Red Prince

The Red Prince | Part 7 : Hanya Biru

Bookmark
Please login to bookmark Close

red prince cover - CopyBlack Line Art Butterflies Woman Phone Wallpaper(15)

13 votes, average: 1.00 out of 1 (13 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Azure menyeka keringat di pelipis dengan punggung tangan sesaat setelah ia duduk. Ruangan yang  ditempatinya untuk beristirahat itu memang dilengkapi dengan pendingin udara yang mengembuskan udara dingin nan sejuk. Namun tetap saja, aktivitasnya yang baru saja ke sana kemari melayani pelanggan dan sesekali menata pakaian dari kereta barang yang cukup banyak itu membuatnya berkeringat.

Flavia yang duduk di sebelahnya agaknya juga merasakan hal yang sama. Teman kerjanya itu menggunakan sapu tangannya untuk menyeka keringat, pun sesekali menggunakannya sebagai kipas seolah pengaturan AC di ruangan itu masih belum cukup meredakan rasa panas dari tubuhnya.

“Kau tahu berita terbaru, Carissa?” Flavia meneguk air putih dari botol air mineral dari dalam tasnya, menelannya dengan terburu-buru lalu bertanya pada Azure yang tampak melamun.

“Berita terbaru?” Azure mengangkat kedua alisnya dengan ekspresi ingin tahu.

“Ya. Taman kota di sebelah timur katanya memiliki bunga yang sangat indah. Bunganya berwarna biru cerah. Hampir di seluruh taman itu memiliki bunga biru yang berbeda dari yang lain-“

Terdengar suara terbatuk-batuk dari sebelah Flavia. Perempuan itu menoleh dan mendapati Azure sedang tersedak setelah meneguk minumannya.

“Ah, kau terkejut, ya? Kau pasti terkejut, aku pun sama. Aku sangat penasaran dengan taman itu.” Flavia dengan baik hati menepuk-nepuk punggung Azure untuk membantu meredakan rasa tak nyaman yang berujung siksaan pada saluran pernapasannya.

Astaga. Tentu saja Azure terkejut. Dia sama sekali tak menyangka jika perbuatannya menyemai warna pada bunga-bunga di taman kota sebelah timur itu berujung pada kehebohan warga sekitar.

Azure selalu pergi ke taman itu pada malam hari setelah ia selesai bekerja. Ia terkadang hanya duduk termangu menatap tanaman-tanaman di taman itu di bawah cahaya temaram lampu penerangan di sana. Namun, lebih sering Azure berjalan mengelilingi taman yang cukup luas itu dengan hati riang, menyentuhkan tangannya pada bunga-bunga di sana, menyebar warnanya.

Dia tak sempat berpikir jika warna yang dihasilkan oleh bunga-bunga itu akan berbeda.

Azure meneguk lagi minuman dari botol yang dipegangnya.

“Besok kita mendapat jatah masuk sore lagi, bukan?” Flavia bertanya dengan wajah berbinar.

Azure mengusap sisa air minum di ujung bibirnya dengan sebelah tangan, menoleh ke arah Flavia lalu mengerutkan kening mengingat-ingat.

“Ya, besok kita berangkat pada siang hari,” jawabnya dengan ekspresi datar, mengalihkan pandangannya lagi ke jalanan kota yang tampak sibuk dengan lalu lalang kendaraan yang terlihat dari kaca di pintu.

“Ah, bagaimana jika kita besok pagi pergi ke taman itu? Kita bisa sesekali pergi berjalan-jalan sebelum berangkat bekerja lagi, hm?” Flavia mencondongkan tubuhnya dengan ekspresi membujuk.

Azure menoleh lagi.

“Ayolah, Carissa. Kapan lagi kita bisa bersenang-senang di hari sibuk?” ajaknya lagi dengan ekspresi cerah.

“Oke.” Carissa menipiskan bibir dengan senyum tipisnya kemudian meneguk lagi minumannya.

“Ada satu kabar lagi sepertinya yang kau lewatkan, ya? Kau tahu, Carissa? Sistem pembuangan air dari flat yang kautempati itu sedang ramai dibicarakan oleh warga kota. Lagi-lagi karena warna biru aneh yang muncul di sana.”

