Time Slip Princess

29 Juli 2018 in Vitamins Blog

Time Slipp Princess

Sebuah kecelakaan membuat Dongmei, seorang wanita anggota pasukan khusus anti teror terlempar ke beberapa ribu tahun yang lalu. Parahnya, jiwanya kini bersemayam pada tubuh seorang putri. Sikap Dongmei yang keras dan kasar membuat gempar seisi istana. Bagaimana tidak? Putri Meifeng yang mereka kenal selama ini sangat penurut, pendiam, dan sering menjadi bulan-bulanan anggota kerajaan lainnya.

Konflik semakin hebat setelah ingatan sang putri perlahan kembali, membuat Dongmei marah atas sikap orang-orang kerajaan pada Meifeng selama ini. Ia menantang bertarung kakak kandungnya, menentang keinginan raja, dan puncaknya Dongmei melarikan diri dari kerajaan. Sebuah perjalanan yang akan mempertemukannya dengan seorang pria yang akan mengubah kehidupannya.

***

Asap putih pekat dan hawa panas yang berasal dari lantai dasar gedung membuat Dongmei bergerak semakin cepat. Dia dan anggotanya tidak memiliki banyak waktu lagi. Mereka harus segera mengeluarkan anak-anak korban penculikan yang disekap di ruang bawah tanah. Suara krak terdengar saat sepatu PDL Dongmei menginjak kayu rapuh di bawahnya. Dia langsung memberikan isyarat tangan, meminta keempat anak buah yang berjalan di belakangnya untuk berhati-hati.

Wanita berusia dua puluh lima tahun itu menghentikan langkahnya. Hawa panas dari balik pintu besi itu memberinya sebuah peringatan. Sumber api pasti berasal dari balik ruangan itu, pikirnya. Dongmei kembali memberikan perintah tanpa kata, dia menggunakan isyarat pada anak buahnya untuk bergerak lebih cepat.

Sebagai anggota intelijen negara, Dongmei sudah terbiasa menghadapi situasi seperti ini. Namun, yang membedakannya kali ini; ada puluhan nyawa anak-anak tidak berdosa yang tengah dipertaruhkan. Anak-anak itu diculik dari beberapa wilayah, disekap untuk kemudian diperjualbelikan organ bagian dalamnya di pasar gelap.

Besarnya peminat untuk organ dalam manusia di pasar gelap membuat bisnis kotor ini berkembang pesat, dan anak-anak tidak berdosa pun menjadi korbannya. Dongmei sudah muak, kemarahannya hanya bisa ditelannya bulat-bulat saat pihak kepolisian menemukan jasad-jasad tanpa organ dalam itu mengambang di sungai, atau dibuang di semak belukar. Sudah cukup, batinnya. Ia akan memastikan tidak ada anak-anak yang menjadi korban kekejian manusia-manusia tidak bernurani itu.

Butuh waktu sekitar lima menit hingga kelimanya berhasil menemukan pintu menuju ruang bawah tanah. Ruangan itu sangat minim cahaya. Dongmei bergegas turun tanpa menurunkan kewaspadaannya. Suara rintihan minta tolong terdengar dari ujung ruangan. Di depan mereka ada tiga ruangan yang masing-masing dikunci dari luar.

Dongmei memerintahkan anak buahnya untuk membuka paksa ruangan-ruangan itu, dan benar saja dalam masing-masing ruangan berukuran tiga kali tiga meter itu ada lima hingga enam anak berusia enam hingga sepuluh tahun disekap. Kondisi mereka terlihat sangat mengenaskan. Mereka dipaksa makan, tidur, buang air kecil dan besar di tempat itu.

Dongmei dan keempat anak buahnya memisahkan anak-anak yang masih cukup kuat untuk berjalan, sementara anak-anak yang lemah mereka bawa di atas punggung. Mereka kembali bergerak setelah memastikan semua korban berhasil dievakuasi.  Suara ledakan dari lantai dasar bukan pertanda bagus. Dongmei berusaha bersikap tenang, dengan penuh kehati-hatian dia berjalan menerobos kepulan asap putih yang semakin pekat.

Rasanya sangat sulit berjalan dengan kondisi seperti ini. Masker oksigen yang mereka gunakan sebelumnya diberikan pada anak-anak untuk digunakan secara bergantian. Dongmei merasa dadanya seperti terbakar. Rasanya seperti akan mati, pikirnya.

“Bergerak lebih cepat!” teriak wanita itu saat merasakan hawa panas dari belakang punggungnya. Dongmei mempercepat langkah. Bukan hal mudah untuk bergerak dengan satu orang anak berusia lima tahun di punggung, dan dua anak berusia sama di gendongannya.

Ledakan kembali terdengar dari balik pintu besi yang tertutup rapat. Hanya sedikit lagi, pikirnya. Mereka hanya perlu melewati ruangan kosong yang dipenuhi asap itu untuk keluar dari bangunan terkutuk ini. Di luar, suara sirine polisi dan ambulans menyaru, menyambut indra pendengaran saat Dongmei keluar dari gedung tua berlantai empat itu.

Ia baru saja melepas napas yang sedari tadi ditahannya saat terdengar suara seorang anak berteriak, “Lili!” teriak anak perempuan berusia sepuluh tahun itu. Dia mendongak, menatap Dongmei, “Dia terlepas dari genggamanku.” Tanpa berpikir dua kali Dongmei berbalik dan berlari. Mengabaikan teriakan atasan dan petugas pemadam kebakaran dia merangsak masuk ke dalam gedung yang dilalap api itu.

“Lili?” teriaknya saat berada di lantai satu. Dongmei melihat ke sekeliling, asap pekat membuat pandangannya mengabur. “Lili?” Ia kembali berteriak. Lebih keras kali ini. Tenggorokannya terasa terbakar, Dongmei terbatuk hebat. Namun, Tuhan menolongnya. Tubuh gadis kecil itu tergeletak tidak jauh dari tempatnya berdiri saat ini. Api yang menyala-nyala membantu penglihatannya.

Dongmei mengumpat saat indra penglihatannya menatap puluhan tabung gas berjejer tidak jauh dari tubuh Lili tergeletak tak sadarkan diri. mereka harus keluar dari tempat ini secepatnya. Dengan gerakan cepat ia membawa tubuh gadis kecil itu ke dalam gendongannya. Sekuat tenaga Dongmei berlari, menembus kepulan asap putih yang menghadangnya. Sedikit lagi, hanya sedikit lagi dan ledakan besar itu pun terjadi. Memekakan indra pendengarannya. Melempar tubuhnya dan tubuh gadi kecil dalam gendongannya, dan ia pun jatuh ke dalam kegelapan yang sangat pekat setelahnya.

Gelap dan kosong. Dongmei berusaha mengambil napas dengan rakus. Kegelapan pekat itu seolah menelannya, menarik semua pasokan udara dalam paru-parunya hingga ia terengah. Kedua matanya terbuka, tubuhnya tersentak. Ia terduduk, keringat membanjiri dahi dan punggungnya, namun, Dongmei masih belum sadar di mana dia berada saat ini.

Aroma bunga mawar yang menyelimuti ruangan tidak berhasil menariknya ke dunia nyata. Napasnya masih terengah. Dongmei bahkan tidak sadar jika rambut pendeknya kini tergerai panjang, hitam dan mengkilap.

“Tuan putri sudah siuman. Tuan putri sudah siuman.”

Dongmei mengabaikan teriakan penuh kegembiraan itu. Dipejamkan kedua matanya erat. Rasa sakit di kepalanya membuat wanita itu ingin membenturkan kepalanya. Dongmei meringis saat tangannya menyentuh pelipis yang ditutup oleh kain kasa. Rasa sakit lain menyerangnya. Mungkin kepalanya terluka akibat ledakan itu, pikirnya, tidak ambil pusing.

Dengan gerakan pelan dia mengubah posisinya hingga duduk. Setelah merasa lebih kuat Dongmei memutuskan untuk turun dari atas ranjang dan berjalan menuju jendela kamar yang terbuka. Suara keributan di belakang punggungnya tidak menarik perhatian wanita itu. Saat ini Dongmei terlalu sibuk mencari tahu di mana dia berada sekarang?

“Tabib, periksa keadaannya!” Ucapan bernada perintah itu mengusiknya. Dalam satu gerakan Dongmei membalikkan tubuh hanya untuk mendapati orang-orang dengan pakaian sangat aneh. Tatapannya beralih pada seorang pria berjanggut panjang yang berjalan ke arahnya dengan sikap sangat sopan.

Dongmei menepis tangan pria tua yang berusaha meraih pergelangan tangannya. “Jangan menyentuhku!” kalimat itu diucapkan dengan nada dingin hingga membuat orang-orang yang berdiri di depannya terlihat terkejut. Ia menyipitkan kedua matanya saat bertanya, “Siapa kalian?”

“Jangan bercanda!” seorang pria berusia sekitar dua puluh tahunan berjalan ke depan. Dia berdiri di sisi seorang pria paruh baya dengan pakaian paling mencolok dengan warna emas dan mahkota yang berada di kepalanya. “Perbuatanmu membuat seisi istana panik,” sambungnya saat wanita yang diajak bicara tidak menanggapi ucapannya.

