Baca Parts Lainnya Klik Di sini
- The Red Prince | BONUS PART Mauve’s Story : Sang Penakluk
- The Red Prince | EPILOG : Kencan Ala Reddish
- [END] The Red Prince | Part 30 : Upacara Penyemaian Warna
- The Red Prince | Part 29 : Cahaya Petir
- The Red Prince | Part 28 : Rindu Dan Cinta
- The Red Prince | Part 27 : Tidur Panjang
- The Red Prince | Part 26 : Manipulasi
- The Red Prince | Part 25 : Dukungan Maharani
- The Red Prince | Part 24 : Karena Kau Adalah Azure
- The Red Prince | Part 23 : Bui yang Paling Memenjarakan
- The Red Prince | Part 22 : Keinginan Reddish
- The Red Prince | Part 21 : Aura Ungu
- The Red Prince | Part 20 : Pernikahan Agung
- The Red Prince | Part 19 : Peringatan Bahaya
- The Red Prince | Part 18 : Cemburu Buta
- The Red Prince | Part 17 : Rahasia Terbongkar
- The Red Prince | Part 16 : Api dan Air
- The Red Prince | Part 15 : Perempuan Istimewa
- The Red Prince | Part 14 : Tawanan
- The Red Prince | Part 13 : Rencana Eksekusi Kedua
- The Red Prince | Part 12 : Ciuman Pertama
- The Red Prince | Part 11 : Murka
- The Red Prince | Part 10 : Pilihan Azure
- The Red Prince | Part 9 : Rencana Pernikahan
- The Red Prince | Part 8 : Dua Perempuan
- The Red Prince | Part 7 : Hanya Biru
- The Red Prince | Part 6 : Minuman Pelembut Hati
- The Red Prince | Part 5 : Kekuatan Reddish
- The Red Prince | Part 4 : Sosok Misterius
- The Red Prince | Part 3 : Rencana Rahasia
- The Red Prince | Part 2 : Dunia Manusia
- The Red Prince | Part 1 : Kehilangan
- The Red Prince – Sinopsis
“Aku tak butuh lagi tempat tertutup atau ruang tahanan khusus untuk menawan istriku, karena … aku telah memiliki bui yang paling menjeratnya sekalipun ia pergi ke ujung dunia langit untuk menghindar. Aku. Dia akan tertahan oleh hatinya yang terpaut padaku.”
~Reddish
Reddish terduduk di ruang kerjanya dengan sebelah tangan yang menumpu kepala. Ekspresinya tampak serius sekaligus heran saat melihat Ecru membawa masuk seorang anak kecil anggota koloni klan hitam dengan warna pekat yang sama sekali belum pernah Reddish lihat.
Sebelum lelaki klan merah itu sempat angkat bicara dan bertanya, Ecru terlebih dahulu melemparkan kejutannya kepada Reddish.
“Aku membawa apa yang kauminta.” Ecru berucap dengan pandangannya yang menatap lurus ke arah Reddish. Senyum tampak terkembang di bibirnya.
Reddish memajukan tubuh, menatap Ecru dengan sebelah alisnya yang terangkat. “Anak kecil ini adalah si pemilik kekuatan bersembunyi itu?” tanyanya dengan tatapan penuh penilaian ke arah Vantablack.
Anak hitam itu menunduk, tak berani menampakkan wajahnya di hadapan Reddish. Tubuhnya gemetar, masih tak percaya jika pada waktu lalu, dia harus melaksanakan perintah untuk melawan pemimpin agung mereka yang saat ini sedang mengawasinya tajam seolah dengan penuh pertimbangan, akan membunuhnya atau tidak.
Reddish terpaku menatap Vantablack. Hatinya entah bagaimana merasakan gejolak yang tak bisa ia mengerti sebabnya saat melihat anak kecil yang saat ini tertunduk takut kepadanya. Lelaki itu justru sedang membayangkan rupa putranya kelak alih-alih memikirkan akan bagaimana ia terhadap anak lelaki klan hitam yang sudah berulang kali menguarkan kekuatan untuk menghalanginya itu.
“Ya.” Ecru menunduk lantas mengusapkan tangannya ke pundak Vantablack, merangkulnya rapat. “Namanya Vantablack. Anggota koloni klan hitam. Si pemilik kekuatan hitam paling hitam yang mampu menyerap semua warna, si penyembunyi aura paling baik yang pernah ada,” puji Ecru.
