Red Prince

The Red Prince | Part 15 : Perempuan Istimewa

Bookmark
Please login to bookmarkClose

No account yet? Register

red prince cover - CopyRed 3

13 votes, average: 1.00 out of 1 (13 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Ruang perjamuan itu terletak terpisah dari bangunan kastil utama. Dikelilingi langsung oleh hamparan pemandangan awan putih nan lembut di semua sisi, menjulang jauh dengan jembatan panjang sebagai penghubungnya yang menjadi jalan bagi para pelayan dan koki kastil untuk mempersiapkan jamuan minum bagi pemimpin mereka dalam menyambut tamu.

Ruangan tersebut berukuran cukup luas dengan pilar-pilar yang menyangga atapnya dengan kukuh. Dinding-dindingnya terbuka di semua sisi, mengalirkan udara sejuk yang nyaman ke seluruh penjuru. Pilar-pilar besar itu dihias dengan lampu-lampu kecil dan tanaman rambat yang menutupi sebagian besar permukaannya, membuat kesejukan kian mengisi ruangan terbuka itu dengan warna hijau beningnya yang unik.

Dan di sinilah Sapphire. Duduk di salah satu kursi di meja perjamuan yang terletak di tengah-tengah ruangan itu dengan dada berdegup cepat. Sore tadi, setelah salah seorang pelayan membawakan gaun yang cukup pantas baginya untuk memenuhi undangan Reddish di tempat perjamuan ini, Sapphire segera berganti baju dan merapikan diri sekenanya setelah sebelumnya ia membersihkan dan menyegarkan diri di salah satu ruang mandi di sisi ruang tahanan itu.

Jantungnya berdetak kian cepat dari waktu ke waktu yang kian membawanya ke waktu di mana Reddish akan datang menemuinya dan mengajaknya minum bersama. Dia tak tahu jika akan ada proses perjamuan semacam ini untuk penyambutannya sebagai calon maharani pemimpin negeri. Tidak ada ingatan tentang itu di pikirannya, atau … dia telah lupa?

Bagaimana pun, segala keanehan dan kejanggalan yang menerpa dirinya itu entah bagaimana tak bisa ia dapatkan penjelasannya. Saat ini, yang tertanam dalam benaknya adalah bahwa ia hanya harus menuruti semua yang diperintahkan dan diminta oleh Reddish nanti agar dirinya aman.

Menurut dan mengiyakan semua perintah.

Sapphire mengulang-ulang kata-kata itu dalam hatinya di sela-sela debaran jantungnya yang tak mau dikendalikan. Tampak ia berkali-kali mengembuskan napas melalui mulutnya untuk menetralkan kegugupannya yang tak mau pergi.

Dia diminta datang lebih awal ke tempat ini, agar ketika Reddish datang nanti, dia telah bersiap dan tak membuat lelaki itu menunggu. Dan Sapphire mengerti. Dia akan berusaha menjadi perempuan yang santun dan memuliakan Reddish sebagai calon suaminya. Dia akan berusaha bersikap sebaik mungkin dan memuaskan hati lelaki itu sehingga perjamuan ini akan berjalan lancar nantinya.

Sekali lagi Sapphire mengembuskan napas panjangnya melalui mulut, bersikap elegan dengan tetap duduk tegak di kursi yang disediakan untuknya di seberang kursi milik Reddish.

Meja di depannya masih kosong, para pelayan diperintahkan untuk menyajikan minum-minuman di perjamuan itu nanti setelah Reddish datang.

Sapphire melirik sekeliling. Para penjaga ruang tahanan yang tadi mengantarkannya kemari masih berdiri tegak di tempatnya. Mereka semua tampak tak melepaskan tatapan tajam kepanya seolah tugas mengawasi dirinya itu betul-betul harus dilakukan secara saksama tanpa boleh melewatkan pengawasan terhadap gerak tubuhnya sedikit pun. Para penjaga itu berdiri bak patung dengan kedua mata mereka yang diciptakan menatap dirinya.

Tempat itu begitu hening. Dan Sapphire bahkan tak berani untuk sekadar mengeraskan suara embusan napas yang sedari tadi ia tahan-tahan.

