Red Prince

The Red Prince | Part 24 : Karena Kau Adalah Azure

Bookmark
Please login to bookmark Close

red prince cover - CopyRed 3

11 votes, average: 1.00 out of 1 (11 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

“Reddish. Aku menyerahkan diri. Hukumlah aku. Penjarakan aku di tempat paling gelap agar aku bisa enyah dari segala rasa bersalahku padamu,” pintanya dengan suara sengau, tak meninggalkan ekspresi wajahnya yang penuh getir, bercampur aduk dengan air mata yang tak habis-habis keluar membasahi pipi, membuat pundaknya berguncang-guncang oleh tangis.

Ecru dan Vantablack bersibak, menatap dengan kening mengernyit ke arah Candy yang sedang tersungkur. Anak lelaki klan hitam dan pemimpin klan kuning itu kemudian menoleh ke arah Reddish yang terlihat sama sekali tak terpengaruh oleh sikap bibinya itu.

“Vantablack, Ecru, kali ini sampai di sini. Aku akan memanggil lagi jika diperlukan.” Reddish memerintah dingin dengan tatapan tajam ke arah Candy.

“Baik,” sahut dua makhluk itu bersamaan, menjura, dan melangkah beriringan keluar ruangan.

Setelah memastikan jika Ecru dan Vantablack melangkah menjauh, barulah Reddish mengembuskan napas panjangnya, mengempaskan tubuhnya ke sandaran kursi dan bersedekap. Kedua matanya memicing ke arah Candy, bibirnya mendecak sesaat sebelum berucap,

“Aku melihat jika kau belum berhenti menangis sejak hari pernikahanku itu, Candy? Apa ini ada hubungannya dengan makhluk ungu itu? Apakah ada kaitannya dengan Carmine? Apa yang kaudapatkan?” berondongnya dengan tanpa perasaan, bertanya dengan tepat menusuk hati Candy.

Perempuan itu tahu betul jika Reddish pastilah telah meminta makhluk-makhluknya untuk mengawasinya lebih ketat. Tapi, ia tidak menyangka jika keponakannya itu tahu jikalau ia dirundung kesedihan hingga menangis tanpa jeda bahkan hingga saat ini.

Candy mendongak perlahan, membalas tatapan Reddish yang sedang menahan kesabaran padanya. “Aku … aku bersikukuh mengambil sampel darah makhluk itu.” Terdengar Candy menghela napas panjang. Pandangannya kini terarah ke lantai, bingung hendak memulai berkata-kata.

“Lantas?” Reddish memajukan tubuhnya, bersikap antisipatif dengan mengangkat sebelah alisnya dengan ekspresi serius.

Candy menelan ludah. “Dia … Heather … makhluk ungu itu … dia adalah makhluk klan merah. Aku … aku telah menunggu perubahan penelitian sampel darah itu semalaman dan … darah ungu itu, berubah warna menjadi merah,” terangnya dengan ekspresi pahit.

Perempuan itu memberanikan diri mengangkat wajah, meski pandangannya tetap menghadap ke bawah. Sungguh meskipun ia telah siap jika Reddish akan melempar  tubuhnya karena marah, ia tetap saja takut menghadapi Reddish yang sedang antisipatif seperti ini.

“Ini semua salahku.” Candy mendongak, memperlihatkan kedua matanya yang bengkak karena terlalu banyak menangis. “Kamu tahu Carmine adalah makhluk pemetik tanaman obat yang selalu mendampingiku. Hari itu … aku menunjukkan padanya sebuah ramuan penunduk makhluk hasil penelitianku selama beberapa minggu. Aku … aku menitipkan ramuan kecil itu di kantong bajunya sembari aku melanjutkan aktivitasku memilah-milah tanaman. Dari detik itulah … aku … aku ….” Air mata meluncur deras dari kedua mata Candy. Perempuan itu berusaha tegar walau ekspresinya tampak payah. “Aku kehilangan Carmine. Dia tiba-tiba saja menghilang tanpa jejak. Tak bisa kutemukan dan terjadilah apa yang kukhawatirkan. Ramuan berwarna ungu yang belum sempurna itu mengenai tubuh Carmine. Dia terkena ramuan itu hingga membuat dirinya … berubah. Entah bagaimana caranya,” ucapnya serak diiringi air mata yang mengalir lagi dari kedua ujung matanya.

