Sassy Maid

Sassy Maid and Playboy Doctor – 13

Bookmark
Please login to bookmark Close

13 votes, average: 1.00 out of 1 (13 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

2

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Operasi yang dilakukan John sejak pagi akhirnya selesai. Waktunya pun sangat singkat, mengingat ini adalah operasi besar. Pasien kali ini adalah korban kecelakaan dan mengalami pendaharan parah di bagian otak. Karena penangannya sulit, maka dialah yang harus turun tangan langsung. Beruntung sewaktu tiba di rumah sakit, dokter yang berjaga telah memberikan pertolongan pertama dan berinisiatif meneleponnya untuk memberi arahan lebih lanjut. Berkat itu, John bisa langsung melaksanakan tindakan selanjutnya dan menyelesaikannya dalam waktu yang singkat.

Dalam hati, John memuji nasib baik yang dimiliki oleh pasien itu. Jika saja dia mengalami kecelakaan itu kemarin, tentu saja John tidak bisa menyelematkannya karena dia sendiri sedang sakit. Menunda operasi hanya membuat kondisi pasien itu semakin memburuk. Karena itu, John sangat menyanjung keberuntungan milik sang pasien dan memberikan kemampuan terbaiknya.

Keringat dingin bercucuran di dahi John ketika suster membantu menanggalkan seragam hijaunya. Kondisinya memang sempat membaik pagi ini tapi karena langsung menjalankan tugas berat, tubuhnya kembali lemas. Kepalanya terus berdenyut selama operasi berlangsung tapi dia masih bisa menahannya dan ini tidak separah sebelumnya yang sampai membuat pandangannya berkunang-kunang.

Setelah operasi itu selesai, John menyerahkan semuanya pada dokter lain yang menemaninya selama proses berlangsung. Dia menjelaskan singkat apa yang harus dilakukan selanjutnya terutama ketika pasien sudah sadar dan meminta suster untuk melayani keluarga bersangkutan. John juga sempat meninggalkan pesan kepada suster agar siapapun tidak menemuinya setelah ini. Dia ingin beristirahat di ruangannya tanpa gangguan.

Begitu mereka semua mengerti dengan tugasnya, John meninggalkan ruang operasi melalui pintu yang lain. Dia tidak ingin bertemu dengan wartawan atau tim penilai yang sempat ditinggalkannya itu. Bisa-bisa, dia jatuh sakit lagi kalau harus meladeni berbagai pertanyaan mereka karena semalam tidak datang. Bahkan, diantara wartawan dan tim penilai itu terdapat wanita yang sangat menggilainya. Lebih baik tidak bertemu mereka lebih dulu dan fokus memulihkan diri.

Saat melangkah menuju lift, John berpapasan dengan dua orang suster yang membungkuk hormat ketika berpapasan dengannya. John membalas dengan memberikan senyuman tipis yang langsung membuat kedua pipi mereka memerah. Dia sudah biasa mendapat reaksi seperti itu. Tidak ada wanita manapun yang bisa menolak pesonanya. Satu senyuman ringan atau pujian singkat darinya mampu membuat hati wanita manapun luluh. Hanya satu wanita yang tidak terpikat olehnya, yaitu Anna.

Memikirkan tadi pagi meninggalkan wanita itu begitu saja membuat John merasa bersalah. Ditambah lagi, Anna terlihat begitu khawatir tadi saat melihatnya pergi tadi. Belum pernah John melihat ekspresi Anna yang satu itu apalagi saat melihat reaksi terkejut ketika menciumnya tadi. Kalau bisa, dia ingin mengambil foto dan mengabadikannya. Sayang, semuanya berlalu begitu cepat hingga John pun tidak sempat untuk menikmatinya.

“Dokter John.”

Panggilan dari suster berbadan kecil itu mengembalikan John ke alam nyata. Secara tidak sadar, dia telah melamun dari tadi. Dalam hati, dia bertanya-tanya apakah wajahnya menunjukkan ekspresi aneh atau tidak. Siapa tahu saat melamun tadi, dia terus-terusan tersenyum atau bermimik aneh lainnya. Tetapi kelihatannya tidak, melihat kedua suster itu masih menatapnya kagum.

“Ya, ada apa?” tanya John dengan nada ramah khasnya.

“Ada seorang wanita mencari anda. Saya lupa menanyakan namanya tapi dia mengatakan kalau dia utusan Alexander Black Testa. Wanita itu menunggu di ruangan anda,” ucap suster itu sopan.

Rasanya sulit bagi John untuk menahan senyum. Bibirnya ingin melengkung begitu mendengar kabar itu. Siapa lagi kalau bukan Anna yang menemuinya? Wanita itu tahu bagaimana cara menggunakan nama Alex untuk memudahkan tujuannya. Sekarang, dia pasti tengah membersihkan ruangannya untuk mengisi kebosanan sambil menggerutu. Dada John berdegup kencang, tidak sabar untuk menemuinya.

