Sassy Maid and Playboy Doctor – EXTRA PART

12 votes, average: 1.00 out of 1 (12 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

2

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Matahari sudah menampakkan wajahnya dan menyinari apapun dilihatnya, tapi John masih enggan membuka mata dan bergelung dibawah selimutnya. Hari ini hari libur dan dia ingin tidur lebih lama lagi setelah pergulatan semalam dengan Anna.

Ya, semalam John mencumbui istrinya itu habis-habisan karena menghabiskan 2 hari di rumah sakit. Lelah akibat pekerjaan, menguap begitu saja ketika melihat wanita yang dicintainya. Tanpa membuang waktu, dia langsung membawa Anna ke kamar dan mengunci pintu rapat-rapat agar anak-anaknya tidak menganggu. Kegiatan itu pun berlangsung lama. Sampai lewat tengah malam, barulah John melepaskan Anna dan membiarkan istrinya itu tidur.

Dan sekarang, John masih kelelahan. Dia masih mengantuk akibat kerja keras yang dilakukannya. Untungnya, gorden yang dipasang bewarna gelap dan tebal. Jadi, teriknya sinar matahari tidak bisa masuk kedalam kamarnya.

Dengan mata terpejam, John meraba-raba posisi disampinya untuk mencari Anna. Dia ingin memeluk istrinya itu sampai tertidur lagi. Dahinya berkerut ketika tidak mendapatkan apa yang dicarinya. Dia masih kukuh memejamkan mata dan sama sekali tidak ada niat untuk membukanya. Karena kemalasannya itu, John tidak sadar kalau ada dua makhluk kecil yang mengendap-ngendap masuk kedalam kamar dan berdiri tidak jauh disamping ranjang.

Kedua gadis kecil berwajah sama itu saling terkekeh satu sama lain. Keduanya juga saling melempar isyarat untuk tidak ribut agar bisa mengejutkan ayah tersayangnya. Begitu John beralih ke posisi memunggungi, mereka berdua langsung melompat dan berteriak riang.

Daddy, ayo bangun! Mommy sudah siapkan sarapan!” Gadis kecil dengan rambut samping yang dikepang itu mengguncang-guncang tubuh John.

Sedangkan satunya yang berambut lurus, melompat-lompat diatas kasur sehingga menimbulkan kesan gempa kecil. “Ayo Daddy cepat bangun! Mommy sudah pergi ketempat Aunty Nina!” serunya tak kalah tinggi.

Gangguan dari kedua putrinya, berhasil membuat John membuka mata. Dia tersenyum ketika melihat kedua  putri kembarnya yang berusia 5 tahun itu. Mereka berdua mewarisi manik zamrud dan rambut pirang Anna. Meskipun warna rambutnya juga sama, tapi milik Anna lebih cantik dan bersinar dimatanya. John lalu bangkit, menangkap putri kembarnya itu lalu memeluk mereka dan mencium kedua pipi secara bergantian.

 John lalu bangkit, menangkap putri kembarnya itu lalu memeluk mereka dan mencium kedua pipi secara bergantian

Morning, Lili dan Lilac, putri-putriku yang cantik seperti bunga. Apa kalian tidak mau memberikan ciuman untuk Daddy, hmm?” John kembali mencium pipi kedua putrinya hingga membuat mereka terkikik geli.

“Iih bau! Daddy belum mandi. Lili tidak mau cium!” serunya sambil merapikan rambut kepangnya. Dia sangat suka dengan kepangan saat Anna pertama kali membuatnya. Setelah itu, Lili meminta untuk diajari dan setiap hari dia mengepang rambutnya sendiri.

“Lilac juga tidak mau. Daddy bau!” sambungnya sambil menutup hidung dan melompat kebelakang kakaknya yang berbeda 2 menit untuk mencari perlindungan.

Lili dan Lilac adalah putri kembar mereka setelah yang pertama. John sengaja memberikan nama itu karena menurutnya mudah dieja. Bukan, karena makna ataupun bentuk dari tanaman itu. Meskipun begitu, John tetap berharap jika putri kembarnya itu tumbuh sehat dan cantik seperti bunga yang bermekaran. Karena baginya, tidak ada yang paling membahagiakan ketika melihat anak-anaknya dewasa dan menemukan kebahagian masing-masing.

Melihat penolakan kedua putrinya, John berpura-pura berwajah sedih. “Hu … hu … Daddy sedih karena Lili dan Lilac tidak mau mencium Daddy. Daddy tidur saja, tidak mau sarapan lagi dengan kalian. Kalian sudah tidak sayang dengan Daddy!” John lalu kembali berbaring dan menutup wajahnya dengan selimut sambil mengeluarkan suara sesenggukan yang dibuat-buat.

Lili dan Lilac saling menatap satu sama lain. Kemudian, mereka berdua meringkuk untuk melihat wajah ayahnya tapi tidak bisa karena terbungkus selimut. Lili yang sebagai kakak pun mengambil inisiatif untuk Lilac turun terlebih dahulu dan menunggu di dekat pintu. Setelah itu, dengan senyum tanpa dosa, dia mengatakan sesuatu yang membuat John sakit hati.

“Kalau begitu, kami ke tempat Uncle Alex dulu. Uncle sangat tampan, begitu juga dengan Brother Lucas dan kami lebih sayang dengannya!”

Selesai mengatakannya, gadis itu langsung meloncat turun di iringi pekikan tawanya ketika John tiba-tiba bangun untuk menangkapnya. Lilac langsung menutup pintu dan meninggalkan bunyi berdebum yang keras ketika mereka kabur.

John masih ditempat tidur dengan rambut kusut dan wajah masam. Kedua putrinya itu, sangat suka melihat pria tampan. Bukan hanya kepada Alex mereka seperti itu tetapi kepada semua pria yang dianggap menarik, mereka pasti menyukainya. John sampai heran dari mana mereka berdua bisa mendapatkan sifat seperti itu. Untung saja anak-anaknya yang lain tidak seperti itu tapi tetap saja, mereka pasti mempunyai saty sifat yang membuatnya geleng-geleng kepala.

Mau tidak mau, John memaksakan diri untuk bangun dari tempat tidur. Dengan kondisi tidak mengenakan apapun, dia berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Untung saja tadi Lili dan Lilac tidak memaksa untuk menarik selimutnya. Jika iya, rasanya malu sekali jika mereka berdua melihatnya dalam kondisi seperti itu.

Memikirkan perkataan putrinya tadi, John menggembungkan pipinya karena cemberut. Dia sudah bertekad kalau hari ini akan tampil lebih baik dari biasanya agar membuat Lili dan Lilac berubah pikiran. Selain itu, dia bisa memanfaat kesempatan itu untuk menggoda Anna dan mengajaknya kembali berolahraga. Membayangkan itu terjadi membuat John bersemangat untuk mandi.

Lihat saja, John akan membuat kedua putrinya itu terkesima sampai tidak berhenti memujinya. Dengan begitu, dia juga sekaligus melindungi mereka dari serigala-serigala jahat yang mengincar. Sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui. John langsung bersenandung senang dan mandi dengan gembira.

***

Aku terkejut ketika mendengar suara pintu kamar yang dibanting. Panci yang kupegang pun hampir terlepas kalau aku tidak memegangnya dengan erat. Checil yang juga membawa nampan ikut terkaget. Dia sampai mengelus dadanya sendiri untuk menenangkan detak jantungnya yang cepat. Aku meletakkan panci ke atas meja dan juga nampan yang dipegang Checil kemudian melotot marah ketika mendengar suara Lili dan Lilac.

“Lili! Lilac! Jangan lari-lari! Bagaimana kalau kalian jatuh?” Aku sedikit meninggikan suara saat melihat mereka berlari menuruni tangga. Kedua anak itu memang sangat aktif. Terlebih jarak umur mereka yang kurang dari setahun membuatku kewalahan merawat tiga anak sekaligus.

Aku sangat beruntung karena putri pertamaku tidak begitu rewel. Checilia, yang akrab dipanggil Checil tidak mudah menangis. Dari namanya, kalian sudah tahu mirip dengan siapa. Tentu saja dari mobil kesayangannya John yang bernama Cicil itu.

Mempunyai teman seumuran, membuat Checil tidak mudah ribut ataupun bosan

Mempunyai teman seumuran, membuat Checil tidak mudah ribut ataupun bosan. Dia sangat senang bermain dengan Alice sampai-sampai tidur siang pun selalu bersama-sama. Jika dilihat orang lain, pasti akan mengira mereka bersaudara.

Lucas juga ikut menemani setiap kali mereka bermain. Perannya sebagai kakak laki-laki yang ditanamkan Alex membuatnya mudah bergaul dengan anak-anak dibawahnya. Tidak hanya itu, dengan orang dewasa dia pun bersikap sopan yang dicontoh oleh adik-adiknya. Aku sampai ingin menukar si kembar dengan Lucas. Siapa yang tidak mau anak laki-laki yang dewasa dan imut? Yang bisa membuat adik-adiknya menjadi tenang.

Dibilang tenang pun, sebenarnya tidak. Aku sama sekali tidak pernah merasa tenang saat mengurusi buah hatiku. Itu semua karena John! Pria itu membuatku mengandung empat kali berturut-turut dengan jarak kurang dari setahun. Bayangkan, kurang dari setahun!

Setiap kali aku menyuruhnya untuk memakai pengaman, selalu saja ada caranya untuk mengelabuiku. Aku tidak marah soal keinginannya untuk memiliki banyak anak, hanya saja beri jarak umur diantara mereka sehingga semuanya mendapat perhatian penuh tanpa harus mendahulukan yang lain. Tetapi pria mesum itu justru melakukan sesukanya!

Karena ulahnya itu, aku menyuruhnya untuk mengganti popok setiap kali mereka buang air. Selain itu, dia juga harus tahan dengan tangisan bayi tengah malam ketika meminta susu.

Kupikir, John bisa stress karena menghadapi tiga anak sekaligus. Nyatanya, dia semakin bersemangat sampai mencari pengasuh dan pembantu tambahan. Malah aku yang sakit kepala menghadapi tingkahnya yang melebih anak-anaknya.

Sorry, Mom!” sahut Lily ketika sudah sampai dibawah.

Lilac berdiri dibelakangnya dan sesekali mengintip dibalik punggung Lili. Dia selalu seperti itu kalau melakukan kesalahan. Bantingan pintu tadi pasti dia yang melakukannya.

“Jadi, kenapa kalian membanting pintu itu? Mommy dan kakakmu tadi sedang membawa sarapan dan hampir saja terjatuh tadi. Kalau pegangan Mommy atau Checil terlepas, bagaimana dengan sarapan kalian dan juga adik-adik yang lain?” Aku mulai mengomel seperti ibu-ibu pada umumnya tapi tetap memelankan suaraku. Kalau aku memarahi langsung hanya membuat mereka ketakutan. Karena itu, setiap kali melakukan kesalahan, aku akan mongemel pelan lalu menasehati mereka.

“Kami kabur dari Daddy. Daddy bau dan ingin dicium tapi kami tidak mau jadi kabur.” Lili menjelaskan dalam satu kalimat yang padat dan jelas.

Sorry Mom, kami tidak akan mengulanginya,” sambung Lilac.

Aku bisa melihat kalau mereka sudah menyesal. Yah, meskipun kadang juga diulangi lagi, aku tidak sampai hati jika harus memarahi dengan keras ataupun memukul. Sudah cukup masa kecilku saja yang keras. Aku tidak mau kalau mereka juga mengalami hal yang sama.

“Kalau begitu, kalian bawa ini ketempat Aunty Nina. Lalu, ingatkan Oliv dan Theo untuk minum.” Checil memberikan nampannya yang berisi teko bening dengan warna coklat yang masih hangat.

Olivia dan Theodor. Anak-anakku dan John setelah Lili dan Lilac. Mereka sama seperti sebelumnya, hanya berjarak satu tahun. Olivia, putri kecilku yang berumur 4 tahun, sama dengan putra bungsu Nina, Charles. Sifatnya ceria tapi tidak seheboh si kembar yang suka membuat kerusuhan. Dia sangat suka bermain dengan Charles yang lebih pasif darinya. Kadang-kadang aku sampai menduga kalau sebenarnya gadis kecil itu sangat menyukainya.

Sedangkan Theodor, dia putraku satu-satunya yang paling kecil dan paling pendiam diantara semua saudaranya. Dia juga lah yang paling cocok dengan Charles dibandingkan dengan Oliv. Mereka bisa bermain dalam diam dan saling bertatap-tatapan dalam waktu yang lama. Bahkan Theo selalu mengekori Charles kemana-mana seperti induk ayam.

Kadang Nina menggoda, ingin menjadikan Theo sebagai putranya. Tentu saja aku tidak mau. Theo adalah putraku satu-satunya dan aku sangat menyayanginya.

Lili dan Lilac menerima nampan itu dengan hati-hati kemudian tersenyum senang karena mendapat tugas. “Baik! Kami pergi dulu!” ucap mereka serentak sembari membawa nampan itu.

Begitu si kembar pergi, Checil mengambil panci yang sebelumnya kubawa. Dia bilang ingin sarapan bubur ayam karena itu aku membuatnya. Bergaul dengan Alice membuatnya suka dengan makanan Indonesia. Aku tidak masalah dengan itu, terlebih Checil tidak pemilih soal makanan sehingga mudah memasakkan apapun untuknya. Tetapi panci itu sangat besar untuk anak seumurannya. Walaupun tidak begitu panas tetap saja dia akan kesusahan membawanya.

“Biar Mommy saja yang bawa. Kau susul saja adik-adikmu dan awasi mereka. Jangan biarkan mereka membuat Uncle Alex dan Aunty Nina repot.”

Aku hendak mengambil panci itu darinya tapi Checil lebih dulu membalikkan tubuhnya dan menjauh dariku. “Aku saja yang membawanya ke tempat Aunty. Mommy tunggu Daddy saja tapi jangan lama-lama.”

Aku terdiam ditempatku ketika mendengar Checil mengatakannya. Anak ini, apa dia tahu arti dari perkataannya sendiri atau sedang mengerjaiku? Usianya baru 6 tahun dan tentu tidak mengerti tentang itu, bukan?

Aku hanya menggeleng ketika melihat punggung Checil yang menjauh. Mungkin karena dulu aku sering memanggil John dan kemudian ditahan olehnya membuat anak itu tahu bagaimana kebiasaan kami. Setelah ini, aku harus memarahi pria itu agar menghentikan kebiasaan buruknya. Sekarang, hanya Checil yang tahu. Lalu bagimana dengan anak-anak lainnya nanti?

Membayangkan mereka melalui melakukan hal yang sama dengan diriku saat muda membuatku malu. Kedepannya aku harus lebih memperhatikan mereka agar nantinya tidak salah jalan dan sekarang, saatnya aku menghajar wajah mulus pria mesum itu!

***

Selesai mandi, John bersenandung riang dengan handuk yang masih terlilit di pinggangnya. Rambutnya yang basah dibiarkan begitu saja dengan air yang menetes disetiap ujungnya. Dia sibuk mencari baju yang nyaman tapi tetap trendi agar membuat putri kembarnya terpana. Disela-sela kegiatannya itu, dia menangkap suara pintu kamar yang terbuka. John langsung mengambil satu kaos yang ditemukan dan mengenakannya.

“Oh, ternyata istri tercinta. Tahu begitu, aku tidak usah pakai baju buru-buru tadi. Melihat tubuh telanjangku tentu lebih nikmat kan?” John mulai menggoda dengan menunjukkan eskpresinya yang mesum itu. Dia bahkan sudah siap membuka kaosnya lagi dan memeluk Anna dengan bertelanjang dada. Tubuhnya terasa lembut karena selesai mandi dan terasa sangat enak untuk dipeluk. Anna pasti menyukainya dan siapa tahu, mereka bisa melanjutkannya dengan hal-hal yang membuat mereka mandi kembali.

Belum sempat John melepaskan pakaiannya, Anna terlebih dulu melempar bantal hingga membuatnya hampir terjatuh. Suaminya ini, kapan pun selalu saja bisa berotak mesum. Dia jadi ragu kalau John adalah dokter yang terkenal jenius. Mungkin mereka salah menilai karena sebenarnya dia sangat pintar dalam dunia kemesuman.

“Cepat pakai bajumu! Anak-anak sudah menunggu ditempat Nina. Aku tidak mau mereka kelaparan gara-gara kau!” Anna mengatakannya dengan bersungut-sungut sambil merapikan sprei. Karena kegiatan semalam, tempat tidur mereka sekarang sangat berantakan. Sifatnya yang menyukai kerapian membuat matanya sakit melihat sesuatu yang berserakan.

“Aku tidak mau.” John sengaja membuka kaos yang tadi sempat dikenakan lalu melemparnya ke ranjang. Setelahnya, dia duduk di meja rias Anna dengan handuk yang masih terlilit erat di pinggang. “Tapi, kalau kau yang memakaikannya, aku mau.” Sambungnya dengan nada sensual.

Anna menggeram marah melihat kelakukannya seperti itu dan bisa saja merobek bantal yang berada dalam genggamannya. Tetapi Anna masih bisa menahannya. Dia menghirup nafas dalam-dalam untuk melegakan dadanya yang panas dan melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda. “Kau bukan anak-anak lagi. Sebaiknya kau cepat atau aku tidak akan menunggumu.”

Selesai mengatakannya, Anna juga sudah siap menyusun tempat tidur. Hanya tinggal menyapu dan pel yang rencananya akan dilakukan setelah sarapan. Tanpa menunggu lebih lama, dia melangkah keluar berniat untuk menyusul anak-anaknya dan menghindar dari John. Alarm dalam dirinya mengatakan akan terjadi sesuatu yang berbahaya kalau tinggal lebih lama.

Benar saja, sebelum tangannya berhasil meraih gagang pintu, John lebih dulu menarik dan mendudukkan diatas pangkuannya. Pria itu melingkarkan lengannya disekitar perut dan memeluknya dengan erat. Berkebalikan dengan Anna yang menatapnya garang, John justru memberikan senyumnya yang paling mempesona.

“Istriku yang cantik, aku kedinginan disini dan kau terasa sangat hangat. Apa kau juga bisa membuatku nyaman dengan hal lain?”

Mendengar pertanyaan itu, Anna sudah tahu arah yang dimaksud John. Dia meronta sekuatnya agar terbebas tapi itu justru membuat John semakin senang dan tidak melepasnya. “Istriku liar sekali. Aku jadi bersemangat untuk melakukan hal-hal yang bisa membuat membuat hangat.” John memejamkan mata dan memajukan bibirnya untuk mencium Anna.

Saat itu juga, Anna justru menampar wajahnya hingga membuatnya mengaduh kesakitan. Kesempatan itu juga diambilnya untuk membebaskan diri dan menjauh dari John. “Rasakan itu, dasar dokter mesum! Aku tidak mau menunggumu lagi. Aku lapar!”

Sebelum Anna bergegas turun, John kembali menarik tangannya. Tetapi kali ini dia berlutut dan menatapnya dengan tatapan memohon seperti anak kecil. “Kumohon, jangan tinggalkan aku. Aku hanya merasa tidak enak badan setelah dibangungkan Lili dan Lilac tadi. Apa kau bisa membantuku mengenakan pakaian? Aku janji tidak akan melakukan hal-hal yang aneh. Setelah itu kita sarapan bersama.”

Melihat tatapan John yang memohon, Anna sempat luluh. Sekesal apapun, dia tidak pernah sampai membenci suaminya itu. Kalaupun bertengkar, mereka selalu berdamai dengan cepat. Seperti sekarang, John telah mengeluarkan senjata pemungkasnya dengan menatapnya dengan mata lebar dan ekspresi sedih. Yah, apa boleh buat, diantara semua anak-anaknya, suaminya inilah yang paling manja dan juga pria yang yang dicintainya.

Dengan setengah cemberut, Anna mengambil baju yang tadi dilepas John dan membantunya mengenakannya kembali. Dia sempat melihat kalau pria itu menyeringai senang dan terus memeluk manja. Anna mengabaikan sikapnya itu dan merapikan pirang yang bewarna sama dengannya. Setelah itu, dia mengambil sebuah celana pendek dan memberikannya pada John.

“Kau tidak mau memakaikannya juga? Kita sudah sering bercinta dan saling melihat semuanya satu sama lain. Apa kau masih malu?” Pertanyaan John itu telak mengenai sasaran. Pipi Anna memerah malu dan memalingkan wajahnya ke arah lain. Melihat sikap istrinya itu membuat John tidak tahan untuk menggodanya. Tetapi, wajah anak-anaknya yang kelaparan segera melintas dan membuatnya mengurungkan niatnya.

Dengan satu gerakan mulus, John melepas handuk dan memakai celananya dengan cepat. Selanjutnya, dia meraih pinggang istrinya itu untuk kembali memeluknya dan memberikan ciuman ringan di pipinya. “Jangan cemberut begitu. Kau sudah lapar kan? Ayo, kita ke tempat Alex untuk mengisi perut dan selanjutnya melakukan hal yang membuat lapar lagi.”

Anna langsung mencubit pipi John sampai membuatnya mengaduh kesakitan. Suaminya ini betul-betul seorang dokter mesum! “Ayo cepat! Anak-anak sudah menunggu. Si kembar dan Oliv pasti sudah mengeluh kenapa Daddy dan Mommy nya lambat sekali. Kalau mereka sampai menangis kelaparan, awas saja kau, tidak ada jatah makan siang sampai sebulan!”

Ancaman itu berhasil membuat John takut. Dia mengangguk mengerti dan menggandeng Anna menuju rumah Alex yang merupakan tetangganya. Tempat tinggal mereka sangat dekat, hanya membutuhkan beberapa langkah dan akhirnya sampai ditempat tujuan.

Rumah yang diberikan Alex berada di sebuah kompleks yang terletak di pinggiran kota agar jauh dari kebisingin. Awalnya, mereka mengira kalau tempat tinggal yang diberikan Alex hanya terdapat dua rumah tanpa ada tetangga lainnya dengan banyaknya bodyguard yang berjaga. Tetapi setelah melihat langsung, ternyata mereka tinggal perumahan biasa dengan banyaknya rumah-rumah lain yang berjejer.

Mereka langsung bernafas lega karena mengira Alex akan memberikan sesuatu yang ekstrim seperti rumah yang sangat besar dengan segala hal yang berlebihan. Lebih baik seperti ini, mereka tampak seperti keluarga biasa. Baik Nina dan Anna bisa bersosialisasi dengan ibu-ibu lainnya dan melakukan kegiatan yang disuka.

Begitu sampai di halaman depan rumah Alex, mereka berdua langsung disambut Alice, Checil dan kedua putri kembarnya. Putri Nina yang satu itu memang dekat dengan Anna. Selain karena sering bermain dengan Checil, dia juga suka melihat Anna setiap kali memasak. Tidak jarang mereka membuat kue bersama dan setelah itu dia akan membagikannya kepada orang tua dan saudaranya.

Keempat anak itu membawa mereka berdua ke perkarangan belakang yang luas. Tempat itu telah disulap menjadi ruang makan sementara dengan meja dan kursi yang telah berjejer rapi. Sebenarnya, perabotan itu memang selalu ada disana karena kami sering melakukan barbeque atau acara lain. Daripada repot memasukkan dan mengeluarkannya lagi, lebih baik dibiarkan diletakkan disana.

Diatas meja, selain masakan Anna terdapat juga milik Nina. Mereka berdua selalu mengadakan acara makan bersama dan akan memasak sendiri-sendiri. Saat makan nanti, mereka akan saling mencicipi dan memberi komentar mengenai cita rasanya. Tetapi, bagaimanapun rasanya, semuanya akan terasa nikmat jika disantap ramai-ramai.

“Anna!” Nina dengan riang memanggil sahabatnya itu ketika melihatnya. Dibelakangnya, Charles dan Theo mengikutinya seperti anak ayam yang membuntuti induknya.

Anak-anak mereka berdua memang lucu, seperti saling tertukar satu sama lain

Anak-anak mereka berdua memang lucu, seperti saling tertukar satu sama lain.

“Dimana Lucas dan Oliv? Theo tidak mengganggumu kan?” tanya Anna sambil menatap Theo yang memegangi rok Nina.

“Mereka bersama Alex didalam. Theo tidak nakal kok. Dia justru sangat tenang disini.” Nina mengusap-usap kepala Theo yang membuat anak itu tersenyum.

Selanjutnya, John membungkuk serta membuka tangannya lebar-lebar untuk memeluk putranya satu-satunya. Tetapi Theo menolak dan lebih memilih mengikuti Charles yang masuk kedalam. “Sedihnya. Putraku lebih senang denganmu sedangkan putrimu lebih senang Anna. Apa aku sebegitu tidak menarik di mata mereka?” John mendesah pasrah dengan tingkah anak-anaknya. Tidak ada satupun yang mau berlama-lama dengannya. Setiap kali meminta pelukan ataupun ciuman, mereka juga tidak mau memberikannya. Berbeda kalau Anna yang melakukannya. Mereka pasti akan lari secepat-cepatnya mencari ibu nya itu.

“Itu karena kau berisik dan aneh makanya tidak ada yang mau dengamu. Bukan begitu, Oliv?”

Oliv yang mengikuti Alex dari belakang mengangguk cepat untuk mengiyakannya

Oliv yang mengikuti Alex dari belakang mengangguk cepat untuk mengiyakannya. “Setiap pulang, Daddy bau obat-obatan lalu kalau sudah ketemu Mommy, pasti melompat-lompat seperti monyet dan tertawa aneh.”

John langsung terguncang mendengar penuturun putri terkecilnya itu. Matanya langsung berkaca-kaca dan bergerak memeluk Anna. “Aku dikatai monyet oleh putriku sendiri. Apa aku memang seperti itu dan bau? Kau masih tetap cinta padaku kan?” Ada sesenggukan nyata dalam kalimat John. Kelihatannya, pria itu benar-benar merasa terpukul dibilang seperti itu.

Nina mencubit pinggang Alex sebagai hukuman karena yang pertama memulai. Ketika dia hendak memprotes, niat itu diurungkan kembali begitu mendapat tatapan peringatan dari istrinya.

“Sudah, jangan sedih lagi. Kau terlihat semakin menyedihkan dimata anak-anakmu. Nanti, aku akan memberimu sesuatu setelah ini.” Anna sengaja memelankan suaranya di kalimat terakhir agar tidak terdengar yang lainnya. Ajaibnya, setelah mendengar hal itu, John langsung kembali bersemangat. Wajahnya kembali ceria dengan senyumnya yang seperti orang bodoh, membuat Oliv yang melihat kebingungan. Anna terpaksa menyikut untuk menghentikan tingkahnya itu. “Jangan tertawa seperti itu! Kau membuat Oliv ketakutan.”

John masih tetap dengan senyumannya hanya saja tidak selebar sebelumnya. Setelah itu dia berbalik ke arah Oliv dan kembali melebarkan kedua tangannya. Tanpa berpikir dua kali, anak itu langsung meloncat dan memeluk ayahnya. Tak lupa, dia juga memberikan ciuman di pipi John yang membuatnya semakin bersemangat.

“Kalau begitu, ayo kita sarapan. Daddy sudah lapar.”

Anna dan Nina memanggil anak-anak mereka sedangkan Alex dan John membantu mengambil makanan. Semuanya tampak begitu senang. Keceriaan ada dimana-mana dan kehangatan saling melingkupi satu sama lain. Semua yang buruk telah berlalu digantinkan dengan kenangan indah. Kebahagiaan itu akan terus bertahan bersama dengan cinta di hati.

– END –

Akhirnya selesai juga extra partnya. Hu hu hu … Saya sudah berjuang keras sampai ingin menangis dengan prestasi yang mampu saya tempuh sendiri. Dengan ini, Sassy Main and Playboy Doctor benar-benar selesai dan saya akan rehat panjang untuk mengurusi RL.

Apakah ada sequel lain? Sebenarnya, ada usul pembaca yang sangat menarik. Tetapi mari kita lihat nanti apakah ada ide untuk membentuknya. Saya harap, kedepannya bisa lebih baik dari sekarang. Otak encer terus sampai bisa tamatkan 1 cerita dalam 1 bulan wkwkkw.

Baiklah, terima kasih untuk kalian dan sehat-sehat ya. Sampai jumpa dilain waktu!

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Sassy Maid and Playboy Doctor – EPILOG

9 votes, average: 1.00 out of 1 (9 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

2

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya telah tiba. Setelah dua minggu beristirahat penuh, rencana pernikahan yang sempat tertunda kembali dilakukan. Semua urusan mengenai acara diurus oleh Mike dan Liliana langsung. Namun, persiapan itu tetap ada campur tangan John dan Anna. Sebagai pasangan yang akan menikah, mereka juga ingin berpatisipasi langsung dalam menanganinya.

Seperti rencana awal, pernikahan mereka digelar di pantai dan tempat yang terpilih adalah Pulau Bali. Bukan tanpa alasan kenapa John memilih lokasi itu. Selain terkenal dengan keindahan pemandangan alamnya, tempat itu merupakan situs wisata internasional yang sesuai dengan kriterianya. Setelah menikah, dia bisa langsung melakukan honeymoon dengan Anna tanpa harus berpegian ke negara lain. Di Bali, semua sudah tersedia. Dimulai dari tempat tinggal yang nyaman, makanan enak dan pelayanan maksimal. Pastinya setelah semua ini selesai, dia bisa menikmati waktunya bersama Anna dan calon bayinya.

Usia kehamilan Nina yang mencapai enam bulan juga menjadi salah satu pertimbangannya. John tidak mau Alex menggunakan alasan istrinya yang tengah mengandung besar itu untuk tidak menghadiri acaranya. Kalau sampai sahabatnya itu tidak datang, tentu dia dan Anna akan sedih. Lalu rencana mereka untuk membuat Alex iri dan menggelar ulang resepsi menjadi batal.

Tempat yang dipilih John untuk menggelar acara pernikahannya adalah Imperial Villa Four Seasons Jimbaran. Villa yang merangkap sebagai tempat tinggal itu memberikan semua yang dibutuhkan, mulai dari lapangan yang luas dan panorama yang langsung menghadap ke laut. Ditengah-tengah kolam renang, ada sebuah tempat kecil berbentuk petak yang dihias menyerupai podium. Tiang-tiang yang menyangga ke empat sudut, diikat dengan kain putih dan sebuket bunga kuning ditengahnya. Diatasnya juga terdapat karangan bunga putih yang digantung berbentuk lingkaran dengan utaian kain bewarna senada dibawahnya.

Ke empat tiang lain yang dipajang juga dihiasi serupa. Bedanya, kain putih membungkus penuh badan penyangga hingga warnanya tidak tampak. Selain itu, ada empat buah lentera kecil yang menghiasi tepian jalan setapak sehingga membuatnya terang di malam hari.

Ya, mereka akan melaksanan pernikahan di bawah gemerlapnya bintang-bintang di langit.

Ya, mereka akan melaksanan pernikahan di bawah gemerlapnya bintang-bintang di langit

Meja yang digunakan untuk para tamu pun diberi pencahayaan yang sama. Lentera panjang menghiasi setiap sudut, bahkan digantung diatas untuk menambah kesan berpesta. Berbagai peralatan makan dan piring telah ditata sedemikian rupa. Para pramusaji akan datang menghampiri setiap meja dengan makanan yang disajikan langsung. Makanan akan berganti setiap 30 menit sehingga tamu tidak akan kebosanan dengan menu yang sama.

 Makanan akan berganti setiap 30 menit sehingga tamu tidak akan kebosanan dengan menu yang sama

Seluruhnya sudah disiapkan kedua orang tua John. Mereka berdua hanya memberi sedikit saran kalau ada sesuatu yang tidak sesuai dan menambah sesuatu yang baru. Selebihnya, mereka menghormati keputusan Mike dan Liliana karena ingin membiarkan kedua paruh baya itu bersenang-senang dalam mempersiapkan acara.

John sejak tadi sudah menunggu tidak sabar didepan kamar pengantin wanita. Berkali-kali dia mondar mandir untuk menghilangkan rasa gugupnya tapi itu tidak berhasil. Mendengar sekumpulan tawa diseberang, membuatnya ingin mendobrak masuk dan menculik pengantin wanitanya. Nanti setelah semuanya selesai, dia akan membuat istrinya itu kelelahan sampai pagi dan bangun pada siangnya.

“Rasa gugup membuatmu mengeluarkan keringat terlalu banyak. Kau sangat bau sekarang sampai membuatku ingin muntah.” Alex menutup hidungnya seolah-olah menghirup sesuatu yang tidak tidak sedap. Dia juga menutup separuh wajah Lucas untuk melindunginya dari objek yang tak terlihat.

Dibilang seperti itu, John mengangkat sebelah lengannya untuk mencium sesuatu yang tidak nyaman. Tidak ada aroma aneh seperti yang dikatakan Alex. Tetapi sekarang, dia memang berkeringat. Padahal suhu ruangan sudah dibuat senyaman mungkin agar tidak membuat penghuninya kepanasan. Kelihatannya, kegiatan mondar-mandir tadi membuat tubuhnya gerah dan berkeringat.

“Kalau aku mandi dan bersiap-siap lagi, apa menurutmu akan sempat?” Tidak ada candaan dalam pertanyaan. John justru merasa cemas karena takut penampilannya nanti tidak akan sempurna. Padahal dia sangat menanti hari ini dan telah melakukan berbagai perawatan agar pesonanya tidak tumpul. Kalau karena keringat membuat daya tariknya menjadi jatuh, maka sia-sia saja persiapan yang dilakukannya.

Alex melirik jam tangannya lalu memejamkan matanya seperti berpikir. Kemudian dengan wajah datar, dia menjawab, “Kurasa tidak, mengingat kau memiliki waktu kurang dari setengah jam.”

Wajah John berubah muram. Dia duduk disamping Alex dengan wajah tertunduk. Helaan nafas berat terdengar dari mulutnya seakan-akan sudah pasrah dengan dengan keadaannya sekarang.

Melihat John seperti itu, Alex jadi sedikit merasa bersalah. Tampaknya, ucapannya tadi sangat berpengaruh sehingga membuat sahabatnya itu tampak stress. Untuk memperbaiki suasana hatinya, Alex meletakkan Lucas dipangkuan John dan membiarkan putranya itu bermain dengannya. Benar saja, begitu melihat mata bulatnya yang lucu, John akhirnya tersenyum dan bersenandung riang.

“Jangan khawatir. Malam ini, kau menjadi pengantin pria yang paling tampan. Aku yakin, kau dan Anna akan tampil sempurna dan menjadi pasangan yang paling bahagia. Bukan begitu, Lucas?”

Putranya itu hanya tertawa ketika dipanggil dan membuat John gemas melihatnya. “Benarkah? Benarkah hari ini paman kelihatan tampan? Ha ha ha, Lucas memang pandai membuat paman senang tapi bukan berati nanti bisa menikahi putri paman begitu saja ya. Kau harus membuat paman terkesan dulu baru paman mengizinkan hubungan kalian.”

“Kau yakin sekali kalau anakmu nanti adalah perempuan. Padahal usia kandungan Anna masih muda dan jenis kelamin pun belum bisa diketahui. Apa kau belajar menjadi cenayang dari penduduk lokal?” tanya Alex tanpa menyembunyikan nada mengejek. Soalnya, Anna hamil terlebih dahulu sebelum melakukan program kehamilan. Bisa jadi anak yang dikandungnya adalah laki-laki. Sebenarnya, tidak ada masalah soal jenis kelaminnya nanti. Alex hanya berharap Anna dapat melahirkan dengan selamat dan bisa berteman baik dengan putra putrinya kelak.

“Tentu saja aku yakin! Putriku nanti akan sangat cantik seperti ibunya dan membuat banyak pria patah hati. Adik-adiknya nanti pun akan sangat manis dan semuanya menyayangi ayah ibunya.” John tersenyum semakin lebar sambil memeluk dirinya sendiri.

Sejak dulu, John memang narsis. Tetapi kali ini, sifatnya itu terlihat sangat menjijikkan terlebih dengan senyum mesumnya yang terpampang nyata disana. Alex sampai merebut kembali Lucas dari pangkuannya dan berdoa dalam hati kalau putranya tidak terpapas virus menggelikan darinya.

Sepertinya, kalau anaknya telah lahir, John pasti akan memanjakannya seperti putri atau pangeran kecil dalam dongeng. Alex tidak akan kalah soal itu dan pasti akan lebih dulu memberikan apapun untuk putra-putrinya. Begitu putrinya lahir nanti, dia bisa memamerkannya kasih sayangnya pada John agar membuat pria itu iri.

Tidak lama kemudian, pintu kamar pengantin wanita terbuka dan memunculkan sosok Nina disana dengan perut buncitnya. Meskipun begitu, dia tetap terlihat cantik dengan dress merah berlengan panjang yang memperlihatkan lekuk tubuhnya yang indah. Bagian atas yang terbuka memberikan kesan seksi dan rambut yang digerai membuatnya terlihat dewasa sekaligus anggun bersamaan.

Melihat Nina disana, John langsung beranjak dari kursi sambil membenarkan jasnya yang sudah rapi

Melihat Nina disana, John langsung beranjak dari kursi sambil membenarkan jasnya yang sudah rapi. Dia terlihat gelisah dan semangat secara bersamaan karena sebentar lagi akan melihat calon istrinya.

“Silahkan mempelai pria masuk. Calon pengantin sudah selesai dirias.” Nina membuka pintu lebar-lebar untuk mempersilahkan John masuk.

Tanpa menunggu lebih lama, dia mengambil langkah lebar untuk segera masuk melihat istrinya. Mengabaikan semua orang yang ada disana, padangannya terpaku pada sosok wanita yang menjadi pusat perhatian. Matanya melebar, melihat malaikat yang turun ke bumi yang hanya ditakdirkan untuknya. John sampai lupa bernafas ketika melihat sosok dewi paling cantik tengah duduk dihadapannya. Baju pengantin itu benar-benar sangat pas dan membuat wanitanya terlihat sangat bersinar.

Bukan, bukan karena gaun putih itu

Bukan, bukan karena gaun putih itu. Anna memang sudah mempesona dari sananya dan mengenakan gaun itu membuat kecantikannya bertambah berkali-kali lipat. Rasanya, John ingin berhambur kepada istrinya itu dan melumat bibir ranumnya yang menggoda. Tetapi, dia harus menahan keingiannya itu. Berjam-jamnya lamanya Anna berdadan untuk acara ini, tidak mungkin dia menghancurkannya begitu saja.

Dengan langkah teratur, John  berjalan mendekati Anna dan berlutut layaknya seorang pangeran. Dia lalu mengusap perut datar yang berisi buah hatinya itu dan memberikan ciuman ringan disana. Dari tindakannya itu, sudah diketahui kalau John akan menjadi ayah yang penyayang. “Aku yakin kau sudah bosan mendengar kalimat yang sama. Karena itu, aku akan menggantinya.” John mengambil kotak beludru yang disiapkan untuk pernikahannya nanti dan membukanya. Disana, cincin yang sama digunakannya untuk melamar dulu tergeletak cantik, bersebelahan dengan cincin polos yang nanti akan dikenakannya. “Anna, maukah kau menjadi istriku?”

Lamaran kali ini tidak seperti sewaktu di Central Park. Tidak ada sorak-sorakkan meriah dari penonton yang tidak dikenal. Tidak ada cerita sedih atau tangisan akibat rasa bersalah. Hanya kesunyian yang mengisi mereka. Keheningan yang membuat dada mereka berdua berdetak kencang oleh rasa yang senang yang membuncah.

Yes, i do! Aku dan janin ini menerimamu sebagai suami dan juga sebagai ayah.” Anna berusaha sekuat mungkin untuk tidak menangis. Sebentar lagi pernikahan mereka akan dimulai. John mungkin tidak akan keberatan kalau riasannya luntur tapi Anna tidak mau membuatnya malu.

Ketika Anna ingin membuka mulutnya, John memeluknya lebih dulu dan memberikan ciuman panas. Dia tidak peduli dengan teriakan kaget orang-orang sekitarnya terutama dari Lizbeth karena telah merusak riasannya. Sekarang, dia ingin menujukkan betapa bahagianya dirinya dan meluapkan seluruh rasa cintanya. Malahan, ciuman saja tidak cukup. Jika bisa, John ingin berteriak hingga seluruh dunia mendengarnya saat ini.

“Ayo, segera kita mulai acaranya. Setelah itu, kita bisa melanjutkannya dengan hidangan utama.” Ucapan John membuat wajah Anna memerah, begitu juga dengan semua orang yang hadir diruangan itu.

Anna terpaksa mencubit pipi suaminya itu sampai membuatnya mengaduh kesakitan. “Kau ini pikirannya mesum terus! Apa kau sudah lupa tentang peringatan Julie? Kalau kau seperti ini lagi, malam nanti aku akan tidur dengan Lizbeth!” ancamnya yang membuat wajah John pucat.

Terdengar kekehan dari orang-orang yang mendengar. Sekarang, giliran John yang malu. Soalnya, mana ada pengantin pria yang diusir pada malam pertamanya oleh istrinya sendiri. Dia hanya ingin mengekspresikan rasa cintanya dengan bebas tapi malah membuat dirinya terlihat konyol. Selain Alex dan Nina, awas saja kepada mereka yang nanti akan merasa kasmaran. Giliran John yang akan mengejek kalau mereka memamerkan kemesraan.

“Baiklah, sudah cukup tertawanya. John dan Anna, segera bersiap-siap karena sebentar lagi acara akan segera dimulai.” Mike muncul mencairkan suasana dengan Liliana disampingnya. Kedua pasangan itu tampak senang karena sebentar lagi bisa memamerkan calon cucunya pada Gustav dan Elaine.

Walaupun tidak ada hubungan bisnis, Mike sering berjumpa dengan Gustav dalam perjalanan dinasnya. Dia selalu merasa sebal karena pengusaha kaya itu selalu membanggakan cucunya. Sekarang, giliran Mike yang melakukannya karena sebentar lagi akan memiliki cucu.

John lalu menjulurkan tangannya yang disambut dengan suka cita oleh Anna. Mereka berdua bergandengan menuju altar di iringi oleh tepuk tangan para undangan. Begitu menuju podium, mereka saling mengucap janji dan memakaikan cincin. Suasana menjadi semakin riuh ketika pendeta mengizinkan pengantin pria untuk mencium mempelai wanita. Tanpa menunggu lama, John langsung menyambar bibir Anna dan semakin memperdalam ciumannya ketika wanita itu membalasnya.

 Tanpa menunggu lama, John langsung menyambar bibir Anna dan semakin memperdalam ciumannya ketika wanita itu membalasnya

Now, shall we dance Mrs. Lewis? Apa kau sudah siap membuat sahabat kita cemburu?” tanya John ketika masuk ke acara selanjutnya.

Anna mengangguk sekali dengan senyum tipis di bibirnya. “Tentu. Let’s have this party started.