“Aku teledor. Semua makhluk pengubah warna … yang mengganggumu itu … aku menemukan jejak-jejak ramuanku di sana.” Candy menunduk dalam. “Aku tak berhati-hati. Maafkan aku,” ucapnya lirih.

Reddish mengetatkan gerahamnya sembari memejam. Ekspresinya tampak kalut. Terdengar helaan napas kerasnya kemudian. Ada-ada saja persoalan rumit yang membuat pikirannya semakin panas.

“Baik.” Reddish berkata dengan ekspresi lelah dan kembali mengempaskan punggungnya di sandaran kursi serta membuka mata.

Tubuh Candy bergetar mendengar ucapan Reddish itu.

“Aku memaafkanmu.” Reddish kembali menatap tajam pada bibinya.

“Dan karena aku menyayangimu, aku akan mengabulkan permintaanmu untuk mengurungmu di ruang tahanan tingkat tiga sesuai yang kaukatakan,” ujarnya lembut, bersenjang dengan ekspresinya yang mengeras.

Candy menggigit bibir. Dia sudah tahu jika Reddish pasti tak akan bermurah hati jika itu tentang hal-hal yang mengusik lelaki temperamental itu. Perempuan itu menelan ludah dan mulai berhitung. Kepalanya kian menunduk. Ada hawa panas yang mulai membakar mengelilingi dirinya.

“Kau tahu, aku tak menoleransi kebohongan.” Reddish mengangkat kedua tangan dengan nyala api yang membara. “Kau tak berpikir panjang dan hanya mengutamakan perasaanmu sendiri. Tidakkah kau tahu?” geramnya dengan dada kembang kempis, mulai terbakar amarah. “Aku hampir celaka karena makhluk-makhluk sialan itu! Kau tak berbicara jujur padaku dan membuka kesempatan kepada Carmine untuk dieksploitasi! Apakah kau meremehkanku? Kau berpikir jika aku tak akan mampu untuk menemukannya?” Reddish berteriak dengan mengempaskan kekuatan merahnya ke seluruh penjuru ruangan, membuat tubuh Candy terpelanting menabrak sisi sofa hingga posisi sofa itu bergeser dari tempatnya. Suara gelegar hantaman kekuatan api Reddish yang mengenai semua barang di tempat itu terdengar nyaring hingga membuat dinding-dinding sekitar ruangan itu begetar.

Lelaki klan merah itu berdiri. Aura merah memancar kuat dari tubuhnya. “Kenapa kau … kenapa harus kau, Candy.” Reddish berucap putus asa. Ada rasa kecewa yang begitu dalam tampak dari ekspresi wajahnya. Ada rasa terpukul yang sulit ia jelaskan. Ada kemarahan memuncak yang membuat hatinya terasa beku sejenak. Ada rasa sakit yang terlampau sakit hingga Reddish tak tahu lagi harus bagaimana.

Dia telah merasakan bagaimana dahsyatnya sebuah kebohongan mampu mengguncang jiwanya. Reddish tak mengerti mengapa ayahnya harus menutup fakta mengenai kebenaran ayah Azure yang memang ingin menusuk ayahnya itu dari belakang, tentang ayah Azure yang pada waktu itu memang menginginkan kekuasaan kepemimpinan negeri. Apakah ayahnya itu tak pernah berpikir jika persoalan itu akan panjang hingga saat ini?

Reddish merasakan dadanya penuh tumpat. Kali ini, di tangannya, dia tak akan memberi ampun. Pengkhianatan dan kebohongan adalah harga mati di tangannya.

Berderap-derap terdengar suara para prajurit mendekat. Crimson memimpin jalan, berdiri di ambang pintu. Dia tahu jika suara mengerikan tadi adalah karena baru saja Reddish melampiaskan kemarahannya. Lelaki tua itu membelalak melihat seisi ruangan yang hangus. Kedua matanya terbuka semakin lebar saat melihat Candy terlihat tak sadarkan diri dengan tubuh pucat di sisi sofa. Crimson sedikit mendongak dan menemukan jika Reddish tengah berdiri dengan tatapan kosong.

“Tu-tuan ….” Crimson berkata terbata.