Azure seketika menyemprotkan air dari mulutnya hingga sebagian roknya basah.

Astaga. Saluran pembuangan air? Flat? Apakah itu adalah karena ulahnya yang selalu berendam di bathtub sembari melepas aura birunya dengan senang hati?

Azure mengelap mulutnya dengan lengan. Kepalanya tampak tertoleh dengan wajah memerah seolah baru saja ketahuan melakukan sesuatu.

Flavia mengangkat alis melihat tingkah temannya itu. “Ada apa, Carissa?” Perempuan itu memiringkan tubuh. Menghadap sepenuhnya ke arah Azure dan mempelajari ekspresi yang saat ini sedang ditunjukkan perempuan itu.

“Kau sudah tahu, ya?” ucapnya menduga kemudian.

Azure akhirnya mengusap wajahnya kasar untuk menghilangkan ekspresi aneh yang saat ini tertampil di wajahnya. Ia lalu menoleh ke arah Flavia dan bertanya dengan mengerutkan kening terpaksa.

“A-aku belum tahu. Memangnya ….” Azure berdeham. “Apa yang terjadi pada saluran pembuangan itu sehingga … sehingga warnanya menjadi biru?” tanyanya dengan jantung berdebar. Diteguknya sampai tandas minuman di tangannya itu, berusaha membuang rasa gugup tak terkira yang membuat Azure seolah ingin pingsan saja.

Flavia menghela napas panjang sembari mengangkat bahu. “Aku juga tidak tahu. Beberapa portal berita kota menyebutkan jika salah seorang petugas perbaikan pipa yang sedang bekerja terkejut ketika melihat air yang mengalir dari tempat itu berwarna biru bening, seperti air laut,” terangnya dengan pandangan menerawang, lalu kembali menatap Azure dengan ekspresi berpikir.

“Tidakkah kau berpikir ada yang aneh? Dua tempat kejadian berbeda menunjukkan warna biru yang sama dan tak biasa. Apakah itu ada hubungannya dengan makhluk astral? Ataukah ada fenomena sains yang tak kita ketahui sebabnya?”

Azure berdeham. Wajahnya kembali memerah saat Flavia menyebut tentang makhluk astral. Ya, dirinya adalah makhluk pendatang di dunia manusia ini. Wujudnya yang sekarang hanyalah penyamaran, untuk menutupi keaslian dirinya dari wujud yang mungkin saja akan membuat manusia-manusia takut.

“Mungkin saja memang ada makhluk astral.” Azure menjawab dengan tersenyum tak habis pikir.

Flavia bergidik sembari mengusap lengannya sebagai ekspresi spontan tubuh saat membayangkan hal-hal yang membuatnya takut.

“Jangan menakut-nakutiku, Carissa. Ini sudah malam. Sebaiknya ayo kita segera berkemas dan pulang.” Perempuan itu menoleh ke kanan kiri, memastikan jika teman-teman mereka masih berada di sana, menunggu waktu pulang.

Azure hanya terkekeh tipis dan mengangguk.

“Ya. Ayo kita pulang,” ajaknya lalu berdiri dari kursinya, menyelempangkan tas di pundak dan berjalan menuju pintu, diikuti Flavia yang terburu-buru mencangklong tasnya.

Hm. Akan bagaimana ekspresi Flavia jika perempuan itu tahu bahwa selama ini ia berteman dengan bukan manusia?

Azure menipiskan bibirnya dengan ekspresi kasihan, melirik pada Flavia yang kini telah menyejajarkan langkah dengannya.

***

Reddish membuka mata. Lambat-lambat lelaki itu mengerutkan kening lalu memicingkan pandangan. Mengumpulkan kesadarannya setelah tertidur yang sepertinya begitu lama. Saat memindai ruangan itu dengan saksama, ia langsung tahu di mana dirinya sedang berada.

Ini ada di ruangannya.

Nuansa ruangan yang temaram dengan dinding jendela yang terbentang berwarna gelap di hadapannya membuat Reddish menyimpulkan satu hal jika hari sudah malam.

Astaga. Apakah dirinya tidur seharian penuh?

