Sassy Maid

Sassy Maid and Playboy Doctor – 18

Bookmark
Please login to bookmark Close

8 votes, average: 1.00 out of 1 (8 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

2

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

“Lizbeth, ayo cepat! Kita hampir terlambat!” seruku yang bisa didengar ke seluruh rumah. Aku sengaja berteriak sedikit keras karena sedang memasak sedangkan Lizbeth masih dikamar. Waktu masih belum menunjukkan pukul 7 dan aku mempersiapkan sarapan sebelum berangkat ke apartement John.

“10 menit lagi! Aku sedang menata rambut!” balas Lizbeth tak kalah tinggi. Gadis itu sekarang tinggal denganku dan dia sangat senang mendapatkan kamar pribadi yang luas. Selama tinggal disini, dia bisa mengikuti waktu bangunku yang pagi-pagi sekali. Aku salut dengan tindakannya itu. Dia sama sekali tidak mengeluh dan melakukannya dengan riang.

Aku tersenyum sambil melanjutkan memasak dan setelah selesai, aku menatanya dalam kotak bekal. Pagi ini, aku membuatkan sandwich daging dengan berbagai isian sayur sehat. Rotinya sengaja aku panggang terlebih dahulu dengan dibalur mentega agar menambah rasa harum dan gurih. Selain daging dan sayur, aku juga meletakkan banyak mayonaise buatanku sendiri. Rasanya tentu saja lebih nikmat daripada beli di supermarket. Bahkan aku sendiri sempat tergiur ingin menggigitnya sedikit.

 Bahkan aku sendiri sempat tergiur ingin menggigitnya sedikit

“Harumnya.” Lizbeth muncul dari ambang pintu dan mendekat dengan mata lebar. “Aku mau satu,” ucapnya manja. Ekspresinya yang lucu itu sangat mematikan. Dipadu dengan baju lolita biru membuatnya tampak imut dan menggemaskan.

Kalau saja aku masih belum mengenalnya dengan baik, pasti aku akan memberikannya begitu saja

Kalau saja aku masih belum mengenalnya dengan baik, pasti aku akan memberikannya begitu saja. Tetapi tidak. Jangan lihat tubuhnya yang kecil itu tapi mampu menampung banyak makanan. Kalau aku membiarkannya makan, dia pasti tidak akan selesai sampai semuanya habis. Bisa-bisa, John kelaparan karena menungguku membuatnya lagi. “Nanti, setelah kita sampai di apartement John.”

Lizbeth menggembungkan kedua pipinya cemberut. Kemudian dengan kepala tertunduk dia berjalan keluar untuk bersiap-siap.

Aku menggelengkan kepala melihat sikapnya itu. Mengenai Lizbeth yang tinggal disini, itu karena aku yang meminta. Aku bukan kasihan pada John yang tidur dilantai tapi karena tempat tinggal pria itu memang tidak memiliki ruang privasi. Bahkan untuk kamar ganti pun tidak ada. Apartement milik John itu sangat kecil dan memang hanya diperuntukkan untuk satu orang.

Saat aku menawarkannnya, Lizbeth tentu saja senang. Aku masih ingat ketika menunjukkan kamar kosong disamping kamarku. Dia berteriak senang melihat walk in closet yang tersedia, belum lagi dengan kamar mandi yang berada didalam dan ruangan yang luas. Lizbeth langsung menata pakaiannya dan memajang berbagai perlengkapan lucu yang dibawa seperti boneka ataupun aksesoris lainnya.

Lizbeth adalah seorang gadis. Tentu saja dia membutuhkan ruangan sendiri dan melakukan apa yang disuka dikamar. Kalau ditempat John, dia hanya bisa mengikuti pria itu pulang pergi kerja tanpa melakukan kegiatan apapun. Sedangkan disini setidaknya dia bisa bebas, seperti menjahit, bermalas-malasan dan bersantai. Toh, dengan kedatangannya disini aku jadi punya teman malam untuk bercerita.

Aku tidak menginap diapartement John. Kami memang sudah berbaikan tetapi tetap saja ada batasan yang dibuat. Aku ingin mencontoh Nina yang menjaga kepolosan hingga menikah. Tetapi kalian semua tahu kalau Alex itu bagaimana sampai akhirnya aku memarahi pria itu dan memberi batasan.

Soal hubungan kami, sebenarnya tidak ada kelanjutan setelah pertemuan di restorant waktu itu. John sangat sibuk sampai-sampai aku hanya bisa menemuinya waktu makan. Setelah itu dia akan kembali bekerja dan pulang malam. Dia memang menyuruhku untuk tidak menunggu dan selalu memberi kabar kalau akan menginap di rumah sakit.