John lalu menggiring Anna ke lapangan terbuka yang berkeramik putih dengan lampu tipis di setiap tepinya. Begitu tiba ditengah lapangan, Anna mengalungkan kedua lengannya pada leher John sedangkan pria itu memeluk pinggangnya. Mereka berdua pun menari di iringi alunan lagu romantis yang dibawakan oleh sejumlah pemusik lokal.

 Mereka berdua pun menari di iringi alunan lagu romantis yang dibawakan oleh sejumlah pemusik lokal

Tidak sedikit para tamu yang ikut mengitari lapangan dan menari. Beberapa dari mereka juga ada yang hanya menonton sambil menikmati makanan yang dihidang. Semuanya semakin meriah ketika kembang api dinyalakan, menciptakan bunga warna-warni yang indah diangkasa.

Baik John dan Anna, telah melupakan tujuan utama mereka untuk membuat Alex iri. Mereka telah larut dalam euforia kebahagiaan yang tercipta dan berada dalam dunia sendiri. Bagi mereka, hari ini adalah hari yang paling membahagiakan. Perjalanan cinta mereka yang panjang akhirnya menemukan titik terang. Ditambah, seorang anak sebentar lagi akan hadir dan meramaikan kehidupan mereka.

John kembali mencium Anna ketika lagu telah usai. Mengabaikan para tamu yang hadir, pandangannya hanya tertuju pada lawannya, begitu juga sebaliknya. Keduanya saling tertawa dan berpelukan menunjukkan rasa senang. Mereka baru mengurai pelukan, ketika salah satu tamu berseru untuk melempar bunga pengantin. Tentu saja, mitos soal siapapun yang mendapatkan buket pengantin akan mendapatkan kebahagian selanjutnya sangat dipercaya oleh kalangan manapun.

Anna kemudian menatap ke arah John yang dijawab dengan anggukan ringan. Dia kemudian berdiri membelakangi dengan mata terpejam dan buket bunga yang digenggam. John mengamati para wanita yang sudah berkumpul untuk mendapatkan bunga itu. Bahkan, Lizbeth dan Julie berada diantara mereka dengan pandangan berbinar.

Setelah John memberi aba-aba, barulah Anna melempar karangan bunganya. Sorak-sorai dari kerumunan pun terdengar setelahnya. Yang mendapat bunga itu adalah Julie dan wanita itu juga berteriak senang sembari memeluk Lizbeth.

Anna bertanya dalam hati, apakah ada pria yang bisa menaklukkan wanita aneh sepertinya? Sifatnya yang sering membuat orang lain salah paham itu membuat siapapun ragu kalau Julie akan menemukan cinta sejatinya. Tetapi siapapun yang berhasil melakukannya akan menjadi pria yang paling beruntung. Itu karena Julie adalah wanita yang perhatian dan pekerja keras.

Dengan itu, maka semua telah berakhir. Anna dan John akhirnya menggapai kebahagiaan yang didambakan. Kalau memang sudah ditakdirkan bersama, sekeras apapun menolak tetap akan bersatu. Badai pasti akan berlalu dan matahari pasti akan bersinar kembali, menghangatkan seluruh isi hati setiap manusia.

– END –

Hola! Akhirnya tamat juga cerita yang satu ini. Bagi yang tahu wattpad saya, pasti sudah baca end note ini. Yah, waktunya hampir bersamaan antara saya publish disini dan disana kecuali lupa atau error. Ha ha ha.

Jadi, terima kasih sudah baca sampai akhir. Sebenarnya, saya ada baca komen” kalian tapi saya bingung mau balas apa. Apalagi sampai emot senang dan marah-marah wkwkwk.

Semoga cerita ini menghibur kalian semua dan dimanapun kalian, tetap sehat dan semangat!

Extra part nyusul ya. He he he

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Sassy Maid and Playboy Doctor – 25 (End)

9 votes, average: 1.00 out of 1 (9 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

2

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Begitu operasi selesai, John dipindahkan keruangan VIP dirumah sakit agar dapat beristirahat dengan nyaman. Luka dikepalanya itu tidak sampai membuatnya pendaharan. Tetapi, tetap saja dia membutuhkan perawatan dan monitor untuk mengetahui keadaan selanjutnya. Perkiraan dokter, butuh beberapa jam sampai John siuman dan butuh dua minggu sampai keadaannya pulih total.

Anna duduk disamping ranjang, tempat John terbaring lemah dengan perban yang melilit dikepala dan selang infus ditangan. Melihat keadaannya sekarang, Anna merasa ada beban berat yang menghantam dadanya. Ini semua salahnya, karena telah melibatkan John dalam masalah keluarganya. Jika terjadi sesuatu yang fatal padanya, Anna tidak tahu harus bagaimana. Membayangkan hidupnya tanpa kehadiran pria itu membuat semuanya terasa hampa.

Seharusnya, sejak dulu dia mengambil langkah tegas mengenai ayahnya. Begitu Brad menemukannya, semestinya dia menjebloskan ayahnya itu ke penjara atau dibawa ke pusat rehabilitasi untuk merubah sifat jeleknya. Anna tahu kalau Brad memiliki banyak hutang di luar sana. Tetapi dia tidak menyangka kalau Brad berani melukai John bahkan sampai ingin membunuhnya.

Tidak ada hal bagus yang bisa didapatkannya dengan melukai orang lain. Itu hanya membuatnya menjadi kriminal dan sulit menyelamatkan diri. Apapun tujuannya untuk melakukan itu, Anna sudah tidak peduli. Sekarang, ayahnya itu sudah mendekam dipenjara, menanti hukuman yang setimpal atas perbuatannya.

“Kau harus istirahat, Sayang. Kau sudah menangis seharian dan belum makan. Apa kau ingin membuat John sedih karena melihatmu seperti ini?” Julie yang juga berada di kamar itu akhirnya membuka suara. Dia tidak tahan melihat kondisi Anna yang terus bersedih setiap saat. Bersendu pun membutuhkan tenaga dan sekarang, kondisi wanita itu seperti mayat hidup dengan wajah pucat yang menyertainya. Sejak tadi, Anna belum mengisi perut dan pasti staminanya juga hampir habis. Jika dibiarkan begitu saja, cepat atau lambat dia juga akan tumbang.

“Aku tidak apa-apa. Aku disini saja, menunggu John membuka mata. Dia pasti khawatir jika tidak melihatku saat siuman nanti,” balas Anna dengan tangan terulur membelai wajah pria yang dicintainya.

“John akan lebih khawatir melihat keadaanmu yang seperti ini. Ayolah, aku tidak menyuruhmu pulang. Aku hanya memintamu makan di kantin rumah sakit kami dan setelah itu kau bisa beristirahat disini. Aku juga akan menyuruh suster untuk menambahkan ranjang agar kau bisa tidur dengan tenang.”

Walau Julie sudah menjelaskan panjang lebar, Anna masih tetap kukuh dengan pendiriannya. Dia sama sekali tidak bergerak dan duduk disamping John. “Tidak. Aku tidak akan pergi dari tempat ini sampai John membuka mata. Apapun yang terjadi, aku tidak akan pergi!” Untuk kesekian kalinya, mata Anna kembali berkaca-kaca. Sudah beberapa hari ini, perasaannya begitu sensitif. Padahal Julie bermaksud baik telah memperhatikan kondisinya. Cepat-cepat, Anna mengusap matanya dengan kasar sehingga meninggalkan bekas kemerahan disana. “Maaf, aku hanya … “

“Aku mengerti.” Julie memberikan pijatan pelan pada kedua bahu Anna untuk membuatnya rileks. “Jangan menangis lagi. Lihat, matamu jadi bengkak seperti ini. Kemana pengantin cantik favorit kami? Kalau seperti ini, John bisa-bisa kabur setelah melihatmu loh.”

Candaan Julie berhasil membuat Anna tertawa. Sedikitnya, suasana hatinya sudah lebih baik dari sebelumnya. Wanita itu memang  pandai membangkitkan suasana hatinya. “Kurasa, kau benar, aku butuh istirahat. Beberapa hari ini, kepalaku selalu pusing. Suasana hatiku juga berubah-ubah tidak menentu dan tidak selera makan. Mungkin, aku sedang sakit tapi tidak sadar karena sibuk mengurusi pernikahan.”

Mendengar penjelasan Anna, insting dokter Julie langsung bekerja. Dia tersenyum lebar memikirkan kemungkinan yang terjadi padanya. Tetapi dia tidak mau mengambil kesimpulan langsung. Anna harus diperiksa lebih lanjut dulu untuk memastikan kondisi tubuhnya.

“Anna, karena kebetulan kita berada di rumah sakit, bagaimana kalau sekalian memeriksa tubuhmu? Hanya tes darah biasa. Setelah itu makan dan tidur.”

Saran Julie tidak ada buruknya. Dia memang sudah lama ingin memeriksakan diri tapi tidak mau membuat John khawatir. Mumpung sudah ada disini, tidak apa-apa melakukannya. “Baiklah, tapi bagaimana dengan Lizbeth?”

“Jangan khawatir, dia akan tinggal bersamaku sementara. Sekarang, dia pulang untuk mengambil beberapa pakaian untukmu selama menginap disini. Tenang saja, Lizbeth adalah gadis yang pintar dan tidak akan tersesat.”

Anna tersenyum ketika Julie menjelaskannya dengan lucu. Setelah menimang beberapa saat, akhirnya dia beranjak dari kursi dan memberikan ciuman ringan di kening John sebelum meninggalkannya. “Aku akan segera kembali,” bisiknya kecil yang berharap bisa terdengar olehnya.

***

Tengah malam, Anna terbangun dari tidurnya ketika merasa tidak enak pada bagian perut. Sudah beberapa hari ini, perutnya terus bergejolak tidak jelas. Sempat terbesit kalau dia terkena asam lambung tapi mengingat kembali jam makannya yang selalu tepat, seharusnya tidak mungkin terkena maag.

Anna lalu melirik ke arah John yang masih memejamkan mata. Sudah seharian berlalu dan pria itu masih belum menunjukkan tanda-tanda untuk siuman. Menurut dokter yang menanganinya, butuh beberapa waktu agar dia bisa bangun. Tidak mengalami cacat atau komplikasi apapun sudah merupakan keajaiban.

Melihatnya seperti ini, mengingatkan Anna dengan kondisi Alex dan Nina dulu. Sekarang, dia merasakan sendiri bagaimana rasanya menunggu. Rasanya sungguh menyakitkan. Menanti tanpa adanya kepastian dengan berbagai dugaan buruk yang terus melintas. Jika waktu bisa diputar, Anna pasti akan memenjarakan Brad begitu bertemu dengannya dia apartement John hari itu.

Anna lalu bangkit dari ranjangnya dan mendekati tempat tidur John. Dengan gerakan ringan, dia mengelus-elus pipi pria itu kemudian memberikan ciuman ringan disana. Melihat pria itu tidur dengan damai membuatnya lupa dengan rasa tidak nyaman diperutnya. Terbesit di pikirannya untuk lebih dekat dengan pria yang dicintainya. Melihat ranjang itu begitu lapang, seharusnya tidak masalah kalau dia menyelip sedikit disana.

Dengan hati-hati, Anna naik ke atas dan berusaha untuk tidak mengenai selang infus yang terhubung. Setelah mendapatkan posisi yang pas, dia tidur menyamping dan berbaring disampingnya. Mendengar irama detak jantung John membuat Anna merasa lega. Itu tandanya, dia masih hidup dan tengah berjuang untuk sembuh.

Anna lalu mengangkat jemarinya untuk melihat cincin yang John berikan saat melamarnya. Rasanya baru kemarin pria itu memintanya menjadi istri. Walaupun bukan lamaran romantis atau mewah seperti yang diharapkan pada pasangan umumnya, permintaan itu tetap berkesan untuknya. Tidak terasa kalau saat itu sudah beberapa hari yang lalu. Dia mengira semuanya akan berjalan lancar dan sebentar lagi akan merasakan bagaimana rasanya hidup berumah tangga. Tetapi keinginannya itu sulit terpenuhi karena masalah selalu datang silih berganti menghampirinya.

Tanpa sadar, matanya kembali berkaca-kaca. Selain perutnya yang selalu bergolak tidak jelas, perasaannya juga mudah terombang-ambing. Bahkan, kejutan kecil dari John mampu membuatnya gembira bukan kepalang atau menangis sejadi-jadinya. Rasanya dia ingin pria itu menenangkannya sekarang. Memberikan belaian lembut dan bisikan penuh cinta yang menemaninya hingga tertidur.

“Bangunlah, John. Aku membutuhkanmu. Aku merindukan pelukanmu, bisikan manismu dan belaianmu. Aku mencintaimu,” ucapnya terisak.

Seakan-akan doanya terkabul, Anna merasakan sesuatu yang hangat mengusap kepalanya. Dia juga mendengar hembusan nafas teratur yang mengalun ditelinganya. Selain itu, sebuah lengan kekar melingkari pinggangnya, membawanya lebih dekat dalam pelukan. Seolah-olah, John memang sadar dan tengah memeluknya sekarang.

“Tidurlah, Sayang. Wanitaku yang cantik, wanitaku yang liar, aku mencintaimu.”

Mata Anna langsung melebar dan kesedihan yang menguasainya lenyap seketika. Ketika dia mengangkat kepala, pandangannya langsung bertemu dengan sepasang mata bening milik John. Pria itu tengah menatapnya dengan tatapan penuh cinta dan senyuman khas yang menggantung di bibirnya.

“Hai my love, maaf membuatmu khawatir.”

“John!” Anna berseru dengan mata berkaca-kaca memeluknya. Tidak lupa, dia menekan tombol Nurse Call untuk memanggil dokter memeriksanya. “Kau membuatku khawatir! Gara-gara kata terakhirmu, kupikir aku telah kehilanganmu!” Anna menangis sejadi-jadinya setelah mengatakannya. Masih teringat jelas ketika John meminta maaf padanya seoal-olah itu adalah pertemuan terakhir mereka. Karena itu, ketakutan terus menguasainya selama pria itu belum sadar.

“Ssh … jangan menangis.” John menghapus air mata Anna dengan ibu jarinya kemudian menarik wajah wanita itu hingga menempel pada dahinya. “Maaf, seharusnya aku tidak membuatmu khawatir. Kalau aku memberi ciuman, apa kau mau memaafkanku?”

Anna tidak marah. Rayuan yang dilontarkan John, meskipun dibumbui sedikit candaan, Anna tetap menganggapnya serius. Dia mengangguk lemah sebagai jawaban kemudian memejamkan matanya menunggu ciuman dari John.

John sendiri tidak menyangka akan melihat Anna sepasrah itu. Sepertinya, dia sudah membuat wanita itu sangat khawatir hingga membuat matanya membengkak.

Dengan gerakan perlahan, John mendekatkan bibirnya hingga menyentuh pasangannya. Kondisinya memang sedang terluka tapi itu tidak membuat keahliannya menurun. Dia mencium Anna dalam, tanpa setitik hasrat. Hanya kehangatan yang ada disana dan ciuman itu mengungkapkan seluruh perasaannya sekarang tentang betapa bersyukur dirinya masih bisa melihat wanita yang dicintainya.

Begitu nafas mereka telah habis, barulah John menghentikannya secara sepihak kemudian membaringkan Anna didadanya. Keduanya saling mendengar detak jatung yang berdebar satu sama lain. Walau tidak ada kata-kata yang keluar, mereka mengerti perasaan lawan dan merasa damai dalam keheningan itu.

“Aku mencintaimu,” ucap Anna memecah keheningan.

“Aku tahu. Aku juga mencintaimu bahkan lebih besar dari cintaku pada Cicil,” balas John dengan tawa renyah.

Mendengar balasannya, Anna langsung menatap John tidak senang. “Kau membandingkanku dengan mobil? Apa kau pikir aku tidak bisa membencimu setelah ini?” Harga diri Anna sebagai wanita merasa tertantang. Kalau pria itu berpikir dia tidak berani meninggalnya karena ucapan tadi, maka John telah salah kira

“Kau tidak akan bisa.” Dengan sebelah lengannya yang bebas, John memeluk Anna sekaligus memerangkapnya agar tidak kabur. “Karena setiap kali kau lari, aku pasti akan mengejarmu. Setelah itu, aku membuatmu kelelahan dan tidak bisa kabur lagi dariku.” Ada nada sensual ketika John mengatakannya. Sebelah kakinya yang bebas juga digunakan untuk merangkul Anna dan bergerak kesana kemari mencari titik nyaman.

Anna sadar apa yang ingin dilakukan John. Dia segera bangkit dari tidurannya dan menatap pria itu garang. “Kau ini, sudah terluka masih bisa-bisanya menginginkan itu! Sia-sia saja aku mengkhawatirkanmu, dasar pria mesum!” serunya sambil memukul pelan dadanya.

“Aduh!” John lalu merintih kesakitan menyentuh bagian dada dan kepalanya.

Ekspresinya yang nyata membuat Anna panik dan kembali menekan tombol Nurse Call. Padahal, sudah sejak tadi dia memanggil tapi tidak ada satupun yang datang. Apa semua perawat sedang tertidur sehingga tidak ada yang menghampirinya? Padahal yang sedang dirawat adalah direktur mereka sendiri.

Melihat, Anna yang mencemaskannya membuat sebuah senyum tipis di bibir John. Dia tidak sampai hati melihatnya ketakutan seperti itu. Padahal sebenarnya dia sama sekali tidak sakit. John hanya ingin mengerjai Anna sedikit agar membuatnya lebih tenang tapi sepertinya malah kebalikannya.

“Sudah, sudah, aku tidak apa-apa. Temani saja aku tidur sambil memelukmu dan besok pagi semua lukaku akan sembuh.” John membuka kedua tangannya lebar-lebar menunggu Anna untuk tidur disampingnya.

“Tidak. Aku akan memanggil dokter untuk memeriksamu. Sebelumnya juga mereka berpesan agar mengabari kalau kau sudah siuman.”

Sebelum Anna hendak turun dari ranjang, pintu kamar terbuka dari luar dan memunculkan sepasang paruh baya. Dari atribut yang mereka kenakan, sepertinya mereka bukan dokter. Karena tidak mungkin dokter mengenakan jas ataupun gaun pesta mahal untuk memeriksa pasien.

Entah siapa mereka, Anna menangkap sosok Julie yang berdiri dibelakang mereka. Wanita cantik itu terus menatap kearahnya dengan senyuman geli yang tertahan. Tidak tahu apa maksud dibalik sikapnya itu, pandangan Anna lalu tertuju pada amplop coklat yang berada di tangannya. Mungkin amplop itu berisi hasil pemeriksaan John ataupun dirinya tadi.

Berbeda dengan Anna yang keheranan, begitu melihat siapa yang datang John spontan membelalakkan matanya. Dia berusaha untuk bangkit namun rasa sakit yang nyata mendera kepalanya hingga membuatnya merintih kesakitan.

“John!” pekik Anna ketika melihat John menahan sakit.

Spontan, wanita paruh baya yang mengenakan gaun mahal itu langsung mendekati mereka. Dia memperhatikan seluruh wajah John, menyentuh perbannya kemudian memeriksa pupil mata. “Hmm … dia baik-baik saja. Hanya sedikit kaget melihat kami. Biarkan dia istirahat beberapa hari agar kondisinya pulih lebih cepat.”

Cara wanita itu menjelaskan seperti seorang dokter yang ahli. Anna sampai tidak berhenti menebak-nebak siapa wanita dihadapannya ini.

Mom, kenapa bisa ada disini?”

Pertanyaan John, sontak membuat Anna terkejut. Dia tidak menyangka akan bertemu calon ibu mertuanya dalam keadaan seperti ini.

“Memangnya aku butuh persetujuanmu untuk datang kemari? Kau ini, mau menikah pun tidak mengabari kami. Lihat, sekarang kau harus mendekam di rumah sakitmu sendiri. Apa kau tidak malu?” Ibu John terus mengomel, tidak memberikannya kesempatan untuk membalas. Setelah itu, dia melihat ke arah Anna dengan senyuman hangatnya. “Jadi kau yang akan menjadi menantu kami? Perkenalkan, aku Liliana Blake Lewis, ibu John. Terima kasih telah mencintai putraku dan menjadi bagian dari keluarga besar kami.”

Anna bisa melihat ada ketulusan yang nyata pada Liliana. Tidak ada pandangan merendah ataupun meremehkan. Liliana benar-benar telah menerimanya.

“Aku Michael Lewis, ayah John. Kau bisa memanggilku Mike, senang bertemu denganmu.”

Begitu Mike memperkenalkan diri, Anna baru menyadari kalau John mewarisi genetik dari ayahnya. Bukan hanya wajah tapi kharismanya pun sama. Soal senyum khasnya yang selalu ditampakkan, sepertinya merupakan gabungan dari mereka berdua yang senantiasa ramah kepada siapapun. Sewaktu lajang, mereka berdua pasti menjadi incaran banyak lawan sampai akhirnya bersatu.

“Ternyata putraku pandai memilih pasangan. Aku dengar dari Julie, selain cantik kau juga mampu mengendalikan John yang liar ini. Padahal anak ini sangat susah diatur dan hanya mau mendengarkan Alex. Kupikir dia seorang Gay karena selalu lengkat dengannya. Tetapi sekarang, aku tidak perlu khawatir lagi. Karena Alex sudah menikah, begitu juga dengan kalian,” ucap Mike terkekeh seraya merangkul Lilian.

Mom, Dad, kenapa kalian bisa ada disini?” ulang John lagi yang keheranan dengan kehadiaran mereka berdua. Pasalnya, kedua orang tuanya itu sangat sibuk. Seingat John, mereka berdua sedang berada di negara lain untuk mengikuti asosiasi kedokteran sekaligus berlibur.

“Hmph! Memangnya aku tidak boleh menemui calon menantuku sendiri? Aku juga tidak ingin ketinggalan saat-saat cucuku lahir nanti,” balas Mike.

Pertama, John membantu tidak mengerti. Begitu otak jeniusnya bekerja, dia langsung duduk di atas ranjang dan menoleh ke arah Anna. “Sayang, kau hamil?”

Sekarang, giliran Anna yang kebingungan. Kemudian, tanpa sadar, dia menyentuh perutnya sendiri yang membuat senyuman ketiganya semakin lebar.

“Ahem!” Julie sengaja terbatuk kecil agar mendapatkan atensi mereka. “Anna belum mengetahui soal kehamilannya ini. Hasil tes darahnya sudah keluar dan sekarang dia positif hamil. Untuk mengetahui umur janin, perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Selamat, kalian berdua sudah menjadi orang tua.”

Julie menyerahkan amplop coklat yang lantas disambut oleh John. Pria itu membaca setiap baris kalimat yang tertawa kemudian berhambur ke pelukan Anna. Gara-gara terlalu senang, dia sampai mengabaikan rasa sakit akibat jarum infus yang terlepas paksa. Kantuk yang tadi sempat menderanya pun ikut menghilang digantikan dengan euforia gembira yang luar biasa.

I love you, i love you, i love you! Terima kasih sudah memberiku hadiah yang luar biasa. Aku berjanji akan membuat kalian menjadi keluarga yang paling bahagia!”

Anna masih belum seutuhnya mencerna apa yang terjadi. Rasanya, semua berlalu begitu cepat hingga tidak sadar kalau perubahan suasana hatinya karena ada sebuah nyawa yang berkembang diperutnya. Untuk kesekian kalinya, Anna menangis. Tidak seperti sebelumnya, tangisnya kali ini adalah tangis bahagia. Anna tidak menyangka, setelah sekian banyak cobaan yang menimpanya, keinginan sejak dulu yang diimpikan akhirnya terkabulkan.

“Jangan menangis, Sayang. Aku tidak mau wajah cantikmu menjadi buruk karena ini. Apa kau bisa mendengar, anak kita memintamu untuk tersenyum. Dia bilang, dia ingin melihatmu tertawa bersama ayahnya yang tampan,” ucap John dengan nada jenaka yang dibuat-buat.

Setelah John mengatakannya, Anna langsung tertawa. Dia merasa menjadi wanita yang paling beruntung karena dicintai olehnya. Untuk sekarang dan seterusnya, Anna akan menitipkan masa depan dan juga kebahagiaannya pada John. Dia yakin kalau pria itu mampu melakukannya dan tidak akan mengingkari janjinya.

“Oh ya, ada satu kabar lagi yang belum kusampaikan,” ucap Julie yang kemudian mendapat atensi dari mereka berdua. Lalu, dia mengeluarkan sebuah kunci dan memberikannya pada Anna. “Sebagai hadiah atas pernikahan kalian, Alex memberikan sebuah rumah kepada kalian. Rumah itu bersebelahan dengan tempat tinggal Alex yang nantinya akan menjadi tetangga kalian.”

Anna menatap kunci itu tidak percaya. Dia tidak menyangka kalau Alex akan memberikan hadiah semewah itu pada mereka. Walaupun sudah berkeluarga, Anna memang tidak ingin tinggal berjauhan dengan Nina dan selalu berhubungan dengannya. Jika bisa, dia ingin anak-anaknya berteman baik dengan anak dari sahabat.

That’s great! Kau dan Nina bisa terus bertemu dan saling menemani agar tidak bosan. Sebagai ucapan terima kasih, resepsi pernikahan kita harus lebih meriah dari mereka! Aku akan membuat Alex iri sampai dia ingin mengulang acaranya lagi!” John begitu bersemangat mengatakannya ketika mendapat kesempatan untuk melampaui sahabatnya itu. Alex sudah menang banyak darinya dan kali ini gilirannya untuk merasakan kemenangan itu.

“Aduh!” John mengaduh kesakitan ketika Anna mencubit pipinya yang sudah tidak kenyal itu. Walaupun tenaga calon istrinya itu tidak begitu kuat, melihatnya tersenyum tipis seperti itu membuatnya merinding.

“Aku setuju denganmu. Buat acaranya semeriah mungkin agar Alex ingin melakukan pernikahan ulang. Setelah itu, ayo buat resepsi ganda bersama-sama! Aku ingin sekali menggelar acara bersama sahabat terbaikku!”

John tersenyum lebar, sepakat dengan keputusan Anna. Bayangan wajah iri Alex dan acara yang dilakukan bersama-sama sudah berputar-putar dikepalanya. Walaupun kekayaannya tidak sebanyak Alex, dia akan bekerja keras agar keingian itu terwujud.

“Jangan khawtir, Anna Sayang. Mommy dan Daddy akan membantu kalian membuat acara yang meriah. Bukan begitu, Mike?” tanya Liliana dengan senyum cerah.

“Tentu saja! Jangan kira kalau aset kita kalah dengan keluarga Testa. Aku akan menujukkan pada Gustav kalau pernikahan kalian tidak akan kalah meriah dengan Alex dan aku juga akan segera menimang cucu,” tawa Mike yang diikuti semua orang.

Hari ini, mereka semua berbahagia. Hati yang dulunya terluka, kini telah sembuh dan menemukan belahan jiwanya. Sebuah kehidupan baru yang tumbuh, semakin menerangani suasana dan memberikan kehangatan diantara mereka. Lembaran baru sudah dibuka, menunggu diisi dengan masa depan yang indah.

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Sassy Maid and Playboy Doctor – 24

7 votes, average: 1.00 out of 1 (7 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

2

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Hari itu, Brad mengunjungi kembali apartement tempat terakhir kali bertemu dengan Anna. Disana, dia bertanya dengan sopan mengenai putrinya itu yang dijawab dengan tatapan sinis. Tentu saja, mereka semua sudah tahu kalau dia adalah ayah yang tak diakui dan membuat dirinya sendiri tampak mengenaskan. Setelah memohon beberapa kali, barulah dia mengetahui kalau Anna pergi bersama suaminya menuju rumah sakit. Begitu mendapatkan info itu, Brad langsung memunculkan sifat aslinya yang kasar dan memarahi resepsionis itu. Sebelum satpam datang untuk mengusirnya, Brad berhasil kabur terlebih dahulu dengan membawa sebotol wine yang dicurinya dari Bellboy yang lewat.

Begitu lolos dari kejaran, Brad langsung menuju rumah sakit yang dimaksud. Tidak sulit untuk mencarinya, terlebih rumah sakit yang dikatakan merupakan tempat yang sangat terkenal di New York. Banyak orang sakit yang berbondong-bondong kesana untuk mendapatkan perawatan. Meskipun milik swasta, biaya perawatan disana sangat terjangkau ditambah dengan fasilitas yang mumpuni membuatnya jadi pilihan nomor satu.

Selama perjalanan, Brad tidak bisa menahan godaan untuk minum. Wine yang dibawanya merupakan salah satu jenis anggur merah terbaik, yaitu Cabernet Franc. Walaupun sudah dibuka, isi dari wine itu masih banyak, bahkan lebih dari setengah botol. Brad tersenyum senang kepada siapapun orang bodoh yang telah membeli alkohol mahal ini tapi tidak mampu menghabiskannya. Dia tidak berterima kasih, justru merasa dirinya memang layak mendapatkan minuman mahal itu dan menertawakan orang kaya yang hanya bisa menghambur-hamburkan uang.

Saat membuka tutupnya, aroma khas anggur yang kuat langsung memenuhi indra penciumannya. Tanpa menunggu lama, Brad langsung mencicipi wine itu dan menikmati rasa yang memenuhi seluruh indranya. Mungkin karena kondisinya yang sedang terluka atau kadar alkohol yang tinggi, Brad merasa mabuk dalam satu kali minum. Terbuai dengan rasa manisnya, dia menjadi lupa dengan tujuan utamanya dan berjalan linglung. Bahkan, Brad lupa untuk mampir di rumah sakit dan melewati tempat itu begitu saja.

Sesekali Brad tertawa, membayangkan dirinya yang sudah terbebas dari hutang yang mencekik dan melarikan diri ketempat baru dengan uang yang berhasil ditipunya. Bertemu dengan Anna benar-benar memberikanya keuntungan yang tidak disangka-sangkanya. Coba saja putrinya itu mau memberikannya uang, tentu dia tidak perlu sampai harus menjualnya. Kalau saja suaminya yang kurang ajar itu menghormatinya, dia juga tidak perlu memisahkan mereka dan menikmati bagaimana rasanya dilayani oleh anak dan menantu.

Mereka juga harus memberinya uang dan membiarkannya melakukan hal yang disuka. Kalau diingat lagi, menantunya itu sepertinya memiliki banyak uang sehingga bisa tinggal di apartement mewah itu. Brad yakin, kalau suami Anna itu memiliki banyak uang yang bahkan tidak bisa dihabiskan seumur hidupnya. Kalau mereka tidak bisa menggunakan uang dan hanya menyimpannya begitu saja, tidak ada salahnya kalau dia meminta dan menggunakannya untuk keperluannya sendiri bukan?

Tawa Brad semakin keras dengan angan-angannya yang terlalu jauh. Dia tidak sadar kalau tindakannya itu membuatnya terlihat aneh dan membuat orang-orang menjauhinya. Rasa mabuk yang menguasi membuatnya tidak peduli dengan sekitarnya. Berbeda dengan biasanya yang akan langsung menghujat, saat ini dia benar-benar sudah lupa dan terlena dengan khayalannya sendiri.

Brad tidak sadar, kalau langkahnya telah membawanya kesalah satu jalan teramai di kota New York. Disetiap kiri dan kanan, terdapat berbagai macam toko yang dibuka disana. Brad berhenti disalah satu butik yang memajang beberapa manekin berpakaian gaun pengantin. Melihat patung-patung itu membuatnya teringat dengan janjinya dulu untuk membahagiaan wanita yang telah mencintainya dengan sepemnuh hati. Ya, wanita itu adalah Rose Wright, ibu Anna sekaligus wanita bodoh yang menjadi budaknya selama bertahun-tahun.

Sebenarnya, Brad sungguh-sungguh mencitai Rose. Terlebih ketika mengetahui wanita itu tengah mengandung buah hatinya. Saat itu, meskipun keadaannya tengah sulit, Brad melakukan semua yang dia bisa agar bisa menikahi Rose. Bahkan dia berjanji pada dirinya sendiri untuk lebih berusaha agar keluarga kecilnya bisa hidup bahagia. Di masa itu, Brad juga berjanji pada Rose untuk menggelar acara pernikahan dan membuatnya merasakan bagaimana rasanya menjadi pengantin sesungguhnya. Tetapi semua itu menjadi janji kosong yang tidak akan pernah bisa dipenuhi.

Tidak memiliki pekerjaan dan beban hidup yang berat membuatnya stress dan melampiaskannya dengan minum-minum. Dia yang dulunya ramah dan penyayang menjadi seseorang yang mudah marah dan mabuk-mabukkan. Brad bahkan tidak segan-segan memukul Rose jika dia tidak melakukan seperti yang dimintanya. Dia juga memukul Anna, putrinya yang masih kecil itu karena menganggapnya sebagai beban.

Semuanya bertambah buruk ketika dia memiliki kebiasaan baru, yaitu berjudi. Satu kemenangan kecil membuatnya ketagihan hingga sekarang. Pemikiran bisa menjadi kaya membuatnya bertaruh dalam jumlah besar meskipun berujung kekalahan. Meskipun gagal, berulang kali dia mencoba yang membuatnya terlilit hutang yang semakin besar. Karena judi, dia kehilangan segalanya. Rumahnya dijual untuk membayar dan Rose pergi meninggalkan dirinya dengan membawa putri kecil mereka.

Hingga sekarang, Brad tidak pernah berpikir untuk bertemu dengan Rose atau putrinya lagi. Melihat Anna bahagia bersama suaminya, membuatnya merasa iri karena tidak sanggup memberikan semua itu kepada Rose. Anna juga kelihatan baik dan tampak memiliki segalanya yang membuatnya berpikir kenapa putrinya itu tidak mencarinya. Padahal dia sendiri tidak pernah memikirkan bagaimana nasib keluarganya itu dan sekarang, dia justru berharap pada belas kasihan mereka.

Matanya menyipit ketika menyadari sosok pria yang dikenalnya. Dia adalah pria yang mengaku sebagai suami Anna. Pria itu tengah berdiri memunggunginya sambil memilih jas sehingga tidak melihatnya. Brad langsung teringat dengan rasa sakit diwajah ketika dihajar olehnya. Matanya menatap nyalang, berpikir untuk memberi pelajaran pada pria yang telah memukulnya itu.

“Sial! berani-beraninya kau memukul wajahku!” gumamnya sendiri dengan tangan terkepal.

Seolah-olah iblis tengah membantunya untuk membalas dendam, dia melihat sebuah tongkat kayu yang terletak disamping butik itu. Tanpa berpikir panjang, dia langsung mengayunkannya hingga membuat kaca tipis itu hancur berkeping-keping. Anna adalah putrinya dan anaknya itu tidak bisa menikah dengan siapapun tanpa seijinnya. Tidak ada seorang pun yang bisa menghalanginya tujuannya, termasuk pria yang mengaku sebagai suaminya itu.

Begitu mendapat kesempatan, Brad tidak ragu menyerang John dan tepat mengenai kepalanya. Serangannya itu langsung membuat darah merah mengalir disana. Tidak berhenti sampai disitu, dia melanjutkan dengan menghantam punggungnya hingga membuatnya jatuh tersungkur. Barulah ketika dia tidak bisa melawan, Brad menyeringai puas.

“Kau tidak berhak memiliki Anna! Dia putriku dan aku bebas melakukan apapun padanya. Ini adalah balasan karena kau telah menghajarku!”

Brad tertawa puas sebelum kembali mengangkat tongkat kayunya tinggi untuk memberikan serangan terakhir. Tatapannya semakin liar dengan senyum jahat yang melengkung dibibirnya. Tujuannya sekarang sudah berubah, dari memberinya pelajaran menjadi berniat untuk membunuhnya.

Ya, dia akan membunuh pria yang tidak berdaya itu dengan kedua tangannya sendiri dan merebut Anna darinya.

Dor!

Sebuah peluru langsung menembus bahu Brad dan membuat tongkat kayu dalam genggamannya terlempar. Matanya terbelalak dan melihat pundaknya yang mengeluarkan cairan merah hangat. Menyadari rasa sakit akibat peluru yang bersarang, dia mengerang sekeras-kerasnya dan menjauh dari targetnya. Kesempatan itu diambil polisi untuk mendekat dan meringkusnya.

Akibat tembakan itu, Brad sadar dari mabuknya. Dia meronta-ronta karena sadar telah membuat kesalahan yang mengacaukan seluruh rencananya. Dari sudut matanya, dia menangkap seorang pria berpakaian hitam yang dikenalnya sebagai anak buah Jack berdiri diseberang jalan. Brad sadar, kalau dirinya sedang diawasi agar tidak kabur dan karena dia telah merusak semuanya, kabar ini pasti akan langsung terdengar olehnya dan Jack pasti tidak akan melepaskannya.

“Lepaskan aku! Pria ini menculik putriku! Aku hanya ingin menyelamatkannya!” seru Brad yang sempat menggoyahkan polisi yang menangkapnya. Tidak ada cara lain, kalau ingin menyelamatkan nyawanya, dia harus membuat skenario bagus agar mereka mempercayainya. Tidak ada yang bisa membantah apalagi pria yang mengaku sebagai suami putrinya itu telah terkapar tidak berdaya. Ini adalah usaha terakhirnya untuk melarikan diri sekaligus membawa Anna bersamanya.

“John!” Anna tiba-tiba muncul dan langsung berhambur kehadapannya dengan histeris. Tangisnya pecah melihat pria yang dicintainya terluka dan hampir pingsan ketika mendengar perkataan terakhirnya. Kalau tidak ada Lizbeth disampingnya, dia pasti tidak akan tetap bisa mempertahankan kesadarannya. Barulah Anna sedikit merasa lega ketika Julie memberikan penanganan pertama dan menghubungi pihak rumah sakit.

“Anna!”

Mendengar namanya dipanggil, wanita itu menoleh ke asal suara dan menemukan sosok Brad yang sama menyedihkan dengan terakhir dilihatnya. Tidak, justru sekarang, ayah kandungnya itu lebih mengenaskan dari sebelumnya. Ada banyak memar di wajah dan juga bekas luka tembakan. Bahkan keceriaan yang muncul ketika melihatnya hanya sebuah kebohongan belaka.

Tanpa menunggu lama, Anna langsung bangkit dan berjalan menuju ayahnya itu dengan tangan terkepal.

“Syukurlah kau tidak apa-apa. Daddy mengkhawatirkanmu. Nah, ayo kita pergi sebelum orang jahat itu me – !”

Sebuah tamparan keras mendarat pipinya, meninggalkan rasa panas yang menyengat disana. Anna berusaha untuk tidak menamparnya lagi dan mengepal tangan erat. “Kenapa kau melakukannya?! Apa kau tidak puas menyiksaku dan ibu? Apa kau tidak bisa membiarkan kami bahagia? Kenapa kau begitu kejam pada kami?!”

Pertanyaan Anna yang bertubi-tubi itu membuat Brad tampak terpojok. Secara tidak langsung, itu membuatnya tampak sebagai orang jahat disini. Karena pernyataan Anna yang berbeda, genggaman polisi yang tadinya mengendur kembali menguat. Terpaksa, Brad harus merubah rencananya.

Semisal dia tidak bisa membawa putrinya itu, dia harus keluar dari sini hidup-hidup. Persetan dengan anak buah Jack yang mengikutinya. Persetan dengan tatapan rendah orang-orang yang tertuju padanya. Persetan juga dengan sikap kurang ajar Anna yang telah menamparnya. Untuk sekarang, dia akan merendahkan diri dan meminta pengampunan darinya. Begitu mereka lengah, dia akan menggunakan kesempatan itu untuk kabur.

“Putriku, kau salah paham. Daddy tentu ingin kau bahagia tapi tidak dengan pria itu! Dialah orang jahat disini, bukan Daddy. Please, percayalah pada Daddy,” ucap Brad dengan wajah memelas.

Tetapi hal itu tidak berpengaruh padanya. Anna justru menatapnya tajam dan membuatnya tidak bisa berkutik. “Yang jahat disini adalah kau! Kau adalah pria brengsek yang merebut kebahagianku! Sudah cukup kau membuat hidup ibu hancur! Aku tidak akan mengulangi kesalahan yang sama dengannya dengan menutup mata semua perbuatanmu! Hari ini, aku akan membuatmu menyesal karena telah melukai pria yang kucintai! Polisi, tahan dia karena telah melukai suamiku!”

Brad sempat melawan ketika Anna sama sekali tidak melunakkan hatinya. Dia meraung, memberontak, bahkan menggigit lengan salah satu polisi ketika ingin memborgolnya. Barulah ketika tangannya terkuci, Brad mengucapkan sederetan sumpah serapah yang ditujukan pada Anna. Dia tidak terima kalau dirinya akan dipenjara begitu saja. Polisi terpaksa memukulnya untuk membuatnya diam lalu menyeretnya kedalam mobil.

Meskipun telah dipenjara, bukan berati tempat itu aman. Jack memiliki koneksi disana yang membuat bisnisnya tetap lancar. Bisa saja setelah menerima kabar ini, dia sudah menyiapkan sesuatu disana. Kalau dia benar-benar dipenjara, maka tamatlah riwayatnya.

“Anna, kumohon, maafkan Daddy. Daddy tidak akan mengulanginya lagi. Daddy janji akan berubah dan menjadi ayah yang baik untukmu. Kumohon, tolonglah Daddy.”

Mendengar kalimat penuh permohonan itu, Anna menutup mata. Dia sama sekali tidak menggubris karena tahu itu adalah omong kosong belaka. Kalimat itu adalah kalimat yang sama diucapkannya berkali-kali kepada Rose tetapi tidak pernah terwujud. Anna tidak akan terbuai dengannya, terlebih Brad hampir membunuh John.

Melihat tidak ada tanggapan dari Anna, Brad meronta sejadi-jadinya. Polisi telah memaksanya masuk kedalam mobil, hanya tinggal mengirimnya kedalam penjara. “Kau tidak bisa melakukan ini padaku, Anna! Aku ayahmu! Kau tidak bisa hidup tanpaku!” raungnya yang kemudian menghilang dibalik kaca.

Anna hanya menatap kepergian mobil polisi itu dengan padangan nanar. Setelahnya, dia beralih ke arah lain ketika mendengar suara mobil ambulans yang datang. Dia segera berlari menghampiri John yang sudah berada di dalam dengan mata berkaca-kaca. Anna ingin berada disampingnya, menemani pria itu. Tetapi Julie mencegahnya dan menyuruh Lizbeth untuk menahannya.

“Jangan khawatir, aku akan berusaha menyelamatkan John. Sekarang, tenangkan dirimu dulu baru menyusul ke rumah sakit ya.”

Setelahnya, Julie memberi aba-aba untuk menutup pintu. Mobil ambulans itu lalu bergerak, meninggalkan Anna ditempat dengan doa yang mengirinya.

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Sassy Maid and Playboy Doctor – 23

8 votes, average: 1.00 out of 1 (8 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

2

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Sekumpulan orang berbaju hitam, terlihat puas menganiaya seorang seorang pria lemah tak berdaya. Meskipun permintaan maaf telah berulang kali dilontarkan, mereka seolah-olah tuli dan terus memukul pria malang itu hingga babak belur. Hingga sampai pria itu jatuh tersungkur dan tidak bisa berkata apa-apa lagi, barulah mereka melepaskannya.

