Inevitable War

Inevitable War Part 28: Salted Wound

Bookmark
ClosePlease loginn

No account yet? Register

4,197 votes, average: 1.00 out of 1 (4,197 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

Author’s Playlist – SIA – Salted Wound

Tell her all of how you feel,
Give her everything she needs to hear
Give your heart, and say come take it
And she will see that you’re a good man


Sang Dokter menyeringai dingin.

Lagipula manusia-manusia busuk ini memang pantas mati, sama seperti Bangsa Zodijak yang akan dia hancurkan nanti. Mereka hanyalah pion yang akan membantu dirinya mencapai tujuan. Sebuah tujuan rahasia yang telah dicanangkannya sejak awal mula… sebuah tujuan yang hanya dirinyalah yang tahu, dan hal itu akan menjadi sebuah kejutan bagi siapapun yang melihatnya, dan dari pihak manapun mereka berada, tanpa kecuali …


“Apa yang kau inginkan?’ Aslan membuka pintu kamarnya dan menatap Kaza dengan dingin. Dirinya masih menyimpan kemarahan kepada Kaza atas perlakukan kurang ajarnya yang berani-beraninya menyentuh Mischa tanpa izin dan menyakiti Mischa sampai terluka, dan Aslan tidak menyembunyikan kemarahannya bahkan saat sedang berbicara tatap muka jarak dekat dengan Kaza.

Kaza menelan ludah, tadi dia begitu menggebu-gebu untuk menemui Aslan, terdorong oleh tindakan impulsif ketika melihat gelang peledak di kaki Sasha. Tetapi sekarang ketika bertatapan langsung dengan Aslan dirinya kehilangan kata-kata, bingung harus merangkai kalimat seperti apa.

“Sebentar.” Aslan melirik ke arah pintu di belakangnya, ke arah Mischa yang sedang asyik makan. Dari balik punggungnya dia merasakan lirikan penuh ingin tahu Mischa atas kehadiran Kaza di areanya, “Jangan di sini.” Aslan berucap tenang, lalu sengaja menutup pintu kamarnya agak keras dan membalikkan badan melewati lorong dan membiarkan Kaza mengikuti di belakangnya.

Aslan berjalan melalui beberapa ruangan lain sebelum kemudian membuka sebuah pintu besar berwarna hitam dan memimpin langkah Kaza untuk memasuki ruangan itu. Ruangan itu cukup luas, dengan dinding gelap dan pencahayaan hangat yang menampilkan pemandangan set sofa besar di tengah ruangan.

Yang membuat ruangan itu berbeda dengan ruang-ruang lainnya adalah apa yang terpajang di dindingnya.

Dinding ruangan itu dipenuhi rak-rak kaca tebal bertingkat memenuhi seluruh sisinya dari bagian bawah sampai titik teratas yang menyentuh atap. Dan yang ada di dalam rak itu bukanlah pajangan biasa, melainkan senjata-senjata kelas tinggi bangsa Zodijak, dari pisau belati ukuran terkecil sampai senjata berat dengan ukuran raksasa yang mungkin bisa meledakkan satu kota.

Aslan memang sangat menyukai senjata, dari ketujuh saudaranya, Aslan dikenal memiliki hasrat besar terhadap pertarungan baik dengan menggunakan senjata api maupun pertarungan jarak dekat yang membutuhkan keahlian khusus. Dan sepertinya Aslan sangat berbakat dalam hal itu karena dia sebagai seorang pemimpin Bangsa Zodijak, belum pernah dikalahkan.

“Apa yang ingin kau katakan?” Aslan membanting tubuhnya di sofa, menyandarkan punggungnya dan menyilangkan kaki dengan gaya serampangan.

Kaza sendiri tidak mengikuti Aslan duduk, dia memilih berdiri dengan punggung menegang.

“Tentang Sasha.” ujar Kaza tenang, melemparkan umpan dan menunggu reaksi Aslan.

Ujaran Kaza itu membuat Aslan mengangkat alis, “Ah, tentang Sasha.” Aslan bukannya tak tahu kekuatan misterius yang sama-sama mengikat Kaza kepada Sasha, sama seperti yang terjadi pada dirinya, “Aku akan mengambil Sasha dalam wilayahku hari ini.” dengan tenang Aslan melanjutkan, seolah menunggu kesempatan Kaza untuk menentangnya.

Kaza sendiri menggeser posisi berdirinya dengan gelisah, “Aku meminta Sasha untuk diletakkan di areaku.” ujarnya cepat mengambil kesempatan.

“Dan akan kau apakan anak itu?” Aslan menyela dingin, “Dia tidak berguna untukmu, setidaknya untuk saat ini. Kau bahkan tidak bisa menyentuhnya karena dia masih anak-anak. Dia akan lebih berguna untukku.”

“Sebagai sandera?” Kaza menyambar cepat membuat tatapan Aslan menajam.

“Ya, sebagai sanderaku. Sasha adalah pion penting untuk menahan Mischa di sini.” jawab Aslan dengan suara dingin mengancam.

Hal itu tidak mengena kepada Kaza karena dia sibuk dengan pikirannya sendiri.

“Kau tidak perlu menahan Mischa sampai seperti itu, jika memang kau yakin pada pesonamu, Mischa tidak akan pernah berpikir untuk meninggalkanmu.” ucap Kaza memulai.

Aslan langsung mengerutkan kening tak setuju, “Kau pikir semudah itu memahami pikiran perempuan? Manusia perempuan? Kau pikir dengan memberikan seks yang hebat dan perlindungan, mereka akan dengan mudahnya jatuh ke tangan kita dan tunduk menyerah?” Aslan menyeringai dengan sikap penuh ironi, “Kalau kau tahu betapa rumitnya pemikiran manusia perempuan, mungkin kau akan menyerah, Kaza. Kau boleh menuruti semua kemauan mereka, tetapi tetap saja tidak bisa menyenangkan mereka. Mereka akan tetap mencakarmu dengan buas kalau hatinya tidak senang,” Aslan menyipitkan mata dan menatap Kaza penuh perhitungan, “Jika kau kalah dengan ketertarikanmu pada Sasha dan kau menyerahkan diri sepenuhnya tanpa bisa menahan diri, kau akan berakhir menderita dan menyedihkan seperti Kara.”

