Sassy Maid

Sassy Maid and Playboy Doctor – 05

Bookmark
Please login to bookmark Close

11 votes, average: 1.00 out of 1 (11 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

2

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Dinding biru dengan keramik putih, menimbulkan kesan bersih diruangan luas itu. Disana, peralatan seperti gunting, suntik dan sejumlah alat bedah lainnya tersusun rapi dalam satu wadah. Sebuah lampu sinar bulat terarah pada ranjang dengan seseorang berbaring diatasnya. Bunyi rekam jantung dari mesin EKG terdengar berirama, menjadi satu-satunya suara yang mengisi suasana tegang tersebut.

Disekeliling ranjang, terdapat beberapa orang berapakaian hijau dengan masker yang menutupi mulut dan rambut. Mereka semua tampak datar, menunggu kedatangan seseorang yang akan memimpin jalannya operasi ini. Detik demi detik berlalu sehingga membuat mereka sedikit was-was ketika orang itu tidak kunjung muncul. Desahan nafas lega langsung terdengar ketika pintu ruang operasi terbuka dan memunculkan sosok berbaju hijau lainnya.

John mengenakan masker yang disediakan dan menutup mulut dan rambutnya. Sebelum operasi dimulai, dia menyapu pandangan pada orang-orang disekitarnya. “Maaf aku terlambat. Bagaimana perasaan kalian hari ini? Jangan melihatku seperti itu, aku jadi malu,” kekehnya.

Beberapa wanita yang berada di dalam ruangan itu ikut terkekeh mendengar gurauan ringan yang dilontarkan, begitu juga dengan yang lainnya.

John memang selalu berhasil mencairkan suasana. Dalam keadaan sesulit apapun, dia pasti akan membuat mereka tertawa dan melupakan kerisauan yang melanda. Operasi ini tidak bisa dijalankan jika tidak rileks. Tidak ada gunanya merasa tegang karena akan memperburuk keadaan. Pekerjaan sebagai dokter memang mempunyai resiko besar dan siapapun yang mengambil profesi ini sudah mengerti konsekuensinya.

Menjadi dokter memang pekerjaan mulia tetapi bukan berati bisa menyelamatkan nyawa semua orang. Ada kalanya mereka gagal walau sudah berusaha semampunya. Meskipun begitu mereka tidak bisa membiarkan kegagalan itu menjadi batu penghalang. Mereka harus tetap maju karena masih banyak diluar sana yang membutuhkan bantuan mereka.

“Aku senang melihat kalian tertawa tapi bukan berati aku gay. Jadi tolong jangan salah artikan ucapanku.” John mengedipkan sebelah matanya pada suster-suster wanita yang membuat mereka senang bukan main. Kalau disini bukan ruang operasi, mereka pasti sudah teriak kesenangan.

“Baiklah sekarang, ayo kita selesaikan ini dengan sempurna!”

***

Begitu melangkah keluar, keluarga korban yang menunggu langsung berhambur menanyakan segudang pertanyaan. John terpaksa mundur selangkah ketika mereka mendesak maju dan mengakat kedua tangannya di dada untuk menenangkan mereka.

“Operasinya berhasil. Anak anda akan dipindahkan ke ruangan biasa dan kalian bisa melihatnya disana,” ucapnya dengan suara teredam masker. Dia belum sempat mencopotnya tadi dan setelahnya langsung diserbu keluarga pasien.

“Terima kasih dokter, terima kasih!” ucap sang ibu berkali-kali.

Tidak lama, sebuah ranjang didorong keluar dan para keluarga langsung mengikuti sambil tetap mengucapkan terima kasih.

John melambai ringan dengan senyuman meskipun tidak terlihat karena masih mengenakan masker. Setelah mengisi form dan memberikannya kepada salah satu suster petugas, dia berjalan menuju ruangan pribadinya lalu membanting tubuhnya diatas sofa.