“Seisi istana?” beo Dongmei. Ia memiringkan kepala ke satu sisi. Rambut hitam panjangnya tergerai hingga melewati pantat, begitu kontras dengan pakaian tidur berwarna putih yang dikenakannya. Sekali lagi ia mengamati penampilan orang-orang yang balas menatapnya dengan tatapan aneh. Jijik? Entahlah. Kenapa ia merasa beberapa orang itu menatapnya dengan jijik?

Dongmei mendesah. Mungkin dia sedang bermimpi saat ini. Ah, yang diperlukannya sekarang hanya kembali tidur, dan semua akan kembali normal. Sial, sakit kepala itu kembali datang membuatnya mengumpat pelan dalam bahasa Inggris. Dia perlu aspirin, atau beberapa botol bir dan ayam pedas sebagai obatnya.

Ia mendesah keras. “Sebaiknya kalian semua pergi. aku ingin sendiri,” ujarnya membuat pria muda tadi merah padam. Dengan langkah cepat pria itu berjalan ke arah Dongmei. Merasa terancam, Dongmei menepis tangan pria muda itu yang jelas hendak mencekiknya. Tanpa kesulitan berarti ia memelintir tangan pria itu, menendang bagian belakang kakinya hingga membuat penyerangnya jatuh berlutut dan meringis kesakitan.

“Meifeng!” teriakan raja membuat suasana menjadi mencekam. “Apa yang kaulakukan pada saudaramu?”

Dongmei menaikkan satu alisnya. Meifeng? Siapa Meifeng? Tanyanya dalam hati. Namun, ia tidak mengatakan apa pun atau berniat melepas pria muda dalam kurungan tangannya. “Apa kau tidak melihat jika dia berniat mencekikku tadi?”

“Omong kosong!” bentak raja. Telunjuknya teracung tinggi. “Berani sekali kau bersikap tidak hormat pada ayahmu!” sambungnya, masih dengan nada marah yang sama. “Prajurit!” panggilannya menggema, membuat permaisuri, beberapa selir dan pangeran menyingkir sementara empat orang prajurit datang ke dalam kamar lalu bersujud dengan satu kaki, siap menerima perintah raja. “Seret Putri Meifeng dan cambuk dua puluh kali!”

Dongmei mendengkus. Ia melepas pria muda di dalam kurungannya. Suara isakan seorang wanita muda menarik perhatiannya. Lewat ujung matanya ia melihat bagaimana tubuh wanita muda itu bergetar, mungkin karena takut. Tuhan, kejadian ini terlalu nyata untuk disebut mimpi, pikirnya.

Ia kembali mendesah, lebih keras kali ini. Dongmei memindai ruangan tempatnya berada. Akan sulit untuknya melarikan diri jika bertarung di tempat ini. Ia tersenyum tipis lalu mengibaskan ujung lengan bajunya. “Pukul ya pukul. Aku sama sekali tidak takut,” oloknya membuat wajah raja memerah, menahan arah.

Dongmei mengangkat kedua tangannya saat dua orang prajurit berusaha untuk menarik lengan atasnya dan menyeretnya keluar ruangan. “Aku bisa berjalan sendiri,” desisnya. Tanpa banyak bicara Dongmei berjalan keluar ruangan, sementara empat orang prajurit mengikuti langkahnya di belakang.

“Cambuk!” Perintah itu kembali diucapkan dengan sangat lantang. Dongmei hanya tersenyum, dan saat dua orang prajurit berusaha membuatnya berlutut, dia langsung berputar, tanpa kesulitan berarti Dongmei berhasil merebut pedang salah satu prajurit itu. “Meifeng!” teriakan raja tidak membuat Dongmei gentar, sebaliknya dia merasa tertantang. “Tangkap dan kurung dia!”

Serangan itu datang dengan cepat. Dongmei bersyukur karena selain memiliki ilmu bela diri tinggi, dia pun memiliki fisik sangat kuat. Seharusnya empat orang prajurit ini bukan tandingan sepadan untuknya. Keraguan prajurit-prajurit itu membuat Dongmei memiliki kesempatan lebih besar untuk menang, namun, sayangnya tiga orang pangeran memutuskan untuk ikut campur dalam perkelahian itu.

“Sejak kapan kau bisa bela diri?” tanya seorang pangeran yang berusia paling muda. Ia menekuk keningnya dalam, terlihat heran dengan perubahan mendadak saudari satu ayahnya itu. Bagaimana bisa seorang putri lemah mendadak bisa bela diri hanya dalam kurun waktu tiga malam? Apa mungkin selama ini Meifeng berpura-pura lemah? Tanyanya dalam hati.

Dongmei mendengkus. “Sejak kau belajar merangkak,” jawabnya, ketus. Wanita itu tersenyum puas saat berhasil melumpuhkan seorang penyerang yang tidak lain Pangeran Kelima Kerajaan Bai Yun. Dalam satu gerakan gesit dia berhasil meloncati benteng Paviliun Burung Hong, lalu meloncat turun dan berlari melewati lorong dan taman istana dengan puluhan prajurit yang telah diperintahkan untuk meringkusnya.

Keringat dan rasa lelah diabaikan wanita itu. Kakinya yang tak beralas mulai terluka oleh kerikit-kerikil kecil yang tidak sengaja diinjaknya. Sial, kenapa prajurit-prajurit itu bertambah banyak? Batinnya.

“Kau pikir apa yang sedang kaulakukan?” Pertanyaan bernada marah itu menghentikan langkah wanita itu.  Pangeran Liwei berjalan menuruni tangga, menatap adik kandungnya dengan ekspresi sulit ditebak. “Berhenti berbuat onar dan kembali ke paviliunmu!”

Dongmei tidak menjawab. Napasnya putus-putus, dadanya turun naik dengan cepat. Haus dan lelah menyerangnya secara bersamaan. Puluhan pasang mata kini menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu. Di mana dia sekarang?

“Meifeng!” Liwei kembali membentak. Amarahnya tersulut karena Meifeng mengacuhkannya. Pria itu mengepalkan kedua tangannya, berjalan semakin cepat menuju Dongmei tepat saat wanita itu melihat seorang prajurit menarik tali kekang dua ekor kuda.

Pergerakan Dongmei yang kembali berlari cepat mengagetkan Liwei. Terlebih saat wanita itu merebut paksa seekor kuda dari tangan seorang prajurit lalu meloncat ke atas punggung hewan itu tanpa kesulitan berarti. Dongmei tersenyum sinis, dia memberi gerakan hormat pada Liwei sebelum menarik tali kekangnya.

“Hentikan, Meifeng atau aku akan memenggal semua hamba sahayamu!”

Gerakan Dongmei terhenti seketika. Dia mengangkat wajahnya, mencari sumber suara bernada perintah itu berasal. Di atas tangga tertinggi pelataran, sang raja berdiri, terlihat begitu bengis dan keji. Tuhan, dalam mimpi pun dia tidak bisa memiliki ayah yang diidamkannya. Dasar nasib, batinnya.

“Turun ya turun,” tantang Dongmei. Ia berdecak, mendelik saat seorang prajurit berjalan ke arahnya. “Sebenarnya apa yang kalian inginkan dariku?” Ia bertanya dengan dagu terangkat tinggi. Tangannya kembali meninju seorang prajurit yang diperintahkan untuk meringkusnya. “Berhenti menyentuhku, aku bisa membunuh kalian dengan mudah,” desisnya, penuh ancaman.

Sang raja mengeraskan rahang melihat perilaku tidak sopan putrinya. Sungguh, ia sama sekali tidak tahu jika Meifeng sangat liar dan kurang ajar. “Tangkap dan kurung dia di paviliunnya!” perintahnya, tak terbantahkan. “Jangan melawanku, Meifeng, atau semua hamba sahayamu akan mati,” desisnya membuat Dongmei untuk pertama kalinya tidak bisa berkutik.

.

.

.

Dongmei berjalan, menyeret gaun tidurnya yang menyapu tanah. Ekspresi datarnya membuat orang-orang sulit menebak apa yang ada dalam pikiran wanita itu. Tanpa banyak bicara dia berlutut sementara mata hitamnya yang tajam menatap orang-orang yang berdiri di hadapannya.

Ini hanya mimpi, pikirnya. Dalam mimpi, dua puluh cambukan tidak akan terasa sakit, kan? Dongmei menertawakan dirinya sendiri. Ah, sebaiknya dia ikut dalam permainan ini. Mungkin hanya dengan cara itu dia bisa terbangun dan kembali ke alam nyata. Suara keras cambukan terdengar keras saat mendarat di punggungnya.

Dongmei langsung meloncat, menangkap tali pecut yang siap kembali mendarat di punggungnya. Brengsek, rasa sakitnya terasa sangat nyata. Wanita itu meringis, giginya gemeretak sementara satu tangannya yang bebas menyentuh bagian punggung yang terkena pecut tadi. “Berani memecutku lagi kupatahkan kedua tanganmu!” ancamnya membuat prajurit itu mundur satu langkah.