“Tidak yang paling baik.” Reddish mengangkat sebelah tangannya, menguarkan aura merah, lalu tanpa sempat Ecru dan Vantablack bersiap diri, lelaki klan merah itu telah mengarahkan kekuatannya ke tubuh Vantablack, membuat anak kecil itu terangkat ke udara, membuatnya berteriak kecil karena terkejut dengan mukanya yang pias.
“Aku bisa melihat kekuatannya dengan kedua mataku yang cacat,” geramnya sembari mengangkat tinggi-tinggi tubuh Vantablack di ruangan itu. Ekspresinya tampak gelap dengan aura merah pekat yang memendar dari seluruh tubuhnya, membuatnya tampak menyala dengan aura mengerikan. Vantablack tampak ingin beteriak menahan sakit, tapi pada akhirnya ia hanya melenguh lirih dengan ketakutan yang semakin berjejal di jiwanya.
“Reddish.” Ecru mencoba menegur dengan tak tahu harus berbuat apa, sementara anak kecil itu betul-betul ketakutan. Kepalanya menengadah ke arah Vantablack dan Reddish bergantian.
“Aku bisa saja membunuhmu saat ini juga, Anak Kecil.” Reddish menatap tajam ke arah Vantablack.
“Reddish. Tahan emosimu!” bentak Ecru dengan wajahnya yang cemas.
“Tapi sepertinya, kau bisa diajak bekerjasama dengan baik.” Reddish berucap sambil mengendurkan kekuatannya hingga siksaan rasa sakit di tubuh anak itu sepertinya berkurang. Vantablack membuka kedua matanya, masih dengan tubuhnya yang melayang di udara.
“Am-ampun, Tuan. Saya hanya diperintah. Sa-saya tidak tahu jika itu semua melawan Anda. Saya su-sungguh-sungguh tidak tahu,” ucapnya hampir menangis. Tak membayangkan jika ternyata ia akan dieksekusi secepat ini di hari pertama ia bertemu dengan tuan Reddish. Otaknya yang kecil itu mengajaknya mengingat ibunya, ayahnya, dan orang-orang yang belum sempat ia temui. Dia ingin menangis dengan memeluk mereka.
Kedua mata Reddish menyipit. Gerakan tangannya tampak turun, lalu perlahan, tubuh Vantablack mendarat di lantai ruangan itu. Anak lelaki itu tersungkur dengan terbatuk-batuk, bersujud dengan gemetar. Ecru yang melihatnya hanya mampu mengembuskan napas panjang, tak bisa berbuat apa-apa saat sahabatnya itu berkehendak.
“Aku akan membebaskanmu. Namun, aku akan menangkap kedua orangtuamu agar turut berada di kastil ini menjadi tahanan sebagai gantinya. Dan kau … hanya perlu mengabdi kepadaku secara pribadi sebagai tanda kepatuhan.” Reddish berucap angkuh yang membuat Ecru dan Vantablack sama-sama dilanda keterkejutan.
“Ap-apa … Tuan?” Vantablack berucap dengan perasaan polosnya yang campur aduk. Ia tak percaya jika pemimpin klan merah itu akan membebaskannya, tetapi, orang tuanya harus ditahan?
“Ya. Aku sungguh murah hati, bukan? Aku tak membunuhmu dan juga menyelamatkan orangtuamu.” Reddish tersenyum dengan wajahnya yang cerah, tetapi entah bagaimana hal itu justru terlihat mengerikan dengan tatapan mata merahnya yang menusuk serta kalimatnya yang dibalut ancaman. Di akhir Reddish mengakhiri kalimatnya, di saat itu pula lelaki itu memejam sejenak, memerintahkan kepada prajurit andalannya untuk datang ke tempat orangtua Vantablack dan menjemputnya.
Kening Ecru mengernyit. “Lokasi tempat tinggal Vantablack dan orangtuanya berada di tempat tersembunyi. Aku membutuhkan banyak waktu untuk bisa menemukannya. Tidakkah kau berpikir jika mungkin saja saat ini mereka telah ditawan oleh Crow dan koloninya?” tanyanya dengan nada ragu. “Bukankah itu akan membuat keadaan semakin sulit?” imbuhnya lagi dengan nada tak mengerti.
“Kenapa aku harus khawatir? Bukankah Vantablack ada di depanku saat ini?” Reddish memandangi Ecru lantas beralih menunduk, menatap anak lelaki hitam yang saat ini sedang bergelut dengan pikirannya sendiri.