Ucapan Aslan membuat Kaza melebarkan mata seolah tersinggung. Ya, dirinya juga menganggap Kara bodoh karena saudara kembarnya itu meletakkan hati dan kepercayaannya begitu besar kepada Natasha, bahkan setelah bukti pengkhianatan Natasha yang sangat jelas di depan mereka, Kara masih saja bersikeras untuk percaya. Kaza memang mengakui bahwa Kara bodoh, tetapi mendengarkan Aslan menjelek-jelekkan Kara di depannya entah kenapa membuat sisi defensif di dalam dirinya bermunculan tak terkendali.

“Kenapa kau begitu yakin bahwa dirimu tidak akan berakhir seperti Kara? Karena yang kulihat, kau sudah setengah jalan menuju itu.” ucap Kaza dengan suara sedikit meninggi.

Beruntung sindiran Kaza tersebut tidak berhasil memancing emosi Aslan, lelaki itu bersedekap, bersandar di kursinya dengan santai sambil melemparkan tatapan tajam ke arah Kaza.

“Sebenarnya apa yang kau inginkan hingga kau datang kemari, Kaza?” tanya Aslan cepat, mengalihkan pembicaraan sambil menyelipkan nada tak sabar di dalam suaranya.

Kaza tercenung sejenak, tetapi pada akhirnya mengulang kembali perkataannya.

“Aku ingin Sasha dialihkan ke wilayahku.”

“Dan jika aku tidak mengabulkannya, kau mau apa?” Aslan menyahut cepat dengan nada menantang, membuat Kaza tertegun.

Jika Aslan tidak mengabulkannya? Yah dia bisa apa? Tidak pernah ada yang bisa menentang kemauan Aslan selama ini, dan tidak ada yang bisa dilakukan oleh Kaza untuk mengubahnya.

“Setidaknya aku ingin kau melepas gelang kaki peledak di kaki Sasha.” pada akhirnya Kaza menyerah, tidak bisa mengatakan yang lain lagi.

“Kau seharusnya tidak memedulikan gelang kaki itu. Lagipula bagaimana aku bisa menahan Mischa untuk tidak lari lagi kalau begitu caranya?” Aslan bertanya dengan nada tajam, menunggu reaksi Kaza.

“Mischa tidak akan bisa lari lagi dari sini. Dulu dia kebetulan bisa lari karena bantuan Kara, sekarang Kara sudah pasti tidak akan berani mengulang kesalahannya yang dulu dan saudara-saudara kita yang lain tidak akan segila Kara untuk membantu Mischa kabur.” Kaza mendongakkan dagu dengan tatapan meyakinkan, “Kau hanya perlu sedikit berusaha untuk membuat Mischa terpesona kepadamu dan dia tidak akan pernah ingin meninggalkanmu.”

Perkataan Kara membuat Aslan seolah menahan senyum, tetapi lelaki itu berhasil memasang ekspresi datar yang kaku.

“Aku akan memikirkan perkataanmu itu. Apakah kau tidak tahu bahwa aku mengambil alih Sasha atas permintaan Mischa? Dia cemas karena dirimu, Mischa sangat yakin bahwa kau akan menyakiti Sasha.”

Kaza menipiskan bibir dengan geram, “Dan kau lebih memilih mengabulkan permintaan istrimu daripada permintaan saudaramu?” ujarnya sinis.

Aslan mengangkat bahu, memasang ekspresi tak peduli.

“Mau bagaimana lagi, bukan kau yang bisa memuaskan nafsuku.” jawabnya dengan nada angkuh tak terperi.

***

“Apakah kau ingin tambah lagi?”

Aslan sudah kembali lagi di hadapan Mischa, mengangkat alis bingung ketika melihat Mischa kembali menghabiskan makanannya sampai tandas. Mata Aslan yang gelap pekat menelusuri seluruh diri Mischa dengan penuh penilaian, menyadari ada sesuatu yang aneh dan tak beres dengan manusia perempuan di depannya itu.

Mischa sendiri seolah tak menyadari tatapan penuh penilaian Aslan, perempuan itu sibuk menunduk menatap piring makanannya yang tak terasa sudah habis tandas tak bersisa. Semua masakan itu entah kenapa terasa begitu enak dan dia merasakan dorongan untuk menghabiskannya bahkan meminta tambah. Mischa menunduk dan mengusap perutnya sendiri, mencari tanda-tanda kenyang di sana, tetapi tidak menemukannya.

Pada akhirnya Mischa mendongak, menatap Aslan yang juga sedang terpaku menatap perutnya.

“Aku masih lapar.” ujarnya kemudian dengan nada tak percaya.

Aslan langsung melebarkan mata, mulutnya sedikit ternganga, lalu mengatup lagi seolah-olah kata-kata yang sudah muncul di bibirnya tertahan untuk di keluarkan.

Mata Aslan kembali menelusuri seluruh diri Mischa sebelum kemudian berucap dengan bibir menipis penuh perhitungan.

“Apakah kau ingin aku meminta bagian dapur mengantarkan makanan lagi?”

Mischa ingin menolak, pipinya sudah memerah karena malu sebab kali ini dirinya benar-benar tampak rakus di depan Aslan. Tetapi sayangnya perutnya meronta-ronta meminta diisi dan keinginan untuk makan itu mengalahkan segalanya.

“Kalau kau tidak keberatan.” jawab Mischa terbata, menahankan rasa malu yang amat sangat.

Aslan tidak berkata apa-apa lagi, mengangkat sebelah alisnya sedikit sebelum kemudian tampak berkomunikasi melalui telepati kepada budak-budaknya.

“Kau akan mendapatkan makananmu sebentar lagi.” Aslan menganggukkan kepala sedikit ke arah Mischa, “Aku meminta dikirimkan dua porsi menu sekaligus untuk berjaga-jaga.” setelah berucap begitu, Aslan membalikkan badan hendak melangkah pergi meninggalkan ruangan.

