Sassy Maid

Sassy Maid and Playboy Doctor – 14

Bookmark
Please login to bookmarkClose

No account yet? Register

12 votes, average: 1.00 out of 1 (12 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

2

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Sudah seminggu berlalu semenjak Lizbeth datang dan selama itu juga Anna tidak pernah datang lagi ke apartementnya. Dalam waktu sesingkat itu, tempat tinggalnya yang semula rapi kembali menjadi seperti kapal pecah. Bukan hanya rumahnya, penampilannya pun tidak seperti biasanya. Rambut panjangnya dibiarkan acak-acakkan, kantong mata yang ada semakin menghitam dan bulu-bulu halus yang tumbuh berantakan di dagu tidak pernah dirapikan.

John tampak seperti mayat hidup. Bahkan koleganya pun menyadari hal itu dan memintanya untuk memeriksakan diri. Karena keadaannya yang seperti itu, semua rekan kerjanya secara tidak langsung mencegahnya untuk berinteraksi dengan pasien. Bagaimana reaksi mereka jika melihat dokter yang menjadi panutan terlihat begitu mengerikan? Bahkan untuk menjalankan prosedur ringan penangan pertama pun tidak bisa diselesaikan dengan baik.

Penyebab kondisi John seperti ini karena Anna. Tidak melihat wanita itu membuat hatinya kacau, belum lagi ketika mengingat tamparan yang diberikan. John tahu, dibalik tamparan itu terhadap hati yang terluka. Padahal, dia baru saja berjanji untuk membuat Anna jatuh cinta padanya. Disaat dia baru saja berusaha, kesalahpahaman besar terjadi diantara mereka. Itu semua karena Lizbeth, sepupunya yang mendadak datang tanpa pemberitahuan.

Elizabeth Ludwing, sepupu dari pihak ibunya yang tinggal di Jepang dan datang selama hari libur. Belum sempat menjelaskan siapa Lizbeth, Anna sudah salah sangka terlebih dahulu. Jika di ingat lagi, apa yang dikatakannya soal pernikahan itu tentu membuat siapapun yang mendengar bisa salah mengartikan. Wanita itu pasti mengira kalau dia telah mengikat janji dengan Lizbeth dan berencana untuk menikahinya. Sedangkan ungkapan perasaan padanya hanya dianggap main-main.

Lizbeth terobsesi dengan hal-hal lucu. Karena itu sejak kecil dia sangat suka memakai pakaian lolita kemanapun. Hal itu menjadi kebiasaan hingga dirinya dewasa sekarang. Dengan obsesinya yang unik itu ditambah hobinya yang gemar berfoto, dia menjadikan itu sebagai bisnis selebgram yang memposting kehidupannya sehari-hari. Selain itu, dia juga memberikan turtorial make up dan tips untuk memilih baju lolita yang bagus.

Mengenai pernikahan, sebenarnya yang dimaksudnya adalah sesi foto. Sewaktu Lizbeth pertama kali bertemu John, dia ingin sekali melakukan photoshoot bertema pernikahan. Ditambah saat itu John sedang memakai baju putih dan mempunyai wajah menawan, membuatnya semangat untuk melakukannya. Sayangnya idenya itu ditolak olehnya. John menganggap Lizbeth masih terlalu kecil karena umurnya baru 8 tahun.

Saat itu, John berjanji, ketika Lizbeth sudah dewasa dia akan melalukan sesi foto pernikahan dengannya. Sayangnya itu malah menjadi masalah yang membuat hubungan mereka retak. Padahal John yakin kalau Anna juga merasa nyaman seperti dirinya. Kalau saja saat itu dia mengejar wanita itu dan menjelaskan apa yang terjadi, keadaan tidak akan jadi seperti ini.

John menyesal karena menahan diri. Setelah kepergian Anna, dia tidak menemui wanita itu karena menganggapnya masih membutuhkan waktu untuk menenangkan diri. Keputusannya itu justru membuat Anna semakin salah paham dan tidak mau membukakan pintu untuknya. Ya, John mengunjungi wanita itu keesokan harinya yang berujung hampa. Anna sama sekali tidak menggubris dan membiarkan pintu tertutup. Bahkan nomor teleponnya juga dimatikan yang membuatnya sulit dijangkau.