“Sembunyikan kediamanmu dan orangtuamu itu, Anak Kecil. Tunjukkan kepada prajurit merahku di mana rumahmu berada.” Reddish memerintah sembari besedekap.
Vantablack menengadah mendengar perintah itu. Saat kedua mata gelapnya bersitatap dengan Reddish dan memahami pengertian yang disampaikan oleh lelaki klan merah itu melalui matanya, anak itu mengembuskan napas lega dan tersenyum.
“Baik, Tuan. Saya akan melakukannya.” Dengan sikap menjura yang menggemaskan, Vantablack kemudian berdiri dengan mengangkat kedua tangan. Sebelah tangannya yang satu tampak memegangi pergelangan tangannya yang lain dengan telapaknya yang terbuka. Kedua mata bocah itu memejam. Dari kedua tangannya itu, muncullah aura hitam pekat, memendar tipis, menghalangi pandangan Ecru dan Reddish yang saat itu terlihat begitu antusias mengamati pergerakan Vantablack yang sedang menguarkan aura misteriusnya.
Dalam pandangannya yang sedang mengatup itu, jiwa Vantablack membuka. Seperti roh yang memiliki kehidupan, aura hitam itu membuka mata pekatnya, lantas meluncur ke segala arah, memburu lokasi yang saat ini ada dalam pikiran kecil Vantablack, mengejarnya cepat, dan menangkapnya dengan menyelubungkan warna hitamnya pekat itu ke lokasi rumahnya yang jauh nun di sana.
Setelah yakin jika selubung warna gelap itu terpasang sempurna di tempat yang ditujunya, kedua mata Vantablack perlahan membuka, seiring dengan kekuatan hitamnya yang perlahan menghilang. Matanya yang pada mulanya keseluruhan berwarna hitam itu berubah. Menampilkan hanya manik matanya saja yang pekat seperti lorong tak tertembus.
Setelah itu, Vantablack menengadah dan tersenyum ceria ke arah Reddish. “Sudah, Tuan,” ucapnya riang.
“Kekuatan jiwa. Hebat sekali. Kau mengendalikan kekuatan hitammu dengan kekuatan jiwa. Jenis kekuatan yang belum pernah dipakai oleh makhluk langit sebelumnya.” Reddish mengangkat sebelah bibir, memuji Vantablack dalam pandangannya yang penuh penilaian.
Melihat Vantablack yang tak mengerti serta mengangkat kedua alisnya dengan penuh tanya, Reddish mengibaskan tangannya.
“Lupakan. Kau belum mengerti,” ujarnya meremehkan.
“Kekuatan jiwa.” Ecru mengangguk-angguk seolah sedang mempelajari hal itu dalam benaknya. “Apakah maksudmu, Vantablack menggunakan kekuatan mata batinnya?” tanyanya ke arah Reddish.
“Ya. Dia mengendalikan aura hitamnya menggunakan pandangan heningnya. Tanpa seorang saja bisa menghancurkannya kecuali makhluk itu juga turut melihat melalui mata batin,” paparnya sembari memajukan tubuh, menumpukan tubuhnya di meja.
“Kerja bagus, Ecru. Dia akan sangat berguna untukku,” pujinya dengan senyuman manis yang penuh kepuasan.
Kedua mata merah Reddish lalu kembali menatap Vantablack. “Aku punya tugas lagi untukmu, Vantablack. Kau harus membuat pandangan istriku itu tak mampu melihat selain kastil ini dan kastil biru,” titahnya dengan rona merah bersemburat di pipinya.
***
Azure mengarahkan aura biru ke pakaiannya yang tergeletak di lantai kamar, lalu menyentuh lengannya sendiri. Dalam sekejap baju biru itu terpasang di tubuhnya yang telanjang.
Astaga. Bagaimana bisa seperti ini? Mengapa tubuhnya terasa begitu lemas dan … sakit?
Wajah perempuan itu memerah saat kepalanya menoleh ke belakang, ke arah peraduan yang saat ini berantakan tak karuan.
Reddish? Lelaki itu pergi ke mana?
“Nona Azure.” Suara seorang pelayan perempuan mengalihkan perhatian Azure seketika.
“Anda sudah bangun,” lanjutnya diiringi langkah kaki yang kian membawanya masuk semakin jauh ke dalam ruangan tanpa merasa perlu meminta izin.
“Saya diperintah oleh tuan Reddish untuk mengantar minuman,” ucapnya sembari meletakkan nampan kecil berisi sebotol minuman dan satu gelas kaca. “Apakah ada yang Anda butuhkan? Saya akan segera memenuhinya,” imbuhnya lagi dengan penuh hormat.