“Apakah menurutmu aku sakit?” Mischa tiba-tiba berkata pelan, membuat langkah Aslan yang sudah mencapai pintu terhenti dan lelaki itu menoleh untuk kemudian mendapati Mischa sedang menangkupkan telapak tangannya yang kurus ke dahinya sendiri.

“Apakah kau merasa sakit?” Aslan malah kembali bertanya sambil melemparkan tatapan mata menyelidik.

Mischa menggelengkan kepala, “Tidak. Aku hanya merasa… lapar.”

“Kalau begitu obatmu hanyalah makan.” Aslan menjawab dengan tenang, tetapi ketika melihat keraguan di wajah Mischa, Aslan akhirnya berucap lagi, “Aku akan meminta Yesil memeriksamu nanti setelah kau selesai makan.”

Sambil berkata begitu Aslan membalikkan badan kembali dan melangkah keluar dari ruangan itu, meninggalkan Mischa sendirian menunggu makanannya datang.

***

“Dia masih belum bangun?” Kara bertanya pelan, duduk di kursi yang ditarik dekat dengan tubuh Vladimir yang masih terbujur kaku sementara Yesil memasukkan cairan yang lain ke tubuh Vladimir.

Yesil menoleh menatap Kara kemudian mengangkat bahu.

“Cairan yang tadi digunakan untuk memicu jantungnya supaya memompakan darah yang kuat ke otaknya dan membuatnya terjaga. Aku tidak bisa menggunakan metode yang seharusnya digunakan kepada kaum manusia karena struktur tubuh Vladimir sudah pasti bukan manusia. Sayangnya obatku yang tadi gagal, jadi aku memasukkan obat yang lain.”

“Obat apa?” Kara bertanya dengan penuh rasa ingin tahu.

“Ini adalah Ambrosia.” Yesil menjawab tenang sambil menginjeksikan cairan merah muda itu ke tubuh Vladimir, tidak memedulikan alis Kara yang terangkat ketika mendengar pertanyaannya itu.

“Ambrosia?” itu adalah obat yang sangat keras, digunakan untuk menyadarkan kaum Zodijak yang terluka dan jatuh ke dalam koma. Tubuh manusia biasa tidak akan sanggup menahannya dan akan meledak menjadi debu jika disuntikkan dengan Ambrosia, mereka semua tahu karena Yesil dengan percobaannya yang kejam telah mencobakannya pada kaum manusia malang yang tak sengaja tertangkap dan dijadikan bahan percobaannya.

“Tidak perlu seterkejut itu, Kara. Ini hanya dosis kecil dan kita tahu pasti bahwa tubuh yang ada di depan kita ini bukanlah tubuh manusia biasa. Dia dihajar oleh Aslan dan tetap hidup.” Yesil menegakkan punggung dan mengamati sosok Vladimir yang masih tertidur, “Jika dosis ini tidak berimbas apapun dan tidak membuatnya meledak, aku akan menambahkan dosisnya.”

“Jangan sampai membuatnya meledak, Yesil. Kau tahu kita membutuhkannya untuk mendapatkan informasi.” Kara menyela cepat dengan nada cemas, tahu pasti bahwa kebenaran tentang Natasha kemungkinan besar bisa mereka dapatkan dari Vladimir.

Kecemasan Kara membuat Yesil tersenyum, bibirnya terbuka hendak berkata tetapi terhenti ketika sebuah gerakan di pintu mengalihkan perhatiannya.

Ada Aslan di sana, berdiri dalam diam dengan ekspresi kelam dan mata mengamati ke arah sosok Vladimir. Aslan melirik ke arah Kara yang duduk di sana balas menatapnya, tetapi memilih mengabaikan saudaranya yang baru pulih dari luka parah tersebut.

“Apa yang kau lakukan kepadanya?” Aslan mengedikkan dagu ke arah tubuh Vladimir.

Yesil menyeringai, “Kami hanya sedang berusaha membangunkannya untuk mendapatkan informasi.”

“Apakah berhasil?” tanya Aslan lagi.

Yesil mengangkat alis, menatap Aslan mencemooh, “Kau bisa lihat sendiri kan? Makhluk ini koma dan tidur seperti batu. Mungkin nanti kalau kau hendak membawa sumber informasi pulang, kau harus menahan dirimu untuk tidak menghajarnya sampai koma dan tidak bisa berkomunikasi, Aslan.” sambungnya setengah mengejek.

Aslan sendiri tampak tidak terpengaruh, matanya malah melirik ke arah Kara dengan tajam,

“Manusia busuk itu ingin menyentuh istriku. Siapapun yang ingin melangkahiku untuk menyentuh istriku akan kuhajar sampai mati kalau perlu.” ucapnya dengan nada menyindir yang kental.

Kara berdehem pelan, tahu pasti bahwa kalimat ancaman itu ditujukan kepadanya, tetapi memilih tidak menangapi dan mengalihkan pandangannya ke area lain. Yesil menatap ke arah Kara dan Aslan berganti-ganti, berusaha memecahkan suasana tidak nyaman yang tiba-tiba membentang di antara mereka.

“Apa yang kau butuhkan, Aslan? Di mana Mischa?” Yesil langsung bertanya, “Apakah Mischa ada bersama Sasha?”

“Tidak Mischa sedang makan. Aku akan mengirimkan anak buahku untuk menjemput Sasha supaya dibawa ke wilayahku nanti siang.” Aslan menjawab dengan cepat.

Jawaban Aslan membuat Yesil mengerutkan kening.

“Mischa sedang makan? Apa maksudmu? Seberapa lama proses makannya sehingga dia tidak bisa mengunjungi Sasha?” tanya Yesil penuh rasa ingin tahu.

“Mischa tidak berhenti makan, dia terus mengunyah makanannya seperti orang yang tidak pernah diberi makan. Laporan dari budakku mengatakan bahwa setelah porsi keempat dihabiskannya, baru dia merasa puas dan kenyang lalu berhenti makan.” Aslan menjelaskan dengan kalimat singkat, “Karena itu aku memintamu memeriksa Mischa sekarang.”

