Red Prince

The Red Prince | Part 18 : Cemburu Buta

Bookmark
Please login to bookmarkClose

No account yet? Register

red prince cover - CopyRed 3

13 votes, average: 1.00 out of 1 (13 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Segera perempuan itu melangkah semakin jauh ke dalam ruangan dengan kedua matanya yang memindai sekeliling. Saat tiba di sisi peraduan besar yang ada di kamar itu, ekspresi terkejut tampak melumuri wajah Fuschia saat bayangan tentang perempuan bahagia yang akan menjadi calon maharani Reddish itu ternyata tak seperti yang ada dalam benaknya, membuat perempuan itu menelan ludah.

Tampak di tepi ranjang besar berwarna merah itu, duduk seorang perempuan klan biru dengan wajah menunduk. Ekspresi wajahnya terlihat kelam dan penuh dengan nuansa kesedihan nan dingin yang menguar di penjuru kamar itu.

Fuschia menghentikan langkahnya beberapa jangkauan dari tempat Azure. Perempuan itu sepertinya menyadari kedatangan Fuschia, hanya saja, enggan untuk sekadar menengadah dan menyambut.

“Nona.” Fuschia menyapa dengan sebelah tangannya terangkat, mengisyaratkan perkenalan.

Azure perlahan mengangkat pandangan, menatap perempuan klan merah muda yang kini sedang tersenyum hangat ke arahnya. Wajah perempuan ini seperti tidak asing, familier di ingatan Azure.

Klan merah muda, pemimpinnya adalah seorang perempuan. Azure berusaha menggali memori tentang hal tersebut dan saat sebersit ingatan menghampirinya, tentang pemimpin klan merah muda yang dikenal begitu ramah dan mudah beradaptasi itu, Azure lantas balik menyapa dengan pengetahuan nama yang tak disangka akan diucapkan olehnya.

“Fuschia.” Sudut bibir Azure berkedut saat menyebut nama perempuan klan merah tersebut.

Kedua mata Fuschia melebar dengan ekspresi terkejut sekaligus bahagia yang menghiasi wajah mungilnya. “Ah, Anda mengenali saya?” tanyanya dengan nada takjub penuh ketidakpercayaan. “Sungguh sebuah kehormatan bagi saya bisa dikenali oleh Anda, Nona.” Fuschia menjura dengan suaranya yang penuh hormat kemudian.

Azure diam tak menanggapi. Perempuan itu menampakkan wajah sinisnya tanpa mau mengarahkan tatapannya pada Fuschia.

“Ada perlu apa kau menemuiku?” Azure bertanya dengan nada dingin.

Fuschia memasang senyum terbaiknya. “Saya diperintah oleh tuan Reddish untuk menemani Anda. Bolehkah saya duduk?” tanyanya dengan penuh harap.

Azure mengangguk. “Duduklah,” ujarnya mengedikkan kepala ke tepi ranjang di sampingnya.

Namun, tentu saja Fuschia tak merasa pantas sehingga lancang duduk di sisi calon maharani pemimpin mereka. Setelah diperintah untuk duduk, Fuschia dengan sigap menyeret sebuah kursi kayu lantas mendekatkannya ke depan Azure.

“Apa yang kaulakukan?” Azure mengangkat sebelah alis begitu Fuschia duduk di depan tubuhnya dengan posisi lebih rendah seperti sedang menghadap dengan penuh hormat.

“Saya duduk di sini, Nona,” sahut Fuschia dengan menunduk.

“Duduklah di sini.” Azure menepuk-nepuk peraduan itu sebagai isyarat agar Fuschia mau duduk di sampingnya.

“Saya tidak berani, Nona.” Fuschia menunduk dengan senyuman yang masih terkembang di bibirnya.

Ada senyum penuh celaan yang tertampil di ekspresi Azure kemudian.

“Kau tidak berani? Atau kau tidak mau?” Azure bersedekap. “Aku tahu jika diriku memanglah hanya seorang tawanan … seperti perempuan klan biru yang lainnya juga. Tetapi kau terlalu terang-terangan menolakku sebagai sesama makhluk perempuan,” ujarnya dengan nada tersinggung yang sengaja diucapkannya agar perempuan klan merah muda itu kesal dan segera enyah dari ruang tahanannya itu.