“Yang Mulia, Putri Meifeng sangat kurang ajar,” kata permaisuri.  Tangannya yang memegang sapu tangan diletakkan di depan mulut, kedua matanya lekat menatap Dongmei yang tengah menyebar ancaman dengan desisannya. Permaisuri melirik pada raja yang masih terdiam. “Anda harus melakukan sesuatu,” sambungnya.

Raja tidak mengatakan apa pun. Dengan isyarat tangan dia meminta seorang tabib istana untuk mendekat. “Kenapa Meifeng menjadi seperti itu?” tanyanya, tanpa ekspresi.

Sang tabib memberi hormat sebelum menjawab, “Lapor, Yang Mulia. Sepertinya benturan keras pada kepala Putri Meifeng membuat pikirannya terganggu,” terangnya. “Maksud hamba ….”

“Maksudmu Putri Meifeng gila?” desis raja. Sang raja menyipitkan kedua matanya. Kedua tangannya terkepal erat. Perilaku tidak biasa Meifeng membuat perasaannya sedikit gundah. Walau bagaimanapun Meifeng juga putrinya, darah dagingnya. Mendengar tabib mengatakan putrinya gila membuat darah raja mendidih.

“Hentikan!” teriaknya, kemudian. Dongmei mendongakkan wajah, dagunya diangkat tinggi. Tanpa ragu dia menatap lurus sang raja yang berdiri penuh keagungan di tangga tertinggi. “Bawa Putri Meifeng kembali ke paviliunnya!” tukasnya kemudian.

Raja pun berbalik. Ia memutuskan untuk melepaskan Meifeng dari hukuman kali ini. Raja mungkin bukan ayah yang baik, tapi rasa sayang untuk putrinya itu ternyata masih ada. “Periksa kondisi Putri Meifeng,” kata raja pada tabib istana. “Laporkan kondisinya padaku malam ini juga!” perintahnya tegas sebelum berjalan pergi.

Empat orang dayang wanita berjalan dengan kepala menunduk menuju tempat Dongmei. Dengan penuh hormat mereka mengulurkan tangan untuk membantu tuan putri mereka berjalan, tapi dengan tegas Dongmei menolak uluran tangan itu, dan sang putri pun kembali ke kediamannya, meninggalkan desas-desus mengenai keanehan perilakunya di belakang punggung.

.

.

.

Sang tabib bergegas menuju ruang kerja raja setelah selesai memeriksa Meifeng. Seorang prajurit penjaga melaporkan kedatangannya pada kepala kasim yang bertugas melayani semua keperluan raja. Kasim tua berjalan tergopoh-gopoh. Tubuhnya sudah membungkuk oleh usia, namun, kedua matanya masih terlihat sangat tajam.

“Yang Mulia, tabib istana datang untuk melapor,” kata Kasim Cao penuh hormat. Ia berdiri di depan meja kerja raja, kepalanya menunduk dalam. Kepala kasim membungkuk hormat saat raja memberi isyarat untuk mengizinkan tabib istana masuk. Kasim berjalan cepat menuju pintu ruang kerja yang tertutup, membukanya untuk mempersilahkan tabib istana masuk.

Raja Bai meletakkan perkamen yang tengah dibacanya saat tabib istana masuk ke dalam ruang kerjanya. Ia melambaikan tangan, meminta tabib untuk memulai laporannya.

“Lapor, Yang Mulia, hamba sudah memerika kondisi Putri Meifeng, dengan sangat menyesal hamba harus melaporkan jika tuan putri kehilangan ingatannya,” lapor tabib dalam satu tarikan napas. “Tuan putri bahkan tidak mengingat namanya sendiri,” sambungnya.

Keheningan menggantung di dalam ruangan itu untuk beberapa saat. Raja bertopang dagu, berusaha mencerna ucapan tabib istana. “Kenapa sikapnya sangat berubah?” tanyanya kemudian. Raja Bai berdiri, berjalan memutari meja kerjanya sembari berpunggung tangan.

Ia menjeda untuk menarik napas panjang. Raja Bai berdiri di depan jendela yang terbuka. Tatapannya menerawang jauh. “Dia seperti bukan Meifeng,” tukasnya. Raja berbalik cepat, “Bagaimana jika dia menyamar sebagai Meifeng?”

Tabib istana mengangkat kedua tangannya di depan dada sebelum menjawab, “Lapor Yang Mulia, hamba rasa benturan keras pada kepala putri memunculkan sisi lain dari Putri Meifeng yang selama ini tertidur.”

“Apa maksudmu?”

“Selama ini kita tahu jika Putri Meifeng sangat menyukai membaca buku-buku ilmu bela diri—”

“Maksudmu Meifeng yang ada saat ini adalah Meifeng yang lain?” potong raja cepat. Raja Bai mendesah keras saat tabib istana menganggukkan kepala. “Aku seperti tidak mengenalnya,” kata raja, kemudian. Raja kembali terdiam sejenak. “Dia bahkan berani menatap kedua mataku,” sambungnya, “aku tidak melihat kelembutan di kedua matanya. Tidak ada. Meifeng yang kukenal tidak ada dalam dirinya.”

Tabib istana tidak langsung menjawab. Kegelisahan raja bisa dimengertinya. “Ampun, Yang Mulia, bukankah hilangnya ingatan Putri Meifeng patut disyukuri?”

“Apa maksudmu?” bentak raja. Tabib istana dan kasim langsung jatuh bersujud. Nada marah yang terselip dalam suara raja bukan main-main.

“Yang Mulia, mohon ampuni kelancangan hamba,” tukas tabib istana. “Namun, dengan hilangnya ingatan, Putri Meifeng bisa memulai hidup baru dan meninggalkan masa lalu di belakang,” sambungnya. Suaranya terdengar serak dan bergetar karena takut. Kepalanya bisa melayang jika raja murka karena tersinggung oleh ucapannya. Tabib Cao terdiam untuk meredakan debaran jantungnya yang menggila oleh rasa takut. Dia menarik napas sepelan mungkin, berusaha tidak membuat suara yang bisa mengundang amarah raja.

Raja Bai kembali mendudukkan diri. Ekspresinya terlihat sangat serius. Ia mengetuk-ngetukkan jarinya ke atas meja teh, keningnya ditekuk dalam. “Kau benar,” ujarnya kemudian, “Meifeng memiliki hak untuk memulai hidupnya kembali,” sambungnya. Tatapannya kembali menerawang. “Aku akan memberi kebebasan pada Meifeng untuk melakukan apa pun yang diinginkannya.”

Ia kembali terdiam. Tatapannya beralih pada kepala kasim yang sejak tadi tidak mengatakan apa pun. “Kasim Kang, antar obat-obatan, perhiasan, makanan dan pakaian ke Paviliun Teratai Salju, dan laporkan kegiatan Meifeng padaku!”

“Hamba menerima perintah,” jawab Kasim Kang. Kasim tua menyembunyikan senyuman. Dalam hati dia bersyukur pada Tian karena raja mulai membuka hatinya untuk Meifeng. Bagaimanapun raja tetap seorang ayah. Hatinya pasti tergerak setelah Meifeng nyaris mati karena bunuh diri, batin Tabib Cao.

.

.

.

Dongmei memicingkan mata. Sedikit terganggu oleh besarnya perhatian dayang yang ditujukan padanya. Ia bahkan harus membentak agar dayang-dayang itu meninggalkannya seorang diri saat mandi. Dan sekarang, seolah belum cukup, para dayang itu membantunya berpakaian dan merias wajah serta menyanggul rambut panjangnya.

“Apa memang harus seperti ini?” tanyanya, memutus keheningan yang menggantung di dalam kamarnya. Ia melirik seorang dayang yang sejak tadi malam enggan beranjak dari kamar tidurnya. “Siapa namamu?” pertanyaan itu dilontarkan dengan nada dingin hingga membuat dayang itu tersentak lalu bersujud.

“Hamba Tao tao, Tuan Putri,” jawab dayang muda itu. Tubuhnya bergetar. Dongmei memutar kedua bola matanya lalu mengibaskan tangan, meminta empat orang dayang lain untuk pergi dari kamarnya.

“Sudah berapa lama kau bekerja untukku?”

Tao tao menekuk keningnya dalam. Ia masih bersujud walau nada bicaranya terdengar lebih tenang saat menjawab, “Maksud Anda berapa lama hamba melayani Anda?” Tao tao balik bertanya.

“Hm ….”

“Sudah dua tahun hamba melayani Anda, Tuan Putri,” jawab Tao tao. Dia mengangkat tubuhnya setelah Meifeng memerintahkannya untuk berdiri. Tao tao terdiam, dia mengamati gerakan Meifeng dari balik bulu mata lentiknya. Dayang berusia delapan belas tahun itu meremat gaunnya yang berwarna hijau muda, menunggu tuannya untuk kembali bicara.

“Kalau begitu seharusnya kau tahu apa saja yang terjadi di istana ini,” kata Dongmei, datar. Ditatapnya Tao tao tanpa ekspresi. “Aku ingin kau menjawab semua pertanyaan yang kuajukan padamu. Apa kau mengerti?”

“Hamba mengerti, Tuan Putri,” jawab Tao tao, penuh hormat.

