Baca Parts Lainnya Klik Di sini
- The Red Prince | BONUS PART Mauve’s Story : Sang Penakluk
- The Red Prince | EPILOG : Kencan Ala Reddish
- [END] The Red Prince | Part 30 : Upacara Penyemaian Warna
- The Red Prince | Part 29 : Cahaya Petir
- The Red Prince | Part 28 : Rindu Dan Cinta
- The Red Prince | Part 27 : Tidur Panjang
- The Red Prince | Part 26 : Manipulasi
- The Red Prince | Part 25 : Dukungan Maharani
- The Red Prince | Part 24 : Karena Kau Adalah Azure
- The Red Prince | Part 23 : Bui yang Paling Memenjarakan
- The Red Prince | Part 22 : Keinginan Reddish
- The Red Prince | Part 21 : Aura Ungu
- The Red Prince | Part 20 : Pernikahan Agung
- The Red Prince | Part 19 : Peringatan Bahaya
- The Red Prince | Part 18 : Cemburu Buta
- The Red Prince | Part 17 : Rahasia Terbongkar
- The Red Prince | Part 16 : Api dan Air
- The Red Prince | Part 15 : Perempuan Istimewa
- The Red Prince | Part 14 : Tawanan
- The Red Prince | Part 13 : Rencana Eksekusi Kedua
- The Red Prince | Part 12 : Ciuman Pertama
- The Red Prince | Part 11 : Murka
- The Red Prince | Part 10 : Pilihan Azure
- The Red Prince | Part 9 : Rencana Pernikahan
- The Red Prince | Part 8 : Dua Perempuan
- The Red Prince | Part 7 : Hanya Biru
- The Red Prince | Part 6 : Minuman Pelembut Hati
- The Red Prince | Part 5 : Kekuatan Reddish
- The Red Prince | Part 4 : Sosok Misterius
- The Red Prince | Part 3 : Rencana Rahasia
- The Red Prince | Part 2 : Dunia Manusia
- The Red Prince | Part 1 : Kehilangan
- The Red Prince – Sinopsis
Suasana kastil putih milik dewan warna masih riuh ramai walau hari telah menunjuk dini hari menjelang pagi. Beberapa pelayan dan prajurit hitam serta putih terlihat silih berganti keluar masuk ruangan. Reddish melangkah di antara mahluk-makhluk langit itu sambil matanya mencari-cari di mana Ecru, sahabatnya berada.
Beberapa prajurit yang sempat berpapasan dengannya berhenti berjalan dan menunduk, melegakan waktu untuk memberi hormat sampai tubuh Reddish berlalu dari hadapan mereka. Sementara seperti biasa, Reddish tetap berjalan tegap hingga langkahnya tiba di tengah-tengah lorong besar yang ada di sana.
Lorong kastil putih ini begitu luas. Langit-langitnya tinggi menjulang dengan lantainya yang begitu lebar memisahkan dua sisi bangunan. Dapat dilihat di kanan kirinya adalah ruangan-ruangan milik dewan warna dengan berbagai kegunaan, seperti menerima tamu, melakukan rapat, serta beberapa ruangan lain yang biasanya dikosongkan dan hanya digunakan ketika darurat seperti saat ini sebagai ruang beristirahat bagi pelayan maupun prajurit yang didatangkan dalam jumlah banyak di saat-saat genting ketika ada kasus yang mengharuskan keterlibatan banyak anggota sebagai penjaga.
Di mana semua orang?
Reddish menghentikan langkah dan mengangkat sebelah alis ketika tak menemukan seorang saja dari dewan warna maupun Ecru yang katanya tengah menantinya di kastil ini.
“Reddish.”
Dengan sikap waspada lelaki itu seketika membalikkan badan.
Tampak Ecru berdiri di sana. Lelaki itu terlihat berantakan dengan ekspresi lelah yang begitu kentara di wajahnya.
“Ecru.” Reddish turut menyapa.
Ah, jika saja ia tak mampu menghafal wajah-wajah orang yang dikenalnya, tentu saja saat ini ia tidak tahu, lelaki klan apa yang sedang ada di hadapannya. Ecru yang akrab sekali di matanya itu kini terlihat sama seperti penjaga berklan hitam. Aura kuning yang biasanya muncul dari tubuhnya itu sekarang tak berwarna di mata Reddish. Membuat lelaki itu menipiskan bibir dengan ekspresi kelam.
“Di mana yang lainnya?”
Lelaki klan kuning itu tampak menghela napas, menoleh ke kanan kiri. “Ayo kita cari tempat yang aman untuk berbincang.”
Ecru lantas membalikkan badan, melangkah menuju pintu salah satu ruang dan membukanya.