“Terima kasih atas kabarnya. Lanjutkan tugas kalian untuk melayani pasien, ya.”

“Baik!” Kedua suster itu menjawab serempak diiringi senyum merekah.

Ketika John melangkah menuju lift pun, mereka masih belum melepaskan tatapan darinya. Malahan, dia sempat mendengar teriakan ketika pintu lift tertutup.

John tidak mempermasalahkan hal itu. Hatinya justru tengah berbunga-bunga tidak sabar untuk menemui Anna. Mungkin nanti, dia bisa berhamburan ke pelukan wanita itu dan bermanja-manja padanya. Dia juga akan menggunakan alasan sakit dan kelaparan untuk menarik simpatinya.

Anna memang keras tapi hatinya selembut kapas. Dia pasti tidak tega untuk bersikap tegas apalagi wanita itu merawatnya selama sakit. Tanpa berpura-pura pun, Anna pasti tahu kalau kondisinya masih belum pulih. Wajahnya yang pucat sudah menunjukkannya. Dia hanya perlu bertingkah lemas seperti orang sakit agar tampak meyakinkan.

Sebelum lift berhenti, John memperhatikan penampilannya dari pantulan cermin dinding. Dia sengaja membuat rambutnya terlihat kusut dan meremas beberapa sudut pakaiannya. Dengan begini, penampilannya sudah meyakinkan. Anna pasti akan memberikan tatapan kasih sayang melihatnya seperti ini dan selanjutnya dia bisa menikmati sisa siangnya bersama wanita itu.

Begitu tiba di lantai teratas, John setengah berlari menuju ruang kerjanya. Sebelum masuk, dia memperhatikan dirinya sekali lagi. Saat melakukannya, sayup-sayup dia mendengar suara dua orang wanita yang sangat dikenalnya. Matanya melebar mendengar desahan dan penolakan yang saling bersahut-sahutan.

“Ayolah sayang, tidak ada siapa-siapa disini. Kau tidak perlu malu-malu.”

“Aku tidak malu, aku jijik denganmu! Menjauh dariku atau aku akan melempar vas ini ke kepalamu!”

“Dari pada melemparku dengan vas, aku lebih suka kalau kau memukulku dengan cambuk. Rasanya pasti menyenangkan.”

“Kau gila! Aku tidak peduli kau dokter sehebat apa, aku tidak akan membiarkanmu mendekati Nina lagi!”

“Jangan begitu. Kau tahu kan kalau aku juga sangat menyukai Nina. Aku tidak sabar untuk membantunya melahirkan anak keduanya dan menjadi yang pertama memeluk anak itu. Tapi tetap saja, kau adalah favoritku. ❤️”

“Kau sudah sinting! Hey, apa yang kau lakukan?!”

“Tentu saja, menciummu. Diam sebentar ya, ini akan cepat.”

John langsung mendobrak pintu ruang kerjanya. Matanya menatap nyalang pada Julie yang tengah menyudutkan Anna di ata sofa. Setiap godaan yang dilontarkan dokter cantik membuat telinganya panas. Dia sudah banyak mendengar hal aneh tentang Julie tapi memilih untuk tidak menggubris karena keahliannya. Namun, tidak disangka kalau kali ini dia akan menangkap basah Julie yang tengah menggoda Anna dalam posisi yang berbahaya.

Dengan langkah lebar, John mendekati Julie dan menarik lengannya kasar untuk menjauhi Anna. Matanya menatap nyalang, sesuatu yang tidak pernah dilakukannya kepada wanita. “Jauhi Anna. She is mine!

Teriakan John yang lantang menggema hingga keseluruh ruangan. Tidak ada candaan dalam perkataannya dan ekspresi John sangat serius, melupakan rencananya untuk pura-pura sakit. Dadanya bergemuruh dengan rasa cemburu yang kental. Dia tidak akan membiarkan siapapun mendapatkan Anna meskipun lawannya adalah wanita.

“Pergi dari sini! Aku tidak mau melihat wajahmu lagi!” serunya lagi.

Pengusiran John ini bisa saja dianggap Julie sebagai pemutusan kerja. Tetapi dia tidak menganggapnya serius dan justru tersenyum sembari melepaskan pergelangan tangannya dari cengkraman John.

“Baiklah. Lagi pula aku harus mengobati tanganku. Pasti membiru karena kau menggenggamnya begitu kuat. Coba saja Anna yang melakukannya, aku akan membiarkannya sembuh begitu saja sambil memandanginya setiap saat.”

Jawaban Julie justru membuat John semakin murka. Belum pernah dilihatnya John semarah ini apalagi terhadap perempuan. Sepertinya dia sudah bermain terlalu jauh dan sudah saatnya untuk menyelamatkan diri.