Suara lantang salah seorang penjaga yang berdiri di sisi jalan masuk terdengar tiba-tiba membuat Sapphire terloncat berdiri karena terkejut.

“Tuan Reddish datang,” ucap penjaga itu dengan lantang seiring tubuhnya yang mengawali sikap menjura.

Mendengar ucapan itu, semua prajurit yang ada di tempat itu seketika membungkuk, begitu juga dengan Sapphire yang berdiri di sisi kursi dengan sikap tubuh yang sama.

Reddish berjalan tegap dengan ekspresinya yang dingin. Langkahnya berderap cepat. Di belakangnya, beberapa pengawal mengikuti dengan jangkahan yang serempak. Seharusnya, jamuan malam ini juga turut dihadiri oleh para pemimpin klan warna lainnya sebagai pendamping. Ruangan yang luas ini akan dipenuhi oleh banyak set meja dan kursi, sementara meja utama di bagian tengah yang terletak lebih tinggi, akan secara khusus diisi oleh pemimpin negeri dan calon pendampingnya. Namun sepertinya, jamuan malam kali ini akan berbeda sebab ruangan luas itu dikosongkan dan hanya menyisakan satu meja dengan dua kursi yang berhadapan. Selain itu, suasananya terlihat tegang alih-alih romantis karena prajurit yang sejak semula mengawasi Sapphire di ruang tahanan, turut dihadirkan pula di ruangan ini sebagai penjaga perempuan itu.

Reddish menghentikan langkahnya beberapa jarak dari tempat Sapphire. Sengaja menjaga agar letak mereka tetap berjauhan. Kedua mata Reddish menyipit dan ekspresinya terlihat menahan marah. Perempun klan biru palsu yang ada di depannya itu masih membungkuk dengan khidmat, tanpa tahu jika Reddish sedang bersusah payah untuk menahan diri agar tak langsung menyerang dan membunuhnya.

“Tinggalkan kami.” Reddish berucap kemudian dengan tegas.

Semua prajurit berikut pengawal yang ada di tempat itu seketika menegakkan badan dan mengangkat alis. Kesemuanya saling berpandangan satu sama lain dengan ekspresi penuh tanya. Sapphire tampak menegakkan tubuhnya perlahan sambil menggigit bibir. Kepalanya menunduk dengan kedua jemari tangannya yang berjalinan di depan tubuh.

“Tuan Reddish. Perempuan klan biru itu-ah, maksud saya Nona Sapphire, harus tetap mendapat pengawalan di tempat terbuka seperti ini. Kami … kami tidak akan membiarkan Anda menghadapinya sendirian di sini. Dengan setulus kesetiaan kami, kami ingin terus berjaga di sini demi Anda.” Sang kepala prajurit yang saat itu merangkap sebagai kepala ruang tahanan di kastil putih itu terlihat bersungguh-sungguh dengan ucapannya.

Kepala prajurit itu mengira jika perempuan biru itu begitu istimewa di hadapan tuannya, diletakkan di ruang tahanan mewah yang terdapat di sisi terluar ruang tahanan kastil putih, ditambah lagi dengan tidak adanya hukuman tambahan bagi perempuan itu setelah Reddish mengetahui jika perempuan itu telah melukai Candy, bibinya. Namun, pikirannya mendadak tidak mengerti saat pelayan yang diminta oleh Reddish untuk mengantarkan baju ganti kepada perempuan itu mengantarkan baju ala kadarnya yang sangat tidak sesuai dengan acara jamuan malam ini alih-alih memberikan gaun yang mewah pula kepada peremuan itu. Ada rasa tak mengenakkan yang tiba-tiba saja menggelayuti hatinya. Oleh karena itu, dia seketika menolak untuk pergi dan bersikeras untuk akan tetap berjaga di ruangan ini.

Reddish mengetatkan geraham masih dengan ekspresi dinginnya yang sama. “Ada yang ingin aku lakukan. Dan aku tak mau diganggu.” Tanpa disangka, Reddish menjawab tenang kemudian dengan kalimatnya yang misterius.

Sapphire berikut kepala prajurit itu menengadah dengan terkejut.