Reddish yang masih terpaku dengan penglihatannya itu hanya bergeming. Lalu saat Ecru telah membuka pintu itu dan menoleh di mana Reddish masih berada ditempatnya semula itu kemudian berseru,
“Hei. Apa yang kaulakukan di sana? Ikut aku,” ajaknya dengan kening berkerut saat melihat tingkah sahabatnya yang tak biasa tersebut.
Reddish hanya mengangguk tipis, lantas memulai langkahnya mendekati Ecru.
Saat melihat ruangan yang ada di pintu tersebut, alis Reddish sedikit terangkat saat melihat bahwa di balik pintu itu, ternyata tidaklah menunjukkan sebuah ruangan, melainkan lorong pula dengan ukuran yang lebih kecil.
Ecru berjalan tenang memimpin langkah, diikuti Reddish di belakang tubuhnya. Lelaki klan kuning itu berbelok menuju sebuah ceruk ruangan di mana terdapat pintu kaca di sana. Tanpa menoleh Ecru membuka pintu, memindai sekeliling ruangan dan melangkah menuju kursi kayu di tengah ruangan.
Jika dilihat sekilas, ruangan itu lebih mirip teras sebuah rumah dengan aneka tanaman bonsai di dalamnya, satu bonsai berukuran raksasa berada di tengah ruang, dengan batangnya yang menjulang tinggi, hampir menyentuh permukaan langit-langit yang sepenuhnya terpasangi kaca. Sisi ruangan yang memperlihatkan pemandangan luar kastil pun seluruhnya terbentengi dengan kaca sehingga ruangan itu tampak terang benderang dengan aroma dedaunan yang memompa oksigen nan melimpah ke seluruh penjuru ruangan.
Reddish tahu jika ruangan seperti ini seringkali digunakan oleh para dewan warna untuk menjamu tamu penting dan menyediakan minuman untuk bersulang bersama. Suasananya yang asri serta didominasi oleh warna hijau bening dedaunan itu membuat suasana menjadi damai dan penuh keakraban.
“Kau telah melepas lensamu.” Ecru duduk bersedekap, menatap tajam pada Reddish yang terpaku menatap pergerakannya.
Mata Reddish yang asli memiliki warna merah dengan bintik kecil berwarna hitam pada tepian pupilnya, sementara saat Reddish mengenakan lensa, bintik hitam itu tak nampak. Jadi, mudah saja bagi Ecru yang telah lama mengetahui rahasia sahabatnya itu untuk tahu, kapan Reddish mengenakan lensa atau pun ketika melepaskannya.
“Kapan?”
Reddish melangkah pelan. Suara sepatunya terdengar mengetuk-ngetuk lantai. Lelaki itu lalu mengempaskan tubuhnya duduk di sebelah Ecru. “Tadi malam.”
Ecru menatap sejenak pada ekspresi Reddish dan mengembuskan napas panjang.
“Bagaimana Shamrock dan Sandstone bisa menemukan perempuan klan biru itu? Apakah mereka menemukannya di negeri langit?” Reddish mengernyitkan dahi, memulai pembicaraan.
“Ya, mereka menemukannya di hutan lebat.” Ecru terlihat tak tenang, seolah ragu mengucap sesuatu tapi bingung saat harus mengucapkan.
“Tapi aku juga baru saja menemukan perempuan klan biru di dunia manusia.” Reddish berucap santai.
Ecru melebarkan mata, memiringkan tubuh sebagai gestur saat ia memusatkan perhatian penuhnya pada si lawan bicara. “Kau menemukannya? Tapi kau tak membawanya pulang? Atau ….” Ecru menghentikan kalimatnya dan menatap ke luar ruangan. “Kau telah memenjarakannya di kastil merahmu?” tanyanya lagi dengan nada penasaran yang menggebu-gebu.
“Aku tidak membawanya.” Reddish menyandarkan tubuh pada sandaran kayu.
“Apa? Apa maksudmu? Kau melepasnya? Tak tahukah kau kita sudah dikejar waktu?” cecarnya dengan ekspresi marah.
“Aku hanya bisa melihatnya saat aku menggunakan mata asliku, sementara lensa pembantu itu sama seperti mata kalian. Tak mampu melihat auranya. Jadi aku hendak memodifikasi lensa itu terlebih dahulu agar aku bisa melepas dan memakainya dengan mudah, tanpa harus dibantu alat atau obat pereda rasa sakit agar bisa kugunakan sewaktu-waktu aku membutuhkannya.” Reddish menipiskan bibir. “Kauingat perempuan yang kutolong beberapa waktu lalu di dunia manusia itu? Perempuan itu ternyata adalah salah satu anggota klan biru. Kau tak menyadarinya, bukan?” Reddish menoleh memandangi Ecru yang sedang mengingat-ingat, lalu menatap ke arah luar ruangan di mana lentera-lentera rumah anggota klan warna tampak menghidupi malam kelam nan sunyi di negeri langit itu.
