Sassy Maid

Sassy Maid and Playboy Doctor – 04

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

14 votes, average: 1.00 out of 1 (14 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

2

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

“Aw, pedih.” Aku meringis untuk kesekian kalinya ketika Nina mengoleskan salep di tumitku.

Pulang berjalan kaki dengan high heels betul-betul ide yang buruk. Tumitku menjadi lecet dan sialnya aku mengalami naik betis. Tidak cukup sampai disitu, lututku juga terasa nyeri dan bengkak sehingga selalu sakit ketika berdiri ataupun berjalan. Akibatnya, hari ini Alex menyuruhku istirahat dan semua urusan rumah diambil alih oleh Nina.

Semalam, John betul-betul mengikutiku sampai ke apartement dan baru pergi setelah melihatku masuk kedalam. Jika di ingat lagi, sikapnya betul-betul menyebalkan. Dia tahu kalau aku akan kesulitan pulang karena sepatu itu dan tidak mau ikut dengannya. Jadi sepanjang mengikutiku, dia terus berceloteh tidak jelas bahkan mengejekku.

Kurang ajar! Kelihatannya tamparanku semalam kurang keras. Aku yakin sekarang dia tengah tertawa entah dimana karena kekeraskepalaanku. Lihat saja, kalau bertemu dengannya lagi, akan kupastikan kalau dia akan menerima lebih dari ini!

“Aw, aw, aw, sakit!” Teriakku ketika Nina mengoles tepat dibagian yang perih.

Tanpa rasa prihatin, Nina terus melanjutkan pekerjaannya mengabaikan rintihanku. “Kalau sudah tahu begini, seharusnya kau pulang dengan John. Kenapa kalian seperti anjing dan kucing setiap kali bertemu?”

Aku menutup mulutku rapat-rapat dengan wajah cemberut. Untung saja saat ini aku sedang tidur tengkurap sehingga Nina tidak melihatnya. “Aku tidak menyukai playboy mesum sepertinya,” jawabku singkat. Tidak mungkin aku mengatakan kalau kami pernah mengalami kecelakaan di kamar secara tidak sengaja. Mengingatnya saja sudah membuatku malu dan marah.

Nina menatapku dengan ekspresi bingung tanpa berhenti mengoleskan salep. “John memang menyukai sifat yang buruk tapi dia pria yang baik. Alex pernah bilang kalau semua kekasihnya berpisah dengan cara yang baik-baik. Aku yakin kalau John tidak melakukan hal aneh dengan mereka mengingat profesinya sebagai dokter.”

Rasanya aku ingin berteriak sebagai bentuk protesku. Aku heran, darimana Nina melihat kalau John adalah pria yang baik? Apa karena pernah bergandengan dengannya sekali, Nina jadi terpesona padanya? Itu tidak mungkin! Karena jika sampai itu terjadi, Nina tidak akan bersama Alex sampai sekarang dan mengamati sifatnya, dia adalah tipe wanita setia.

Seingatku, Nina bahkan jarang bertemu dengan John. Tidak mungkin hanya karena Alex mengatakan seperti itu dia langsung percaya. Dia itu adalah wanita yang kritis. Dia tidak akan sembarang menyimpulkan sampai yakin dengan mata kepalanya sendiri. Jika Nina sampai berkata seperti itu, apakah itu berati hubungannya dengan John cukup akrab? Tapi sejak kapan? Kenapa aku tidak mengetahuinya?

Aku menggeleng kepalaku tanpa menyadari jika Nina masih menatapku. Kelihatannya, sakit di kaki membuat pikiranku melantur terlalu jauh. Nina memang ramah dan mudah akrab dengan siapapun termasuk lawan jenisnya. Bahkan sampai sekarang, banyak lelaki di luar sana yang tertarik dengannya. Tentu saja mereka hanya bisa mengubur perasaan itu dalam-dalam jika tidak ingin memancing kemarahan Alex. Siapapun tahu, bagaimana konsekuensinya jika berurusan dengan keluarga Testa.

Mengenai kedekatan Nina dan John, pastinya tidak lepas dari pengawasan Alex. Pria itu tidak pernah meninggalkannya sendirian dan selalu berada didekatnya dimanapun berada. Bahkan, Alex tidak segan-segan memberikan tatapan menusuk kepada pria manapun yang berani menatap istri tercintanya itu.

“Ma… Ma…!”

Aku dan Nina sontak menoleh ke arah Lucas. Bayi mungil itu kelihatannya sudah selesai makan dengan belepotan. Kedua tangannya yang penuh dengan sisa-sisa bubur sayur oren itu terarah pada ibunya. Mata abu-abunya yang bulat dan besar, berkilat senang ketika tatapannya bertemu dengan Nina.