Seorang pria paruh baya yang mengenakan setelan mahal melangkah mendekati pria kumuh itu dengan rokok yang tersulut diantara bibirnya. Dia adalah bos dari orang-orang berbaju hitam itu dan salah satu orang yang sangat ditakuti diseluruh New York. Itu karena dia adalah pemimpin dari organisasi gelap yang memperdagangkan manusia dan juga senjata. Selain itu, dia juga dikenal sebagai rentenir kejam yang memiliki banyak kelab malam.

Disemua bisnis kelab yang dimilikinya, pasti ada judi yang digunakan untuk menjerat orang-orang bodoh yang mau menghamburkan uangnya sia-sia. Metodenya selalu sama, membuat mereka menang dalam jumlah kecil lalu menjebak mereka dalam hutang yang besar. Setiap pelanggan yang kalah, dia akan memberikan pinjaman dengan bunga rendah. Banyak dari mereka yang tergiur dan meminjam dalam jumlah besar, berpikir kalau menang maka semua bisa dikembalikan. Tetapi mereka tidak tahu, kalau ada jebakan lain yang disembunyikan disana dan siap menerkam.

Dari semua pelanggan yang meminjam, ada sedikit banyak yang berhasil mengembalikan pinjaman berserta bunga dan tidak kembali lagi. Hanya orang-orang bodoh yang tersisa dan terus mengulang kesalahan yang sama hingga kehilangan segalanya. Seperti pria malang yang sekarang terkapar dibawahnya ini. Dengan ujung sepatunya yang lancip, dia membalikkan tubuh itu hingga menampakkan wajahnya yang mengenaskan. Kemudian, dia menghisap dalam-dalam rokoknya itu lalu menghembuskan nafas yang bercampur asap kemudian menghilang di udara.

“Brad, Brad, Brad. Alasan apa lagi yang kau miliki kali ini, hmm? Kau sudah repot-repot membuatku menemuimu secara langsung. Apa tidak ada balasan atas kunjungan hari ini?” Pria itu sengaja membuang abu rokonya diatas wajah Brad. Tidak sampai berhenti disitu, dia juga mematikan rokoknya dengan meletakkan diatas tubuh dan menginjaknya.

Jeritan kesakitan terdengar setelahnya. Brad berguling-guling ditempatnya dengan mata terbelalak lebar seolah-olah terbangun paksa dari tidurnya. “Aku … tidak punya uang. Kumohon … berikan aku waktu. Aku janji … akan segera membayar.”

Merasa tidak puas dengan jawaban yang didengar, pria itu lantas menendang perut Brad hingga membuatnya muntah. Dia melihat jijik sepatunya yang terkena bekas muntahan itu dan menyuruh anak buahnya mengambil sepasang yang baru. “Kau lihat bagaimana aku mengganti sepatuku tadi? Kau sama seperti itu. Kalau tidak bisa membayar, kau bisa menggantinya dengan yang lain seperti organ tubuhmu.”

Brad langsung melotot ngeri. Cepat-cepat dia berlutut dan memohon ampun pada pria dihadapannya. “Jack, kumohon … beri aku kesempatan satu kali lagi! Aku … aku … sudah menemukan putriku! Aku … aku akan meminta uang padanya! Dia pasti mau membantuku karena aku adalah ayahnya!”

Pria bernama Jack Sullivan itu menyipitkan matanya seperti rubah karena mendengar sesuatu yang menarik. Tetapi dengan lihai dia menyembunyikan ekspresinya karena perkataan Brad sulit untuk dipercaya. Pria dihadapannya ini salah satu pelanggan terburuk yang dimilikinya. Tentu saja ini juga bukan janjinya yang pertama kali. Sudah beberapa kali dia mengatakan hal yang sama dan sudah beberapa kali pula di lepas dari kejarannya.

“Apa kau yakin putrimu akan memberimu uang? Bagaimana kalau dia tidak mau membantumu?” tanya Jack memastikan.

“Dia pasti akan membantuku! Kalau tidak … kalau tidak …” Sejenak, Brad kehilangan kata-kata untuk menjawab. Namun dia teringat dengan rencana untuk menjual Anna sebagai mesin pencari uangnya. “Kau bisa menjual putriku sebagai bayaran atas hutang-hutangku! Dia sangat cantik dan juga pintar. Aku yakin pasti banyak pria yang menginginkannya!” sambungnya menggebu-gebu.

Jack tidak bisa menahan dirinya untuk tidak menyeringai. Brad Collins, pria ini benar-benar lelaki busuk diantara korbannya. Manusia sepertinya memang sudah rusak dari akarnya. Sebenarnya, banyak orang-orang yang sama dengannya tapi banyak dari mereka masih berpikiran waras untuk tidak mengorbankan keluarga. Ini memang bukan pertama kali baginya bertemu dengan keadaan seperti ini. Situasi ini, selalu saja memperlihatkan suatu tontonan yang menarik.

Mungkin, ada baiknya dia memberi sedikit kelonggaran pada Brad. Toh, dia juga tidak akan membiarkan pria itu begitu saja. Dia akan menempatkan beberapa bodyguard untuk mengawasi dan melaporkan pengembangannya. Kalau apa yang dikatakan Brad benar soal putrinya, dia bisa mencicipnya sedikit sebelum menjualnya untuk menjadi budak pemuas nafsu ataupun mainan para konglomerat.

“Baiklah, aku memberikanmu waktu satu hari. Ingat, hanya satu hari! Besok malam, kalau kau tidak bisa membayar hutangmu, bawa putrimu sebagai bayaran. Kalau dia secantik yang kau katakan, aku akan melunaskan semua hutangmu.”

Brad langsung bersujud berkali-kali mengucapkan terima kasih. Satu hari adalah waktu yang sangat banyak untuknya. Dia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini dan memanfaatkannya sebaik-baiknya.

Anna sudah jelas tidak akan memberikannya uang dan dia pasti bersama pria yang mengaku suaminya itu. Dalam benaknya, sudah tersusun rencana untuk menyelesaikan masalahnya ini. Pertama, dia akan menculik Anna dan meminta sejumlah uang tebusan pada suaminya. Setelah itu, dia akan menjual putrinya pada Jack. Mengingat selera pria tua bangka itu, Anna pasti akan terjual sangat mahal, belum lagi dengan rambut pirang aslinya yang merupakan tipe favoritnya. Kemudian, dia bisa menyelamatkan diri dengan uang tebusan yang didapat. Dia bisa pindah kota dan bersembunyi sambil menghamburkan uang yang didapat.

Brad menyeringai lebar memikirkan rencana itu. Sekali lempar, dua tiga pulau terlampaui. Selain hutangnya lunas, dia mendapatkan uang dan menyelamatkan nyawanya sendiri. Ya, asalkan dirinya masih hidup, masih ada kesempatan untuknya. Dia akan mencari wanita bodoh lain yang mau bekerja keras untuknya dan memberikan apapun yang dia minta. Dengan begitu, dia akan bertahan dan terus melakukan apa yang diinginkan.

***

Sudah 30 menit lamanya, Anna memandang gaun-gaun putih yang dipajang

Sudah 30 menit lamanya, Anna memandang gaun-gaun putih yang dipajang. Semua gaun itu sangat indah sehingga dia kesulitan memilih. Setiap kali telah menetapkan pilihan, selalu saja ada gaun lain yang lebih bagus dari opsi sebelumnya. Apa boleh buat, ini adalah resiko karena tidak mau memesan gaun khusus. Anna ingin mengetahui bagaimana rasanya mencari gaun pengantin pilihannya. Lagipula, sangat boros jika harus membuat padahal hanya dipakai sekali. Memang dia bisa menyimpannya seperti gaun pernikahan Nina yang bisa diberikan kepada putrinya nanti.

Walau sudah dibantu Julie dan Lizbeth, Anna tetap saja kesulitan mencari gaun yang cocok dengannya. Padahal butik ini merupakan salah satu tempat ternama dengan berbagai pilihan gaun dan juga desainer hebat. Karena banyak jenis-jenisnya, Anna jadi kesusahan memilih ditambah Julie dan Lizbeth saling berdebat menentukan mana gaun yang terbaik untuknya.

“Menurutku, Ball Gown cocok untuk Annna karena membuatnya seperti putri dongeng. Lihat, belakang punggung gaun ini dilapis oleh kain tipis yang seolah-olah tampak transparan. Anna pasti terlihat sangat cantik kalau mengenakannya.” Lizbeth mengucap bangga dengan gaun pilihannya. Tentu saja, banyak yang menginginkan pernikahan seperti tuan putri dalam dongeng. Dia pun ingin mengenakan gaun berjenis itu suatu hari nanti saat menikah.

Julie menatap gaun pilihan Lizbeth dengan dahi mengkerut lalu memperlihatkan gaun pilihannya

Julie menatap gaun pilihan Lizbeth dengan dahi mengkerut lalu memperlihatkan gaun pilihannya. “Menurutku, A Line lebih cocok Anna apalagi dengan belahan rendah yang menampakkan buah dadanya yang indah. Belum lagi dengan punggung dan lengan yang terekspos sempurna, membuatnya tampak sexy dan hot secara bersamaan.”

"Tidak! Ball Gown lebih cocok! Anna juga tampak sexy saat mengenakannya

“Tidak! Ball Gown lebih cocok! Anna juga tampak sexy saat mengenakannya. Aku yakin pasti banyak pria diluar sana yang iri ketika melihatnya nanti!” Lizbeth kukuh dengan pilihannya dan menganggap kalau itu adalah gaun yang terbaik.

“Oh Lizbeth Sayang, kau masih kecil. Terkadang ada hal lain yang dilihat selain sexy yaitu mempesona dan juga bergelora. Kuakui Ball Gown memang indah tapi A Line tampak lebih dewasa dan juga mengundang.” Julie sengaja memperlambat kata terakhirnya. Dia tahu kalau Lizbeth mungkin tidak akan mengerti maksudnya tapi John yang sejak tadi memperhatikan pasti mengetahuinya.

Belum sempat Lizbeth balas berdebat, John datang untuk melerai. Dia mengusap kepala keponakannya itu sekali dengan gemas sebelum beralih kepada Anna dan memberikan ciuman singkat di pipinya. “Kalian tidak perlu berdebat. Aku sudah menentukan gaun mana yang cocok untuk Anna.”

John lalu menyuruh pramuniaga mengambil sebuah gaun putih yang sejak tadi sudah menarik perhatiannya. Ketika melihat gaun itu, dia bisa melihat tatapan terkesima dari Anna yang sekaligus membuat kedua wanita dihapannya ini terdiam.

 Ketika melihat gaun itu, dia bisa melihat tatapan terkesima dari Anna yang sekaligus membuat kedua wanita dihapannya ini terdiam

Gaun itu berbentuk Mermaid Dress dengan seutas tali tipis di bahu. Selain itu, bagian belakang dari gaun itu menonjolkan punggung yang indah. Bagian skirt dan trainnya dibordir panjang seperti ombak. Secara keseluruhan, gaun itu terlihat polos tanpa permata apapun yang menghiasainya. Tetapi, gaun itu bisa menimbulkan kesan putri, indah, sexy dan juga hot secara bersamaan.

“Sayang, coba pakai yang ini. Aku yakin, kau pasti tampak cantik mengenakannya,” bisik John ditelinga Anna yang menimbulkan sensasi menyenangkan baginya.

Anna berusaha menahan diri untuk tidak mencium pria disampingnya ini. Kelihatannya, John memang sengaja melakukannya untuk menggodanya. Kalau saja ditempat ini hanya ada mereka berdua, dia pasti membalas rayuannya itu dan membuatnya menyesal.

“Baiklah tapi sebagai gantinya, aku juga ingin melihatmu mengenakan jas pernikahan. Kau mau memakainnya juga kan?” Anna sengaja membisikkan kalimat terakhir dengan nada sensual dan memberikan hembusan hangat disana. Beberapa kali bercinta dengan pria itu membuatnya tahu dimana titik kelemahannya.

Benar saja, John menyeringai lebar setelah mendapat perlakuan seperti itu. Bahkan, ada kilatan tajam disana yang menandakan dia sedang berhasrat. “Of course, Darling. Bagaimana kalau kita sama-sama melakukannya? Aku membantumu, kau membantuku.”

Julie mengerti kemana arah pembicaraan itu berakhir memutuskan untuk meloncat diantara mereka dan memutuskan kontak yang terjadi. Kalau mereka benar-benar melakukannya disini, bisa rusak baju pengantin yang akan dikenakan dan membuat mereka diusir. “Sepertinya lebih baik kalau pramuniaga saja yang membantu Anna. Mereka lebih mengerti bagaimana cara memakai gaun itu dengan benar. Lagipula gaun milik perempuan sangat rumit, berbeda dengan kalian laki-laki yang lebih mudah.”

John langsung berwajah masam karena rencananya telah digagalkan. Dalam hati dia mengutuk Julie dan menyesal karena sudah memperbolehkannya ikut. Kalau saja wanita itu tidak ada, dia pasti sudah bersenang-senang dengan Anna sekarang dibalik tebalnya tirai ganti baju.

Dengan tidak rela, John memberikan ciuman singkat dipunggung tangan Anna sebelum melepas genggamannya. “Jangan lama-lama ya, Sayang. Karena setelah ini kita akan melakukan hal-hal yang menyenangkan.”

Anna memberikan senyum simpul sebagai jawaban lalu mengikuti pramuniaga yang akan membantunya. Dia tahu apa maksud John dengan hal-hal menyenangkan dan tentu saja, pria itu pasti tidak akan melepaskannya malam ini.

Sepeninggal Anna, John menatap tajam kearah Julie yang dibalas dengan gelengan acuh tak acuh. Tidak butuh waktu lama baginya untuk mengganti pakaiannya menjadi jas putih bewarna senada dengan calon istrinya itu. Dia memandang pantulan dirinya sendiri pada cermin dengan bangga melihat betapa tampannya dirinya ketika bersanding dengan Anna nanti. John bahkan bisa membayangkan dirinya berdiri ditengah altar bersama wanita pujannya itu untuk mengucap sumpah sehidup semati dan bertukar cincin.

Senyumnya semakin lebar ketika keluar dari ruang ganti untuk memperlihatkan pada Anna betapa gagahnya dirinya

Senyumnya semakin lebar ketika keluar dari ruang ganti untuk memperlihatkan pada Anna betapa gagahnya dirinya. Tetapi, kelihatannya wanitanya itu masih membutuhkan waktu untuk berganti. Jadi John menggunakan kesempatan itu untuk duduk di sofa sambil membaca majalah wisata. Dia berencana akan menggelar pernikahan disalah satu pantai yang indah dan terkenal. Setelah acara pernikahan selesai, mereka bisa sekalian melakukan honeymoon dan mengajak Anna mengunjungi tempat-tempat idamannya.

John tersenyum senang memikirkan rencananya itu. Kalau orang lain yang melihat, pasti mengiranya gila karena tertawa sendirian. Tetapi kalau dilihat lagi dari pakaiannya yang mengenakan baju pengantin dan duduk sendirian di butik, maka bisa dimaklumi jika tawanya itu adalah tawa bahagia.

Seminggu adalah waktu yang singkat untuk mempersiapkan acara, ditambah lagi dia belum memilih tempat. Anna mengatakan untuk tidak mempersiapkannya secara buru-buru tapi John sudah tidak sabar untuk segera memiliknya dan membuat wanita itu mengandung buah hatinya. Dia tidak sabar menjadi seorang ayah sekaligus suami dari wanita yang dicintainya itu.

Mengenai tempat, sempat terbesit di benak John untuk melakukan acara pernikahannya di Bali. Dia pernah membaca artikel kalau orang Indonesia terkenal suka menyelesaikan segala sesuatu di detik terakhir. Kalau disana, dia pasti sempat melakukan pernikahannya minggu depan. Belum lagi, biayanya juga termasuk murah dan Bali memang terkenal akan keindahannya.

John sendiri belum mengatakan kepada orang tuanya perihal pernikahannya ini. Mereka pasti setuju dengan pilihannya dan membiarkan dirinya menentukan segalanya sendiri. Kedua orang tuanya sangat sibuk sehingga hanya bisa meluangkan sedikit waktu untuknya. Paling, John akan mengabari mereka sehari sebelum acara pernikahannya dilaksanakan. Mereka bisa datang atau tidak, dia tidak banyak berharap. Orang tuanya tidak seperti Gustav atau Elaine yang bisa meninggalkan pekerjaan demi Alex dan Nina. Ya, sudah resikonya menjadi anak dari dokter, bahkan dirinya sendiri sekarang seorang dokter yang terkadang jam kerjanya tidak jelas.

Untung saja ada Anna yang memperhatikan kondisinya. Wanita itu benar-benar matahari yang menerangi hidupnya yang melelahkan. Kalau saja dia tidak pernah mengenal Anna, dia tidak tahu bagimana masa depannya. Rasanya, dia tidak akan pernah mendapatkan kebahagiaan yang sama dari wanita lain. Anna, hanya wanita itu satu-satunya yang bisa membuatnya terobesi dengan rasa memiliki. Wanita itu juga yang mengajarkannya untuk mencintai dan menerima seseorang apa adanya.

Ketika mendengar gesekan besi yang berdentingan, John langsung melompat dari sofa dan berlari menuju ruang ganti Anna. Disana, dia melihat Julie dan Lizbeth tengah memandang Anna dengan pandangan kagum. Dari reaksi mereka, John tahu kalau pilihannya benar tapi sayangnya dia tidak bisa melihat betapa cantiknya Anna karena terhalang tirai yang tidak terbuka sempurna. John terpaksa memutar kedepan sampai akhirnya dia menganga melihat sosok dihadapannya.

“Berhenti menatapaku seperti itu. Apa aku aneh mengenakannya?” tanya Anna ketika John tidak mengatakan apapun.

John masih mematung ditempatnya sampai Julie harus menepuk punggungnya agar kesadarannya kembali. Begitu sadar dari lamunannya, John langsung melangkah mendekati Anna. Dia menarik pinggul wanita itu dekat padanya lalu memberikan sebuah ciuman panjang yang dalam dan juga sensual.

“Kau terlihat cantik. Aku jadi ingin segera menikahimu,” ucap John yang otomatis membuat wajahnya memerah. Rasanya, dia ingin menciuminya lagi tapi demi kebaikan dirinya dan juga Anna, John menahannya. “Pilihanku benar bukan? Gaun ini memperlihatkan semua lekuk tubuhmu dengan tegas. Kau juga menjadi lebih cantik dari biasanya.”

“Ya, kami tahu seleramu bagus. Jadi bisakah kau menyingkir dan membiarkan Anna mengganti pakaiannya? Kami iri karena pilihan kami tidak terpilih!” Julie menyuarakan protesnya karena tidak tahan dengan kedua sejoli itu yang terus memamerkan kemesraan mereka.

“Aku setuju dengan Julie. Untuk mengobati rasa sakit hati kami, kau harus mentraktir kue setelah ini!” sambung Lizbeth yang ikut merasa jenuh.

“Tenang saja, aku tidak akan membiarkan usaha kalian sia-sia. Gaun ini dan kedua gaun lainnya aku ingin menyewanya untuk acara pernikahanku nanti. Aku ingin wanitaku terlihat cantik dengan semua gaun yang kalian pilih!”

Julie dan Lizbeth langsung berteriak kesenangan. Mereka bergiliran meminta Anna untuk memakai baju pengantin yang dipilih. Tentu saja, John mengijinkan. Dia juga ingin melihat wanitanya itu tampak cantik dengan berbagai gaun pengantin dan pasangan yang telah menginsipirasinya tak lain dan tak bukan adalah sahabatnya sendiri, Alex dan Nina.

“Kalau begitu, kau juga harus mengganti pakaian yang lain! Tidak hanya putih tetapi warna yang lain.” Anna tidak mau kerepotan sendiri karena harus berganti 2 kali lagi. John tentu harus mengalami hal yang sama juga.

“Baik Sayang, tunggu aku.” John memberikan ciuman jarak jauh sebelum kembali memilih jas untuknya. Belum sempat dia melakukannya, suara pecahan kaca dan teriakan orang-orang mengalihkan pikirannya.

Semuanya berlalu begitu cepat. Ketika John menghampiri mereka untuk memeriksa keadaan, sesuatu menghantam kepalanya dan membuat darah mengalir mengenai jas putihnya. Selanjutnya, dia terjatuh terjerembab ketika pukulan lain mengenai punggungnya. Ditengah kesadarannya yang tipis, dia melihat sosok penyeranganya yang tidak lain adalah Brad. Pria itu menyeringai senang ke arahnya seraya membanting tongkat kayu yang digunakan untuk menyerangnya.

“Kau tidak berhak memiliki Anna! Dia putriku dan aku bebas melakukan apapun padanya. Ini adalah balasan karena kau telah menghajarku!”

John ingin bangkit tapi tubuhnya terasa lemah. Dia melihat kalau Brad mengangkat tongkatnya tinggi bersiap untuk memukulnya lagi. Kalau saja, dia memukul kepalanya, bisa-bisa dirinya celaka. Dia tidak boleh mati disini. Tidak saat dirinya dan Anna baru saja mendapatkan kebahagiaan.

Bunyi peluru dan erangan kesakitan Brad terdengar setelahnya. Seorang polisi sedang berpatroli di daerah itu dan langsung menembak Brad karena dianggap berbahaya. Ada desahan nafas lega dari John karena akhirnya pria brengsek itu tidak bisa mendekati Anna. Perbuatannya itu pasti membuatnya mendekam di penjara selama beberapa tahun. Dan sekarang, keadaannya sendiri berada di ujung tanduk.

John merasa tubuhnya dingin dan pandangannya mengabur. Pukulan dikepalanya tadi pasti melukai otak dan membuatnya pendaharan. Kalau dibiarkan terus, dia akan mati. John jadi menyesal karena tidak bisa menikahi Anna. Seharusnya dulu dia mengejar wanita itu lebih keras agar bisa memberikan kebahagian untuknya.

Ditengah kesadarannya yang menipis , John bisa mendengar teriakan Anna. Wanita itu tengah menangis sambil memanggil namanya. Gaun pengantin yang dikenakannya pun jadi kotor karena darahnya dan Anna, wanita itu sangat histeris melihat keadaanya sekarang.

Kalau ini memang hari terakhirnya, John ingin melihat Anna tertawa. Tetapi sebaliknya, dia malah membuat wanita itu memangis. John ingin menenangkannya tapi lidahnya terasa kelu sehingga sulit untuk mengatakan sesuatu. Dengan seluruh tenaga tersisa, John bersusah payah mengucapkan satu kata, kata yang mewakili semua perasaanya sekarang.

“Maaf …”

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Sassy Maid and Playboy Doctor – 22

5 votes, average: 1.00 out of 1 (5 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

2

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

“Baik, terus kabari aku perkembangan mereka.” Alex menutup panggilannya dengan mata berbinar. Senyumnya semakin lebar ketika melihat Lucas yang sangat lahap menghabiskan bubur sayurnya. Melihat sang ayah tengah bahagia, anak lugu itu pun ikut tertawa.

“Kelihatannya, kau akan memiliki 2 adik perempuan yang cantik secara bersamaan. Betapa beruntungnya dirimu, son.” Alex membersihkan sisa-sisa bubur di pipi Lucas yang membuatnya tertawa semakin kencang. Diantara anak itu merasa geli ataupun senang karena mengerti maksudnya, dia gembira karena akhirnya kedua sahabat baiknya memiliki akhir yang bahagia dan putra kecilnya akan menjadi kakak tertua yang melindungi saudara-saudaranya.

Alex akan mendidik Lucas dengan baik. Setidaknya, dia ingin putranya mirip dengan Nina yang mandiri dan perhatian dengan keluarganya. Mempunyai pribadi yang tangguh dan terampil dalam banyak hal. Tetapi kalau dipikir-pikir lagi, hal itu pula yang justru membuat Nina tertekan dan memaksakan diri untuk sempurna dalam segala hal. Tidak perlu sampai seperti itu. Setidaknya Lucas menyayangi keluarganya dan hal-hal lain bisa diajarkan secara perlahan.

“Lucas sudah siap makan?” Nina muncul dari balik pintu, membawakan botol air yang akan diberikan kepada Lucas. Dia sangat cantik mengenakan dress putih yang dihiaskan beberapa motif bunga. Bagian depan roknya sedikit tersikap karena perutnya yang membuncit.

Kehamilan kali ini, Nina tampak lebih berisi dari sebelumnya

Kehamilan kali ini, Nina tampak lebih berisi dari sebelumnya. Itu karena selama di Jakarta, dia mengidam banyak jajanan. Meskipun begitu, bukan berati Alex memberikannya begitu saja. Dia tetap mensortir mana tempat yang menurutnya paling bersih dan higenis untuk kesehatan istri dan buah hati tercintanya. Ditambah, setiap hari Randy datang memberikan berbagai macam buah yang harus dihabiskannya. Jika tidak, adik kesayangannya itu akan mengomel dan menyuapinya makan sampai ludes.

“Aduh, buburnya sampai terkena baju. Mommy akan memakaikan baju baru untukmu, ya. Setelah itu, kita akan menemui Uncle Randy. Apa kau kangen dengannya?” Nina memindahkan posisi Lucas dari kursi makan ke ranjang. Saat membuka bajunya yang belepotan makanan, putranya itu berteriak senang ketika nama pamannya disebutkan.

Alex duduk disamping Nina dan membaringkan kepalanya disela-sela leher wanitanya, mencium aroma memabukkan disana. “Kelihatannya, dia lebih senang bertemu Randy daripada denganku. Tawanya saja sangat keras, aku jadi tidak mau membawa kalian ke kantor menemuinya.”

“Eeeh, jadi kau lebih suka mendapat perhatian Lucas daripada aku? Kalau begitu, malam ini kau tidur di ruang tamu saja!” seru Nina pelan dengan nada manja yang dibuat-buat. Dia tidak benar-benar marah kepada Alex, hanya sedikit menggodanya.

Ucapan Nina justru membuat Alex menyeringai senang kemudian meraih bibirnya. Dia tidak peduli dengan protes kecilnya yang mengatakan ada Lucas diantara mereka. Tidak masalah putra kecilnya itu melihat bagaimana sang ayah menumpahkan rasa cintanya kepada sang ibu. Lagipula, ini bisa menjadi pelajaran bagaimana memperlakukan orang yang disayang.

“Da … da … Dah!” Pekikan Lucas berhasil membuat Alex menghentikan aksinya. Dia melihat putranya itu yang tengah cemberut menatapnya dan memukul-mukul dengan tenaga kecilnya itu. Pasti dipikirannya sekarang ini, dia adalah orang jahat yang tengah menyiksa ibunya.

Diambilnya Lucas dari pangkuan dan mendudukkan putra kecilnya itu di pangkuannya. “Daddy tidak menjahati Mommy. Daddy sedang menciumnya. Apa Lucas juga mau dicium?” Tanpa menunggu tanggapan putranya, Alex menciumi kedua pipi putranya secara bergantian membuatnya berteriak geli dan hampir menangis karenanya.

Nina lalu mengambil Lucas dari genggaman Alex dan memeluk putranya itu erat untuk meredakan tangisnya. “Ssh … Jangan menangis, Sayang. Mommy balas memukul Daddy karena sudah menggangumu.” Nina lalu berpura-pura mencubit lengan Alex yang dibalas dengan erangan kesakian yang dibuat-buat. Setelah itu, putranya kembali tertawa tapi mengabaikan ayahnya yang ingin menggendongnya.

“Oh ya, aku hampir lupa memberitahumu sesuatu. Anna dan Alex akan menikah. Kelihatannya, sesuatu yang baik terjadi pada mereka selama bersama. Keputusanku memang tepat membuat Anna membantu John sementara selama kita di sini,” jelasnya antusias.

Nina yang mendengar kabar itu, tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya. Sekarang, dia sama semangatnya dengan Alex mengetahui hal baik itu. Tetapi dari mana Alex mengetahuinya?

“Aku mengetahuinya dari Julie.” Alex langsung menjawab pertanyaan yang tercetak jelas diwajah istrinya itu. “Memang sempat terjadi kesalahpahaman tetapi sudah diselesaikan. Sekarang, hubungan mereka sangat serius. John bahkan sudah melamarnya.”

“Kalau begitu, Anna tidak akan tinggal dengan kita lagi?” Rasanya sedih membayangkan sahabat yang selalu membantu dan menemaninya tidak akan tinggal bersamanya lagi. Nina tahu kalau dia tidak boleh egois. Sudah lama Anna mendambakan keluarga utuh dan sekarang keinginannya itu hampir terwujud.

“Mengenai itu, ada sesuatu yang ingin kubahas denganmu. Aku ingin kita pindah rumah, tidak tinggal di apartement lagi seperti sebelumnya. Kita tinggal di kompleks, seperti rumahmu disini agar kau bisa berinteraksi dengan para tetangga. Kompleks itu memilik taman bermain agar anak-anak kita bisa mencari teman seusia mereka. Selain itu, kita juga memiliki perkarangan kecil di belakang. Kau bisa menanam apapun yang disuka. Yang terbaik, kita tidak perlu menaiki lift lagi. Jadi tidak perlu merasa was-was akan mati lampu ataupun terjebak didalamnya.”

Nina menyimak baik-baik penjelasan Alex dan setuju dengannya. Apartement yang sekarang mereka tinggali memang nyaman tetapi menurutnya tidak bagus tinggal disana, apalagi dengan anak-anak mereka yang masih kecil. Tempat itu terlalu mewah dan Nina khawatir karena terbiasa hidup megah membuat anak-anaknya nanti memiliki pribadi yang sombong. Bukan berati, tinggal berkompleks masalah akan selesai.

Hidup dengan tetangga tidak selamanya manis. Kadang kala, ada yang merasa iri karena melihat orang lain yang lebih mampu. Belum lagi dengan gosip yang tidak menyenangkan menyebar tanpa dasar yang jelas. Terlebih, Alex adalah seseorang yang terkenal. Kemanapun melangkah, dia akan menjadi sosok yang paling disorot yang otomatis mengundang sejuta paparazi.

Tetapi, kalau melihat sifat Alex, area perumahan yang dicarinya pasti bukanlah tempat biasa. Tempat itu harus mempunyai sistem keamanan yang sesuai dengan standarnya. Dia tidak mau saat membiarkan putra-putrinya bermain, ada kejadian tidak menyenangkan yang terjadi. Lalu, rumah yang dicari pasti tidak kalah besar dengan apartement sekarang, tidak seperti rumah minimalis yang ada dipikirannya.

“Aku tidak ada masalah dengan itu. Tetapi, kenapa tiba-tiba ingin pindah?” Nina tidak bisa menyembunyikan aura kebingungannya. Suaminya itu pasti mempunyai alasan dibalik keputusannya.

“Karena … ” Alex sengaja menjawab lambat-lambat agar membuat Nina semakin penasaran. “Aku ingin Anna menjadi salah satu tetangga kita.” Benar saja, Nina mengaga tidak percaya. Bahkan otaknya yang cerdas itu sedikit lambat memproses.

“Aku ingin kita, bertetangga dengan Anna dan John. Julie bilang, mereka sedang mencari rumah dan ingin memiliki anak perempuan. Sebagai hadiah atas hubungan mereka, aku ingin memberikan rumah dan kita tinggal bersebelahan. Aku ingin, saat Anna hamil nanti ataupun saat kau melahirkan, kalian saling membantu dan terus berteman hingga kita tua.”

Nina langsung memeluk Alex erat. Suaminya itu betul-betul pengertian kepada dirinya dan juga sahabatnya. “Aku mencintaimu.” Hanya kata-kata itu yang bisa diucapkan.

“Aku tahu. Walaupun aku sudah mendengarnya berkali-kali, aku tidak pernah bosan. Apalagi saat kau memanggil namaku ketika sedang – Aw!”

Kali ini, Nina mencubit pinggang Alex sungguh-sungguh. Dia sedikit cemberut dengan pipi yang memerah. Rasanya ingin, Alex memberikan ciuman disana lalu berakhir dengan cumbuan singkat. Tetapi istrinya itu, tentu tidak akan membiarkannya begitu saja.

“Jangan mencubitku disitu, Sayang. Lebih baik kau memijitku disini untuk membuatku … lebih baik,” ucap Alex menyeringai penuh arti.

Tentu saja Nina tahu arti tatapan itu. Alih-alih membalas ucapannya, dia beranjak dari ranjang dengan Lucas dalam gendongan lalu berjalan keluar. “Kau bisa lebih baik dengan mandi air dingin lalu tidur di sofa! Karena sepertinya kau tidak bisa mengatar kami, aku akan meminta Tommy untuk mengantarku ke kantor.”

Alex menggeram kesal dan cepat-cepat beranjak ketika Nina menutup pintu. Sialan! Nina sangat pandai menyiksanya disaat-saat seperti ini. Dia pasti akan melama-lamakan pertemuannya dengan Randy dan serius menyuruhnya tidur disofa. Tidak bisa memeluknya selama tidur membuat Alex menderita. Belum lagi, sekarang kondisi Nina sedang hamil dan malam hari, Lucas akan bangun untuk menyusu.

Membayangkan bagaimana nanti Nina kesulitan melakukan semuanya, membuat Alex semakin mempercepat langkah untuk mengejar. Nanti, setelah mereka pulang, dia akan mengeluarkan seluruh keahliannya untuk menggoda agar Nina tidak marah lagi padanya. Alex selalu mengingat pesan ibunya, kalau wanita perkataan wanita hamil adalah absolut. Kalau Nina mengatakan tidak mau tidur dengannya hingga sisa kehamilan, lama-lama dia bisa gila dan insomia setiap harinya.

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Sassy Maid and Playboy Doctor – 21

8 votes, average: 1.00 out of 1 (8 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

2

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Begitu selesai mandi, John terheran ketika tidak melihat Anna dimanapun. Tidak biasanya wanita itu pergi tanpa meninggalkan pesan, apalagi mereka sudah berjanji untuk sarapan bersama pagi ini dengan menu delivery. Matanya lalu tertuju pada secarik kertas yang tergeletak disamping ponselnya. Rupanya wanita itu sedang menjemput makanan. John sempat berpikiran buruk karena Anna pergi tiba-tiba. Kalau diingat lagi, dia sempat mendengar wanita itu mengatakan sesuatu. Tetapi karena sedang asyik mencuci rambut, dia jadi tidak fokus dan menganggap kalau itu hanya bunyi air yang gemericik.

Karena Anna sedang tidak ada, ini kesempatan bagi John untuk membuka handuknya secara bebas dan menampakkan sebuah kotak kecil yang susah payah disembunyikan di sela kakinya. Berjalan dengan kotak itu diantara kakinya memang tidak menyenangkan. Belum lagi dengan miliknya yang terus bergesekan dengan kotak itu menimbulkan sensasi yang aneh. Segera dia memakai baju dan menyembunyikannya dibalik saku.

Kotak berlapis kain beludru merah itu berisi cincin yang akan digunakan untuk melamar Anna. Dia sengaja membawa kotak itu kemana-mana agar wanita itu tidak menemukannya. Anna selalu membersihkan rumahnya dan tahu dimana saja letak sudut tersembunyi. Kalau menyimpannya di apartement, pasti akan mudah ditemukan olehnya dan merusak kejutan yang dibuat. Karena itu, John selalu membawanya kemana-mana termasuk saat mandi sekalipun.

Tujuan lainnya selalu membawa cincin itu, karena dia tidak tahu kapan akan berjumpa dengan suasana romantis. Bisa saja saat tengah berkencan atau berjalan-jalan, ada suasana mesra yang tercipta diantara mereka. Dia bisa memanfaatkan kesempatan itu untuk melamar Anna tanpa perlu menunggu waktu yang sudah direncanakan.

John tersenyum bahagia membayangkan bagaimana reaksi Anna nanti saat dilamarnya. Apakah wanita itu akan tertawa, menangis bahagia atau biasa-biasa saja? Atau, apa lebih baik dia tetap pada rencana awalnya melamar Anna diatas atap rumah sakit dengan ladang bunga mawar merah yang sudah disiapkan? John jadi ragu dengan rencananya melamar mendadak. Dia lalu menggeleng kepala, berkata pada dirinya untuk tidak terlalu serius memikirkannya. Lihat saja bagaimana alurnya nanti. Pokoknya, dia akan memanfaatkan keadaan sebaik-baiknya dan menjadikannya sebagai lamaran terbaik.

Sibuk dengan pikirannya sendiri, John tidak sadar kalau sudah setengah jam lamanya waktu berlalu. Hanya mengambil sarapan seharusnya tidak memakan waktu sebanyak itu kecuali Anna bertemu dengan orang yang dikenal dan berbincang-bincang dengannya.

John tidak mempunyai kesabaran menunggu Anna sampai selesai mengobrol. Kalau dia turun langsung dan sengaja ‘menculik’ juga bukan ide yang bagus. Begitu melihat ponsel dalam genggamannya, timbul ide untuk menelponnya yang langsung memutus pembicaraan. Dengan begitu, Anna tidak perlu susah payah mencari alasan dan bisa langsung kemari.

Cepat-cepat John mencari nomor Anna dan menekannya. Dia mengira dapat mendengarkan suara dari wanita yang dicintainya. Tetapi harapan itu pupus begitu mendengar nada dering ponsel Anna yang terletak disamping nakas.

“Bisa-bisanya dia tidak membawa ponsel. Apa boleh buat, aku sendiri yang akan menjemput tuan putri.”

John mengenakan pakaian terbaik sebelum turun. Dia juga memastikan penampilannya terlihat rapi seperti biasanya. Tidak ada niat dalam dirinya untuk menggoda. Tujuannya tampak sempurna seperti biasa agar membuat Anna bangga. Semisal lawan bicaranya adalah perempuan dan tengah meremehkannya, dia bisa menggunakan pesonanya untuk membungkam mereka. Kalau lawannya laki-laki, John akan membangkan dirinya sendiri dan menunjukkan betapa lemahnya mereka dibandingkan dengan mereka.

Sesampai di lobby, John tersenyum senang menemukan Anna yang sedang sendirian. Rasanya, dia ingin melompat dan memeluk wanita pujaannya itu. Tetapi, sebelum keinginannya terwujud, John terbelalak melihat seorang pria yang bergerak ingin menyerang Anna. Refleks, dia langsung maju untuk menghalau dan memberikan sebuah hantaman yang mengenai pria kumuh itu.

Kemarahannya semakin menjadi ketika pria kumuh itu justru membalas dengan mencaci makinya alih-alih meminta maaf. Kalau saja sasarannya orang lain, John mungkin tidak akan semurka ini. Tetapi ini Anna, calon istri dan juga wanita yang paling dicintainya.

Selanjutnya, pria kumuh itu tertawa keras. Sambil membuang ludahnya yang bercampur darah, dia menatap remeh. “Oh, calon istrimu? Lalu apa kau tahu siapa aku?” tanyanya dengan seringaian lebar. yang membuat wajah Anna memucat.

John bisa merasakan kalau tangan Anna yang dingin menggenggamnya dari belakang. Tanpa perlu menoleh dia tahu kalau wanita itu sedang gemetaran dengan wajah pucat. Tidak perlu susah menebak siapa pria kumuh dihadapannya ini. Dari sikap Anna sekarang, dia sudah tahu siapa pria kumuh itu.

“Kau ayah brengsek yang selalu menyiksa wanita tak berdaya, kan? Lalu apa? Mengharapkanku untuk menghormati dan memanggilmu dengan ayah mertua? Dalam mimpimu!” Jawaban telak dari John membuatnya terkejut. Dia bahkan ingin menyerang sebelum berhasil diringkus oleh satpam. “Mulai sekarang, aku tidak mau melihatmu lagi. Kau tidak boleh muncul dihadapanku ataupun Anna. Kalau kau berani mengganggu kami lagi, kau akan merasakan akibatnya!”

“Kau pikir aku mau melakukannya begitu saja?! Dia putriku dan aku bebas melakukan apapun padanya! Kau bukan siapa-siapa disini dan tidak berhak ikut campur dalam urusan kami!”

“Ooh, tentu saja aku berhak karena dia adalah istriku.” John lalu menarik genggaman Anna dan memberikan ciuman ringan disana. Tidak sampai disitu, dia justru membawa wanita itu kedalam pelukannya dan mempertunjukkan ciuman sensual yang menjadi keahliannya. Setelah puas, baru John menghentikannya dan menatap pria kumuh yang merupakan ayah biologis Anna. “Kau lihat, betapa serasinya kami. Dan kami, tidak membutuhkan sampah sepertimu dalam hubungan ini.”

Begitu mengatakannya, John langsung menarik tangan Anna melangkah keluar dari apartement. Dia menaiki salah satu taksi yang terparkir dan menyuruhnya untuk jalan.

“Kita mau kemana?” tanya Anna yang tidak tahu arah tujuan.

John tidak menjawab dan memilih membuang pandangannya pada jendela. Sebenarnya, dia tidak suka menggunakan transportasi umum seperti ini. Selain lambat karena harus mengikuti rambu lalu lintas, terkadang ada taksi yang penuh dengan sampah. Untung saja taksi ini cukup bersih walaupun pengharum yang dipakai tidak sesuai dengan seleranya.

Kalau tidak suka dengan transportasi umum kenapa John memilih menaikinya?

Jawabannya karena saat turun tadi, dia tidak membawa kunci mobil bersamanya. Tidak keren kalau dalam situasi itu dia kembali ke atas untuk mengambil kunci lalu turun lagi dan berhadapan dengan pria brengsek itu. Daripada membuat dirinya terlihat bodoh, lebih baik dia langsung keluar dengan membawa Anna.

“John.”

Panggilan Anna berikutnya berhasil membuatnya menoleh. John mempererat genggamannya dan tersenyum untuk menenangkan wanita itu. “Tenang saja. Semuanya akan baik-baik saja,” ucapnya yang berbanding terbalik dengan batinnya yang tidak tahu ingin kemana.

***

Setelah menaiki taksi selama hampir 1 jam, John akhirnya memutuskan untuk berhenti ketika melewati central park. Karena berkeliling tanpa arah tujuan, tagihannya cukup fantastis. Beruntung dia membawa uang sewaktu turun tadi, jika tidak, dia harus memutar ulang sampai ke apartement untuk mengambil uang terlebih dahulu.

Thank you, sir! Kalau anda butuh kendaraan lagi, silahkan hubungi saya!” Supir itu berseru senang seraya menghitung uang yang diterimanya. Walaupun biayanya membludak, John memberikannya sedikit tips karena mobilnya yang bersih dan juga dia sangat bijak dengan tidak bertanya apapun selama perjalanan.

“Mungkin nanti setelah kami puas berjalan-jalan disini,” balasnya sambil menerima kartu nama yang diberikan. Sebenarnya tidak perlu sengaja menelpon supir itu untuk menjemput. Banyak taksi lain ditempat ini dan bisa saja dia memilih salah satu dari mereka secara acak untuk pulang nanti.