“Tapi dia selama ini disembunyikan oleh klan hitam. Eh … aku belum yakin laki-laki itu memiliki aura apa, tetapi menilik penjelasan Vermilion bahwa satu-satunya klan yang memiliki kekuatan untuk menyembunyikan maupun bersembunyi yang sangat hebat adalah anggota klan hitam, maka aku menyimpulkan sementara jika lelaki itu adalah lelaki klan hitam.”
“Perempuan itu … ah, ya aku ingat, meskipun aku tak bisa mengingat wajahnya. Dia … disembunyikan oleh klan hitam? Kenapa klan hitam?” Ecru akhirnya bertanya setelah mulutnya seolah terkunci dan kehabisan kata-kata.
“Di mana perempuan klan biru yang ditemukan oleh pemimpin klan hijau dan klan jingga itu? Aku ingin melihatnya.” Reddish berdiri. Memaksa Ecru untuk turut berdiri pula. “Mungkin aku bisa menjelaskan kepadamu setelah mempelajari semuanya? Sebab aku juga masih membutuhkan kepastian.”
“Ya. Ya, Reddish. Sungguh aku pun belum mengerti. Karena katamu, bukankah hanya kau seorang yang bisa menemukan jodohmu? Bukankah kutukan buta warna yang turun temurun dari generasi ke generasi pemimpin negeri langit itu merupakan sesuatu yang tak bisa disangkal kebenarannya dan menjadi pertanda akan warna pelangi semesta apa yang akan padam?” Ecru berucap dengan ekspresi tak habis pikir.
“Karena tidak setiap pemimpin negeri langit dilahirkan dengan kutukan itu. Ayahku pun tidak. Beliau memiliki mata normal dan kebetulan, pelangi semesta tetap menyala, bukan? Selama seratus tahun terakhir?”
“Ah, ya, ya. Ternyata seperti itu. Ayo kita harus segera ke ruang penjara di ujung kastil sebelum para dewan warna menyadari kedatanganmu.” Ecru berjalan cepat menuju pintu dan lagi-lagi memimpin jalan.
“Kau tentu setuju kalau kita melewati jalan pintas?” Ecru menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Reddish.
“Ya. Aku mengikutimu.” Reddish menyetujui lalu menyejajarkan langkahnya. Mereka berdua melangkah cepat, tidak melalui pintu masuk yang tadi, tapi berbelok mengambil jalan di sisi sebaliknya.
“Aku berpapasan dengan banyak sekali penjaga dan pelayan ketika aku tiba, apakah mereka tak melaporkannya ke dewan warna jika kau melewati jalur ini untuk menghindari mereka?”
“Dewan warna tak menginstruksikan perintahnya kepada anggota lain karena memercayaiku untuk menghubungi dan menjemputmu kemari. Mereka tak akan curiga kecuali mereka menggunakan kekuatan pelacak dan akhirnya menemukanmu telah berada di sini.” Ecru terkekeh santai meski wajahnya begitu tegang.
Reddish mengembuskan napas. Melanjutkan langkah dalam senyap, melewati ruangan demi ruangan serta beberapa lorong yang berliku-liku bak labirin di dalam bangunan kastil itu.
Tak berapa lama, saat keduanya tiba di sebuah pintu besi besar dengan nuansa temaram yang dijaga oleh beberapa prajurit yang berbaris rapat di depannya, langkah Ecru terhenti, para prajurit itu seketika menunduk dan menyebut nama Reddish dalam sikap penuh penghormatan.
“Buka pintunya dan bawa aku ke ruang tahanan perempuan klan biru.” Reddish memerintah setelah memberikan balasan salam hormat dari para prajurit itu.
“Baik, Tuan. Kami telah memastikan jika calon istri Anda ditempatkan di ruangan yang layak dan dipersiapkan untuk pertemuan dengan Anda.” Sang prajurit berkata sembari membalikkan badan, membuka gerbang besi di belakangnya dan menunjukkan jalan kepada Reddish.
“Mari,” ucapnya mempersilakan.
Reddish yang dipenuhi rasa ingin tahu sekaligus berdebar-debar itu melangkah cepat diiringi prajurit dan Ecru di belakangnya.
“Di sini, Tuan. Silakan Anda masuk ke dalam. Saya akan berjaga di luar sini.” Prajurit itu dengan sikap penuh patuh dan setianya mempersilakan Reddish dan Ecru memasuki ruangan, lalu menutup pintu untuk memberi waktu kepada tuannya itu untuk melihat dan berbincang dengan perempuan yang telah lama mereka cari-cari itu.