Apa boleh buat, itu sudah tugasnya sebagai dokter untuk menolong orang lain. Karena pekerjaannya itu membutuhkan banyak tenaga dan dia sering lalai mengabaikan kesahatannya, sudah tugasku untuk menjaga dan memberikan makanan bergizi. Aku hanya berharap pria itu tidak sakit sampai tumbang seperti dulu.

“Kau lama sekali padahal tadi menyuruhku cepat.” Lizbeth sengaja berwajah masam sambil menghentakkan kakinya. Meskipun begitu, dia tetap tampak lucu dan tidak menakutkan sama sekali.

“Maaf, maaf. Tadi aku memencet sabun kebanyakan jadi susah menghilangkannya. Tenang saja, aku sudah membuat lebih dan bisa dimakan saat di mobil,” ucapku sambil mengangkat keranjang yang berisi makanan.

Lizbeth langsung tersenyum gembira dan memeluk lenganku bermanja-manja disana.” Yeay! Kau memang yang terbaik! Kakak sepupuku itu memang beruntung punya pacar sepertimu.”

Aku tertawa mendengar pujian itu. Kalau saja keinginannya terpenuhi, Lizbeth pasti akan bersikap manis seperti sekarang. “Ayo kita berangkat. John pasti sudah kelaparan.”

Lizbeth mengangguk setuju dan sambil menggandeng lenganku, kami berdua pergi menuju tempat sang pangeran.

***

“Sayang, aku mau dicium.” John merentangkan kedua tangannya lebar dan memajukan bibirnya yang masih penuh dengan sandwich.

Sikapnya yang kekanak-kanakan membuatku terkekeh. Kalau saja ditempat ini hanya kami berdua, mungkin aku bisa mempertimbangkan keinginannya dengan mengelap mulutnya terlebih dahulu dan memberikan ciuman ringan dipipinya. Hanya begitu saja memang tidak bisa memuaskannya. Aku tidak mau membuatnya terlambat dengan adegan panas yang tidak tahu kapan selesainya.

“Kalau punya waktu untuk itu, lebih baik kau bersiap-siap. Lihat sudah jam berapa sekarang. Bisa-bisa kau terjebak kemacetan kalau menunda lebih lama lagi,” ucapku sambil membereskan piring.

“Hanya satu ciuman. Aku janji hanya sebentar,” tawar John masih belum menyerah. Bahkan dia sudah melebarkan matanya, memohon seperti Lizbeth dengan wajah sesedih-sedihnya untuk menarik simpati lawan.

“Tidak,” ucapku lambat agar membuatnya menyerah dan tentu saja itu berhasil. Aku bisa mendengar suara kursi bergeser yang tandanya kalau John sudah beranjak. Bukannya aku sengaja bersikap dingin. Hanya saja dia benar-benar bisa terlambat kerumah sakit.

Siapa yang tidak senang bisa bertemu dengan pacar setelah sekian hari tidak bertemu? Ini adalah pertama kalinya kami sarapan bersama ditengah-tengah kesibukannya yang melimpah. Bahkan untuk hari ini, aku sengaja bangun pagi-pagi dan berdandan. Tentu saja aku juga tidak ingin kebersamaan kami berakhir begitu saja!

Ketika aku ingin membalikkan badanku untuk mengambil piring kotor, tiba-tiba John memelukku dari belakang dan mencium leherku. Darahku berdesir dan tanpa sadar mengeluarkan desahan ketika John menyentuh dadaku. Aku langsung menutup mulut dan menoleh mencari keberadaan Lizbeth. Belum sempat aku melakukannya, John justru meraih bibirku dan menciumnya.

John sangat lihai memainkan lidahnya. Aku memang mempunyai pengalaman tapi aku belum pernah merasakan seperti ini pada pria manapun. Tubuhku memanas dan pandanganku mengabur. Aku tahu kalau aku harus menghentikan ini tetapi tubuhku tidak sejalan dengan pikiranku. Justru aku semakin berhasrat dan tidak ingin berhenti begitu saja.

Bunyi telepon membuat kami sama-sama terlonjak. John segera mengambil teleponnya dan mengangkat tanpa melihat siapa yang menghubungi. Aku masih suka kaget dengan nada deringnya yang keras itu. Apa boleh buat, dia sengaja membuatnya seperti itu agar bisa langsung siaga. Karena itu tandanya pihak rumah sakit yang menghubungi ketika dia tidak berada ditempat.

Aku berterima kasih pada siapapun yang menelepon itu. Karena John langsung berhenti dan memberikanku ruang. Kalau saja hal itu terus berlanjut, bisa-bisa kami melakukan hal yang seharusnya tidak boleh dilakukan. Padahal aku sudah berjanji pada diriku sendiri agar lebih berhati-hati.