“Wajahmu seram. Kau akan membuat Anna takut kalau seperti itu dan karena aku wanita yang sangat pengertian, aku akan meninggalkan kalian berdua. Bye-bye!” Julie pergi dengan langkah ringan dan menutup pintu ruang kerja dengan rapat, menyisakan John dan Anna berdua.

Tidak ada yang bersuara diantara mereka. Anna menundukkan wajahnya, tidak berani menatap John. Kalimat pria itu yang menyatakan dia adalah miliknya masih terngiang-ngiang di kepalanya. Anna bisa merasakan kalau wajahnya memanas. Dalam hati dia mengutuk laki-laki itu karena telah membuatnya seperti ini.

John sendiri pun tidak mengerti, kenapa dia bisa semurka itu kepada Julie. Biasanya, dia tidak akan mudah marah apalagi terhadap wanita. John tidak pernah membiarkan emosi menguasainya dirinya. Dalam kondisi seperti apapun, dia selalu bisa menahan perasaannya dan memberikan senyuman. Namun kali ini dia tidak bisa menahan emosinya dan meledak begitu saja.

Membayangkan Anna bermesraan dengan orang lain berhasil menyulut rasa cemburunya. Siapapun itu, baik wanita atau pria dia tidak akan membiarkannya. Seperti yang dikatakannya tadi, Anna adalah miliknya dan siapapun tidak boleh memilikinya.

“Anna.”

John bisa melihat kalau punggung Anna tersentak kaget karena panggilannya. Tanpa mempedulikan Anna yang duduk memunggunginya, John menghamburkan tubuhnya untuk memeluk wanita itu. Ketika dia tidak menolak, John melanjutkan dengan menyandarkan wajahnya ke sela-sela leher dan menghirup aroma menyegarkan disana.

“Aku menyukaimu,” ucap John lemah. “Aku benar-benar menyukaimu sampai membuatku gila. Sebelumnya, aku menganggap Alex sinting karena terlalu terobesi pada Nina. Tetapi sekarang, aku sendiri juga mengalaminya. Aku mencintaimu dan akan tetap melakukannya meskipun kau menganggapku pria brengsek.”

John tahu, membutuhkan waktu lama agar Anna bisa mencintainya. Tidak mudah bagi wanita itu untuk memaafkannya karena kesalahpahaman yang terjadi dua tahun lalu. Tapi John tidak pernah menyesal. Mulai sekarang, dia sudah bertekad untuk menarik perhatian wanita itu, memerangkap dalam pesonanya dan kemudian menjadi miliknya.

***

Helaan nafas teratur terdengar jelas ditelingaku. Sudah cukup lama John memelukku dalam posisi seperti ini. Dalam jarak sedekat ini, aku bisa mendengar detak jantungnya yang keras. Leherku terasa geli dan juga panas karena hembusan nafasnya. Ketika tangannya masih memangkuku, aku baru menyadari kalau telapak tangannya sangat lebar dan hangat. Sehangat senyuman yang selalu ditunjukkannya.

Aku meneguk ludah sekali sambil berharap kalau pria itu tidak melihat wajahku yang merah. Rasanya, jantungku juga ikut berdetak cepat dan seirama dengannya. Aku berusaha untuk menenangkan diriku dengan memikirkan hal-hal yang tenang. Tetapi yang terlintas dipikiranku adalah ucapannya tadi yang membuat degupanku semakin cepat.

Arghh … Aku ingin segera terbebas dari situasi yang menyesakkan ini. Kenapa pria ini tidak mengatakan apapun? Apa dia tidak gerah terus memelukku seperti ini? Apa dia tidak merasa lapar karena seharian belum makan? Atau jangan-jangan dia malah tertidur?

Aku memberanikan diri untuk menolehkan kepala. Baru memiringkannya sedikit, aku langsung kembali ke posisi semula. Bukannya takut, hanya saja aku masih belum siap berhadapan dengannya. Aku tidak tahu ekspresi apa yang harus kuperlihatkan nanti padanya. Tentu saja aku tidak mau terlihat seperti wanita yang tergila-gila padanya. Itu hanya membuatnya menjadi besar kepala dan menganggapku rendah.

Setelah menarik nafas untuk mengumpulkan keberanian, akhirnya aku memiringkan wajahku dalam sekali putar. Aku langsung membeku ketika pandanganku bertemu dengan matanya. Entah berapa lama mata itu memandangiku sampai akhirnya John mendekatkan wajahnya dan memberikan ciuman ringan di dahiku.

“Aku akan mengatakannya sekali lagi. Aku mencintaimu. Anna, jadilah kekasihku!” seru John lantang.