Wajah Fuschia mendadak pias dengan mulut ternganga mendengar kalimat Azure. Secepat ia mampu, tubuhnya bangkit berdiri dari kursi itu dan ekspresinya yang tampak serius saat berkata,

“Saya benar-benar tidak berani, Nona. Anda … Anda adalah calon maharani pemimpin negeri ini yang sangat saya hormati. Saya begitu menjunjung tinggi kepemimpinan Tuan Reddish. Oleh karenanya, saya menghormati Anda juga sebagai pasangannya.” Kening Fuschia berkerut saat melanjutkan kalimatnya dengan pertanyaan. “Dan … apa yang Anda maksud dengan perempuan klan biru yang lain? Sebab, setahu saya, perempuan klan biru yang telah ditemukan oleh Tuan Reddish dan akan segera dinobatkan sebagai maharani hanyalah Anda seorang. Tidak ada yang lain lagi,” jelasnya dengan suara bersemangat yang membuat Azure menegakkan punggung serta menatap lekat-lekat Fuschia dalam ekspresi dinginnya.

Azure terkekeh dengan sinis. “Ah, apakah sebagai klan merah mudah yang dikenal punya banyak cinta itu kau menjadi seorang ahli berkata-kata juga untuk menggoda yang lainnya? Apakah Reddish akan berucap seperti itu juga kepadaku nantinya? Hanya aku, tak ada yang lain?” ucapnya panjang lebar tanpa jeda napas, menirukan ucapan Fuschia tadi dengan gaya dibuat-buat untuk mengejek di akhir kalimatnya.

Mendengar perkataan Azure yang terdengar ketus dan terang-terangan mencelanya itu, Fuschia justru melempar senyumnya lagi dengan santai. “Tentu saja tuan Reddish akan mengatakan seperti itu juga nantinya, Nona. Anda adalah perempuan istimewa bagi beliau,” jawabnya tanpa rasa berdosa, ditambah dengan ekspresinya yang bersungguh-sungguh.

“Kalau boleh saya tahu, Anda tadi berkata jika ada perempuan klan biru lainnya? Siapakah itu? Apakah Anda mengetahui dan mengenalnya?” tanyanya dengan eksprsi penuh ingin tahu.

Fuschia sungguh-sungguh dengan pertanyaannya. Dirinya bahkan terkejut mendengar nona Azure tadi berucap dengan penuh kesal saat menyebut tentang ‘perempuan klan biru lain’. Ucapan Fuschia tadi bukanlah kebohongan karena memanglah tidak ada perempuan klan biru lain selain nona Azure di kastil milik tuan Reddish ini.

Tunggu dulu. Kening Fuschia mengernyit saat memikirkan sebuah kemungkinan yang melintas di benaknya.

“Sapphire? Bukankah dia adalah anggota koloni klanku? Dia juga ditempatkan di kastil ini, bukan? Apakah kau tak tahu?” cecar Azure dengan pertanyaan yang sungguh terdengar konyol di telinga Fuschia.

Tanpa disangka, jawaban dari pertanyaan itu adalah suara tawa renyah dari mulut Fuschia. Perempuan klan merah muda itu tertawa tanpa merasa malu hingga Azure mengernyitkan kening dalam-dalam saat melihatnya.

Apanya yang perlu ditertawakan? Apakah Fuschia baru ingat jika penghormatan yang setinggi langit kepadanya itu ternyata keliru? Ternyata Fuschia baru ingat jika dia masih harus menghormat juga kepada calon maharani Reddish yang lain?

“Nah, kau baru ingat,” sahut Azure dengan ekspresi serius.

Pemikirannya sendiri tentang calon maharani Reddish itu jadi membuat dadanya kian penuh oleh rasa sebal saat menebak-nebak jika mungkin saja Reddish saat ini tengah menghabiskan waktu bersama Sapphire itu.

Bayangan-bayangan adegan mesra Reddish dengan perempuan itu membuat tanpa sadar sebelah tangan Azure mengusap-usap lagi bekas kedekatannya dengan Reddish beberapa waktu lalu.

“Ya. Saya memang baru ingat dan menyadari.” Fuschia menutup mulutnya kembali, menahan tawa, lalu melanjutkan kalimatnya.