Ecru mengernyitkan dahi begitu melihat jika perempuan yang sepertinya masih dalam keadaan lemah itu tersentak saat melihat dua orang lelaki bertubuh tinggi tegap itu memasuki ruang tahanannya yang cukup luas.
Ruangan itu hampir terlihat seperti ruang tidur makhluk-makhluk langit seperti pada umumnya. Ada satu ranjang besar di ujung ruangan dilengkapi dengan meja nakas yang menyalakan lampu tidur, satu lemari berukuran sedang sebagai tempat untuk meletakkan pakaian, serta satu set meja kursi yang sedianya digunakan sebagai tempat untuk menikmati hidangan yang disediakan. Bedanya dari ruang kamar biasa, ruang tahanan itu hanya memiliki satu jendela kecil yang terletak tiga meter dari lantai, dipagar jerjak besi yang menyala merah dan panas.
Perempuan itu mengetatkan selimut dengan tubuh lemahnya yang kini teraliri keringat dingin. Melihat dari gelagat dan pakaiannya yang berbeda dari yang lain, Sapphire menyimpulkan jika laki-laki beraura merah pekat di depannya itu bukanlah makhluk langit biasa.
Apakah dia …
Sapphire menelan ludah ketika kegugupan berkat kesimpulan yang telah dirangkai benaknya itu seolah mencekiknya.
Apakah dia, adalah pemimpin klan merah? Pemimpin negeri langit yang katanya akan dinikahkah dengannya itu?
Reddish memindai seisi ruangan. Mencoba menemukan apa yang dicari-cari oleh kedua mata merahnya yang buta warna. Belum selesai ia memenuhi rasa ingin tahunya, suara serak nan penuh dengan desakan bergema di kepala.
“Reddish. Aku tahu kau sudah berada di negeri langit. Cepat temui kami di aula untuk membicarakan banyak hal penting yang harus segera kita laksanakan.” Suara Jade terdengar menembus pikirannya.
“Ya, aku akan segera menghadap.” Reddish menjawab singkat dan cepat.
Lelaki itu sekali lagi menolehkan kepala ke sana kemari alih-alih fokus kepada perempuan yang saat ini memusatkan perhatian penuh kepadanya.
Ecru yang mengerti kebingunan Reddish itu menoleh.
“Ecru, di mana perempuan klan biru itu?” Reddish bertanya dengan ekspresi tak sabar yang makin lama makin pekat.
Ecru yang tentu saja terkejut mendengar pertanyaan tak disangka itu mengernyitkan dahi dan berucap dengan nada kesal.
“Hei, apakah buta warnamu semakin parah? Apakah saat ini kau tak bisa melihat apa-apa?” cela Ecru dengan pertanyaan sembari menunjukkan seisi ruangan dengan kedua tangannya yang sedikit membentang.
Reddish menoleh ke arah Ecru dan menyanggah cepat. “Tentu saja aku bisa melihat, bahkan dengan mata asliku ini, aku bisa melihat menembus kegelapan,” gerutunya.
“Lalu, tidakkah kau melihat perempuan itu di atas ranjang?” Ecru bertanya lagi.
Reddish sontak menatap ke arah ranjang yang saat ini dihuni oleh satu makhluk yang sepertinya memanglah perempuan.
“Perempuan di atas ranjang?” Reddish mendesis, matanya menatap tajam, menampakkan wajah geramnya dengan geraham yang saling beradu ketat, seakan hendak menyerbu dan mencabik-cabik perempuan itu saat itu juga.
“Mengapa aku tak bisa melihat auranya? Mengapa di mataku warnanya adalah abu-abu?” Reddish bertanya cepat kemudian, tak meninggalkan suara menggeram dari tiap kata-katanya, membuat wajah Ecru seketika pucat.
***
“Sepertinya, kau menemukan teman baru? Apakah menyenangkan?”
Onyx, yang saat ini menyamar sebagai Brick, anggota klan merah, tampak menatap tajam pada Azure yang hanya menjawab pertanyaannya dengan helaan napas.
“Jika iya, memangnya kenapa?” Azure bertanya santai.
Onyx memejam sejenak dan menunduk. Terlihat mulai kesulitan untuk menaklukkan perempuan yang hampir tercapai dalam genggamannya itu. Lelaki itu kembali menengadah. “Jika iya, maka itu adalah sebuah kesalahan. Kau adalah makhluk klan biru, makhluk langit, Azure. Tempatmu adalah di negeri lagit, bukan dunia manusia,” ujarnya penuh penekanan.
“Bagaimana jika aku mengelak? Bukankah aku sudah terbuang? Bagaimana jika aku memutuskan untuk menetap-“
“Tidak, Azure. Aku tahu mereka semakin dekat. Aku tahu tak lama lagi mereka para dewan warna atau Reddish sendiri pasti akan mengendus keberadaanmu di tempat ini.” Onyx memandangi langit gelap yang terlihat dari tempatnya duduk saat ini, meyakinkan ucapannya. Lelaki itu lantas memandangi Azure lagi.