Tubuh Yesil langsung menegang ketika mendengar perkataan Aslan itu, sebuah dugaan langsung muncul di benaknya, tersirat di matanya dan sama persis seperti apa yang ada di dalam dugaan Aslan dan Kara.

***

Yesil menggunakan beberapa alat khusus untuk memeriksa keseluruhan diri Mischa. Alat yang digunakannya merupakan alat medis bangsa Zodijak yang canggih yang bahkan tidak pernah dilihat oleh Mischa seumur hidupnya.

Lelaki itu memeriksa seluruh diri Mischa, kulitnya, rambutnya, rongga mulutnya, matanya hidungnya, hingga hendak memeriksa permukaan perutnya. Seluruh diri Mischa merah padam ketika Yesil memaksa menempelkan alat yang harus ditempelkan di perutnya untuk pemeriksaan. Alat itu berbentuk bulat seukuran mangkuk kecil, berwarna hitam dengan cahaya kelap-kelip dari lampu kecil di sepanjang sisinya. Mischa tidak tahu itu alat apa karena dia tidak pernah melihatnya, tetapi Yesil meyakinkan bahwa alat itu harus ditempelkan di kulit yang telanjang untuk mendeteksi bagian dalam perut. Bagian dalam perut harus diperiksa karena selera makan Mischa yang memuncak tiba-tiba, sudah pasti berhubungan dengan perutnya.

Semula Mischa menolak karena malu bukan kepalang, tetapi setelah Yesil mengatakan bahwa dia tidak akan melihat dan memalingkan muka, barulah Mischa mau menerima.

Alat itu terasa dingin ketika menempel di permukaan perutnya yang telanjang dimana kain penutup tubuhnya disingkap ke atas, mendengungkan sedikit getaran yang terasa di sepanjang kulit Mischa. Lalu lama kelamaan alat itu menghangat dan dengungan itu semakin keras, membuat Mischa meringis karena tidak nyaman. Beruntung, tak lama kemudian alat itu mati dan Yesil mengambilnya, masih sambil memalingkan kepala berusaha tak melihat kulit perut Mischa yang telanjang. Mischa sendiri langsung menurunkan gaunnya kembali dan menutupi tubuhnya dengan selimut setelahnya.

Setelah itu Yesil meninggalkan Mischa dan menarik kursinya ke depan meja. Lelaki itu mengambil sesuatu dari dalam alat tersebut, memindahkannya ke alat lain berbentuk kotak seperti pembaca, kemudian menempelkan matanya di sana untuk memeriksa hasil pemindaian perut Mischa secara visual.

Tak lama kemudian Yesil mengangkat kepalanya, meletakkan semua alat yang dipegangnya lalu menoleh menatap Aslan yang berdiri diam terpaku di dalam ruangan itu, dekat dengan ranjang Misha, sambil mengamati seluruh proses pemeriksaan terhadap Mischa berlangsung.

“Ya.” Yesil menegaskan pertanyaan yang tersirat di mata Aslan, “Mischa sedang mengandung, Aslan.”

Perkataan itu sampai ke telinga Mischa, membuat perempuan itu ternganga seolah  tidak percaya. Wajahnya langsung memucat dipenuhi oleh rasa shock yang begitu kuat menghantam hingga membuatnya megap-megap kehabisan napas.

“Apa?” Mischa pada akhirnya berhasil mengeluarkan kalimatnya dengan terbata “Tidak… tidak mungkin…” kepala Mischa menunduk dan menatap perutnya yang masih rata.

Bagaimana mungkin dia bisa mengandung? Ini anak Aslan, bukan? Tapi… Aslan adalah alien dari planet lain dengan struktur tubuh yang berbeda dengan dirinya. Jadi seharusnya tidak mungkin, bukan?

Selama ini Mischa selalu berpikir bahwa dua spesies yang bisa dikatakan dari dua dunia yang berbeda tidak akan mungkin bisa bereproduksi, menyatukan dua sel yang memiliki perbedaan begitu jauh untuk kemudian terbuahi dan menjadi sosok janin yang bertumbuh di perutnya.

Ini tidak mungkin terjadi! Anak dari alien jahat yang menghancurkan peradaban manusia itu tidak mungkin berada di perutnya, bukan? Bangsa Zodijak adalah bangsa kejam yang bahkan juga membunuh ayahnya dan orang-orang yang dia cintai… dan sekarang tidak mungkin benih dari Bangsa Zodijak berkembang di dalam perutnya? Menjadi anaknya?

Mischa berusaha menipu dirinya sendiri, tapi kenyataan bahwa anak dari alien pembunuh kaumnya itu tumbuh di dalam perutnya membuat sebuah jeritan histeris muncul dari bibirnya, semakin lama semakin keras.

“Tidak! Tidak mungkin!” Mischa mengangkat kepala, berseru keras sambil menatap marah ke arah Aslan, “Aku tidak mungkin mengandung anakmu! Aku tidak mau!” teriak Mischa tak terkendali.

Aslan hanya bergeming, menatap Mischa sambil bersedekap tak peduli.

“Tapi kenyataannya kau sedang mengandung anakku.” Aslan melemparkan tatapan mengancam ke arah Mischa, “Dan aku akan membuatmu serta adik kecilmu itu menderita kalau kau sampai melukai anak itu.”

Mischa ternganga sementara matanya menatap Aslan dengan ngeri. Dadanya terasa begitu sesak hingga napasnya tersengal. Emosi meluap di dalam jiwanya, bergolak membakar seluruh dirinya hingga nyaris tak tertanggungkan.

Mischa tidak mau mengandung anak Aslan! Dia tidak mau!

“Aku tidak mau mengandung anakmu! Tidak mau!” suara Mischa tak terkendali, berubah histeris, Pembunuh! Pembunuh! Aku menyesal bertemu denganmu!  Kau adalah pengalaman terburuk yang pernah kurasakan! Aku menyesalimu! Lebih baik aku mati saja daripada mengandung anakmu!” teriak Mischa ke arah Aslan.