Suara dehaman terdengar dari sang kepala prajurit.

Kenapa dia bodoh sekali. Apakah karena dia terlalu memikirkan tentang penampilan nona Sapphire yang biasa saja itu sehingga dia malahan berpikiran buruk? Ah, tentu saja tuan Reddishnya akan menghabiskan waktu berdua saja dengan calon istrinya itu tanpa diganggu siapa pun bukan?

Sapphire bertemu pandang sejenak dengan kedua mata merah Reddish. Kepalanya menunduk lagi saat wajahnya tampak tersipu mendengar ucapan Reddish yang membuatnya berdebar itu.

Astaga. Apakah Reddish tipikal lelaki yang terburu-buru sehingga tak sabaran seperti ini? Oh, apakah penampilannya yang tampak biasa saja seperti inilah yang mampu menggoda hasrat lelaki itu hingga mereka akan langsung melakukannya malam ini?

Pikiran-pikiran liar penuh adegan mesra dan romantis itu mendadak berseliweran di kepala Sapphire tanpa bisa ditahan.

“Baik, Tuan Reddish. Kami akan meninggalkan ruangan ini untuk Anda berdua. Kami akan berjaga di kastil seberang,” sahut sang kepala pelayan lantas mengedikkan kepala ke arah pintu kepada semua prajurit di tempat itu.

Suara berderap perlahan terdengar tak beberapa lama setelah sang pemimpin prajurit itu memimpin jalan. Reddish memiringkan badan, beralih menghadap ke sisi ruangan yang saat itu gelap dengan kerlip lampu-lampu rumah klan warna yang tampak dari kejauhan, tak sudi menghadapkan tubuh lama-lama ke arah perempuan palsu itu, menunggu hingga semua prajurit tuntas meninggalkan ruangan.

Sapphire melirik melalui sudut matanya ke arah Reddish yang saat ini masih berdiri memunggunginya. Perasaan gugup yang semula begitu membuatnya berdebar itu entah bagaimana kini berubah menjadi sebuah ketakutan yang membuat tubuhnya gemetar. Bulu kuduknya berdiri hingga tanpa terasa kedua tangannya saling memeluk dan mengusap untuk meredakan rasa tak nyaman yang kian memunculkan keringat di pelipisnya.

Sepertinya, ini adalah kali kedua dia berhadapan dengan Reddish secara langsung. Namun, kali ini terasa berbeda. Aura yang dikeluarkan oleh lelaki itu yang penuh dingin serta kedatangannya yang seolah membawa firasat buruk baginya itu entah kenapa makin membuat nyalinya ciut.

Sapphire masih berdiri mematung di tempat. Tak tahu harus berbuat apa sementara dia tak berani untuk sekadar memulai sapaan. Tetapi untunglah, tak berapa lama setelah para prajurit itu tiba di pos penjagaan mereka di kastil, Reddish membalikkan tubuh, mendekat ke meja dan mendudukkan dirinya di kursi yang tersedia untuknya.

“Duduk,” titahnya setelah melihat jika Sapphire hanya berdiri kaku di samping kursi.

Reddish menyatukan kedua tangan di depan tubuh, menumpukan tangannya pada siku. Tatapannya menajam pada perempuan itu yang sontak mengangguk dan kembali duduk.

Beberapa pelayan yang ditugaskan untuk membawakan aneka minuman mulai berdatangan. Mereka semua adalah pelayan laki-laki klan merah yang masing-masing membawa sebotol minuman serta beberapa di antara mereka membawa nampan berisi gelas. Para pelayan itu bergerak dalam diam, menyajikan minuman, gelas, serta lap ke hadapan Reddish dan Sapphire.

“Kalian juga pergi, tak perlu melayaniku.” Reddish memerintah dengan tegas. Kali ini tak ada protes dari para pelayan itu. Mereka mengangguk dan berjalan beriringan ke arah pintu, lantas meninggalkan ruangan itu dengan segera.