“Dia telah membuat kekacauan karena kurang berhati-hati. Kau tahu harus melakukan apa.” Reddish berucap tanpa ekspresi, berdiri angkuh di tengah-tengah ruangannya yang porak-poranda.

“Ta-tapi … ini Nona Candy?” Crimson bertanya dengan bingung.

Apa yang sebenarnya terjadi hingga tuan Reddish mengeluarkan api dan menghanguskan ruang kerjanya ini?

“Apakah matamu sudah rabun? Tentu saja dia adalah Candy,” sahutnya ketus.

Crimson mendekat ke arah Candy dengan tubuh gemetar. “Baik. Baik, Tuan. Saya akan segera melaksanakan perintah,” ujar lelaki itu pada akhirnya.

Reddish tak menyahut lagi. Pemimpin klan merah itu berjalan tegas menyibak barisan prajurit yang membungkuk dalam dengan penuh hormat kepadanya. Tak ada yang memperhatikan bagaimana ekspresi Reddish yang saat itu muram, penuh kesedihan mendalam.

Esok hari tempat ini bukanlah miliknya lagi. Setelah rapat besar pemimpin klan itu, Reddish akan segera membawa Azure pergi dari tempat ini. Terbang sejauh mungkin.

***

Mocha menjura di hadapan Azure. Entah sejak kapan kekuatan warna cokelat yang menyelubungi mereka berdua itu musnah. Semuanya berlalu sangat cepat hingga perempuan itu tak mampu mengingat secara jelas, apa yang tadi ia lakukan.

“Tuan Mocha.” Dua pelayan perempuan yang berpapasan dengan lelaki klan cokelat itu menyapa.

Azure yang masih berdiri di sisi kursi itu hanya diam mengamati para makhluk yang sedang berinteraksi tersebut. Semula, ia mengira jika pelayan dan prajurit di tempat ini akan terkejut atau bersikap melawan karena Mocha telah menyelinap masuk. Namun, siapa sangka jika ternyata mereka memperlakukan makhluk cokelat itu dengan baik dan menghormatinya?

Salah tingkah karena tetap saja merasa jika ia telah ketahuan berdua dengan makhluk laki-laki di alam terbuka seperti ini, Azure berusaha memasang wajah datar, mengusap sedikit pipinya yang sedikit basah oleh tangisannya tadi yang seperti mimpi karena saking cepatnya waktu berlalu dalam lingkupan kekuatan ajaib pemimpin klan cokelat itu. Penasaran dengan aktivitas Mocha yang sebenarnya di taman ini, Azure memutuskan untuk bertanya kepada dua pelayan yang kini telah berdiri di hadapannya.

“Apa yang pemimpin klan cokelat itu lakukan di tempat ini?” tanya Azure sembari memandang lagi ke arah Mocha berjalan yang kini tiba-tiba saja telah kosong. Entah ke mana lelaki itu pergi.

“Tuan Mocha sering mengunjungi taman ini, Nona. Beliau gemar berkebun. Aktivitasnya akhir-akhir ini adalah mengambil getah pohon Auburn di hutan pohon itu,” terangnya sembari menunjuk ke arah belakang Azure.

Perempuan biru itu menoleh ke belakang, kedua alisnya terangkat saat menyadari jika ternyata, pemandangan di belakangnya tampak sedikit gelap dengan pepohonan rimbun berwarna merah dengan batang-batangnya yang tampak merah kecokelatan.

“Pohon Auburn ini unik karena memiliki getah berwarna cokelat. Tuan Reddish memberi izinnya kepada klan cokelat untuk mengambil getah tersebut. Kabarnya, getah itu digunakan oleh makhluk klan cokelat untuk membuat berbagai macam kerajinan, Nona.” Pelayan itu menjelaskan dengan senyum ramah.

Azure balas tersenyum dan mengangguk tipis.

Syukurlah. Dia ternyata tak perlu khawatir Reddish akan murka saat tahu jika lelaki klan cokelat itu menemuinya. Sebagai makhluk pengendali waktu, apakah Mocha telah tahu jika dirinya akan datang ke tempat ini sehingga dia telah bersiap?

“Kami mengantar minuman untuk teman bersantai Anda, Nona.” Kedua pelayan itu berucap memecah lamunan Azure. Mereka memberi hormat lantas melewati tubuh Azure untuk meletakkan minuman itu di meja kecil yang ada di sudut kursi kayu tersebut. Tanpa kata lagi, dua pelayan itu mengangguk singkat lantas berlalu pergi, meninggalkan Azure yang termangu sendirian di sana.