Terakhir dirinya bisa mengingat waktu adalah tadi setelah ia berbincang dengan Candy dan meminum ramuan berwarna putih itu. Reddish seketika menatap meja dan menemukan bahwa meja kaca di depan sofa itu telah dibersihkan. Lelaki itu kemudian memindai ke sekeliling ruangan dan mendapati lampu-lampu kecil di empat dinding ruangan telah dinyalakan. Sepertinya para pelayan telah melaksanakan tugas dengan baik. Menata ruangan seperti seharusnya meski tak berani membangunkannya untuk sekadar memberitahunya agar berpindah tidur ke ruangan kamarnya agar lebih nyaman.

Sejenak, Reddish memeriksa keadaan tubuhnya dengan menyentuhkan telapak tangannya ke kedua lengan dan mengusap rambutnya. Rasa lelah dan nyeri di sekujur tubuh yang tadi pagi dirasakannya itu telah enyah. Tubuhnya terasa ringan dan sehat seperti sedia kala.

Sebentar.

Ada sesuatu hal lain yang terasa berbeda dengannya saat ini.

Tapi apa?

Reddish mengerutkan kening dan kembali memeriksa dirinya, kali ini lelaki itu berdiri dan mengawasi pakaian yang melekat di tubuhnya. Matanya lalu memeriksa lengan kanannya di mana terdapat semacam tanda lahir berbentuk tato api di sana.

Tidak ada yang berbeda.

Masih tak puas dengan apa yang dilihat oleh matanya sendiri, Reddish kemudian melangkah ke seberang ruangan di mana terdapat cermin besar dengan bingkai besarnya yang tampak garang dengan warna merahnya yang berbentuk api. Cermin itu memiliki bentuk kotak memanjang dan lebih tinggi dari Reddish, sehingga saat lelaki itu berdiri di depannya, cermin itu akan menampilkan citra dirinya utuh dengan jelas dari kepala hingga kaki.

Lelaki itu berdiri di sana sejenak, bergeming, tepat di depan cermin. Mengamati dengan teliti dari ujung rambutnya yang sedikit acak-acakan hingga ujung kakinya yang mengenakan sepatu merah tua tanpa terlewat. Reddish lalu menatap bayangan wajahnya sendiri.

Dia masih tetap tampan.

Pandangan matanya lalu tiba di kedua mata merahnya yang menyala terang dan perlahan mengusap dagunya. Memuji berkali-kali dalam hati pada parasnya yang rupawan. Pada saat itulah Reddish teringat pada janjinya dengan Candy tadi. Janji temu untuk melepas lensa matanya.

Bibinya itu berkata jika ia menunggunya di ruangan meditasi? Ah, ya. Dirinya harus sesegera mungkin melepas lensa yang telah hampir sepanjang usia itu menempel di sana, membantunya melihat dengan pandangan sempurna.

Reddish mengetatkan giginya dalam senyuman penuh ironi saat menatap pantulan dirinya di cermin. Kali ini ia tak akan gentar. Ia telah memaksa dirinya untuk siap. Siap memakai mata aslinya untuk menemukan pasangannya demi menyalakan kembali cahaya pelangi semesta yang selama setahun ini padam.

Lupa pada tujuan awalnya bercermin, Reddish menghela napas panjang dan mengepalkan tangannya untuk menguatkan tekad. Tanpa ragu lagi, Reddish menatap dinding kaca yang kelam dengan suasana malam itu, lalu membalikkan badan, melangkah menuju pintu dan keluar dari ruangan itu, pergi menghampiri sang bibi yang barangkali telah menunggu dan mempersiapkan segala sesuatunya di sana.

***

Di tengah-tengah perjalanan menemui sang bibi, saat tiba di lorong panjang yang menghubungkan kastilnya dengan ruangan para anggota klan, Reddish dikejutkan dengan suara sapaan yang menggema di kepala. Sejenak lelaki itu bersandar pada dinding terdekat, lantas memejamkan mata.

“Tuan Reddish.” Suara serak nan dalam dari seberang terdengar menyapa.

“Ah, Vermilion. Hasil apa yang hendak kausampaikan padaku?” Reddish langsung menagih informasi dari lelaki itu tanpa basa-basi.

“Saya telah menemukan kekuatan misterius itu, Tuan,” jawabnya cepat.

