Red Prince

The Red Prince | Part 5 : Kekuatan Reddish

Bookmark
Please login to bookmark Close

red prince cover - CopyBlack Line Art Butterflies Woman Phone Wallpaper(15)

12 votes, average: 1.00 out of 1 (12 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Reddish tak menoleh dua kali pada perempuan yang saat itu telah terlelap di kamarnya. Dibiarkannya begitu saja perempuan itu di sana selama beberapa lama, berbaring, tanpa ia mau barang sebentar saja menyelimutkan kain tebal yang kini bergulung di ujung kaki.

Biarlah. Bukan urusannya lagi. Lagi pula, perempuan itu seharusnya sudah cukup berterima kasih padanya dengan telah menolongnya tadi, bukan?

Saat ini ia terfokus pada penyelidikan sekaligus pencariannya pada perempuan klan biru jika ia beruntung bisa menemukannya bersamaan.

Kening Reddish mengernyit.

Di negeri langit, pusat kekuatan warna ada pada sebuah tongkat yang tertanam di bukit awan. Tongkat itu mampu membaca aura warna anggota koloni klan serta menjadi sentral yang bisa membaca apa saja yang sedang terjadi di negeri langit, termasuk mengontrol apa-apa saja jika ada sesuatu hal buruk yang akan terjadi, lantas mengirimkan semacam radar kepada pemimpin negeri agar mengambil tindakan pencegahan sebelum musibah itu datang.

Barangkali, ayah Azure pada waktu itu mengabaikan betapa berbahaya tindakannya menyangkut tongkat tersebut. Lelaki tua itu melakukan pertapa, membersihkan diri, menyepi dari kehidupan keluarganya agar menjadi yang terkuat di antara pemimpin negeri langit lainnya sehingga pada akhirnya, sesuai ambsinya, dirinyalah yang terpilih oleh alam menjadi pemimpin, menggeser kedudukan ayah Reddish yang waktu itu masih bertakhta di singgasana.

Sayangnya, kekuatannya yang bertambah pesat mengalahkan kekuatan klan merah pada waktu itu, tetap tak mampu mengubah dirinya otomatis menjadi pemimpin negeri langit, karena ia lupa, bahwa keinginan rakus menjadi pemimpin itu tidak semata-mata karena ia ingin memimpin negeri dengan sebaik-baiknya, tetapi didorong oleh rasa cemburu, iri, dan perasaan ingin menang yang begitu menguasai diri.

Oleh karena itu, saat ia menginjakkan kaki di bukit awan, tongkat itu tetap tak bisa tercabut olehnya. Dan alasannya satu. Hanya pemimpin negeri langitlah yang bisa mencabutnya, menjadikannya senjata untuk melindungi anggota klan warna dari bahaya. Dan tentu saja ayah Azure bukanlah orangnya.

Tongkat itu mampu membaca apa yang sejatinya ada di hati ayah Azure, sehingga tentu saja, demi keamanan dan kejayaan negeri langit, kedudukan ayah Reddish tetap di tempatnya, tak tergoyahkan.

Mengetahui gerak-gerik mencurigakan dari rekan sesama pemimpin klan, ayah Reddish seketika mendatangi puncak bukit awan seolah telah diberi tahu bahwa ada pergerakan tak semestinya di sana. Dan benar saja, ayah Azure sedang berputus asa mencoba mencabut tongkat itu dari tempatnya, dengan pongahnya sedang meyakinkan diri jika dirinyalah yang pantas membawa tongkat itu.

Ayah Reddish murka. Menyerang ayah Azure seketika itu juga, menghantamnya dengan kekuatan penuh yang sama-sama kuat. Perkelahian dua orang tua dengan kekuatan besar yang begitu kentara auranya di negeri langit itu tentu saja memanggil berbagai pihak untuk datang, termasuk anggota dewan warna yang berusaha melerai keduanya.