Nina buru-buru menghampirinya dan membersihkan seluruh sisa makanan yang tertinggal. Setelahnya, dia menggendong Lucas dan menepuk-nepuk punggungnya pelan. Dari sikapnya itu, sudah diketahui kalau dia memiliki jiwa keibuan yang kental.

Melihat Nina yang mengasuh Lucas membuat bibirku melengkung. Tawa mereka menular dengan cepat dan siapapun yang melihat pasti akan ikut tersenyum. Kelihatannya, aku telah salah paham dengan berpikiran yang tidak-tidak tentangnya. Nina sangat mencintai Alex. Jadi, tidak mungkin dia berkhianat di belakangnya. Setelah ini, aku harus meminta maaf pada Nina dan tidak membuatnya kerepotan karena mengurusiku.

Ketika aku beranjak dari posisi berbaring, suara bunyi bel terdengar kemudian. Nina terlihat panik karena Lucas tidak mau turun dari gendongannya sedangkan Alex sedang tidak ada. Aku jadi terkekeh memikirkan bagaimana dia bisa mengurus semuanya sendiri kalau tidak ada yang membantu.

“Aku saja yang membukanya. Kau duduk disini bersama Lucas. Ingat, kau tengah mengandung jadi tidak boleh menggendong Lucas terlalu lama.”

“Tapi kakimu …”

Aku segera berdiri dan berjalan beberapa langkah untuk menunjukkan kalau kakiku tidak apa-apa. “Lihat, aku baik-baik saja. Jadi tunggu disini, aku akan melihat siapa yang datang.”

Aku melambai tangan ringan ketika Lucas menatap ke arahku. Selanjutnya, aku berjalan kearah pintu dan mengintip dari kaca kecil sebelum membukanya. Aku bukan tipe maid yang langsung membuka pintu setiap kali ada menekan bel. Karena biasanya, di hari libur seperti ini tidak ada orang yang datang bertamu. Alex bukanlah orang yang suka membuat janji di hari kosong seperti ini, terlebih dirumahnya.

Aku tidak boleh gegabah dengan membuka pintu begitu saja tanpa mengetahui siapa yang datang. Pria seperti Alex memiliki banyak musuh karena iri dengan kekayaannya. Bisa-bisa saja yang datang adalah orang jahat yang ingin menculik Nina dan Lucas lalu menggunakannya untuk mendapatkan uang atau yang lainnya. Aku harus berpikir kritis jika menyangkut keselamatan mereka walau sebenarnya Alex sendiri telah menempatkan beberapa penjagaan untuk keamanan.

Aku bernafas lega ketika melihat siapa yang berdiri disana. Dokter Julie berada diseberang dengan blazer merah cerah dengan celana bewarna senada. Rambut honey brown nya diikat cepol rapi, menambahkan kesan betapa profesional dirinya. Dilengan kirinya, sebuah tas kulit coklat yang berisi peralatan medis dengan jas putih bertengger disana.

Semenjak Nina mengandung anak kedua, Julie sering datang untuk melakukan pemeriksaan

Semenjak Nina mengandung anak kedua, Julie sering datang untuk melakukan pemeriksaan. Lantaran pekerjaan Alex yang begitu banyak dan tidak tenang jika Nina keluar sendirian, dia meminta Julie untuk datang dan diterima dengan senang hati.

Aku melihat Julie mengerutkan kening ketika pintu tidak kunjung dibuka. Dia melirik sejenak pada jam tangannya dan mengingat dengan benar janji waktu pemeriksaan. Sebelum jemarinya kembali menekan tombol bel, aku segera membuka pintu dan mempersilahkannya masuk.

“Selamat datang!” seruku semangat.

Ketika pintu terbuka, Julie memberikan senyum ramahnya sebelum melenggang masuk. “Aku tidak menyangka kau yang akan membuka pintu. Kupikir kau sedang tidur karena kakimu sakit. Kelihatannya John terlalu meremehkanmu, ya.”

Aku langsung mengerucutkan bibir ketika nama pria itu disebut.

Julie bekerja di rumah sakit yang sama dengan John. Sebelum kemari, pria itu pasti sudah menceritakan kebodohanku semalam sambil tertawa. Tanganku terkepal geram, rasanya ingin mencekik leher kekar pria itu dan membuatnya kesulitan bernafas.

Julie yang melihatku cemberut, terkekeh pelan. “Wajah cemberutmu sangat manis. Kalau kau terus seperti itu, aku jadi ingin menciummu.”

Mataku membulat besar mendengar pernyataan itu. Spontan aku mundur beberapa langkah dan menatapnya dari atas ke bawah. “Kau lesbi?” tanyaku tanpa menyembunyikan keterjutan. Padahal dia terlihat normal, apalagi dengan wajah cantik dan tubuh seksi yang mampu menaklukkan hati pria manapun.

“Hmm, bisa dibilang begitu.” Julie memajukan tubuhnya sembari menonjolkan bagian dadanya.