“Oh, ya? Jadi itu adalah kekuatan makhluk langit? Sebab aku telah menyebar kekuatan merahku di dunia manusia dan tak mendapatkan apa-apa.” Reddish menyahut.

“Benar, Tuan. Dari beberapa catatan rahasia serta hasil penyelidikan yang saya lakukan beserta anak buah saya tentang kekuatan bersembunyi, kami menemukan jika ternyata kekuatan menyembunyikan aura itu adalah kekuatan rahasia klan hitam. Berbeda dengan makhluk langit lain yang pada dasarnya memiliki kekuatan untuk berubah menjadi manusia dan menyembunyikan aura warnanya, kekuatan menyembunyikan dari klan hitam ini sejatinya adalah kekuatan terlarang yang tak boleh diaktifkan, kecuali di saat-saat terdesak seperti untuk melindungi diri dari kejahatan. Karena efeknya jelas seperti yang mungkin dirasakan oleh Anda saat ini, di mana Anda sebagai pemimpin negeri yang seharusnya mengetahui semuanya, ternyata terhalangi dan hanya memiliki penglihatan dalam bentuk firasat tentang sesuatu yang disembunyikan.” Vermilion menerangkan dengan terperinci.

Tak ada suara kemudian selama beberapa detik.

“Klan hitam.” Reddish mendengarkan informasi itu lalu mengernyitkan dahi dan berpikir keras.

Ia sebelumnya menduga jika ini adalah ulah klan biru sendiri di mana mereka benar-benar tak ingin ditemukan dalam usaha menghindar dan tak mau bekerjasama dengan negeri langit karena kekalahan mereka sebelumnya.

Tak pernah ia sangka jika ini adalah ulah klan hitam? Klan hitam dengan klan biru? Ada hubungan rahasia apa antara dua klan itu?

“Teruskan penyelidikanmu tentang ini, Vermilion. Aku ingin kau terus memantau dan menguak rahasia tentang klan hitam yang berhubungan dengan klan biru ini. Jangan lama-lama. Karena aku juga akan segera bertindak untuk menemukan klan biru itu dengan caraku,” titahnya dengan nada sedikit angkuh di akhir kalimatnya.

“Baik, Tuan. Saya akan melaksanakan perintah segera.” Vermilion tampak sedikit menunduk sebagai tanda menghormat dan menerima perintah di tempatnya duduk walau saat ini Reddish tak mampu melihat.

“Terima kasih.” Reddish mengakhiri ucapannya dengan dua kata yang tak ia sangka akan keluar dari mulutnya.

Keterkejutan juga dirasakan oleh Vermilion. Lelaki itu seketika berucap tergugu. “Eh, apa, Tuan?” tanyanya spontan seolah hendak meyakinkan diri tentang apa yang baru saja ia dengar. Sangat jarang dan hampir tak pernah bagi bawahan seperti dirinya mendapati ucapan terima kasih tulus dari sang pemimpin. Namun sepertinya, saat ini Reddish sedang memiliki suasana hati yang baik atas kabar baik yang baru saja diberitahukan olehnya sehingga lelaki itu dengan besar hati mengucapkan kata-kata ajaib itu.

Reddih yang juga terpaku itu akhirnya mengulang kata-katanya. “Terima kasih, Vermilion. Aku menunggu kabar baik lainnya darimu,” tambahnya.

“Ya. Ya. Pasti Tuan.” Vermilion kali ini bahkan membungkuk-bungkukkan tubuhnya dengan jantung berdebar senang karena pujian tak langsung yang diberikan oleh tuannya itu.

Reddish membuka mata. Ia jadi teringat lagi dengan perihal dirinya yang terasa berbeda.

Apakah itu hatinya? Ucapan terima kasih tadi, apakah itu adalah dari dirinya sendiri?

Reddish berdiri tegak dan menerawang. Biasanya, di saat-saat apa pun, dirinya selalu dikuasai oleh rasa marah yang mudah tersulut. Bahkan saat dalam kondisi tenang pun, dia selalu tergoda untuk menyulut kemarahan orang lain dengan ucapan maupun tingkahnya.

Namun sekarang …. Lelaki itu tanpa sadar menyentuh dadanya. Yang ia rasakan saat ini adalah sebuah kedamaian.

Damai?