Aku terdiam, mengamati wajah pria itu lekat-lekat kemudian memejamkan mata. Aku berusaha memilah perasaanku sendiri. Apakah aku masih membenci pria itu karena kejadian dulu? Apakah rasa nyaman saat bersamanya itu hanya sesaat atau aku memang mengharapkan sesuatu yang lebih?

Pikiranku lalu kembali berputar kepada lamunanku dulu tentang keluarga bahagia. Saat itu, pria yang terlintas dibenakku adalah John. Lalu seolah-olah dewi keberuntungan tengah bosan, aku harus bekerja dengan pria itu selama beberapa saat. Seperti biasa, dia memang pandai membuatku kesal dengan isi rumahnya yang berantakan ditambah lagi dengan peristiwa dikamar mandi.

Karena insiden itu, aku semakin menganggap kalau John memang pria kurang ajar. Tetapi, aku juga tidak bisa membohongi diriku kalau bekerja dengannya juga menyenangkan dan aku juga tidak bisa menutupi perasaan khawatirku. Setiap hari, aku selalu berharap bisa bertemu dengannya dan tanpa sadar aku telah menumbuhkan perasaan suka.

Aku tidak bisa mengatakan kalau itu cinta. Tetapi aku yakin, kalau rasa suka itu akan semakin tumbuh dan membesar. Mungkin, aku masih membutuhkan banyak waktu untuk memilah perasaanku. Ketika aku telah menerima John secara keseluruhan, barulah aku akan menyatakan perasaanku.

“Aku – !”

Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, pintu ruangan John terbanting keras hingga membuat kami sama-sama menoleh. Disana, aku melihat seorang gadis manis berambut pirang yang sama denganku. Pakaiannya yang bertema lolita pink, membuatnya seperti anak kecil yang cantik. Riasannya pun sangat feminim, kontras dengan pakaiannya yang lucu. Rambutnya yang panjang bergelombang, dibiarkan begitu saja dengan pita-pita kecil yang terjepit disana. Kalau diperhatikan lagi dari wajah dan tinggi badannya, dia seperti remaja berumur dua puluhan. Gadis itu menatap John dengan mata berbinar lalu lari menghampirinya.

"John! Aku merindukanmu!" Gadis itu mengalunkan kedua lengannya pada leher John dan melayangkan ciuman hangat pada pipinya

“John! Aku merindukanmu!” Gadis itu mengalunkan kedua lengannya pada leher John dan melayangkan ciuman hangat pada pipinya. Gadis itu sama sekali tidak mengetahui kehadiranku dan sibuk bergelut manja padanya.

“Lizbeth, kenapa kau tidak mengatakan kalau akan datang?” Tidak ada reaksi terkejut atau marah dari John. Justru dia menerima gadis itu dengan membiarkannya terus dipeluk.

“He he, aku sengaja melakukannya untuk menjadi kejutan. Oh ya, mulai tahun ini aku sudah dewasa. Jangan lupa dengan janjimu untuk menjadikanku pengantin,” ucap gadis itu riang.

Aku mengepal tanganku erat mendengar hal itu. Pengantin? Pria itu berjanji seperti itu kepada gadis yang usianya jauh lebih muda darinya lalu seenaknya mengatakan kalau dia mencintaiku? Melihat mereka berdua begitu dekat dan seenaknya bermesraan membuatku geram.

Seolah-olah teringat dengan keberadaanku, John melepas rangkulan gadis bernama Lizbeth itu lalu menoleh padaku. “Anna, perkenalkan dia …”

Tanpa menunggu penjelasannya lebih lanjut, aku menampar pipi John dengan sekuat tenaga. Mengabaikan dirinya yang kesakitan, aku langsung pergi dan memencet tombol lift terus menerus agar segera menutup pintu. Pria itu tidak mengejarku. Setelah pintu lift tertutup rapat, aku merasakan sesuatu yang hangat mengalir di pipiku. Aku mendongakkan wajahku dan melihat air mata yang telah seenaknya mengalir begitu saja.

Aku tertawa melihat pantulan diriku. Aku tidak bisa menghentikannya meskipun dadaku terasa sakit. Ini adalah tangisanku yang pertama setelah bertahun-tahun lamanya kematian ibu. Impian yang kudambakan, hancur begitu saja di depanku. Rasanya sakit. Bahkan lebih sakit daripada kepergian ibu yang kucintai.

Sudah cukup, aku tidak mau merasakannya lagi. Cukup sekali saja aku merasakan rasa sakit ini. Aku tidak akan menyerahkan hatiku pada pria lagi dan memperjuangkan kebahagiaanku sendiri.

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

4 Komentar

  1. Hwang risma menulis:

    Anna pasti salah paham… :please

  2. Mukti Sriwulandari menulis:

    Salah paham dan kurangnya penjelasan adalah awal dari hancurnya suatu hubungan,,,semoga semua baik2 saja

  3. Salah paham

  4. Tks y kak udh update.