Ada Lizbeth saja John berani seperti ini. Bagaimana kalau misalnya aku sendirian yang kemari? Wajahku langsung memerah memikirkan hal yang pasti akan terjadi. Kelihatannya setelah ini aku akan memarahinya dan memberi ancaman agar pria itu tidak berani sembarangan lagi menciumku.

“Ada apa?” tanya John pada penelepon diseberang.

Tidak ada jawaban. Suasana begitu hening sampai John melihat siapa yang menghubunginya dan nama Julie terpampang jelas disana. “Kalau kau cuma mau menjahiliku, aku akan menutup telepon!”

‘Aku menelepon Lizbeth dan katanya kau masih dirumah sedang bermesramesraan dengan Anna.’ Suara Julie terdengar berat diseberang sana, seperti sedang menahan marah.

“Dan kau sengaja menelepon untuk menganganggu? Sial! Padahal tadi sedang seru-serunya!” Sekarang giliran John yang menggerutu.

Aku sampai kaget mendengarnya berkata seperti itu. Kalau saja dia tidak ada pekerjaan penting, aku pasti sudah memukul kepalanya itu dengan piring penuh sabun.

Apa kau lupa siapa yang merencanakan meeting di pagi ini? Karena siapa ya, semua staff harus bekerja extra sedangkan pemeran utamanya sedang bersantaisantai?’ Suara Julie terdengar cukup kencang walaupun tidak menggunakan loudspeaker.

Wajah John kelihatan memucat. Dia sengaja menjauh dariku dan menempelkan ponselnya dekat dengan telinga. “Jangan mengatakannya keras-keras!” pinta John setengah berbisik. “Aku akan segera kesana,” sambungnya cepat lalu mematikan telepon.

“Apa ada masalah?” tanyaku ketika melihat John buru-buru mengenakan sepatunya.

“Tida ada, semuanya baik-baik saja. Oh ya, malam ini aku akan pulang cepat. Buatkan aku steak yang enak ya.” John mencium dahiku sekali sebelum berangkat. “Let’s have romantic dinner. Soal Lizbeth, biar aku yang mengurusnya.”

John mengedipkan sebelah matanya dan melambaikan tangan sebelum pergi. Setelah bayangan pria itu menghilang di balik lift, barulah aku sadar kalau Lizbeth berdiri di pintu seberang sambil memainkan rambutnya.

“Kenapa kau berdiri disitu? Ayo masuk.”

Lizbeth kelihatan ragu-ragu dan menggelengkan kepalanya. “Aku disini saja. Siapa tahu disana ada bekas yang mau dibersihkan. Atau, aku ke lobby saja sekalian mencari tempat berfoto. Kalau kau sudah selesai panggil aku ya.”

Wajahku kembali memerah mengerti apa yang dimaksudnya. Sebelum aku marah, Lizbeth sudah kabur lebih dulu. Yah, aku tidak benar-benar marah padanya dan memang lebih baik kalau dia menghibur diri sembari menungguku. Karena John ingin makan steak, aku harus berbelanja terlebih dahulu. Aku bisa mengajak Lizbeth nanti sekalian makan kue untuk menghabiskan waktu.

***

Ditengah ramainya pejalan kaki, seorang pria lanjut usia berpakaian compang camping berjalan terhuyung dengan sebotol miras ditangannya. Sekujur tubuhnya dipenuhi dengan aroma alkohol dan bau-bau lainnya. Wajahnya tidak terlihat jelas karena tertupi rambutnya yang panjang dan juga kumal. Setiap berjalan, dia menggumamkan sumpah serapah dan menabrak siapapun yang lewat. Tidak ada yang melawan dan juga tidak ada yang peduli. Malahan ketika berpapasan dengannya, mereka berjalan sedikit menjauh dan menatapnya risih.

Menyadari ditatap seperti itu, pria itu justru menatap garang pada setiap orang yang lewat. Dia juga meludahi mereka dan bersikap seolah-olah ingin memukul. Sampai akhirnya, tidak ada yang berani menatap atau melewatinya. Merasa dirinya berhasil membuat semua orang takut, pria itu tertawa keras dan kemudian tumbang disertai dengan bunyi perut yang keras.

Pria itu lalu menyentuh perutnya yang perih karena lapar. Dengan langkah tertatih, dia membawa tubuhnya ke tepi dan beristirahat. Tempatnya duduk sekarang, ternyata merupakan sebuah restorant kecil. Aroma makanan yang menguar membuat perutnya semakin bergemuruh minta diisi. Wajar saja, sejak pagi dia sama sekali belum makan. Malahan dari semalam, dia melaluinya dengan minum-minum.