Pertarungan itu berhenti, tetapi membawa malapetaka karena dengan keras kepala, ayah Azure justru menantang ayah Reddish untuk bertanding sebagai pembuktian. Ia juga menambahkan syarat agar anggota klan diikutsertakan. Mereka dibebaskan memilih. Antara pemimpin klan merah dan pemimpin klan biru. Akan berada di pihak mana mereka saat perang warna nanti.

Ayah Reddish keberatan. Hatinya sakit ketika hanya demi sebuah jabatan kepemimpinan, harus ada perang warna untuk membela siapa yang terkuat. Sejujurnya, ia lebih ingin mengalah saja daripada ada pertumpahan darah dan mengorbankan anggota klan. Namun, suara-suara di belakangnya membuatnya terkejut karena anggota klan warna yang lainnya malahan berkata bahwa demi kejayaan negeri langit, mereka mau berjuang bersama, mempertahankan apa yang menurut mereka benar.

Akhirnya, perang warna itu pun tak terelakkan. Kilatan warna-warni indah dengan jutaan percikan cahaya itu berpendar di mana-mana. Berlangsung lama, membuat banyak anggota klan menjadi korban.

Setelah tak mau menyerah dengan sisa-sisa kekuatan yang dimilikinya, ayah Azure berhasil dipukul mundur dengan kemenangan berada di tangan klan merah, yang itu berarti bahwa kepemimpinan negeri langit tak berubah. Berada di tangan ayah Reddish.

Pasukan klan biru dengan sombongnya memutuskan tak mau bergabung dalam menjalankan tiga poros kepemimpinan dan memutuskan untuk hidup mengasingkan diri hingga saat ini.

Reddish menghela napas panjang. Ditatapnya langit yang penuh gelap di hadapannya, membentang seolah menyatu dengan pemandangan kota yang sama gelapnya dengan kerlip lampu kuning menyala.

Ia harus mencari tempat terbaik sebagai titik pusat penanaman kekuatannya. Pandangan Reddish kali ini menatap ke bawah. Ke lokasi terdekat dengan jarak tempuh yang tak memakan waktu. Setelah yakin, ia kemudian bersiap untuk terbang. Hendak mengeluarkan asap merahnya untuk pergi dari tempat itu. Namun, sebelum sempat ia melakukan itu semua, suara sapaan terkejut terdengar dari belakang tubuhnya.

“Hei. Apa yang akan kaulakukan? Kau mau bunuh diri, heh?” Suara ketus bercampur khawatir plus ngeri terdengar keras di belakangnya tanpa peringatan.

Reddish mendecak kesal dan seketika membalikkan tubuhnya dengan ekspresi sebal bukan kepalang.

Ekspresi perempuan itu tampak terkejut, melangkah menjauh sedikit ke belakang.

Dasar perempuan! Makhluk pengganggu!

“Apa yang akan kulakukan bukanlah urusanmu!” ujarnya dengan nada ketus yang sama.

“Ya. Memang bukan urusanku. Tapi apa jadinya jika kau jadi melompat ke bawah dengan diriku yang ada di sini? Tidakkah kau memikirkan akibatnya? Jika kau mati, maka aku akan menjadi tertuduh. Orang tak dikenal yang mendadak menjadi terkenal karena matinya seorang laki-laki konyol yang bunuh diri.” Perempuan itu berbicara panjang lebar tanpa memperhatikan bagaimana ekspresi kesal yang sudah kian menjadi-jadi di wajah Reddish.

Reddish mengangkat alis di tengah kemarahannya mendengar kalimat perempuan itu.

Melompat ke bawah? Mati bunuh diri?

Astaga. Apakah perempuan itu melihatnya saat akan terbang?

“Siapa bilang aku akan melompat ke bawah dan bunuh diri?” Reddish menyakukan kedua tangannya di kantong celana, menghadapkan tubuhnya ke arah si perempuan dengan pandangan mencela. “Aku hanya sedang mencari udara segar,” ucapnya sembari terus bergerak maju, membuat perempuan itu terdesak hingga mau tak mau memundurkan langkah, terus dan terus hingga tanpa terasa ia masuk kembali ke dalam ruang kamar yang tadi ditempatinya.