Azure menoleh ke arah pintu. Keningnya sedikit berkerut saat melihat jika pintu utama kamar ini bisa dilewati oleh seorang pelayan.
“Apakah aku bisa keluar dari tempat ini?” tanyanya tiba-tiba, mengutarakan apa yang saat itu terlintas dalam benaknya.
Pelayan itu terkejut hingga mendongak untuk menatap wajah nonanya saat mendengar kalimat itu. Dadanya bedebaran oleh rasa tak menentu.
Melihat wajah pias pelayan itu, Azure berdeham. “Maksudku, apakah Reddish tak lagi mengunci ruangan ini dengan segelnya? Kau bisa masuk kemari … jadi, apakah aku bisa keluar sejenak untuk berjalan-jalan?” Azure tersenyum kaku dengan ekspresinya yang gugup.
“Ah, tentu saja, Nona. Anda sekarang adalah maharani tuan Reddish. Kastil ini adalah hak Anda. Jadi, Anda bebas melakukan apa pun di tempat ini. Begitu yang tuan Reddish katakan untuk saya sampaikan kepada Anda,” jawabnya ramah. “Sekarang, sebaiknya Anda minum dulu, Nona. Tubuh Anda harus terisi banyak tenaga sebelum beraktivitas. Minuman ini adalah ramuan pemulih tenaga dari Nona Candy.” Pelayan itu berkata sembari menunduk dengan wajah memerah.
Azure berdeham lagi. Si pelayan tampaknya tak akan melanjutkan kata-katanya, tetapi Azure sangat paham dengan ‘ramuan pemulih tenaga’ itu.
“Baik. Aku akan meminumnya. Sementara, tidak ada yang kubutuhkan. Kau boleh pergi.” Azure tersenyum masam, mengusir secara terang-terangan.
“Baik, Nona.” Pelayan itu menjura. Tak tampak ada ekspresi tersinggung di wajahnya, ia lalu membalas tatapan Azure dengan tersenyum manis dan meninggalkan ruangan dengan cepat.
Azure menatap minuman berwarna hijau bening di dalam botol itu, memandanginya dengan ekspresi getir saat merasakan jika hatinya kini jatuh ke dalam penyesalan dan amarah yang sudah tak ada artinya lagi.
Dirinya akhirnya berakhir di tangan Reddish.
Lingkupan warna merah yang kini membentang di sekelilingnya, aroma Reddish yang begitu melekat di tubuhnya, membuat napasnya sesak.
Azure menengadah. Menatap ke langit-langit merah ruangan itu. Entah bagaimana ia tak bisa menangis. Hatinya telah seluruhnya runtuh. Bagaimana bisa ia begitu mudah berharap serta tak berhati-hati? Dan setelah memutuskan jika ia telah berbuat sesuatu yang menurutnya benar, memberikan hatinya untuk Reddish, di detik terakhir, ia masih harus tetampar kebohongan lagi?
Untuk apa sebenarnya Reddish bersikukuh memilikinya? Apakah lelaki itu sudah gila? Bagaimana mungkin seorang pemimpin negeri yang begitu dihormati, menikah dengan cara memaksa seperti ini? Apakah ia sedang berpura-pura tak tahu jika masih ada makhluk klan ungu yang bertahan hidup?
Azure tertawa dalam ekspresinya yang kecut.
Sepertinya Reddish memang sudah gila! Pantaslah jika ia sadar diri dan hendak mundur dari kepemimpinan!
Azure menuang ramuan hijau bening itu ke dalam gelas lantas meneguknya cepat dalam beberapa kali helaan napas. Masih dengan dadanya yang kembang kempis menahan kesal, Azure menuang lagi minuman itu. Memenuhi gelasnya lagi lalu meneguknya hingga tandas.
Tanpa ia sadari, tubuhnya yang semula terasa lemah dan kehilangan tenaga itu berangsur pulih. Azure mengabaikan minuman itu dan beranjak berdiri.
Dia harus keluar dari ruangan ini atau semua hal tentang Reddish akan semakin menyiksanya.
Azure melangkah dengan berhitung dan tatapan matanya yang penuh kewaspadaan. Saat ia tiba pada ambang pintu, ia berhenti sejenak di sana.
Ya. Bukankah pada hari pernikahannya, semua orang sudah bebas berlalu lalang di tempat ini? Jadi pastilah dia akan bebas pergi ke mana pun saat ini.