“Aku sudah mengingatkanmu sejak pertama. Pelangi semesta padam dan negeri langit membutuhkanmu. Kaupikir, apa yang akan mereka lakukan terhadapmu dan klan biru lainnya yang telah lama bersembunyi dan sengaja mengibarkan bendera permusuhan terhadap kepemimpinan klan merah? Kau dan klanmu membenci klan merah, pun juga mereka. Jika kau pasrah pada keadaanmu dan menerima ditemukan oleh mereka, maka statusmu kemudian adalah tawanan.”
Azure yang semula menunjukkan ketidakacuhan terang-terangan terhadap kehadiran lelaki itu dan memalingkan wajah, kini membalas tatapan laki-laki klan merah yang ia ketahui bernama Brick itu dengan saksama.
“Ya. Tawanan, Azure. Kau akan diseret ke rumah tahanan sebelum Reddish akan memaksamu menjadi pengantinnya,” imbuhnya lagi dengan suara meyakinkan.
“Tapi aku berbeda.” Onyx memberanikan diri menyentuh tangan Azure yang masih memegangi cangkirnya di meja.
Azure dengan cepat menatap tangannya yang kini terhalangi oleh tangan Brick yang besar, seolah berusaha mempelajari keadaan dan hatinya sendiri atas keputusan apa yang nantinya akan ia ambil. Perempuan itu lantas menatap Onyx lagi.
Merasakan jika Azure mulai goyah, Onyx dengan ekspresi bersungguh-sungguh berusaha sepenuh hati meyakinkan perempuan itu.
“Aku memanglah anggota klan merah. Tapi aku tidak seperti mereka yang membencimu. Aku menyayangimu, Azure,” tuturnya dengan meninggalkan seberkas senyuman di bibir setelah berucap.
“Kita bisa bekerjasama menyelamatkan negeri langit. Saat aku membawamu ke negeri langit nantinya, kau bukanlah tawanan, kau bukanlah buronan. Kau adalah kekasihku. Kekasih yang aku sayangi dan aku cintai.” Lelaki itu mengusapkan tangannya ke punggung tangan perempuan yang saat ini sedang ia genggam.
“Aku mencintaimu, Azure. Dan aku ingin menikahimu karena cinta. Bukan hanya atas nama negeri dan paksaan karena keharusan. Kau bisa mempercayaiku.”
Kening Azure mengernyit dengan wajah bersemu mendapat rayuan semacam itu. Wajahnya tampak menunduk. Merasa tak mampu membalas tatapan penuh cinta laki-laki di hadapannya yang membuatnya merasa aneh.
“Apakah ….” Azure tampak menelan ludah. “Apakah pernikahan untuk persembahan kepada pelangi semesta itu memperbolehkan siapa saja menikah? Maksudku … kau bukanlah pemimpin klan merah. Bukankah seharusnya pernikahan itu menjadi tanggung jawab pemimpin klan? Bagaimana jika kita gagal?” Azure yang mulai terprovokasi itu akhirnya berani menyuarakan pertanyaan kecil dari hatinya yang selama ini ia pendam.
“Dan lagi, bukankah perempuan klan biru tidak hanya aku seorang? Ada banyak di luar sana, bukan? Saat ini, kami klan biru hidup terpisah dan tidak saling tahu mana yang terkuat di antara kami yang bisa menjadi pemimpin. Sehingga mungkin saja … aku bukanlah orang yang terpilih untuk melakukan pernikahan itu.” Azure mencoba menyangkal dengan pemikirannya.
Onyx tersenyum hangat. Lelaki yang menyamar sebagai manusia biasa dengan tak menghilangkan jejak merah pada rambutnya itu semakin memperkuat genggaman tangannya pada Azure.
“Jika para pemimpin klan itu mampu. Jika Reddish sanggup menemukanmu, Azure. Jika tidak, maka anggota lainnya sah-sah saja melakukannya asal itu sesuai dengan syarat yang ditentukan oleh dewan warna. Klan ungu yang hilang itu membutuhkan pernikahan antar klan. Klan merah dengan klan biru. Dan aku sudah menemukanmu. Klan merah menemukan klan biru. Dan urusan selesai. Kita hanya tinggal menentukan kapan kita akan menikah.”
Azure tampak menghela napas panjang.
“Lalu kita akan hidup menyepi lagi meskipun telah menyelamatkan pelangi semesta?” tanya Azure dengan nada penuh kepedihan.
“Menyepi?” Onyx bertanya dengan sebelah alis terangkat.