Reddish mengangkat sebelah alis karena merasa konyol atas pemikirannya sendiri. Lelaki itu mengerjap dan menggeleng-gelengkan kepalanya seolah setelah bangun dari tidur yang begitu lama itu, tubuh dan otaknya justru tak bisa diajak berpikir dengan benar.

Reddish kemudian menghela napas panjang, memilih mengabaikannya dan melanjutkan langkah menuju ruangan sang bibi yang tinggal berapa jangkahan lagi.

Ruangan itu berwarna serupa dengan ruangan Reddish. Didominasi oleh warna merah sebagai identitasnya di ruangan kastil merah.

Tak seperti Candy yang masuk dengan serampangan, kali ini, Reddish memasuki ruangan Candy dengan langkahnya yang tak terdengar. Lelaki itu berhenti setelah dua langkah dari pintu. Mata merahnya memindai seisi ruangan dan menemukan bibinya sedang menata peralatannya di meja.

Saat melihat ada kelebat aura yang memasuki ruangan, Candy dengan cepat menatap ke arah pintu dan menemukan Reddish telah berdiri di sana. Senyum tipis tersungging dari bibir merahnya.

“Bibi.” Reddish menyapa.

Candy mengangkat kedua alis mendengar suara sapaan itu. Perempuan itu bahkan berdiri tegap meninggalkan pekerjaannya dan menatap lurus ke arah Reddish dengan dada berdebar.

Apakah efek minuman itu telah bereaksi?

“Apakah sudah siap?” Reddish menatap Candy dengan tatapan tak terbaca.

Tubuh Candy yang semula menegang seketika melembut mendengar pertanyaan itu. Dengan pasti, Candy mengangguk, mengangkat sebelah tangannya, menunjuk ke arah ranjang. “Kemari, Reddish. berbaringlah di sini.” Perempuan itu mengedikkan kepalanya dengan gerakan mengajak, membuat Reddish tak berpikir dua kali dan langsung melangkah ke sana.

Lelaki itu menatap peraduan dengan seprai berwarna putih tersebut, menghela napas panjang dan duduk di tepinya sebelum membaringkan tubuhnya dengan kaku di atas tempat tidur itu. Seperti permintaannya semula, saat Reddish betul-betul telah siap, semua nyala penerangan dimatikan. Membuat ruangan itu benar-benar gelap, pekat tanpa setitik pun cahaya.

Candy berdiri di sisi ranjang. Keningnya mengernyit, tampak dari ekspresinya yang berkerut, ia sama berdebarnya seperti Reddish sekarang. Ia ingat betul bagaimana keponakan kecilnya itu ketakutan setengah mati saat lensa pembantu itu terlepas dari matanya saat kematian ibunya.

Perempuan itu teringat bagaimana Reddish kecil tantrum saat membuka kedua matanya. Bagaimana tidak. Anak laki-laki itu begitu sedih atas kembalinya sang ibu ke awan, dan di saat-saat payah di mana Reddish begitu banyak menangis atas kepergian sang ibu, ia tiba-tiba dikejutkan dengan segala sesuatunya yang berwarna abu-abu. Tidak ada warna, tidak ada secuil aura saja di depan matanya yang mampu ia baca. Reddish tak mampu membedakan warna.

Ya. Sungguh ironis sebagai anak pemimpin negeri yang menyimpan kekuatan besar di tubuhnya itu ternyata memiliki fisik tak sempurna di bagian matanya. Reddish memiliki kelainan mata buta warna.

Candy menelan ludah dengan gugup.

“Aku akan melepasnya sendiri.” Reddish bergumam kemudian.

Lelaki itu lalu menyentuh kedua matanya dengan ibu jari dan jari telunjuk tangan kanannya, menyentuh benda tipis itu, mengangkatnya, lalu memejam.

Senyap beberapa waktu.

Reddish mengerutkan kening, merasai tubuhnya yang tegang dengan jantungnya yang memompa cepat. Tak ada suara apa pun selain deru napasnya sendiri yang terdengar berkali-kali mengembus keras untuk menetralkan debarannya yang seolah tak mau melambat.