Dongmei menggebrak meja, semangat. “Bagus,” pekiknya. “Sekarang temani aku jalan-jalan!”

“Ah?”

“Apa maksudmu dengan ‘ah’?” decak Dongmei. “Aku bosan terus terkurung di tempat ini,” ujarnya, beralasan. “Kenapa? Apa ada yang salah?” Ia memicingkan mata saat Tao tao menggelengkan kepala. “Apa yang kausembunyikan?”

“Hamba tidak berani, Tuan Putri. Hamba tidak berani.”

Dongmei menghela napas keras. Dia kesal karena Tao tao terus bersujud dan memohon ampun padanya. “Bangun! Jangan membuatku kesal,” tukasnya, dingin. Ia berdiri dalam satu gerakan cepat.

Tao tao membeku di tempat. Rasa takut dan cemas menyatu dalam dirinya. Tuannya sangat berbeda. Ia tidak mengenal Meifeng yang berdiri di hadapannya saat ini.

Dengan gerakan tenang Dongmei menepuk-nepuk gaun sutranya yang berwarna biru langit. Ia menatap lekat Tao tao saat berkata, “Jangan terus meminta ampun padaku, kau membuat telingaku sakit.”

.

.

.

Dongmei berjalan dengan Tao tao yang mengikutinya di belakang. Sesekali ia menendang kosong saat Tao tao menceritakan apa saja yang terjadi di istana selama ini. Wanita itu tidak menampakkan emosi apa pun di wajahnya. Dia terus berjalan, berpunggung tangan, mengabaikan indahnya taman istana yang dilewatinya.

Pada akhirnya ia harus menerima kenyataan tidak masuk akal yang dialaminya saat ini. Benar. Memang sangat tidak masuk akal. Bagaimana bisa dia terlempar ke masa lalu? Terlempar ke dimensi lain dimana sebuah kerajaan kuno berdiri dengan segala kemegahan dan peraturan yang mengerikan.

Dongmei merinding. Ia memeluk tubuhnya sendiri. Kepalanya bisa melayang kapan saja di tempat ini, dan melihat bagaimana perilaku orang-orang istana terhadap Meifeing membuat Dongmei sadar jika tubuh putri yang didiaminya saat ini bukan anggota kerajaan yang populer.

Pasti akan sangat sulit untuk bertahan di tempat ini, pikirnya. Dongmei menghela napas berat, ia memicingkan mata saat netranya menangkap rombongan keluarga kerajaan yang berjalan ke arahnya. “Siapa dia?” tanyanya pada Tao tao. Melihat cara berpakaian wanita muda yang berjalan ke arahnya itu membuat Dongmei yakin jika wanita itu berasal dari keluarga kerajaan, atau keluarga bangsawan terpandang.

“Lapor, Tuan Putri itu Putri Han. Beliau putri kedua dari Selir Kesepuluh—Selir Xi,” terang Tao tao.

Dongmei mengangguk kecil sembari mencebikkan bibirnya pelan. Kalau begitu statusku lebih tinggi dari putri kecil itu, pikirnya, praktis. Namun, betapa terkejutnya Dongmei saat rombongan itu berjalan melewatinya begitu saja. Putri berusia lima belas tahun itu bahkan tidak melirik ke arahnya.

“Tunggu!” ujar Dongmei. Suaranya terdengar sangat dingin hingga membuat rombongan Putri Han menghentikan perjalanan mereka. Dengan dagu diangkat tinggi Dongmei berjalan ke depan Han, diamatinya sang putri dari ujung kaki hingga ujung kepala. Ia berjalan memutarinya, lalu mengarahkan perhatiannya pada sepuluh orang dayang yang menemani perjalanan Han.

Dongmei menyipitkan mata. “Berani sekali kalian tidak memberikan salam hormat padaku,” desisnya penuh penekanan. Ancaman yang terselip dalam suaranya membuat kesepuluh dayang itu saling melempar tatapan. “Kalian mau mati?” tanya Dongmei masih dengan nada dingin dan mengancam yang sama.

Kesembilan dayang langsung berlutut dan memohon ampun. “Ampuni kami, Putri. Kami bersalah,” ujar mereka kompak. Namun, Dongmei bergeming. Perhatiannya kini tertuju pada Putri Han yang menatapnya penuh benci.

“Kenapa kau tidak memberiku salam?” tanya Dongmei. Keangkuhan dan wibawanya membuat Han merasa terpojok. “Kau putri dari selir kesepuluh, berani sekali kau bersikap tidak sopan padaku,” ujar Dongmei. Ia mengangkat dagu Han dengan telunjuknya. “Usiaku lebih tua darimu, dan statusku lebih tinggi darimu. Berani sekali kau bersikap tidak hormat padaku!”

“Jangan mengganggu Tuan Putri Han!” ujar seorang dayang yang enggan berlutut. Dia menepis tangan Dongmei dengan kasar. Dagunya diangkat tinggi. Sikap menantangnya membuat Dongmei tertawa. “Berani sekali putri buangan sepertimu menyentuh tuanku.”

Dongmei mengambil satu langkah ke depan. Dia mencengkram dagu dayang berusia dua puluh lima tahun itu. Satu alisnya diangkat tinggi, kepalanya dimirinkan ke satu sisis. “Kau membentakku?” gumamnya, setengah berbisik. “Seorang dayang berani membentak seorang putri?” desisnya. Aura gelap Dongmei membuat tubuh dayang itu bergetar ketakutan.

Ia kembali tertawa. Terdengar sangat renyah tapi begitu menakutkan. “Apa kau mau mati?” bisiknya di telinga dayang itu, sementara Putri Han mulai menangis ketakutan.

“Apa yang kaulakukan?” Suara Pangeran Liwei membuat Dongmei melepaskan cengkramannya. Wanita itu mendengkus, lalu melirik lewat bahunya. Di belakangnya putra mahkota berjalan tergesa, bersama seorang jenderal muda dan dua orang pangeran yang pernah dilihat Dongmei sebelumnya. “Apa yang kaulakukan pada Han?” tanya Liwei, mendesak.

“Aku hanya memberinya peringatan,” jawab Dongmei tenang. Tatapan tajamnya terarah lekat pada Liwei. “Putri Han tidak memberi salam saat berpapasan denganku. Apa menurutmu itu pantas?”

“Sejak kapan kau meminta dihormati?” sambar Pangeran Liang. Pangeran kelima belas memiliki perawakan semampai, wajahnya sangat tampan. Tahun ini usianya sembilan belas tahun.

Dongmei bisa menangkap nada kesal yang terselip dalam suara Liang. “Siapa kau?” Ia balik bertanya. Nada dingin dan tidak bersahabat Dongmei membuat Liang terkejut. “Berapa usiamu?”

“Aku Liang, Pangeran Kelimabelas Kerajaan Bai Yun. Putra pertama dari selir keempat,” terangnya.

“Itu berarti usiaku lebih tua darimu dan kedudukanku pun lebih tinggi darimu mengingat aku putri dari permaisuri terdahulu,” ujar Dongmei tenang. “Kau harus belajar untuk bersikap hormat padaku Pangeran Liang. Jaga sikap dan nada bicaramu saat berbicara denganku!”

Liang tidak bisa membalas. Lidahnya mendadak kelu. Meifeng yang berdiri di hadapannya saat ini membuat bulu kuduknya berdiri, ngeri.

“Siapa yang memberimu hak untuk—”

“Kelahiranku yang memberi hak untuk itu.” Dongmei memotong ucapan Liwei cepat. Dia menatap sinis sang putra mahkota. “Statusku memberiku hak penuh untuk itu,” sambungnya, tenang. “Aku tidak mengerti, kenapa kau tidak sependapat denganku? Istana memiliki peraturan, terlebih untuk seorang budak. Budak yang berani menantang tuannya harus dihukum mati,” desisnya. Ia berbalik, menatap dayang yang kini bersujud, memohon ampun.

“Kau tidak bisa melakukannya,” ujar Liwei. Ia menarik pergelangan tangan Dongmei, memaksa wanita itu untuk menatapnya. “Kau tidak bisa menghukum siapa pun tanpa seizin raja.” Ia menjeda, giginya gemeretak. “Kenapa kau menatapku seperti itu? Berani sekali kau menantang kakakmu.”

Dongmei tertawa keras. Ia menepis genggaman tangan Liwei pada pergelangan tangan kanannya. “Kakak?” beonya, sinis. “Kau menyebut dirimu ‘kakak’?” ejeknya. “Katakan padaku, selama aku tidak sadarkan diri apa kau pernah datang untuk menjengukku?”

Liwei tidak menjawab.

“Dan kau masih menyebut dirimu sebagai seorang ‘kakak’?” tanya Dongmei lagi. Ia menjeda. “Kudengar kalian sangat membenciku,” tukasnya tiba-tiba. Dongmei mengendikkan bahu, kedua tangannya dilipat di depan dada. “Khususnya kau, Putra Mahkota. Aku ingin tahu alasanmu membenciku. Bukankah kita satu ayah dan ibu?” tanyanya pada Liwei.