“Ya. Tentu para makhluk langit dan koloni-koloni mereka tak akan semudah itu menerimaku kembali, bukan? Apalagi kau bukan bagian dari mereka di mana kau memilih untuk bertentangan dengan ada di pihakku? Kita akan hidup terusir seperti ini?” Azure berkata dengan nada putus asa, seolah tak ada harapan baginya untuk kembali ke negeri langit dan hidup bahagia seperti dahulu saat ia masih bersama sang ayah dan koloninya klan biru.
Dua tangan Onyx menangkup kedua tangan Azure yang masih berada di meja. “Aku berjanji akan memberikan kehidupan yang layak kepadamu. Kasih sayang yang berlimpah serta keceriaan yang tak kau dapatkan selama hidup di dunia manusia ini. Aku berjanji, Azure. Berikan aku kesempatan itu,” pintanya dengan tatapan mata meredup, penuh permohonan.
Azure mengembuskan napas panjang dan memalingkan pandangan. Hatinya kembali ragu, padahal sebelum ini, ia sempat meneguhkan hati dan memutuskan tanpa pertimbangan untuk menerima lelaki bernama Alan itu masuk ke dalam hidupnya.
“Kau harus berhati-hati, Azure. Tidak semua orang bisa kaupercaya.” Onyx mengucapkan kata-kata racunnya lagi dengan hati-hati.
Kali ini Azure tetap menunduk.
“Termasuk dengan laki-laki yang kautemui tadi. Kau tak tahu dan tak bisa memastikan siapa dia sebenarnya, bukan?” tanyanya sengaja berteka-teki.
Perempuan itu membalas tatapannya. “Maksudmu?”
“Dunia manusia ini begitu luas, Azure. Dan kita tak bisa menebak dengan pasti makhluk apa sebenarnya dia, kecuali kita memiliki kekuatan khusus dari dewan warna untuk mengetahui aura. Bisa saja dia adalah makhluk langit yang menyamar seperti kita?” Onyx mengangkat bahu.
“Dan jika kulihat, kau belum lama mengenalnya? Apakah dia teman kerjamu?” tanyanya dengan nada menyelidik yang santai.
“Bagaimana kau tahu jika aku belum lama mengenalnya?” Azure mengernyitkan dahi, merasa curiga.
Onyx menyentuh rambut Azure yang tergerai, lalu dengan lembut menyelipkannya di belakang telinga. Senyumnya tampak tulus.
“Aku selalu mengawasimu. Untuk memastikan kau aman,” ujarnya.
Azure terkekeh kecil dengan ekspresi mengejek. “Tapi kau melukaiku di saat pertama kali kita bertemu. Kau tahu? Laki-laki tadilah yang menolongku,” ucapnya tersenyum malu diiringi rona merah yang menyebar di kedua pipinya.
Seketika ekspresi Onyx terlihat gelap. “Menolongmu? Mana mungkin!” serunya tanpa sadar hingga membuat beberapa orang di meja lainnya tampak menoleh karena terkejut.
“Apanya yang tak mungkin? Aku mabuk berat waktu itu dan aku tak sadarkan diri. Saat aku tersadar, tubuhku sudah membaik dengan keadaan tubuhku yang benar-benar nyaman,” sanggah Azure dengan nada sedikit ketus.
“Mabuk? Kau mabuk setelah terluka dan mengusirku pergi? Itu tidak mungkin lagi!” Onyx berkilah, memundurkan tubuh dengan sikap tak percaya, menatap Azure dengan pandangan tak mengerti.
“Aku jelas-jelas masih mengawasimu sampai kau masuk ke dalam flat dan meninggalkanmu beberapa lama setelah itu. Namun kau keluar lagi setelah aku pergi? Kau pergi ke bar dan mabuk?”
“Aku tidak tahu.” Azure turut berseru. “Itu saja yang kuingat,” tambahnya lagi.
Onyx mendengus. “Baik. Mulai saat ini kau tak boleh lagi bertemu dengan lelaki itu. Dia bisa saja berbahaya. Dia bisa saja telah mengubah isi pikiranmu dan berniat yang tak baik terhadapmu. Percaya aku, Azure. Hanya aku seorang yang bisa kaupercaya saat ini.”
***
“Kau tak bisa melihat aura birunya?” Ecru bertanya untuk meyakinkan diri. Menatap dengan jeli ke arah perempuan yang saat ini sedang menahan gemetar. “Tapi di mataku, dia adalah perempuan dengan aura biru. Jelas. Sangat-sangat jelas jika ia biru.” Ecru mengusap dagunya.
“Apakah ada yang salah?” Reddish menyipitkan mata.