Mischa tiba-tiba bergerak, hendak meloncat dari ranjang, tetapi Yesil rupanya lebih sigap dari dirinya, lelaki itu langsung menahan tubuh Mischa dan menahan perempuan itu supaya kembali berbaring telentang di ranjang. Kedua tangan Yesil menahan tangan Mischa, tetapi Mischa terlalu histeris untuk menyerah, perempuan itu meronta-ronta, menendang sekuat tenaga, berusaha menggigit untuk melepaskan diri dengan histeris sementara teriakan kuat terus meluncur dari bibirnya, ditujukan kepada Aslan.

“Aku tidak mau mengandung anakmu! Lebih baik aku mati!”

Hal itu membuat ekspresi Aslan menggelap karena murka. Lelaki itu melangkah mendekat, siap memberikan hukuman pada perempuan dihadapannya, tetapi teriakan Yesil menghentikannya.

“Tahan emosimu, Aslan! Dia sedang mengandung dan sedang histeris. Kau bisa marah nanti, tetapi tidak sekarang!” Yesil berseru, lalu menoleh ke arah Aslan yang tertegun kaku mendengar perkataannya itu, “Bantu aku menahan Mischa, aku akan mengambil obat penenang.” ujarnya cepat, sedikit kewalahan karena Mischa meronta dengan histeris.

Aslan akhirnya mengangguk pelan, menggantikan Yesil untuk menahan Mischa. Begitu tubuhnya dipegang oleh Aslan, rontaan Mischa menjadi dua kali lipat lebih keras seolah-olah dorongannya untuk melepaskan diri begitu kuat, meledak sampai ke batas pertahannya.

Yesil sendiri melesat ke depan meja tempat dia meletakkan peralatannya. Dibukanya satu kotak berukuran tanggung yang berisi obat-obatan khusus, diambilnya satu yang berwarna bening dan berkilauan untuk kemudian dipompanya pindah ke tabung kecil berwarna emas.

Yesil lalu meloncat kembali ke atas ranjang, mengambil tangan Mischa yang masih berada dalam pegangan Aslan dan menempelkan ujung tabung emas itu ke permukaan kulit Mischa. Warna di tabung itu berangsur-angsur berubah menghitam ketika seluruh isi tabung telah berhasil dipindahkan ke tubuh Mischa, dan seiring dengan itu semua, rontaan Mischa melemah dan tubuhnya menjadi lunglai. Mata Mischa kemudian terpejam pelan sementara kesadarannya terenggut paksa oleh obat penenang khusus yang dibuat untuk menidurkan makhluk lain supaya memasuki kelelapan dalam.

Aslan menunduk menatap ke arah Mischa yang terpejam lelap, lalu menoleh ke arah Yesil dengan alis berkerut.

“Apakah obat ini tidak membahayakan kandungannya?” tanyanya cepat.

Yesil melangkah mundur, menegakkan punggung dan bersedekap sambil menggelengkan kepala.

“Kau pasti tahu bahwa anakmu yang ada di dalam kandungan Mischa, dan Bangsa Zodijak sangat kuat bahkan ketika masih berupa janin.” Yesil menatap kecemasan Aslan yang belum juga pudar, lalu menghela napas panjang, “Tidak. Obat itu tidak berbahaya bahkan untuk janin manusia sekalipun.” jawabnya kemudian, berusaha menenangkan saudaranya.

Aslan melepaskan pegangannya dari tubuh Mischa, membiarkan tangan Mischa langsung terkulai jatuh di samping tubuhnya.

“Dia mengandung… sama seperti Natasha.” suara Aslan tampak mengambang di udara, “Apakah menurutmu anak itu akan selamat? Ataukah dia akan berakhir seperti bayi yang dikandung oleh Natasha?”

Yesil membutuhkan waktu lama untuk menjawab, tetapi pada akhirnya dia menjawab jujur.

“Aku tidak tahu. Tidak pernah ada yang berhasil melahirkan persilangan Bangsa Zodijak dengan kaum manusia sebelumnya. Yang bisa kita lakukan adalah mengawasi Mischa dengan baik sepanjang prosesnya dan menjaganya. Aku bahkan belum tahu berapa anak yang ada di dalam kandungan Mischa. Jika memang jenis kandungannya sama seperti Bangsa Zodijak yang selalu dikandung dalam jumlah banyak, hal itu baru ketahuan setelah usia kandungan Mischa lebih dari dua bulan.”

“Menurutmu lebih dari satu?” Aslan menyambar cepat.

“Menurutku lebih dari dua, dilihat dari selera makan Mischa yang begitu besar padahal kandungannya masih begitu muda. Aku akan mengobservasi Mischa dengan teliti setiap saat, mudah-mudahan saat kandungan Mischa lebih besar kita bisa mengetahui dengan pasti.” Yesil melirik ke arah Mischa, lalu kembali kepada Aslan, “Kita harus membahas perkembangan tak terduga ini dengan semuanya, Aslan.”

***

Khar menoleh ke arah Sevgil dan mengangkat sebelah alisnya.

“Apakah menurutmu ada gunanya kita berkelana dan menyamar seperti ini? Mungkin saja apa yang dikatakan oleh Yesil salah. Perempuan-perempuan yang kita duga itu, mereka mungkin cuma kebetulan ada karena kecelakaan genetika atau apalah. Tidak ada satu perempuan yang diciptakan untuk masing-masing dari kita.”

Mereka berdua sedang berdiri di bawah puing-puing reruntuhan bangunan yang dulu sepertinya adalah gedung tinggi nan megah yang sekarang berakhir menyedihkan akibat perang. Bongkahan puing itu sebagian besar berukuran raksasa, saling tumpang tindih membentuk atap untuk berlindung dari panasnya matahari di tengah kota yang telah berubah iklim secara ekstrim hingga menjadi padang gurun yang sangat luas membentang.

Khar dan Sevgil sama-sama memakai lensa mata palsu untuk memudahkan mereka membaur ketika mereka bertemu dengan kaum penyelinap di ruang-ruang bawah tanah, mereka bahkan sengaja mengganti pakaian mereka menjadi lebih membumi supaya semakin tak mencolok, dengan menggunakan pakaian dari kain bumi yang sengaja dibuat semirip mungkin dengan pakaian manusia.