Aku meneguk ludah melihat belahan dada yang begitu besar dan tampak montok. Dengan pakaian yang ketat seperti itu, keduanya sangat menonjol dan membuat pria manapun yang melihat pasti bertekuk lutut. Belum lagi dengan bibirnya yang ranum dan dipoles lipstik warna senada yang membuatnya tampak menggugah untuk dicium.

“Kalau kau tidak mau dengan John, kau bisa mencoba denganku. Siapa tahu, aku lebih ahli menghangatkanmu dari pada dokter mesum itu,” sambungnya dengan nada sensual sambil mengedipkan sebelah mata.

Tanpa menunggu tanggapanku, Julie langsung menghimpitkan senjata andalannya itu hingga punggungku membentur dinding. Dia bahkan merentangkan kedua tangannya, menutup akses jalan kabur lalu menatapku dengan mata berkilat. Dia mengigit bibir bawahnya, menimbulkan kesan seksi dan juga berbahaya sembari tersenyum.

Aku tidak menyangka kalau ada hari dimana aku berada pada posisi ini, keadaan yang biasa kulihat di tv ataupun di komik dimana sang pria mendorong wanita yang disuka untuk menyatakan perasaanya. Setelah pengakuan sang pria diterima, mereka lalu berciuman dan menjalani kehidupan sebagai sepasang kekasih. Alangkah indahnya jika itu benar-benar terjadi terlebih dengan orang yang kita suka. Pasti rasanya sangat mendebarkan dan berbunga-bunga.

Tetapi sekarang berbeda! Aku mengalaminya bersama dokter cantik nan mesum yang menatapku liar seolah-olah aku adalah mangsanya. Dan lagi, dia bukan hanya menghimpitku tetapi juga menggesekkan buah dadanya dengan tatapan menggoda. Aroma mawar yang menguar pada dirinya pun terasa begitu manis sehingga tertarik untuk dicicipi.

Jika dia melakukan ini pada laki-laki, pasti pria itu akan segera bertekuk lutut dan mengajaknya bercinta. Dengan parasnya yang dewasa dan sexy, tidaklah sulit untuk menemukan pacar – itupun jika dia normal. Tetapi kenyataannya tidak semudah itu. Dokter cantik dihadapanku ini ternyata lesbi dan tengah mengincarku! Jika sekarang kami berada di tempat lain, pasti Julie telah menyerang saat menyergapku tadi.

“Melihatmu dekat seperti ini membuatku semakin berhasrat ingin menciummu. Boleh aku menciummu, ya?” Tanpa menunggu jawaban, Julie memajukan bibirnya dan mengarah padaku. Gerakannya terhenti ketika tiba-tiba mendengar suara tawa bayi yang keras.

Kesempatan itu tidak kusia-siakan. Aku langsung mendorong dan berdiri menjauh darinya dengan telunjuk yang terarah padanya. “Kau … jangan macam-macam disini, terutama dengan Nina!” peringatku. Bukan hanya dia yang terkena masalah, aku juga akan mendapatkan imbasnya jika Alex sampai mengetahuinya.

Julie tertawa senang seraya merapikan pakaiannya. Dia mengerti dengan jelas apa yang kumaksud dan memilih bersikap santai. “Tenang saja, didepan Nina dan Alex aku akan bersikap normal. Aku masih menyukai pekerjaanku dan tidak rela kehilangannya. Maksudku, pekerjaan mana lagi yang bisa bebas berinteraksi dengan sesama perempuan dan memeriksa hingga bagian terdalam? Belum lagi, melihat ekspresi mereka saat senang ataupun sedih. Aku mencintai pekerjaanku.”

Aku bergidik ngeri mendengar penjelasannya. Dalam hati aku bertanya-tanya, apakah ini balasan karena hobi jelekku sehingga dikelilingi oleh orang-orang mesum seperti ini? Selain John, datang lagi seorang dokter cantik dengan kegilaan yang sama. Sedangkan Alex, walaupun tidak mempunyai sifat mesum, namun dia selalu memanfaatkan setiap kesempatan yang ada jika ditinggal berdua dengan Nina. Tidak ada satupun dari mereka yang beres jika sudah mengangkut hasrat.

Kelihatannya, ini adalah balasan atas tindakanku. Aku mungkin akan berpikir ulang jika ingin menyalurkan hasrat dengan mencari pasangan dan melakukannya dengan hal lain. Sudah cukup 3 orang ini saja yang berada didekatku. Selebihnya, aku tidak membutuhkan orang mesum lainnya dengan kepriadian yang luar biasa.

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

7 Komentar

  1. Anggina ShaRee menulis:

    :kisskiss :bantingkursi

  2. :iloveyou

  3. Aku jadi geli liat Julie… Hiiiiiii ~~~~ :bengongaja

  4. oviana safitri menulis:

    :luculuculucuih

  5. Ampun dah :luculuculucuih