Sesudah supir itu pergi, John mengajak Anna berjalan-jalan mengelilingi taman yang menjadi ikon pusat kota tersebut. Central Park, taman kota yang seluas 340 hektar dan berada ditengah pulau Manhattan. Tempat ini merupakan salah satu destinasi wisata yang paling terkenal dan dikunjungi oleh 35 juta orang per tahun. Bentuk taman ini juga sangat unik yaitu berwujud persegi panjang dengan danau kecil ditengah-tengah dengan kumpulan pohon hijau yang segar.

 Bentuk taman ini juga sangat unik yaitu berwujud persegi panjang dengan danau kecil ditengah-tengah dengan kumpulan pohon hijau yang segar

Disini juga terdapat deretan bangku taman dan lampu hias yang cantik. Berbagai aktivitas bisa dilakukan seperti bersepeda, piknik, bermain dan beraneka ragam lainnya. Selain itu, terdapat juga kebun binatang yang memberikan berbagai pertunjukkan menarik. Secara keseluruhan, Central Park merupakan tempat rekreasi yang menyenangkan bagi yang sudah jenuh dengan perkotaan.

John membawa Anna menduduki salah satu bangku dan melihat orang-orang yang sedang berlalu-lalang dengan ceria. Rata-rata, pengunjung yang datang bertujuan untuk bersenang-senang. Berbeda dengan mereka yang datang tanpa tujuan dan hanya duduk mengamati. Tidak ada dari mereka saling membuka pembicaraan. Sampai akhirnya, pandangan Anna tertuju pada sebuah keluarga yang tengah berpiknik.

“Kau tahu, aku berterima kasih karena ucapanmu tadi. Aku benar-benar tertolong karenanya.” Anna lalu meremas pinggiran roknya hingga kusut. Melihat ayahnya tadi, ketakutannya akan suatu hubungan yang serius kembali menghantuinya. John memang tidak akan mengasarinya. Dia pria sejati dan Anna tahu itu. Hanya saja bertemu dengan Brad tadi mengingatkannya dengan trauma masa lalunya. Mungkin ini masih terlalu cepat baginya. Tidak apa, dia masih bisa menunggu tetapi tidak dengan John. Pria itu layak mendapatkan pasangan yang lebih baik dan berbahagia dengannya. “Mengenai soal istri, aku …”

“Aku serius dengan ucapanku yang satu itu,” potong John cepat. Dia tidak mau mendengar kalimat Anna selanjutnya karena terasa menyakitkan. John tahu apa yang ingin dikatakan olehnya. Pasti berat bagi wanita itu untuk mengatakannya terutama karena mereka sudah saling mencintai satu sama lain.

” Tapi aku … “

“Anna.” Kali ini, John memberikan sebuah ciuman ringan. Tidak seperti saat didepan Brad tadi, ciumannya ini sangat lembut tanpa ada nafsu apapun. Setelahnya, John menangkup kedua pipi Anna, membuat tatapan wanita itu tertuju padanya. “Menikahlah denganku. Jadilah bagian dari hidupku. Biarlah kau menjadi orang pertama setiap kali aku membuka mataku. Aku mencintaimu, sampai kapanpun.”

Mata Anna memanas dan selanjutnya bulir-bulir bening telah memasahi pipinya. John terkekeh, mengelus kedua pipi dengan ibu jarinya. Dia memberikan kecupan ringan di dahi lalu membawa wanita itu kedalam pelukannya, membiarkannya menangis disana.

Perkataan John bukanlah janji manis semata. Ada tekad yang nyata disana dan pria itu sungguh-sungguh mencintainya. Tidak ada keraguan ataupun tatapan mencela. John menerimanya apa adanya tanpa memandang masa lalunya. Apa yang diberikannya belum tentu bisa didapatkan pada pria lain.

John adalah pria pertama yang mengisi hatinya dan pria itu juga yang membuatnya tahu bagaimana rasanya cinta. Dicintai olehnya merupakan suatu anugerah terbesar. Tanpa perlu meminta, pria itu bahkan akan memberikan seluruh hatinya padanya. Anna takut kalau dia tidak bisa memberikan hal yang setimpal untuknya. John sangat sempurna dan memiliki segalanya, berbeda dengan dirinya yang rapuh dan juga kotor.

Disaat pikirannya merasa dia tidak sepadan bersanding dan harus meninggalkannya, hatinya berkata lain. Perasaannya mengatakan kalau John adalah pria yang tepat. Kalau dia melepaskannya, maka tidak ada pria lain yang bisa menggantikannya. Tidak ada orang yang mengenal dan menerima dirinya seutuhnya seperti John.

Ditengah sesenggukannya, Anna mencoba untuk mendongak, menatap pria yang kini tengah memeluknya. “Bagaimana … Bagaimana kalau aku bukanlah wanita yang tepat untukmu? Kau tahu hobiku dulu seperti apa. Siapa tahu kedepannya aku terkena penyakit mematikan dan tidak tertolong?” Rasa sesak memenuhi dadanya, sesakit mulutnya melontarkan pertanyaan yang menyakitkan itu. Dia bertanya bukan tanpa dugaan. Bisa saja sekarang dia terlihat sehat namun didalam, virus-virus jahat telah berkembang dan merusak. Anna jadi menyesal, kenapa dulu dia sangat menyukai berhubungan liar seperti itu. Hanya rasa takut kepada seseorang membuat hidupnya hancur berantakan.

You’ll be fine, i promise. Aku tidak akan membiarkan sesuatu terjadi padamu. Kalau kau sakit, aku akan menyembuhkanmu semampuku. Aku tidak akan membiarkanmu sendirian dan menemani hingga kau sembuh.” John mengelus pipi Anna dengan sayang, memberikan perhatian penuh kasih. “Tidak ada yang tahu waktu seseorang. Hanya Tuhan yang berhak memutuskan, bukan kita. Kalau Tuhan menghendaki kita untuk bersama, sekeras apapun menolak, kita pasti akan kembali.”

Setelah mengatakannya, John berdiri dari tempatnya lalu sedetik kemudian, dia berlutut dan mengeluarkan kotak yang berisi sebuah cincin emas yang indah. Cincin itu itu berhiaskan sebuah berlian besar berwarna merah ditengah lalu dikelilingi dengan daun-daun kecil permata yang membuatnya tampak seperti bunga. Dalam sekejap, kerumunan kecil tercipta di sekitarnya dan memberikan semangat padanya. Setelah menarik nafas panjang, John mengutarakan apa yang telah direncanakannya sejak jauh hari yang lalu.

 Setelah menarik nafas panjang, John mengutarakan apa yang telah direncanakannya sejak jauh hari yang lalu

“Anna, will you marry me?” tanya John lantang.

Kerumunan itu menjadi hening menunggu jawaban sang wanita. John sampai meneguk ludah karena tegang. Ini memang bukan lamaran romantis yang direncanakan tapi inilah saatnya dia melamar Anna dan menjadikan wanita itu istrinya secepatnya. Hatinya mengatakan kalau sekarang adalah saat yang paling pas. Seandainya kesempatan ini terlewat, dia tidak tahu kapan lagi waktu yang tepat untuk menunjukkan betapa besar rasa cintanya.

Anna menutup wajahnya untuk menghentikan keinginannya untuk menangis. Meskipun begitu, tubuhnya tidak berhenti bergetar dan matanya tidak mau menuruti kemauannya. Gejolak kebahagiaan yang tidak bisa ditahan membuatnya menangis. Hanya satu pertanyaan, hanya satu pertanyaan singkat mampu membuatnya seperti ini. Pertanyaan yang membuatnya merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya sekaligus membebaskannya dari masa lalu yang ingin dilupakan.

Yes, i do!” jawabnya lantang.

Jawaban itu lantas membuat kerumunan disekelilingnya berteriak gembira dan memberikan selamat. John yang awalnya tidak percaya dengan pendengarannya itu akhirnya mengulum senyum. Senyum yang tampak kosong dan sedikit dipaksa karena tidak mendengar jelas balasannya itu.

Yes, i do, my love.” Anna mengulang kembali kalimat itu, kali ini dengan panggilan cinta yang hanya dikhususkan untuknya. Dia tahu kalau ekspresi kecewa John tadi karena tidak mendengarnya dengan jelas. Tambatan hatinya ini sangat mudah ditebak. Kalau terkesima dengan sesuatu, pasti otak jeniusnya itu akan lambat merespon dan membuat semua indranya menjadi tumpul. Karena itu Anna mengulanginya lagi, agar membuat pria itu kembali bersemangat.

Begitu John menyeringai, dia langsung memeluk Anna dan melumat bibir wanita itu dengan rakus. Kerumunan yang melihat, bersorak semakin meriah. Bahkan ada juga dari mereka meneriakkan kata-kata vulgar seperti menyuruh mereka langsung bercinta saja. John baru menghentikan ciumannya itu ketika tubuhnya mulai panas. Dia harus bisa menahan dirinya hari ini. Kalau tidak, dia pasti membawa Anna kesalah satu taksi untuk mencumbunya.

John baru teringat kalau dia belum memasangkan cincin pada Anna. Dia lalu meminta tangan Anna dan menyematkan cincin berlian itu pada jemarinya. Sudah diduga, kalau cincin itu sangat pas dijarinya. Bahkan, Anna terlihat cantik berkali-kali lipat setelah mengenakannya dengan wajah tersipu. Tanpa bisa menahan perasaannya, John memeluk Anna erat menujukkan betapa bahagianya dirinya.

“Aku ingin banyak anak darimu, malah lebih banyak dari Alex! Kalau bisa, aku ingin semua anak kita perempuan, agar aku bisa merasakan bagaimana rasanya dikelilingi dengan orang-orang yang kusayang.”

Anna menyikut pinggul John yang membuatnya mengaduh kesakitan lalu terkekeh. “Apartementmu sempit. Bagaimana bisa kita punya banyak anak kalau tinggal disana?”

Pertanyaan Anna seperti kode keras baginya. John menarik pinggang wanita itu mendekat lalu berbisik ditelinganya. “Kalau begitu, bagaimana kalau kita pindah rumah? Aku mungkin harus berpisah dengan Cicil kalau ingin membeli rumah di apartement Alex tapi, untuk masa depan kita, aku rela.”

“Tidak perlu sampai menjual Cicil.” Anna berbalik berbisik, memberikan sensasi menyenangkan bagi John. “Aku ada tabungan selama bertahun-tahun bekerja. Kita bisa menggunakannya untuk membeli rumah yang lebih besar.”

John membelalakkan matanya tidak percaya. Anna benar-benar wanita yang luar biasa! Bukan hanya cantik dan bisa melakukan segala hal tetapi juga pandai mengelola keuangan. Dia benar-benar beruntung bisa mendapatkan wanita luar biasa seperti Anna.

“Kalau begitu, ayo kita segera cari rumah idaman kita dan menikah! Aku tidak sabar ingin segera memiliki anak darimu. Bagaimana kalau kita membuatnya sekarang? Lalu, supaya kau tetap cantik saat memakai baju pengantin nanti, minggu depan, bagaimana kalau kita menikah?”

Anna langsung mengerucutkan bibirnya menunjukkan ketidaksetujuannya. “Menurutmu aku tidak cantik mengenakan gaun pengantin saat hamil? Menurutmu aku akan gendut?!”

“Kau cantik mengenakan apapun, termasuk gaun pengantin saat hamil besar,” ralat John cepat. Bisa-bisa rencananya nanti malam gagal kalau membuat wanitanya itu marah. “Kalau begitu, ayo kita buat baby yang cantik malam ini!” John lalu menggendong Anna ala pengantin, membawanya ke salah satu taksi dan menyuruhnya mengantar mereka hotel terdekat.

Semua kejadian itu, dari mereka berdua tiba di Central Park tidak lepas dari pengawasan Julie dan Lizbeth. Sejak tadi, mereka berdua bersembunyi, tidak mau merusak suasana sepasang sejoli itu. Memang ada kesedihan yang sempat membuat suasana muram tapi pada akhirnya semua berakhir bahagia.

“Apa kau akan mengirimkan video itu kepada Alex?” tanya Lizbeth yang memperhatikan Anna sejak tadi mengutak-atik ponselnya.

“Tentu saja. Aku melaporkan perkembangan mereka pada atasanku, meskipun sebenarnya Alex hanya bos sementara. Tetapi uang yang kudapat darinya tidak sedikit. Lumayan untuk tabunganku.” Julie lalu tertawa senang setelahnya berbeda dengan Lizbeth yang melihatnya dengan tatapan mencela karena tidak menyangka kalau dia adalah wanita yang mencintai uang.

“Lalu, soal sikapmu yang seperti lesbian itu, apa hanya pura-pura?” tanyanya lagi penasaran. Pasalnya, sikap Julie benar-benar seperti penyuka sesama jenis. Malah kepada seluruh wanita pun dia juga bersikap seperti itu.

“Tentu tidak, Sayang. Aku memang menyukai setiap wanita. Kau mungkin menganggapku sebagai wanita mata duitan karena bekerja sebagai agen ganda seperti ini. Uang yang kuhasilkan itu digunakan untuk membantu temanku yang sedang mengembang obatnya dibidang kecantikan. Tujuan kami adalah agar setiap wanita bisa tampil cantik dan bersinar setiap saat!” Julie menjelaskannya dengan semangat. Saking semangatnya, Lizbeth bisa melihat api berkobar dibelangkannya.

Untuk sekarang, Lizbeth akan mengabaikan perlihal sifat Julie yang aneh. Saat ini yang terpenting adalah John dan Anna berbahagia dan dia berharap kalau kebahagiaan ini akan berlangsung selamanya.

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Sassy Maid and Playboy Doctor – 20

6 votes, average: 1.00 out of 1 (6 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

2

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Ketika John sedang mandi, sebuah pesan masuk kedalam ponselnya. Pengirimnya adalah driver yang mengatarkan sarapan. Dia mengatakan kalau sudah dibawah dan tidak bisa masuk karena tidak memiliki akses ke lantai atas. Tentu saja, lantai tertinggi apartement ini adalah tempat privasi yang tidak bisa sembarangan orang masuk kalau tidak memiliki izin. Karena John sedang mandi, aku yang akan menjemputnya.

“John, aku turun sebentar mengambil sarapan.”

Kelihatannya, suara shower yang keras membuatnya tidak bisa mendengar suaraku. Apa boleh buat, aku menuliskan memo dan meninggalkannya disamping ponsel agar mudah dicari. Setelahnya, aku membalas singkat dan turun menemui driver tersebut.

Sesampai di resepsionis, aku terkejut ketika mendengar suara teriakan yang keras. Aku melihat seseorang berpakaian kumuh tengah beradu mulut dengan satpam. Wanita yang kutahu sebagai petugas resepsionis itu berdiri disamping satpam sambil memegangi sebelah pipinya. Ada sedikit memar disana yang merupakan bekas tamparan. Dugaanku, resepsionis yang malang itu mendapatkan perlakuan kasar dari orang kumuh tersebut.

“Sudah kubilang aku ingin mencari putriku! Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri dia masuk kemari dan tidak keluar sejak semalam, berati dia tinggal disini!” seru pria kumuh itu.

“Meskipun begitu, anda tidak tahu di lantai berapa dia tinggal. Anda juga tidak bisa menunjukkan kartu identitas diri. Secara keseluruhan, anda mencurigakan dan kami meminta anda untuk pergi secara baik-baik atau terpaksa saya akan menggunakan kekerasan!” Satpam itu memberikan peringatan dengan nada sopan. Aku salut dengannya karena masih bisa bersikap tenang disituasi ini.

Namun, pria kumuh itu mengabaikan ultimatum yang diberikan dan balas membentak. “Apa kau tuli?! Tadi aku sudah bilang kalau kami sudah lama berpisah! Aku mengingat wajahnya! Kalau kalian tidak mau membantu, aku akan mencarinya sendiri!” Pria kumuh itu lalu bergerak, ingin melewati satpam itu. Dia sudah bertekad untuk menemukan seseorang yang dicarinya meskipun harus mengubrak-abrik seisi apartement ini.

Tetapi langkahnya kembali dicegat dan kali ini satpam itu tidak bermain-main. Terlihat dari tongkat yang sudah digenggam dan siap untuk menghalangi atau memukul. “Saya tidak bisa membiarkan anda masuk! Anda sudah membuat penghuni apartement ini tidak nyaman. Saya minta anda untuk pergi sekarang juga!”

Kesal karena jalannya terus dihambat, pria kumuh itu meraung marah sehingga membuat semua orang yang berada disana memilih menjauh karena takut dia akan melakukan kekesaran. Dia juga sempat beradu pukulan dengan satpam yang dengan mudah dijatuhkan. Walaupun begitu, dia bersikeras tidak mau keluar bahkan meludahi satpam yang menahannya. Terpaksa dia diseret agar tidak mengganggu orang lain.

Saat pria kumuh itu dihela, sekilas aku melihat wajahnya. Ketika mendengar suaranya tadi, aku merasa tidak yakin. Dalam sekejab, aku merasa kalau pandanganku menggelap dan nafasku berhenti. Bayangan sosok pria dewasa yang selalu memukul atau memarahiku setiap malam langsung berputar dibenakku. Aku berpikir, tidak mungkin kalau pria kumuh itu adalah pria yang membuat masa kecilku seperti neraka. Tetapi setelah melihat wajahnya, aku yakin kalau mereka adalah orang yang sama.

Sebelum dia keluar dari pintu apartement, pria kumuh itu melihat kearahku dan berseru senang. “Anna!” Dengan sekuat tenaga, pria itu melepas cengkraman satpam pada bajunya dan berlari ke arahku. Dia tersenyum senang, menampakkan deretan gigi kuningnya yang sebagian sudah menghitam. Aku merasa sakit pada bahuku ketika dia mencengkramnya dengan erat. Seolah-olah, dia sedang memberikan ancaman tak langsung dan menunjukkan kalau dirinya lebih kuat. “Lihat, sudah kubilang kalau putriku tinggal disini! Aku akan menyuruhnya menuntut kalian semua karena sudah memperlakukanku seenaknya!”

Aku tidak menjawab. Pikiranku masih memproses apa yang terjadi. Pria kumuh yang ternyata ayahku ini, Brad Collins, berdiri dihadapanku dengan mata lebar yang berbahaya. Tubuhnya bau dengan alkohol, sama seperti yang kuingat sebelumnya. Penampilannya sangat kotor dan tidak terurus. Entah bagian mana dari dirinya yang bisa membuat ibu terpikat hingga rela menjadi budaknya selama bertahun-tahun.

Aku panik, takut kalau dia akan membawaku entah kemana dan mengasariku. Padahal aku yakin, kalau aku sudah mengatasi traumaku dan bisa hidup dengan tenang. Aku tidak tahu dari mana dia mengetahui kalau aku berada disini. Dari penampilannya, dia tidak mempunyai uang atau koneksi manapun yang bisa menyewa informan ataupun detektif untuk mencari keberadaanku. Lama tidak berjumpa dengannya, aku berpikir dia sudah mati.

Ya, aku memang tidak ingin bertemu dengan pria brengsek ini ataupun mengakuinya sebagai ayah kandungku. Aku lebih berharap kalau dia mati dan membusuk entah dimana tanpa harus muncul dikehidupanku sekarang!

“Nona, apa benar dia ayah anda?”

Pertanyaan dari satpam menyadarkanku dari serangan panik mendadak. Bodohnya aku merasa takut dan berpikiran macam-macam karena bertemu dengannya. Tidak apa, aku bukanlah Anna yang dulu lagi. Aku bukanlah anak kecil yang tidak bisa melakukan apa-apa selain menangis di sudut ruangan melihat ibu dipukul olehnya. Aku sekarang adalah wanita yang kuat dan mampu melindungi diriku sendiri.

“Dia ayahku.” Jawaban dariku membuat satpam itu terkejut, lain dengan Brad yang menyeringai semakin lebar dan membuatnya besar kepala.

“Kau dengar bukan apa katanya? Aku ayahnya!” seru Brad kepada satpam itu dan mengacungkan jari tengahnya. “Putriku, dia dan resepsionis jelek itu sudah berlaku kasar pada ayahmu ini. Hukum mereka dan buat ayah senang!” Brad mengatakannya sambil mencengkram lengan kananku dengan erat. Dia sudah besar kepala karena menganggap dirinya lebih superior dari lainnya.

Tetapi tanpa diduganya, aku menarik lenganku kasar dan mendorongnya menjauh. “Dia memang ayahku secara biologis tetapi tidak secara hukum! Selain itu, kami tidak memiliki hubungan apapun yang bisa dikatakan sebagai ayah dan anak. Pak satpam, anda boleh mengusir orang ini karena dia adalah pria brengsek yang hanya bisa menindas wanita!”

Brad membelalakkan matanya mendengar perkataanku dan langsung diringkus oleh satpam. Dia terus meronta untuk membebaskan diri dan menatapku nyalang. “Dasar anak durhaka! Kau pikir siapa yang telah melahirkanmu, hah?! Sudah berapa banyak uang yang kuhabiskan untukmu! Tanpa aku, kau tidak akan ada disini sekarang!”

“Hah? Apa aku tidak salah dengar?” tanyaku sambil menunjukkan daun telingaku. “Yang melahirkanku adalah ibu dan yang dia juga yang membesarkanku. Kau tidak pernah memberiku apapun dan selalu memukul ibu untuk meminta uang yang dihabiskan untuk berjudi dan mabuk-mabukkan. Aku tidak ingat kau pernah memberiku apapun tetapi sampai sekarang, aku masih ingat bagaimana kau memperlakukanku dan ibu! Kau bukan ayahku dan aku tidak akan memberimu uang sepeserpun!”

Brad menggertakkan giginya marah. Rencana untuk memanfaatkan Anna hilanglah sudah. Putrinya itu sama sekali tidak mau membantu dan tidak mau mempedulikannya. Padahal kalau dilihat dari penampilannya, anak itu memiliki uang. Semisalpun tidak, dia akan menjualnya pada salah satu kelab tempatnya berhutang dan menjadikan anak itu sebagai mesin pendapatannya.

Melihatnya berdiri angkuh disana membuat darahnya mendidih. Bisa-bisanya anak itu mempermalukan dirinya didepan banyak orang. Kelihatannya, Anna sudah lupa siapa dirinya. Anak itu perlu diberi pelajaran agar mengingat kembali bagaimana nasibnya kalau membakang. Brad akan membawa paksa putrinya dan akan memperlakukannya lebih parah daripada yang diterima oleh ibu bodohnya itu.

Dengan sekuat tenaga, Brad mendorong satpam itu hingga terjungkal. Kemudian, dia menggunakan kesempatan itu dengan menerjang ke arah Anna dan mengarahkan kedua tangannya untuk mencekik leher anak itu. Belum sempat menjangkaunya, sebuah tangan yang lain datang menghalau dan memberikan bogem mentah yang tepat mengenai wajahnya.

Untuk kesekian kalinya, tujuan Brad dihalang. Dia menyentuh wajahnya yang berdenyut sakit disertai beberapa gigi yang patah. Darah bercucuran dari mulut dan hidungnya tapi itu tidak membuatnya gentar. Justru, Brad menatap kepada pria tinggi yang melindungi anak perempuannya itu.

“Bedebah sialan! Berani-beraninya kau menghajarku!”

Intimidasi yang diberikan Brad justru tidak berpengaruh padanya. Malah, giliranku yang membelalakkan mata melihat siapa yang berdiri di depanku sekarang.

“Seharusnya aku yang mengatakan itu, dasar brengsek! Berani-beraninya kau menyentuh calon istriku dengan tangan kotormu!” teriak John dengan kemarahan yang melingkupi seluruh wajahnya.

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Sassy Maid and Playboy Doctor – 19

6 votes, average: 1.00 out of 1 (6 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

2

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Setelah sepagian tadi meeting mengenai pembagian tugas, John melanjutkan pekerjaannya dengan mengecek laporan keuangan dan membesuk pasien. Dia juga memberi pengarahan langsung kepada koas-koas muda, mengawasi praktek mereka, dan memberi nilai kapasitas bekerja.

Mendapat bimbingan seperti itu membuat mereka senang. Para koas, menggunakan kesempatan itu untuk memperdalam ilmu sekaligus berbincang dengannya. Jarang-jarang bisa belajar langsung dari dokter berpengalaman yang sudah menangani banyak kasus seperti dirinya. Tentu saja, karena dia pria tampan dan baik hati juga tidak sombong ini, mau mengajari mereka dan berbagi pengetahuan yang dia miliki. Tetapi kalau menyangkut pertanyaan pribadi, John akan menolak. Karena dia sudah memiliki Anna sekarang dan tidak tertarik untuk sembarangan menggoda lagi.

Memang menyenangkan menggoda Anna dan membuatnya cemburu. Tetapi bukan berati dia tidak mendapatkan balasan. Anna akan membalas dengan mendiami dirinya, menyiapkan makanan instan dan tidak mau berbicara dengannya. Kederangannya seperti hukuman kecil tapi bagi John itu adalah hukuman terberat yang diterimanya.

Agar kejadian itu tidak terulang lagi, John membatasi interaksinya dengan perempuan. Soal kharismanya yang tidak bisa ditolak itu, Anna bisa memakluminya tapi tetap saja, kalau sampai wanita itu tahu kalau dia sedang menggoda ataupun digoda, maka selamat tinggal pada makanan sehat yang selalu mengisi perutnya.

Alasan John sangat sibuk karena ingin meluangkan waktunya nanti. Tentu saja dia memiliki rencana untuk menyenangkan Anna dan membuat wanita itu menjadi miliknya seutuhnya. Bahkan rencana lamaran dan pernikahan pun sudah disiapkan. Hanya tinggal menunggu pekerjaannya disini siap maka dia bisa menikmati waktu indahnya bersama Anna.

John jadi mengerti bagaimana perasaan Alex dulu yang sangat tergila-gila pada Nina. Kalau di ingat lagi, rasa cinta Alex seperti obsesi yang membuatnya sinting. Bahkan ketika Alex memantapkan hati untuk meninggalkan Nina dan kembali ke New York, dia seperti mayat hidup yang kaku dan dingin. Tetapi, saat dia kembali dengannya, Alex menjadi pribadi hangat yang murah senyum. Padahal sebagai sahabatnya sendiri, John sangat jarang melihat senyumannya itu. Bisa dibilang kalau senyuman itu dapat dihitung jari.

Karena itu, Alex sangat terluka ketika Nina mengalami kecelakaan yang hampir membuat nyawanya dalam bahaya. Apalagi dia juga kehilangan calon bayi pertamanya. John bisa mengerti bagaimana perasaan Alex saat itu. Rasa sedih akibat orang yang disayang dalam kondisi yang tidak berdaya dan tidak bisa melakukan apapun, John sangat tahu hal itu karena profesinya yang seorang dokter.

John termasuk beruntung karena tidak perlu merasakannya. Tidak ada kejadian buruk yang menimpa Anna dan wanita itu baik-baik saja. Malah, riwayat sakit pun tidak ada. Kalau saja terjadi sesuatu yang buruk padanya, John tidak bisa membayangkan bagaimana dirinya nanti. Dia baru saja menemukan cinta sejatinya dan tidak mau merasakan rasa sakitnya kehilangan.

John menarik nafas untuk menenangkan dirinya. Tidak ada hal buruk yang terjadi. Semuanya akan baik-baik saja. Dia hanya perlu memastikan kalau kebersamaan ini terus berlangsung. Dia akan membuat Anna bahagia dan menjaganya dengan segenap jiwanya.

John lalu melirik ke arah jam tangannya. Sebentar lagi waktunya pulang. Dia sudah tidak sabar untuk melalui malam yang menyenangkan. Mengingat bagaimana instensnya ciuman mereka tadi pagi, membuat bibirnya menyeringai. Hanya dengan ciuman, Anna sudah bergairah. Padahal dia belum melancarkan serangan lain yang bisa membuat wanita itu berteriak penuh kenikmatan. Kelihatannya, malam ini dia bisa menunjukkan keahliannya dan membuat Anna candu.

Memikirkan apa yang akan dilakukannya nanti membuat John menegang. Untung saja dia memberitahu Julie sebelumnya soal Lizbeth menginap. Kalau tidak, dari gaya bicara pasti sudah ketahuan kalau ada yang aneh dengannya. Apalagi kalau Julie sampai tahu rencananya nanti, bisa-bisa dia datang untuk mengacaukan segalanya.

Dengan langkah ringan dan juga siulan, John menaiki mobilnya dan bersiap untuk menyetir. Melihat jok kulit yang hitam mengkilap, pikirannya langsung berfantasi liar memikirkan bagaimana rasanya bercinta didalam mobil. Anna yang duduk diatasnya dalam keadaan sempit bergerak-gerak liar, desahan yang tepat ditelinganya dan kedekatan yang dirasakan membuat John mengerang frustasi.

Begitu mobilnya menyentuh jalan raya, John langsung menancap dan mengabaikan peraturan tentang batas kecepatan. Dia harus segera pulang dan melepaskan hasrat terpendamnya. Memang hanya Anna yang mampu membuatnya seperti ini dan dia harus cepat mengikatnya agar bisa dengan bebas melakukan hal-hal menyenangkan bersamanya.

***

Begitu sampai di apartementnya, John tidak membuang waktu dan langsung menyerbu Anna yang tengah memasak. Wanita itu terpekik kaget dengan spatula yang masih dalam genggaman. Mengabaikan protesnya, John mematikan kompor dan membawa wanita itu ke ranjang. Dia mengurung Anna dengan membaringkannya di ranjang dan menelentangkan kedua tangan agar tidak bisa lari. Matanya menatap liar ketika bagian atas Anna yang sedikit terbuka dan langsung memberikan ciuman disana.

“John! Aku belum mandi! Aku bahkan belum selesai memasak!” seru Anna disamping telinganya.

John seolah tuli dan terus melakukan aksinya. Tidak perlu aroma sabun ataupun parfum mahal yang memenuhi tubuhnya. Baunya yang seperti ini saja sudah cukup memabukkannya. Rambut acaknya, membuat Anna terlihat seksi, begitu pula dengan dress ketat yang masih sama dikenakannya dengan tadi pagi, mengakibatkan John teringat dengan ciumannya tadi pagi dan memperdalamnya.

Karena Anna terus meronta, John menjepit kedua kakinya yang terus menendang dan semakin bergelora mengeksplorasi setiap sudut bibirnya. Semangatnya semakin membara ketika perlawanan Anna melemah digantikan dengan hasrat yang sama besar dengannya. Wanita itu membalas ciumannya dengan mengalunkan kedua lengan pada lehernya untuk menikmati sensasi yang didapatkan.

Tidak ada diantara mereka yang bisa melawan hasrat yang menggebu. Terlebih, Anna sudah lupa dengan janji yang dibuat dan terlena dengan keahlian John. Bahkan dia mendesah keras ketika puncak dadanya dihisap dan juga bagian bawahnya yang terus bergesekan dengan milik John. Punggungnya melengkung pasrah dan menjambak rambut pria itu frustasi menahan desakan yang bergelora.

John memang belum sepenuhnya menyentuh bagian sensitif itu dan sengaja menunda agar Anna bisa sampai pada batas kepuasannya. Pengalaman wanita itu sama banyaknya dengan dirinya. Jika dia langsung memberikan makanan utama, tentu itu tidak akan memuaskannya. Lagipula, bersentuhan seperti ini dengan pakaian yang masih dikenakan menimbulkan sensasi baru yang belum pernah dirasakannya.

Rasanya John bisa gila kalau Anna sampai jatuh ketangan pria lain. Daripada menunggu sampai tanggal rencana, lebih baik dia mempercepatnya.

John lalu menghentikan kegiatannya, membiarkan dirinya dan Anna mengambil nafas sejenak. Mereka berdua sama-sama kehabisan nafas karena cumbuan tadi. Anna terlihat sangat menggoda dengan bibirnya yang basah sedangkan John tampak lebih mempesona dari biasanya.

Sebuah senyuman tersungging di bibir John ketika melihat mata wanita itu yang sama berkabutnya dengan dirinya. Wanita itu sangat bernafsu. Sampai-sampai disela istirahat ini, dia masih menggerakkan pinggulnya mencari kepuasan. Malu dilihat seperti itu, Anna menutup wajahnya dengan tangan dan memalingkannya.

“Kau liar sekali, seperti dua tahun lalu. Aku bahkan masih ingat bagaimana rasanya dan tidak ada wanita lain yang bisa memuaskanku selain dirimu.” John memberikan kecupan-kecupan ringan disepanjang lengan yang menutupi wajah wanita itu yang menimbulkan sensasi geli dan juga basah.

“Jadi setelah itu, kau ada berhubungan dengan wanita lain?” Ada getaran menyakitkan dipertanyaan itu. Sebenarnya, Anna tidak berani menanyakan hal itu ataupun mengetahui jawabannya. Tetapi rasa penasaran yang terus menghantuinya, membuatnya memberanikan diri untuk bertanya.

“Tidak. Setelah melakukannya denganmu, aku tidak pernah berhubungan dengan wanita manapun lagi. Malahan aku tidak pernah memikirkannya. Kau tahu kenapa?”

Anna menggeleng lemah sebagai jawaban.

“Itu karena aku tidak bisa melupakanmu.” John menarik wajah Anna dan memberikan ciuman singkat di pangkal hidungnya. Seolah itu belum cukup, dia lalu menempelkan dahinya hingga wajah mereka sangat dekat. “Anna, aku tidak bisa menahannya lagi. Apa aku boleh bercinta denganmu?”

Pertanyaan John membuat Anna tertegun. Sebenarnya tanpa perlu bertanya pun dia sudah tahu jawabannya. Namun kelihatannya John ingin mengetahui bagaimana tanggapannya terlebih dahulu. Karena sekarang keinginannya sedang tinggi, terpaksa Anna mengangguk kecil yang langsung disambut dengan sorakan John.

“Terima kasih, Anna! Aku pasti akan memuaskanmu sampai kau berseru memanggil namaku walaupun dalam mimpi!” Tanpa menunggu jawaban Anna, John segera membuka pakaiannya dan juga wanita itu lalu melanjutkan malam yang mendebarkan.

***

Begitu terbangun, John lansung menyunggingkan senyum ketika melihat punggung mulus Anna yang menghadap padanya. Itu berati, kejadian semalam yang terjadi bukanlah mimpi. Mereka benar-benar bercinta hingga sepanjang malam dan saling memuaskan satu sama lain. Ketika Anna sudah kelelahan, barulah John menghentikan sesi malam itu dengan memberikan pelukan dan belaian ringan hingga membuatnya tertidur. Ketika wanitanya telah memejamkan mata, barulah John menyusul dan terlelap hingga pagi.

Anna juga tidak menolak ketika dia memeluknya. Justru wanita itu merasa nyaman, ditambah dengan elusan disepanjang punggung yang membuat tubuhnya santai dan langsung tertidur.

Ini benar-benar pengalaman yang luar biasa!

Tubuhnya pagi ini sangat segar luar biasa. Seperti semua beban yang menumpuk dikepalanya, hilang begitu saja. Badannya pun terasa sehat, seakan-akan selesai marathon pagi. Bercinta memang sehat karena dapat menjaga kesehatan seperti membakar kalori, meningkatkan sistem imun, memelihara kesehatan jantung dan lainnya. Tetapi ada satu hal yang membuatnya menjadi semakin berharga, yaitu dilakukan bersama orang yang dicintai.

Membayangkan setiap hari melakukannya membuat hasrat John kembali naik. Dia menggeleng sekali, mengatakan pada dirinya kalau tidak boleh melakukannya lagi. Dia harus bisa bertahan, agar Anna tidak menganggapnya sebagai maniak seks yang hanya menginginkan tubuhnya. Nanti setelah mereka menikah, barulah dia bisa melakukannya sepuasnya dan melaksanakan berbagai ide gilanya.

“John …” Suara serak Anna saat memanggil namanya terdengar sangat seksi ditelinganya. Anna sudah terbangun dan mengucek mata untuk menjernihkan penglihatannya.

“Sudah terbangun, Sayang? Tidurlah lagi, kau tidak perlu memikirkan soal sarapan.” John mengelus pucuk kepala Anna yang menyebabkan mata wanita itu kembali mengantuk.

Anna mengernyitkan dahinya mendengar panggilan yang ditujukan padanya. “Kau benar-benar mirip dengan Alex, memanggilku dengan sebutan sayang. Apa tidak ada sebutan lain? Nanti, aku dan Nina kesulitan menyahut panggilan kalian.”

John terkekeh dan menarik wanita itu dalam pelukannya. “Kalau begitu bagaimana dengan My lovely sassy girl? Cocok dengan sifatmu itu.” Selesai mengatakannya, John memajukan bibirnya meminta untuk dicium.

Alih-alih mendapat ciuman, wanita itu justru memberikan tamparan pelan dengan wajah bersungut-sungut. “Aku benci padamu!” Anna kembali membalikkan punggungnya dan tidak mau menatap John.

“Jangan begitu.”  John menyelipkan lengannya diantara tangan Anna dan mendekapnya. Tidak ada perlawanan dari wanita itu yang menandakan kalau dia tidak benar-benar marah. “Baiklah, aku akan memanggil namamu saja kalau kita bersama Alex. Kalau hanya berdua, aku akan memanggilmu dengan sebutan, Sayang”

Anna lalu membalikkan tubuhnya, kemudian memberikan ciuman singkat di pipi John hingga membuatnya terkejut. “Baiklah. Aku ingin mandi dan membereskan masakan yang tertinggal di dapur. Adakah sarapan yang kau mau?”

John memasang wajah berpikir sejenak sebelum menjawab. “Pagi ini delivery saja. Aku tidak mau memberatkanmu kecuali kalau kau memang ingin kubuat kelelahan lagi.”

John mengatakan dengan nada sensual yang dapat dimengerti Anna. Wanita itu mengambil bantal dan membantingnya ke wajah John. “Dalam mimpimu!”

Sesudah itu, Anna menuju dapur dengan mengenakan kemeja John sedangkan pria itu masih bergelut diranjang dengan senyum mesumnya.

 

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Sassy Maid and Playboy Doctor – 18

8 votes, average: 1.00 out of 1 (8 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

2

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

“Lizbeth, ayo cepat! Kita hampir terlambat!” seruku yang bisa didengar ke seluruh rumah. Aku sengaja berteriak sedikit keras karena sedang memasak sedangkan Lizbeth masih dikamar. Waktu masih belum menunjukkan pukul 7 dan aku mempersiapkan sarapan sebelum berangkat ke apartement John.

“10 menit lagi! Aku sedang menata rambut!” balas Lizbeth tak kalah tinggi. Gadis itu sekarang tinggal denganku dan dia sangat senang mendapatkan kamar pribadi yang luas. Selama tinggal disini, dia bisa mengikuti waktu bangunku yang pagi-pagi sekali. Aku salut dengan tindakannya itu. Dia sama sekali tidak mengeluh dan melakukannya dengan riang.

Aku tersenyum sambil melanjutkan memasak dan setelah selesai, aku menatanya dalam kotak bekal. Pagi ini, aku membuatkan sandwich daging dengan berbagai isian sayur sehat. Rotinya sengaja aku panggang terlebih dahulu dengan dibalur mentega agar menambah rasa harum dan gurih. Selain daging dan sayur, aku juga meletakkan banyak mayonaise buatanku sendiri. Rasanya tentu saja lebih nikmat daripada beli di supermarket. Bahkan aku sendiri sempat tergiur ingin menggigitnya sedikit.

 Bahkan aku sendiri sempat tergiur ingin menggigitnya sedikit

“Harumnya.” Lizbeth muncul dari ambang pintu dan mendekat dengan mata lebar. “Aku mau satu,” ucapnya manja. Ekspresinya yang lucu itu sangat mematikan. Dipadu dengan baju lolita biru membuatnya tampak imut dan menggemaskan.

Kalau saja aku masih belum mengenalnya dengan baik, pasti aku akan memberikannya begitu saja

Kalau saja aku masih belum mengenalnya dengan baik, pasti aku akan memberikannya begitu saja. Tetapi tidak. Jangan lihat tubuhnya yang kecil itu tapi mampu menampung banyak makanan. Kalau aku membiarkannya makan, dia pasti tidak akan selesai sampai semuanya habis. Bisa-bisa, John kelaparan karena menungguku membuatnya lagi. “Nanti, setelah kita sampai di apartement John.”

Lizbeth menggembungkan kedua pipinya cemberut. Kemudian dengan kepala tertunduk dia berjalan keluar untuk bersiap-siap.

Aku menggelengkan kepala melihat sikapnya itu. Mengenai Lizbeth yang tinggal disini, itu karena aku yang meminta. Aku bukan kasihan pada John yang tidur dilantai tapi karena tempat tinggal pria itu memang tidak memiliki ruang privasi. Bahkan untuk kamar ganti pun tidak ada. Apartement milik John itu sangat kecil dan memang hanya diperuntukkan untuk satu orang.

Saat aku menawarkannnya, Lizbeth tentu saja senang. Aku masih ingat ketika menunjukkan kamar kosong disamping kamarku. Dia berteriak senang melihat walk in closet yang tersedia, belum lagi dengan kamar mandi yang berada didalam dan ruangan yang luas. Lizbeth langsung menata pakaiannya dan memajang berbagai perlengkapan lucu yang dibawa seperti boneka ataupun aksesoris lainnya.

Lizbeth adalah seorang gadis. Tentu saja dia membutuhkan ruangan sendiri dan melakukan apa yang disuka dikamar. Kalau ditempat John, dia hanya bisa mengikuti pria itu pulang pergi kerja tanpa melakukan kegiatan apapun. Sedangkan disini setidaknya dia bisa bebas, seperti menjahit, bermalas-malasan dan bersantai. Toh, dengan kedatangannya disini aku jadi punya teman malam untuk bercerita.

Aku tidak menginap diapartement John. Kami memang sudah berbaikan tetapi tetap saja ada batasan yang dibuat. Aku ingin mencontoh Nina yang menjaga kepolosan hingga menikah. Tetapi kalian semua tahu kalau Alex itu bagaimana sampai akhirnya aku memarahi pria itu dan memberi batasan.

Soal hubungan kami, sebenarnya tidak ada kelanjutan setelah pertemuan di restorant waktu itu. John sangat sibuk sampai-sampai aku hanya bisa menemuinya waktu makan. Setelah itu dia akan kembali bekerja dan pulang malam. Dia memang menyuruhku untuk tidak menunggu dan selalu memberi kabar kalau akan menginap di rumah sakit.

Apa boleh buat, itu sudah tugasnya sebagai dokter untuk menolong orang lain. Karena pekerjaannya itu membutuhkan banyak tenaga dan dia sering lalai mengabaikan kesahatannya, sudah tugasku untuk menjaga dan memberikan makanan bergizi. Aku hanya berharap pria itu tidak sakit sampai tumbang seperti dulu.

“Kau lama sekali padahal tadi menyuruhku cepat.” Lizbeth sengaja berwajah masam sambil menghentakkan kakinya. Meskipun begitu, dia tetap tampak lucu dan tidak menakutkan sama sekali.

“Maaf, maaf. Tadi aku memencet sabun kebanyakan jadi susah menghilangkannya. Tenang saja, aku sudah membuat lebih dan bisa dimakan saat di mobil,” ucapku sambil mengangkat keranjang yang berisi makanan.