Dan tentu saja mereka berhasil, dengan penampilan mirip manusia dan kemampuan menyamar yang baik, Khar dan Sevgil berhasil bergabung dari satu kelompok kaum penyelinap ke kelompok kaum penyelinap lainnya.

Saat ini mereka sedang bergabung dengan salah satu kaum penyelinap dengan anggota cukup banyak dan sedang ditugaskan untuk mengintai kondisi di dunia atas.

Mereka berkeliling menyeberang dari satu wilayah ke wilayah yang lain untuk menemukan dua hal, manusia kuat seperti Vladirmir seperti yang dibawa oleh Aslan ke istana mereka, dan juga perempuan seperti Mischa yang diyakini ada lebih banyak lagi bertebaran di persembunyian-persembunyian kaum penyelinap tersebut.

Sayangnya sampai saat ini apa yang mereka cari sama sekali belum menemukan titik terang. Yang mereka temui adalah kaum-kaum penyelinap yang menyedihkan, bergabung dalam kelompok-kelompok kecil dan berjuang keras hanya untuk bertahan hidup. Tidak ada manusia kuat seperti yang diceritakan oleh Aslan dan juga tidak ada perempuan dengan aura sama menariknya dengan Mischa seperti yang diharapkan oleh Yesil.

“Mungkin kita harus kembali terlebih dahulu dan membuat laporan?” Sevgil menatap lurus ke depan, ke hamparan pasir emas yang membentang sampai ke batas cakrawala, menimbang-nimbang sejenak.

“Aku setuju denganmu. Mungkin seluruh manusia kuat itu sudah dihabisi oleh Aslan sehingga tidak ada yang tersisa. Musuh yang kita perkirakan ada sekarang mungkin sudah tidak ada lagi.” jawab Khar sambil menganggukkan kepala.

“Kalau begitu kita lebih baik ke pesawat sekarang.” Sevgil menegakkan punggung, lalu hendak memimpin langkah meninggalkan tempat persembunyian itu, tetapi kemudian langkahnya terhenti ketika mendengar gemuruh dari kejauhan.

Khar langsung waspada, menoleh ke arah Sevgil yang membalas tatapannya dengan pemikiran yang sama.

“Itu suara helikopter?” tanya Khar cepat dan Sevgil langsung menganggukkan kepala,

“Bukan milik kita. Helikopter kita tidak mengeluarkan bunyi. Yang ini sangat bising, seperti kendaraan terbang milik manusia.” ujar Sevgil tenang. Kepalanya mendongak ke atas dan matanya yang awas menemukan titik hitam yang masih begitu jauh tetapi semakin lama semakin dekat.

Mereka menghentikan pembicaraan ketika melihat dua orang manusia lain muncul dari tempat persembunyian di seberang dan berlari cepat mendekati mereka berdua. Noel dan Kelen adalah salah satu dari laki-laki muda di kelompok kaum penyelinap tempat mereka bergabung yang juga mendapat tugas untuk mengawasi keadaan di seberang area.

“Menurutmu apa itu? Apakah itu Bangsa Zodijak?” Sevgil yang telah diterima dengan baik sebagai anggota kelompok pura-pura bertanya untuk mencari tahu.

Noel mendongak ke udara, ke arah titik hitam di langit yang mulai muncul dan mendekat,

“Bukan… pesawat Bangsa Zodijak selalu senyap tidak bersuara sama sekali, karena itulah kita memasang orang-orang untuk menjadi pengawas di permukaan tanah supaya bisa memberi peringatan awal, karena kita bahkan kesulitan untuk mengetahui kapan Bangsa Zodijak datang ketika mereka tidak bersuara. Kurasa kali ini kita harus meminta seluruh anggota kelompok berlindung supaya lepas dari jangkauan. Mereka adalah kaum bawah tanah, aku mendengarnya dari anggota kelompokku sebelumnya yang sekarang sudah punah tanpa sisa.”

“Kaum bawah tanah? Kenapa aku tidak pernah mendengarnya? Kupikir kita kaum penyelinap adalah satu-satunya kelompok manusia yang masih bertahan  di sisa-sisa puing peperangan ini.” Sevgil bertanya lagi dengan penuh rasa ingin tahu, mencoba mengorek informasi.

“Mereka ada tetapi tidak pernah muncul, bahkan dianggap sebagai desas-desus saja…” Noel menelan ludah, seolah bingung harus berkata apa, “Aku juga dulu beranggapan begitu, tapi… sepertinya mereka benar-benar nyata…”

“Apakah mereka kawan atau lawan?” kali ini Khar yang bertanya, matanya melirik ke arah Kelen yang berada di belakang punggung Noel yang juga tampak mendongakkan kepala dengan cemas sambil mengamati titik hitam itu semakin lama semakin mendekat.

“Sayangnya mereka bukan kawan, apalagi untuk kelompok yang lemah seperti kita.” Noel tiba-tiba bergerak menuruni tangga menuju ruang bawah tanah yang dulunya merupakan bekas stasiun bawah tanah yang menghubungkan semua wilayah di area ini, “Ayo, kita harus memperingatkan yang lain supaya bersembunyi. Dikatakan kalau kaum penyelinap bertemu dengan Kaum bawah tanah, kita akan dilkalahkan karena mereka sangat kuat.”

“Sangat kuat?” Khar mengejar diikuti yang lainnya melalui lorong-lorong gelap yang basah dan lembab menuruni tangga semakin ke bawah, “Bukankah mereka manusia?”

“Mereka bukan manusia biasa. Hanya itu saja yang kutahu,” Noel melemparkan pandangan gugup ke arah Khar, “Dengar, aku hanya berbicara berdasarkan pengalamanku. Dulu aku bergabung dengan kelompok kaum penyelinap kecil sebelum berada di sini, kelompokku di serang oleh mereka yang meminta disebut dengan nama kaum bawah tanah, mereka memindai seluruh anggota kelompok, mengambil laki-laki yang paling kuat, sehat dan tanpa cacat untuk dibawa. Mereka juga memindai kaum perempuan, menyuntikkan sesuatu yang seperti air ke tubuh mereka, tetapi sepertinya tidak menemukan apa-apa. Setelah mereka menyelesaikan apapun yang mereka inginkan, mereka mengangkut kaum laki-laki yang dipilih sementara seluruh anggota Kaum Penyelinap yang tersisa karena tidak memenuhi syarat dibunuh tanpa sisa.”