Keheningan menyergap seluruh penjuru ruangan. Nuansa sejuk yang makin lama makin berubah dingin itu kini mencekam karena sikap Reddish yang tak mampu ditebak. Aura merah yang tadinya tak nampak itu perlahan muncul di sekeliling tubuh Reddish, membuat penampilannya benar-benar seperti iblis dengan sorot mata indahnya yang saat ini seakan mampu membunuh Sapphire dalam kematian penuh ketakutan.

“Berani-beraninya kau.” Reddish mendesis dengan suaranya yang pelan. Namun, hampir semua sudut ruangan itu mampu menangkap setiap kata yang keluar dari mulut sang pemimpin klan merah itu.

Sapphire menengadah begitu mendengar ucapan Reddish. Bibirnya gemetar saat lidahnya yang kelu itu bersusah payah berusaha mengeluarkan suara. “Be-berani? Berani apa, Tu-Tuan?” tanyanya dengan menampilkan senyum kaku penuh canggung yang sangat kentara di wajahnya.

Reddish bergeming, seolah sedang menimbang-nimbang, cara apakah yang paling menyakitkan untuk memberi hukuman kepada perempuan ini?

Tanpa diduga, Reddish meraih botol minuman di depannya dan menuangkannya ke gelas milik Sapphire. “Minum,” titahnya kemudian.

Ketakutan yang tadinya sempat melanda Sapphire itu perlahan sirna. Perempuan itu menelan ludah.

Ternyata … Reddish adalah lelaki yang manis.

Tanpa sadar, senyum tipis muncul di sudut bibir perempuan itu saat sebelah tangannya meraih gelas dengan leher tinggi itu tanpa ragu dan mendekatkannya ke mulutnya.

“Sikap yang manis belum tentu menunjukkan jika itu adalah wujud dari perhatian. Itu bisa berarti apa saja, tanpa kita pernah tahu maksud sebenarnya.” Reddish berucap dengan pandangannya yang terarah ke meja.

Sapphire seketika terbatuk-batuk dengan keras mendengar kalimat Reddish yang terdengar menohok. Seolah lelaki itu mampu membaca apa yang ada di pikirannya.

“Dan aku akan menunjukkannya kepadamu. Balasan apa yang akan diterima jika seseorang bersikap manis tetapi menyimpan racun di belakangnya,” ujarnya lagi sembari mengeluarkan kekuatan merah di telapak tangan kanannya sembari menimang-nimangnya sejenak. Kedua mata merah Reddish melihat berganti-ganti pada tangannya yang sedang mengeluarkan aura merah dan ke arah perempuan itu yang terlihat tertegun dengan penuh ketidakmengertian.

Tanpa aba-aba, Reddish lalu melempar kekuatan merahnya tepat ke leher Sapphire.

Perempuan itu terkejut bukan kepalang. Rasa panas menyengat yang menghinggapi leher bagian depannya itu membuat napasnya tecekat.

“Tu-Tuan. A-apa yang Anda lakukan?” Sapphire bertanya takut-takut dengan tubuhnya yang kini tak bisa digerakkan.

Reddish bangkit dari duduknya. Sebelah tangannya yang masih memegangi leher Sapphire dari jauh itu bergerak perlahan, membuat tubuh Sapphire semakin terangkat, ke atas … dan makin tinggi.

Aura merah lelaki itu bertambah pekat. Kemarahan tak bisa ditutupi lagi dari ekspresinya yang mengeras.

“Seharusnya aku yang bertanya kepadamu. Apa yang kaulakukan di tempat ini? Siapa yang menyuruhmu? Berani-beraninya kau menipuku!”Mata Reddish menyipit. Sebelah matanya yang tak menggunakan lensa dan melihat jika perempuan itu tak berwarna di mata cacatnya itu seketika menyulut kemarahannya kian menjadi-jadi.

Tubuh Sapphire yang melayang-layang di udara itu kini di selubungi warna merah pekat, begitu pekatnya hingga membuat jeritan kesakitan terdengar nyaring menggema di ruangan itu. Aura merah yang memancar begitu besar itu menyala terang, menyala bak matahari malam yang menyilaukan mata siapa pun yang melihat.