Perempuan itu menghela napas panjang. Ia mengamati sekeliling dan mengingat-ingat lagi jalur lorong yang ia lalui saat Reddish menjemputnya waktu itu. Azure melangkah perlahan, lalu justru mengambil jalan yang berlawanan. Lorong sebelah kiri adalah lorong menuju ke arah luar yang pasti dijaga ketat oleh prajurit berkekuatan tinggi. Dia memutuskan untuk mempelajari ruangan demi ruangan di kastil ini, menemukan celah kosong untuk tempatnya bersembunyi sebelum mengalihkan perhatian semua makhluk untuknya pergi.
Reddish sudah mendapatkan apa yang dia inginkan, bukan? Lelaki itu telah mendapatkan tubuhnya. Jadi, tak ada gunanya ia terus berada di sini agar ia tak semakin terjerat oleh lelaki klan merah itu.
Azure menghela napas panjang , melangkah lagi sembari mengamati sekitar lorong dan ruangan-ruangan yang berbaris memanjang di sepanjang sisinya. Ada begitu banyak penjaga yang sepertinya ditugaskan untuk menjaga seisi kastil ini dengan cermat. Perempuan itu sempat melihat beberapa pelayan yang menghentikan langkah saat berpapasan dengannya, menjura, lantas berjalan kembali setelah Azure berlalu.
Astaga. Bagaimana bisa dia akan diam-diam keluar dari tempat ini sementara ada seribu mata yang ditempatkan untuk menjaganya?
“Nona Azure.” Crimson menyapa, sedikit membuat Azure terperanjat.
“Ah, Crimson.” Azure tersenyum tipis.
“Apa yang Anda lakukan di sini? Apakah Anda hendak keluar untuk mencari udara segar?” tanyanya dengan nada ramah kemudian.
Azure mengangkat kedua alis.
Reddish membiarkannya keluar? Lelaki itu membebaskannya? Reddish tak takut jika dia akan lari? Kalau begitu, mungkinkah Reddish akan mengizinkannya keluar dari kastil ini tanpa ia harus bersusah payah?
“Ya. Aku butuh udara segar,” jawabnya sembari mengangguk.
“Mari saya antar, Nona.” Crimson bersibak, mempersilakan Azure untuk berjalan di sisinya.
Azure mengiyakan dengan wajah masam, lalu berjalan lagi untuk mengelilingi kastil itu, memutari berbagai lorong, mengawasi setiap ruangan hingga tiba di sebuah pintu besar yang menampilkan taman raksasa yang membuat Azure menelan ludah. Taman itu memiliki sebuah danau kecil yang dikelilingi pepohonan tinggi. Rumput-rumputnya berwarna merah dengan airnya yang bening berkilauan diterpa sinar.
“Ada sebuah kursi di ujung danau ini, Nona. Anda bisa menghabiskan waktu di sana jika Anda mau.” Crimson berkata sembari menunjuk ke arah kursi yang tampak kecil nun jauh di seberang danau.
Pandangan Azure lalu mengikuti telunjuk Crimson. Kedua matanya menyipit agar dapat melihat dengan jelas area tempat duduk tersebut. Nuansa teduh yang ditawarkan tempat itu begitu menggoda. Daun-daun merah yang meliuk-liuk bersama dengan ranting-ranting pertanda angin sedang berembus di tempat itu tampak begitu nyaman. Apalagi taman itu teduh, berada di bawah pohon besar yang menggugurkan bunga merah kecokelatan yang tampak melambai-lambaikan keindahannya pada Azure, menariknya untuk datang.
“Aku bisa pergi ke sana seorang diri. Aku akan pergi sendiri.” Azure berucap tegas, menoleh ke arah Crimson dengan nada penuh keyakinan sehingga mau tak mau lelaki tua itu patuh.
“Baik, Nona. Hubungi saya jika Anda membutuhkan sesuatu.” Crimson mengangguk lantas membalikkan badan, masuk lagi ke dalam ruangan.
“Kau yakin tak mengawasiku? Kau akan pergi begitu saja?” Azure tiba-tiba bertanya, membuat Crimson menghentikan langkah dan membalikkan tubuhnya kembali. Entah kenapa, keputusan Reddish yang terlalu longgar ini justru mencurigakan.
Apakah ada perangkap lainnya yang sedang Reddish persiapkan untuknya?