“Anda sepertinya tengah dilanda cemburu buta, Nona,” ujar Fuschia sembari menyengir ke arah Azure yang tergeragap mendengar tuduhan Fuschia yang tepat mengenai hatinya itu hingga Azure terbatuk-batuk.

“Cemburu katamu? Bagaimana mungkin? Kalau saja bisa, aku sudah enyah dari tempat ini karena tak sudi menjadi perempuan simpanan pemimpinmu itu,” serunya dengan ketus.

Lagi-lagi Fuschia menampakkan ekspresi bersahabat dengan mengulum senyum. “Dari mana Anda mendengar nama Sapphire? Apakah tuan Reddish sendiri yang mengatakannya kepada Anda? Saya rasa tidak mungkin, karena jika Anda tahu, Sapphire hanyalah nama. Makhluk perempuan  itu sebenarnya adalah anggota koloni klan hijau, kekasih Shamrock yang diperdaya sehingga diubah warnanya menjadi biru. Saat ini, Olive, perempuan klan hijau yang ditangkap dan dipenjarakan di kastil putih itu telah mati, Nona. Tuan Reddish menghabisinya dengan tangan beliau sendiri,” jelas Fuschia tanpa diminta, menjelaskan kesalahpahaman yang selama ini tertanam di benak Azure dengan ekspresinya yang serius.

Azure tak memberi tanggapan. Perempuan itu menampilkan ekspresi tak terbaca meski hatinya berdegup oleh rasa aneh yang mengalirkan setitik kelegaan saat mendengar Fuschia berkata jika Sapphire adalah … perempuan palsu?

Mengapa saat Reddish sudah tahu jika perempuan itu adalah perempuan hijau yang diubah warnanya, lelaki itu tetap bersikeras untuk mengadakan acara jamuan malam dengannya?

Pertanyaan itu begitu ingin ia lontarkan, tetapi lidahnya terlalu kelu dan gengsinya begitu tinggi saat dirinya harus mengorek-ngorek dan bertanya perihal kehidupan Reddish di depan perempuan klan merah muda ini.

Azure berteriak dalam hati jika dirinya tidak peduli dengan apa yang dilakukan lelaki itu. Dia tak ingin tahu.

Fuschia mengawasi ekspresi nona Azure yang dingin meski dari tatapan kedua matanya yang kini sedang memandangke arah samping, ke segala benda acak yang menjadi tatapan pelampiasannya saat perempuan itu berpikir, Fuschia tahu jika sesungguhnya Azure menyimpan perasaannya sendiri yang tak ingin diketahui olehnya. Entah seperti apa pertemuan tuan Reddish dengan Nona Azure ini, tetapi Fuschia yakin jika tuan Reddishnya adalah lelaki bijaksana yang memperlakukan nona Azure ini dengan baik. Nyatanya, beliau menempatkan calon maharaninya itu di sisinya yang paling pribadi, di tempat yang tersembunyi nan paling aman di sebaik-baik ruangan di kastil merah ini.

“Ah, sebenarnya ada banyak sekali musuh tersembunyi di kastil ini. Kami memang seperti hidup rukun dalam kebersamaan, tetapi siapa yang tahu jika ada pemberontak lainnya yang sedang menyusun rencana dan menghancurkan tuan Reddish? Bahkan dewan warna sendiri … mereka memiliki penilaian tersendiri kepada pemimpin kita sehingga mereka lebih banyak berseteru ketimbang duduk bersama dan bermusyawarah saat menyelesaikan masalah.” Fuschia menggigit bibirnya sedikit saat mengucapkan informasi itu, berharap ada sedikit rasa simpati di hati nona Azure kepada calon suaminya.

Perempuan itu lantas menghela napas panjang, segera mengalihkan pembicaraan dengan topik tak menyenangkan itu dengan pembahasan lainnya walau Azure tak bereaksi apa-apa atas secuil cerita tentang tuan Reddishnya itu.

Azure menoleh, menghindari tatapan Fuschia. Kedua netra birunya beralih memandangi jendela dengan pemandangan abu-abu di sana dengan tatapan menerawang.