Noel menghela napas dengan sedih ketika mengingat itu semua sebelum kemudian menyambung perkataannya kembali, “Ketika itu aku sedang bertugas menjadi pengawas seperti sekarang ini, aku pulang dari tugas dan menemukan seluruh anggota kelompokku telah tewas, hanya salah satu yang masih hidup yang berhasil menceritakan semua kepadaku, tetapi dia juga terluka parah dan akhirnya meninggal.”

“Kau tidak pernah memperingatkan kelompok kita bahwa mereka ada.” Kelen akhirnya berbicara, napasnya terengah karena langkah mereka semua lebih cepat seakan berlari.

Noel mengerutkan kening penuh rasa bersalah.

“Aku selama ini berpikir bahwa mereka tak ada… kupikir itu hanyalah halusinasi anggota kelompokku yang sedang sekarat menjelang kematian. Aku berpikir bahwa mereka dibantai oleh Bangsa Zodijak… siapa yang tidak berpikir begitu? Mereka katanya sangat kuat, memiliki senjata dan membunuh kaum manusia. Hanya saja ada satu hal yang tiba-tiba membuatku menyadari bahwa anggota kelompokku yang dulu tidak sedang berhalusinasi.”

“Apakah itu?” Kellen berseru, bertanya dengan penuh rasa ingin tahu sementara Khar dan Sevgil saling melempar pandang dengan tatapan penuh arti satu sama lain.

“Helikopter mereka…. anggota kelompokku yang menjadi saksi terakhir itu mengatakan bahwa kelompok kaum bawah tanah datang dengan menggunakan helikopter yang sangat berbeda dengan Bangsa Zodijak karena helikopter itu sangat berisik hingga suaranya bisa terdengar dari kejauhan.”

***

“Apakah kau mendapatkan info dari saudara-saudara kita di luar sana?” Aslan langsung berkata begitu memasuki ruangan komando tempat Akrep berada. Saudaranya yang paling tua itu sedang berdiri memunggunginya, posisinya menghadap ke arah peta bumi yang direfeksikan dalam tampilan mendatar serupa hologram yang memenuhi salah satu dinding.

Seluruh area yang ada di peta itu ditandai dengan bendera hitam, menunjukkan area-area yang telah dikuasai oleh Bangsa Zodijak. Dan sekarang setelah Bangsa Timur Jauh berhasil dikalahkan, tidak ada satupun area di dalam peta itu yang tidak ditandai dengan bendera hitam milik Bangsa Zodijak.

“Mereka belum mengirimkan kabar ke dalam kepalaku.” Akrep membalikkan badan, menghadap ke arah Aslan sambil menyentuh dahinya sendiri penuh isyarat.

Ekspresi Aslan tampak tidak puas, dia lalu menghampiri meja besar yang terbentang di tengah ruangan dan duduk dengan serampangan di atasnya,

“Jadi mereka tidak mendapatkan apa-apa?” Aslan merenung, “Manusia-manusia kuat itu kemungkinan besar bukan bagian dari Kaum Penyelinap. Mereka terlalu kuat untuk berada di sana. Khar dan Sevgil mungkin selama ini mencari di tempat yang salah, karena itulah mereka tidak bisa menemukan apa-apa.”

Akrep memiringkan kepala, tampak memikirkan perkataan Aslan, lalu mengangguk.

“Sepertinya memang begitu. Sepertinya kita harus merancang ulang strategi kita.” Akrep menatap Aslan meminta pendapat, “Perlu kupanggil Khar dan Sevgil supaya kembali?”

Sebelum sempat Aslan membuka mulut untuk memberikan jawaban, tiba-tiba saja Akrep menghadapkan telapak tangannya ke arah Aslan seolah meminta Aslan menghentikan apapun yang hendak dia lakukan atau katakan.

“Sebentar.” Akrep memejamkan mata dan Aslan menurutinya, tahu bahwa saat itu Akrep sedang menerima informasi dari dalam kepalanya. Dia tidak ikut bergabung dan memilih menunggu sampai Akrep selesai.

Tak lama kemudian Akrep membuka mata, ekspresinya seolah-olah tidak mampu melukiskan tentang apa yang baru saja didengarnya.

“Sevgil melapor.” ujar Akrep kemudian, “Ada kelompok manusia kuat dengan nama Kaum Bawah Tanah sedang menuju lokasi tempat Kaum Penyelinap di mana Khar dan Sevgil bergabung. Mereka sedang dalam penyamaran dan menunggu lebih lanjut untuk menentukan akan bertindak seperti apa.” Akrep menghentikan kata-katanya, seolah berusaha menelaah apa yang telah berada di dalam otaknya, “Kau benar Aslan….” ujarnya kemudian, “Kemungkinan besar memang ada musuh tersembunyi yang selama ini tidak kita sadari.”

***

Aslan membuka pintu kamarnya dan melangkah masuk. Matanya terpaku ke arah Mischa yang terlelap di atas ranjang. Perempuan itu sepertinya kelelahan setelah histeris tak terperi tadi dan juga karena Yesil telah menyuntikkan obat penenang khusus yang seharusnya tidak mengganggu kandungan Mischa.

Tadi Aslan mendatangi Akrep untuk menginformasikan tentang kehamilan Mischa, tetapi perkembangan baru itu membuat Aslan menahan informasi tersebut, setidaknya sampai seluruh urusan dibereskannya.

Informasi dari Sevgil membuat Aslan memutuskan bahwa mereka harus datang ke lokasi diam-diam, menggunakan pesawat pengintai yang tak kasat mata dan mengawasi sampai mereka bisa tahu lebih jelas wujud dari musuh mereka sebelum kemudian memutuskan strategi apa yang harus diambil untuk mengalahkan musuh itu.