Dongmei menyipitkan mata. Dia sudah tahu dari Tao tao jika permaisuri meregang nyawa setelah melahirkan Putri Meifeng dan sejak saat itu Liwei tidak pernah bersikap layaknya seorang kakak pada Meifeng. “Apa kau membenciku karena ibunda meninggal setelah melahirkanku?”

“Meifeng!” bentak Liwei, penuh ancaman. Namun, Dongmei bergeming.

“Berapa usiamu saat ibunda meninggal?” tanya Dongmei masih dengan nada dan sikap tenang yang sama. Wanita itu mengabaikan aura gelap dari diri Liwei, sementara Liang, Da dan Jenderal Deming menatapnya tidak percaya. Dongmei mencondongkan tubuhnya. “Lima tahun,” ujarnya.

Hening.

Ia tersenyum sinis. “Bukankah seharusnya kau bersyukur karena bisa mengenal ibunda selama lima tahun?” Dongmei mendengkus. Tatapan tajamnya menusuk Liwei. “Seharusnya kau bersimpati karena aku tidak pernah merasakan kasih sayang dari seorang ibu. Seharusnya kau menjagaku bukan membenciku.”

“Jaga mulutmu!” bentak Liwei. Dia melayangkan tangannya, bermaksud menampar Dongmei, tapi dengan gerakan cepat wanita itu bisa menangkis dan menepis sapuan tangan Liwei. Deming yang sudah bergerak untuk menahan Liwei hanya bisa terbelalak, tidak menyangka jika Meifeng bisa menjaga dirinya hingga sejauh itu.

Dongmei menghela napas keras lalu mengangkat kedua tangannya ke udara. “Aku tidak tahu bagaimana sikapku sebelum hilang ingatan. Namun, satu hal yang harus kalian ketahui; Meifeng yang kalian kenal sudah mati. Yang berdiri di hadapan kalian Meifeng baru. Aku tidak suka ditindas jadi kuharap kalian bisa menjaga sikap.”

Dongmei kembali menjeda. Memberi waktu untuk para pangeran, Putri Han dan para dayang untuk mencerna ucapannya. “Jangan harap kalian bisa memperlakukanku dengan buruk seperti dulu, karena aku tidak akan diam saja. Aku akan membalas sebuah tamparan dengan tamparan. Membalas pukulan dengan pukulan dan membalas ucapan jahat dengan sebuah pembalasan yang mungkin tidak akan pernah kalian bayangkan sebelumnya. Kalian harus ingat hal itu!”

Ia mendengkus, memberi salam asal-asalan pada Liwei. Untuk sejenak tatapannya tertuju pada dayang yang berani menentangnya tadi. Dongmei membungkuk, mengangkat dagu dayang itu dengan telunjuknya. “Aku melepasmu karena kau bertindak untuk melindungi tuanmu,” desisnya. “Di masa yang akan datang kuharap kau bisa menjaga sikap dan mulutmu. Aku tidak akan segan-segan memberimu pelajaran jika kau masih tidak bisa menjaga sikap. Apa kau mengerti?”

“Hamba mengerti, Tuan Putri. Hamba mengerti. Mohon ampuni hamba. Mohon ampuni hamba.”

“Bagus,” pekik Dongmei. Senyumnya terkembang. “Tao tao?” panggilnya. Dayang muda itu langsung berjalan ke arahnya.

“Hamba Tuan Putri.”

“Carikan aku sebuah cambuk!”

Tao tao mengerjapkan mata, tidak mengerti. “Cambuk?”

“Hm,” jawab Dongmei. “Sepertinya aku harus menggunakan cambuk untuk menghukum semua orang yang berani menatapku rendah,” ujarnya sembari berjalan pergi meninggalkan Liwei yang terpaku di tempat.

Putra Mahkota berdiri di sana beberapa lama. Ia hanya melambaikan tangan saat Han meminta izin untuk kembali ke paviliunnya. Liwei sama sekali tidak menyangka jika Meifeng bisa bersikap sekasar itu di hadapannya.

“Kakak Pertama, apa itu benar-benar Putri Meifeng?” tanya Lang. Suaranya terdengar serak, dan tidak percaya. “Dia terlihat berbeda. Dia membuatku takut,” sambungnya sembari memeluk tubuhnya sendiri. Lang berhasil dibuat ngeri oleh sikap Meifeng tadi. Tatapannya lalu beralih pada sang jenderal muda. “Jenderal Deming, menurutmu bagaimana?”

Jenderal Deming tidak langsung menjawab. Dia masih syok melihat perilaku Meifeng yang tidak biasa. “Ampun, Pangeran Liang, sejujurnya hamba sangat terkejut.”

“Tentu saja kau terkejut,” sambar Pangeran Da. Pangeran ketujuhbelas itu mengelus dada. Jantungnya maih berdetak sangat cepat karena kejadian tadi. “Putri Meifeng seperti iblis. Benturan di kepalanya pasti membuat otaknya terganggu.” Ia terdiam sejenak, memasang pose berpikir. “Bagaimana jika kita melaporkan kejadian ini pada ayahanda? Kakak Pertama, kau kakak satu ibu dengan Putri Meifeng, mungkin kau bisa bicara dengannya.”

Ucapan Da membuat Liang berdecak. “Apa kau tidak dengar apa yang dikatakan Putri Meifeng pada Kakak Pertama tadi?”

Hening.

“Kalian tidak perlu memikirkannya,” ujar Liwei kemudian, memutus keheningan yang sempat menggantung. “Aku akan menangani Liwei.”

“Apa kauyakin bisa melakukannya?” tanya Liang, tidak percaya. “Maafkan aku, tapi kita bicara tentang Meifeng yang baru. Dia tidak akan takut hanya dengan sebuah gertakan.”

Liwei menghela napas. “Aku pasti bisa menanganinya,” ujarnya, sangat yakin. “Bagaimanapun dia adik perempuanku,” sambungnya membuat Liang dan Da sama sekali tidak tenang. Mereka tahu jika Meifeng tidak akan mudah untuk ditaklukkan seperti dulu.

.

.

.

TBC

CHAO XING (朝兴) – Bab. 10 Jawaban Guang Li

9 April 2017 in Vitamins Blog

51 votes, average: 1.00 out of 1 (51 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Author Playlist : Xin Yi Xin Yuan – Cecilia Cheung

***

I want to control myself
I won’t let anyone see me cry
Pretend that I don’t care about you; I don’t want to think of you
I blame myself for not having courage
My heart hurts until I can’t breathe
I can’t find the traces you’ve left behind 

***

Enjoy!

.

.

.

Saat ini tidak ada yang diinginkan Long Wei selain wilayah Kerajaan Angin yang subur dan makmur. Kaisar muda berusia dua puluh tiga tahun itu hampir memiliki semua, dan apa yang dimilikinya akan menjadi lengkap jika tanah makmur yang kini tengah diinjaknya ini menjadi miliknya.

Mungkin dengan begitu ia akan merasa puas. Mungkin dengan memiliki Kerajaan Angin maka hasratnya untuk terus berperang akan sirna. Mungkin dengan memiliki Kerajaan Angin yang dulu sering dielu-elukan oleh gadis kecil itu maka akan membuatnya berhenti mencari kebahagiannya? Entahlah. Hingga saat ini Long Wei sendiri tidak yakin akan jawabannya. Dia akan tahu setelah memiliki Kerajaan Angin dalam genggamannya, namun karena ide bodoh dari Perdana Menterinya, ia harus bersabar.

Tunggu hingga waktu yang tepat.

Long Wei gemeretak, merasa kesal saat ucapan Perdana Menterinya kembali terngiang-ngiang di telinganya.

“Satu hari lagi kita akan sampai di ibu kota Kerajaan Angin, Yang Mulia!” Wen Cheng berkata penuh hormat dengan kepala tertunduk dalam. Setelah melakukan perjalanan selama kurang lebih dua minggu, rombongan mereka yang berjumlah sepuluh orang kembali mengistirahatkan diri, kali ini di tepian sungai di kaki Gunung Heng yang subur.

Long Wei tidak langsung menjawab, tatapannya terarah lurus pada nyala api unggun yang menyala di hadapannya. “Kau harus ingat, saat di wilayah Kerajaan Angin kau harus memastikan semua prajuritmu untuk memanggilku Zhong Wei,” ucapnya tanpa ekspresi namun penuh penekanan. “Aku tidak akan segan-segan membunuh kalian jika penyamaranku terbongkar!” tambahnya dengan nada mengancam.

“Hamba mengerti, Yang Mulia!” jawab Wen Cheng tenang, sebelum berbalik, meninggalkan Long Wei yang memintanya untuk pergi, meninggalkannya seorang diri.

***

“Panglima Liu, apa kau merasa bosan?” tanya Chao Xing tiba-tiba, membuat Guang Li mengernyitkan dahi. “Maksudku, kau harus menerima tugas tidak penting ini,” terang Chao Xing. Keduanya saat ini berjalan santai, menyusuri jalanan ibu kota yang begitu sibuk, sore ini.

“Sudah menjadi tugas hamba untuk menjaga Anda, Tuan Putri,” jawab Guang Li membuat Chao Xing menghela napas panjang dan tersenyum tipis.