Setelah merasa cukup, Reddish menghentikan langkah. Dengan sengaja mencondongkan tubuhnya ke depan dengan tatapan tajam mendekati wajah si perempuan, membuat perempuan itu menoleh, meringis dengan penolakan, mengira bahwa gerakan Reddish yang sedemikian itu hendak mencoba menciumnya.

“Terima kasih kembali atas pertolonganku tadi.” Reddish mengucapkan kalimatnya perlahan kepada di dekat pipi si perempuan, sengaja mengucapkan kalimat itu untuk menyindirnya, lalu melanjutkan langkah menuju pintu keluar.

Mata perempuan itu membelalak dengan rona merah yang menghias wajah.

Astaga. Dia bukannya lupa mengucapkan terima kasih. Hanya saja, Azure terbangun dengan kesadaran setengah-setengah dan langsung dihadapkan dengan pintu balkon yang terbuka lebar, melihat lelaki itu sedang melongok ke bawah seolah-olah sedang mengukur berapa tinggi bangunan dan efek apakah yang akan ia dapatkan saat terjun ke bawah.

Reddish yang hampir mencapai pintu itu tiba-tiba berhenti, lalu memiringkan tubuh dan kembali berucap tanpa memedulikan ekspresi perempuan itu yang masih menahan malu.

“Carissa. Betul namamu Carissa, bukan?” tanyanya dengan tersenyum manis. “Semoga kita tidak berjumpa lagi,” pungkasnya dengan ekspresi dingin menahan marah lalu keluar dengan membanting pintu di belakangnya.

***

“Bagaimana? Apakah dia telah siap?” Sosok lelaki bertudung hitam itu berkata pelan, bersembunyi di area gelap hingga hampir keberadaannya tak diketahui jika saja mulutnya tak bersuara.

Sosok lainnya yang duduk tenang sembari bertopang dagu, tampak menarik napas panjang, mengubah posisi duduknya sejenak, seolah tanpa terasa ia berada dalam posisi duduk tak nyaman yang begitu lama karena terfokus pada hal-hal lain dan sapaan lelaki di belakangnya itu menyadarkannya.

“Sebentar lagi. Selubung aura birunya sedang menyesuaikan diri dengan tubuh perempuan itu, sehingga siapa pun juga tak akan menyadari bahwa ia sebenarnya adalah perempuan klan hijau yang telah kita ubah auranya menjadi biru,” jelasnya tanpa diminta dengan ekspresi penuh kepuasan karena telah berhasil menjalankan rencananya hampir sempurna dengan berekspektasi pada hasil yang tentu saja sempurna pula.

Saat ini mereka sedang berada di sebuah tempat persembunyian rahasia yang selama ini mereka gunakan sebagai markas untuk bersembunyi. Tidak ada yang tahu jika tempat gelap di area pegunungan yang jarang sekali terjamah oleh para makhluk langit itu kini menjadi lokasi mereka. Para lelaki klan biru itu menutup pintu masuk menuju markas mereka ini dengan aura penyamar. Aura warna yang membuat pintu yang sebetulnya terbuka lebar itu tersamarkan oleh aura yang sama dengan sekelilingnya, sehingga akan sulit bagi mereka untuk bisa ditemukan oleh makhluk langit lainnya tanpa kemampuan khusus.

“Bagaimana dengan makhluk klan hitam yang sedang mendekati Azure? Apakah dia telah memulai misi?” tanyanya kemudian. Matanya menatap lurus ke depan, ke arah ranjang di mana seorang perempuan muda sedang tertidur di atasnya, aura hijau khas di mana rambut, mata, dan segala hal yang menunjukkan identitasnya sebagai perempuan klan hijau pada awalnya, kini telah sepenuhnya berubah menjadi biru.