Tak peduli lagi pada kegugupannya, Reddish membuka mata. Kedua pupilnya yang berwarna merah cerah itu terbelalak saat pandangannya menemukan sesuatu yang berbeda dari ingatan terakhirnya ketika menatap dengan matanya yang buta itu. Dengan cepat Reddish menoleh ke arah Candy yang berdiri di samping ranjangnya memegang kain dan lambat-lambat menyodorkan kain itu ke arah Reddish untuk mengelap matanya. Jantungnya terpacu semakin cepat seperti hendak mendobrak lalu meruntuhkan dadanya dengan debaran yang menyiksa itu.

“Bibi.” Reddish memanggil cepat dengan keterkejutan yang tiada habisnya.

***

“Apakah kita harus masuk juga ke dalam hutan?” Shamrock, pemimpin klan hijau bertanya dengan ekspresi menimbang-nimbang.

Mereka memang diperintah oleh dewan warna untuk meneliti setiap jengkal daerah di negeri awan bersama pemimpin-pemimpin klan yang lain. Saat ini, beberapa pemimpin klan telah menyelesaikan tugas melelahkan itu di beberapa tempat setelah sekian lama, begitu juga dengan Shamrock.

“Ya. Memang terlihat konyol mencari makhluk langit di dalam hutan lebat seperti ini. Tapi, siapa yang tahu, bukan? Bisa saja ada makhluk klan biru yang diam-diam mempunyai markas di dalam tanah di hutan lebat ini?” Sandstone, pemimpin klan oranye itu menyahut dengan pertanyaan.

Shamrock menengadah. Menatap langit abu-abu di negeri langit yang kini telah berubah sepenuhnya gelap, menandakan jika waktu telah beranjak malam.

“Malam ini juga? Apakah tidak lebih baik besok saja? Kita tak bisa maksimal di malam hari seperti ini.” Shamrock mencoba bernego dengan mencari jalan terbaik. Merasa ngeri membayangkan suasana di dalam hutan lebat itu pada malam hari.

Sandstone mengusap dagunya yang memiliki jenggot tipis, berpikir sejenak. “Baiklah. Kita akan-“

Perkataan Sandstone itu tak mencapai akhir kalimatnya karena tiba-tiba saja, dari posisi keduanya yang sedang melayang tak jauh dari lokasi hutan itu, terdengar suara terbatuk-batuk yang meskipun cukup lirih dari tempat mereka, tetapi Shamrock dan Sandstone yang sama-sama mendengar saling bersitatap kemudian. Berkubang pada pemikiran masing-masing, tapi dengan dugaan yang sama.

Mereka terdiam beberapa saat.

“Kau mendengarnya?” Shamrock bertanya terlebih dulu.

Sandstone mengangguk, lalu mengarahkan pandangannya ke sumber suara itu.

“Mari kita lihat.” Lelaki itu melesat turun tanpa peringatan. Shamrock menyusul, dengan cepat menyejajarkan tubuhnya dengan Sandstone yang kini hampir tiba di atas pucuk pohon.

Mereka saling berpandangan lagi sebelum kemudian bersamaan mengangguk sebagai persetujuan tanpa kata. Keduanya perlahan turun, menyibak dedaunan lebat yang tumbuh tak terawat karena lokasinya yang begitu terpencil di ujung negeri, jarang terjamah oleh makhluk langit.

Suara batuk itu terdengar lagi. Kali ini dengan intensitas suara yang lebih keras.

“Ayo.” Shamrock berbisik memimpin jalan, mendekati arah suara.

Langkah mereka terdengar bergemeresak berkat injakan kaki mereka di ranting-ranting kering pohon yang tersebar di tanah. Sandstone lalu menatap ke lurus ke depan, ke arah sebuah pohon yang sepertinya berukuran paling besar di antara yang lainnya. Lelaki itu lantas mendongak, melihat betapa tingginya batang pohon itu hingga pucuknya tak nampak dari tempatnya berdiri saat ini.

“Suaranya dari sini,” bisik Shamrock lagi.

Dia kemudian berjalan mengendap-endap, berusaha melangkah tanpa suara untuk melihat apa yang ada di balik pohon itu. Jantungnya berdebar cepat penuh perhitungan. Aura hijau mulai menguar dari tangan kanannya, bersiap melempar kekuatannya itu kepada apa saja yang akan ditemuinya jika itu adalah sesuatu yang berbahaya.