Meski begitu, Fuschia tetap bersemangat melontarkan kembali kalimat-kalimatnya. “Nona, tahukan Anda jika kami, para pemimipin klan dan prajurit telah berusaha menemukan Anda dalam waktu yang lama tapi tidak juga membuahkan hasil? Dewan warna yang begitu bersikukuh jika harus melakukan penyisiran di seluruh daratan negeri ini hampir putus asa saat tiba-tiba saja tuan Reddish berkata jika beliau sudah menemukan perempuannya, Anda, yang ditempatkan oleh beliau di ruang kamar beliau yang Agung ini.”

Kalimat itu diucapkan oleh Fuschia dengan nada bahagia, seolah perempuan itu sedang menceritakan dongeng indah kepada Azure, hingga Azure menoleh dengan terpana, menatap Fuschia lekat dengan mulut ternganga penuh ketidakpercayaan, seakan ucapan Fuschia itu adalah sebuah keajaiban yang menjadi nyata.

***

“Mengeluarkan darah?” Sky mengusap dagunya dengan ekspresi berpikir. Kepalanya menoleh ke arah Navy serta Crow yang saat itu juga tengah mengernyitkan dahi mendengar kabar dari pelayan klan merah yang melapor kepada mereka itu.

“Ya, Tuan. Tuan Crimson berkata jika sebelah mata tuan Reddish mengalami pendarahan dan harus segera ditolong,” jelasnya lagi.

“Apakah itu sesuatu yang krusial dari keadaan Reddish? Apakah itu tidak terlalu biasa? Memangnya apa yang salah dengan mata berdarah? Kita semua bisa mengalami itu.” Sky menampik informasi itu. “Tidak adakah sesuatu hal lain yang lebih penting? Kau pergi sejauh ini hanya untuk melaporkan itu?” tegur Sky kemudian.

Si pelayan klan merah itu menelan ludah dengan gugup dan kepalanya menunduk.

Pada mulanya, dirinya disekap oleh tuan Sky beberapa waktu lalu dan diancam dengan kelemahannya yang paling lemah yaitu istri dan anaknya. Tuan Skynya berkata jika anggota keluarganya itu kini dalam pengawasan dirinya dan Navy. Mereka berdua tak akan segan-segan melukai bahkan membunuh dua makhluk yang dicintainya itu jika si pelayan tak menurut. Demi cintanya kepada dua makhluk yang telah menemani hidupnya begitu lama itu, akhirnya si pelayan pasrah dan mengingkari sumpah setianya kepada Reddish dan beralih pihak kepada dua makhluk klan biru itu untuk akan selalu memberikan informasi apa saja terkait Reddish di kastil merah.

Dia berada dalam dua dilema yang begitu dalam terkait tindakannya itu. Saat ini, dirinya memang bisa menyelamatkan istri dan anaknya dari ancaman tuan Sky, tetapi bagaimana jika di waktu-waktu ke depan, giliran dirinya yang ketahuan oleh prajurit merah dan ditangkap lalu mendapat hukuman kematian dari dewan warna? Bukankah itu sama juga dengan dirinya memberikan siksaan kepada dua makhluk terkasihnya itu dengan ketiadaan dirinya?

Si pelayan menunduk kian dalam. Tak mau memikirkan kemungkinan buruk yang begitu menyiksa hati dan jiwanya dengan kejam itu. Dia tak sempat berpikir terlalu jauh mengenai kenyataan bahwa ternyata sebagian koloni klan biru bersembunyi di tempat paling tidak mungkin ditempati oleh makhluk langit ini, yaitu sebuah gua dalam dengan sisi tanahnya yang berwarna cokelat gelap di balik bukit jauh dari keberadaan kastil para pemimpin klan di pusat negeri.

Biasanya para makhluk langit tinggal di lingkungan yang sama dengan warna mereka, hal itu telah menjadi kebiasaan dan merupakan sebuah kekhasan dan kenyamanan tersendiri bagi mereka saat tinggal di ruangan yang mewakili diri mereka.

Hal itu dirasakan oleh si pelayan di mana dirinya saat ini merasa kosong dengan kekuatan merah yang begitu kecil mengalir di tubuhnya itu seakan menghilang dari dirinya ketika ia berada di ruangan gelap bersama dengan tiga makhluk berkekuatan tinggi yang sangat berlawanan dengan dirinya sebagai makhluk klan merah.

“Ya, Tuan. Hanya itu … informasi yang saya dapatkan di tanah ladang tadi. Saya belum …  mendapatkan informasi selain kabar itu,” ujarnya dengan ketakutan yang merayapi hatinya.