Lalu, tanpa dinyana oleh siapa pun yang sedang sial menyaksikan dan berusaha mengintip dari jauh acara jamuan malam yang mereka sangka akan menjadi malam romanis itu, warna biru Sapphire mulai luntur perlahan. Pudar … hilang dengan begitu menyakitkan, mengubah warna biru pekat yang semula begitu lekat dengan perempuan itu lalu menampilkan warna aslinya yang tentu saja jauh berbeda.

Hijau! Perempuan klan hijau!

Reddish tak menahan-nahan kekuatannya lagi. Sebelah tangan yang ia gunakan untuk mengangkat perempuan itu ke udara semakin lama semakin besar menguarkan aura merah. Perempuan itu meregang nyawa dalam kesakitan. Dan seolah itu belum cukup, warna asli dari Sapphire pun perlahan memudar, tubuhnya yang semula tampak normal itu seperti mengering setelah seluruh warna hilang dari tubuhnya.

Tanpa perasaan, Reddish menyentakkan tangannya dan jatuhlah tubuh perempuan malang itu ke lantai dengan warnanya yang sempurna berwarna hijau pucat.

Dari arah pintu, entah kapan datangnya, Shamrock berlari mendekat. Lelaki pemimpin klan hijau itu bersimpuh. Tak berani menyentuhkan tangannya pada jasad perempuan yang kini telah mati itu. Matanya menatap nanar dengan ketidakpecayaan yang menghantam dirinya hingga wajahnya tampak pucat.

“O-Olive ….”

Kekasihnya … bagaimana bisa jadi begini?

***

Azure bersedekap di sisi ranjang. Ekspresinya tampak kecut sepeninggal Reddish tadi. Lelaki itu terburu-buru meninggalkannya setelah mendapat kabar tentang perempuan klan biru bernama Sapphire?

Ini tidak seperti dugaannya sebelum ini di mana dirinya akan disekap di ruang tahanan, menjadi tawanan dengan tangan dan kaki diikat, mulut disumpal, serta dibiarkan begitu saja sembari  menunggu keputusan yang mau tak mau harus dihadapinya.

Perempuan itu menipiskan bibir. Rasa tersinggung begitu mengusik hatinya saat ini.

Apakah rumor yang berkembang selama ini ternyata salah? Apakah kabar yang menyatakan jika lelaki klan merah begitu membenci perempuan dan tak suka hidup dengan perempuan itu ternyata hanyalah kabar burung agar perilaku buruk mereka yang ternyata suka hidup dengan banyak perempuan itu tertutupi sehingga mereka bisa bebas?

Azure ber-cih dengan ekspresi sebal. Sepertinya, akan lebih baik jika dirinya saat ini ditempatkan di ruangan gelap dengan kaki diikat daripada ia berada di ruangan mewah ini, mampu bergerak leluasa, tetapi dirinya lagi-lagi tak berharga di mata klan merah itu. Dia hanya menjadi salah satu koleksi perempuan klan biru yang entah akan menjadi apa statusnya di kastil merah ini.

Selir? Selir ke berapakah dirinya ini?

Senyum getir tampak mengembang di wajah Azure.

Dasar Reddish sialan!

Kebencian Azure yang semula pupus oleh perasaan kagum kepada jelmaan manusia Reddish yang bernama Alan itu kini musnah sudah. Hatinya yang mendadak harus menerima kekecewaan dan segala kenyataan pahit itu kembali membuat hatinya beku.

Dirinya tidak akan mau lagi diinjak dan diperlakukan seenaknya oleh makhluk-makhluk klan merah di tempat ini. Dia adalah makhluk klan biru yang seharusnya mendapatkan hak yang setara seperti makhluk-makhluk langit lainnya, bukan? Lagipula, Reddish ternyata telah memiliki perempuan klan biru lainnya yang bisa lelaki itu gunakan sebagai maharaninya untuk membangkitkan kembali bangsa ungu yang harus segera dilahirkan untuk kebangkitan pelangi semesta.

Dia tak semestinya berada di sini. Mungkin inilah jalan yang tanpa sadar telah Reddish berikan kepadanya untuk kembali ke negeri langit dan mengembalikan kejayaan koloni klan biru. Dia tak akan menjadi perempuan lemah dengan menyerah begitu saja. Dia akan enyah dari kastil ini dan melakukan ritual pemanggilan kepada anggota-anggotanya yang lain hingga mereka semua bisa menempati kastil biru yang telah lama terbengkelai.