Crimson tersenyum. “Saya hanya menjalankan apa yang tuan Reddish perintahkan, Nona,” jawabnya dengan nada hangat.
Tampak Azure mendengus lantas turut membalikkan badan, siap menuruni tangga untuk tiba di tanah berumput merah yang tampak cerah tersebut. Perempuan itu mengeluarkan auranya tipis, mengangkat tubuhnya, dan melesat menuju kursi kayu berwarna merah tua di sudut taman.
Angin tampak bertiup semilir, membuat rambut Azure yang panjang bergelombang itu menari-nari indah mengiringinya yang tengah terbang.
Kakinya mendarat di sisi kursi. Perempuan itu tak pikir panjang lalu bersiap duduk saat mendadak ada suara gemeresak dari balik rumput pagar yang menjulang tinggi hampir setinggi Azure. Dengan sikap waspada, Azure mempersiapkan kekuatannya, menghadapkan tubuhnya pada kursi dan mengawasi pergerakan dari balik semak.
Tak berapa lama, muncullah sosok makhluk berklan cokelat dengan sikap hormatnya yang membuat Azure mengernyitkan dahi.
“Makhluk klan cokelat? Apa yang kaulakukan di tempat ini?” tegur Azure dengan suaranya yang tajam. Kali ini dia tak akan lengah. Dia tak akan percaya begitu saja pada makhluk di depannya ini. Berkali-kali ia jatuh tertipu pada makhluk-makhluk yang berubah warna, membuat Azure membangun benteng pertahanan lebih tinggi untuk melindungi diri.
“Salam hormat untuk Nona Azure.” Makhluk itu menjura sebagaimana makhluk lainnya yang hormat kepadanya sebagai maharani Reddish.
Azure tak menanggapi dan justru menatap makhluk itu semakin tajam.
Makhluk itu tampak tersenyum, mengabaikan sikap tegang Azure kepadanya. “Saya adalah Mocha. Pemimpin klan cokelat,” ucapnya memperkenalkan diri sembari mengangguk. “Saya begitu putus asa untuk bisa bertemu dengan Anda, Nona. Tapi untunglah, sepertinya keberuntungan sedang memilih saya saat ini sehingga saya bisa bertemu dengan Anda di sini tanpa saya harus berusaha keras.”
Azure menoleh mengawasi sekeliling. “Pergilah. Sebelum tak ada pengampunan untukmu karena telah menemuiku,” ancamnya kemudian.
“Saya ingin menyampaikan kabar penting untuk Anda, Nona. Saya tak bisa menunda karena esok hari adalah hari penentuan. Dan tenanglah ….” Mocha menguarkan aura cokelat dari sebelah tangan dan melemparkannya ke udara, membuat warna cokelat itu melingkupi Mocha dan turut pula menyelubungi Azure.
Azure membelalak. “Apa yang kaulakukan!” serunya panik.
“Tenang, Nona. Saya adalah pemilik kekuatan waktu. Saya bisa memastikan jika saat ini, waktu yang sedang berjalan dalam lingkup kekuatan cokelat ini berjalan lebih cepat dari waktu yang melambat di negeri langit. Mereka yang mungkin saja tak sengaja melihat saya berinteraksi dengan Anda, hanya akan melihat jika saya berdiri selama satu menit di depan Anda tanpa membuat makhluk lain apalagi tuan Reddish curiga,” paparnya tanpa diminta dengan menampilkan ekspresinya yang datar meski tubuhnya bereaksi sebaliknya, begitu gugup dengan jantung berdebaran karena sedang betul-betul berhitung dengan keberuntungan dan waktu.
Tuan Reddish mereka menjadi pemimpin tidaklah main-main. Makhluk klan merah itu selalu tahu apa yang ingin diketahuinya dengan tindakan-tindakannya yang tak dapat dicegah oleh sesiapa bahkan dewan warna sekali pun.
Perempuan biru itu bersedekap. “Asal kau berjanji tidak akan ada kekacauan ….” Azure mengawasi seluruh tubuh makhluk cokelat itu dengan saksama. “Aku akan menurutimu. Namun jika setitik saja kutemukan kau sedang berusaha menipuku, maka hidupmu akan berakhir detik itu juga,” ujarnya dengan ancaman nyata yang membuat makhluk cokelat itu menipiskan bibir dengan ekspresi keruh bercampur ketersinggungan.
Dirinya adalah pemimpin klan cokelat yang begitu dihormati oleh koloninya, tetapi tetap saja, di hadapan makhluk dominan seperti nona Azure ini, dia tak ada apa-apanya.