John menghela nafas panjang dan mengacak rambutnya hingga semakin berantakan. Setiap kali memenjam mata, bayangan Anna selalu terlintas sehingga membuatnya selalu terbangun. Dia ingin melihat wanita itu, memeluknya, menciumnya dan melepaskan rasa rindunya. Kalau terus seperti ini lama-lama dia bisa gila.

“John.”

Panggilan kecil dari Lizbeth membuat perhatian John teralih padanya. Ada rasa malu yang hinggap didadanya karena sudah membuat gadis itu khawatir dan menunjukkan sisi lainnya yang jelek. Seharusnya, dia menyenangkan Lizbeth selama disini. Sudah terbang jauh-jauh dari Jepang ke New York, yang gadis itu dapatkan malah wajah muramnya.

Agar membuat gadis itu ceria, John menyunggingkan senyum khasnya sambil menopang dagu. “Bagaiamana kalau kita jalan-jalan? Aku tahu ada toko kue yang enak disini. Kau pasti akan menyukainya.”

Mendengar hal itu, Lizbeth menganggukkan kepala dengan antusias. Matanya berbinar seolah mendapatkan sesuatu yang langka. “Kau yang traktir ya. Tabunganku kan tidak sebanyak punyamu,” ucapnya senang.

“Tentu saja. Kau boleh membeli apapun yang kau mau. Aku yang akan menghadapi mamamu kalau dia mengomel.”

Lizbeth langsung melompat dari tempat duduknya dan berlari memeluk John. “Aku sayang padamu. Kau memang kakak sepupu yang terbaik!”

“Kalau begitu mana ciuman untuk kakak tersayangmu ini?” tanya John yang telah kembali menggombal seperti biasa.

“Tidak mau!” jawab Lizbeth menjulurkan lidah. “Aku tidak mau mencium pipimu yang penuh dengan rambut itu!” sambungnya ketus.

Bukannya merasa tersinggung, John justru menyentuh dagunya yang dipenuhi bulu-bulu tajam dan kemudian tertawa. “Kalau begitu, setelah aku membersihkannya, kau harus menciumku.”

“Yup, setelah wajahmu kembali tampan,” balas Lizbeth yang membuat John tersenyum manyun.

***

Bunyi bel yang terus menerus, membuatku terbangun dari tidur nyenyakku. Dengan mata yang masih setengah terpejam, aku melihat kearah jam yang menunjukkan pukul 10 pagi. Bukannya aku malas. Setiap pagi, aku tetap bangun seperti biasa dan menyelesaikan semua pekerjaanku. Karena bosan menunggu hingga siang, biasanya aku menghabiskan waktu dengan membaca atau tidur.

Berhubung malas, aku kembali memejamkan mata untuk kembali tidur ke alam mimpi dan mengabaikan panggilan bel itu. Toh, kalau tidak ada jawaban mereka akan pergi dengan sendirinya. Tetapi, apa yang kuharapkan tidak kunjung tercapai. Suara bel terus berdenting nyaring hingga membuat telingaku sakit. Dengan kepala berat, aku bangkit dari kasurku dan berjalan menuju pintu.

Seharusnya, aku mencabut saja bel itu. Aku tidak mau bertemu dengan siapapun sehingga menutup semua akses komunikasi. Dibilang memutuskan semua kontak pun tidak benar. Aku hanya mencabut telepon rumah dan mensilent kan hp ku. Aku tidak perlu khawatir kalau ada yang mencariku karena hanya sedikit orang saja yang mengetahui nomorku termasuk dokter brengsek itu.