Azure tidak akan lari dan bersembunyi seperti yang dilakukannya bersama koloninya di waktu lampau. Kali ini dia akan menghadapi segala sesuatunya dengan berani, apa apun risikonya, walau nyawa taruhannya. Perempuan itu bertekad kuat dengan matanya yang menyala penuh semangat diiringi aura biru yang memendar dari tubuhnya.

Perempuan itu kemudian memindai sekeliling, mencari pintu, jendela, atau apa saja yang bisa ia gunakan untuk keluar. Namun, di tengah-tengah kedua matanya  yang sedang mengamati kamar merah itu, ia melihat lelaki pelayan yang tadi memberitahu Reddish untuk keluar itu masih berdiri di sisi pintu. Lelaki yang sepertinya telah berumur ratusan tahun karena begitu pudar warna merah yang ada di tubuhnya itu berdiri dalam diam, anteng tak bergerak.

Sepertinya dia ditugaskan untuk berjaga di ruangan ini.

Azure melangkah kemudian, mendekat ke arah pintu. Tatapannya tampak tak percaya saat memandangi pintu di depannya itu. Perempuan itu mengangkat alis dan tersenyum tipis dengan nada penuh ejekan.

Tawanan Reddish bilang? Apakah lelaki itu sedang mengejeknya dengan menunjukkan jika kastil merah mampu memiliki ruang tahanan selebar ini dengan tanpa penjagaan prajurit? Apakah Reddish berpikir jika dirinya begitu tergila-gila padanya sehingga dia tak mungkin ingin keluar dan melarikan diri? Ruang tahanan macam apa yang dibangun dengan pintu kamar tidur seperti ini dan dengan penjaganya yang sudah tua?

“Tuan Merah.” Azure menyapa.

Crimson menoleh. Kedua alisnya terangkat saat melihat jika Azure kini berdiri di belakang pintu. “Ada yang Anda butuhkan, Nona? Saya akan segera mempersipkannya,” sahutnya dengan menunduk.

“Aku ingin minum,” jawabnya dengan ekspresi dingin.

“Baik. Saya akan segera memanggil pelayan untuk menyiapkan-“

“Tidak perlu. Aku yang akan mengambilnya sendiri,” ucap Azure dengan penuh percaya diri. Dia begitu yakin dan tak percaya serta tak mengerti dengan sistem ruang tahanan di tempat ini, sehingga dia begitu meyakini jika dia pasti bisa menembus orang-orang yang ditempatkan Reddish di sekeliling ruangan ini.

Ada ekspresi heran yang ditunjukkan oleh Crimson dalam sesaat. “Tentu saja tidak bisa, Nona. Anda harus tetap dalam ruangan seperti perintah tuan Reddish. Anda tak bisa keluar,” tuturnya menjelaskan hal yang tentu saja sudah diketahui oleh Azure.

“Begitu? Ternyata ruangan mewah ini memiliki kekurangan juga dengan tidak menyediakan rak minum pribadi bagi penghuninya?” tanyanya penuh ejekan. Kedua matanya memandangi sekeliling dengan tatapan menilai. Kedua tangannya terlipat di depan tubuh, sengaja mengonfrontasi lelaki klan merah yang sepertinya adalah tangan kanan Reddish itu.

“Tuan Reddish jarang menikmati minuman malam sebelum tidur, Nona. Beliau juga tak terbiasa membawa minuman ke dalam kamar. Ruang untuk bekerja, menikmati minuman semuanya berada di ruang terpisah.” Crimson menjelaskan dengan kalimat padat, masih dengan kepala menunduk.

“Ah, egois sekali. Hanya karena dia tak menyukainya sehingga melakukan pengaturan terhadap semua ruangan?” Azure terkekeh dengan nada mencela.

Kening tua Crimson mengernyit. “Apa maksud Nona?”

Ada ketidakmengertian dalam pikiran Crimson ketika menerima kalimat Azure itu.