Lizbeth langsung tersenyum gembira dan memeluk lenganku bermanja-manja disana.” Yeay! Kau memang yang terbaik! Kakak sepupuku itu memang beruntung punya pacar sepertimu.”

Aku tertawa mendengar pujian itu. Kalau saja keinginannya terpenuhi, Lizbeth pasti akan bersikap manis seperti sekarang. “Ayo kita berangkat. John pasti sudah kelaparan.”

Lizbeth mengangguk setuju dan sambil menggandeng lenganku, kami berdua pergi menuju tempat sang pangeran.

***

“Sayang, aku mau dicium.” John merentangkan kedua tangannya lebar dan memajukan bibirnya yang masih penuh dengan sandwich.

Sikapnya yang kekanak-kanakan membuatku terkekeh. Kalau saja ditempat ini hanya kami berdua, mungkin aku bisa mempertimbangkan keinginannya dengan mengelap mulutnya terlebih dahulu dan memberikan ciuman ringan dipipinya. Hanya begitu saja memang tidak bisa memuaskannya. Aku tidak mau membuatnya terlambat dengan adegan panas yang tidak tahu kapan selesainya.

“Kalau punya waktu untuk itu, lebih baik kau bersiap-siap. Lihat sudah jam berapa sekarang. Bisa-bisa kau terjebak kemacetan kalau menunda lebih lama lagi,” ucapku sambil membereskan piring.

“Hanya satu ciuman. Aku janji hanya sebentar,” tawar John masih belum menyerah. Bahkan dia sudah melebarkan matanya, memohon seperti Lizbeth dengan wajah sesedih-sedihnya untuk menarik simpati lawan.

“Tidak,” ucapku lambat agar membuatnya menyerah dan tentu saja itu berhasil. Aku bisa mendengar suara kursi bergeser yang tandanya kalau John sudah beranjak. Bukannya aku sengaja bersikap dingin. Hanya saja dia benar-benar bisa terlambat kerumah sakit.

Siapa yang tidak senang bisa bertemu dengan pacar setelah sekian hari tidak bertemu? Ini adalah pertama kalinya kami sarapan bersama ditengah-tengah kesibukannya yang melimpah. Bahkan untuk hari ini, aku sengaja bangun pagi-pagi dan berdandan. Tentu saja aku juga tidak ingin kebersamaan kami berakhir begitu saja!

Ketika aku ingin membalikkan badanku untuk mengambil piring kotor, tiba-tiba John memelukku dari belakang dan mencium leherku. Darahku berdesir dan tanpa sadar mengeluarkan desahan ketika John menyentuh dadaku. Aku langsung menutup mulut dan menoleh mencari keberadaan Lizbeth. Belum sempat aku melakukannya, John justru meraih bibirku dan menciumnya.

John sangat lihai memainkan lidahnya. Aku memang mempunyai pengalaman tapi aku belum pernah merasakan seperti ini pada pria manapun. Tubuhku memanas dan pandanganku mengabur. Aku tahu kalau aku harus menghentikan ini tetapi tubuhku tidak sejalan dengan pikiranku. Justru aku semakin berhasrat dan tidak ingin berhenti begitu saja.

Bunyi telepon membuat kami sama-sama terlonjak. John segera mengambil teleponnya dan mengangkat tanpa melihat siapa yang menghubungi. Aku masih suka kaget dengan nada deringnya yang keras itu. Apa boleh buat, dia sengaja membuatnya seperti itu agar bisa langsung siaga. Karena itu tandanya pihak rumah sakit yang menghubungi ketika dia tidak berada ditempat.

Aku berterima kasih pada siapapun yang menelepon itu. Karena John langsung berhenti dan memberikanku ruang. Kalau saja hal itu terus berlanjut, bisa-bisa kami melakukan hal yang seharusnya tidak boleh dilakukan. Padahal aku sudah berjanji pada diriku sendiri agar lebih berhati-hati.

Ada Lizbeth saja John berani seperti ini. Bagaimana kalau misalnya aku sendirian yang kemari? Wajahku langsung memerah memikirkan hal yang pasti akan terjadi. Kelihatannya setelah ini aku akan memarahinya dan memberi ancaman agar pria itu tidak berani sembarangan lagi menciumku.

“Ada apa?” tanya John pada penelepon diseberang.

Tidak ada jawaban. Suasana begitu hening sampai John melihat siapa yang menghubunginya dan nama Julie terpampang jelas disana. “Kalau kau cuma mau menjahiliku, aku akan menutup telepon!”

‘Aku menelepon Lizbeth dan katanya kau masih dirumah sedang bermesramesraan dengan Anna.’ Suara Julie terdengar berat diseberang sana, seperti sedang menahan marah.

“Dan kau sengaja menelepon untuk menganganggu? Sial! Padahal tadi sedang seru-serunya!” Sekarang giliran John yang menggerutu.

Aku sampai kaget mendengarnya berkata seperti itu. Kalau saja dia tidak ada pekerjaan penting, aku pasti sudah memukul kepalanya itu dengan piring penuh sabun.

Apa kau lupa siapa yang merencanakan meeting di pagi ini? Karena siapa ya, semua staff harus bekerja extra sedangkan pemeran utamanya sedang bersantaisantai?’ Suara Julie terdengar cukup kencang walaupun tidak menggunakan loudspeaker.

Wajah John kelihatan memucat. Dia sengaja menjauh dariku dan menempelkan ponselnya dekat dengan telinga. “Jangan mengatakannya keras-keras!” pinta John setengah berbisik. “Aku akan segera kesana,” sambungnya cepat lalu mematikan telepon.

“Apa ada masalah?” tanyaku ketika melihat John buru-buru mengenakan sepatunya.

“Tida ada, semuanya baik-baik saja. Oh ya, malam ini aku akan pulang cepat. Buatkan aku steak yang enak ya.” John mencium dahiku sekali sebelum berangkat. “Let’s have romantic dinner. Soal Lizbeth, biar aku yang mengurusnya.”

John mengedipkan sebelah matanya dan melambaikan tangan sebelum pergi. Setelah bayangan pria itu menghilang di balik lift, barulah aku sadar kalau Lizbeth berdiri di pintu seberang sambil memainkan rambutnya.

“Kenapa kau berdiri disitu? Ayo masuk.”

Lizbeth kelihatan ragu-ragu dan menggelengkan kepalanya. “Aku disini saja. Siapa tahu disana ada bekas yang mau dibersihkan. Atau, aku ke lobby saja sekalian mencari tempat berfoto. Kalau kau sudah selesai panggil aku ya.”

Wajahku kembali memerah mengerti apa yang dimaksudnya. Sebelum aku marah, Lizbeth sudah kabur lebih dulu. Yah, aku tidak benar-benar marah padanya dan memang lebih baik kalau dia menghibur diri sembari menungguku. Karena John ingin makan steak, aku harus berbelanja terlebih dahulu. Aku bisa mengajak Lizbeth nanti sekalian makan kue untuk menghabiskan waktu.

***

Ditengah ramainya pejalan kaki, seorang pria lanjut usia berpakaian compang camping berjalan terhuyung dengan sebotol miras ditangannya. Sekujur tubuhnya dipenuhi dengan aroma alkohol dan bau-bau lainnya. Wajahnya tidak terlihat jelas karena tertupi rambutnya yang panjang dan juga kumal. Setiap berjalan, dia menggumamkan sumpah serapah dan menabrak siapapun yang lewat. Tidak ada yang melawan dan juga tidak ada yang peduli. Malahan ketika berpapasan dengannya, mereka berjalan sedikit menjauh dan menatapnya risih.

Menyadari ditatap seperti itu, pria itu justru menatap garang pada setiap orang yang lewat. Dia juga meludahi mereka dan bersikap seolah-olah ingin memukul. Sampai akhirnya, tidak ada yang berani menatap atau melewatinya. Merasa dirinya berhasil membuat semua orang takut, pria itu tertawa keras dan kemudian tumbang disertai dengan bunyi perut yang keras.

Pria itu lalu menyentuh perutnya yang perih karena lapar. Dengan langkah tertatih, dia membawa tubuhnya ke tepi dan beristirahat. Tempatnya duduk sekarang, ternyata merupakan sebuah restorant kecil. Aroma makanan yang menguar membuat perutnya semakin bergemuruh minta diisi. Wajar saja, sejak pagi dia sama sekali belum makan. Malahan dari semalam, dia melaluinya dengan minum-minum.

Pria itu merogoh kantong bajunya dan hanya menemukan sebuah bungkus permen kosong. Tidak ada uang sama sekali yang tersisa pada dirinya. Kalaupun ada, dia pasti sudah menghabiskannya di meja judi, berharap jika nasibnya bisa berubah dengan mendapatkan uang yang banyak. Kebiasaan itu membuatnya terpuruk hingga sekarang. Tidak mempunyai teman, tempat tinggal ataupun keluarga yang telah dihancurkan dengan tangannya sendiri.

Kesal karena tidak mempunyai uang, dia membanting bungkus permen itu dan menjerit karena melukai tangannya sendiri. Rasa sakit dari tangannya dan juga lapar membuatnya kesal. Dia meraung sekeras-kerasnya hingga membuat sang pemilik restorant keluar dan menyiram air dingin padanya.

“Pergi dari sini! Dasar sinting!”

Pria itu berdiri langsung, memperhatikan pakaiannya yang basah lalu menatap pemilik restorant dengan mata nyalang. “Berani-beraninya kau menantangku, akan kuhancurkan tempat ini hingga tak bersisa!”

Pria itu lalu melempar botol mirasnya hingga hancur berkeping-keping. Pecahan kaca botol mengenai beberapa pejalan kaki yang lewat dan melukai mereka. Alhasil, tindakannya itu memicu kemarahan dari warga sekitar. Langsung saja mereka mengambil batu atau benda apapun yang bisa dilempar. Sadar kalau dirinya menjadi bulan-bulanan, pria itu pergi sambil melindungi dirinya sendiri menerobos keramaian.

Dalam hati, dia mengutuk semuanya dan berjanji akan membalas mereka satu per satu jika dirinya sudah memiliki uang. Tetapi, semua itu hanyalah ucapan belaka. Dia tidak memiliki kemampuan untuk melakukannya. Kalaupun memiliki uang, semuanya akan lenyap begitu saja karena kebodohannya sendiri.

Pria itu berhenti ketika kakinya sudah lelah. Perutnya semakin sakit setelah berlari tadi dan perlu diisi. Dia menolak, kalau hari ini adalah hari terakhir dalam hidupnya dengan putus asa. Kalau hari ini dia mati, dia tidak ingin mati sebagai gelandangan. Dia ingin kaya dan hidup dengan harta melimpah agar tidak perlu melalui nasib buruk seperti ini.

Ditengah-tengah kepanikannya itu, matanya menangkap satu pejalan kaki yang membuang setengah rotinya kedalam tong sampah. Segera dia mendekati tempat itu dan memperhatikan sekelilingnya untuk melihat apakah ada gelandangan lain yang ingin berebut dengannya. Begitu situasi aman, dia mengambil makanan itu, mengusap permukaanya kemudian memakannya.

Persetan dengan tatapan jijik yang diberikan orang-orang. Persetan dengan rasa roti yang keras dan sangat tidak enak dimulutnya itu. Sekarang prioritasnya adalah mengeyangkan perut dan bertahan. Dia tidak peduli jika roti ini adalah mukjizat yang diberikan untuknya. Dia tidak percaya apapun selain dirinya sendiri.

Ketika memakan roti itu, matanya menatap kepada dua orang wanita yang berjalan keluar dari pusat perbelanjaan. Bukan, lebih tepatnya, pandangannya tertuju pada wanita berambut blonde yang berjalan bersisian dengan gadis berpakaian biru. Wanita itu mirip dengan perempuan yang dikenalnya dulu. Perempuan bodoh yang rela melakukan apapun untuknya dan memberikan seorang buah hati yang cantik.

Pria itu mengusap matanya untuk memastikan penglihatannya. Bibirnya melengkung, membentuk seringaian licik yang tertera jelas disana. Dia tidak mungkin salah mengenal orang apalagi putrinya sendiri. Kelihatannya, keberuntungan tengah berpihak padanya. Disaat-saat keadaan sulit, dia bertemu dengan putrinya yang telah lama tak dilihat.

Bayangan tentang perempuan bodoh yang menjadi istrinya itu berputar-putar dikepalanya. Dulu, perempuan itu selalu memberikan apapun yang diminta demi suami tercinta. Sekarang, putrinya pasti juga akan melakukan hal yang sama kepada ayah satu-satunya. Mereka adalah keluarga dan keluarga saling membantu. Dia akan menemui putrinya itu dan memanfaatkannya untuk mengubah hidupnya yang mengenaskan ini.

Daddy will find you. My sweet daughter.

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Sassy Maid and Playboy Doctor – 17

10 votes, average: 1.00 out of 1 (10 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

2

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

John duduk dengan gelisah. Berulang kali dia berdehem dan memperhatikan dirinya dari balik cermin kecil yang dibawa. Tidak ada yang salah dari penampilannya hari ini tapi dia selalu merasa ada yang kurang dan terus merapikan dasinya yang tidak miring. Khusus untuk pertemuan ini, dia telah mencukur habis semua kumis kasar yang tumbuh dan menggunakan beberapa produk wajah guna mengembalikan kesegaran kulitnya yang sebelumnya kusam. Bahkan, dia menyempatkan diri ke salon sebentar untuk merapikan rambutnya sebelum kembali ke apartement untuk berganti pakaian.

Lizbeth mengirim pesan padanya agar tidak tergesa-gesa. Gadis itu dan Julie menahan Anna lebih lama dengan memberinya berbagai macam perawatan dan dandanan agar membuatnya tampak lebih cantik. John memang senang dengan rencana itu karena memberi tambahan waktu untuknya. Tetapi, itu bukan berati dia bisa berleha-leha. Justru semua rencana untuk membuat rupanya lebih baik dibatalkan.

John mengenakan pakaian yang menurutnya paling baik dan buru-buru menuju sebuah toko untuk membeli sebuket bunga mawar. Dia tidak tahu bunga favorit wanita itu dan terlalu panik sampai lupa menelepon Alex. Yang diketahuinya, mawar adalah lambang dari cinta senjati. Karena itu, dia meminta kepada pegawai toko untuk menyusun mawar mekar dalam kotak putih berbentuk hati disana dan menambahkan pita merah sebagai hiasan. John berharap, kalau wanita itu akan menyukainya dan menerima perasaanya.

Karena mengetahui kebiasaan wanita itu, disinilah John sekarang, menunggu sendirian disalah meja restorant terkenal di New York

Karena mengetahui kebiasaan wanita itu, disinilah John sekarang, menunggu sendirian disalah meja restorant terkenal di New York. Sekotak mawar yang dibawanya diletak di tengah-tengah meja. Saat Anna datang nanti, dia berniat untuk memberikannya langsung dan membuat wanita itu tersenyum.

John tidak melakukan cara ekstrim seperti mengosongkan seluruh tempat karena yakin kalau hal itu akan semakin membuat mereka berdua canggung. Belum lagi, tidak mudah melakukannya jika tidak direncanakan jauh-jauh hari sebelumnya. Dia bukanlah Alex, yang bisa melakukannya dalam sekejab dengan segala pengaruh dan kekuasaan yang dimilikinya. John berjanji, ketika melamar Anna nanti, dia akan melakukan hal yang lebih romantis daripada mengosongkan restorant dan membuatnyaa menjadi kenangan yang tak terlupakan.

Sambil menunggu kedatangan Anna, John menenangkan diri dengan minum dan mendengarkan percakapan tamu-tamu lain yang datang. Matanya menatap gelisah pada jam tangan yang telah lewat dari waktu perjanjian. Baru sepuluh menit dan John terus berdoa dalam hati, berharap kalau Anna tidak tiba-tiba berubah pikiran dan tidak mau menemuinya. Untuk menenangkan pikirannya, John beranjak dari kursi ingin menuju toilet. Sebelum melangkahkan kakinya, matanya melebar melihat sosok wanita yang dipuja datang terengah-engah.

“Maaf, aku terlambat. Lizbeth lupa menanyakan dimana kau berada jadi aku harus bertanya di resepsionist dulu,” ucap Anna dengan nafas terputus-putus. Pasalnya begitu sampai diparkiran, dia langsung lari meninggalkan kedua wanita itu dan mencari-cari dimana John berada. Dia bahkan sempat panik karena sudah terlambat dari waktu yang dijanjikan. Anna tidak mau John menunggu lama karena dirinya dan membuat semua ini menjadi berantakan.

Anna mengenakan dress merah selutut yang menampakkan sedikit lekuk pinggangnya. Rambut pirangnya dibiarkan tergerai tanpa hiasan apapun. Butiran keringat menggumpal disekitaran dahinya sehingga membuat riasannya sedikit luntur. Tetapi meskipun begitu, Anna tetap terlihat cantik. Apalagi dengan bibirnya yang bewarna senada dengan bajunya, membuat John ingin mencicipi manisnya bibir ranum itu.

 Apalagi dengan bibirnya yang bewarna senada dengan bajunya, membuat John ingin mencicipi manisnya bibir ranum itu

“Kau cantik.” Dua patah kata itu langsung meluncur dari bibir John begitu saja. Dia tidak menyesalinya karena hal itu menimbulkan rona merah di pipi Anna yang membuatnya terlihat manis. Teringat dengan rencana awalnya, John segera mengambil bunga mawar yang telah dipersiapkan dan memberikannya pada wanita itu. “Ini untukmu. Seperti mawar ini, kau terlihat segar dan cantik. Bahkan kau lebih cantik daripada bunga manapun yang mekar.”

Anna menerima bunga itu dengan malu-malu dan menghirup aroma segar yang menguar. Membeli bunga, merapikan rambut dan wajah dalam satu jam bukanlah hal yang mudah. Tetapi John bisa melakukan semua itu dan datang lebih dulu untuk menunggunya. Mungkin seharusnya tadi dia mendengarkan saran Lizbeth agar datang lebih lama dan mengawasi John selama menunggunya. Melihat pria itu menunggu dengan gelisah bukanlah ide yang buruk.

“Terima kasih. Aku akan merawatnya dengan baik.”

Melihat Anna tersenyum, membuat dada John berdebar kencang. Jika bisa, dia ingin mengambil foto dan meletakkan di nakas tempat tidur. Dengan begitu, setiap pagi maupun tidur, dia bisa melihat senyum wanita itu terus menerus dan membuat hari-harinya damai. Kalau boleh meminta lebih, John ingin kalau Anna sendiri yang berada disampingnya, bukan hanya foto yang tak bisa dipeluk.

“Ayo duduk. Aku akan membantumu.” John memperlakukan Anna selayaknya ratu dengan membantunya menarik kursi dan mendorong kursi. Selanjutnya, dengan sedikit terbirit-birit, dia kembali ke tempat duduknya dan memanggil pelayan untuk menyajikan makanan.

John tidak bisa melepaskan tatapannya dari Anna sedikitpun. Sambil menatapanya, dia terus tersenyum hingga membuat Anna sedikit merasa risih karena membuatnya seperti orang bodoh. Ya, sekarang pikirannya tidak bisa bekerja dengan baik karena dimabuk asmara.

“Berhenti tersenyum! Kau terlihat aneh!” Anna tidak bisa menahan diri untuk menghardik karena ekspresi John membuat orang-orang melihatnya tertawa remeh.

“Aku tidak bisa menghentikannya apalagi sudah lama aku tidak melihatmu. Kalau ini mimpi, aku tidak mau bangun dan ingin terus bersamamu.” John memajukan bibirnya seperti hendak untuk mencium.

Cepat-cepat Anna menampar pelan dengan buku menu agar pria itu tersadar. “Kalau kau terus seperti ini, lebih baik aku pulang dan berendam daripada harus malu karena wajah konyolmu.”

“Meskipun wajahku konyol, kau tetap menyukainya bukan?” John menyunggingkan senyum penuh pesonanya, membuat wajah bodohnya langsung digantikan dengan wajah tampan yang sebenarnya. Wanita-wanita yang berada ditempat itu langsung tersipu dan merasa bodoh karena telah salah menilainya tadi. Bahkan, beberapa dari mereka tampak ingin menggoda langsung dengan memberikan isyarat mata ataupun bergerak berlebihan agar bisa menarik perhatian John.

Anna tidak bisa menyembunyikan rasa cemburunya. Kalau tahu ini akan terjadi, lebih baik John tetap memasang wajah bodohnya yang tersenyum tidak jelas. Memang tidak ada yang bisa mengalahkan daya tarik yang memang sudah menjadi bawaan lahirnya. Bahkan satu senyum kecil darinya bisa membuat mata siapapun silau karena pesonanya.

Belum sempat Anna memarahinya, pelayan datang mengatarkan minuman dan juga kue. Saat melihatnya, Anna teringat kalau meninggalkannya tadi di mobil. Melihat kue itu disini, berati Lizbeth dan Julie mengatarnya. Dia lalu memperhatikan sekelilingnya dan tidak menemukan keberadaan mereka.

“Kalau kau mencari Lizbeth dan Julie, mereka sudah pergi setelah mengatarmu tadi. Mereka ingin memberikan kita waktu berdua,” ucap John malu-malu. Tatapannya lalu tertuju pada kue yang disajikan ditengah-tengah meja. Melihat tidak ada kartu ucapan yang diletakkan sebelumnya, John mencuri pandang ke arah Anna. “Jadi, kau sudah membacanya?”

Anna langsung mengerti kalau yang dimaksud John adalah kartu ucapan. Tentu saja dia sudah membacanya apalagi bibirnya tidak berhenti tersenyum dan sempat memeluk kartu itu. Anna mengangguk lemah sebagai jawaban kemudian menundukkan kepala untuk menyembunyikan pipinya yang memerah.

“Lalu soal kata-katamu di telepon tadi … ” John menelan ludahnya sekali, mengumpulkan keberanian untuk menjawab. “Apa kau sungguh-sungguh?”

Wajah Anna semakin memerah mendengar pertanyaan itu. Tangannya terkepal erat, menahan gejolak emosi yang meluap-luap. Dia sudah menduga kalau John akan bertanya tentang hal itu. Tetapi entah kenapa, dirinya masih tidak siap. Kalimat itu memang diucapkan secara spontan dan dia tidak ada niat untuk menyangkalnya. Namun, ada sesuatu yang mengganjal hatinya sehingga Anna tidak bisa menjawab pertanyaan itu langsung.

“Tidak perlu buru-buru menjawabnya.”

Anna langsung mengangkat wajahnya dan pandangannya bertemu dengan mata bening milik John. Pria itu menatapnya hangat, bagaikan matahari yang bersinar terang. Entah kenapa, hanya melihat John seperti itu membuat hatinya tenang.

“Aku bisa menunggu jawabannya nanti setelah kau memantapkan perasaanmu. Bisa bertemu denganmu saja sudah membuatku senang dan jujur aku belum pernah seperti ini pada wanita lain.” John menjulurkan tangannya, meminta tangan Anna yang terkepal dalam pangkuannya. Dengan ragu, wanita itu memberikan jemarinya yang langsung disambut olehnya. “Aku memang bukan pria yang baik tetapi aku akan berusaha agar pantas disisimu. Aku harap kau mau menerimaku yang buruk ini dan membuka hati padaku. Meskipun membutuhkan waktu, aku akan membuat yang terbaik setiap detiknya sehingga kau perlahan jatuh cinta padaku.”

Anna bisa merasakan kalau matanya memanas dan bibirnya bergetar. Ucapan John itu adalah sungguh-sungguh. Tidak ada yang buruk pada pria itu. Justru dialah wanita kurang ajar disini yang tidak pantas untuknya. Dirinya ini kotor dan tidak bisa memberikan yang terbaik untuknya.

“Aku tidak layak mendapat rasa cintamu. Kau sendiri tahu, aku ini … “

“Aku tidak peduli dengan masa lalumu,” potong John cepat.

Anna menggeleng lemah dan ingin menarik lengannya. Tetapi pria itu menahannya dan malah menggenggamnya lebih erat dari sebelumnya. “Siapapun pernah bertindak bodoh, bukan hanya dirimu saja. Aku, Alex bahkan Nina sekalipun pasti pernah melakukan kesalahan.”

Bulir-bulir hangat mengalir begitu saja membasahi pipi Anna. John sangat baik, begitu baik hingga berbading terbalik perilakunya selama ini. Anna selalu mengira kalau John adalah pria brengsek yang memanfaatkan ketampanannya begitu saja. Menghancurkan hati satu wanita ke wanita lain dan tidak pernah merasa puas. Nyatanya, pria itu adalah lelaki yang setia. Dia mempunyai alasan dibalik sikapnya itu dan memikirkan perasaan orang lain.

Jika ada orang jahat disini, dialah orangnya karena membenci tanpa alasan. Hanya kekerasan yang dialaminya sewaktu kecil membuatnya berpikir kalau semua pria itu sama. Karena itu juga dia tidak menyayangi dirinya sendiri dan menganggap bisa melalui semuanya sendirian. Tetapi sekarang berbeda. John ada disini dan mau memberikan kebahagiaan yang selama ini didambakannya. Lelaki yang dulu selalu dibencinya.

John menjulurkan lengannya, dengan perlahan menghapus air mata Anna dengan ibu jarinya. “Jangan menangis, Sayang. Riasanmu jadi rusak. Tetapi ada atau tidaknya make up, kau tetap terlihat cantik dimataku.”

Anna mau tak mau terkekeh mendengar godaan ringan John. Pria itu benar-benar memberikan pengaruh besar untuknya. Dadanya terasa lebih ringan setelah tertawa tadi.

“Nah seperti itu. Aku lebih suka melihatmu tersenyum. Kau jadi lebih cantik berkali-kali lipat.” John semakin bersemangat memuji Anna. Malah wajah tampannya sudah berubah kembali menjadi bodoh karena nyengir tidak jelas.

“Kalau begitu setiap kali kau keluar teruslah berwajah seperti itu agar siapapun yang melihat menganggapmu bodoh. Aku cemburu setiap kali ada wanita yang menatap liar kearahmu.” Anna sengaja membuat wajahnya terlihat cemberut untuk menunjukkan betapa serius dirinya.

Mendengar itu, John justru tersenyum semakin lebar. “Kau cemburu, benar kan? Aku senang kalau kau cemburu. Itu berati kau mulai menyukaiku kan?”

“Ya ya ya, aku cemburu. Nah, cepat makan kuemu!” Anna menyodorkan kue yang baru dipotongnya ke mulut John yang langsung disambut olehnya.

John mengunyah kue itu penuh nafsu seolah-olah adalah makanan terenak yang pernah dicicipinya. Kemudian, dia teringat sesuatu yang penting dan menatap wanita dihadapannya itu serius. “Setelah ini, kau akan kembali membereskan tempat tinggalku kan?”

Gerakan Anna yang hendak menyuapi kue terhenti sesaat. Kondisi mereka sekarang ini memang sudah lebih baik dari sebelumnya. Seharusnya tidak ada alasan lagi bagi dirinya untuk mengabaikan tugasnya yang satu itu. “Bagaimana kalau besok?” tawar Anna. Dia sedang malas untuk melakukan pekerjaan berat dan setelah ini mungkin dia akan memilih untuk beristirahat sambil menata perasaannya.

“Bagaimana kalau sekarang saja?” tawar John balik.

Anna spontan mengerutkan dahinya mengetahui ada yang tidak beres. Jangan bilang, dalam waktu seminggu rumah yang awalnya bersih kembali berantakan dan lebih buruk dari sebelumnya. Memikirkan baju kotor yang menumpuk, debu menggumpal dan sampah yang beserakan dimana-mana membuat mata Anna membelalak.

“Tidak separah yang kau pikirkan hanya saja tidak sebersih saat dulu kau datang.” John cepat-cepat menjelaskan agar wanita itu tidak meledakkan kemarahannya begitu saja. “Aku tidak bisa mengharapkan Lizbeth. Gadis itu tidak pernah menyentuh sapu ataupun peralatan lainnya. Apartementku bisa hancur kalau dia melakukan semuanya,” sambung John ketika mengetahui arti tatapan Anna.

Melihat John menatapnya penuh permohonan, mau tak mau Anna mengiyakan. Lagipula membayangkan John tidur berdua dengan sepupunya dalam kondisi kotor tentulah tidak nyaman apalagi Lizbeth seorang gadis.

“Baiklah tapi makan malam kau yang traktir. Lalu aku – “

“Terima kasih sayangku! Aku mencintaimu!” John sengaja menyerukannya keras-keras agar yang lain mendengar. Dia tidak peduli dengan Anna menatapnya mengancam sambil tersipun malu. Dengan begitu, semua yang berada di ruangan itu mengetahui kalau dia sudah memiliki pasangan dan hanya perlu sedikit lagi sampai wanita itu jatuh cinta padanya.

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Sassy Maid and Playboy Doctor – 16

9 votes, average: 1.00 out of 1 (9 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

2

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Pagi hari, Lizbeth sudah bangun dengan semangat baru untuk melewati hari. Dengan langkah ringan, dia menuju kamar mandi dan bersenandung kecil di bawah shower. Tubuhnya terasa lebih segar ketika bersentuhan dengan air. Saat melihat ke arah bathtub, timbul niatnya untuk berendam. Beberapa hari ini kulitnya tampak kusam. Untung saja dia membawa bath bomb dan mengambilnya dari tas perlengkapan mandinya.

Begitu bola warna warni itu menyentuh air, bunyi letupan dan aroma menenangkan langsung memenuhi seluruh ruangan

Begitu bola warna warni itu menyentuh air, bunyi letupan dan aroma menenangkan langsung memenuhi seluruh ruangan. Lizbeth terkikik senang ketika air yang jernih berubah menjadi warna muda favoritnya. Segera dia melompat kedalam bathtub untuk berendam dan memanjakan diri disana.

Aroma lavender bercampur rempah yang menenangkan membuat sekujur tubuh Lizbeth terasa rileks. Sambil membasuh tubuhnya, sesekali dia memainkan busa dan memejamkan matanya. Setelah puas, dia membilas lagi dengan air hangat dan tersenyum puas ketika kulitnya lebih cerah. Terlalu nyaman dengan kegiatannya, gadis itu sampai lupa waktu dan selesai 45 menit kemudian.

Lizbeth melirik ke arah jam yang menunjukkan hampir pukul 9 pagi. Dia menoleh ke arah John sejenak dan mendapati kakak sepupunya itu masih tertidur pulas. Kelihatannya, acara mandinya tadi tidak menganggunya. Tanpa berniat membangunkannya, Lizbeth melanjutkan kegiatan dengan menyiapkan sarapan roti sendiri.

John tidak tidur seranjang dengannya dan memilih tidur di lantai beralaskan seprai tipis. Menurutnya Lizbeth sekarang sudah dewasa dan tidak boleh sembarangan tidur dengan pria lain. Walaupun dulu sewaktu kecil mereka sering tidur bersama, John tetap memberikan batasan. Dia tidak ingin itu menjadi kebiasaan buruk yang bisa disalah artikan oleh orang lain.

Begitu selesai dengan sarapannya, Lizbeth mengambil selimutnya untuk John agar kakak sepupunya itu tidak kedinginan. Ada raut sedih diwajahnya ketika memandang John meskipun matanya terpejam. Kakak sepupunya itu kelihatan sangat menderita.

Semalam setelah membeli kue, John tertawa seperti biasa dan menemaninya makan sambil bersenda gurau. Namun saat malam ketika Lizbeth berpura-pura tidur, dia menemukan John meneguk beberapa kaleng alkohol. Bahkan, agar tidak menganggunya, John sengaja keluar dan minum di teras.

Butuh beberapa saat sampai John kembali dalam keadaan mabuk. Dia masih bisa mandi dan mengganti pakaiannya sendiri lalu tertidur setelahnya. Meskipun begitu, sesekali dia selalu menggumamkan nama Anna dalam mimpinya. Kakak sepupunya sangat mencintai wanita itu sampai-sampai membuat dirinya mengenaskan.

Lizbeth lalu menoleh pada kue yang kemarin di beli John. Kue itu sangat cantik, tidak kalah dari coklat strawberry pilihannya. Sayang kalau kue itu dibiarkan rusak begitu saja. Kalau melihat dari sikap John kemarin, sepertinya dia ingin memberikannya untuk Anna. Pandangan gadis itu lalu beralih pada kartu ucapan yang diselipkan pada kue itu. Dia tidak bisa menahan keinginan untuk tidak mengitipnya. Lizbeth melirik ke arah John sejenak untuk memastikannya masih tertidur lalu membacanya.

For you, the women i love – Johnathan Lewis

Dari tulisan singkat itu, Lizbeth mengetahui kalau John sangat mencintai Anna. Karena itulah dia sangat tersiksa ketika wanita itu tidak mau bertemu dengannya. Hubungan mereka menjadi rumit seperti ini karena kesalahannya. Untuk meluruskan kesalahpahaman ini, Lizbeth akan turun tangan sendiri untuk membantu kakak sepupunya itu.

Lizbeth kembali membungkus kue itu dengan rapi dan menutup pintu apartement dengan hati-hati. Saat bertemu dengannya nanti, dia akan menjelaskan semua yang terjadi dan mengatakan betapa terpuruknya John tanpa dirinya. Anna pasti akan luluh dan iba dengan kondisi John sekarang dan mau berbaikan dengannya.

Lizbeth tersenyum senang karena rencananya pasti akan berhasil. Kalau hubungan keduanya telah membaik, maka Anna akan menjadi kakak iparnya. Tidak masalah jika dia tidak bisa melakukan photo shoot bertema pernikahan dengan John. Setidaknya, saat mereka menikah nanti, dia bisa memuaskan diri dengan mendadani Anna secantik yang mungkin.

Agar rencananya berjalan lancar, ada satu wanita yang bisa membantunya yaitu dokter Julie Wood. Saat di toko kue, Lizbeth menyadari kalau wanita itu sedang bersama Anna dan dia jugalah yang menyuruh John agar tidak mengejar. Atas dugaan itu, Lizbeth menyimpulkan kalau Julie mengetahui rumah Anna apalagi saat itu mereka sedang mengenakan pakaian santai. Julie pasti menggunakan sejuta cara untuk mengajak Anna berjalan-jalan. Kalau tidak, mana mungkin John kesusahan untuk menemui wanita itu.

Mudah saja mengorek informasi dari Julie. Wanita itu sangat lemah dengan hal yang imut apalagi terhadap sesama perempuan. Lizbeth bisa menggunakan senjatanya dengan efektif dan membuat Julie tidak berdaya. Kalau keadaan memburuk, dia bisa melemparkan kesalahan pada dokter cantik itu dan menyelamatkan dirinya sendiri.

***

Begitu sampai didepan pintu apartement, Julie berdiri dibelakang Lizbeth seperti anak kucing yang ketakutan. Padahal awalnya dia begitu bersemangat sampai-sampai menawarkan diri untuk mengantar. Bahkan Julie mengatakan kalau dia yang akan menghadapi amukan Anna nanti dan melindunginya. Tetapi melihatnya seperti ini, Lizbeth menjadi tidak yakin.

“Lizbeth sayang, bagaimana kalau kita datang besok saja? Aku yakin, suasana hati Anna masih belum membaik. Besok, aku akan membeli kue baru yang sama persis jadi yang ini kita makan dulu ya.” Julie berusaha membujuk Lizbeth agar tidak menemui Anna sekarang. Pasalnya semalam setelah berhasil mengejarnya, wanita itu terlihat sangat terluka. Malahan sesampai dirumah, dia langsung mengurung diri dikamar tanpa menutup pintu. Julie hanya tidak ingin Anna semakin salah paham dengan kedatangan Lizbeth.

“Tidak. Kue ini dibelikan John untuk Anna. Aku tidak mau kue ini disia-siakan begitu saja.” Lizbeth langsung menekan tombol bel, mengabaikan Julie yang sudah bersembunyi sudut ruangan. Pokoknya hari ini dia harus bisa bertemu dengan Anna. Dia rela kalau sampai harus menunggu seharian atau berlutut padanya. Yang penting dia harus meluruskan semua yang terjadi dan membuat mereka berdua berbaikan.

Ketika Lizbeth ingin menekan bel lagi, pintu terbuka dan memunculkan sosok yang dinantinya. Tidak ada tatapan bermusuhan darinya tapi wanita itu juga tidak mempersilahkannya masuk. Anna hanya berdiri di ambang pintu dan mengamatinya dengan raut datar.

“Ada apa?”

Pertanyaan Anna berhasil membuat Lizbeth sadar dari lamunannya. Sejak tadi, dia terus memperhatikan wajah Anna yang sembab. Wanita itu mungkin habis menangis semalaman karena merasa dikhianati. Tetapi, penampilannya tetap terlihat fresh dengan pakaian bersih dan rambut yang tertata rapi. Tidak seperti kebanyakan orang lainnya yang kalau sedang patah hati terus mengurung diri di kamar dan menangis tersedu-sedu serta berpenampilan acak-acakkan.

Lizbeth lalu mengangkat kotak yang dibawanya dan memberikannya pada Anna. “Ini kue yang dibelikan John untukmu. Karena dia tidak bisa datang, aku yang mengantarnya,” ucapnya sopan dengan senyum ramah khasnya.

Anna memandang kotak itu sejenak sebelum beralih padanya. “Aku tidak butuh. Kalian boleh pergi sekarang.” Pengusiran Anna begitu dingin. Dia bahkan mengabaikan Julie yang sengaja mencuri-curi pandang untuk menggodanya.

Sebelum pintu tertutup, Lizbeth terlebih dulu menjulurkan kakinya sehingga memberi celah disana. Dia mengabaikan rasa sakit dari terhimpit dan tetap tersenyum. “Kumohon, apa kau mendengarkan penjelasanku dulu? John sama sekali tidak bersalah disini. Perkataanku membuatmu salah paham. Tolong, beri aku kesempatan untuk menjelaskan.”

“Tidak ada yang perlu dijelaskan. Pergi dari sini atau kakimu akan membiru!” Anna sengaja mendorong pintu lebih kuat dan membiarkan kaki Lizbeth terjepit disana. Kalau gadis itu tidak bisa menahannya lagi, dia pasti akan pergi.

Lizbeth tidak kehabisan akal. Ditengah-tengah keadaannya yang terdesak itu, dia berhasil menemukan cara agar Anna mau mendengarkannya. “Kalau begitu kau adalah wanita egois dan pengecut! Kau hanya memikirkan perasaanmu sendiri dan tidak berani menghadapi kenyataan. Kenapa? Kau takut kalau aku akan merebut John darimu? Baiklah, aku akan membuat John terpikat padaku sehingga dia tidak punya waktu untuk memikirkanmu!”

Ucapan Lizbeth begitu menohok perasaan Anna. Belum pernah dia merasa kalah seperti ini apalagi oleh gadis kecil yang jauh dibawahnya. Memang benar kalau dia hanya menjaga perasaannya. Itu karena, jika dia terluka lagi, tidak ada orang lain yang bisa menjadi sandarannya.

Untuk mencegah itu terjadi, Anna mendirikan pertahanan yang kuat. Namun, benteng itu runtuh begitu saja ketika melihat John dan gadis ini bermesraan. Dan kali ini, harga dirinya yang jatuh karena merasa lebih rendah dari gadis dihadapannya.

Agar dirinya tidak lebih malu dari ini, Anna membuka pintu lebar-lebar dan menatap gadis itu dengan tatapan menantang secara terang-terangan. “Apa kau pikir John akan menyukai anak kecil sepertimu? Sebaiknya kau berkaca lagi untuk melihat dirimu sendiri!”

Melihat Anna yang termakan provokasinya, Lizbeth membusungkan dadanya untuk menunjukkan bahwa dirinya tidak takut dengan kemarahannya. “Setiap hari aku bercermin dan tidak ada yang salah padaku. Aku memang menyukai pakaian lolita dan John sama sekali tidak ada masalah dengan itu. Malah dia membelikan beberapa baju lolita baru seperti yang kukenakan ini.”

Lizbeth lalu memutar tubuhnya hingga rok ungu yang dikenakannya mengembang

Lizbeth lalu memutar tubuhnya hingga rok ungu yang dikenakannya mengembang. Selanjutnya, dia memperhatikan Anna dari atas sampai kebawah dan sengaja memberikan tatapan mencemooh. “Aku lebih muda darimu bahkan lebih cantik. Aku memang lebih pendek darimu tapi aku mempunyai badan yang langsing, tidak gemuk sepertimu. Aku yakin tidak membutuhkan waktu lama sampai John jatuh cinta padaku,” sambungnya bangga.

Telinga Anna panas mendengar hinaan fisik yang ditujukan padanya. Enak saja kalau dia dikatakan gemuk. Walaupun seperti ini, banyak pria yang memujanya diluar sana dan dia hanya perlu menujuk salah satu dari mereka untuk menjadi kekasihnya. Lagipula Anna sangat paham dengan selera John yang tidak menyukai garis kurus sepertinya.

Dengan mata yang menatap tajam dan kepercayaan diri yang telah kembali, Anna berbalik membalas perkataan Lizbeth. “Itu tidak mungkin terjadi! John tidak akan menyukai anak kecil sepertimu!” seru Anna yakin. Karena kalau John memang mencintainya, hal itu tidak akan terjadi. Bahkan kalau iya, dia sendiri yang akan merebutnya dari gadis kecil itu.

“Oh, kenapa tidak mungkin? Tidak ada larangan kalau aku tidak boleh merebut John darimu. Lagipula kau siapanya John berani melarangku seperti itu?” Lizbeth sama sekali tidak mundur meskipun Anna tengah menatapnya galak. Dia justru senang karena pancingannya sudah termakan.

Dengan suara lantang, Anna menjawab tanpa berpikir, “I’m his girlfriend! Don’t you dare touch him!” Setelah mengatakan itu, Anna terdiam sesaat kemudian matanya melebar. Rona merah langsung menghiasi pipinya dengan rasa malu luar biasa.

Disisi lain, Lizbeth tesenyum cerah ditempatnya dan menatap penuh arti. “Jadi kau kekasihnya? Tenang saja, aku tidak mungkin merebut John darimu. Toh, kakak sepupuku itu sangat tergila-gila padamu.”

Anna mengagakan mulutnya, tidak percaya dengan apa yang baru didengarnya. “A – apa katamu tadi?”

“Aku bilang, kakak sepupuku tergila-gila padamu,” jawab Lizbeth santai dengan pose imut.

Anna langsung merasa kakinya lemas dan jatuh terduduk. Bisa-bisanya dia cemburu pada gadis Lizbeth yang ternyata adalah sepupu John. Padahal saat itu, Anna menamparnya sekuat tenaga karena mengira lelaki itu telah mempermainkannya. Dalam keadaan ini, bisa dilihat kalau dirinyalah salah karena sembarangan menyimpulkan dan tidak memberi pria itu kesempatan untuk menjelaskan.