Chao Xing berhenti sejenak, menatap lurus Guang Li yang untuk seperkian detik membeku di tempat, terlalu kaget karena untuk pertama kalinya ia ditatap dengan begitu intens oleh seorang wanita. “Bakatmu terlalu besar, Panglima Liu,” ujarnya mengejutkan Guang Li. “Tidak seharusnya kau terjebak bersamaku,” lanjut Chao Xing sebelum kembali berjalan dengan tenang.

“Hamba tidak mengerti,” ujar Guang Liu membuat Chao Xing kembali tersenyum tipis. “Apa hamba sudah membuat kesalahan?”

Chao Xing menggelengkan kepala pelan. “Tidak,” jawabnya merdu. “Akulah yang sudah membuat kesalahan,” lanjutnya membuat Guang Li bertambah bingung. “Karena keegoisanku aku membuat bakatmu menguap sia-sia,” ujarnya terdengar merasa bersalah. “Seorang berbakat sepertimu seharusnya berada di samping kakak pertama, atau kakak-kakakku yang lainnya—”

“Hamba tidak keberatan untuk menjadi pengawal Anda,” potong Guang Li cepat. “Maafkan hamba! Hamba sudah begitu lancang memotong ucapan Anda, Tuan Putri.”

Chao Xing mengibaskan tangannya di udara. “Apa kau tidak bisa bersikap lebih santai?” tanyanya dengan decakan sebal. “Kau berperilaku seperti seorang hamba pada tuannya,” lanjutnya.

“Tapi kenyataannya memang seperti itu. Hamba hanya seorang pesuruh raja,” sahut Guang Li tenang.

Chao Xing mendesah keras. “Apa kau tidak bisa memperlakukanku seperti temanmu?” tanyanya membuat Guang Li bingung. Gadis remaja itu menarik napas panjang, lalu menghembuskannya cepat. “Aku tidak memiliki teman,” terangnya.

Hening.

“Coba lihat ekspresimu itu!” seru Chao Xing tiba-tiba, dengan tawa renyah. “Kau terlihat lucu,” tambahnya membuat rasa simpati Guang Li menguap cepat. “Aku hanya bercanda,” tambahnya seraya menepuk bahu Guang Li ringan. Chao Xing masih tertawa, mengabaikan ekspresi masam pengawalnya, ia terus tertawa hingga indra pendengarannya menangkap pembicaraan beberapa wanita bangsawan yang melintas di belakangnya.

“Hei… apa kalian sudah dengar tentang putri buruk rupa yang tinggal di istana?”

“Putri buruk rupa?” timpal wanita muda lain dengan nada tertarik.

Wanita pertama mengangguk dengan antusias. “Benar,” sahutnya serius. “Menurut desas-desus di kalangan bangsawan dia putri dari permaisuri,” lanjutnya membuat Chao Xing menatap punggung wanita itu penasaran hingga akhirnya ia memutuskan untuk mengikuti ketiga wanita bangsawan itu ke dalam Restoran Huo Guo. “Tapi ada juga yang mengatakan jika dia hanya putri angkat permaisuri,” lanjutnya tanpa menyadari jika pembicaraannya tengah dicuri dengar oleh seseorang.

Chao Xing memilih sebuah meja yang sangat dekat dengan meja ketiga wanita muda itu, memastikan ia bisa mendengar dengan jelas apa yang dibicarakan oleh ketiganya.

Wanita muda yang mengenakan gaun sutra berwarna biru langit itu mencondongkan tubuhnya, berbicara pelan namun ucapannya masih bisa ditangkap dengan baik oleh Chao Xing yang duduk membelakanginya.

“Masih menurut desas-desus, wajah putri itu sangat jelek hingga Yang Mulia Raja sangat malu untuk memperkenalkannya di hadapan umum.”

“Aish… bukankah hanya bangsawan-bangsawan tertentu saja yang bisa melihat anggota kerajaan?” balas Mei Xia sembari mengibaskan sapu tangannya di udara. “Ayahku bahkan hanya beberapakali saja melihat wajah Putra Mahkota Jian Gui dan keenam pangeran lainnya.”

“Tapi kali ini berbeda,” lanjut Zao Wei, membuat Mei Xia dan Cing Er menatapnya dengan kedua alis bertaut. “Yang Mulia sama sekali tidak pernah memperlihatkan wajah putri tersebut.” Ia terdiam sejenak, memasang ekspresi serius. “Yang kudengar dari pejabat lain saat bertamu ke rumahku, Yang Mulia bahkan mengasingkan putri buruk rupa itu selama dua belas tahun, dan setelah putri kembali ke istana, Yang Mulia menempatkannya di sebuah paviliun terpencil di dalam komplek istana.”

Chao Xing tersenyum simpul mendengarnya, sementara Guang Li mengetatkan rahangnya, kedua tangannya terkepal erat, menahan emosi. “Jangan melakukan apa pun!” cegah Chao Xing tenang. “Aku ingin mendengar segala sesuatu yang berhubungan denganku,” tambahnya sembari menyesap tehnya dengan tenang.

“Kurasa dia hanya putri angkat permaisuri saja.” Ching Er menimpali. “Bagaimana bisa beliau memiliki putri berwajah jelek? Iya, kan?” tanyanya tak percaya. Ia terdiam sejenak, memasang pose berpikir. “Rasanya tidak mungkin jika putri itu  berwajah jelek, pasti ada alasan lain hingga Yang Mulia mengasingkannya,” tambahnya serius.

Mei Xia mengangkat bahunya ringan dan menjawab dengan nada mencemooh, “Terlepas dari jelek atau tidaknya putri baru itu, hal itu sama sekali tidak akan mengubah peta kekuasaan para istri raja saat ini.” Mei Xia tersenyum sombong. “Sudah menjadi rahasia umum jika permaisuri sama sekali tidak memiliki pengaruh terhadap Yang Mulia Raja.”

Chao Xing tersentak, kedua matanya membola, kupingnya terasa terbakar mendengar nada tidak hormat dari wanita muda yang duduk membelakanginya saat ini. Ia mengepalkan kedua tangannya dengan keras membuat buku-buku jarinya memutih.

“Permaisuri tidak memiliki kekuasaan apa pun—”

“Lanjutkan kalimatmu dan kau akan mati di tanganku!” Chao Xing menyambar pedang milik Guang Li yang diletakkan di atas meja. Ia memotong kalimat Mei Xia dingin.

Mata pedang yang kini menempel pada leher Mei Xia nyaris membuat putri bangsawan itu menjerit histeris sementara Zao Wei dan Cing Er berteriak kaget, meminta pertolongan pada siapapun yang bersedia menolong mereka saat ini. “Lanjutkan kalimatmu maka aku memiliki alasan kuat untuk memisahkan tubuhmu dari kepalamu yang cantik!” desis Chao Xing tanpa ekspresi sementara Guang Li berdiri di sampingnya dengan ekspresi tak terbaca.

“Apa yang kau lakukan, Nona?” teriak seorang pria paruh baya, berpakaian saudagar. “Apa kau tidak mengenalnya?” tanyanya pada Chao Xing dengan suara gemetar. “Dia putri dari Jendral Lu,” lanjutnya seolah hal itu merupakan sesuatu hal penting yang tidak bisa diabaikan, namun Chao Xing bergeming, terlihat sama sekali tidak terpengaruh.

Suasana restoran yang ramai pun berubah mencekam, para pengunjung saling berbisik, menebak-nebak siapa gerangan yang begitu berani menghunuskan pedang ke leher putri kesayangan Jendral Lu.

“Kau ingin mati rupanya?!?” Mei Xia berkata setenang mungkin, ketakutannya ditekannya kuat. Ia harus bisa menenangkan diri, tanpa kata memberi isyarat pada Zao Wei untuk mencari bantuan. “Justru kepalamu yang akan lepas dari tubuhmu jika ayahku mendengar tentang ini!” lanjutnya dengan nada mengancam.

Chao Xing tertawa renyah, dan membalas dengan nada angkuh, “Jika aku mati, maka aku akan membawamu serta bersamaku,” desisnya membuat tubuh Mei Xia gemetar.

Wanita muda yang tengah mengancamnya ini tidak main-main, kepercayaan diri dan nada tak terbantahkan dalam suaranya membuat Mei Xia bertanya-tanya siapa sebenarnya wanita yang tengah mengancamnya ini?

“Berani sekali kau menghunuskan pedang ke leher adikku!”

Chao Xing bergeming, tersenyum tipis sementara Guang Li segera bergerak, berdiri, menjadi tameng Chao Xing dari kemurkaan kakak tertua Mei Xia—Lu Ding Xiang. Pria berusia dua puluh lima tahun itu berdiri dengan kemarahan yang nyaris meledak, terlebih saat ia melihat Guang Li. “Bukankah kau putra dari Bangsawan Liu?” tanyanya pada Guang Li yang balas menatapnya tanpa ekspresi. “Kenapa kau diam saja saat melihat putri dari kolegamu diancam untuk dibunuh?” tanyanya gemeretak marah.

Guang Li tidak menjawab.