Semua makhluk di tempat ini begitu baik kepadanya dan terlihat tulus. Apakah mereka memang seperti itu dari semula? Mereka menerimanya? Tidakkah mereka merasa jijik kepadanya karena ia adalah makhluk klan biru? Anggota makhluk pembelot tak tahu malu yang …

Azure menarik napas panjang. Udara yang berembus terasa bersemangat mengisi oksigen ke dalam paru-parunya. Kepala perempuan itu tertengadah, rambut birunya berkibar mengikuti arah angin.

Dia teringat Reddish yang marah dengan ekspresi terluka ketika ia membuka pembahasan tentang perang warna antara koloninya dengan koloni klan merah waktu itu.

Reddish berkata jika dirinya sedang berdusta untuk menjaga nama baik keluarga?

Azure menampakkan ekspresi keruh, sebelum kemudian membiarkan air matanya mengalir kembali.

Mengapa ayahnya begitu tega membohongi mereka semua? Apakah Sky dan yang lainnya tahu tentang kebenaran ini? Astaga … ingin rasanya ia tenggelam jauh ke dalam lautan hingga Reddish tak mampu melihatnya lagi.

Perempuan itu mengeluarkan warna biru dari kedua tangan, mengangkat tubuhnya dan terbang tinggi hingga melewati benteng tertinggi kastil merah itu. Dia telah memutuskan. Mungkin inilah waktunya untuk enyah.

Saat hendak melesat terbang, Azure melebarkan matanya dengan tercengang. Pemandangan yang terbentang di hadapannya sungguh tak pernah ia duga sebelumnya.

Bukankah kastil merah ini terletak tak jauh dari kastil-kastil serta rumah penduduk warna di sekelilingnya? Mengapa … mengapa tak ada apa-apa di hadapannya? Apakah Reddish telah memindahkan kastil ini hingga jauh ke tempat antah berantah yang tak mungkin bisa diketahui olehnya? Apakah Reddish sedang merencanakan sesuatu untuk memenjarakannya di kastil mewah ini? Apakah sebenarnya … Reddish hanya ingin membalas dendam dengan menipunya terlebih dahulu?

Tubuh Azure melemas saat memikirkan itu semua.

Tapi ada Crimson di tempat ini? Dan semua prajurit? Dan pelayan? Dan Reddish pun … para makhluk berkata jika tuan mereka sedang sibuk membahas pekerjaan di ruang kerjanya. Jadi, kastil ini memang benar kastil milik Reddish. Kastil yang sama seperti saat Reddish menjemputnya di hari pernikahan.

Azure mengusap pelipisnya sekilas saat dirasakannya jika pikirannya terasa kacau.

Apakah ini adalah karena dia baru saja terlingkupi oleh kekuatan waktu milik Mocha?

Di tengah-tengah kebingungannya itu, ia melihat jika awan-awan yang bergerak dari kejauhan menampakkan sebuah bangunan kastil. Mata Azure memicing demi melihat lebih jelas penampakan kastil yang begitu jauh dari tempatnya mengudara itu.

Mata Azure melebar kembali saat menemukan warna bangunan kastil yang terlihat seperti halnya kotak kecil dari arahnya saat ini.

Kastil biru? Apakah itu kastil biru?

Perempuan itu merasakan jika jantungnya berdesir oleh perasaan rindu tak menentu yang memenuhi dadanya. Sudah lama sekali dia tak menginjakkan kakinya di kastil itu. Telah sekian purnama bangunan milik ayahnya itu terbengkalai dan tak lagi dijadikan markas oleh koloninya.

Apakah masih ada makhluk biru di tempat itu? Para pelayan … apakah masih ada yang tersisa di sana? Hewan-hewan biru, apakah masih ada yang bertahan?

Azure tersenyum kecut. Kebingungan tentang lokasi kastil ini, serta ingatan tentang ucapan-ucapan Mocha padanya mulai teralihkan saat perempuan itu teringat pada kenangan-kenangan manis di rumahnya pada masa lampau.

Sepertinya alam memang mendukungnya untuk pergi. Dia tak layak berada di kastil pemimpin ini. Dia tak sanggup lagi untuk bertatap muka dengan Reddish.