Aura biru itu berbentuk asap yang bergerak perlahan memutar dari ujung kepala, mengubah warna rambut, turun ke bawah mengubah warna mata, lantas bergerak menuju badan dan kaki, dan berhenti di telapak tangan, menjadi pertanda jika aura biru itu telah tergenggam sempurna di tubuh si perempuan.

Ini adalah rencana besar. Rencana penghancuran klan merah sekaligus menjadi momentum besar pergantian kepemimpinan negeri langit.

Mereka akan berpura-pura melepaskan perempuan klan hijau yang telah berubah menjadi klan biru itu sebagai satu-satunya perempuan klan biru yang masih bertahan di area terpencil. Perempuan itu akan berperan sedang menjalani kehidupan yang nelangsa dan meletakkannya di sebuah lokasi asing yang akan menjadi tujuan terakhir yang akan didatangi oleh para anggota klan dalam pencarian. Mereka akan berbahagia karena pada akhirnya menemukan gadis klan biru sebagai jodoh Reddish. Padahal, dengan menikahi perempuan palsu itu, tentu saja anak yang akan mereka hasilkan nantinya bukanlah klan ungu, tetapi klan cokelat sebagai akibat percampuran klan merah dan klan hijau sebagai warna asli si perempuan.

Di sisi lain, dalam proses penemuan klan biru itu, Azure yang telah  diberi tahu perihal kepunahan klan ungu dan dihadapkan langsung dengan laki-laki klan merah, mau tak mau pasti akan menerima pinangan dari klan hitam yang menyamar menjadi klan merah itu, seolah-olah langkahnya itu telah menyelamatkan negeri langit, padahal ia hanya sedang memenuhi keinginan menikah dari laki-laki yang mencintainya.

Dengan begitu, saat Reddish kehilangan kesempatannya untuk memimpin negeri karena pernikahan yang salah, tentu saja takhta akan berpindah tangan kepada yang terkuat di bawahnya, di tangan mereka. Klan biru.

“Kita tak usah terlalu pusing memikirkan itu, karena tanpa diperintah saja, dia pasti telah mulai mendekati Azure. Kau tahu? Anak laki-laki itu begitu tergila-gila dengan Azure seolah akalnya betul-betul akan lenyap dari kepalanya jika Azure sampai tak terjangkau dalam pandangannya.” Lelaki bertudung hitam itu melangkah ke depan, lalu membuka tudung kepalanya, menampakkan sosok dirinya yang berambut biru gelap dengan nuansa mata yang sama.

Saat tak ada sahutan dari lelaki yang terduduk di depannya, ia menyapa,

“Navy? Kau punya pikiran lain?”

Lelaki itu kembali mengubah posisi duduknya dengan menyelonjorkan kaki dan bersidekap sambil lalu mengusap dagunya dengan ekspresi berpikir.

“Tidak Sky. Aku hanya memikirkan laki-laki klan ungu yang menjadi tawanan itu. Apakah dia akan bertahan sampai dengan rencana kita ini berhasil? Karena aku khawatir jika ternyata ia harus tewas di tengah jalan sementara rencana kita belum bertemu ujungnya,” jawabnya dengan bibir menipis penuh pergolakan dalam benaknya.

“Ah, mengenai itu. Kau tak usah khawatir. Orang tua klan hitam itu telah berhasil menemukan bunga ungu di puncak gunung di area selatan negeri. Dan itu adalah bunga terakhir yang masih tumbuh, satu-satunya yang bisa menjadi penolong laki-laki itu dan membuat hidupnya nanti setelah mati suri itu akan bertahan lama meskipun dia belum menikah,” paparnya dengan penuh kebanggaan.

Navy mengangguk. Ada sedikit sinar kepuasan dan kelegaan di wajahnya mengetahui kabar tak terduga tersebut.