“Minggir!” gertak Ding Xiang marah. “Aku tidak akan segan-segan untuk melukaimu jika kau menghalangiku!” ancamnya geram pada Guang Li, sementara Zao Wei berdiri ketakutan di belakang punggungnya. “Aku akan pastikan hal ini didengar oleh Yang Mulia Raja agar keluargamu mendapat hukuman atas apa yang kau lakukan saat ini, Guang Li!”

“Panglima Liu tidak memiliki urusan apa pun tentang hal ini,” balas Chao Xing tenang, membuat Ding Xiang melotot. Chao Xing memiringkan kepala, menatap Ding Xiang dari ujung kaki hingga ujung kepala. “Jadi kau putra dari Jendral Lu?” tanyanya merdu. Ia tertawa pelan, mencemooh. “Adikmu pantas mati,” lanjutnya membuat Ding Xiang gemeretak. “Adikmu sangat lancang, ia begitu berani menghina Permaisuri,” lanjut Chao Xing tanpa ekpresi membuat warna wajah Ding Xiang berubah pucat. “Kau pikir apa hukuman yang tepat untuk seseorang yang sudah berani menghina salah satu anggota keluarga kerajaan?” tanyanya dingin.

Ding Xiang tidak menjawab. Sebagai salah satu anggota dari pasukan elit istana ia sudah tahu betul hukuman apa yang akan diterima Mei Xia jika hal ini sampai terdengar di telinga Raja. “Ini pasti salah paham,” ujarnya membuat Chao Xing tersenyum masam. “Adikku tidak mungkin menghina permaisuri. Bukan begitu Ming Xia?”

Mei Xia menelan kering, dadanya berdetak cepat karena takut. “A…aku tidak menghina permaisuri,” sahutnya terbata.

“Jadi sekarang kau menuduhku berbohong?” tanya Chao Xing tenang, membuat Mei Xia semakin gugup karena mata pedang itu mulai menggores kulit lehernya.

“Guang Li, bisakah kita melupakan hal ini?” Ding Xiang setengah memohon saat mengatakannya. Dalam hati ia sudah tahu jika MeiXia tengah berbohong, namun bagaimanapun juga Mei Xia adik kandungnya. Akan menjadi sebuah skandal besar jika masalah ini didengar oleh raja. “Mengingat hubungan kekeluargaan kita, aku mohon, tolong lepaskan adikku!” pintanya parau.

“Aku tidak bisa melakukan apa pun,” balas Guang Li datar, membuat Ding Xiang melempar tatapannya pada Chao Xing. “Keputusannya ada pada Nona Chao Xing,” lanjutnya membuat Ding Xiang menekuk dahinya dalam.

Dimana aku pernah mendengar nama itu? Tanya Ding Xiang di dalam hati, dan ia pun segera jatuh berlutut saat menyadari siapa yang tengah di hadapinya saat ini. Mei Xia sangat sial. Bagaimana bisa ia membuat masalah dengan salah satu anggota keluarga kerajaan? Ding Xiang memang belum pernah bertemu dengan Putri Chao Xing, namun nama putri itu selalu disebutkan oleh Pangeran Keempat, dan hal itu membuatnya sangat yakin jika Chao Xing memiliki kedudukan tersendiri mengingat kedekatan sang putri dengan ketujuh pangeran.

“Mohon Tuan Putri berbelas kasih!” Ding Xiang menundukkan kepalanya dalam, sementara Mei Xia membeku di tempat, terlalu kaget mendengar penuturan kakak pertamanya. “Adik hamba terlalu polos hingga tidak menjaga ucapannya. Mohon putri berbelas kasih!” lanjutnya membuat Chao Xing mendengus, kesal sekaligus marah karena penyamarannya dibuka oleh Ding Xiang.

“Anggap kali ini kau sedang beruntung,” desis Chao Xing. Ia kembali menyarungkan pedang milik Guang Li lalu mengembalikannya pada pria itu. “Kita pergi!” serunya pada Guang Li datar sebelum berbalik pergi, melewati barisan pengunjung restoran yang segera menundukkan kepala takzim, memberikan jalan padanya setelah mengetahui identitas Chao Xing yang sebenarnya.

***

“Andai saja kau tidak berada di sana mungkin aku sudah membunuhnya saat itu juga,” ujar Chao Xing saat keduanya berjalan pelan menuju ke kediamannya. Chao Xing mendongakkan kepala, menatap langit sore, lalu kembali melirik ke arah Guang Li. “Mereka boleh menghinaku, tapi aku tidak akan tinggal diam jika mereka menghina Permaisuri,” lanjutnya geram.

Guang Li tidak menjawab.

Chao Xing menghela napas panjang. “Apa kau tahu sampai kapan kakak-kakakku berlatih tarian perang untuk persiapan perayaan pesta ulang tahun Yang Mulia?” tanyanya kemudian, mengalihkan pembicaraan.

“Lapor, Putri, hamba tidak tahu.”

Chao Xing kembali menghela napas panjang. “Mereka sangat sibuk hingga melupakanku,” keluhnya dengan senyum pahit. “Apa mereka akan terus berlatih hingga waktu perayaan tiba?” renungnya dalam. “Ah… Andai saja Kakak Guang ada di sini, dia pasti tidak akan membiarkanku seorang diri. Hah… Kenapa dari semua kakak-kakakku justru dia saja yang belum kembali?” tanyanya terdengar mengeluh.

Guang Li tidak menyahut, terlalu bingung. Sungguh ia hanya bisa menjadi pendengar yang baik, tapi tidak bisa menjadi seorang penghibur yang baik.

“Aku memiliki banyak saudara dan saudari namun pada kenyataannya aku merasa tidak memilikinya,” lanjut Chao Xing pahit.

“Aku memiliki seorang ayah penguasa Kerajaan Angin yang masyur, namun aku merasa tidak dicintainya.”

Guang Li masih membisu.

“Aku memiliki semua hal yang gadis lain inginkan, namun aku merasa tidak bahagia,” lanjut Chao Xing membuat Guang Li semakin bingung, memikirkan cara untuk menghibur tuan putrinya. “Karenanya, saat seseorang yang sudah kuanggap sebagai ibuku sendiri dihina di hadapanku, aku tidak bisa tinggal diam.” Ia menunduk, menatap kedua tangannya lurus. “Kedua tanganku bahkan terasa sangat gatal ingin membunuh wanita tadi,” akunya dengan suara serak.

Chao Xing terdiam, dan kembali bertanya dengan nada suara serius, “Menurutmu, apa aku mengerikan?”

Guang Li tidak langsung menjawab. “Tidak, Tuan Putri,” jawabnya tenang. “Karena sudah menjadi hak Anda untuk melakukannya,” lanjutnya membuat Chao Xing kembali menatap kedua tangannya. “Apa pun yang terjadi, Anda tidak boleh lupa jika Anda merupakan putri dari Raja Jian Guo Yang Agung, dan tidak ada satu orang pun yang boleh menghina Anda karenanya,” tambahnya tenang.

.

.

.

TBC

Loving Mr. Right – Bab 1. Pertemuan Pertama

9 April 2017 in Vitamins Blog

56 votes, average: 1.00 out of 1 (56 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

10 Mei 2009

Malam ini, untuk yang kesekian kalinya, Anna menatap keluar jendela kaca bus.

Beberapa menit lagi, kendaraan yang ditumpanginya  akan membawa wabita itu pergi dari kota kelahirannya menuju London.

Anna berusaha menahan kesedihan dalam diri. Ia memalingkan wajah sementara tangan kirinya menarik kain biru tua penutup jendela bus.

Tidak ada yang perlu disesali, pikirnya.

Dengan sisa uang yang ada, dia akan menyewa flat murah, mencari pekerjaan dan menetap di London.

Aku pasti bisa melaluinya, pikirnya lagi mencoba untuk optimis.

Beberapa saat kemudian, bus malam pun mulai bergerak, menembus kegelapan jalan raya yang dilaluinya, membawanya pergi dari Carmarthen, menuju London.

Perjalanan itu memakan waktu hampir empat jam, dan saat Anna tiba di London, waktu sudah menunjukkan pukul empat pagi. Gadis remaja itu memutuskan untuk duduk bersandar, sejenak memejamkan mata di halte bus tempatnya turun, menunggu hingga matahari terbit. Dan ketika ia terbangun, waktu sudah menunjukkan pukul tujuh pagi.

Anna pun beranjak sembari menarik koper besar berwarna hitam yang dibawanya. Ia mampir di sebuah kedai makanan untuk membeli sepotong roti isi serta secangkir kopi hangat.

Setelah mendapat serta membayar pesanannya, ia kembali berjalan, mencari taman terdekat untuk menikmati sarapan paginya. Dia mendudukkan diri di sebuah kursi taman di Hyde Park, menikmati sarapannya dalam keheningan yang menyesakkan.

Remaja itu sedikit terisak, matanya memanas saat bayangan masa lalu kembali mengusiknya dengan hebat. Senyum hangat ibunya kembali terbayang dalam pikirannya.

Jika kecelakaan itu tidak terjadi, pasti saat ini dia tengah menikmati sarapan dengan menu sederhana yang disiapkan oleh ibunya. Suasana meja makan keluarganya tidak pernah sepi, baik dalam keadaan susah maupun senang, ayahnya selalu bisa menghangatkan suasana, menularkan tawanya kepada orang-orang di sekitarnya.