Sandstone melakukan hal yang sama. Aura jingga redup menyelubungi tangannya, membuat sekitar tempat itu menjadi remang oleh cahaya kecil dari tangannya. Shamrock mengedikkan kepala, memberi isyarat kepada Sandstone agar lelaki itu bergerak dari arah yang berlawanan dari dirinya. Shamrock dari arah kiri, sedangkan Sandstone dari kanan pohon.

Lalu, pada detik menegangkan saat keduanya tiba di di balik pohon itu dan bersiap melemparkan kekuatan, keterkejutan menampar mereka dengan hal tak disangka.

Perempuan klan biru!

Perempuan itu terbatuk-batuk dengan posisi setengah terduduk bersandarkan akar pohon besar yang ia jadikan tempat bernaung. Rambutnya yang berwarna biru itu tampak kusut dengan dedaunan kering yang menempel di sana.

Perempuan itu tak berdaya melihat kedatangan dua laki-laki di sisi tubuhnya. Tenggorokannya terasa kering dan sakit. Ia kelelahan. Lelaki klan biru yang mengaku sebagai kakaknya itu dengan tega telah meninggalkannya sendirian di hutan ini. Pandangannya kemudian menoleh ke kanan dan kiri. Meski keadaan hutan begitu gelap, perempuan itu tahu jika laki-laki yang berada di sekelilignya ini adalah laki-laki dari klan hijau dan klan oranye, terlihat dari aura kekuatan tipis yang menguar dari tangan mereka.

“Ternyata kau bersembunyi di sini.” Shamrock berkata dengan suara dingin, begitu kentara menampakkan kebencian di wajahnya.

“Ayo, Sandstone. Bawa dia,” ajaknya sembari melangkah ke depan. Dengan kasar menggapai lengan perempuan malang itu di tangan kiri, bersamaan dengan Sandstone yang memegangi pula lengan Sapphire di sebelah kanan.

“Ka-kalian akan membawaku ke mana?” tanyanya lirih dengan suara tersekat.

“Ke mana? Ke mana katamu? Jangan berpura-pura polos dan lemah. Tentu saja ke kediaman dewan warna dan menyiapkanmu menjadi pengantin Reddish! Ayo!” Shamrock mencekal lengan Sapphire dengan kasar membuat perempuan itu mendecit karena suaranya yang habis, lantas bersama-sama dengan Sandstone naik kembali ke angkasa, terbang dengan penuh semangat kembali ke markas mereka membawa Sapphire.

Mereka telah menemukan buruan!

***

“Reddish.” Candy menyapa pelan. Kedua matanya tertuju ke kegelapan di depannya, yang ia yakini masih ada keponakannya itu di sana.

“Aku bisa melihatmu.” Reddish berkata pelan.

Candy mengerutkan kening. “Me-melihatku?” tanyanya tak yakin dengan maksud dari ucapan Reddish itu.

Di tempatnya duduk membungkuk saat ini, masih di atas peraduan, Reddish menoleh.

“Ya, Bibi. Ternyata sia-sia belaka kaumatikan lampu-lampu di tempat ini karena aku tetap bisa melihatmu,” jelasnya dengan suara serak.

Candy tergugu-gugu dengan ekspresi terkesiap yang campur aduk. Ini adalah hal ajaib yang tak pernah disangkanya jika kedua mata Reddish yang pada awalnya hanya mampu melihat warna abu-abu itu berkembang ke arah lain yang tak pernah ia duga.

“Apa maksudmu, Reddish? Kau … kau bisa melihat dalam gelap?” tanyanya menyimpulkan.

“Ya. Aku bisa melihat semuanya dengan jelas. Tapi tidak dengan warnamu. Warnamu tetap abu-abu di mataku.” Reddish tersenyum dengan ekspresi pedih. Laki-laki itu lantas turun dari ranjang, terdengar menghela napas panjang dan lekas beranjak dari ruangan itu.

“Reddish. Kau … kau mau ke mana?” Candy menatap ke arah suara jubah Reddish bergerak.

Reddish berhenti kemudian. “Ke tempat di mana aku harus menemukan perempuanku,” ucapnya dingin lalu meneruskan langkah, meninggalkan Candy seorang diri di ruangannya.