Azure mengernyitkan dahi. Semilir angin berembus kencang sekali lagi. Perempuan itu bersiap melesat pergi.

***

Reddish melangkah menuju ruang peraduannya dengan hening tanpa diikuti siapa pun. Suasana hatinya sedang sangat buruk. Crimson bahkan tak berani mengikuti lelaki itu tanpa dipanggil dan tak menyerahkan Candy kepada yang lain.

Lelaki klan merah itu melangkah cepat begitu memasuki pintu kamar. Keningnya mengernyit saat menemukan jika ruangan itu sepi, tak ada jejak Azure di mana-mana. Ruang kamarnya belum tersentuh setelah dibersihkan, sepertinya Azure memutuskan untuk keluar ruangan dan entah sekarang berada di mana.

Lelaki itu bergeming sejenak, menyambungkan komunikasi pikirannya dengan Crimson yang saat ini sedang berada di ruang tahanan.

“Ke mana Azure?”

Crimson terdengar takzim menjawab di seberang, “Nona Azure tadi ingin berjalan-jalan untuk menghirup udara segar, Tuan. Saat ini sedang berada di taman raksasa di sisi kastil. Pelayan telah saya perintahkan untuk mengantar minuman.”

“Taman raksasa?” Reddish mengangkat sebelah alis. “Apakah kau telah memberitahunya jika kastil ini bebas untuk dia kunjungi?”

“Ya, Tuan.”

Reddish menghela napas panjang.

Semoga saja perempuan itu belum sempat keluar dari benteng.

Ada senyum hangat yang tersungging dari bibir lelaki itu, mencairkan segala emosi dan kekesalannya beberapa waktu lalu.

Dia rindu Azure. Baru sebentar juga meninggalkan perempuan itu, dia sudah rindu.

Reddish melanjutkan langkahnya menuju langkan, menguarkan warna merahnya dan terbang cepat menuju lokasi Azure berada. Dari kamar ini, taman raksasa itu berada di sebelah kiri, tepat pada ujung belakang kastil. Akan membutuhkan waktu cukup lama jika ia harus berjalan kaki, dan mungkin saja Azure tak akan terkejar.

Lelaki itu tak peduli jika angin langit sedang berembus cukup kencang saat ini. Awan mendadak berubah abu-abu pertanda hujan akan turun. Reddish mengernyitkan kening saat melihat pelangi semesta yang tegak melengkung di langit negeri. Sepertinya, ini adalah waktu penyemaian warna. Warna pelangi semesta yang telah lengkap itu sepertinya mengundang langit untuk menurunkan hujan.

Reddish tak sabar untuk menyemai warna bersama perempuan biru itu. Dia tak sabar menantikan saat-saat di mana seluruh tenaganya berada di titik puncak lantas luruh bersama titik-titik hujan yang turun membasahi permukaan bumi.

Lelaki itu menghentikan terbangnya beberapa saat sembari mengamati sekeliling. Di taman raksasa ini, ada begitu banyak sudut-sudut tempat untuk bersantai di mana tersedia sebuah kursi kayu dengan meja kecilnya sebagai tempat minuman. Istrinya selalu terlihat mencolok di kastilnya yang berwarna merah ini. Tentu saja ia akan dengan mudah menemukan Azure.

Saat Reddish hendak kembali menyapukan pandangannya ke taman raksasa itu, ia justru melihat kerlip cahaya biru tak jauh dari tempatnya mengambang di udara.

Azure terlihat memunggunginya entah sedang melihat apa. Perempuan itu bergeming, membiarkan rambut panjang dan gaunnya tersapu angin.

Ada rasa lega yang mengembang di hatinya, menyebar ke seluruh pembuluh darah, dan menggerakkan tubuhnya untuk menghambur ke arah Azure. Tanpa aba-aba, Reddish menabrak tubuh perempuan itu dari belakang lalu memeluknya rapat, melampiaskan rasa rindunya yang berjejal penuh di dalam jiwanya.

Azure terkejut setengah mati hingga hampir-hampir tubuhnya kehilangan keseimbangan dan terjatuh seandainya makhluk kurang ajar yang menabraknya itu tak menangkap tubuhnya.

Tunggu.