Sofa hitam itu begitu empuk dan luas hingga bisa membuatnya tertidur. Jika bukan karena masker yang membuat area pernafasannya menjadi lembab dan karet Nurse Cap yang kencang, dia pasti sudah tidur dari tadi.

Sejak semalam hingga hari ini John baru tertidur selama 2 jam. Banyak operasi yang harus ditanganinya secara langsung dan kebetulan beberapa dokter sedang tidak berada ditempat sehingga dia yang harus menggantikan mereka. Sebagai pemimpin perusahaan, bisa saja dia memilih untuk mengabaikan dan membiarkan pasien begitu saja. Tetapi jika dia melakukannya, itu bukan hanya mencoreng nama baiknya tetapi hati nuraninya.

Semenjak menjadi dokter, John tahu kalau dia akan kehilangan hampir seluruh waktunya dan mengabdikan diri di rumah sakit. Yah, meskipun itu mengorbankan kesehatan dan waktu istirahatnya. Jika melihat keluarga pasien bahagia itu sudah cukup baginya.

Karena tidak ada jadwal untuk beberapa saat kedepan, John berencana untuk tidur sejenak sebagai pengganti waktu istirahatnya yang hilang. Rasanya malas jika harus mengendarai mobil menuju apartementnya dan kembali lagi ketika ada panggilan. Untung saja ada sofa yang empuk ini jadi dia bisa berbaring sejenak. Mungkin untuk selanjutnya dia perlu mempertimbangkan untuk membuat kamar sendiri atau memasukkan ranjang ke ruangan ini. Jadi dia tidak perlu capek-capek pulang ke apartement dan tidur di rumah sakit.

Baru saja ingin memejamkan mata, sebuah ketukan pintu membuatnya mengerang. Selalu saja seperti ini, gangguan di waktu yang tidak tepat seakan-akan tidak memperbolehkannya untuk berhenti sejenak. Dengan tidak rela dia beranjak dari sofa dan merapikan rambutnya sebelum duduk di kursi kerja.

“Masuk.”

Gagang pintu terputar begitu menjawab jawaban dan memunculkan rekan kerjanya yang merupakan primadona rumah sakit ini. Sepatu hak tingginya berbunyi nyaring setiap kali bersentuhan dengan lantai keramik. Paras cantik ditambah tubuh yang menjadi impian setiap wanita membuat para kaum adam bertekuk lutut memujanya. Didukung dengan kepintaran dan profesinya sebagai dokter menambah nilai lebih pada dirinya.

Sayangnya, John tidak tertarik dengan wanita dihadapannya ini. Wanita ini jika selama bekerja akan terlihat normal dan menunjukkan sikap ramah baik-baik. Tetapi diluar jam kerja, watak asli wanita itu akan keluar. Memakai kaos dan celana pendek, bercerita tiada henti dan memakan makanan yang disukainya, sangat berbeda dengan image kantornya sebagai wanita karir yang profesional.

Bukannya John langsung menyerah setelah mengetahui sifatnya itu melainkan dia secara gamblang mengatakan menyukai perempuan, alias lesbian. Belum lagi dengan segudang isu dari orang-orang yang dekat dengannya yang mengatakan kalau dia aneh dan suka membuat mereka kesal.

Wanita berpakaian serba merah itu menyerahkan sebuah map padanya sebelum duduk bersilang. “Ini laporan kehamilan kedua Nina. Sejauh ini kondisinya sehat dan tidak mengalami morning sick separah umumnya. Tapi bisa saja efeknya telat seperti kehamilan pertamanya dulu,” jelasnya.

John membaca isi laporan sembari menganggukkan kepala, pertanda tidak masalah. Sebenarnya dia tidak perlu menerima laporan perkembangan Nina seperti ini. Jika sudah wanita ini yang turun tangan, hasilnya pasti selalu memuaskan. Tapi berhubung ini adalah istri sahabatnya sendiri, John menyempatkan waktu untuk mengetahui kondisinya.