“Bagus kalau begitu. Jadi, itu bukan menjadi masalah lagi,” komentarnya lantas bangkit dari duduknya.

“Di mana Reddish saat ini? Apakah ia masih berada di dunia manusia?” tanyanya kemudian.

“Ya. Lelaki itu masih di sana, sedang kebingungan menemukan perempuan klan biru seperti tujuannya semula.” Sky terkekeh hingga hampir tertawa mendengar kalimatnya sendiri.

Reddish bodoh. Sungguh lelaki itu terlihat bodoh dengan ketidaktahuannya saat ini.

“Betapa menyenangkan melihatnya sibuk seperti itu. Betapa aku ingin menampakkan diri di hadapannya dan menertawakannya seketika,” imbuhnya dengan senyuman jahat yang menghiasi sebelah bibirnya yang terangkat.

“Mari kita tampilkan pertunjukkannya setelah ini.” Navy kembali bersidekap dengan tatapan tak lepas dari si perempuan yang kini telah sepenuhnya berubah menjadi biru.

***

Reddish menapakkan kakinya di rerumputan. Pandangannya memindai sekeliling dan begitu ia menemukan sebuah area taman yang terletak di ujung jalan yang ada di hadapannya saat ini, ia bergegas melangkahkan kaki, mendekati taman bunga dengan dinding tinggi yang sepertinya cocok sebagai tempatnya bertapa sejenak untuk menyebarkan kekuatan merahnya di lingkaran sekian mil dari lokasi ini.

Reddish menyalakan mata merahnya. Memindai sekali lagi tempat itu. Tidak ada manusia. Tidak ada jejak makhluk langit di sana. Dia melangkah menuju sudut paling gelap di sana dan berlutut. Sebelah tangannya menyentuh tanah, merapalkan mantra dan mulai menguarkan aura merahnya yang perlahan meresap ke dalam tanah, menyebar perlahan dan kian cepat melesat membentuk lingkaran merah di dalam tanah dengan radius tak terjangkau pandangan mata.

Aura merah itu adalah kekuatan api dengan tingkat kecil yang membuat udara kota itu menjadi hangat seketika.

Reddish melepaskan tangannya dari permukaan tanah dan kedua matanya memejam. Tubuhnya yang kini berselubung aura merah itu terbang, melaju jauh ke depan, ke tempat ia harus meletakkan titik kekuatannya di lokasi selanjutnya.

Tak ada yang menyadari pergerakan merah secepat kilat itu di langit karena manusia-manusia yang kini berada di atas tanah yang terkena aura merah Reddish itu sibuk melepaskan hawa hangat yang mendadak memenuhi udara di sekitar mereka dalam beberapa menit setelah kekuatan merah itu menyebar rata.

***

Azure duduk linglung di atas peraduan. Masih di kamar yang sama saat ia terbangun tadi. Kepalanya menoleh ke jam dinding yang saat ini menunjuk pukul dua dini hari.

Keningnya mengernyit. Ia pijit pelipisnya dengan gerakan ringan, seolah dengan begitu, ketidakmengertian akan keadaan dirinya itu bisa sirna.

Entah bagaimana ia mengingat jika dirinya mabuk.

Mabuk? Benarkah?

Wajah Azure memerah. Benarkah ia seputus asa itu sehingga memutuskan untuk menyentuh minuman beralkohol sehingga membuatnya mabuk dan tak sadarkan diri?

Azura menarik napas panjang lalu menelaah keadaan dirinya sendiri. Mencoba mengingat dengan runut apa saja yang ia lakukan semalaman ini. Kedua matanya terpejam. Ingatannya lantas tertuju pada petang tadi di mana ia berdiri di belakang jendela dan mengamati hujan. Lalu kesibukan-kesibukannya di toserba, perjalanannya pulang dan …

Laki-laki klan merah itu!

