sudah menunggu begitu lama, seolah selamanya untuk meyakinkan diri bahwa sang Jenderal benar-benar sudah terlelap dan kehilangan kewaspadaannya. Dan mengingat suara napas Jenderal Akira yang teratur, sepertinya kesempatannya telah tiba untuk membunuh lelaki kejam itu.
Asia meluruskan tubuhnya yang pegal karena berusaha bersikap kaku sejak tadi, lalu pelan-pelan bergerak duduk di tepi ranjang. Dia lalu menoleh dengan hati-hati ke arah Jenderal Akira.
Lelaki itu sedang tidur lelap. Matanya terpejam dan napasnya teratur. Asia mengamati dan tanpa bisa dicegah menyimpulkan bahwa dalam kondisi tidur seperti ini, Jenderal Akira tampak lebih lembut dan manusiawi…
Sekarang bukan saatnya memikirkan itu!
Mata Asia melirik ke arah lokasi pisaunya disembunyikan, jantungnya mulai berdebar. Dia menghela napas panjang dan menggeser duduknya, bergerak pelan ke ujung ranjang sementara jemarinya dengan hati-hati menyelip ke ruang kecil yang berada di antara ranjang dan kepala ranjang yang terbuat dari kayu.
Pisau itu masih ada di sana. Asia menggenggamnya, menggenggam logam dingin yang kini terasa begitu berat di tangannya. Setelah menarik napas dalam-dalam, dia menarik pisau itu.
Asia menahan napas, lalu menguatkan hati, mengangkat pisau itu dengan kedua tangannya ke udara, hendak menghujamkannya ke dada Jenderal Akira.
Tepat beberapa detik sebelum pisau itu menancap. Mata cokelat Jenderal Akira terbuka. Lelaki itu menggerakkan jemarinya secepat kilat, dan menahan kedua lengan mungil Asia yang berusaha mendorong pisau itu ke dadanya, hanya dengan sebelah lengannya.
Kekuatan mereka berdua tentu saja jauh berbeda. Asia mendorong sampai gemetaran, berusaha dengan putus asa untuk menikam Jenderal Akira, sementara sang Jenderal, dengan gerakan sebelah tangannya, mencengkeram kedua lengan Asia, lalu mendorong tangan itu kasar ke samping, membuat pisau itu terlempar ke udara dan jatuh berdenting menimpa sisi lantai yang tidak tertutup karpet.
Menyadari bahwa usahanya gagal, Asia panik, dia langsung hendak beranjak dari ranjang menuju lantai, menerjang ke arah pisau itu lagi, mencoba mendapatkan senjata untuk menyerang sang Jenderal, tetapi pinggangnya ditarik dari belakang, tubuhnya terangkat ke udara dan kemudian dibanting keras ke arah ranjang hingga menimbulkan suara hentakan keras membelah udara.
Asia meringis, merasa sakit di punggungnya. Dia berusaha duduk dan menopang tubuh dengan kedua sikunya, dari sudut matanya, dia melihat Jenderal Akira berjalan tenang, lalu membungkuk untuk mengambil pisau yang terjatuh itu. Lelaki itu lalu membalikkan badan, melangkah dengan tenang kembali ke tepi ranjang, berdiri di ujung sana dan mengawasi Asia yang masih terbaring waspada dan terengah, tatapan matanya nampak kejam dan mengerikan.
Jenderal Akira menimang pisau buah itu di tangannya, lalu senyum keji muncul di sudut bibirnya,
“Rupanya, Asiaku sudah kembali.” Desisnya pelan, membuat bulu kuduk Asia berdiri dan tubuhnya gemetaran.