“Perempuan klan biru di dunia manusia itu disembunyikan oleh klan hitam sehingga aku hanya bisa melihat melalui mata ini. Dia yang benar-benar biru dan aku bahkan kau sendiri tak mampu menebaknya sebelumnya. Lalu ini ….” Reddish memiringkan kepala, tampak menilai perempuan di depannya.
“Dia yang bukan biru sementara kalian melihatnya sebagai biru?” Lelaki itu terkekeh. “Jelas aku sedang dijebak di sini, Ecru.” Reddish menyimpulkan sembari bersedekap.
“Ada klan lain yang diam-diam menginginkan perempuan biruku, sementara aku dipaksa agar mau tak mau menikahi perempuan ini lalu akhirnya turun takhta karena telah menikahi perempuan yang salah,” ujarnya dengan ekspresi dingin kemudian.
“Kau urus dia hingga di titik dia mau mengakui anggota klan apa dirinya sebenarnya. Dan aku akan menghadap dewan warna, mengikuti alur seperti yang diinginkan oleh orang-orang itu.” Reddish membalikkan badan.
“Tunggu, Reddish. Jika orang yang menginginkan perempuan klan biru itu ternyata adalah sama-sama anggota klan merah, maka ia jelas adalah pengkhianat yang saat ini sedang berusaha menusukmu dari belakang. Namun jika yang menginginkan perempuan itu bukanlah klan merah, lantas bagaimana nasib kelanjutan klan ungu yang digadang-gadang akan dibangkitkan kembali berkat pernikahan campuran itu?”
Reddish menghela napas panjang. “Aku pun belum tahu, Ecru. Tapi akan kupastikan kita akan mengetahuinya segera,” ucapnya tanpa menoleh lalu melanjutkan langkahnya keluar dari ruang tahanan itu.
Ecru tampak menimbang-nimbang. Lalu, sebelum sempat ia mengeluarkan sepatah kata, perempuan itu melonggarkan rasa takutnya dan bertanya dengan suara tersendat-sendat.
“Sebenarnya, apa … apa tujuan saya dibawa kemari? Me-mengapa saya harus menikah?”
***
“Kau tidak punya pilihan lagi. Kau harus segera menikahi perempuan itu. Ini demi negeri langit, Reddish. Kau tentu tak mengabaikannya, bukan?” Raven, dewan warna dari klan hitam itu berkata tegas.
“Tentu saja tidak. Aku akan memastikan bahwa kami segera menikah. Tapi sebelum itu, aku memiliki syarat.” Reddish berkata dengan ekspresi dingin.
“Syarat apa lagi?” Jade yang menatap kesal pada Reddish itu turut bertanya.
“Aku ingin prosesi sebelum menikah tetap dilakukan. Kami akan mengadakan sesi makan malam bersama serta berdansa sebelum hari berikutnya ke aula untuk mengucapkan sumpah pernikahan. Aku juga menginginkan gaun terbaik untuk calon istriku. Bagaimana pun, ini adalah pernikahan pertamaku dan aku ingin istriku merasa dihargai sebagai pendamping pemimpin klan merah sekaligus pemimpin negeri ini.” Reddish memandangi satu persatu dewan warna yang ada di hadapannya, mencoba menyelami apa yang sedang mereka pikirkan.
Reddish membutuhkan waktu paling tidak dua hinga tiga hari untuk membawa perempuan klan biru yang asli itu ke negeri langit. Persyaratan tadi hanyalah untuk memberinya waktu lebih lama. Dan alasan tentang urusan gaun dan segala hal terbaik yang tentu saja membutuhkan waktu lebih untuk mendapatkan hasil sempurna itu cukup menjadi alasan. Dan itu cukup untuk Reddish.
Pada waktunya nanti ketika ia harus mengucap sumpah pernikahan, maka perempuan klan biru dari dunia manusia itulah yang akan menjadi pengantinnya, bukan perempuan palsu yang kini mendekam di ruang tahanan.
Empat orang dewan warna itu saling pandang dan berbincang lirih satu sama lain selama beberapa saat.
“Baiklah, Reddish. Kami menyetujui persyaratanmu. Bagaimana pun, kau adalah pemimpin kami. Dan kami harap, kami bisa memuaskanmu nanti dalam pelayanan menjelang pernikahan.” White tersenyum ramah.
“Setelah ini, aku akan meminta Ecru dan yang lainnya untuk menemanimu menemui perempuan klan biru itu-“ Alabaster menyambung kalimat White, tetapi tak sampai selesai sebab Reddish langsung menukas cepat.
“Aku sudah menemuinya tadi. Dan jangan khawatir. Kami telah berbincang tentang semuanya,” ujarnya dengan senyum misterius dibalut pipi yang memerah sesaat.
“Oh, begitu? Baiklah. Semuanya akan menjadi semakin mudah dan cepat terlaksana tanpa ada penghalang yang berarti.” Jade tersenyum dengan wajah kakunya yang khas.