Ditengah-tengah kebingungan, Anna melihat Julie sedang merekamnya dengan ponsel. Karena sudah ketahuan, Julie membalikkan layar ponselnya yang ternyata sedang melakukan panggilan video call. Anna langsung melotot melihat wajah yang muncul disana.

“Hai Anna. Bagaimana kalau kita bertemu nanti?” tanya suara pria diseberang. Suaranya serak dan rambutnya berantakan. Nampak sekali kalau John baru saja bangun.

Anna menundukkan kepala malu sejenak sebelum menoleh ke arah kue yang dibawa Lizbeth. “Ditempatmu sambil makan kue?” balasnya berbalik bertanya yang langsung membuat wajahnya semerah tomat. Karena pertanyaan itu secara tak langsung menerima ajakan John. Dada Anna langsung berdebar kencang ketika melihat senyum John disana. Kelihatannya, pria itu memang telah berhasil memikat hatinya.

“Selama kau tidak ada, apartementku kembali berantakan. Bagaimana kalau ditempat lain? Aku yang akan menjemputmu.”

Suara malu-malu dari John membuat Anna tertawa. Pria itu memang tahu cara membuatnya terhibur. “Satu jam. Berikan aku waktu untuk bersiap-siap dan kurasa kau juga membutuhkannya.”

John menggusap-usap dagunya yang kasar lalu menatap Anna sama malunya. “Baik, sayangku.”

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Sassy Maid and Playboy Doctor – 15

9 votes, average: 1.00 out of 1 (9 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

2

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Seharusnya, aku tidak terlalu percaya pada Julie jika dia ingin langsung membawaku ke toko kue yang dimaksudnya. Buktinya sekarang, wanita itu membawaku berkeliling mall untuk mencari pakaian baru. Dia mengatakan, kalau kue akan terasa lebih nikmat jika dimakan dalam keadaan perut kosong. Bukan hanya kue, kalau memang sedang lapar, semua makanan akan tampak lebih lezat.

“Jangan cemberut begitu.” Dengan seenaknya, Julie mengalunkan lengannya padaku dan menatap pakaian-pakaian yang dipanjang. “Apa tidak ada baju yang sesuai seleramu dibutik ini? Kulihat dress party itu cocok untukmu. Kau bisa mengenakannya saat mengunjungi club malam.”

Aku melihat dress yang dimaksud Julie dan mengerut dalam. Dress yang dimaksudnya adalah dress one piece berlengan panjang hitam dengan tempelan kristal yang ditata membentuk berbagai macam garis melintang. Mengingat seleraku dulu, aku pasti akan membelinya tanpa berpikir dua kali. Dress itu sangat mencolok sehingga pasti membuat siapapun yang mengenakannya menjadi sorotan.

 Dress itu sangat mencolok sehingga pasti membuat siapapun yang mengenakannya menjadi sorotan

Jika dipikir lagi, betapa buruknya seleraku dulu dan hanya memikirkan kesenangan sendiri. Mencari one night stand memang menyenangkan tapi setelah esoknya, semua akan seperti sedia kala seakan-akan tidak mengenal satu sama lain. Seharusnya aku mendengarkan saran Nina dan memanfaatkan hari liburku dengan kegiatan yang lebih berguna seperti olahraga, jalan-jalan ataupun melakukan prakarya seperti menjahit.

Setelah pulang nanti aku akan membereskan semua pakaian sexy yang menumpuk di lemari. Daripada membuangnya begitu saja, aku bisa menjualnya melalui situs internet dengan harga murah atau memberikannya kepada orang lain. Yah, aku memang mengalami kerugian apalagi harga baju-baju itu tidaklah murah. Tapi tak apa, dengan begitu aku bisa membeli baju baru lagi yang sesuai dengan keinginanku sekarang.

“Tidak, itu terlalu mencolok. Apa kau masih ingin membeli pakaian lagi?” tanyaku ketika melihat satu kantong yang tergantung dilengannya.

Seharian menemaninya, aku baru mengetahui kalau Julie ternyata cukup pemilih. Begitu melihat pakaian yang menurutnya bagus, dia tidak akan langsung membelinya. Dia akan membandingkan dengan pakaian lain dan menimbang terlebih dahulu mana yang lebih nyaman dikenakan. Kalaupun sudah menemukan baju yang diinginkan, dia akan memastikan kondisinya lebih dulu. Ada sedikit kerusakan saja, dia tidak akan mengambilnya dan mencari yang lain.

“Hmm… tidak. Sebenarnya aku ingin membeli beberapa kaos santai lagi tapi toko langgananku cukup jauh dari sini. Berhubung sudah siang, bagiamana kalau kita ke toko kue sekarang? Kakiku sudah mulai pegal,” ucap sambil Julie mengusap-ngusap lututnya yang mulai nyeri.

Melihatnya seperti itu, kakiku juga mulai terasa sakit. Aku lupa mengenakan kaos kaki karena mengira hanya menggunakan flat shoes. Ternyata mengenakannya terlalu lama juga membuat tidak kakiku nyaman.

“Kakiku juga mulai pegal. Toko kue itu tidak jauh dari sini kan?” tanyaku memastikan. Karena kalau tempatnya jauh, aku lebih memilih duduk di cafe terdekat daripada harus menyiksa diri.

“Tidak jauh, hanya satu blok dari mall ini. Perutku juga sudah lapar,” balasnya polos sembari mengusap perut. Lalu dengan seenaknya, Julie mengalunkan lengannya padaku dan berdiri disampingku layaknya sepasang kekasih. Dia tidak peduli dengan tatapan peringatanku dan malah bermanja-manja dengan menempelkan pipinya disana.

Aku menghela nafas kasar sambil melanjutkan langkahku. Percuma memarahinya karena itu akan semakin membuatnya senang karena merasa diperhatikan. Lebih baik diam dan membiarkan orang-orang mengira kalau kami adalah pasangan lesbi daripada aku kelelahan harus meladeni sikapnya yang luar biasa.

***

Sesampai di toko kue, mata Lizbeth berbinar-binar melihat beraneka kue yang terpajang. Pandangannya terus berganti antara strawberry shortcake dengan cookies chocolate. Kedua kue itu adalah jenis favoritnya dan dia hanya bisa membeli salah satunya karena tidak bisa menghabiskan keduanya sekaligus.

John sangat paham sepupunya itu. Karena itu dia menepuk pundak Lizbeth dan mengajaknya untuk melihat rak lain yang membuat senyumnya merekah. Berbagai kue coklat strawberry terpajang disana dengan topping yang beragam pula. Ada yang menggunakan wafer kit kat sebagai pinggiran, stick pocky, ataupun coklat yang sudah dibentuk demikian rupa.

Pandangan Lizbeth terkunci pada satu kue coklat dengan banyaknya strawberry yang menghiasi atasnya. Strawberry-strawberry itu disusun bertingkat layaknya mahkota dan dibalur dengan coklat cair yang telah membeku. Membayangkan rasa asam buah merah itu berpadu dengan manisnya coklat, membuat Lizbeth menangkup kedua pipinya dengan gemas. Dia lalu beralih menatap John sambil menunjuk-nunjuk kue tersebut.

 Dia lalu beralih menatap John sambil menunjuk-nunjuk kue tersebut

“Aku mau yang ini!” ucapnya semangat.

“Kau yakin yang itu? Apa kau tidak mau melihat-lihat yang lain? Masih banyak pilihan yang menarik loh.” John sengaja menggoda Lizbeth agar pendiriannya goyah. Memang benar, ada banyak kue disini dan tidak kalah menariknya dengan pilihannya itu. Sayang jika gadis itu hanya membeli satu tanpa mencoba yang lain. Apalagi John berencana untuk membuatnya keponakannya itu gemuk selama liburan disini

“Tidak! Aku mau ini saja dan kau harus membantuku menghabiskannya. Aku tidak akan termakan rayuanmu dan menjadi gendut!”

Lizbeth kelihatannya sudah mengetahui rencana John. Dia sangat suka makanan manis tapi hal itu membuat tubuhnya membesar dan tidak cocok mengenakan pakaian lolita. Butuh waktu lama baginya agar kembali ke berat badannya seperti semula. Itupun dengan susah payah karena mamanya selalu menyajikan masakan enak agar membuat dietnya gagal. Yah, mana ada orang tua yang senang melihat anaknya kurus kering seperti kekurangan gizi?

“Kalau aku tidak mau membantumu, bagaimana? Aku tidak suka coklat,” balas John dengan senyum menjengkelkan yang dibuat-buat.

Lizbeth membalas dengan melipat kedua tangannya didada dan menatap John dengan pandangan terkejut yang sama. “Hmm … sejak kapan kau tidak suka coklat? Aku baru tahu. Kalau begitu, bagaimana kalau setiap hari aku akan membuatkan sandwich coklat untukmu sampai membuatmu suka?”

John meletakkan kedua tangannya di depan dada dan menggelengkan kepalanya. “Kumohon, jangan. Aku tidak akan menggodamu lagi jadi tidak perlu membuatkan sandwich untukku ya.” Secara pribadi, sebenarnya John tidak keberatan kalau harus makanan yang sama setiap hari. Hanya saja ini Lizbeth. Gadis itu tidak pernah menginjakkan kaki dapur, membedakan bumbu pun tidak bisa apalagi memasak. Apa jadinya kalau gadis manis itu membuat makanan? Rasanya pasti tidak terbayangkan.

“He he! Kalau begitu, kau harus mendengarkanku selama aku disini. Hari ini, aku mau kue strawberry coklat. Besok aku akan datang untuk membeli varian yang lain!” Tanpa malu, Julie meraba-raba John mencari dompetnya dan memanggil penjaga toko untuk membungkus kue pilihannya.

Melihat Lizbeth yang sibuk bercakap-cakap dengan penjaga toko yang tampan, John memilih duduk dan mengamati kue-kue yang terpajang. Saat mengamati kue, dia melihat sosok wanita berambut pirang yang mirip dengan Anna sedang berdiri memunggunginya di seberang toko. John hampir saja meloncat dari kursinya kalau wanita itu tidak berbalik. Wanita itu bukan Anna.

Kekecewaan segera tampak diwajahnya. Kelihatannya, tidak bertemu dengan wanita itu selama seminggu mampu membuatnya berhalusinasi. Buktinya, setiap kali melihat berambut pirang yang lewat, dia mengira kalau itu adalah Anna. Padahal, selama di rumah sakit dia tidak mengalami gejala tersebut. Selain merindukannya, jarang berinteraksi dengan orang lain menjadi penyebabnya.

Seminggu tidak melihat wanita itu benar-benar membuatnya tersiksa. John sangat merindukan Anna sampai-sampai kepalanya ingin pecah. Dia rindu dengan semua yang dimiliki wanita itu. Aromanya, kehangatannya, mulut pedasnya, John sangat mendambakannya.

Belum pernah John merasa tersiksa ini karena seorang wanita. Hanya Anna seorang yang bisa membuatnya seperti ini. Kalau saja tidak ada Lizbeth, mungkin dia sudah gila di detik wanita itu meninggalkannya. Bahkan, dia mungkin akan melakukan hal nekat seperti bunuh diri.

Ketika sedang memikirkan wanita itu, pandangan John lalu tertuju pada satu kue cantik yang berhiaskan krim bunga. Bunga-bunga itu disusun secantik mungkin dengan warna-warna yang lembut. Melihat kue itu mengingatkannya dengan Anna.

Sekarang, setelah seminggu berlalu, apakah wanita itu masih marah padanya? Kalau dia mengunjunginya malam ini, apakah dia bisa bertemu dengannya?

Sekarang, setelah seminggu berlalu, apakah wanita itu masih marah padanya? Kalau dia mengunjunginya malam ini, apakah dia bisa bertemu dengannya?

John menggeleng kepalanya dan menampar keras kedua pipinya agar sadar. Dia tidak boleh terus menduga tidak jelas seperti ini. Dia harus berani dan siap menerima semua tuduhan yang akan dilontarkan wanita itu. Dia tidak boleh menunggu dan menghindar. Jika tidak, selamanya dia tidak akan bisa memiliki Anna.

“Bungkuskan kue yang ini juga,” tunjuk John kepada penjaga toko yang melayani Lizbeth. “Apa kalian juga menyediakan kartu ucapan?” tanyanya kemudian.

“Anda bisa memilih kartu ucapan di kasir. Kami juga bisa membuatkan tulisan diatas kue jika anda mau,” tawar penjaga toko.

“Tidak perlu, biarkan seperti ini saja. Anna lebih menyukai yang sepeti ini,” ucap John yakin.

Tanpa berkata lebih banyak lagi, penjaga toko itu mengangguk mengerti dan membungkuskan kue pilihannya.

John melangkah menuju kasir yang diikuti oleh Lizbeth. Gadis itu memilih diam dan melihat kakak sepupunya itu memilih kartu ucapan dengan perasaan berbunga-bunga. Dia yakin, keceriaan John karena wanita yang bernama Anna itu. Kalau dugaannya tidak salah, wanita itu pasti yang menampar John sewaktu di ruang kerjanya dulu.

Dalam hati, Lizbeth berharap kalau hubungan mereka segera membaik. Ada rasa tidak enak dalam hatinya karena telah membuat kesalahpahaman diantara mereka. Seharusnya hari itu, dia bisa bersabar dan menunggu John di apartementnya, bukannya langsung menerobos ke rumah sakit dan mencarinya meskipun sudah dilarang. Lizbeth berharap, semoga wanita yang bernama Anna itu mau memaafkan John dan menerimanya kembali.

Setelah selesai, John mengambil kedua kotak kue itu dengan satu tangannya. Tangannya yang lain digenggam manja oleh Lizbeth yang merasa senang. Mereka berdua keluar dari toko itu dengan perasaan gembira dan membuat siapaun yang melihat mengira adalah sepasang kekasih yang mesra. Ketika John membukakan pintu untuk Lizbeth, gerakannya terhenti ketika melihat Anna dan Julie yang baru tiba.

Senyum John langsung mengembang cerah. Kali ini, dia tidak salah lihat lagi. Yang dihadapannya benar-benar Anna. Wanita itu terlihat sehat dan cantik seperti biasanya. Mengabaikan ekspresinya yang kebingungan dan marah, John bergegas menghampirinya untuk memeluknya.

“Anna! Aku merindukanmu!” Sebelum pelukan John berhasil meraih Anna, wanita itu terlebih dulu menghindar dan langsung meninggalkan tempat itu begitu saja.

John ingin segera mengejar wanita itu tapi Julie yang juga ada disana mencegahnya. “Sebaiknya kau tidak melakukannya. Anna tidak akan mau mendengarkanmu sekarang. Lebih baik kau kembali dulu. Biar aku yang menenangkan Anna.”

John tidak berani memprotes. Menurutnya, perkataan Julie ada benarnya. Anna sedang marah dan pasti tidak mau bertemu dengannya. Dia sendiri tidak punya pengalaman untuk menenangkan wanita marah. John takut, kalau perbuatannya akan semakin membuat Anna menjauh darinya.

“Baik, aku mengalah. Tetapi kau jangan macam-macam dengannya. Ingat, Anna milikku!” ucap John dengan penekanan di tiap kata-katanya. Dia masih ingat kalau Julie adalah saingan cintanya.

“Aku mengerti, tuan amburadul!”

Setelah menjawab demikian, Julie mengikuti Anna yang telah menjauh meninggalkan John sendirian dengan dilemanya.

***

Sebelumnya maaf karena chapter 15 nya terlangkau. Sepertinya ada kesalahan koneksi makanya tidak terupload soalnya saya search via judul ada nongol tapi isinya kosong. Pada saat posting, ada notif succes saya pikir beneran sudah sukses, gak cek lagi.

Maaf ya karena error ini dan terima kasih bagi yang sudah mengingatkan.

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Sassy Maid and Playboy Doctor – 14

12 votes, average: 1.00 out of 1 (12 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

2

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Sudah seminggu berlalu semenjak Lizbeth datang dan selama itu juga Anna tidak pernah datang lagi ke apartementnya. Dalam waktu sesingkat itu, tempat tinggalnya yang semula rapi kembali menjadi seperti kapal pecah. Bukan hanya rumahnya, penampilannya pun tidak seperti biasanya. Rambut panjangnya dibiarkan acak-acakkan, kantong mata yang ada semakin menghitam dan bulu-bulu halus yang tumbuh berantakan di dagu tidak pernah dirapikan.

John tampak seperti mayat hidup. Bahkan koleganya pun menyadari hal itu dan memintanya untuk memeriksakan diri. Karena keadaannya yang seperti itu, semua rekan kerjanya secara tidak langsung mencegahnya untuk berinteraksi dengan pasien. Bagaimana reaksi mereka jika melihat dokter yang menjadi panutan terlihat begitu mengerikan? Bahkan untuk menjalankan prosedur ringan penangan pertama pun tidak bisa diselesaikan dengan baik.

Penyebab kondisi John seperti ini karena Anna. Tidak melihat wanita itu membuat hatinya kacau, belum lagi ketika mengingat tamparan yang diberikan. John tahu, dibalik tamparan itu terhadap hati yang terluka. Padahal, dia baru saja berjanji untuk membuat Anna jatuh cinta padanya. Disaat dia baru saja berusaha, kesalahpahaman besar terjadi diantara mereka. Itu semua karena Lizbeth, sepupunya yang mendadak datang tanpa pemberitahuan.

Elizabeth Ludwing, sepupu dari pihak ibunya yang tinggal di Jepang dan datang selama hari libur. Belum sempat menjelaskan siapa Lizbeth, Anna sudah salah sangka terlebih dahulu. Jika di ingat lagi, apa yang dikatakannya soal pernikahan itu tentu membuat siapapun yang mendengar bisa salah mengartikan. Wanita itu pasti mengira kalau dia telah mengikat janji dengan Lizbeth dan berencana untuk menikahinya. Sedangkan ungkapan perasaan padanya hanya dianggap main-main.

Lizbeth terobsesi dengan hal-hal lucu. Karena itu sejak kecil dia sangat suka memakai pakaian lolita kemanapun. Hal itu menjadi kebiasaan hingga dirinya dewasa sekarang. Dengan obsesinya yang unik itu ditambah hobinya yang gemar berfoto, dia menjadikan itu sebagai bisnis selebgram yang memposting kehidupannya sehari-hari. Selain itu, dia juga memberikan turtorial make up dan tips untuk memilih baju lolita yang bagus.

Mengenai pernikahan, sebenarnya yang dimaksudnya adalah sesi foto. Sewaktu Lizbeth pertama kali bertemu John, dia ingin sekali melakukan photoshoot bertema pernikahan. Ditambah saat itu John sedang memakai baju putih dan mempunyai wajah menawan, membuatnya semangat untuk melakukannya. Sayangnya idenya itu ditolak olehnya. John menganggap Lizbeth masih terlalu kecil karena umurnya baru 8 tahun.

Saat itu, John berjanji, ketika Lizbeth sudah dewasa dia akan melalukan sesi foto pernikahan dengannya. Sayangnya itu malah menjadi masalah yang membuat hubungan mereka retak. Padahal John yakin kalau Anna juga merasa nyaman seperti dirinya. Kalau saja saat itu dia mengejar wanita itu dan menjelaskan apa yang terjadi, keadaan tidak akan jadi seperti ini.

John menyesal karena menahan diri. Setelah kepergian Anna, dia tidak menemui wanita itu karena menganggapnya masih membutuhkan waktu untuk menenangkan diri. Keputusannya itu justru membuat Anna semakin salah paham dan tidak mau membukakan pintu untuknya. Ya, John mengunjungi wanita itu keesokan harinya yang berujung hampa. Anna sama sekali tidak menggubris dan membiarkan pintu tertutup. Bahkan nomor teleponnya juga dimatikan yang membuatnya sulit dijangkau.

John menghela nafas panjang dan mengacak rambutnya hingga semakin berantakan. Setiap kali memenjam mata, bayangan Anna selalu terlintas sehingga membuatnya selalu terbangun. Dia ingin melihat wanita itu, memeluknya, menciumnya dan melepaskan rasa rindunya. Kalau terus seperti ini lama-lama dia bisa gila.

“John.”

Panggilan kecil dari Lizbeth membuat perhatian John teralih padanya. Ada rasa malu yang hinggap didadanya karena sudah membuat gadis itu khawatir dan menunjukkan sisi lainnya yang jelek. Seharusnya, dia menyenangkan Lizbeth selama disini. Sudah terbang jauh-jauh dari Jepang ke New York, yang gadis itu dapatkan malah wajah muramnya.

Agar membuat gadis itu ceria, John menyunggingkan senyum khasnya sambil menopang dagu. “Bagaiamana kalau kita jalan-jalan? Aku tahu ada toko kue yang enak disini. Kau pasti akan menyukainya.”

Mendengar hal itu, Lizbeth menganggukkan kepala dengan antusias. Matanya berbinar seolah mendapatkan sesuatu yang langka. “Kau yang traktir ya. Tabunganku kan tidak sebanyak punyamu,” ucapnya senang.

“Tentu saja. Kau boleh membeli apapun yang kau mau. Aku yang akan menghadapi mamamu kalau dia mengomel.”

Lizbeth langsung melompat dari tempat duduknya dan berlari memeluk John. “Aku sayang padamu. Kau memang kakak sepupu yang terbaik!”

“Kalau begitu mana ciuman untuk kakak tersayangmu ini?” tanya John yang telah kembali menggombal seperti biasa.

“Tidak mau!” jawab Lizbeth menjulurkan lidah. “Aku tidak mau mencium pipimu yang penuh dengan rambut itu!” sambungnya ketus.

Bukannya merasa tersinggung, John justru menyentuh dagunya yang dipenuhi bulu-bulu tajam dan kemudian tertawa. “Kalau begitu, setelah aku membersihkannya, kau harus menciumku.”

“Yup, setelah wajahmu kembali tampan,” balas Lizbeth yang membuat John tersenyum manyun.

***

Bunyi bel yang terus menerus, membuatku terbangun dari tidur nyenyakku. Dengan mata yang masih setengah terpejam, aku melihat kearah jam yang menunjukkan pukul 10 pagi. Bukannya aku malas. Setiap pagi, aku tetap bangun seperti biasa dan menyelesaikan semua pekerjaanku. Karena bosan menunggu hingga siang, biasanya aku menghabiskan waktu dengan membaca atau tidur.

Berhubung malas, aku kembali memejamkan mata untuk kembali tidur ke alam mimpi dan mengabaikan panggilan bel itu. Toh, kalau tidak ada jawaban mereka akan pergi dengan sendirinya. Tetapi, apa yang kuharapkan tidak kunjung tercapai. Suara bel terus berdenting nyaring hingga membuat telingaku sakit. Dengan kepala berat, aku bangkit dari kasurku dan berjalan menuju pintu.

Seharusnya, aku mencabut saja bel itu. Aku tidak mau bertemu dengan siapapun sehingga menutup semua akses komunikasi. Dibilang memutuskan semua kontak pun tidak benar. Aku hanya mencabut telepon rumah dan mensilent kan hp ku. Aku tidak perlu khawatir kalau ada yang mencariku karena hanya sedikit orang saja yang mengetahui nomorku termasuk dokter brengsek itu.

Mengingatnya lagi membuatku geram. Pria itu benar-benar pandai memainkan perasaanku. Aku benar-benar kecewa karena sudah mempercayainya. Seharusnya, aku tidak semudah itu menyukainya. Seharusnya, aku pandai menjaga perasaanku agar tidak terluka. Ini kedua kalinya aku merasa rapuh karena pria setelah kekerasan yang kualami dari ayah kandungku sendiri. Malahan, rasa sakit pengkhianatan ini berkali-kali dari yang kuterima dulu.

Jika dulu fisikku yang terluka, sekarang adalah hatiku. Luka fisik bisa disembuhkan dengan obat-obatan tapi luka dihati sangat sulit. Selain tidak terlihat, rasa sakit itu bisa mengubah seseorang dan membutuhkan waktu yang lama untuk sembuh.

Sekarang, aku benar-benar membenci John. Pria itu telah memberiku harapan dan merebutnya dengan keji. Aku tidak tahu kesalahan apa yang kuperbuat hingga dia berbuat seperti itu padaku. Karena kejadian itu, mataku menjadi terbuka. Pria yang awalnya sudah brengsek, selamanya akan tetap menjadi bajingan.

Aku tidak peduli dengan akibat yang kuterima karena perbuataku ini. Biar saja kalau Alex marah dan memecatku. Aku tinggal mencari pekerjaan lain yang sesuai dengan kemampuanku. Lagipula selama aku tidak membersihkan apartement John, aku melewati hari dengan bersantai memanjakan diri dan tidur-tiduran. Tidak ada gunanya terus bersedih memikirkan pria itu. Lebih baik aku melakukan hal yang kusuka dan memikirkan rencana untuk kedepannya.

Bunyi bel yang kesekian kalinya membuatku mengumpat dalam hati. Kalau saja John yang datang lagi, aku akan segera mencabut bel itu agar suaranya tidak menganggu lagi. Aku mengintip terlebih dahulu siapa yang datang dari celah kecil yang terpasang. Aku mengernyit ketika tidak melihat siapapun disana dan hanya menemukan sebuah kotak pink dengan pita dan hiasan kecil. Seingatku, aku tidak memesan apapun. Baik Alex ataupun Nina juga tidak meninggalkan pesan kalau mereka mengirim sesuatu. Dengan penasaran, aku membuka pintu dan mengambil kotak itu untuk melihat siapa pengirimnya.

“Hai, cantik. Akhirnya kau membuka pintu.”

Suara khas wanita yang kukenal membuatku terkejut. Aku melotot melihat sosok Julie yang muncul entah dari mana dengan kaos santai. Segera, aku melempar kotak itu dan kembali masuk untuk menutup pintu dengan cepat. Namun, Julie dengan gesit menghapus jarak diantara kami dan menahan pintu.

"Bukankah tidak sopan membiarkan tamu berdiri di luar? Kenapa kau tidak mengijinkanku masuk? Kau tahu, aku sedih karena kau tidak mengangkat teleponku," ucapnya memasang ekspresi sedih yang nyata

“Bukankah tidak sopan membiarkan tamu berdiri di luar? Kenapa kau tidak mengijinkanku masuk? Kau tahu, aku sedih karena kau tidak mengangkat teleponku,” ucapnya memasang ekspresi sedih yang nyata.

Walaupun cara bicaranya santai, tenaga wanita ini tidak main-main. Aku bahkan tidak bisa menutup pintu meski mendorongnya sekuat tenaga. “Pergilah! Aku tidak mau bertemu dengan siapapun!”

“Jangan begitu. Aku bahkan sudah datang jauh-jauh untuk membawakan kue tapi kau malah melemparnya. Padahal kue itu sangat enak. Walaupun bentuknya sudah hancur, rasanya tetap tidak berubah. Aku ingin mengambilnya dan berbagi denganmu tapi kalau aku melepaskan pegangan ini sekarang, aku pasti tidak bisa bertemu dengamu lagi.” Julie masih belum menyerah. Malah aku merasa tenaganya semakin kuat karena berhasil menambah celah di pintu yang terbuka.

“Aku tidak butuh kuemu! Aku bisa membuatnya sendiri dan rasanya jauh lebih enak daripada beli! Kau boleh pergi sekarang!” Aku sengaja meninggikan suaraku dan berkata seperti itu agar membuatnya tersinggung. Dengan begitu dia bisa pergi dan tak menggangguku lagi.

Tidak ada jawaban langsung dari Julie yang membuatku mengira kalau wanita itu telah menyerah. Sayangnya aku tidak boleh terlalu senang dengan kesimpulanku itu karena tangan Julie masih menahan pintu dan tidak lama setelahnya aku mendengar kekehannya.

“Kau memang wanita mandiri yang bisa melakukan semuanya sendiri. Tapi apa kau tahu kalau itu sebenarnya sedang menyiksa dirimu sendiri?”

Aku berdiam mendengar penuturan Julie. Aku spontan membuka pintu hingga membuatnya hampir terjatuh. Aku lalu menatapnya datar, berbanding terbalik dengannya yang tersenyum senang. “Apa maksudmu?”

“Oh, kau tidak mengijinkanku masuk dulu dan membiarkanku berdiri pegal disini?”

Aku memiringkan bola mata, seolah-olah jenuh dengan perilakunya dan bersiap untuk menutup pintu kembali. Tetapi Julie dengan sigap menahan dan memberikan tatapan setengah serius. “Baiklah, aku tidak akan bercanda lagi. Aku tahu apa yang terjadi denganmu dan John. Kedatangan Lizbeth memang mengejutkan dan dia juga sangat manis sampai-sampai banyak staff rumah sakit dan pasien yang terpikat padanya. Tetapi daripada itu, aku mengkhawatirkanmu. Siapa tahu kau butuh teman curhat dan aku siap mendengarkan.”

Ketika Julie menyebutkan nama gadis itu dengan gamblang, dadaku berdenyut sakit. Eskpresiku sempat mengeras sesaat sebelum aku cepat-cepat kembali seperti biasa. “Aku baik-baik saja dan tidak butuh teman curhat atau apapun itu. Kau boleh pergi sekarang.”

“Mulutmu mengatakan tidak apa-apa tapi aku tahu kalau hatimu sedang terluka. Jangan mengira aku tidak menyadari perubahan rautmu tadi. Tidak perlu malu untuk mengakuinya. Bagaimana kalau kita mengadakan tea party kecil-kecilan untuk menghibur suasana hatimu?”

Entah bagaimana caranya, Julie bisa mengetahui apa isi hatiku. Bisa dikatakan juga kalau itu adalah insting wanita. Tetapi kami tidak cukup dekat hingga dia rela mengosongkan waktunya untukku. Kuhargai itu dan sepertinya aku memang perlu keluar untuk mengganti suasana hatiku. Aku mengangguk sekali untuk mengiyakan ajakannya itu.

“Karena kue yang ku bawa sudah hancur, bagaimana kalau kita ke toko kue yang kubeli sebelumnya? Disana mereka menyediakan berbagai jenis shortcake, tart dan aneka kue lainnya. Aku yakin kau pasti akan menyukai tempat itu dan ketagihan dengan kue-kue mereka.”

Antusias Julie berhasil membuatku tersenyum. Perbuatannya itu berhasil mengusir rasa sesak yang sebelumnya memenuhi hatiku. Daripada merenung sendirian memikirkan pria itu, lebih baik aku menyenangkan diriku dan melupakan semuanya.

“Aku suka melihatmu tersenyum. Apa aku boleh menciummu?”

Mendengar Julie berkata seperti itu, mood ku kembali rusak. Sengaja aku memberikan wajah masam dan menjetik dahinya. “Tidak akan!” seruku meninggalkannya sendirian untuk berganti baju.

“Aw, kau membuatku semakin cinta padamu. Aku akan menikmati kencan denganmu ini. ❤️”

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Sassy Maid and Playboy Doctor – 13

13 votes, average: 1.00 out of 1 (13 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

2

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Operasi yang dilakukan John sejak pagi akhirnya selesai. Waktunya pun sangat singkat, mengingat ini adalah operasi besar. Pasien kali ini adalah korban kecelakaan dan mengalami pendaharan parah di bagian otak. Karena penangannya sulit, maka dialah yang harus turun tangan langsung. Beruntung sewaktu tiba di rumah sakit, dokter yang berjaga telah memberikan pertolongan pertama dan berinisiatif meneleponnya untuk memberi arahan lebih lanjut. Berkat itu, John bisa langsung melaksanakan tindakan selanjutnya dan menyelesaikannya dalam waktu yang singkat.

Dalam hati, John memuji nasib baik yang dimiliki oleh pasien itu. Jika saja dia mengalami kecelakaan itu kemarin, tentu saja John tidak bisa menyelematkannya karena dia sendiri sedang sakit. Menunda operasi hanya membuat kondisi pasien itu semakin memburuk. Karena itu, John sangat menyanjung keberuntungan milik sang pasien dan memberikan kemampuan terbaiknya.

Keringat dingin bercucuran di dahi John ketika suster membantu menanggalkan seragam hijaunya. Kondisinya memang sempat membaik pagi ini tapi karena langsung menjalankan tugas berat, tubuhnya kembali lemas. Kepalanya terus berdenyut selama operasi berlangsung tapi dia masih bisa menahannya dan ini tidak separah sebelumnya yang sampai membuat pandangannya berkunang-kunang.

Setelah operasi itu selesai, John menyerahkan semuanya pada dokter lain yang menemaninya selama proses berlangsung. Dia menjelaskan singkat apa yang harus dilakukan selanjutnya terutama ketika pasien sudah sadar dan meminta suster untuk melayani keluarga bersangkutan. John juga sempat meninggalkan pesan kepada suster agar siapapun tidak menemuinya setelah ini. Dia ingin beristirahat di ruangannya tanpa gangguan.

Begitu mereka semua mengerti dengan tugasnya, John meninggalkan ruang operasi melalui pintu yang lain. Dia tidak ingin bertemu dengan wartawan atau tim penilai yang sempat ditinggalkannya itu. Bisa-bisa, dia jatuh sakit lagi kalau harus meladeni berbagai pertanyaan mereka karena semalam tidak datang. Bahkan, diantara wartawan dan tim penilai itu terdapat wanita yang sangat menggilainya. Lebih baik tidak bertemu mereka lebih dulu dan fokus memulihkan diri.

Saat melangkah menuju lift, John berpapasan dengan dua orang suster yang membungkuk hormat ketika berpapasan dengannya. John membalas dengan memberikan senyuman tipis yang langsung membuat kedua pipi mereka memerah. Dia sudah biasa mendapat reaksi seperti itu. Tidak ada wanita manapun yang bisa menolak pesonanya. Satu senyuman ringan atau pujian singkat darinya mampu membuat hati wanita manapun luluh. Hanya satu wanita yang tidak terpikat olehnya, yaitu Anna.

Memikirkan tadi pagi meninggalkan wanita itu begitu saja membuat John merasa bersalah. Ditambah lagi, Anna terlihat begitu khawatir tadi saat melihatnya pergi tadi. Belum pernah John melihat ekspresi Anna yang satu itu apalagi saat melihat reaksi terkejut ketika menciumnya tadi. Kalau bisa, dia ingin mengambil foto dan mengabadikannya. Sayang, semuanya berlalu begitu cepat hingga John pun tidak sempat untuk menikmatinya.

“Dokter John.”

Panggilan dari suster berbadan kecil itu mengembalikan John ke alam nyata. Secara tidak sadar, dia telah melamun dari tadi. Dalam hati, dia bertanya-tanya apakah wajahnya menunjukkan ekspresi aneh atau tidak. Siapa tahu saat melamun tadi, dia terus-terusan tersenyum atau bermimik aneh lainnya. Tetapi kelihatannya tidak, melihat kedua suster itu masih menatapnya kagum.

“Ya, ada apa?” tanya John dengan nada ramah khasnya.

“Ada seorang wanita mencari anda. Saya lupa menanyakan namanya tapi dia mengatakan kalau dia utusan Alexander Black Testa. Wanita itu menunggu di ruangan anda,” ucap suster itu sopan.

Rasanya sulit bagi John untuk menahan senyum. Bibirnya ingin melengkung begitu mendengar kabar itu. Siapa lagi kalau bukan Anna yang menemuinya? Wanita itu tahu bagaimana cara menggunakan nama Alex untuk memudahkan tujuannya. Sekarang, dia pasti tengah membersihkan ruangannya untuk mengisi kebosanan sambil menggerutu. Dada John berdegup kencang, tidak sabar untuk menemuinya.

“Terima kasih atas kabarnya. Lanjutkan tugas kalian untuk melayani pasien, ya.”

“Baik!” Kedua suster itu menjawab serempak diiringi senyum merekah.

Ketika John melangkah menuju lift pun, mereka masih belum melepaskan tatapan darinya. Malahan, dia sempat mendengar teriakan ketika pintu lift tertutup.

John tidak mempermasalahkan hal itu. Hatinya justru tengah berbunga-bunga tidak sabar untuk menemui Anna. Mungkin nanti, dia bisa berhamburan ke pelukan wanita itu dan bermanja-manja padanya. Dia juga akan menggunakan alasan sakit dan kelaparan untuk menarik simpatinya.

Anna memang keras tapi hatinya selembut kapas. Dia pasti tidak tega untuk bersikap tegas apalagi wanita itu merawatnya selama sakit. Tanpa berpura-pura pun, Anna pasti tahu kalau kondisinya masih belum pulih. Wajahnya yang pucat sudah menunjukkannya. Dia hanya perlu bertingkah lemas seperti orang sakit agar tampak meyakinkan.

Sebelum lift berhenti, John memperhatikan penampilannya dari pantulan cermin dinding. Dia sengaja membuat rambutnya terlihat kusut dan meremas beberapa sudut pakaiannya. Dengan begini, penampilannya sudah meyakinkan. Anna pasti akan memberikan tatapan kasih sayang melihatnya seperti ini dan selanjutnya dia bisa menikmati sisa siangnya bersama wanita itu.

Begitu tiba di lantai teratas, John setengah berlari menuju ruang kerjanya. Sebelum masuk, dia memperhatikan dirinya sekali lagi. Saat melakukannya, sayup-sayup dia mendengar suara dua orang wanita yang sangat dikenalnya. Matanya melebar mendengar desahan dan penolakan yang saling bersahut-sahutan.

“Ayolah sayang, tidak ada siapa-siapa disini. Kau tidak perlu malu-malu.”

“Aku tidak malu, aku jijik denganmu! Menjauh dariku atau aku akan melempar vas ini ke kepalamu!”

“Dari pada melemparku dengan vas, aku lebih suka kalau kau memukulku dengan cambuk. Rasanya pasti menyenangkan.”

“Kau gila! Aku tidak peduli kau dokter sehebat apa, aku tidak akan membiarkanmu mendekati Nina lagi!”

“Jangan begitu. Kau tahu kan kalau aku juga sangat menyukai Nina. Aku tidak sabar untuk membantunya melahirkan anak keduanya dan menjadi yang pertama memeluk anak itu. Tapi tetap saja, kau adalah favoritku. ❤️”

“Kau sudah sinting! Hey, apa yang kau lakukan?!”

“Tentu saja, menciummu. Diam sebentar ya, ini akan cepat.”

John langsung mendobrak pintu ruang kerjanya. Matanya menatap nyalang pada Julie yang tengah menyudutkan Anna di ata sofa. Setiap godaan yang dilontarkan dokter cantik membuat telinganya panas. Dia sudah banyak mendengar hal aneh tentang Julie tapi memilih untuk tidak menggubris karena keahliannya. Namun, tidak disangka kalau kali ini dia akan menangkap basah Julie yang tengah menggoda Anna dalam posisi yang berbahaya.

Dengan langkah lebar, John mendekati Julie dan menarik lengannya kasar untuk menjauhi Anna. Matanya menatap nyalang, sesuatu yang tidak pernah dilakukannya kepada wanita. “Jauhi Anna. She is mine!

Teriakan John yang lantang menggema hingga keseluruh ruangan. Tidak ada candaan dalam perkataannya dan ekspresi John sangat serius, melupakan rencananya untuk pura-pura sakit. Dadanya bergemuruh dengan rasa cemburu yang kental. Dia tidak akan membiarkan siapapun mendapatkan Anna meskipun lawannya adalah wanita.

“Pergi dari sini! Aku tidak mau melihat wajahmu lagi!” serunya lagi.

Pengusiran John ini bisa saja dianggap Julie sebagai pemutusan kerja. Tetapi dia tidak menganggapnya serius dan justru tersenyum sembari melepaskan pergelangan tangannya dari cengkraman John.

“Baiklah. Lagi pula aku harus mengobati tanganku. Pasti membiru karena kau menggenggamnya begitu kuat. Coba saja Anna yang melakukannya, aku akan membiarkannya sembuh begitu saja sambil memandanginya setiap saat.”

Jawaban Julie justru membuat John semakin murka. Belum pernah dilihatnya John semarah ini apalagi terhadap perempuan. Sepertinya dia sudah bermain terlalu jauh dan sudah saatnya untuk menyelamatkan diri.

“Wajahmu seram. Kau akan membuat Anna takut kalau seperti itu dan karena aku wanita yang sangat pengertian, aku akan meninggalkan kalian berdua. Bye-bye!” Julie pergi dengan langkah ringan dan menutup pintu ruang kerja dengan rapat, menyisakan John dan Anna berdua.

Tidak ada yang bersuara diantara mereka. Anna menundukkan wajahnya, tidak berani menatap John. Kalimat pria itu yang menyatakan dia adalah miliknya masih terngiang-ngiang di kepalanya. Anna bisa merasakan kalau wajahnya memanas. Dalam hati dia mengutuk laki-laki itu karena telah membuatnya seperti ini.

John sendiri pun tidak mengerti, kenapa dia bisa semurka itu kepada Julie. Biasanya, dia tidak akan mudah marah apalagi terhadap wanita. John tidak pernah membiarkan emosi menguasainya dirinya. Dalam kondisi seperti apapun, dia selalu bisa menahan perasaannya dan memberikan senyuman. Namun kali ini dia tidak bisa menahan emosinya dan meledak begitu saja.

Membayangkan Anna bermesraan dengan orang lain berhasil menyulut rasa cemburunya. Siapapun itu, baik wanita atau pria dia tidak akan membiarkannya. Seperti yang dikatakannya tadi, Anna adalah miliknya dan siapapun tidak boleh memilikinya.

“Anna.”

John bisa melihat kalau punggung Anna tersentak kaget karena panggilannya. Tanpa mempedulikan Anna yang duduk memunggunginya, John menghamburkan tubuhnya untuk memeluk wanita itu. Ketika dia tidak menolak, John melanjutkan dengan menyandarkan wajahnya ke sela-sela leher dan menghirup aroma menyegarkan disana.

“Aku menyukaimu,” ucap John lemah. “Aku benar-benar menyukaimu sampai membuatku gila. Sebelumnya, aku menganggap Alex sinting karena terlalu terobesi pada Nina. Tetapi sekarang, aku sendiri juga mengalaminya. Aku mencintaimu dan akan tetap melakukannya meskipun kau menganggapku pria brengsek.”

John tahu, membutuhkan waktu lama agar Anna bisa mencintainya. Tidak mudah bagi wanita itu untuk memaafkannya karena kesalahpahaman yang terjadi dua tahun lalu. Tapi John tidak pernah menyesal. Mulai sekarang, dia sudah bertekad untuk menarik perhatian wanita itu, memerangkap dalam pesonanya dan kemudian menjadi miliknya.

***

Helaan nafas teratur terdengar jelas ditelingaku. Sudah cukup lama John memelukku dalam posisi seperti ini. Dalam jarak sedekat ini, aku bisa mendengar detak jantungnya yang keras. Leherku terasa geli dan juga panas karena hembusan nafasnya. Ketika tangannya masih memangkuku, aku baru menyadari kalau telapak tangannya sangat lebar dan hangat. Sehangat senyuman yang selalu ditunjukkannya.

Aku meneguk ludah sekali sambil berharap kalau pria itu tidak melihat wajahku yang merah. Rasanya, jantungku juga ikut berdetak cepat dan seirama dengannya. Aku berusaha untuk menenangkan diriku dengan memikirkan hal-hal yang tenang. Tetapi yang terlintas dipikiranku adalah ucapannya tadi yang membuat degupanku semakin cepat.