“Bagus. Seperti biasa, aku bisa mengharapkanmu, Julie. Kuharap persalinan kedua ini juga berjalan lancar seperti sebelumnya.”

Mendengar itu membuat senyum Julie merekah. “Tenang saja. Aku akan melakukan yang terbaik karena aku sama antusiasnya ingin melihat wajah anak itu. Kuharap, yang berikutnya ini adalah perempuan. Pasti cantik seperti ibunya.” Julie memeluk dirinya sendiri sembari mengucapkannya.

John menaikkan sebelah alisnya, merasa geli sekaligus senang melihat wanita dihadapannya ini. “Jangan macam-macam dengan Nina. Tidak perlu kuceritakan bagaimana nasib dokter yang melecehkannya itu kan?”

Ekspresi Julie langsung berubah ketika mendapat peringatan seperti itu. Bukan merasa takut, dia justru marah kepada dokter yang pernah merawat Nina selama dia koma. Bisa-bisanya dokter itu mengambil kesempatan dalam kesempitan dengan melecehkan orang yang sedang tidak berdaya. Sewaktu mendengar cerita itu dari mulut John, darahnya langsung mendidih. Ingin rasanya dia mencabik-cabik dokter itu dengan kuku indahnya jika bertemu dengannya. Sayangnya, Alex sudah membereskan dokter itu terlebih dahulu sehingga dia tidak mempunyai kesempatan.

“Aku masih merasa geram. Kira-kira kalau aku bertanya pada Alex dimana keberadaanya untuk disiram air keras, akan diberi tahu atau tidak?” tanya Julie dengan senyum mengerikan.

John meneguk ludahnya tanpa sadar ketika melihat sisi lain Julie yang bengis. Tidak disangka jika wanita cantik didepannya ini ternyata mempunyai sisi yang menyeramkan juga. “Mungkin iya, mungkin tidak. Lagi pula dia sudah mendapatkan ganjarannya. Daripada mencarinya, lebih baik gunakan waktumu untuk beristirahat. Kulihat pasienmu banyak sekali sampai mengantri hingga tengah malam. Kelihatannya banyak ibu-ibu hamil yang suka berkonsultasi denganmu.”

Julie langsung membusungkan dadanya dan bersedekap bangga. “Tentu saja! Aku memberikan konsultasi dengan sepenuh hati dan memeriksa mereka dengan benar. Aku tidak seperti dokter abal-abal yang suka melihat dan menyentuh lalu memberikan hasil pemeriksaan sembarangan. Apalagi detik-detik saat melahirkan. Rasanya berdebar-debar setiap kali menunggu hingga memacu adrenalin. Ketika anak itu lahir, menjadi orang pertama yang menggendong dan melihat ikatan batin dengan orang tua sungguh sangat luar biasa! I really love this job!

Dada Julie naik turun dengan nafas yang saling beradu ketika menjelaskan semua itu. Tidak perlu diragukan lagi, dia adalah seorang dokter kandungan sejati dan juga mesum yang bisa memuaskan hasratnya hanya melakukan semua itu. Tentu saja, itu membuatnya menjadi budak dari pekerjaannya sendiri tapi dia merasa tidak keberatan. Karena seperti ucapannya tadi, dia sangat mencintai pekerjaannya ini.

“Kalau kau bersemangat seperti ini, sepertinya tidak ada masalah kalau kau tidak tidur sampai seminggu kedepan. Hanya saja, kuharap otakmu tidak rusak sampai harus kukirim ke rumah sakit jiwa atau gara-gara bekerja terlalu keras, kau jadi tumbang. Pasien-pasienmu bisa mengamuk kalau bukan kau yang memeriksa mereka.”

Don’t worry. That not gonna happen.” Julie menjawab riang sambil mengacungkan jempol.

John menyandarkan punggungnya ke kursi dan memberikan senyum puas. Seolah-olah teringat sesuatu, dia kembali menghadap Julie. “Ngomong-ngomong, bagaimana dengan Anna?”