- The General’s Daughter : Istar Part 2 (Bonus Part The General’s Wife) [25 PSA Points]
- The General’s Daughter : Istar part 1 (Bonus Part The General’s Wife) [25 PSA Points]
- The General’s Son : Skylar (Bonus Part The General’s Wife) [25 PSA Points]
- The General’s Wife Epilog : Masa Lalu dan Masa Depan Part 2
- The General’s Wife Epilog : Masa Lalu dan Masa Depan ( Bagian 1 )
- The General’s Wife Part 45 : Kompromi Terakhir ( Bagian 2 )
- The General’s Wife Part 44 : Kompromi Terakhir ( bagian 1 )
- The General’s Wife Part 43 : Kesempatan Kedua
- The General’s Wife Part 42 : Memilih
- The General’s Wife Part 41 : Tempatmu Bersamaku
- The General’s Wife Part 40 : Mencoba Meluruskan
- The General’s Wife Part 39 : Ruang Hampa
- The General’s Wife Part 38 : Melembutkan Hati
- The General’s Wife Part BONUS ( Asia – Akira ) : Mengingat Kembali ( 20 psa points )
- The General’s Wife Part 37 : Pertemuan Kembali
- The General’s Wife Part 36 : Siapa Yang Akan Kau Pilih?
- The General’s Wife Part 35 : Langit dan Bintang
- The General’s Wife Part 34 : Perasaan
- The General’s Wife Part 33 : Pengakuan
- The General’s Wife Part 32 : Tempat yang Seharusnya
- Repost TGW : Kepercayaan & Pengkhianatan ( Jenderal Akira )
- The General’s Wife Part 31 : Penyesalan & Pengampunan
- The General’s Wife Part 30 : Anak Kembar
- Little Kingdom Series : TGW – Menemukanmu ( Cesar )
- Little Kingdom Series : TGW – Yang Terpilih ( Asia )
- Insight Kingdom Series : TGW – Kepercayaan dan Pengkhianatan Part 2
- Little Kingdom Series : TGW – Kepercayaan & Pengkhianatan Part 1
- The General’s Wife Part 29 : Demi Kehidupan
- The General’s Wife Part 28 : Bagaimana Jika?
- The General’s Wife Part 27 : Bimbang
- The General’s Wife Part 26 : Kesadaran
- The General’s Wife Part 25 : Berubah
- The General’s Wife Part 24 : Muslihat Dua Sisi
- The General’s Wife Part 23 : Siapa yang Menang?
- The General’s Wife Part 22 : Penyelamatan
- The General’s Wife Part 21 : Terpedaya
- The General’s Wife Part 20 : Pengorbanan
- The General’s Wife Part 19 : Menyerah untuk Menang
- The General’s Wife Part 18 : Kompromi
- The Generals Wife Part 17-3 : [ Flashback 3] : Asia, Akira dan Percikan 3
- The General’s Wife Part 17-2 : [ Flashback 2 ] : Asia, Akira dan Percikan Bagian 2
- The General’s Wife Part 17-1 : [ Flashback 2 ] Asia, Akira dan Percikan bagian 1
- The General’s Wife Part 16 : Rencana Asia
- The General’s Wife Part 15 : ( FLASHBACK 1 ) : Kembali Ke Awal
- The General’s Wife Part 14 : Darah dan Cinta
- The General’s Wife Part 13 : Chocolate Memory
- The General’s Wife Part 12 : Malaikat Yang Mana?
- The General’s Wife Part 11 : Ironi
- The General’s Wife Part 10 : Percikan
- The General’s Wife Part 9 : Masa Lalu
- The General’s Wife Part 8 : Timbal Balik
- The General’s Wife Part 7 : Apa Yang Kau Lakukan Pada Diriku?
- The General’s Wife Part 6 : Ingkar Janji
- The General’s Wife Part 5 : Siapakah Cesar?
- The General’s Wife Part 4 : Pengkhianatan Palsu
- The General’s Wife Part 3 : Awal Mula
- The General’s Wife Part 2 : Jenderal Akira
- The General’s Wife Part 1 : After Earth
- Prolog : Suami Tak Dikenal
- Sinopsis General’s Wife
Ya ampun
Haduh ya ampunnn,, hampir aja😭
Deg deg an baca nya
Deg deg an bacanya
nngggggaaaaakkkkkkk
deg deg deg gan
deg degan iu….
Gregetan gemesss bgtt
Gregetan bacanya…
msih ngakak gegara kenekatan Asia😂bisa2nya mau ngebunuh akira pke pisau buah, mana gagal lagi🤣🤣
Asia pernah sebenci ini ya
Disini jendralnya udah mulai cinta kali yahh sama asia
Sampe ga bisa dihitung udah berapa kali ngulang-ngulang part ini. Hahaha pokoknya suka bangettt bahkan gabisa move on
Deg degaannn
Ga bisa move on sama cerita ini