Azure kembali mengamati tubuhnya, menyentuhkan kedua tangannya pada sekujur badan, mengawasinya dengan saksama dan seolah ada penyangkalan jika tubuhnya saat ini tak terluka. Ingatannya sedikit kabur dan tak jelas saat mencoba mengingat apakah dirinya benar-benar tak terluka saat berkelahi dengan lelaki klan merah itu. Ingatan itu campur aduk dengan ingatannya yang mendadak memperlihatkan jika ia pergi ke bar dan mabuk, lalu pulang dengan sempoyongan dan ia tak ingat lagi.

Laki-laki tadi … dia menolongnya dan menidurkannya di sini? Ini bukan kamarnya dan ia langsung tahu dari saat ia membuka mata pertama kali karena dinding-dindingnya yang polos tanpa pigura.

Nama. Bagaimana lelaki itu tahu jika namanya adalah Carissa?

Perempuan itu seketika menunduk dan ia menemukan name tag yang masih tergantung di lehernya, menampakkan dengan jelas pas foto serta nama terangnya di sana.

Azure menghela napas panjang. Hendak berdiri dan keluar dari kamar itu saat tiba-tiba saja ada aura hangat seolah menguap dari tempatnya berdiri, menguar perlahan dari kakinya, merambat naik ke tubuhnya dan seketika membuat bulu kuduknya berdiri. Perempuan itu membeku sejenak. Membeku dalam keterpakuan dan kebingungan akan sesuatu yang familier tetapi juga asing dengan pikiran yang seolah begitu menolak tentang ingatan itu.

Perempuan itu menelan ludah. Aura hangat. Api. Merah.

Kedua mata Azure membelalak saat pikirannya sampai pada kesimpulan bahwa kekuatan yang begitu besar ini berasal dari laki-laki klan merah yang tadi sempat ditemuinya.

Apa yang laki-laki itu lakukan? Apakah ia sedang berusaha menemukannya?

Tetapi, laki-laki itu berkata bahwa dirinyalah yang menyembunyikannya? Berarti dia tentu saja tahu di mana Azure berada dan tak perlu susah payah menemukannya seperti yang ia lakukan semalam tadi. Lalu, untuk apa kekuatan sebesar ini menyala di tempat ini?

Kedua mata perempuan itu memejam karena semakin memikirkan, kepalanya terasa semakin sakit oleh sesuatu hal yang tak dapat ia temukan jawabannya. Dada Azure berdebar, menyimpan sekuat tenaga kekuatan birunya agar terpendam dalam-dalam di tubuhnya itu.

Sungguh ia saat ini sedang dilema. Kenyataan mengejutkan tentang kematian klan ungu itu membuat hatinya sesak. Sesak oleh rasa senang saat akhirnya, meskipun sebentar, dengan angkuh ia berhasil mengusir laki-laki klan merah itu pergi dan sesak saat hati kecilnya berkata bahwa memang sudah seharusnya ia bertindak untuk menyelamatkan negeri langit dengan …

Menikah?

Haruskah ia menerima keharusan menikah dengan klan merah yang begitu ia benci itu?

 

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

 

KONTEN PREMIUM PSA


 

Semua E-book bisa dibaca OFFLINE via Google Playbook juga memiliki tambahan parts bonus khusus yang tidak diterbitkan di web. Support web dan Authors PSA dengan membeli E-book resmi hanya di Google Play. Silakan tap/klik cover E-book di bawah ini.

Download dan install PSA App terbaru di Google PlayWelcome To PSAFolow instagram PSA di @projectsairaakira

Baca Novel Bagus Gratis Sampai Tamat – Project Sairaakira

7 Komentar

  1. Indah Narty menulis:

    Menikah :backstab

  2. Dona Nurhayati menulis:

    :berikamiadegankiss!

  3. Wow :lovelove

  4. rhafatimatuzzahra menulis:

    :lovelove

  5. Dian Sarah Wati menulis:

    Klan hitam jahat..
    Padahal yg di cari reddist udh depan mata

  6. Aduhhh kalian iniii