Mengingatnya lagi membuatku geram. Pria itu benar-benar pandai memainkan perasaanku. Aku benar-benar kecewa karena sudah mempercayainya. Seharusnya, aku tidak semudah itu menyukainya. Seharusnya, aku pandai menjaga perasaanku agar tidak terluka. Ini kedua kalinya aku merasa rapuh karena pria setelah kekerasan yang kualami dari ayah kandungku sendiri. Malahan, rasa sakit pengkhianatan ini berkali-kali dari yang kuterima dulu.

Jika dulu fisikku yang terluka, sekarang adalah hatiku. Luka fisik bisa disembuhkan dengan obat-obatan tapi luka dihati sangat sulit. Selain tidak terlihat, rasa sakit itu bisa mengubah seseorang dan membutuhkan waktu yang lama untuk sembuh.

Sekarang, aku benar-benar membenci John. Pria itu telah memberiku harapan dan merebutnya dengan keji. Aku tidak tahu kesalahan apa yang kuperbuat hingga dia berbuat seperti itu padaku. Karena kejadian itu, mataku menjadi terbuka. Pria yang awalnya sudah brengsek, selamanya akan tetap menjadi bajingan.

Aku tidak peduli dengan akibat yang kuterima karena perbuataku ini. Biar saja kalau Alex marah dan memecatku. Aku tinggal mencari pekerjaan lain yang sesuai dengan kemampuanku. Lagipula selama aku tidak membersihkan apartement John, aku melewati hari dengan bersantai memanjakan diri dan tidur-tiduran. Tidak ada gunanya terus bersedih memikirkan pria itu. Lebih baik aku melakukan hal yang kusuka dan memikirkan rencana untuk kedepannya.

Bunyi bel yang kesekian kalinya membuatku mengumpat dalam hati. Kalau saja John yang datang lagi, aku akan segera mencabut bel itu agar suaranya tidak menganggu lagi. Aku mengintip terlebih dahulu siapa yang datang dari celah kecil yang terpasang. Aku mengernyit ketika tidak melihat siapapun disana dan hanya menemukan sebuah kotak pink dengan pita dan hiasan kecil. Seingatku, aku tidak memesan apapun. Baik Alex ataupun Nina juga tidak meninggalkan pesan kalau mereka mengirim sesuatu. Dengan penasaran, aku membuka pintu dan mengambil kotak itu untuk melihat siapa pengirimnya.

“Hai, cantik. Akhirnya kau membuka pintu.”

Suara khas wanita yang kukenal membuatku terkejut. Aku melotot melihat sosok Julie yang muncul entah dari mana dengan kaos santai. Segera, aku melempar kotak itu dan kembali masuk untuk menutup pintu dengan cepat. Namun, Julie dengan gesit menghapus jarak diantara kami dan menahan pintu.

"Bukankah tidak sopan membiarkan tamu berdiri di luar? Kenapa kau tidak mengijinkanku masuk? Kau tahu, aku sedih karena kau tidak mengangkat teleponku," ucapnya memasang ekspresi sedih yang nyata

“Bukankah tidak sopan membiarkan tamu berdiri di luar? Kenapa kau tidak mengijinkanku masuk? Kau tahu, aku sedih karena kau tidak mengangkat teleponku,” ucapnya memasang ekspresi sedih yang nyata.

Walaupun cara bicaranya santai, tenaga wanita ini tidak main-main. Aku bahkan tidak bisa menutup pintu meski mendorongnya sekuat tenaga. “Pergilah! Aku tidak mau bertemu dengan siapapun!”

“Jangan begitu. Aku bahkan sudah datang jauh-jauh untuk membawakan kue tapi kau malah melemparnya. Padahal kue itu sangat enak. Walaupun bentuknya sudah hancur, rasanya tetap tidak berubah. Aku ingin mengambilnya dan berbagi denganmu tapi kalau aku melepaskan pegangan ini sekarang, aku pasti tidak bisa bertemu dengamu lagi.” Julie masih belum menyerah. Malah aku merasa tenaganya semakin kuat karena berhasil menambah celah di pintu yang terbuka.

“Aku tidak butuh kuemu! Aku bisa membuatnya sendiri dan rasanya jauh lebih enak daripada beli! Kau boleh pergi sekarang!” Aku sengaja meninggikan suaraku dan berkata seperti itu agar membuatnya tersinggung. Dengan begitu dia bisa pergi dan tak menggangguku lagi.