Azure meyakinkan diri dengan menatap lurus ke kedua mata cokelat Mocha yang meski takut-takut menatapnya, tampak begitu teguh dengan apa yang ia ucapkan. Dan memang sepertinya, makhluk ini benar-benar sedang mempertaruhkan nyawa karena nekat menelusup masuk ke dalam kastil Reddish dan … hendak menemuinya?
“Saya bisa menjamin, Nona. Sekarang, izinkan saya menyentuh tangan Anda.” Mocha mengulurkan tangannya yang disambut oleh Azure dengan enggan.
Lalu tanpa diduga, dari genggaman tangan itu, Azure dibuat terkesiap saat tiba-tiba saja ia merasa jika lingkungan sekitarnya berubah kelam dengan nuansa cokelat khas lelaki itu. Mocha seperti menariknya ke dimensi waktu lain yang tak diketahuinya.
Lelaki itu melepas genggaman tangannya ketika mereka tiba di atas bukit tempat tongkat pemimpin negeri itu tertancap di sana.
“Saya tidak memiliki maksud apa-apa selain untuk menunjukkan hal-hal yang sekiranya perlu untuk Anda ketahui.” Mocha mengusapkan tangannya ke udara dan tiba-tiba saja, gambaran itu bergerak. Azure seperti sedang mengenang masa lalu yang menjadi nyata saat ia melihat sosok Yale, sang ayah yang sedang menatap tongkat itu dalam raut wajahnya yang dipenuhi amarah.
Lalu, peristiwa bertahun lalu yang hampir terlupakan dan tak diketahui oleh makhluk-makhluk lainnya di mana ayah Azure berusaha mencabut tongkat kepemimpinan itu dari tempatnya, kemurkaan ayah Reddish, perang warna, dan peristiwa yang susul menyusul setelahnya, seolah hidup kembali di depan mata Azure, membuat perempuan itu menampakkan ekspresinya yang berubah-ubah saat menyaksikan peristiwa demi peristiwa yang mungkin tidak akan dipercayainya andai saja cerita itu hanya didongengkan dengan mulut tanpa ada bukti masa lalu.
Tentang kebohongan cerita ayahnya yang pada masa dahulu dielu-elukan karena membela kebenaran yang ternyata hanya kisah dusta belaka, cerita ayah Reddish yang berbesar hati menyembunyikan kasus memalukan ayahnya ….
“Ayah ….” Tanpa sadar Azure memanggil serak saat air mata kepedihan yang terbungkus rasa malu itu mengalir ke pipinya.
Semua insiden itu berganti-ganti tempat dan waktu, membuat dada Azure seakan mau pecah saat pada akhirnya ia mengetahui rahasia besar yang mungkin saja tak banyak makhluk tahu tentang kedua mata Reddish yang buta warna. Tentang bagaimana lelaki itu berusaha mencarinya, tentang usahanya menentang dewan warna, tentang kejadian sebenarnya makhluk ungu bernama Heather ….
“Nona Azure, saya harap Anda mengerti maksud saya dan mau membantu kami dalam rapat besar pemimpin klan yang akan diadakan esok hari.” Mocha berucap sembari menunduk hormat. “Kami butuh bantuan Anda, Nona. Kami mengharapkan Anda,” lanjutnya lagi dengan nada penuh permohonan tulus.
Azure jatuh bersimpuh. Dari kedua matanya mengalir deras air mata. Tubuhnya lemas, hatinya remuk redam. Ia tak sempat mendengarkan ucapan Mocha, karena lelaki itu buru-buru meninggalkan tempat saat dilihatnya seorang pelayan datang membawa minuman dengan gemetar melihat Azure yang menangis tersedu-sedu.
Dia telah salah paham. Koloni klan birunya telah keliru. Mereka buta kepercayaan pada Yale.
Apa yang harus dia lakukan? Apakah ia masih akan punya muka saat bertemu dengan Reddish nanti?
Dirinya tinggallah makhluk menyedihkan yang sekarang bahkan tak punya nyali untuk sekadar membalikkan badan dan berjalan dengan tegak di kastil ini.
***
“Hanya bisa melihat kastil ini dan kastil biru?” Ecru bertanya dengan sebelah alisnya yang terangkat. “Kau mengizinkan istrimu keluar dan pulang ke kastilnya? Kau yakin itu baik untukmu?” tanyanya dengan nada tak mengerti.