Hening mengisi ruangan. Hanya terdengar suara api yang gemeresak membakar kayu-kayu kering di perapian.

“Jadi … Reddish mengalaminya juga.” Tanpa diduga, Navy berkata dengan kening mengernyit.

Semua orang yang terdiam dengan pemikiran-pemikirannya masing-masing itu sontak menoleh ke arah Navy.

“Apa maksudmu dengan Reddish turut mengalaminya juga, Navy?” Sky menatap tajam dengan ekspresi berani pada makhluk klan biru yang berusia jauh di atasnya itu.

Navy melemaskan tubuh dan bersedekap, bayangan api dari perapian yang memantul di wajahnya itu membuat ekspresi gelapnya kian mengerikan. Navy menyeringai, lantas mengungkapkan pengetahuan yang selama ini dipendamnya dalam-dalam.

“Yale, ayah Azure, pemimpin koloni klan biru pada masa dahulu, berjuang keras untuk melengserkan takhta Mahogany, ayah Reddish, adalah karena keadaan Mahogany sebagai pemimpin yang tak sempurna. Lelaki pemimpin klan merah itu memiliki kekurangan pada kedua matanya yang buta-“

“Buta?” Sky menukas keras dengan ekspresi penuh tanya yang pekat begitu mendengar kejutan itu.

“Aku belum selesai bicara, Sky, jangan memotong kalimatku,” tegur Navy dengan kalimatnya yang dalam.

“Mahogany memiliki buta warna. Kedua matanya itu tak memiliki kemampuan untuk membedakan warna, sehingga yang tampak di matanya hanyalah warna abu dan putih,” papar Navy dengan nada tak suka yang tak ditutup-tutupi.

“Lalu … bagaimana bisa Mahogany terlihat sempurna seperti tak memiliki kekurangan? Apakah … dia memakai alat bantu?” Crow, yang sepertinya juga baru saja mengetahui tentang kenyataan itu turut bertanya. Mahogany adalah pemimpin klan merah yang seangkatan dengannya. Usia mereka hampir sejajar, sehingga sedikit banyak Crow paham mengenai kepemimpinan dan bagaimana karakter lelaki klan merah itu meski hanya bisa dihitung dengan jari pertemuan langsung mereka berdua selama hidup Crow.

“Ya, tepat sekali.” Navy menyahut. “Mereka tentu saja berusaha keras sedemikian rupa agar Mahogany tetap bisa menjalani hidupnya seperti biasa. Lelaki klan merah itu mengenakan lensa bantu sehingga dia bisa melihat seperti mata normal. Tapi sayangnya, kekuatan merahnya terlalu kuat untuk dikalahkan meski pada akhirnya Mahogany berakhir juga dengan kekalahannya melawan penyakit tuanya saat bertempur dalam perang warna beberapa masa yang lalu.”

Kisah itu mengudara kembali seolah penampakan Mahogany dan cerita-cerita kehidupannya melayang-layang di udara di depan mereka. Menampilkan kisah tersembunyi mengejutkan yang sama sekali tak pernah mereka sangka akan terjadi.

“Ah, jadi, Reddish menuruni ayahnya? Lelaki itu buta warna? Begitu maksudmu?” Sky bertanya dengan kesimpulan dalam kalimatnya.

“Kemungkinan besar seperti itu.” Navy menjawab sembari menoleh ke arah lelaki klan merah yang saat itu anteng tak bergerak jauh di sisi pintu, menanti perintah selanjutnya.

“Kau,” sapa Navy membuat pelayan itu tegeragap.

Lelaki merah itu menengadah sedikit lantas menjura. “Saya, Tuan.”

“Lanjutkan tugasmu mengintai Reddish. Kalau perlu, bagaimana caranya agar kau bisa berada di dekat lelaki klan merah itu agar informasi yang kaudapatkan semakin jelas. Aku memberimu waktu hingga 1 jam sebelum pernikahan Reddish tiba,” perintah Navy dengan kejam tanpa peduli jika kalimatnya kian menambah ketakutan di jiwa pelayan itu. “Kualitas kerjamu akan sebanding dengan perlakuan kami kepada dua makhluk kesayanganmu itu, anak dan istrimu,” ancamnya dengan tatapan tajam. “Jadi, lakukan tugas ini dengan sebaik-baik kekuatanmu,” lanjutnya masih dengan kalimat mengancam, membuat si pelayan itu tak bisa berbuat apa-apa selain menurut dan menurut.