Tidak ada jawaban langsung dari Julie yang membuatku mengira kalau wanita itu telah menyerah. Sayangnya aku tidak boleh terlalu senang dengan kesimpulanku itu karena tangan Julie masih menahan pintu dan tidak lama setelahnya aku mendengar kekehannya.

“Kau memang wanita mandiri yang bisa melakukan semuanya sendiri. Tapi apa kau tahu kalau itu sebenarnya sedang menyiksa dirimu sendiri?”

Aku berdiam mendengar penuturan Julie. Aku spontan membuka pintu hingga membuatnya hampir terjatuh. Aku lalu menatapnya datar, berbanding terbalik dengannya yang tersenyum senang. “Apa maksudmu?”

“Oh, kau tidak mengijinkanku masuk dulu dan membiarkanku berdiri pegal disini?”

Aku memiringkan bola mata, seolah-olah jenuh dengan perilakunya dan bersiap untuk menutup pintu kembali. Tetapi Julie dengan sigap menahan dan memberikan tatapan setengah serius. “Baiklah, aku tidak akan bercanda lagi. Aku tahu apa yang terjadi denganmu dan John. Kedatangan Lizbeth memang mengejutkan dan dia juga sangat manis sampai-sampai banyak staff rumah sakit dan pasien yang terpikat padanya. Tetapi daripada itu, aku mengkhawatirkanmu. Siapa tahu kau butuh teman curhat dan aku siap mendengarkan.”

Ketika Julie menyebutkan nama gadis itu dengan gamblang, dadaku berdenyut sakit. Eskpresiku sempat mengeras sesaat sebelum aku cepat-cepat kembali seperti biasa. “Aku baik-baik saja dan tidak butuh teman curhat atau apapun itu. Kau boleh pergi sekarang.”

“Mulutmu mengatakan tidak apa-apa tapi aku tahu kalau hatimu sedang terluka. Jangan mengira aku tidak menyadari perubahan rautmu tadi. Tidak perlu malu untuk mengakuinya. Bagaimana kalau kita mengadakan tea party kecil-kecilan untuk menghibur suasana hatimu?”

Entah bagaimana caranya, Julie bisa mengetahui apa isi hatiku. Bisa dikatakan juga kalau itu adalah insting wanita. Tetapi kami tidak cukup dekat hingga dia rela mengosongkan waktunya untukku. Kuhargai itu dan sepertinya aku memang perlu keluar untuk mengganti suasana hatiku. Aku mengangguk sekali untuk mengiyakan ajakannya itu.

“Karena kue yang ku bawa sudah hancur, bagaimana kalau kita ke toko kue yang kubeli sebelumnya? Disana mereka menyediakan berbagai jenis shortcake, tart dan aneka kue lainnya. Aku yakin kau pasti akan menyukai tempat itu dan ketagihan dengan kue-kue mereka.”

Antusias Julie berhasil membuatku tersenyum. Perbuatannya itu berhasil mengusir rasa sesak yang sebelumnya memenuhi hatiku. Daripada merenung sendirian memikirkan pria itu, lebih baik aku menyenangkan diriku dan melupakan semuanya.

“Aku suka melihatmu tersenyum. Apa aku boleh menciummu?”

Mendengar Julie berkata seperti itu, mood ku kembali rusak. Sengaja aku memberikan wajah masam dan menjetik dahinya. “Tidak akan!” seruku meninggalkannya sendirian untuk berganti baju.

“Aw, kau membuatku semakin cinta padamu. Aku akan menikmati kencan denganmu ini. ❤️”

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

6 Komentar

  1. Hiiii,kencan sama cewek

  2. :kisskiss :berharapindah

  3. Mukti Sriwulandari menulis:

    Sepertinya akan ada pertemuan ditoko kue,,,,siapkan hati dulu huffftt

  4. Berharap indah

  5. Tks ya kak udh update.