Khar dan Sevgil akan tetap berada dalam penyamarannya di lokasi, dan jika mereka bilang Kaum Bawah Tanah itu melakukan penyisiran kepada manusia-manusia dengan tubuh kuat untuk diculik, semoga saja mereka tidak menyadari perbedaan Khar dan Sevgil dengan manusia sehingga tanpa sadar membawa Khar dan Sevgil ke markas mereka tanpa ketahuan. Itulah yang diharapkan oleh Aslan supaya terjadi, karena dengan begitu Khar dan Sevgil bisa menyusup dari dalam dan mendapatkan informasi sebanyak mungkin.

Sayangnya, jika Kaum Bawah Tanah itu melakukan pemeriksaan secara teliti, sudah pasti Khar dan Sevgil akan ketahuan bahwa mereka bukanlah manusia. Dari kulit mereka yang lebih keras dari kaum manusia saja sudah pasti mereka akan terpindai sebagai Bangsa Zodijak. Jika itu yang terjadi, tidak ada cara lain selain Aslan yang datang membawa pasukan dan mengawasi diam-diam, terpaksa meringkus mereka semua, kali ini dalam kondisi sehat dan hidup, bisa berbicara dan tak seperti Vladimir yang dia bawa dalam keadaan koma sehingga menyulitkan Yesil mendapatkan informasi.

Cara apapun yang akan mereka tempuh nanti, yang pasti mereka harus berhasil mendapatkan informasi penting mengenai siapakah musuh mereka itu, siapakah Kaum Bawah Tanah itu dan kekuatan seperti apa yang menggerakkan mereka.

Mereka harus mengenali musuh mereka terlebih dahulu sebelum kemudian menemukan kelemahannya.

Aslan memikirkan itu semua sambil berganti pakaian dengan cepat, mengganti pakaian santainya dengan pakaian khusus Zodijak yang digunakan untuk berperang.  Setelah selesai, dia lalu membalikkan badan dan mau tak mau mata kelamnya terpaku ke arah Mischa yang begitu lelapnya di atas ranjang hingga tidak menyadari kehadiran Aslan.

Seolah tertarik oleh magnet, Aslan melangkah mendekat, tubuhnya berhenti ketika kakinya menyentuh pinggiran ranjang untuk kemudian duduk di tepi ranjang, dekat sekali dengan tubuh Mischa yang terbaring di sana.

Bibir MIscha sedikit terbuka sementara matanya terpejam rapat dengan bulu mata tebal nan panjang membingkai kelopaknya nan terkatup. Aslan mau tak mau melirik ke keseluruhan tubuh Mischa yang sudah tampak berisi meski masih belum cukup bagi Aslan. Matanya lalu terpaku ke perut Mischa dan pemikiran bahwa perut yang sebegitu mungil akan menampung lebih dari satu bayi Zodijak yang sangat kuat dan berukuran besar ketika dilahirkan, membuat Aslan mengerutkan keningnya.

Akankah Mischa selamat melahirkan anakknya, ataukah bayi itu akan membunuh manusia perempuan ini bahkan sebelum sempat dilahirkan ke dunia? Atau jangan-jangan mereka akan sama-sama tewas akibat kehamilan yang tak biasa ini?

Perkataan Mischa ketika histeris tadi terngiang-ngiang di kepala Aslan, bagaikan adegan berulang yang terus menerus diputar tanpa henti.

Pembunuh! Pembunuh! Aku menyesal bertemu denganmu!

Mata Aslan menyipit dan memerhatikan Mischa dengan lebih seksama, termenung cukup lama, sibuk dengan pemikirannya sendiri.

Lalu setelah rentang waktu yang dihabiskan dalam keheningan itu berlalu, Aslan mengerjapkan mata seolah tersadar, tahu bahwa dia harus segera memimpin pasukannya menuju padang gurun tempat Khar dan Sevgil berada.

Dan didorong oleh keinginan impulsif yang entah karena apa, Aslan menundukkan kepala lalu mencium sisi pipi Mischa, yang dekat dengan bibir ranumnya,  membuat perempuan itu mendesah dan menggeliat pelan.

Bibir Aslan bergeser, mengecupi sisi kulit Mischa yang lembut untuk kemudian berakhir di telinga Mischa sebelum kemudian berbisik pelan.

“Aku tak pernah menyesalimu, kucing kecil.”

Bersambung ke Part Berikutnya

Baca Parts Lainnya Klik Di sini

KONTEN PREMIUM PSA


 

Semua E-book bisa dibaca OFFLINE via Google Playbook juga memiliki tambahan parts bonus khusus yang tidak diterbitkan di web. Support web dan Authors PSA dengan membeli E-book resmi hanya di Google Play. Silakan tap/klik cover E-book di bawah ini.

Download dan install PSA App terbaru di Google PlayWelcome To PSAFolow instagram PSA di @projectsairaakira

735 Komentar

  1. Lusy Fitriyani menulis:

    Mischa jgn mau disamain sama kucing kecil,udh gitu hamil anaknya banyak kayak kucing ,waduuh siapa ga shock mischa hamil sampai histeris,aslan ga ada lembut2nya sih ga bisa ngambil hati mischa :larikarenamalu :gabut :REBAHANDULU

  2. PujiAstuti7 menulis:

    :luculuculucuih

  3. yuk bisa yuk akur udah ada debay tu diperut

  4. Arum Anggi Astuti menulis:

    Kpn akurnya ini.

  5. Ngak move on

  6. That kucing kecil :haisalamkenal

  7. Cornelia Agustin menulis:

    Aslan mulai bucin

  8. Ngulang lgi kitaa

  9. Dera Puspita Dewi menulis:

    :lovelove

  10. Mulai tercium perbucinan

  11. selamat pagi :lovelove

  12. Hmmmm morningggg :lovelove

  13. Nyonya Akram Night menulis:

    :ohyeaaaaaaaaah! Otw bucin

  14. Dahlah aslan, bucin mah ngaku aja :backstab

  15. Yeah

  16. Kok ngeri ya ngebayangin mischa hamil anaknya banyak :ohyeaaaaaaaaah!