“Baik, Tuan Navy. Saya akan segera kembali dengan informasi lainnya yang berguna untuk Tuan-tuan semuanya,” janjinya tanpa pikir panjang.

Navy tersenyum puas di sudut bibirnya.

“Pergilah. Aku telah memerintahkan Vantablack untuk melindungimu saat kau berada jauh di tempat ini hingga kau bisa aman terbang kembali ke kastil merah tanpa semakhluk pun yang bisa tahu di mana lokasimu.” Crow memerintah dengan angkuh diiringi kepergian si pelayan merah.

“Jadi, kita punya senjata rangkap untuk menembak Reddish tepat sasaran.” Sky bersedekap dengan senyum senang tersimpul di bibirnya.

“Lelaki klan ungu itu dan juga kenyataan tentang diri Reddish yang tak sempurna jika perkiraanku benar.” Navy menyambung.

Suara kekehan terdengar dari mulut Crow kemudian. “Bukankah akan menjadi pertunjukan yang menyenangkan di hari pernikahan Reddish saat kita menghidupkan kembali lelaki klan ungu itu serta mengumumkan kenyataan mencengangkan yang akan membuat negeri langit gempar?” Kali ini Crow tertawa.

Tawanya menular ke Sky dan Navy yang saat itu turut terbahak setelah mendapat amunisi penyerangan kepada Reddish untuk ke sekian kali.

“Mungkin karena memanglah yang sempurna yang seharusnya berada di depan? Alam selalu merestui kita setelah kita gagal pada rencana-rencana sebelumnya.” Sky menyeringai.

“Bersiaplah kalian. Mungkin waktu ini adalah saat pengadilan untuk kalian yang seharusnya memimpin negeri ini dengan sempurna karena kalian adalah makhluk sempurna.” Crow menyemangati dua makhluk biru itu dengan suaranya yang penuh provokasi.

***

Reddish berdiri di belakang jendela besar ruang pribadinya. Tatapannya menerawang jauh, mengamati alam langit yang saat itu terlihat mengkhawatirkan di matanya. Tidak. Reddish tidak sedang melamun. Dia tengah mendengarkan dengan saksama percakapan Fuschia dan juga Azure di dalam ruang peraduannya.

Reddish mendengar semuanya. Bagaimana Fuschia berucap ramah, bagaimana berulang kali perempuan klan merah muda itu memuji-mujinya di depan Azure yang membuatnya mual, bagaimana pada akhirnya Fuschia menceritakan tentang kenyataan sebenarnya pada Azure jika Azure saat ini bukanlah berada di ruang tahanan, melainkan di ruang kamar pribadinya. Reddish juga mendengarkan dengan kening mengernyit saat Azure menyebut-nyebut tentang Sapphire, nama makhluk klan biru palsu yang telah mati itu.

Ada rona merah muda yang melintas di wajah Reddish saat mendengar suara Azure yang bening itu menyatakan nada tak suka pada perempuan yang bahkan sejujurnya tak ada itu. Reddish lalu menautkan jemarinya di belakang tubuh, berdiri dengan tegap saat otaknya yang cemerlang itu berhasil menyambungkan percakapan Azure beberapa waktu lalu yang didengarnya saat perempuan itu bercakap-cakap dengan Crimson hingga akhirnya pingsan di depan pintu.

Azure cemburu? Mengira dirinya menyimpan banyak perempuan klan biru di kastilnya sebagai calon maharani?

Sudut bibir Reddish berkedut mendengar kesimpulan hatinya sendiri. Hatinya mengembang penuh senang mendengar bagaimana suara Azure yang penuh nada cemburu. Sepertinya akan menyenangkan jika ia menggoda Azure sekali lagi, menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bagaimana ekspresi perempuan itu saat sedang cemburu.

Reddish tersenyum tipis saat hatinya merasa bahagia. Tatapannya lalu terarah pada pelangi semesta yang saat ini padam di langit sana. Ia bersumpah dalam hati sebagai pemimpin negeri, jika dirinya akan memenuhi kewajiban penghidupan itu dengan segera. Reddish memastikan jika tak ada yang mampu menghalanginya lagi saat upacara pernikahannya nanti.