Pria itu merogoh kantong bajunya dan hanya menemukan sebuah bungkus permen kosong. Tidak ada uang sama sekali yang tersisa pada dirinya. Kalaupun ada, dia pasti sudah menghabiskannya di meja judi, berharap jika nasibnya bisa berubah dengan mendapatkan uang yang banyak. Kebiasaan itu membuatnya terpuruk hingga sekarang. Tidak mempunyai teman, tempat tinggal ataupun keluarga yang telah dihancurkan dengan tangannya sendiri.

Kesal karena tidak mempunyai uang, dia membanting bungkus permen itu dan menjerit karena melukai tangannya sendiri. Rasa sakit dari tangannya dan juga lapar membuatnya kesal. Dia meraung sekeras-kerasnya hingga membuat sang pemilik restorant keluar dan menyiram air dingin padanya.

“Pergi dari sini! Dasar sinting!”

Pria itu berdiri langsung, memperhatikan pakaiannya yang basah lalu menatap pemilik restorant dengan mata nyalang. “Berani-beraninya kau menantangku, akan kuhancurkan tempat ini hingga tak bersisa!”

Pria itu lalu melempar botol mirasnya hingga hancur berkeping-keping. Pecahan kaca botol mengenai beberapa pejalan kaki yang lewat dan melukai mereka. Alhasil, tindakannya itu memicu kemarahan dari warga sekitar. Langsung saja mereka mengambil batu atau benda apapun yang bisa dilempar. Sadar kalau dirinya menjadi bulan-bulanan, pria itu pergi sambil melindungi dirinya sendiri menerobos keramaian.

Dalam hati, dia mengutuk semuanya dan berjanji akan membalas mereka satu per satu jika dirinya sudah memiliki uang. Tetapi, semua itu hanyalah ucapan belaka. Dia tidak memiliki kemampuan untuk melakukannya. Kalaupun memiliki uang, semuanya akan lenyap begitu saja karena kebodohannya sendiri.

Pria itu berhenti ketika kakinya sudah lelah. Perutnya semakin sakit setelah berlari tadi dan perlu diisi. Dia menolak, kalau hari ini adalah hari terakhir dalam hidupnya dengan putus asa. Kalau hari ini dia mati, dia tidak ingin mati sebagai gelandangan. Dia ingin kaya dan hidup dengan harta melimpah agar tidak perlu melalui nasib buruk seperti ini.

Ditengah-tengah kepanikannya itu, matanya menangkap satu pejalan kaki yang membuang setengah rotinya kedalam tong sampah. Segera dia mendekati tempat itu dan memperhatikan sekelilingnya untuk melihat apakah ada gelandangan lain yang ingin berebut dengannya. Begitu situasi aman, dia mengambil makanan itu, mengusap permukaanya kemudian memakannya.

Persetan dengan tatapan jijik yang diberikan orang-orang. Persetan dengan rasa roti yang keras dan sangat tidak enak dimulutnya itu. Sekarang prioritasnya adalah mengeyangkan perut dan bertahan. Dia tidak peduli jika roti ini adalah mukjizat yang diberikan untuknya. Dia tidak percaya apapun selain dirinya sendiri.

Ketika memakan roti itu, matanya menatap kepada dua orang wanita yang berjalan keluar dari pusat perbelanjaan. Bukan, lebih tepatnya, pandangannya tertuju pada wanita berambut blonde yang berjalan bersisian dengan gadis berpakaian biru. Wanita itu mirip dengan perempuan yang dikenalnya dulu. Perempuan bodoh yang rela melakukan apapun untuknya dan memberikan seorang buah hati yang cantik.

Pria itu mengusap matanya untuk memastikan penglihatannya. Bibirnya melengkung, membentuk seringaian licik yang tertera jelas disana. Dia tidak mungkin salah mengenal orang apalagi putrinya sendiri. Kelihatannya, keberuntungan tengah berpihak padanya. Disaat-saat keadaan sulit, dia bertemu dengan putrinya yang telah lama tak dilihat.

Bayangan tentang perempuan bodoh yang menjadi istrinya itu berputar-putar dikepalanya. Dulu, perempuan itu selalu memberikan apapun yang diminta demi suami tercinta. Sekarang, putrinya pasti juga akan melakukan hal yang sama kepada ayah satu-satunya. Mereka adalah keluarga dan keluarga saling membantu. Dia akan menemui putrinya itu dan memanfaatkannya untuk mengubah hidupnya yang mengenaskan ini.

Daddy will find you. My sweet daughter.

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

8 Komentar

  1. Dhian Sarahwati menulis:

    Ketemu bapaknya…bahaya,pasti niatnya jelek.. :bantingkursi :bantingkursi

  2. rosefinratn menulis:

    Oh nooooo :huhuhu :huhuhu :berkacakaca

  3. oviana safitri menulis:

    psycho nih bapaknya :panikshow

  4. Parah nih

  5. Tks ya kak udh update.