Azure merasakan jika makhluk itu menyandarkan kepala di bahunya, menciumi sisi lehernya yang tertutup rambut. Jantungnya berdegup cepat. Kepala perempuan itu menunduk dan menemukan jika dua lengan berwarna merah sedang memeluknya. Lengan merah dengan pucuk tato api di pergelangan tangannya.

Reddish!

“Sudah selesai menghirup udara segarnya, hm?” Reddish berbisik mesra di dekat telinga Azure.

Perempuan itu menelan ludah.

“Aku … ingin bicara.” Azure berucap serak.

Reddish mengangkat kepalanya dan mendongak. “Sepertinya langit akan segera menurunkan hujannya setelah sekian lama,” ujarnya sambil menggerak-gerakkan lengannya yang memeluk Azure, menunjukkan perlindungannya kepada perempuan itu terhadap udara dingin yang melingkupi keduanya.

“Ayo berbicara di tempat yang hangat.” Reddish melempar senyum manisnya yang sungguh tak mampu ditolak pesonanya oleh perempuan itu. Membuat wajah Azure panas meski ia tak bisa melihat ekspresi Reddish saat ini.

“Reddish.” Ekspresi Azure tetap tak berubah. “Aku ….”

Lelaki itu tak mau tahu, menundukkan kepalanya lagi dan mengecup pipi Azure yang terasa dingin di bibirnya.

“Balikkan badanmu, Azure,” Reddish berbisik.

“Tidak mau.” Azure menjawab ketus.

Reddish tersenyum. Azure sedang merajuk.

Apakah perempuan ini tahu jika pandangan matanya telah dimanipulasi olehnya?

Tatapan Reddish lalu tertuju ke depan tepat di mana Azure sedang memandang. Alis lelaki itu terangkat sebelah.

Ah, kastil biru.

“Apakah kau mau pergi ke sana? Mungkin kita bisa mencoba bercinta di rumahmu jika kau mau.” Reddish tiba-tiba berucap membuat wajah Azure kian merona merah. Perempuan itu meronta ingin melepaskan diri, tetapi Reddish tak membiarkannya. Lelaki itu justru memeluk kian rapat.

Bayangan sambaran kilat dan suara gemuruh mulai menghiasi cakrawala. Reddish menyipit memandangi panorama kelam di sekelilingnya.

“Tapi kastil biru sangat jauh.” Reddish tampak menimbang-nimbang dengan serius. “Kau memaksaku melakukannya, istriku, jadi, jangan keluarkan aura birumu saat ini. Gunakan tanganmu untuk berpegangan,” perintahnya lantas mengangkat tubuh perempuan itu tinggi-tinggi dalam gendongannya.

Azure yang merasakan gerakan cepat dari Reddish itu hanya menjerit tertahan dan memegangi apa saja yang bisa ia gunakan untuk berpegangan.

“Aku tidak ingin pulang ke kastilmu.” Azure berucap dengan wajahnya yang murung.

“Kita tidak pulang. Kita hanya akan bercinta dan … berbicara?” Reddish mengucapkan kalimatnya dengan kembali berbisik di sisi wajah perempuan itu, membuat Azure memukul-mukulkan tangannya di dada Reddish.

Lelaki itu terkekeh dan kembali terbang, membawa tubuh Azure bersamanya.

***

Reddish menciumi Azure tanpa ampun begitu mereka tiba di ruangan. Berbeda dengan reaksi Azure sebelumnya di mana perempuan itu akan melawan, kali ini, Azure terlihat begitu murung dan pasrah. Bukan. Bukan pasrah. Azure seperti sedang tak peduli pada apa pun. Perempuan itu menerima cumbuannya dengan tatapan kosong yang tak memandang ke arahnya.

Lelaki itu memagut bibir istrinya sekali lagi sebelum melepaskannya sejenak. Mereka berdua berdiri di tengah ruang, seolah tak ada waktu bagi Reddish untuk sekadar membiarkan perempuan itu mengistirahatkan kakinya yang sedari tadi berdiri menerima cumbuannya.

Napas lelaki itu terasa panas, mengembus di sisi pipi Azure. “Aku berjanji kita akan bicara nanti,” bujuknya.

Pandangan Azure beralih ke kedua mata merah itu. Memandanginya dengan tatapan sendu.
“Kenapa kau menikahiku?” tanya Azure kemudian setelah hening beberapa saat.