Lelaki itu tanpa pikir dua kali menguarkan aura merahnya begitu keluar dari ruangan, bersiap terbang saat tiba di sebuah balkon di ujung lorong.

Reddish memejam. Entah bagaimana pikirannya yang terus tertuju pada perempuan bernama Carissa itu membuatnya tak nyaman. Dan entah bagaimana pula, ia begitu ingin melihat perempuan itu lagi, menganulir ucapannya dengan angkuh pada Carissa waktu itu jika ia tak ingin bertemu lagi.

Reddish melesat turun. Namun, sebelum ia bergerak cepat, kedua matanya melihat kerlip kecil di bawah sana yang membuat keningnya mengernyit. Kerlip warna itu begitu kecil, tetapi begitu cerahnya memancarkan sinar.

Cahaya apa di dunia manusia yang terlihat terang bahkan dari negeri langit yang begitu jauh ini?

Reddish mempercepat terbangnya, termakan oleh rasa penasaran yang tak bisa ditawar. Tak dipedulikannya angin yang berembus kencang menerpa tubuh. Lelaki itu melesat hampir seperti bintang jatuh yang hanya memperlihatkan cahayanya seperti kilat saat hendak mencapai permukaan tanah. Secepat itu ia terbang, secepat itu pula lelaki itu mengubah wujudnya menjadi manusia.

Reddish dengan tepat mendarat di tempat gelap. Pandangannya tertuju pada kerlip cahaya yang tampak nyata di balik pepohonan rindang di sana. Tanpa ragu Reddish melangkah. Keningnya masih berkerut dengan gerakan tubuhnya yang waspada. Lalu, saat ia berhasil menyibak tanaman-tanaman bunga pembatas di area itu, tubuh Reddish membeku tanpa peringatan.

Yang ada di depannya itu adalah pemandangan indah yang tak pernah terpikir akan dilihat oleh kedua matanya. Matanya yang cacat itu seolah mendapat berkah dari langit dengan mampu melihat warna biru. Hanya biru. Terbukti dari dirinya yang saat ini mampu mendefinisikan dengan benar warna bunga di taman itu.

Ah, ternyata, kerlip kecil dari angkasa itu adalah warna bunga-bunga yang sedang bermekaran di taman ini.

Mata Reddish memindai dengan bahagia ke setiap inci sudut taman. Lalu, di antara semua hal menakjubkan yang berhasil dipandangi kedua matanya itu, ada satu hal inti yang membuat Reddish terpaku seolah saraf motorik di tubuhnya kehilangan fungsinya sehingga ia tak mampu bergerak.

Ada seorang perempuan.

Perempuan itu sedang berjongkok di depan bunga-bunga yang bermekaran dengan warna biru cerah yang ada di sana. Ekspresi perempuan itu tampak murung alih-alih senang dengan pemandangan indah yang saat ini begitu membuat dada Reddish seolah mau pecah.

Rambut perempuan itu berwarna biru, alis matanya, kedua matanya yang cantik, serta tangannya yang memiliki jari jemari lentik dengan kukunya yang berwarna biru itu membuat Reddish terkesiap selama beberapa detik. Lalu wajahnya ….

Wajah perempuan itu … perempuan yang ia tolong beberapa malam lalu dalam kondisi terluka itu … ternyata adalah perempuan klan biru!

index

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

 

KONTEN PREMIUM PSA


 

Semua E-book bisa dibaca OFFLINE via Google Playbook juga memiliki tambahan parts bonus khusus yang tidak diterbitkan di web. Support web dan Authors PSA dengan membeli E-book resmi hanya di Google Play. Silakan tap/klik cover E-book di bawah ini.

Download dan install PSA App terbaru di Google PlayWelcome To PSAFolow instagram PSA di @projectsairaakira

Baca Novel Bagus Gratis Sampai Tamat – Project Sairaakira

9 Komentar

  1. Indah Narty menulis:

    Klan biru :lovelove

  2. Dona Nurhayati menulis:

    : :lalayeye :muach

  3. rhafatimatuzzahra menulis:

    :lovelove

  4. Tks y kak udh update

  5. Dian Sarah Wati menulis:

    :lovelove :lovelove :lovelove

  6. Suka suka suka