Arghh … Aku ingin segera terbebas dari situasi yang menyesakkan ini. Kenapa pria ini tidak mengatakan apapun? Apa dia tidak gerah terus memelukku seperti ini? Apa dia tidak merasa lapar karena seharian belum makan? Atau jangan-jangan dia malah tertidur?

Aku memberanikan diri untuk menolehkan kepala. Baru memiringkannya sedikit, aku langsung kembali ke posisi semula. Bukannya takut, hanya saja aku masih belum siap berhadapan dengannya. Aku tidak tahu ekspresi apa yang harus kuperlihatkan nanti padanya. Tentu saja aku tidak mau terlihat seperti wanita yang tergila-gila padanya. Itu hanya membuatnya menjadi besar kepala dan menganggapku rendah.

Setelah menarik nafas untuk mengumpulkan keberanian, akhirnya aku memiringkan wajahku dalam sekali putar. Aku langsung membeku ketika pandanganku bertemu dengan matanya. Entah berapa lama mata itu memandangiku sampai akhirnya John mendekatkan wajahnya dan memberikan ciuman ringan di dahiku.

“Aku akan mengatakannya sekali lagi. Aku mencintaimu. Anna, jadilah kekasihku!” seru John lantang.

Aku terdiam, mengamati wajah pria itu lekat-lekat kemudian memejamkan mata. Aku berusaha memilah perasaanku sendiri. Apakah aku masih membenci pria itu karena kejadian dulu? Apakah rasa nyaman saat bersamanya itu hanya sesaat atau aku memang mengharapkan sesuatu yang lebih?

Pikiranku lalu kembali berputar kepada lamunanku dulu tentang keluarga bahagia. Saat itu, pria yang terlintas dibenakku adalah John. Lalu seolah-olah dewi keberuntungan tengah bosan, aku harus bekerja dengan pria itu selama beberapa saat. Seperti biasa, dia memang pandai membuatku kesal dengan isi rumahnya yang berantakan ditambah lagi dengan peristiwa dikamar mandi.

Karena insiden itu, aku semakin menganggap kalau John memang pria kurang ajar. Tetapi, aku juga tidak bisa membohongi diriku kalau bekerja dengannya juga menyenangkan dan aku juga tidak bisa menutupi perasaan khawatirku. Setiap hari, aku selalu berharap bisa bertemu dengannya dan tanpa sadar aku telah menumbuhkan perasaan suka.

Aku tidak bisa mengatakan kalau itu cinta. Tetapi aku yakin, kalau rasa suka itu akan semakin tumbuh dan membesar. Mungkin, aku masih membutuhkan banyak waktu untuk memilah perasaanku. Ketika aku telah menerima John secara keseluruhan, barulah aku akan menyatakan perasaanku.

“Aku – !”

Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, pintu ruangan John terbanting keras hingga membuat kami sama-sama menoleh. Disana, aku melihat seorang gadis manis berambut pirang yang sama denganku. Pakaiannya yang bertema lolita pink, membuatnya seperti anak kecil yang cantik. Riasannya pun sangat feminim, kontras dengan pakaiannya yang lucu. Rambutnya yang panjang bergelombang, dibiarkan begitu saja dengan pita-pita kecil yang terjepit disana. Kalau diperhatikan lagi dari wajah dan tinggi badannya, dia seperti remaja berumur dua puluhan. Gadis itu menatap John dengan mata berbinar lalu lari menghampirinya.

"John! Aku merindukanmu!" Gadis itu mengalunkan kedua lengannya pada leher John dan melayangkan ciuman hangat pada pipinya

“John! Aku merindukanmu!” Gadis itu mengalunkan kedua lengannya pada leher John dan melayangkan ciuman hangat pada pipinya. Gadis itu sama sekali tidak mengetahui kehadiranku dan sibuk bergelut manja padanya.

“Lizbeth, kenapa kau tidak mengatakan kalau akan datang?” Tidak ada reaksi terkejut atau marah dari John. Justru dia menerima gadis itu dengan membiarkannya terus dipeluk.

“He he, aku sengaja melakukannya untuk menjadi kejutan. Oh ya, mulai tahun ini aku sudah dewasa. Jangan lupa dengan janjimu untuk menjadikanku pengantin,” ucap gadis itu riang.

Aku mengepal tanganku erat mendengar hal itu. Pengantin? Pria itu berjanji seperti itu kepada gadis yang usianya jauh lebih muda darinya lalu seenaknya mengatakan kalau dia mencintaiku? Melihat mereka berdua begitu dekat dan seenaknya bermesraan membuatku geram.

Seolah-olah teringat dengan keberadaanku, John melepas rangkulan gadis bernama Lizbeth itu lalu menoleh padaku. “Anna, perkenalkan dia …”

Tanpa menunggu penjelasannya lebih lanjut, aku menampar pipi John dengan sekuat tenaga. Mengabaikan dirinya yang kesakitan, aku langsung pergi dan memencet tombol lift terus menerus agar segera menutup pintu. Pria itu tidak mengejarku. Setelah pintu lift tertutup rapat, aku merasakan sesuatu yang hangat mengalir di pipiku. Aku mendongakkan wajahku dan melihat air mata yang telah seenaknya mengalir begitu saja.

Aku tertawa melihat pantulan diriku. Aku tidak bisa menghentikannya meskipun dadaku terasa sakit. Ini adalah tangisanku yang pertama setelah bertahun-tahun lamanya kematian ibu. Impian yang kudambakan, hancur begitu saja di depanku. Rasanya sakit. Bahkan lebih sakit daripada kepergian ibu yang kucintai.

Sudah cukup, aku tidak mau merasakannya lagi. Cukup sekali saja aku merasakan rasa sakit ini. Aku tidak akan menyerahkan hatiku pada pria lagi dan memperjuangkan kebahagiaanku sendiri.

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Sassy Maid and Playboy Doctor – 12

15 votes, average: 1.00 out of 1 (15 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

2

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Semuanya berlalu begitu cepat. Meskipun John telah pergi selama beberapa saat, aku masih mematung di tempatku menatap pintu yang tertutup itu. Seolah-olah, semua yang kualami itu hanya mimpi. Menemukan John yang pingsan, merawatnya hingga tertidur lalu bangun dalam keadaan sehat dan pergi meninggalkanku begitu saja.

Aku kemudian menghela nafas, mengamati seluruh ruangan dan diriku sendiri yang masih mengenakan pakaian yang sama dengan semalam. Tidak, ini bukan mimpi. Apa yang kulalui, semua adalah kenyataan termasuk John yang pergi karena panggilan tugas.

Pekerjaannya sebagai dokter memang tidak mengenal waktu dan tempat. Aku tebak, pasti pria itu lebih banyak menghabiskan waktu dirumah sakit sehingga apartementnya sering ditinggal begitu saja. Kalau pun pulang, dia pasti akan pergi lagi begitu mendapat panggilan darurat seperti sekarang.

Dengan tatapan lesu, aku melangkah menuju tempat tidur dan merapikan selimut yang berantakan. Masih ada sisa-sisa kehangatan disana, tempat aku dan John menghabiskan malam bersama. Pria itu padahal baru saja sembuh dari sakitnya. Dia bahkan belum mandi, berganti pakaian ataupun sarapan dan harus menuju rumah sakit menuaikan tugas.

Aku menyentuh keningku lalu menatap kembali kasur yang masih seperti sebelumnya. Ini adalah yang kedua kalinya aku tidur disini setelah dua tahun lalu. Namun, yang berbeda adalah keadaan. Kalau saat itu aku sedang mabuk dan John mengambil kesempatan, sekarang pria itu sakit dan aku yang merawatnya. Coba saja pertemuan kami seperti ini, aku tidak perlu membencinya hingga sekarang dan didera dengan perasaan sesak yang melingkupi dada. Sebesar apapun aku menolak, perasaan itu tetap tumbuh.

Berada di dekat John membuatku merasakan berbagai emosi. Rasa cemas, marah dan kasih sayang, semuanya bercampur aduk menjadi satu. Kelihatannya, tanpa aku sadari, aku merasa nyaman dengan John dan selalu ingin bertemu dengannya. Walapun, aku belum berpikir jauh seperti pernikahan, aku selalu senang ketika pria itu menggodaku dan berharap kalau hubungan kami akan terus seperti ini.

Sepertinya, aku kalah dengan diriku sendiri dan melupakan pendirianku tentang wanita tangguh. Bukan berati aku merasa rapuh. Bersama John, aku merasa diperlukan. Bersama dia, aku merasa menemukan jati diriku yang sebenarnya.

Sebuah senyum kemudian terbentuk diwajahku. Aku melihat ke arah jam dan memperkirakan berapa lama aku membereskan apartement. Aku masih punya banyak waktu hingga pulang berganti pakaian dan memasak. Karena John baru saja sembuh dan membutuhkan perhatian lebih, aku sendiri yang akan mengatar bekalnya hari ini.

Aku bisa membayangkan, betapa terkejutnya wajah pria itu ketika melihatku nanti. Apa dia akan merasa senang? Mengingat dia yang tergila-gila padaku, aku sudah tahu jawabannya. Aku hanya perlu berdandan cantik dan menjadi wanita yang percaya diri seperti biasanya. Dengan begitu, aku bisa menemuinya dengan bangga dan membuat wanita-wanita lain yang mendekatinya terintimidasi oleh keberadaanku.

***

Kalau sebelumnya, aku mengenakan dress vintage gelap, kali ini aku menggunakan dress pink dengan motif bunga selutut dan sepatu hak berwarna lebih muda. Rambutku kugerai begitu saja tanpa hiasan, menampakkan warna pirang asli dengan kilaunya yang alami. Aku pun tidak mengenakan make up yang berlebihan dan hanya memoleskan foundation dan memulas lipstick tipis. Aku tidak mau kelihatan norak karena tempat yang ku kunjungi adalah rumah sakit, bukan kelab malam.

 Aku tidak mau kelihatan norak karena tempat yang ku kunjungi adalah rumah sakit, bukan kelab malam

Setelah menyiapkan barang-barang yang kubawa, aku memperhatikan diriku sekali lagi di depan cermin. Rasanya seperti deja vu karena aku juga melakukan hal yang sama pada dua hari yang lalu. Kalau di ingat lagi, saat itu aku lebih bersemangat berdandan, bahkan lebih antusias dari sekarang. Mungkin karena sekarang aku tidak menemuinya secara pribadi seperti dirumahnya yang membuat kami lebih bebas dan leluasa dalam bersikap.

Begitu selesai, aku bergegas turun dan menaiki mobil yang ditinggalkan Alex untukku. Aku lalu menginstruksikan supir untuk menuju rumah sakit tempat John bekerja. Jangan heran kalau aku mendapat pelayanan mudah seperti ini. Semua tahu dengan statusku sebagai maid pribadi Alex yang sekaligus juga membuat mereka hormat padaku. Yah, meskipun biasa aku tidak membutuhkan supir dan selalu berjalan kaki kemana-mana atau naik angkutan umum, untuk kali ini aku akan menaikkan standarku demi menemui dokter mesum itu.

Aku mengamati jam tangan dan menerka-nerka kapan John selesai dengan operasinya. Kalau nanti operasinya belum berakhir, aku bisa menghibur diri dengan berjalan-jalan mengitari seluruh area rumah sakit. Atau aku bisa menunggu di ruang kerjanya sambil memastikan ruangannya rapi.

Awas saja kalau ruangannya sama seperti apartementnya. Aku akan mengomelinya sepanjang makan siang agar pria itu sadar dengan kebersihan. Asal John mau mengubah sifatnya yang berantakan itu, aku rela terlihat seperti orang ibu galak yang memarahi anaknya.

Memikirkannya membuatku tidak bisa berhenti tersenyum. Aku bahkan tidak sadar kalau sudah tiba di rumah sakit sampai supir memanggilku. Aku benar-benar ceroboh karena bisa-bisanya terlena dengan lamunanku sendiri. Sebelum turun, aku meminta agar supir tidak usah menunggu. Aku tidak tahu berapa lama ada disini dan tidak ingin membuatnya menunggu lama.

Sesuai dugaan, John belum selesai menjalankan operasinya. Terlihat dari sekumpulan orang yang berdiri di pintu ruang UGD dan lampu merah yang menyala. Lidahku gatal ingin bertanya pada suster yang berlalu lalang. Namun, aku berusaha sekuat tenaga untuk mengurungkan niatku karena itu sangat tidak sopan apalagi dengan keluarga yang sedang bersedih.

Terpaksa opsi lain yang kulakukan adalah berkeliling sembari melihat-lihat sekitar. Rumah sakit ini begitu luas dan memiliki sepuluh tingkat. Lantai dasar, dikhususkan untuk recepsionist, dokter umum dan UGD. Untuk lantai berikutnya, terdapat ruangan yang dibagi-bagi untuk dokter spesialis dan scanning lainnya. Ada juga kamar untuk untuk pasien menginap. Semakin kaya orang tesebut, biasanya menginginkan privasi lebih. Lantai lima keatas disiapkan untuk orang-orang seperti mereka.

Rumah sakit yang dibangun seluas tujuh hektar itu juga memiliki taman yang indah untuk berjalan-jalan. Pasien yang bosan menunggu atau jenuh karena terus dikamar, bisa memperbaiki suasana hatinya dengan berada disini. Itu karena keindahan bunga beraneka ragam yang ditanam mengeluarkan harum yang semerbak. Anak-anak juga akan merasa senang dengan patung rumput yang digunting berbagai bentuk tokoh terkenal seperti Disney ataupun Super Hero.

 Anak-anak juga akan merasa senang dengan patung rumput yang digunting berbagai bentuk tokoh terkenal seperti Disney ataupun Super Hero

Sepanjang berkeliling, aku melihat seluruh kursi tunggu penuh dengan pasien yang datang

Sepanjang berkeliling, aku melihat seluruh kursi tunggu penuh dengan pasien yang datang. Tidak kusangka, begitu banyak orang yang mempercayai kesehatannya di rumah sakit ini. Aku pernah membaca artikel kalau rumah sakit yang dipimpin John ini termasuk rumah sakit terbaik. Selain pelayanan yang ramah dan penanganan yang cepat, dokter-dokter yang bekerja disini sangat handal dalam bidangnya. Jadi wajar saja jika orang-orang menjadikan rumah sakit ini sebagai favorit.

Ketika sedang mengamati sekitar, telingaku menangkap pembicaraan dua orang suster wanita mengenai John. Sontak, aku langsung mengikuti mereka untuk mendengarkan apa yang mereka bicarakan. Seharusnya, aku sudah tahu arah pembicaraan itu dan membuat ekspetasi hubunganku dengan John menjadi runtuh. Aku lupa kalau pria itu memiliki kekasih dimana-mana.

Siapa yang tidak tertarik untuk memiliki John? Dokter muda mapan dengan masa depan yang sudah pasti ditambah dengan pemilik rumah sakit yang memiliki segudang reputasi baik. Wanita manapun pasti berusaha untuk mengejarnya. Belum lagi dengan sifatnya yang suka menggoda itu. Pasti banyak diluar sana wanita cantik yang bersamanya.

Aku menundukkan wajahku dan bersiap untuk pergi. Hatiku tidak siap mendengar semua perlakuan manis yang diberikan John kepada wanita lain. Tetapi apa yang kudengar ternyata berbanding terbalik dengan apa yang kupikirkan. Aku bahkan sempat mematung sebelum kembali mengikuti kedua suster itu dengan langkah teratur.

“Apa kau tahu pasien wanita yang mengidap leukimia itu? Sewaktu rambutnya rontok, dia menangis tersedu-sedu mengatakan dirinya tidak cantik lagi. Tapi dokter John menenangkannya dan memberikan godaan ringan sehingga wanita itu ceria lagi. Aku dengar, pengobatannya berjalan lancar dan hanya tinggal menunggu hasil tes,” ucap suster berbadan kecil dengan semangat.

“Ya, aku mendengarnya,” sahut suster satunya yang lebih tinggi. “Kudengar, dokter John juga berhasil membujuk pasien kakek untuk meminum obatnya. Padahal sebelumnya aku mendengar dari suster yang lain kalau sangat sulit membujuknya. Kau tahu apa yang dokter John lakukan? Dia mengajak kakek itu bermain catur dan mengalahkannya tiga kali berturut-turut! Dokter John sangat hebat bukan?!”

Suster kecil itu mengangguk mengiyakan. “Lalu, aku juga mendengar kalau dokter John mengencani seluruh suster untuk mengetahui kendala mereka selama bekerja. Dokter John akan memberikan solusi dan menciptakan suasana kerja yang nyaman untuk kita.”

“Aku juga tahu itu,” balas suster yang lebih tinggi. “Info yang kudengar dari suster-suster senior, siapapun yang diajak kencan oleh dokter John akan diperlakukan sebagai putri. Mereka akan dibawa ke tempat rekreasi, shopping di mall, makan di restoran mewah dan masih banyak lagi. Tidak ada hubungan sex sama sekali. Dokter John benar-benar menghargai kita sebagai wanita.”

Suster berbadan kecil itu menyentuh kedua pipinya lalu bersorak kegirangan. “Kyaaa! Aku juga ingin diperlakukan seperti itu! Menjadi putri selama satu hari dan mendapatkan perlakukan manis dari orang yang disuka! Itu pasti akan menjadi kenangan yang tak terlupakan!”

“Hey, jangan teriak-teriak! Suaramu menganggu yang lain. Jangan sampai dokter John menegurmu dan menganggapmu kurang baik dalam bekerja,” tegur suster berbadan tinggi itu.

“He he he, maaf, aku hanya kesenangan,” balas suster berbadan kecil itu sambil memiringkan kepalanya.

Saat itu tatapannya langsung tertuju padaku. Sepertinya, dia menyadari kalau aku sejak tadi mengikuti mereka. Aku ingin cepat-cepat pergi dari tempat itu tapi suster berbadan kecil itu lebih dulu memanggilku.

“Selamat siang, nona. Apa ada yang bisa kami bantu?” tanyanya sopan.

“Ah, aku… aku… ” Aku berusaha memikirkan alasan dan tiba-tiba pertanyaan itu terlintas begitu saja. “Aku ingin tanya, dimana jalan menuju ruang kerja dokter Johnathan Lewis?” tanyaku dengan senyum yang dipaksakan.

Kedua suster itu saling bertatapan sebelum akhirnya suster yang lebih tinggi itu kembali bertanya. “Maaf, tapi apa nona sudah membuat janji? Karena tidak sembarangan orang bisa menemui beliau jika diluar kepentingan.”

Ucapannya itu sebenarnya sangat menohok. Tetapi aku tidak mempermasalahkannya karena akan lebih malu lagi kalau mereka mengetahui kalau sejak tadi aku mendengar semua percakapan mereka. “Sudah. Alexander Black Testa yang menyuruhku kemari untuk mengatarkan sesuatu. Bisa kalian tunjukkan dimana jalannya?”

Aku sengaja menyebutkan nama Alex secara lengkap. Siapa yang tidak kenal Alex? Aku yakin meskipun mereka mengagumi John, mereka juga pasti mengenalnya. Walaupun Alex sudah menikah, tidak sedikit wanita berbisa yang berharap adanya pertikaian dalam kehidupan rumah tangga mereka. Sehingga kalau hal itu terjadi, wanita-wanita itu bisa merangsek masuk dan menjadi nyonya Testa.

Sebenarnya tanpa perlu bertanya pun aku sudah tahu. John betul-betul mengadopsi sikap kerja Alex. Jadi ruangan kerjanya pasti berada di lantai tertinggi rumah sakit ini.

“Ruangan kerja dokter John berada di lantai teratas rumah sakit ini. Bisa diakses melalui lift yang terdapat disamping meja resepsionist.”

Suster berbadan tinggi itu menjawab dengan wajah datar. Samar-samar, aku bisa melihat kalau ada nada tidak suka terselip disana. Begitu juga dengan temannya yang menatapku sinis. Mungkin karena aku sama sekali tidak seperti seseorang yang diminta untuk mengatarkan sesuatu, malah lebih berniat untuk menggoda.

Menggunakan nama Alex memang pilihan yang benar. Aku tidak mau ambil pusing dengan kecemburuan mereka. Yang aku inginkan adalah segera pergi dari sini dan tidak ingin melihat mereka lagi. “Baik, terima kasih atas informasinya.”

Aku segera melenggang pergi dengan senyum terbaik dan membalikkan tubuh dengan elegan seperti model ternama. Tak lupa, aku juga memberikan senyum terbaik dan memainkan ujung rambutku agar tampak menggoda. Perbuatanku itu, berhasil membuat semua orang yang berada disitu terpukau. Bahkan aku bisa melihat wajah keterpesonaan dari kedua suster itu.

Aku sengaja melakukannya untuk memprovokasi mereka sekaligus peringatan agar tidak menganggapku sebagai wanita biasa. Tujuanku yang lain agar mereka menyebarkan gosip dan sampai ke telinga wanita-wanita pengganggu yang terus menempeli John. Mana ada gosip yang tidak menyebar cepat jika sudah menyangkut pria yang di idolakan? Apalagi dari wanita-wanita muda yang sangat memujanya.

Aku yakin, tidak lama lagi mereka akan muncul untuk memberiku peringatan. Baguslah, karena dengan begitu aku tidak perlu repot-repot mencari mereka satu per satu dan langsung mengusir mereka. Tentu tidak mudah melakukannya belum lagi dengan betapa banyaknya wanita yang menggilai John. Tapi tidak masalah karena aku mempunyai banyak waktu dan sifatku yang kuat tidak akan dari mereka.

Aku lalu melangkah menuju lift dengan percaya diri. Begitu kakiku hampir melangkah masuk, seseorang tiba-tiba mengalunkan lengannya pada leherku. Aku hampir terjatuh kalau dia tidak berdiri dibelakangku. Lantas aku mendongak, bersiap untuk memarahi siapapun itu. Tetapi aku malah mematung ketika bertatapan dengan sepasang mata bening milik wanita cantik berjas putih ala dokter yang kukenal.

Hi, darling. Miss me?

15 votes, average: 1.00 out of 1 (15 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Sassy Maid and Playboy Doctor – 11

8 votes, average: 1.00 out of 1 (8 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

2

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Dengan mata terpejam, John merentangkan kedua tangannya keatas dan menguap lebar. Tidurnya hari ini sangat pulas, begitu nyenyak hingga dirinya tergoda untuk tidur kembali. Diliriknya sekilas ke arah jendela yang menampakkan langit malam lalu tersenyum. Pikirannya memproses jika hari masih gelap dan dia bisa melanjutkan istirahatnya dengan tenang.

John kembali memejamkan matanya, melemaskan semua otot-otonya dan berbaring menyamping mencari kenyamanan. Begitu mendapatkan posisi yang pas, tangannya menyentuh sesuatu yang lembut. Terdorong rasa malas membuka mata ditambah keinginannya untuk memeluk guling, dia menarik sesuatu yang lembut itu mendekat mendekapnya.

John sudah bersiap untuk kembali ke alam mimpi sampai dia merasa apa yang dipeluknya itu tidak hanya lembut tapi juga hangat. Samar-samar, dia juga merasa rambut yang menggesek permukaan bibirnya. Selain itu, di dadanya juga terasa hembusan nafas yang teratur. John ingin saja mengabaikan semua keanehan itu sampai sesuatu melewati pinggang dan memeluknya.

Mata John langsung terbuka dan melihat dengan was-was apa yang dirangkulnya. Yang tampak pertama kali olehnya adalah rambut pirang yang familiar. Dia tidak bisa melihat wajah wanita yang berada dalam rangkulannya itu karena tertunduk dalam. Dengan hati-hati, John mengangkat wajah itu dan terbelalak ketika menyadari bahwa wanita yang memeluknya itu adalah Anna.

Kenapa dia ada disini? Kenapa dia bisa tidur seranjang dengannya?

John langsung menyikap kasur dan bernafas lega ketika melihat pakaian yang mereka kenakan masih lengkap. Tidak ada keanehan lain seperti seperti yang dipikirkannya. Mereka hanya tidur, tidak lebih.

John kembali membaring kepalanya yang berkedut karena semua keterjutan ini. Dia menatap Anna yang masih memejamkan mata. Kelihatannya, dia sama sekali tidak terganggu dengan gerakannya tadi. Syukurlah wanita ini tidak bangun. Kepalanya masih tidak kuat jika harus berdebat dan tubuhnya sangat lelah untuk sekedar memberi gurauan singkat. Tatapannya lalu tertuju pada meja nakas di sisi seberang lalu menemukan baskom, handuk dan obat-obatan disana. Kilasan mengenai kejadian tadi pagi langsung terlintas.

Seperti biasa, John sudah siap dengan setelan jas putih yang baru dibelinya. Saat sarapan tadi, dia sudah merasa tubuhnya tidak enak. Dia mengalami pusing saat bangun tadi dan tanpa mempedulikannya melanjutkan dengan mandi air dingin. Dia mengira tubuhnya akan baik-baik saja setelah dibersihkan, namun hal itu justru membuatnya semakin parah. Keringat mulai membasahi dahinya dan tubuhnya mengalami panas dingin yang tidak menentu.

John masih yakin kalau kondisinya baik-baik saja dan tetap nekat untuk bekerja. Hari ini ada kunjungan tim penilai yang khusus meninjau rumah sakit. Sebenarnya tidak ada hal khusus yang perlu dilakukan dengan datangnya tim penilai itu. Ada atau tanpa dirinya, rumah sakit akan tetap beroperasi seperti biasa, memberikan pelayanan ramah dan penanganan terbaik tanpa membedakan siapapun.

Kehadirannya ini hanya sebagai pelengkap yang memegang jabatan tertinggi sebagai direktur. Lagi pula, sudah tugasnya menangani hal-hal seperti bersosialisasi dengan mereka dan menjawab semua pertanyaan yang diberikan. Tetapi kadang-kadang, dia juga meninggalkan mereka dan menyerahkannya pada bagian lain kalau ada panggilan darurat.

Karena kekeraspalaannya, John menyeret kakinya menuju pintu. Tidak dipedulikannya rasa sakit yang terus berdentam di kepala. Saat menggenggam gagang, pandangannya menggelap disertai panas yang membakar sekujur tubuh. Dia tidak ingat lagi apa yang terjadi setelah itu dan tahu-tahunya sekarang telah berada di atas kasur bersama Anna.

Dari situasinya sekarang, John mengambil kesimpulan kalau dia pingsan dan Anna yang merawatnya. Dilihat dari baskom dan handuk yang tersedia, sepertinya dia menjagannya sepanjang malam. Tubuhnya pun tidak terasa gerah dan merasa sedikit dingin di bagian dada. Pipi John memerah, membayangkan kalau Anna membuka semua pakaiannya lalu melakukan hal aneh yang tidak diketahuinya.

Segera, John mengenyahkan pemikiran itu. Anna tidak mungkin melakukan yang tidak-tidak. Wanita itu tidak seperti dirinya yang mempunyai pengendalian diri tinggi. Hanya saja kalau sudah mabuk, dia sudah seperti wanita lain dan melupakan segala hal.

John merapikan anak rambut yang menutupi permukaan pipi Anna dan memberikan usapan ringan. Kalau dilihat-lihat lagi, wajahnya terlihat lelah. Wanita ini pasti cemas menemukannya dalam kondisi seperti itu. Tidak membawanya kerumah sakit dan mengurusi semuanya sendirian sudah termasuk hebat. Merawat orang sakit memang sangat letih. John tahu karena dia sering melakukannya. Wanita ini pasti telah mengompresnya berkali-kali dan mengecek suhu tubuhnya tiap jam hingga membuatnya tertidur.

Ada rasa senang di hati John karena Anna tidak meninggalkannya terutama dengan kondisinya yang sedang sakit. Menjadi dokter memang pekerjaan mulia tetapi hal itu membuatnya tidak peduli dengan kesehatan sendiri. Seringkali John dihadapkan dengan situasi darurat yang harus memaksa tubuh dan otaknya bekerja walaupun sudah kelelahan. Waktu yang tidak bisa ditentukan membuatnya terus waspada. Karena, sedikit saja ada kesalahan ataupun terlambat akan berakibat fatal.

Pernah saat itu dia ingin ke toilet untuk menyelesaikan panggilan alam. Tapi hal itu harus ditunda karena ada pasien darurat yang lebih membutuhkannya. Selama 3 jam operasi berjalan, John harus menahan mulas di perutnya dan tetap tersenyum menjelaskan hasil kepada keluarga yang menunggu. Begitu selesai, dengan setengah terbirit dia melangkah menuju wc umum yang membuat semua orang terheran-heran.

Tentu saja, orang hebat seperti dirinya memasuki wc umum, bukan wc pribadi yang terletak dilantai teratas. John tidak akan mempermasalahkan sepele seperti itu. Toh, kebersihan rumah sakit ini terjamin hingga ke sudut manapun. Kalau dia memikirkan gengsinya, bisa-bisa berikutnya dia yang harus dioperasi.

Yah, banyak suka duka menjadi dokter. Kalaupun sakit, dia harus merawat dirinya sendiri dan tetap terlihat sehat di depan semua orang. Ini memang bukan pertama kalinya jatuh sakit tapi ini adalah pertama kali dia pingsan. Kelihatannya, tubuhnya sudah berada pada batas maksimum dan tidak bisa menahannya lagi sehingga membuat dirinya pingsan.

Sayang sekali karena tidak bisa melihat ekpresi Anna sewaktu merawatnya. Coba saja kalau John bangun lebih awal, dia bisa merasakan kebahagiaan yang sama seperti Alex karena diperhatikan oleh wanita yang disayang. Mungkin nanti, dia bisa mendapatkannya lain kali. Asalkan jangan saat pagi membuka mata yang didapatkannya malah amukan.

Tetapi sedikit saja, sedikit saja John berharap bisa melihat sisi imut Anna dan membekapnya setiap malam, seperti sekarang. Dengan begitu, dia juga bisa berbangga hati pada Alex yang selalu memamerkan kemesraannya dengan Nina. Dia juga akan memanjakan Anna dan memberikan semua yang wanita itu inginkan. Jadi, dia mempunyai kesempatan untuk membalas sahabatnya itu dan mendapatkan kebahagiannya sendiri.

***

Begitu cahaya matahari menembus tirai, John langsung mengeliat dan memeluk erat sesuatu dalam dekapannya. Bibirnya langsung mengurai senyum, seolah-olah mendapatkan mimpi indah. Kehangatan dan kelembutan yang dirasakan sangat memanjakan dirinya sehingga enggan untuk membuka mata. Dia masih ingin terlena lebih lama lagi dan menikmati waktu istirahatnya.

Ketika hampir larut ke alam mimpi, John merasakan sesuatu bergerak dalam pelukannya kemudian menyentuh dahinya. Sentuhan itu membuatnya merasa tenang dan juga kecewa saat menjauh. Tanpa sadar, John menarik sesuatu yang menyentuh dahinya itu ke dalam pelukannya lalu memberikan satu ciuman ringan.

Ada geraman tak jelas yang terdengar setelahnya. John memilih untuk mengabaikannya dan bersiap-siap untuk tidur. Tetapi itu tidak terjadi karena setelahnya, tubuhnya diguncang keras yang memaksanya untuk bangun. Setelah kesadarannya terkumpul, tampak sosok wanita yang familiar duduk disampingnya dengan wajah merah.

“Anna?” panggil John dengan suara serak. Dia sudah lupa soal dirinya yang terbangun tengah malam dan kembali tidur dengan memeluk wanita itu.

“Bangun, dasar dokter mesum! Kau sudah sembuh dan berhenti bertingkah seperti anak kecil!” seru Anna pelan sambil turun dari ranjang. Dia sengaja menahan suaranya agar tidak terlalu menyakiti telinga John yang sensitif. Pria itu baru saja sembuh dan tentu saja dia tidak mau membuatnya sakit lagi apalagi karena dirinya.

John menguap lebar sekali sebelum duduk dan menyandarkan punggungnya pada head board. Ketika menyisir rambutnya, dia ingat apa yang terjadi padanya. Tatapannya lalu tertuju pada Anna yang berdiri di seberang ranjang dengan rambut berantakan kemudian memasang senyumnya yang paling mempesona. Setelahnya, John menepuk-nepuk kasur disebelahnya lalu menjulurkan kedua tangannya ke arah Anna.

“Aku masih sakit. Aku mau tidur memelukmu lagi,” ucapnya dengan nada manja yang dibuat-buat.

Wajah Anna memerah dan merinding secara bersamaan. Dia mengambil bantal yang didekatnya dan melemparnya tepat mengenai wajah John. “Jangan bercanda, cepat bangun dan bereskan tempat tidurmu! Aku akan menyiapkan air hangat untukmu mandi.”

Sambil menggurutu, Anna pergi meninggalkan John yang masih terkekeh ditempatnya. Dalam hati dia berteriak senang karena sepertinya akan terjadi hal baik pada hari ini. Kenapa tidak? Sakitnya ternyata membawa berkah karena membuat Anna menginap dan merawatnya. Setelah sembuh pun, wanita itu masih perhatian padanya.

Sikap Anna yang malu-malu itu membuatnya gemas. John masih ingat bagaimana wajahnya ketika tidur dan rasa halus ketika menyentuh pipinya. Apalagi saat dirinya memeluk Anna hingga tertidur pulas sampai pagi. Ini adalah pengalaman yang tidak pernah didapatkannya sebelumnya.

Kalau dia harus sakit dulu baru bisa mendapatkan perlakuan manis seperti itu, John rela bekerja siang malam dengan mengabaikan kondisinya agar bisa mendapat perhatian wanita itu. Jika bisa, John tidak ingin perlakuan khusus itu hanya didapatkan selama dirinya sakit tetapi juga pada kehidupannya sehari-hari. Siapa yang tidak senang mendapat perhatian dari orang yang disuka, apalagi itu dari wanita yang sudah lama membuatnya tergila-gila dan sulit didapatkan.

Kelihatannya, hubungan mereka sudah lebih baik dari pada sebelumnya. Tidak apa-apa bukan kalau John sedikit bertindak egois demi masa depannya? Hari ini dia tidak akan bekerja dan melimpahkan semua pekerjaanya pada seketarisnya. Toh, tidak ada banyak hal yang dilakukannya kalau tidak ada operasi penting. Pada waktu senggang seperti itu, dia lebih banyak menggoda dokter dan pasien wanita atau menghabiskan waktunya dengan mengajari koas.

Ketika tangan John bergerak untuk mencari ponsel, sebuah nada keras memekakkan telinga langsung memenuhi seluruh ruangan. Suaranya yang begitu keras, membuat John langsung bangkit dan terburu-buru mengambilnya yang hampir membuatnya tersandung meja. Tanpa melihat siapa yang menelepon, dia langsung mengangkat dengan wajah serius.

Anna juga hampir terjatuh ketika keluar dari kamar mandi dan melotot terkejut. Jantungnya terasa mau copot karena kaget dan pekak secara bersamaan. Sebelumnya, dia ingin marah karena bisa-bisanya John memasang nada dering yang begitu keras dan menyakitkan, seolah-olah pemiliknya adalah seorang tunarungu. Tetapi ketika melihat wajah seriusnya membuat Anna mengurungkan niat.

“Kalian sudah melakukan hal yang benar. Tetap lakukan apa yang kalian bisa. Aku akan segera kesana.”

Setelah mematikan telepon, John mengambil jasnya lalu mengenakan dengan buru-buru. Dia juga melewatkan untuk menyisir rambut dan hanya mencuci muka singkat. Bahkan untuk sepatu pun, dia mengambil asal dan langsung mengenakannya tanpa peduli kalau itu adalah sandal. Selanjutnya dia mengambil kunci dan langsung menuju pintu.

“Tunggu! Kau belum mandi ataupun sarapan!” Anna menahan lengannya ketika John membuka pintu. Dari telepon tadi, dia sudah bisa menebak kalau ada panggilan darurat.

Melihat Anna yang khawatir membuat John tersenyum senang. Tanpa bisa menahan perasaannya, dia memberikan ciuman singkat didahinya lalu mengusap kepalanya lembut, selayaknya sepasang kekasih. “Jangan khwatir. Aku sudah terbiasa dengan hal ini. Terima kasih sudah merawatku selama sakit. Aku pergi dulu.”

Sesudah mengatakannya, John menghilang dibalik pintu meninggalkan Anna sendirian dengan emosinya yang campur aduk.

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Sassy Maid and Playboy Doctor – 10

13 votes, average: 1.00 out of 1 (13 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

2

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Beberapa minggu telah berlalu sejak insiden memalukan dikamar mandi. Aku sesekali masih bertemu dengan dokter mesum itu walau sudah sengaja datang lebih lama atau pulang lebih awal. Ada-ada saja alasannya untuk bertemu denganku dan meminta hal yang aneh-aneh. Mulai dari permintaan menu makanan sampai bertanya dimana letak barang-barangnya.

Untuk makan aku tidak keberatan karena itu memang keinginannya dan aku pun tidak tahu apa yang dia suka dan mana yang tidak. Tetapi, untuk mencari perlengkapan, dia memang sengaja. Jelas aku telah menyusun semuanya dengan rapi dan memberikan memo pada setiap jenisnya. Lemarinya pun tidak banyak. Hanya ada satu lemari pakaian, lemari dapur lalu meja kecil dengan laci.

Dia itu memang berniat untuk mengerjaiku. Kalau tidak berati dia pemalas karena tidak mau membaca dan mencarinya sendiri. Sungguh menyebalkan!

Mengenai mandi di rumahnya waktu itu, sebenarnya aku gerah karena keringat dan debu yang menempel pada pakaianku. Hidungku terus terasa gatal dan bersin tiada henti. Rambutku juga terasa lengket karena keringat. Secara keseluruhan, aku merasa tidak nyaman karena aku benar-benar kotor setelah membereskan rumahnya.

Aku tidak bisa menahan keinginan untuk tidak mandi. Apalagi saat melihat bathtub yang baru kubersihkan, sungguh sangat menggoda. Karena itu, aku tidak memikirkan dua kali dan langsung memanjakan diri dengan berendam air hangat. Rasanya sangat nyaman sampai aku lupa waktu.

Aku juga lupa mengantar makan siang untuk John. Ya, siapa suruh jika rumahnya sangat berantakan seperti kapal pecah. Aku sampai butuh berjam-jam untuk menyelesaikannya. Itupun masih ada tempat lain yang belum kubersihkan. Tapi aku bisa membersihkannya nanti secara perlahan-lahan. Tidak ada gunanya melakukan buru-buru. Aku juga bisa mati kebosanan kalau tidak ada yang bisa kuklakukan.

Sejujurnya membersihkan apartement John juga menyenangkan. Karena dengan begitu aku merasa dibutuhkan. Aku juga bisa mengusir pikiran negatif yang terus menggerogoti selama beberapa hari ini. Tentang dimana Alex tidak membutuhkanku lagi dan membuangku. Aku tahu kalau Alex tidak akan melakukannya. Hanya saja perjalanan dinas kali ini cukup lama. Dia bahkan sampai membawa Nina dan Lucas.

“Haaah, aku merindukan mereka,” gumamku.

Rumah yang dulunya ramai dengan tawa, kini menjadi sepi. Dulu saat berdua dengan Alex, tidak pernah sekalipun aku merasa sendirian. Aku selalu antusias menjalani hari-hariku dan memberikan yang terbaik padanya. Aku senang ketika Alex memberikan pujian ringan. Entah karena permintaanya yang selalu aku lakukan dengan baik ataupun mengingat larangannya dengan jelas.

Bahkan, saat mengetahui ada wanita yang mengisi hatinya membuatku sangat senang. Aku memberinya semangat untuk menemuinya dan tidak menyangka kalau dia akan membawanya kemari.

Nina Kurniawan. Aku sudah mengetahui latar belakangnya dari detektif swasta yang kusewa. Aku memang prihatin padanya karena mengalami keadaan yang buruk sama sepertiku. Tapi dia kuat dan aku menyukainya. Dengan cepat kami menjadi akrab dan saat mereka menikah, aku ikut merasa bahagia.

Mungkin, aku sedikit salah menafsirkan kebahagianku karena aku merasa semakin dibutuhkan, apalagi setelah Lucas lahir. Alex mempercayakan padaku sebagai nanny nya. Dia bahkan memintaku untuk memperhatikan Nina dengan baik selama bekerja. Kalau Lucas terus menangis dan sulit ditenangkan, aku jugalah yang akan menenangkannya dan membuatku menjadi ibu keduanya.

Tapi sekarang, aku tidak bisa merasakannya untuk beberapa saat. Kekosongan mereka bertiga membuat ketakutanku muncul. Aku terus berpikir kalau aku tidak dibutuhkan. Sampai-sampai ketika Alex menyuruhku bekerja pada John untuk sementara waktu, itu membuatku berpikir kalau Alex ingin menyingkirkanku secara halus. Aku bahkan telah berpikiran buruk tentang John karena menggunakannya sebagai alasan.

Namun, setelah melihat kondisinya secara langsung, aku tahu kalau Alex tidak berbohong. Dia serius mengkhawatirkan kondisi John yang memang sebenarnya tidak sehat dan juga aku yang akan kesepian. Karena Alex tahu, kalau John lebih membutuhkan bantuanku saat ini daripada yang lain.

Ya, setidaknya dokter mesum itu sudah sehat seperti sebelumnya. Terakhir, dua hari yang lalu aku melihatnya dan saat itu dia kelihatan segar bugar dengan penampilan yang rapi. Dia sudah mencukur kumis dan merapikan rambutnya. Tidak hanya itu, dia juga membeli pakaian baru untuk dikenakannya saat bekerja. Dasar, dokter mesum itu seperti perempuan saja terus membeli pakaian baru. Malahan pakaiannya lebih banyak dari pada punya Nina.

Bekerja padanya juga membuat kepercayaan diriku kembali. Setiap kali John meminta sesuatu, diam-diam aku merasa senang. Itu berati caraku bekerja cocok dengannya. Waupun dia sering memberikanku pujian beserta godaan, aku tidak pernah menganggapnya serius. Aku baru benar-benar merasa senang ketika melihat wajahnya yang puas ketika menyantap makanan dan kagum pada hasil kerjaku.

Sebagai tanda terima kasih, malam ini aku akan menyiapkan steak kesukaan John. Steak tidak enak jika setelah dimasak tidak langsung disantap. Belum lagi dengan sausnya yang kubuat dengan resep sendiri, bukan dari saus instan. Rasanya sangat nikmat jika dipadukan dengan steak medium well. Lalu ada asparagus, kentang dan sayuran lainnya yang menjadi pelengkap. Kalau ditambah dengan red wine maka akan menjadi paket yang komplit. Aku sampai meneteskan air liur ketika memikirkannya.

Kalau aku mendinginkan lalu memanaskannya lagi, cita rasa dari steak itu akan hilang

Kalau aku mendinginkan lalu memanaskannya lagi, cita rasa dari steak itu akan hilang. Andaikata aku lapar dan membuatnya lebih dulu lalu menyantapnya. Kalau John belum pulang, tentu steaknya akan dingin dan menjadi tidak enak. Agar itu tidak terjadi, aku akan membawa snack untuk disantap sembari menunggunya kembali.