Azure akan menjadi istrinya. Perempuan itu akan menjadi hak miliknya dan tak ada siapa pun yang boleh menyentuhkan tangannya kepada maharaninya itu. Azure akan tinggal di kamar itu seumur hidupnya, dengannya, dan dengan anak-anak mereka nantinya.

Reddish mengucapkan kesungguhan itu dengan keinginan memiliki yang begitu kuat di dalam jiwanya. Lalu … sebuah pemikiran lain mendadak tebersit di benaknya. Sebuah bisikan … bisikan tentang sesuatu hal buruk yang sedang mengejar-ngejarnya di belakang.

Ekspresi Reddish yang cerah itu berubah kelam.

Kedua matanya yang cacat.

Entah bagaimana Reddish merasakan aura yang kuat berwarna gelap mengenai kedua matanya itu.

Apakah firasatnya benar? Apakah ada makhluk lain di luar izinnya yang saat ini mengetahui perihal kelemahannya itu dan sedang bersiap menyerangnya?

Ini semua mengingatkannya kepada sang ayah. Reddish tak ingin sejarah perang warna kembali terulang. Dia ingin negeri ini tetap baik-baik saja. Prioritasnya adalah kehidupan negeri. Reddish telah berpikir matang dan memiliki rencananya sendiri. Sebuah rencana yang pasti akan membuat semua makhluk tercengang karena keterkejutan yang menampar mereka.

Vermilion pernah berkata padanya jika kekuatan bersembunyi paling hebat dimiliki oleh kekuatan makhluk klan hitam. Lalu, siapakah pemilik kekuatan itu sehingga bahkan Reddish tak bisa menemukan dan mempelajarinya?

Ingatan tentang Azure yang ternyata disembunyikan oleh makhluk klan hitam itu mengusik perasaan marah di hatinya. Reddish bersumpah untuk akan menempatkan Azurenya yang berharga itu jauh dari jangkauan makhluk manapun. Azure adalah kunci dari segalanya saat ini, dia adalah satu-satunya perempuan yang akan menjadi miliknya untuk membangkitkan kembali pelangi semesta yang menjadi tugasnya itu.

Rasa posesif yang menggelegak begitu kuat menguar dari dalam tubuhnya, memunculkan pendar aura merah yang menyelubungi lelaki itu. Reddish memejam sejenak dengan geraham bekedut, berusaha menetralkan aura merah yang begitu pekat keluar dari jiwanya.

Lalu, suara seorang pelayan perempuan terdengar menyapa dari luar ruangan, membuat Reddish terdistraksi dari gelapnya pemikirannya sendiri dan menoleh.

Reddish sesungguhnya tak ingin bedekatan dengan perempuan-perempuan pelayan di kastilnya ini. Namun, keberadaan Azure mengubah semua tatanan. Reddish mendadak meminta Crimson untuk mengadakan seleksi pelayan perempuan untuk calon maharaninya. Sehingga, di sinilah para pelayan itu, menyiapkan segala kebutuhan dan bertugas menemani serta merias Azure esok hari.

“Tuan Reddish.”

“Masuklah,” sahutnya dingin.

Setelahnya, masuklah bederap-derap para pelayan yang dimintanya untuk datang. Mereka membawa apa saja yang Reddish minta. Gaun untuk Azure, mantel miliknya serta berbagai pilihan aksesori serta tata cara upacara penyucian pernikahan untuk dirinya dan Azure.

Reddish menatap terpesona pada gaun berwarna biru azure yang dipajang menggunakan maneken.

gaun

Gaun itu tampak sederhana, tetapi entah bagaimana Reddish membayangkan jika Azure akan tampak cantik sekali saat mengenakannya. Warna gaun itu tepat sama sepeti warna rambut Azure yang indah, sama seperti alis dan bulu matanya, kedua pupil matanya, kedua ujung tangannya ….