Julie menyeringai lebar sembari menyandarkan punggung dan memainkan kursi putarnya. Dia berpura-pura berpikir sejenak, sengaja melama-lamakan waktu agar membuat John penasaran. “Hmm … bagaimana ya? Apa aku harus memberitahumu?” balasnya bertanya dengan nada sensual.

John berdecak sebal sebelum memalingkan wajahnya. Inilah yang paling tidak disukainya, menjawab pertanyaan dengan pertanyaan. Kalau orang lain, biasanya dia akan langsung pergi dan mengabaikan orang tersebut sampai beberapa hari. Tetapi, yang dihadapinya sekarang adalah Julie, wanita yang mempunyai segudang sifat aneh.

Melihat lawan bicara diseberang kehilangan minat untuk berbicara, timbul niat jahil di benak Julie. Rasanya pasti menyenangkan bisa membuat pemimpin rumah sakit ini sebal. Kapan lagi dia akan mendapatkan kesempatan ini, selagi mereka sedang berdua. “Uhm … John, kalau kau tidak tertarik dengan Anna, untukku saja ya.”

John langsung menatap ke arahnya dengan mata lebar. Dia bahkan sampai beranjak dari kursi dengan mulut yang menganga lebar. “Kau sinting?!” serunya tinggi.

Julie bersusah payah menahan tawa. Namun, pada akhirnya dia tidak bisa mengendalikannya lebih lama lagi dan tertawa sekeras-kerasnya. Saking kerasnya, perutnya terasa sakit dan air mengepul di sudut matanya. Dia tertawa terlalu keras sehingga membuat John jengkel.

“Berhenti tertawa! Tidak ada yang lucu!” John berseru marah ketika tawa Julie tak kunjung reda. Dengan wajah masam, dia membanting dirinya pada kursi hingga menimbulkan bunyi berdebum yang kencang.

Begitu tawanya reda, barulah Julie bersuara. “Bagaimana … tidak lucu? Coba saja kau lihat wajamu tadi. Seharusnya aku memfotonya.” Suara kekehan kembali terdengar ketika membayangkannya. Tapi, kali ini Julie berhasil menguasai diri dan tidak tertawa lepas seperti sebelumnya.

“Ya ya, sayang sekali kau tidak memfotonya. Siapa tahu kau jadi tertarik padaku setelahnya,” jawabnya setengah hati.

“Itu tidak akan terjadi.” Julie menghapus gumpalan air disudut matanya dan menatap John. Pipinya menggembung, berusaha menahan tawa dan berbicara normal. “Anna baik-baik saja. Tadi, Nina memberikan salep padanya dan dia … sangat lucu ketika ku goda. Aku jadi tidak sabar bertemu dengannya lagi dipertemuan selanjutnya.”

“Yang hamil itu Nina, bukan Anna. Jangan lupa siapa pasienmu,” tegur John tanpa berminat untuk menoleh.

“Jangan khawatir, aku tidak akan melupakan siapa pasienku. Hanya saja, rasanya pasti menyenangkan, melihat dua wanita cantik yang tinggal dalam satu atap. Apalagi bisa mendapatkan yang sedang single. Selain menarik, aku juga senang bisa menggodanya.”

John tercengang mendengar penjelasan Julie. Dia merinding membayangkan wanita ini melakukan hal yang tidak-tidak selama bersama pasien. Yang membuatnya merasa ngeri adalah, dia melakukan itu di rumah Alex, saat memeriksa Nina. Kalau sampai Alex mengetahui hal itu, bukan hanya mereka berdua yang terkena masalah, dirinya juga ikut terkena imbas sebagai orang yang merekomendasikan Julie.

Sebelum sempat memperingatinya, wanita itu telah melenggang pergi tanpa sepengetahuannya. Wanita itu meninggalkannya sendirian dengan segudang sakit kepala yang ditinggalkan.

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

3 Komentar

  1. Cerbung

  2. Tks ya kak udh update

  3. Dokter oh dokter