Apa maksudnya dengan melakukan pengaturan semua ruangan? Tentu saja tuannya itu tak mengatur ruangan lain seperti ruangannya yang mewah ini. Hanya ruangan inilah yang begitu luas dengan penataan yang apik sedemikian rupa sesuai dengan selera tuan Reddish. Namun sayangnya, nona biru di depannya ini tak diizinkan untuk menjelajah ke ruangan lainnya untuk melihat, karena tuan Reddish berniat menyembunyikan nona Azure hingga waktu pernikahan mereka tiba.

Lalu, tiba-tiba saja, pemikiran lain muncul di benak Crimson.

Apakah Nona Azure menganggap jika ruangan ini adalah ruang tahanan  di kastil merah?

Wajah Crimson berubah cerah seketika. Tidak tahukan nona cantik ini jika dirinya sedang berada di ruang kamar tuan Reddish yang Agung? Tidak tahukah jika posisinya saat ini begitu istimewa dengan ditempatkan di ruangan pribadi tuannya?

Belum sempat mengutarakan isi pikirannya, kembali Azure terlebih dahulu bertanya,

“Apakah ruangan perempuan klan biru yang lain juga seperti ini? Aku ingin bertemu dengan mereka dan memastikan jika kami ditempatkan di ruangan yang layak sebagai timbal balik kerjasama untuk menghidupkan kembali pelangi semesta di negeri langit.” Azure berucap tegas. “Tentu aku diizinkan, bukan? Karena sebagai makhluk klan biru, kami juga berhak atas keputusan menerima atau menolak kerjasama yang kalian tawarkan,” imbuhnya dengan pandangan menilai.

Kening Crimson mengernyit lebih dalam. Tak bisa memahami maksud kalimat aneh dari perempuan di depannya itu.

Perempuan klan biru yang lain?

Crimson mengerjap kemudian saat teringat sesuatu.

Ah, apakah nona Azure tadi mendengar percakapan singkatnya dengan tuan Reddish tadi tentang Sapphire? Perempuan biru palsu itu?

Azure menatap Crimson tajam, mengamati setiap perubahan ekspresi lelaki tua itu yang tampak lamban dan menyebalkan. Membuatnya tak sabar. Azure bergerak semakin maju hendak keluar ruangan, dipenuhi kekeraskepalaan atas keputusannya yang sepihak itu. Tak memberi kesempatan kepada Crimson untuk menjawab atau pun memberi penjelasan.

Crimson mengangkat kedua alis dengan gugup. Dia tahu betapa kuatnya segel merah yang ditanamkan oleh tuannya di sekeliling ruang kamar ini. Tidak ada yang berani menyentuhkan kulitnya apalagi meloncat hendak melewati ambang batas di mana segel itu ditanamkan karena efeknya akan luar biasa menyakitkan. Tubuh mereka akan seperti tersengat aliran listrik hingga membuat tubuh mereka mati rasa dan terluka untuk sementara waktu. Hanya Reddish sendiri dan Crimson yang bisa keluar masuk ke ruang kamar ini. Crimson dipercaya oleh Reddish sebagai sambung tangan dari para pelayan yang hendak memberikan keperluan bagi Azure. Meski begitu, Crimson sendiri sangat ketakutan saat hendak melewati pintu bersegel itu. Khawtir jika tuan Reddish mendadak berubah pikiran dan membuatnya mati karena terhantam kekuatan segel tersebut.

Dan sekarang … nona Azure hendak memaksa keluar?

“Nona. No-nona mohon berhenti,” pinta Crimson dengan terbata. Kedua tangannya terangkat ke depan dada dengan gerakan memohon sekaligus melarang yang tak diindahkan oleh Azure.

Bagaimana jika terjadi sesuatu yang buruk dengan nona ini setelah dia berusaha keluar melewati pintu dengan segel kuat milik tuan Reddish? Dirinya pasti akan segera dipensiunkan dini dan menerima hukuman tahanan dalam waktu yang lama karena tak berhasil membujuk nona biru ini dan membuatnya celaka. Lebih buruk dari itu … bagaimana jika dia terlempar oleh kekuatan merah milik tuan Reddish? Dirinya pasti akan habis seketika!