“Tentu saja. Memangnya kenapa?” Reddish tersenyum manis, bertopang dagu dengan kedua tangannya yang berjalinan di meja.
“Azure pasti akan kembali ke koloninya setelah ini. Dan itu akan semakin membuat banyak petentangan antara dirimu dan koloni klan biru. Kau bukan sengaja ingin memancing perang warna lagi, bukan?” tanya Ecru penuh selidik.
“Aku tidak membebaskan Azure. Lagipula, angota koloni klan biru yang lainnya belum kembali ke kastil mereka meski sudah kuperintah. Azure hanya akan bertandang ke kastil kosong saat ia pergi ke sana,” jawabnya sembari mengangkat bahu. “Dan … aku tak butuh lagi tempat tertutup atau ruang tahanan khusus untuk menawan istriku, karena … aku telah memiliki bui yang paling menjeratnya sekalipun ia pergi ke ujung dunia langit untuk menghindar. Aku. Dia akan tertahan oleh hatinya yang terpaut padaku,” ucapnya pongah dengan penuh percaya diri.
Ecru sedikit mengangkat sudur bibirnya saat mendengar kalimat Reddish tersebut. “Ah, rupanya kau telah menjadi pencinta yang andal setelah satu hari menikah,” pujinya dengan nada mengejek.
Belum sempat Reddish mengeluarkan kata-kata untuk menanggapi ucapan sahabatnya itu, tiba-tiba saja suara berdebum pintu ruangan yang dipaksa terbuka terdengar nyaring. Candy memaksa masuk diikuti beberapa prajurit yang sepertinya tak bisa mengandalikan perempuan itu. Candy menjatuhkan diri tersungkur di lantai ruangan, membuat Reddish, Ecru, dan Vantablack yang masih berada di ruangan itu terkesiap.
“Reddish. Aku menyerahkan diri. Hukumlah aku. Penjarakan aku di tempat paling gelap agar aku bisa enyah dari segala rasa bersalahku padamu,” pintanya dengan suara sengau, tak meninggalkan ekspresi wajahnya yang penuh getir, bercampur aduk dengan air mata yang tak habis-habis keluar membasahi pipi, membuat pundaknya berguncang-guncang oleh tangis.
Bersambung ….
Baca Parts Lainnya Klik Di sini- The Red Prince | BONUS PART Mauve’s Story : Sang Penakluk
- The Red Prince | EPILOG : Kencan Ala Reddish
- [END] The Red Prince | Part 30 : Upacara Penyemaian Warna
- The Red Prince | Part 29 : Cahaya Petir
- The Red Prince | Part 28 : Rindu Dan Cinta
- The Red Prince | Part 27 : Tidur Panjang
- The Red Prince | Part 26 : Manipulasi
- The Red Prince | Part 25 : Dukungan Maharani
- The Red Prince | Part 24 : Karena Kau Adalah Azure
- The Red Prince | Part 23 : Bui yang Paling Memenjarakan
- The Red Prince | Part 22 : Keinginan Reddish
- The Red Prince | Part 21 : Aura Ungu
- The Red Prince | Part 20 : Pernikahan Agung
- The Red Prince | Part 19 : Peringatan Bahaya
- The Red Prince | Part 18 : Cemburu Buta
- The Red Prince | Part 17 : Rahasia Terbongkar
- The Red Prince | Part 16 : Api dan Air
- The Red Prince | Part 15 : Perempuan Istimewa
- The Red Prince | Part 14 : Tawanan
- The Red Prince | Part 13 : Rencana Eksekusi Kedua
- The Red Prince | Part 12 : Ciuman Pertama
- The Red Prince | Part 11 : Murka
- The Red Prince | Part 10 : Pilihan Azure
- The Red Prince | Part 9 : Rencana Pernikahan
- The Red Prince | Part 8 : Dua Perempuan
- The Red Prince | Part 7 : Hanya Biru
- The Red Prince | Part 6 : Minuman Pelembut Hati
- The Red Prince | Part 5 : Kekuatan Reddish
- The Red Prince | Part 4 : Sosok Misterius
- The Red Prince | Part 3 : Rencana Rahasia
- The Red Prince | Part 2 : Dunia Manusia
- The Red Prince | Part 1 : Kehilangan
- The Red Prince – Sinopsis
Candy atau Azure yang masuk ruangan??
Eh, typo maap. Bentar diganti wkwkwk
Lanjut lagi
keren tulisannya..
Bui bui apa yg sereemm