Reddish mendengus saat dadanya bergetar ketika sekilas saja ia membayangkan tentang Azure. Lelaki itu tiba-tiba saja melangkah cepat melewati berbagai barang yang yang bahkan belum selesai dimasukkan oleh para pelayan. Reddish melangkah terburu-buru dan tak memperhatikan sama sekali jika langkahnya itu sesekali tampak menabrak gantungan baju dan meja-meja dorong tempat para pelayan meletakkan aksesori.

Dengan terkejut sekaligus bingung harus berbuat apa, satu dari sekian banyak pelayan yang berada di tempat itu memberanikan diri untuk berseru, “Tuan Reddish, Anda hendak ke mana?”

Reddish menghentikan langkahnya dan tertegun, seolah ia baru saja kehilangan akal sehatnya sehingga tak mampu berpikir.

“Aku menyukai semuanya. Siapkan saja yang paling baik,” ujarnya tanpa menoleh lalu melanjutkan lagi langkahnya yang sempat tertunda.

Hanya ada satu hal yang ada di pikirannya yang membuatnya gila saat ini. Azure.

Reddish seperti kesetanan dengan melangkah cepat hingga lupa jika masih ada Fuschia di kamar pribadinya itu yang masih berbincang dengan Azure, terlebih, ia seperti menganggap Crimson tak ada dengan mengabaikan segala bentuk penghormatan lelaki itu padanya.

Ruangan pribadi yang tadi didatangi oleh para pelayan itu terletak tak begitu jauh dari ruang peraduannya, hanya terpisah oleh satu lorong yang membuat Reddish bisa cepat sampai di sana.

“Keluar.” Reddish memerintah kepada Fuschia dengan tatapan dingin yang hanya tertuju kepada Azure, mengabaikan Fuschia yang saat itu terkejut setengah mati saat sang pemilik kamar datang tanpa pemberitahuan. Walau demikian, Fuschia tetap bersikap seperti sedia kala dengan melempar senyum manis penuh hormatnya dan segera berlalu dari hadapan dua orang yang sepertinya tengah bersitegang itu.

Azure melempar tatapan tak terbaca ke arah Reddish yang saat itu melangkah kian dekat kepadanya.

Apa yang terjadi pada lelaki ini? Mengapa pandangan matanya tampak begitu marah?

Reddish mengetatkan gerahamnya saat melihat Azure sedang terduduk di tepi ranjang. Sikap perempuan itu masih sama seperti sebelumnya, sama sekali tak memperlihatkan ketertarikan dan justru mengangkat sebelah alisnya dengan ekspresi tak suka atas kedatangan Reddish yang tiba-tiba. Namun, kenyataan saat ini di mana Azure dengan warna birunya yang mencolok, menghiasi tepi peraduannya yang didominasi warna merah itu kembali menyulut hasratnya yang tak bisa dibendung.

Reddish melangkah semakin dekat ke depan tubuh Azure hingga perempuan itu tampak kebingungan lalu hendak menjauh dengan semakin naik ke atas peraduan, tetapi lengan Reddish yang kuat berhasil menahan pundak Azure hingga perempuan itu kaku tak bergerak dengan tatapan membelalak ke arah Reddish.

Reddish membungkuk merendahkan tubuhnya, hingga kini kedua mata mereka yang saling bertatapan itu menjadi dekat. Lelaki itu tak memberi kesempatan bagi Azure untuk menghindar saat tiba-tiba saja, Reddish mencium bibirnya dengan lembut.

Tubuh Azure bergetar hebat mendapat ciuman tak disangka itu. Perempuan itu meletakkan kedua tangannya pada dada Reddish untuk mengingatkan lelaki itu jika sepertinya ada yang salah dengan dirinya kali ini. Namun, tindakan Azure itu justru memicu hasrat yang lebih hebat lagi di diri Reddish. Lelaki itu kembali menciumi bibir Azure dengan gerakan sensual, menyatukan kedua bibir mereka dengan ciumannya yang panas, mendorong tubuh Azure untuk rebah dan kian menguasai ciuman itu semakin dalam, membuat Azure terhanyut dan tak bisa melawan.

 

bersambung….

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

4 Komentar

  1. Dona Nurhayati menulis:

    Up lagi dong…
    Penasaran nih :muach :sebarbenihcinta :DUKDUKDUK

  2. Lanjuuut :lovelove

  3. Jayaning Sila Astuti menulis:

    ea ea.. sabar dong reddish..

  4. Cie ada yg panas nih hatinya