Tidak ada yang tahu jika ekspresi Reddish yang bersemu merah beberapa detik yang lalu itu adalah karena ia sedang terbayang-bayang lagi wajah perempuan birunya yang cantik. Perempuan klan biru yang suka sekali menebar warnanya pada bunga-bunga di taman kota.
Ia hanya tinggal membereskan urusan-urusan kecil yang seolah tiada habisnya menjadi kerikil-kerikil tajam yang siap menghambat perjalannya. Ia akan mencari tahu segera tentang segala hal di balik perbuatan sembunyi-sembunyi para anggota klan itu lantas menghukum mereka semua dengan hukuman yang setimpal atas nama pengkhianatan.
“Sudah? Adakah yang harus kita bicarakan lagi? Karena aku harus kembali ke kastil merah untuk melakukan apa yang sempat tertunda.” Reddish tersenyum tipis dan membungkuk singkat, menghormat pada dewan warna yang ada di sana.
“Tidak. Tidak ada, Reddish.” Alabaster menjawab kemudian.
Reddish lantas berdiri, tanpa permisi lagi meninggalkan ruangan setelah mendapat anggukan dari dewan warna yang ada di sana. Anggukan terpana karena melihat Reddish bersikap berbeda selama pertemuan di aula itu.
“Ada apa dengan Reddish? Mengapa ia begitu sopan dengan mau menganggukkan kepala ke arah kita?” White berucap lirih.
“Apakah cinta bisa seajaib itu? Bisa mengubah kepribadian seseorang?” Jade menambahkan kalimat ketidakpercayaannya.
Keempat dewan warna itu menatap tanpa berkedip kepergian Reddish hingga pintu itu tertutup kembali.
Ke pasar baru, beli ikan asin
Selamat hari minggu, teman2 vitamins
Baca Parts Lainnya Klik Di sini
- The Red Prince | BONUS PART Mauve’s Story : Sang Penakluk
- The Red Prince | EPILOG : Kencan Ala Reddish
- [END] The Red Prince | Part 30 : Upacara Penyemaian Warna
- The Red Prince | Part 29 : Cahaya Petir
- The Red Prince | Part 28 : Rindu Dan Cinta
- The Red Prince | Part 27 : Tidur Panjang
- The Red Prince | Part 26 : Manipulasi
- The Red Prince | Part 25 : Dukungan Maharani
- The Red Prince | Part 24 : Karena Kau Adalah Azure
- The Red Prince | Part 23 : Bui yang Paling Memenjarakan
- The Red Prince | Part 22 : Keinginan Reddish
- The Red Prince | Part 21 : Aura Ungu
- The Red Prince | Part 20 : Pernikahan Agung
- The Red Prince | Part 19 : Peringatan Bahaya
- The Red Prince | Part 18 : Cemburu Buta
- The Red Prince | Part 17 : Rahasia Terbongkar
- The Red Prince | Part 16 : Api dan Air
- The Red Prince | Part 15 : Perempuan Istimewa
- The Red Prince | Part 14 : Tawanan
- The Red Prince | Part 13 : Rencana Eksekusi Kedua
- The Red Prince | Part 12 : Ciuman Pertama
- The Red Prince | Part 11 : Murka
- The Red Prince | Part 10 : Pilihan Azure
- The Red Prince | Part 9 : Rencana Pernikahan
- The Red Prince | Part 8 : Dua Perempuan
- The Red Prince | Part 7 : Hanya Biru
- The Red Prince | Part 6 : Minuman Pelembut Hati
- The Red Prince | Part 5 : Kekuatan Reddish
- The Red Prince | Part 4 : Sosok Misterius
- The Red Prince | Part 3 : Rencana Rahasia
- The Red Prince | Part 2 : Dunia Manusia
- The Red Prince | Part 1 : Kehilangan
- The Red Prince – Sinopsis
KONTEN PREMIUM PSA
Semua E-book bisa dibaca OFFLINE via Google Playbook juga memiliki tambahan parts bonus khusus yang tidak diterbitkan di web. Support web dan Authors PSA dengan membeli E-book resmi hanya di Google Play. Silakan tap/klik cover E-book di bawah ini.
Download dan install PSA App terbaru di Google PlayFolow instagram PSA di @projectsairaakira
Baca Novel Bagus Gratis Sampai Tamat – Project Sairaakira
Tks ya kak udh update
Aku salfok sama pantunnya
haha
haha
Wahhh makin keren nih ceritanya kak
Apa ini kenapa Aku baru liat kalau kaka pertama bikin Vit Blog sekeren ini😎.
Sukses selalu kak Bintang
aamiin, Sera
makasih banyak
Sat set sat set