Ah, ini bukan berati aku sedang menyiapkan makan malam romantis ataupun mulai membuka hati padanya. Ini adalah bentuk terima kasihku padanya, tidak lebih. Dan soal aku mengetahui kalau dia menyukai steak, aku mendapatkannya dari Alex.

Setelah membereskan bahan-bahan yang kubutuhkan, aku memperhatikan diriku sendiri di pantulan cermin. Hari ini, aku tampak sempurna dengan gaun vintage gelap yang sederhana. Modelnya tidak terlalu lama sehingga bisa dipakai untuk sehari-hari. Aku memakain gaun ini bukan untuk menggoda John. Aku hanya merasa perlu bersikap sopan dan tidak merusak suasana dengan mengenakan pakaian maid ataupun sexy.

 Aku hanya merasa perlu bersikap sopan dan tidak merusak suasana dengan mengenakan pakaian maid ataupun sexy

Aku memastikan tatanan rambut dan make up ku yang tidak berlebihan. Siapa tahu kalau aku akan bertemu dengannya karena datang sepagi ini. Bisa saja dia belum berangkat atau masih tertidur di alam mimpi. Lelaki satu itu memang sulit ditebak.

Entah kenapa aku sedikit berbedar-debar ketika memikirkannya. Aku merasa ingin cepat-cepat bertemu dengannya dan mengetahui tanggapannya. Apa John akan memberikan pujian dan pulang lebih awal nanti? Atau justru pria itu akan besar kepala karena mendapatkan perlakuan spesial ini?

Apapun itu aku bisa memikirkannya nanti. Kalaupun dokter mesum itu membuatku jengkel, aku tinggal memasukkan wasabi dalam steaknya agar dia tahu rasa.

***

Sebelum membuka pintu, aku memastikan tatanan rambutku sekali lagi. Aku bahkan mengeluarkan kaca untuk melihat dandananku sendiri. Sewaktu kemari, aku singgah terlebih dahulu di supermarket untuk membeli bahan yang kurang. Aku sedikit sangsi karena tadi berdiri berdesak-desakkan saat membayar. Ada anak-anak yang makan es krim, orang yang memiliki bau badan dan berpapasan dengan perokok. Aneh, padahal aku hanya menemui John bukan orang terkenal seperti artis. Kenapa aku harus sebegitu cemas kalau penampilanku berantakan?

Aku menarik nafas sebelum memasukkan sandi keamanan. Begitu bunyi biib terdengar, pintu tiba-tiba terbuka lalu sosok John muncul dan menimpaku. Beban tubuhnya yang berat membuatku terjatuh. Kantong-kantong yang kubawa otomatis terlepas, mengeluarkan semua isinya secara acak. Aku ingin marah karena bercandanya yang tidak lucu tapi hal itu langsung ku urungkan  begitu aku merasakan panas disekujur tubuhnya. Kulihat matanya terpejam dan mengira dia sedang pura-pura tertidur.

“John, bangunlah, tubuhmu berat!” keluhku.

Aku mengguncang tubuhnya kuat untuk memaksanya membuka mata sebab bercandanya ini tidak lucu. Lama aku menunggu dan tidak ada jawaban darinya. Ketika aku mengguncangnya sekali lagi, mulutnya mengeluarkan erangan kesakitan. Kuperhatikan sekali lagi wajahnya dan baru menyadari betapa pucatnya dia. Pria ini tidak sedang bercanda. Dia benar-benar pingsan!

Rasa takut kemudian menguasai diriku. Aku menoleh kesana kemari untuk mencari pertolongan. Apartement seberang itu kosong dan pemiliknya hanya datang saat liburan. Tidak ada cleaning service yang melewati tempat ini karena merupakan wilayah privasi. Tidak mungkin juga aku memanggil sekuriti dan membiarkan John tergeletak disini. Belum lagi dengan rautnya yang kesakitan. Aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja!

Apa boleh buat, aku harus melakukannya sendiri!

Pertama-tama aku melepaskan diri darinya. Selanjutnya, kukerahkan semua tenagaku untuk menyeretnya karena aku tidak bisa memapahnya sendiri lalu menariknya ke atas ranjang. Setelah itu, aku mengambil es batu, air dan handuk kecil untuk mengompresnya. Karena John terlihat kegerahan, aku membuka kancing kemeja, sepatu dan jasnya. Kelihatannya, pria ini sudah bersiap untuk berangkat lalu pingsan di depan pintu.

Setelah meletakkan handuk dingin di dahinya, aku membereskan bahan-bahan yang berserakan di luar. Aku sempat menoleh ke arah John sejenak sebelum melanjutkan pekerjaanku. Kemudian, aku melangkah menuju lemari pakaian dan mengambil sebuah kotak putih yang berisi obat-obatan dan termometer. Untung saja John menyiapkan semua ini karena dengan begitu aku tidak perlu lagi membelinya.

Begitu menemukan termometer, aku langsung meletakkannya dimulut John dan menunggu beberapa menit. Setelah melihat hasilnya, aku membelalak ketika angkanya menyentuh 40 derajat celcius. Pria ini tengah demam tinggi!

Segera aku mengusap pipinya dengan air dingin untuk membangunannya namun tidak ada tanggapan. Terpaksa aku mendekatkan mulutku ditelinganya dan berteriak disana. “John, kau harus minum obat! Kalau tidak, demammu tidak akan turun!”

Dahi John berkedut mendengar suaraku. Bukannya membuka mata, dia malah membalikkan punggungnya hingga membelakangiku. Kemudian wajahnya kembali datar, seolah-olah tidak ada yang terjadi.

Dengan sedikit kasar, aku membalikkan punggungnya hingga mengembalikan posisinya menjadi telentang. Kemudian aku meletakkan bantal pada punggunnya agar lebih tinggi untuk memudahkannya minum obat. John sama sekali tidak membuka matanya meskipun digerakkan seperti itu. Bahkan saat aku memaksa meminumkan obat pun dia tidak bereaksi apa-apa dan terus terlelap.

Kalau John sakit seperti ini, aku tidak bisa membuat steak sebagai makan malam. Aku harus menundanya dulu sampai dia benar-benar sembuh.

Sakitnya ini, aku yakin karena kelelahan bekerja. Dia terkenal sebagai dokter jenius yang berhasil melakukan berbagai operasi. Pengetahuannya tidak hanya terbatas pada satu bidang. Keinginan menjadi dokter yang sangat kuat membuatnya menjamahi semua ilmu kedokteran. Ditambah dengan jabatannya sebagai direktur rumah sakit bukan hanya pajangan segala. Dia mengetahui dengan detail segala administrasi mengenai rumah sakit dan bisa membuat keputusan yang tepat.

Sebagai dokter dan juga pemimpin. Wajar saja kalau dia tumbang. Mungkin malah bisa lebih cepat kalau dengan pola makannya yang kacau seperti dulu.

Aku tersenyum ketika memandangi wajah John yang sedang tertidur. Melihat sosoknya yang damai seperti ini tidak membuatnya terlihat sebagai dokter apalagi pria mesum. Coba saja kalau malam 2 tahun yang lalu berakhir dengan cara berbeda, tentu aku tidak akan membencinya dan menganggapnya sebagai pria brengsek.

Kalau aku ingin balas dendam, bisa saja dengan keadaannya yang seperti ini aku berbuat yang aneh-aneh atau meninggalkannya begitu saja. Tetapi tidak. Aku bukan wanita seperti itu. Bisa saja dia terbangun tengah malam karena lapar atau terjatuh saat berjalan. Atau lebih parahnya dia salah makan obat dan membuat sakitnya semakin parah.

Kelihatannya, menerima tawaran Alex merupakan hal tepat. Untuk sekarang, aku akan menikmati pekerjaan ini seraya merawat dokter mesum sakit ini.

13 votes, average: 1.00 out of 1 (13 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Sassy Maid and Playboy Doctor – 09

10 votes, average: 1.00 out of 1 (10 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

2

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Begitu memasuki ruang kerjanya, John langsung membanting tubuhnya di kursi dan menempelkan pipi kanannya pada meja. Matanya terpejam menikmati rasa sejuk yang memenuhi seluruh wajahnya ditambah kesunyian yang tercipta membuatnya nyaman dan hampir tertidur jika perutnya tidak berbunyi. Samar-samar, John melihat jam bulat yang terpajang dimejanya lalu memegang perutnya yang perih.

Seharian ini, John terus disibukkan dengan penanganan darurat tiada akhir. Sejak pagi menginjakkan kaki di rumah sakit hingga sekarang pukul 9 sembilan malam, barulah dia selesai dan menginjakkan kaki diruangan ini. Sampai sekarang, perutnya masih belum terisi selain sarapannya yang segelas susu dan selembar roti selai coklat jadi wajar saja jika sekarang dia sangat kelaparan.

Jika harus memilih, John lebih menginginkan untuk tidur. Tidur bukan hanya bisa melupakan rasa lapar tetapi juga mengisi tenaga yang telah habis. Selain itu jika tidur sekarang, maka dia bisa mengurangi hutangnya. John mengalami kurang tidur selama seminggu ini yang mengakibatkan penampilannya tidak terawat seperti biasanya. Kurangnya istirahat juga membuat tubuhnya mudah lelah dan selalu merasa pusing. Untuk menekannya, dia selalu mengonsumsi obat sebelum berangkat kerja.

Bunyi gemuruh perut kembali terdengar membuat John mengernyitkan dahi. Kelihatannya, perutnya sekarang tidak bisa diajak kompromi. Dia masih ada sedikit tenaga untuk berkendara ke apartementnya sembari membeli makan malam. Mungkin malam ini dia akan ditemani mie instan lagi. Selain praktis, penyajiannya juga mudah dan tidak membutuhkan banyak waktu. Agar lebih nikmat, bisa ditambahkan potongan keju dan telur sebagai protein. Membayangkannya saja sudah cukup membuatnya menegak air liur.

John segera mengambil kunci mobilnya sembari bersenandung ria. Memikirkan mie instan tadi sudah cukup untuk mengembalikan kesadaran dan ingin cepat-cepat menyantapnya. Nanti saat di supermarket, dia akan membeli mie instan favoritnya. Mungkin dia bisa mencoba variasi lain dan bereksperiman sejenak.

John mengelus perutnya ketika kembali berbunyi. Kelihatannya, perutnya itu sudah tidak sabar untuk di isi. “Sabar ya. Sebentar lagi aku akan mengisimu dengan makanan enak.”

Seolah-olah mengerti apa yang dikatakannya, perutnya kembali tenang. Dengan ringan, John melangkah menuju tempat mobilnya terparkir sembari berdendang riang.

***

Saat membuka pintu apartementnya, John terkejut mendapati tempat tinggalnya berbeda dari biasanya. Tadi pagi, apartementnya ini masih berantakan dengan baju dan sampah yang berserakan. Sekarang semua itu sudah tidak ada. Baju-baju telah dilipat rapi diatas ranjang dan tinggal di susun. Sampah-sampah telah dibuang semua dan meninggalkan tong kosong yang beralaskan plastik. Dapurnya pun tampak rapi. Padahal seingatnya tadi, dia meletakkan panci dan piring begitu saja sebelum berangkat kerja.

Pandangannya lalu beralih pada perabot yang berada disampingnya. Dia lalu menggosokkan jemarinya pada meja tv dan terkejut ketika tidak menemukan setitik debu disana. Debu-debu itu terkumpul dengan sendirinya dan belum dibersihkan sejak terakhir kali. Namun sekarang, debu itu sudah tidak ada. Semua perabotannya tampak bersih mengkilap seperti tampak baru.

Hidungnya lalu mendapati wangi harum yang melingkupi tempat tinggalnya. Aroma itu berasal dari sprei ranjang yang baru diganti. Tidak hanya itu, bahkan baju dan tirai jendela juga mengeluarkan bau yang sama.

John sedikit mengernyit tak suka. Untuk gorden, dia tidak masalah karena memang sudah lama belum dibersihkan. Hanya saja, spreinya itu baru saja diganti dan baru dipakai selama seminggu. Kalau mau diganti, biasanya tunggu seminggu lagi karena dia selalu menggantinya setiap dua minggu sekali. Bajunya itu pun sebenarnya tidak semua kotor. Karena diletakkan dilantai bersamaan dengan sampah bukan berati semua jadi kumal.

Hah… percuma saja merasa kesal. Lagipula tidak ada salahnya juga semua sekaligus dibersihkan. Sekarang rumahnya menjadi lebih rapi dan nyaman, tidak seperti kapal pecah saat ditinggalkannya tadi pagi. Semua pakaiannya pun sudah bersih dan wangi. Dia tidak perlu pusing lagi karena lupa membedakan mana yang kotor dan tidak. Ditambah, semuanya telah disetrika. Siapapun yang membersihkan rumahnya ini, dia akan memberi hadiah lebih.

Tunggu sebentar.

Seingatnya, dia sama sekali tidak memanggil maid khusus untuk membersihkan apartementnya hari ini. Jadi siapa yang melakukan semua ini? Apakah salah satu penggemar rahasianya ataukah maling?

Rasanya tidak mungkin kalau penjahat yang melakukannya. Mana ada penjahat yang tidak mencuri apapun tapi malah membersihkan rumahnya. Kalaupun benar pencuri, apartementnya ini pasti sudah lebih hancur dari sebelumnya. Jadi dugaannya jatuh pada penggemar rahasia. Tetapi itu juga tidak mungkin!

Apartementnya ini memilik tingkat keamanan yang tinggi. Tidak sembarang orang yang bisa menaiki lift tanpa izin khusus. Apalagi rumahnya ini memiliki sandi angka. Karena tidak ada kerusakan yang terjadi di pintu, pastilah orang yang masuk mengetahui password rumahnya. Tapi siapa? Seingat John, dia hanya memberitahukannya pada Alex dan orang tuanya. Siapa lagi yang mengetahuinya?

Ketika terus bergelut dengan pikirannya, telinganya menangkap suara air dari arah kamar mandi. Setahunya, tadi dia sudah memastikan kalau semuanya aman sebelum berangkat. Dia juga menyempatkan diri untuk memeriksa gas agar tidak ada kebocoran yang menyebabkan hal-hal yang tidak di inginkan. Apa mungkin itu penggemar rahasianya yang sengaja menunggu hingga dia pulang dan membersihkan diri untuk memberi kejutan lain? Itu mungkin saja.

Untuk berjaga-jaga, John mengambil panci yang terletak rapi tempatnya lalu mengendap-ngendap menuju kamar mandi. Dia bersiap untuk memukul, jika ternyata yang keluar dari sana adalah laki-laki. Mau pria itu baik atau tidak, dia sudah menerobos rumahnya dan mandi seenaknya. Kalau sampai pria itu memiliki ketertarikan padanya, maka dia akan menghajarnya sampai pingsan dan memanggil polisi untuk menangkapnya atas pelanggaran privasi.

Kalau yang berada disana adalah perempuan, mungkin dia bisa sedikit melunak dengan mengajaknya berbicara lalu mengusirnya secara halus. Siapa tahu, kalau perempuan yang memasuki rumahnya ini adalah psikopat sadis yang menginginkan perhatiannya dan tidak segan-segan melakukan tindakan ekstrim jika harapannya tidak terwujud.

Pokoknya, siapapun yang keluar dari sana, dia harus berhati-hati!

John bisa mendengarkan degup jantungnya yang berdebar kencang ketika pintu kamar mandi terbuka. Uap panas yang mengepul menandakan seseorang baru saja selesai. Tangannya mengepal gagang panci semakin erat ketika melihat kaki yang melangkah keluar. Dengan lengan tertahan, dia bersiap untuk mengayunkan pelan – kalau yang keluar adalah perempuan. Tapi dia juga bisa melepas tenaga kalau yang keluar adalah laki-laki.

Ayunannya terhenti ketika melihat siluet perempuan. Kaos kakinya yang belum dilepas membuat pijakannya licin dan tergelincir. Gerakannya yang tiba-tiba juga membuat wanita itu terpekik kejut dan terjatuh. Mereka berdua jatuh bersamaan namun anehnya John sama sekali tidak merasa sakit. Dia justru merasakan sesuatu yang dingin dan empuk diwajahnya.

“Apa ini?” tanya John keheranan melihat dua bantalan bulat dihadapannya. Dia lalu mendongakkan wajahnya dan membelalak ketika menemukan wajah merah Anna. Cepat-cepat dia berangsur mundur dan memalingkan wajah ketika menyadari handuk yang melilit tubuhnya juga ikut terlepas.

“Kenapa kau ada disini?!” tanya John berseru panik. Ini memang bukan pertama kalinya dia melihat tubuh telanjang Anna hanya saja kali ini kondisinya berbeda. Anna tidak dalam keadaan mabuk dan segar bugar berbeda dengannya yang sudah lelah karena bekerja. Kalau saja wanita itu mengamuk, bukan hanya dirinya saja yang celaka tapi seluruh apartementnya yang rapi akan kembali seperti kapal pecah.

Tidak ada jawaban langsung membuat John mengintip sejenak. Alih-alih melihat Anna diseberang, dia justru terkejut ketika menemukan wanita itu dihadapannya dengan handuk putih yang sudah terlilit rapi. Wajahnya, meskipun garang tapi tampak segar. Rambut pirangnya yang basah menambahkan kesan indah lalu kulitnya yang putih sangat menggoda untuk disentuh. Kalau saja dia tidak sedang marah, maka John tidak akan berpikir dua kali untuk menggodanya.

Alih-alih mengira mendapat pukulan atau makian, justru John mendapat pertanyaan yang tak diduga. “Apa kau lupa kalau mulai hari ini aku membersihkan rumahmu? Apa ingatanmu sudah tumpul? Kau bahkan meninggalkan sandi di bawah dan tulisan mu sangat jelek.”

John lalu memberikan muka masamnya sambil berdiri. Ya, tulisannya memang jelek. Itu karena kecepatannya menulis tidak seimbang dengan otaknya berpikir. Lagi pula dia seorang dokter dan profesinya itu memang terkenal dengan cara menulis yang buruk. Tulisan Alex pun juga acak-acakkan hanya saja tidak sejelek dirinya dan dia lebih banyak menggunakan komputer sehingga jarang menggunakan tulis tangan.

“Aku tidak lupa. Aku hanya berjaga-jaga saja kalau ada orang yang memang tidak diundang masuk ke rumahku.” John berusaha untuk terlihat yakin. Tidak lucu jika dia lupa dengan tawaran Alex tentang Anna yang bekerja padanya selama beberapa saat. Bisa-bisa kharismanya semakin turun di mata wanita seksi ini.

“Ah, kau juga harus membuatkan makanan untukku kan? Aku kelaparan sejak siang tadi karena bekal yang tak kunjung datang. Kupikir aku bisa merasakan kegembiraan seperti Alex saat istri datang membawa bekal.” John sengaja mengucapkannya dengan nada setengah memelas. Ekspresinya pun dibuat sesedih-sedihnya agar membuat Anna tampak iba. Lalu, wajahnya tersenyum nakal ketika wanita itu tidak kunjung mengenakan pakaian. “Atau, apakah malam ini kau adalah makananku?”

“Siapa yang istrimu?!” ucap Anna ketus. “Kau pikir karena siapa aku masih disini dan lupa membuat bekal? Aku sempat berpikir kalau aku salah masuk karena tempat ini tidak seperti tempat tinggal melainkan tempat sampah!” sambungnya lagi.

John terkekeh. Wanita itu selalu saja bisa menghiburnya dalam keadaan apapun. Dia lalu mengambil salah satu kaos dan celana santai dari tumpukkan baju lalu memberikannya pada Anna. “Kau pasti tidak membawa baju pengganti kan? Pakailah ini untuk sementara. Setelahnya aku akan mengantarmu pulang.”

Anna mendengus kasar saat menerimanya. Dilihatnya ke arah meja dapur yang terdapt kantong plastik putih dengan berbagai mie instan didalamnya. Berikutnya, dia menoleh ke arah John dengan pandangan mencemooh. “Kurasa kalau aku tidak menyiapkan makanan pun, kau bisa melakukannya sendiri dengan makanan tidak sehat disana. Apa kau benar-benar seorang dokter?”

Pertanyaan yang dilontarkan Anna benar-benar menohok hati John. Sebagai seorang dokter, dia paling tahu betapa tidak sehatnya memakan makanan itu. Tetapi apa boleh buat. Belakangan ini dia sangat sibuk sehingga terlalu lelah untuk memperhatikan makanannya. Asal kenyang dan bisa tidur, itu sudah merupakan anugerah terbesar dalam hidupnya.

“Yah, mungkin aku ingin cepat sakit. Apa kau ingin merawatku kalau itu terjadi?”

John menduga kalau dia akan mendapat ekspresi jijik dari Anna. Wanita itu sangat membencinya karena menganggap memanfaatkannya dulu saat keadaan mabuk. Tidak ada gunanya menceritakan hal yang sebentarnya karena Anna pasti akan membantahnya. Apa lagi sebenarnya dia sangat menikmati malam itu dan sulit untuk dilupakan.

Tapi jujur saja, wanita dihadapannya ini sungguh menarik. Sikapnya yang keras kepala dan teguh pada pendirian membuat dirinya tertarik. Kalau dibandingkan dengan wanita-wanita lain yang mengejarnya, Anna tergolong wanita dengan kecantikan biasa. Entah karena kecelakaan yang tidak disengaja 2 tahun lalu atau karena dia memang memiliki daya tarik tersendiri, John tidak bisa berhenti untuk memikirkannya.

“Aku menyiapkan sushi dan salad buah di kulkas. Kau bisa menikmatinya daripada makanan praktis seperti itu kecuali kau lebih suka yang hangat.”

Bukannya mendapat tatapan rendah ataupun omelan, John justru terkejut mendapat perlakuan ramah darinya. Hal itu tidak bisa membuatnya untuk tidak tersenyum. Untung saja Anna sedang membelakanginya. Jika wanita itu melihat senyumnya sekarang, dia pasti berpikir kalau dia ini pria mesum.

“Aku lebih suka hangat di atas ranjang daripada di perut.” John tidak bisa menghentikan lidahnya untuk melontarkan kalimat itu. Tentu saja, dia langsung mendapat tatapan mematikan dari Anna.

“Kalau begitu besok aku akan membuat sesuatu yang ‘hangat’ agar kau merasa enak ketika menyantap masakanku!”

John meneguk ludah ketika menangkap apa yang dimaksud Anna. Bisa saja besok dia membuat bekal dengan segumpal cabe atau wasabi didalamnya. Kalau makan mie instan hanya membuat sakit, bisa-bisa masakan Anna membuatnya mati dalam sekejap.

“Kurasa aku akan makan sushinya saja. Lagipula, sushi dingin juga nikmat.” John lalu membuka kulkasnya dan terkejut mendapati berbagai macam buah dan sayur didalamnya. Bukan hanya itu, susu, telur dan keju pun juga tersedia. Disana juga terdapat berbagai kotak yang di isi makanan dan hanya tinggal dihangatkan.

“Aku membelinya di supermarket dengan uang Alex. Kalau kau ingin membayar, silahkan bayar padanya. Urusanku sudah selesai dan aku juga sudah menyiapkan sarapanmu besok. Kau hanya perlu membaca catatan yang kutempel untuk memanaskannya.” Anna telah memakai pakaiannya dan membereskan perlengkapannya. Dia sudah bersiap-siap untuk pergi sebelum lengannya ditahan.

“Hari sudah larut. Aku akan mengantarmu pulang,” tawarnya.

“Tidak perlu. Apartement Alex tidak jauh dan aku tidak lama-lama berduaan denganmu dalam satu ruangan.” Tanpa menunggu tanggapan John, Anna melenggang pergi.

John mematung ditempatnya sejenak sebelum menyusul wanita itu. Dadanya begemuruh senang ketika berhasil menyusulnya di lift yang membuat wajahnya kesal. Kelihatannya ini tidak buruk juga, menghabiskan waktu bersama wanita yang tidak bisa ditaklukkannya. Dia akan menikmati saat-saat ini dan berusaha untuk mendapatkan hati seoarang Anna Wright.

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Sassy Maid and Playboy Doctor – 08

11 votes, average: 1.00 out of 1 (11 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

2

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

“Hah?! Kau mau aku membersihkan rumah dokter mesum itu?!” teriakku tinggi tanpa mempedulikan pria disebrangku ini adalah atasanku. Alex sampai memejamkan mata dan menutup telinga dengan kedua tangannya. Untung saja kami berada di ruang kantor pribadi yang kedap suara sehingga Nina tidak mendengar apa yang terjadi.

“Apa kau tidak salah? Aku tidak ikut ke Indonesia bukan berati aku ingin bekerja pada dokter sialan itu! Kau seharusnya tahu kalau aku tidak menyukainya! Kenapa kau memintaku melakukan ini?!” tanyaku bertubi-tubi. Wajahku memerah dan nafasku memburu naik turun karena sesak terus berteriak.

Sejak sore, kepalaku sudah pusing karena harus menghindari tatapan mesum Julie. Dia bahkan secara terang-terangan menggodaku dihadapan Nina yang dianggap sebagai candaan. Aku berpura-pura tersenyum didepan mereka tetapi dalam hati aku mengutuk Julie yang terus menggangguku. Kalau saja tujuannya bukan untuk memeriksa Nina, sejak tadi aku pasti sudah mengusirnya. Bila perlu, aku akan melemparkan pantat wajan hitam hingga mengenai wajah cantiknya itu.

Sekarang, sakit kepalaku semakin bertambah dengan permintaan konyol ini. Ini bukanlah ide Alex. Dengan sifatnya, tidak mungkin dia berpikiran seperti itu. Dari pada menyuruhku, sebenarnya lebih mudah mencari maid lain.

Pasti ini ulah dokter sialan itu! Sepertinya aku perlu menamparnya lagi agar tahu dia berurusan dengan siapa.

“Ini bukan usulan John. Aku yang memikirkannya,” ucap Alex seolah-olah mengetahui apa yang kupikirkan.

Aku memelototkan mataku dan menghentak keras meja hitam yang memisahkan kami. Kuabaikan rasa sakit di telapak tanganku dan menatap Alex nyalang. “Aku tidak mau! Aku tidak sudi untuk membersihkan apartementnya dan melihat wajahnya yang menyebalkan itu! Terserah, kau ingin memecatku atau tidak. Kalau kau memaksa, aku akan berhenti!”

Hanya ancaman itu yang bisa kulontarkan. Aku sudah kehilangan akal untuk berpikir jernih. Bagaimanapun caranya, walaupun harus kehilangan pekerjaanku, aku tidak mau bertemu dengan dokter sialan itu apalagi harus bekerja padanya. Membersihkan apartementnya sama saja dengan melemparkan diri ke kandang buaya. Tempat itu adalah tempat terkahir dalam list yang tidak ingin ku kunjungi. Jika Alex tetap mempertahankan keputusannya, maka malam ini adalah hari terakhir aku bekerja.

“Dengarkan aku dulu. Aku tidak akan memaksamu untuk menerimanya. Aku hanya ingin kau mempertimbangkan setelah mendengar bagaimana kondisi John.” Alex masih bisa berkata dengan santai, seolah-olah dia tidak terpengaruh dengan ancaman yang tadi dilontarkan.

Berbeda denganku dengan amarah yang menggebu-gebu karena permintaan konyol ini. Aku sudah kehilangan ketenanganku. “Memangnya apa yang harus kuketahui tentangnya?” tanyaku cepat.

Merasa kalau aku tidak mau mendengar penjelasan panjang, Alex memajukan tubuhnya dan menatapku serius. “John terlalu sibuk dengan urusannya sehingga tidak punya waktu istirahat cukup. Saat mengajaknya makan siang tadi, selera makannya buruk  dan penampilannya juga berbeda dari biasanya. Aku yakin jika dia sudah tidak pulang beberapa hari dan tidur di kantornya. Selain tidak mengurusi apartement dan penampilannya, dia juga tidak menjaga kesehatannya sendiri sehingga jatuh sakit.” Alex menjelaskan itu semua dalam satu tarikan nafas. Seperti sudah biasa melakukannya sehari-hari.

“Lalu apa yang harus kulakukan kalau dia sakit? Aku bukan dokter!” ucapku ketus.

“Aku tahu. Tapi ada hal yang bisa kau lakukan.” Kali ini, Alex kembali menyandarkan punggungnya dengan lengkungan tipis dibibirnya.

Senyumannya itu yang begitu misterius membuatku mengernyitkan dahi. Aku tidak bisa menahan rasa penasaranku untuk tidak bertanya. “Apa maksudmu?”

“Tugas utamamu adalah membersihkan apartement John lalu menyiapkan makanan bergizi untuknya. Kau melakukannya setiap hari dan disaat jam bekerja sehingga tidak perlu bertemu langsung dengannya. Sarapan dan makan siang, kau bisa menyuruh supir untuk mengantarnya sedangkan untuk makan malam kau tinggalkan saja di kulkas dan tuliskan pesan bagaimana cara menghidangkannya. Setiap hari, pastikan kalau apartementnya bersih dan semua barangnya tertata rapi. Setelah selesai, kau boleh pulang dan tidak perlu menginap ditempatnya.”

Apa yang Alex jelaskan sama dengan pekerjaannya seperti biasa. Tugas itu bisa saja dilakukan oleh pembantu manapun. Tidak perlu keterampilan yang sangat bagus, asalkan sesuai dengan standarnya maka siapapun bisa bekerja untuknya. Tapi kenapa harus dia yang melakukannya?

“Karena John tidak suka sembarangan orang masuk ke rumahnya,” ucap Alex menjawab pertanyaan yang terpampang di wajahku. “Soal kebersihan dan makanan, John kurang lebih memiliki sifat yang sama denganku. Aku bisa menerimamu bekerja yang berati seharusnya dia juga bisa,” sambungnya.

“Bagaimana kalau John tidak suka dengan hasilnya? Bisa saja dia sengaja mencari gara-gara dengan menuduhku memasukkan hal aneh kedalam masakannya?” tanyaku lagi. Bisa saja hal itu terjadi, mengingat sifatnya yang sangat menyebalkan.

“Kalau itu terjadi, kau tinggal berhenti membersihkan apartement dan memasak untuknya. Lalu, kau boleh menyusulku ke Indonesia untuk membantu Nina dan menjaga Lucas. Lagi pula, aku memintamu untuk bekerja padanya sekalian untuk mengisi waktu luangmu. Hanya sementara, begitu aku pulang, kau kembali bekerja padaku dan aku tetap membayar gajimu. Semisal kalau John memberikanmu upah, itu hak mu ingin mengambilnya untuk tidak yang jelas aku tidak melarang.” Setelah selesai menjelaskan, Alex mengamati raut wajahku yang tenang.

Aku mencerna semua yang di katakan dan memikirkannya baik-baik. Memang tidak buruk untuk mengisi waktu kosongku selama mereka tidak ada. Wanita sepertiku sangat mudah bosan jika tidak ada kerjaan. Tempat ini juga tidak ada yang kotor karena aku selalu membersihkannya. Bahkan kalau kutinggal seminggu, pasti hanya ada sedikit debu yang bisa kubersihkan dalam sekejab.

Mengingat kembali apartement John membuatku merinding. Kupikir itu adalah yang pertama dan juga terakhir kali menginjakkan kaki ke tempat itu. Setiap melangkah keluar pun, aku berusaha untuk melihat tempat itu karena mengingatkan dengan kejadian memalukan beberapa tahun lalu. Ya, aku memang salah karena menerima tantangan minum bodoh itu. Aku juga tidak langsung berubah dan tetap berpesta pora meskipun beberapa kali digagalkan oleh John. Kelihatannya, urusanku dengan pria itu tidak akan selesai dengan mudah begitu saja.

“Baiklah, aku terima. Toh aku tidak perlu berpapasan muka dengannya. Aku hanya perlu membersihkan rumah dan menyiapkan makan saja kan? Kalau dia sakit, aku tidak mau mengurusinya.” Aku mengatakan dengan jelas pekerjaanku sekali lagi agar Alex tahu kalau aku tidak akan melakukan tugas lain selain yang kujabarkan. Siapa tahu, kalau dokter kurang ajar itu memanfaatkan kesempatan dengan memintanya melakukan hal-hal aneh, seperti memandikan atau membacakan cerita tidur.

“Kalau begitu, kau bisa melakukannya besok setelah kami berangkat. Kau bebas menggunakan kartu yang kuberikan untuk membeli keperluan yang dibutuhkan. Aku tahu kalau kau tidak akan meminta uang dari John dan kau juga tidak akan menunggu sampai dia memberi uang untuk membeli bahan makanan,” ucap Alex seraya beranjak dari kursinya.

Aku langsung bersedekap dada ketika mendengarnya. “Tentu saja aku akan menggunakan kartumu sepuasnya! Sampai-sampai mulutmu menganga ketika melihat tagihan! Aku akan membuatmu menyesal karena memberikan kartu itu padaku!” seruku tinggi. Menggunakan uang orang lain untuk berbelanja memang puas. Apalagi tidak ada limitnya sehingga aku bisa membeli barang-barang pribadi yang kuinginkan.

Alex terkekeh sembari melewatiku. Dia menoleh padaku sejenak sembelum keluar ruangan. “Tidak masalah. Kuharap kau bukan hanya mengerjakan tugasmu dengan baik tapi juga ada perkembangan dalam hubungan kalian.”

Aku langsung menoleh cepat dan siap melontarkan berbagai penolakan. Tapi Alex lebih dulu pergi dengan menutup pintu agar suaraku tidak tembus sampai keluar.

Sial! Aku merasa Alex merencanakan sesuatu dibalik semua ini. Rasanya tidak mungkin jika dia tiba-tiba menyuruhku untuk membersihkan apartement John yang merupakan pekerjaan biasa  yang bisa dilakukan semua maid. Kalau saja aku mencium bau aneh, aku akan langsung ke Indonesia untuk menjitak kepalanya itu. Biar saja kalau nanti dia kesal, aku tinggal melaporkan pada Randy apa saja yang dilakukannya kepada Nina agar adik iparnya itu menghukumnya.

Untuk sekarang, lebih baik aku memikirkan bagaimana mengerjakan tugasku besok. Semoga saja aku tidak bertemu dengan dokter brengsek itu dan rumahnya tidak dalam kondisi berantakan seperti diterpa puting beliung agar aku bisa menyelesaikannya dengan cepat. Setelah itu, aku tinggal menikmati waktuku sendiri dengan kartu ATM yang ditinggalkan.

***

Begitu Alex dan Nina berangkat, aku langsung menuju apartement John. Sebelum menaiki lift, resepsionis di bawah memberikan memo yang berupa sandi tempat tinggalnya. Aku mengernyit melihat deretan angka yang ditulis acak itu. Tulisan itu sangat jelek, bahkan lebih buruk daripada anak kecil yang baru belajar menulis. Dari memo itu, aku sudah mengetahui kalau John yang meninggalkannya.

Kelihatannya, pria itu tidak akan kembali dalam waktu dekat. Kalau dia tidak sibuk, dia pasti sudah menunggu dibawah atau di apartementnya tanpa perlu meninggalkan memo. Baguslah aku tidak perlu melihat wajahnya yang menyebalkan itu. Karena setiap kali kami bertemu, dia selalu menggangguku. Dengan ketiadaan dirinya, aku bisa fokus membereskan rumahnya dan segera kembali.

Aku memencet tombol lift dan menuju lantai tertinggi. Orang kaya seperti Alex memang menyukai kesendirian sehingga sengaja membeli lantai apartement teratas. Selain mendapatkan pemandangan yang bagus, tempatnya pun lebih luas belum lagi dengan fasilitas bonus lain yang menjadi satu paket. Tapi tentu saja harganya juga lebih mahal.

Entah karena ingin mengikuti Alex atau sekedar untuk gaya-gayaan, John juga melakukan hal yang sama dengan membeli lantai apartement teratas. Aku mendengar dari Alex kalau apartement itu dibeli dari uangnya sendiri ketika menjabat sebagai direktur. Ya, itu memang sesuatu yang patut dibanggakan. Dengan latar belakang keluarganya, tanpa perlu bersusah payah pun dia bisa meminta langsung. Kelihatannya, berteman dengan Alex memang memberikan pengaruh yang baik tapi sayangnya sifat mesumnya itu memang sulit untuk diubah.

Sendirian di dalam lift membuatku teringat dengan malam panas yang kulalui bersamanya beberapa tahun lalu. Sampai sekarang, tubuhku masih mengingat percintaan yang kami lakukan. Sungguh, itu adalah hal yang tidak bisa didapatkan pada laki-laki lain. Bercinta dengannya sungguh terasa berbeda. Bukan hanya sekedar memuaskan sepihak saja. Dia membantuku mengejar kenikmatanku dan juga kepuasannya sendiri. Hal itu tidak bisa kudapatkan dari pria lain selain John.

Bahkan setelah kejadian itu, aku tetap mencari pria lain dan tidak mendapat kesenangan yang sama. Mereka hanya mempedulikan diri sendiri dan memandangku dari fisik semata. Wajar jika aku meninggalkan mereka lebih dulu kan?

Mengingat hal itu membuat hasratku melonjak. Wajahku memerah menyadari betapa bernafsunya aku. Aku lalu menangkup wajahku sendiri dan menarik nafas untuk meredakan gelora dalam tubuhku. Bisa-bisanya aku memikirkan pria itu dan membuat diriku sendiri bergairah. Pulang nanti, aku perlu mandi air dingin untuk melegakan pikiranku.

Percuma saja memikirkan hal yang aneh. Lagipula saat itu kondisiku juga baru bangun dan hanya memperhatikan sekilas. Kalau mengingat lagi kejadian itu, sungguh membuatku malu. Rasanya aku ingin merendam kepalaku saja agar bisa melupakan waktu itu.

Seingatku, ruangan yang ditempati John tidak seluas milik Alex. Bisa dibilang, apartementnya berukuran minimalis yang hanya diperuntukkan oleh satu orang. Karena pendapatannya yang pas-pasan dan sangat menginginkan apartement di lantai tertinggi, John terpaksa membeli tempat yang lebih kecil namun tetap mewah. Dia sampai mengerahkan seluruh kemampuannya dalam bernegoisasi walaupun itu bukan bidangnya dan memberikan diskon perawatan kepada manager pembelian. Seharusnya tidak membutuhkan waktu lama untuk membersihkannya kecuali hal yang kutakutkan benar-benar terjadi.

Begitu pintu lift terbuka, aku melangkah keluar dan berhenti di depan pintu. Pintu itu hanya satu-satunya yang berada di tempat itu dan masih sama dengan yang terakhir kuingat, bewarna kuning keemasan dan tampak mencolok. Karena warnanya yang cerah, aku tidak bisa untuk tidak mengernyit ketika firasatku mengatakan ada yang salah dengan pintu itu. Aku lalu menempelkan telunjukku pada permukaan pintu lalu menggesernya ke bawah. Dahiku berkerut jijik ketika noda hitam tebal membekas di sana.

“Apa dokter mesum ini tidak pernah membersihkan pintunya? Bahkan gagang pintunya sekotor ini,” gumamku seraya memasukkan sandi.

Begitu pintu terbuka, ruangan itu tampak gelap sehingga aku perlu menghidupkan lampu untuk melihat. Ketika sudah terang, aku mematung ditempat sampai-sampai menjatuhkan kertas memo yang kugenggam. Butuh beberapa menit sampai kesadaranku kembali dan aku berusaha menelan ludah melihat kondisi ruangan ini.

Tempat ini, bahkan tidak bisa disebut sebagai tempat tinggal! Kandang binatang lebih cocok untuk mendeskripsikannya

Tempat ini, bahkan tidak bisa disebut sebagai tempat tinggal! Kandang binatang lebih cocok untuk mendeskripsikannya. Bahkan kandang pun masih lebih layak dari pada ini!

Kenapa tidak?! Baju yang tidak dilipat dan tergeletak dimana-mana, bungkus-bungkus makanan instan yang berserakan, kondisi tempat tidur yang berantakkan dan gorden yang tidak dibuka membuat tempat ini sangat, sangat, sangat buruk! Bahkan aku tidak bisa melihat lantai karena tertutup oleh banyaknya sampah.

Kepalaku berdenyut pening melihat semua ini. Terbiasa melihat sesuatu yang rapi membuatku sakit ketika mendapati sesuatu yang berantakan. Kalau aku tidak kuat, bisa saja aku pingsan karena semua ini dan itu sangat tidak lucu jika John lah orang pertama yang menemukanku.

Aku berusaha untuk tidak menoleh ke arah dapur, yang kuyakin lebih beratakkan dari ruangan ini. Sialnya, seberapa keras aku mencoba tetap saja aku bisa melihat kondisi dapur yang sangat mengenaskan. Itu karena ruangan ini saling menyambung antara ruang makan dan tempat tidur. Hanya aja satu meja bulat dengan dua bangku kecil yang menandakan jika pemilik rumah tidak berkenan untuk memiliki tamu. Bahkan tidak ada di sofa disini.

Aku memungut satu per satu baju yang berserakkan dan meletakkannya di atas ranjang. Aku tidak tahu baju itu bersih atau tidak dan aku akan tetap mencucinya ulang karena menganggap semuanya telah kotor. Lalu aku memungut semua sampah dan mengumpulkannya dalam satu kantong plastik. Untung saja sebelum kemari aku membawanya.

Setelahnya, aku membuka gorden agar cahaya matahari bisa masuk untuk menghangatkan ruangan. Debu-debu langsung bertebangan begitu aku menyentunya dan membuatku terbatuk. Mataku terasa perih dan hidungku terasa gatal hingga tanpa sadar aku bersin.

Oh, sial! Seluruh tempat ini memang kotor!

Selesai dengan membuka gorden, aku melangkah ke arah dapur. Kondisinya yang berantakan membuatku ingin muntah. Panci yang tidak dicuci, kompor yang kotor lalu pisau dan nampan yang tergeletak begitu saja di wastafel menunjukkan betapa tidak higenisnya tempat ini. Kalau saja ada tikus disini, mereka pasti sudah berpesta pora.

Dengan horor aku menatap ke arah kulkas putih yang terletak disana dan mendekat. Pelan-pelan aku meraih gagang itu dan berharap tidak menemukan pemandangan yang lebih mengerikan seperti daging atau sayur busuk didalamanya. Sambil terus berdoa dalam hati, aku membuka pintu kulkas dan tidak menemukan apapun. Kulkas itu bersih dan putih seperti belum pernah diletakkan apapun di dalamnya.

Apakah John memang tidak pernah memasak dan selalu memakan makanan instan?’ pikirku.

Aku lalu menutup pintu kulkas dan memandangi seluruh ruangan. Kelihatannya, akan butuh waktu lama bagiku untuk membereskan semua ini. Lihat saja, aku akan membuat dokter mesum itu terkesan dengan kemampuanku! Akan kusumpal senyum menyebalkannya itu jika berani mengotori kerja kerasku.

11 votes, average: 1.00 out of 1 (11 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Baca Parts Lainnya Klik Di sini