Reddish sedikit mengernyitkan dahinya dan memandangi dalam-dalam kedua mata perempuannya. Ada ketidakpercayaan yang memancar dari kedua mata biru itu.

Azure memalingkan wajah. Ekspresinya tampak kalut dengan menundukkan kepalanya dalam-dalam.

“Bukankah ada perempuan biru lainnya … yang tentu saja bisa kautemukan, bukan?” tanyanya lagi.

Reddish mengangkat wajah Azure dalam tangkupan kedua telapak tangan di sisi pipi perempuan itu.

“Aku … aku tak merasa layak berada di sini.” Azure mengernyitkan dahinya dengan kedua matanya yang berkaca-kaca. “Tidakkah kau merasa jika … menikahiku adalah mengkhianati kepercayaanmu sendiri? Kau tahu ayahku adalah seorang yang tamak dan hendak mencelakai ayahmu? Kau bahkan bisa meminta anggota klanmu untuk menikahiku … kenapa-“

Reddish membungkam mulut Azure dengan bibirnya. Lelaki itu menciumi Azure dengan sepenuh perasaan. Menikmati tiap sentuhan bibir dan lidahnya dengan mulut Azure yang membuat dirinya kian terbakar.

“Aku menikahimu karena kau adalah Azure.” Reddish berucap di sela-sela ciumannya. “Aku tak peduli dengan apa pun yang terjadi di masa lalu.” Lelaki itu menempelkan dahinya di dahi Azure, seolah dengan begitu, ia bisa menenangkan pikirannya yang sedang kalut.

“Aku berjanji jika kita memang tidak sedang pulang saat ini. Setelah rapat besar pemimpin klan esok hari, kita tak akan di sini lagi. Aku berjanji akan memenuhi keinginanmu untuk pegi dari sini. Aku berjanji,” ucapnya dengan terengah dan tak memberi kesempatan Azure untuk berbicara karena ia dengan keras kepala melanjutkan lagi ciuman mereka, menuntun Azure untuk semakin memundurkan langkah hingga tiba di tepi ranjang.

Reddish memeluk Azure dan perlahan menidurkan perempuan itu di peraduan, tanpa melepaskan ciuman.

Azure memejamkan mata. Pasrah pada keinginan tubuhnya yang tak bisa ia kendalikan. Pikirannya sedang terbagi dua dan Azure tak bisa berpikir jernih. Tubuhnya terasa dingin dan ia membutuhkan Reddish untuk menghangatkannya.

“Izinkan aku untuk bertingkah pongah terakhir kalinya di depanmu, Azure.” Reddish menyembunyikan wajahnya dan berkata dengan menggoda di tepian telinga istrinya. “Aku menghendakimu. Aku menghendakimu dan kau tak boleh menolak.”

Tangan Reddish bergerak liar menyentuh seluruh permukaan kulit Azure hingga gaun perempuan itu tanggal. Bibirnya mengecupi semua yang tampak di matanya tanpa terlewat, membuat Azure tak bisa menahan lenguhan.

Reddish tak kuasa menahan diri, ia memagut bibir perempuannya seiring tubuh keduanya yang kian rapat, memadu keinginan untuk mencapai puncak hasrat bersama-sama dalam kehangatan yang memabukkan.

 

Bersambung ….

 

Terima kasih telah membaca :)
Untuk minggu-minggu ke depan, mohon maaf karena sepertinya akan terlambat untuk posting cerita karena sedang ada banyak kesibukan.

Selamat menjalani hari, teman-teman Vitamins

Regards,
~Bintang

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

13 Komentar

  1. Dona Nurhayati menulis:

    Aq setia menanti mu kak bintang, usaha kan sampai tamat ya… Terima kasih

  2. Nice story kakk, thankyou buat kerja kerasnyaa :lovelove

  3. @sairaakira dibikinin category chapternya please

    1. iya nih min, udah banyak partnya bisa dikategoriin ini

      1. Bintang Timur menulis:

        Makasih banyak dukungannya Kak 🙏

  4. rhafatimatuzzahra menulis:

    :lovelove

  5. Jayaning Sila Astuti menulis:

    keren banget lho ceritanya.. suka.. :lovelove

  6. Tks ya kak udh update.

  7. Kerenkeren :lovelove :lovelove

  8. Cie cie cie :backstab