Azure begitu gigih. Perempuan itu melangkah cepat lalu memukulkan tangannya yang saat itu telah memancarkan aura biru pekat yang sangat kuat tepat ke arah Crimson. Hendak meninju lelaki penjaga itu dengan aura birunya.

Crimson terbelalak hingga tanpa sadar mulutnya ternganga saat adegan cepat itu berlangsung di depan matanya. Kekuatan biru itu tepat terarah ke arahnya dan …

“Ah!” Azure menjerit saat pukulan tangannya seolah terhalangi oleh benda sekeras batu. Tubuhnya terhuyung ke belakang tanpa bisa ditahan. Dengan napas terengah, perempuan itu menatap tak percaya pada tangannya, lalu dengan tertegun kembali menatap ke arah pintu di mana di sana ada kekuatan merah yang memendar tipis dan menghalanginya untuk menghajar Crimson.

Lelaki itu terpaku dengan tatapan takjub, berbanding terbalik dengan Azure yang kian termakan kemarahan lantas memukul-mukulkan kekuatan birunya ke arah pintu itu bertubi-tubi dengan sia-sia.

Dan selanjutnya, yang terlihat di sudut tempat itu adalah Crimson yang berdiri dengan ternganga dan Azure yang bertingkah konyol dengan tanpa putus asa berusaha menembus kekuatan merah milik Reddish itu dengan melempar kekuatan auranya seperti cipratan air yang sedang bersikukuh melawan api besar selama beberapa waktu.

***

Reddish bergeming di tempatnya berdiri menyaksikan bagaimana Shamrock, sang pemimpin klan hijau itu terisak-isak sambil berlutut, menangisi perempuan hijau yang ternyata bernama Olive.

“Kau mengenalnya?” Reddish bertanya kemudian, memecah suara tangis yang membuatnya tak nyaman.

“Dia … dia adalah Olive, kekasihku, wahai pemimpin klan merah.” Lelaki itu menelan ludah. “Dia tiba-tiba menghilang selama beberapa waktu dan kami tak bisa menemukannya,” tambahnya lagi dengan suara sengau.

Reddish mengamati sekeliling. Tatapannya yang tajam bisa melihat jika saat ini dirinya sedang diawasi oleh para makhluk langit yang sembunyi-sembunyi dan sedang mengintainya.

“Maaf. Maafkan saya. Saya telah lama memiliki firasat jika ada yang tak beres dengan perempuan klan biru ini. Perawakannya begitu tidak asing dan entah bagaimana saya ingin terus mengikutinya. Maafkan saya. Saya bersembunyi di balik pintu dan menyaksikan semuanya,” akunya dengan ekspresi pedih.

Suara langkah yang seirama terdengar mendekat. Reddish dengan kekuatan pikirannya memanggil sang kepala prajurit beserta beberapa anak buahnya.

“Bereskan tahanan itu seperti aturan biasanya.” Reddish memerintah dengan tatapan dingin kepada semua prajurit yang kini berdiri di sisinya.

“Reddish. Apakah tak boleh jika saya saja yang menyemayamkannya? Saya ingin memberi penghormatan terakhir untuknya-“ ucapan Shamrock tak sampai pada akhir kalimat, karena tubuh Reddish telah berlalu dari ruangan itu, tak mau barang mendengarkan apalagi bernegosiasi atas permohonannya.

Tuan. Tuan Reddish. Nona Azure berusaha merangsek keluar dari ruangan dengan memukul-mukulkan kekuatan birunya hingga kelelahan.

Suara Crimson yang terdengar cemas itu membuat Reddish tak membuang-buang waktu lagi dan berjalan cepat menuju kamarnya di mana Azure sedang mengamuk di sana.

 

bersambung….

Terima kasih telah membaca ^^

 

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

6 Komentar

  1. Istimewa :lovelove

  2. Jayaning Sila Astuti menulis:

    Halo kak Bintang. keren lho cerita Reddish ini.. ditunggu updatenya..

  3. Tks ya kak udh update.

  4. selinokt18 menulis:

    :lovelove :lovelove :lovelove

  5. Iyalahhh istimewaaaa