Anna menggelengkan kepala dengan keras, lalu menghapus kasar air mata yang mengalir dikedua pipinya.

“Bukan saatnya untuk menangis, Anna!” tegurnya pada dirinya sendiri. “Kau seorang Wilson Seorang Wilson tidak mudah menangis, menyerah dan putus asa! Dan kau sangat beruntung karena bisa memiliki orangtua walau hanya sampai usia remaja.”

Gadis remaja itu berusaha mengingatkan dirinya sendiri dengan sorot mata penuh syukur.

Setelah menghabiskan sarapannya, ia kembali berdiri, berjalan sembari menarik koper hitamnya. Berbekal informasi dari salah satu tetangganya di Carmarthen, Anna berjalan menuju salah satu gedung tua di pinggiran Kota London.

Perlu waktu tiga puluh menit hingga akhirnya ia tiba di depan gedung tua itu.

Anna berdiri tegak, mendongakkan kepala menatap gedung tua berlantai lima di depannya. Gedung itu terlihat kotor, catnya berwarna coklat pudar, tidak terurus dan yang paling mengganggu, gedung itu berada di lingkungan kumuh. Tapi, apalagi yang bisa diharapkannya? Untuk saat ini, hanya tempat inilah yang sepertinya sanggup ia sewa.

Melepas napas panjang, ia kembali berjalan masuk ke dalam gedung. Mrs. Lee mengatakan jika saudari jauhnya yang merupakan pemilik gedung tua ini, tinggal di lantai tiga.

Anna menaiki satu demi satu anak tangga melingkar untuk sampai di lantai tiga. Setelah sampai di lantai yang dituju, ia pun mulai mencari kamar nomor 303.

Gadis remaja itu berdeham, mengatur nada suaranya sebelum mengetuk daun pintu hingga beberapa kali. Anna mengetuk-ngetukkan kakinya ke lantai berkarpet usang di bawahnya, sedikit gusar karena pemilik kamar No. 303 itu tidak kunjung membuka pintu. Anna pun kembali mengetuk, sedikit tidak sabar, hingga akhirnya terdengar teriakan keras dari dalam kamar itu.

“TUNGGU!!!” teriak seorang wanita, terdengar jengah.

Anna mundur selangkah saat pintu di depannya terbuka dengan cepat. Di depannya kini berdiri seorang wanita paruh baya keturunan Cina dengan ekspresi kusut serta rambut yang digulung oleh roll-an. Wanita paruh baya itu mengenakan daster berbahan katun sebatas lutut dengan warna hijau mencolok.

“Siapa kau?” tanyanya galak dengan ekspresi tajam menatap Anna dari atas kepala hingga ujung kaki.

Anna mencoba menarik mulutnya ke atas, berusaha memberikan kesan baik pada wanita yang akan menjadi induk semangnya. “Perkenalkan, saya Anna Wilson,” tukasnya, memperkenalkan diri sembari menjulurkan tangan kanannya.

Wanita paruh baya di depannya hanya mengernyit dalam mendengar penuturan Anna. Ia terlihat enggan untuk menjabat tangan gadis remaja asing di hadapannya.

Anna pun tersenyum maklum, tanpa menunggu lama ia menarik kembali tangannya yang mulai berkeringat dingin.

“Ah!” wanita paruh baya itu terpekik saat mengingat sesuatu. “Kau–Anna dari Wales. Iya, kan?” tanyanya dengan suara cempreng. Anna mengangguk pelan menjawabnya. “Ayo masuk!” tawarnya sopan. Wanita paruh baya itu melangkah mundur, memberi ruang untuk tamunya masuk.

Dengan patuh Anna pun masuk ke dalam flat itu sementara Nyonya rumah menutup pintu lalu berjalan mengekorinya di belakang.

Anna mencoba untuk memasang ekspresi biasa saat bau-bauan aneh menggelitik indra penciumannya. Dengan hati-hati ia meneliti ruang tamu yang juga berfungsi sebagai ruang keluarga milik Mrs. Zhou. Tidak jauh dari tempatnya berdiri, ia melihat sebuah altar dengan sebuah patung Buddha berwarna emas, lengkap dengan sesaji serta dupa yang menyala. Ah, mungkin bau aneh yang dia cium merupakan bau dupa, pikirnya.

“Namaku Lee Wei. Tapi suamiku bermarga Zhou, jadi panggil aku Mrs. Zhou!” terangnya pada Anna yang mengangguk paham. “Meilin- ah, mungkin kau lebih mengenalnya sebagai Mrs. Lee, sudah menceritakan segala sesuatu tentangmu,” tambahnya cepat. “Tragis sekali nasibmu, Nak. Seharusnya kau kuliah dan tinggal dalam kehangatan keluargamu,” katanya lagi, terdengar simpati.

Tangannya terayun, mempersilahkan Anna untuk duduk di sofa tua bercorak bunga-bunga.

“Apa saya boleh menyewa salah satu flat milik Anda?” tanya Anna sembari mendudukkan diri, mencoba mengalihkan pembicaraan. Sungguh, dia tidak mau dikasihani karena menjadi yatim piatu saat berusia delapan belas tahun. Di luar sana, di atas bumi ini, masih banyak anak-anak yang bahkan tidak mengenal siapa orangtua mereka? Bukankah anak-anak seperti itu lebih kasihan lagi?

“Tentu. Tentu,” jawab wanita paruh baya itu dengan senyum terkembang. “Aku akan memberikan harga murah untukmu untuk sewa flat, dan tambahan beberapa ratus poundsterling lagi untuk sewa tempat tidur, peralatan dapur, lemari serta sofa di dalam flat itu.”

“Tidak masalah, asal harganya cocok dengan keuanganku,” ringis Anna.

Wanita paruh baya itu melambaikan telapak tangannya di udara dan berkata meyakinkan, “kau tidak akan rugi. Biaya yang kau bayar jauh lebih murah daripada orang lain yang menyewa di tempat ini. Kau hanya perlu membayar seribu poundsterling tiap bulannya untuk biaya sewa flat. Harga itu sudah termasuk sewa furniture. Bagaimana?”

Anna terdiam, memasang pose berpikir.

“Jangan pikirkan lagi,” ujar Mrs. Zhou. “Kau tidak akan mendapat harga yang lebih bagus daripada penawaranku.”

Ann masih terdiam, menimang-nimang. “Saya akan mengambilnya,” jawab Anna kemudian, sedikit ragu karena tidak menyangka jika biaya sewa flat di London ternyata bisa menguras lebih dari separuh isi dompetnya. Dengan berat hati ia pun menyerahkan uang sebanyak seribu poundsterling dari dalam dompetnya untuk biaya sewa flat selama satu bulan.

Mrs. Zhou tersenyum saat menerima uang yang disodorkan oleh Anna. Ia lalu bangkit berdiri untuk mengambil sebuah kunci dari dalam lemari di samping meja televisi. “Ayo, akan kuperlihatkan flatmu,” ujarnya, terdengar bersemangat. “Aku sudah membersihkan flat itu saat sepupuku mengatakan jika tetangganya akan datang padaku untuk menyewa flat. Aku juga sudah mengganti seprai, selimut dan sarung bantal agar nyaman kau pakai. Jendela kamarmu juga bisa dibuka, jadi kau tidak perlu takut pengap.” Jelasnya panjang lebar sembari melangkah dengan langkah berat menuju lantai lima.

Hening.

“Ah, sepertinya aku harus diet lagi,” ia mengeluh dengan helaan napas panjang. “Naik ke lantai lima saja nyaris membuatku sesak napas,” tambahnya, melirik sekilas lewat bahunya pada Anna yang berjalan di belakangnya. “Ini dia flatmu,” ujarnya saat berdiri di depan kamar bernomor 509. Mrs. Zhao memasukkan anak kunci di tangannya pada lubang kunci, memutarnya pelan untuk membuka kunci.

Melangkah pelan, Mrs. Zhao masuk ke dalam ruangan itu. Tangannya meraba dinding kanannya, menekan saklar untuk menyalakan lampu. “Tidak buruk, kan?!” katanya, terdengar bangga.

Anna berjalan melewati wanita gemuk itu. Matanya menyisir seluruh ruangan kecil itu. Flat itu terdiri dari satu ruangan yang berfungsi sebagai kamar, ruang tamu, serta dapur, sementara ruangan lainnya berfungsi sebagai kamar mandi.

“Ah, aku lupa. Biaya gas, listrik, tv kabel, internet menjadi tanggunganmu sendiri. Kau mengerti?”

Anna mengangguk pelan.

“Bagus,” ujar Mrs. Zhao senang. “Sebaiknya aku meninggalkanmu agar kau bisa istirahat. Semoga kau betah tinggal disini,” tambahnya cepat sebelum berbalik pergi meninggalkan Anna seorang diri di dalam flatnya.

Ruangan sempit itu seketika hening setelah kepergian Mrs. Zhao. Anna melempar tatapannya ke seluruh penjuru ruangan. Setidaknya tembok ruangan ini dilapisi oleh wallpaper, pikirnya, yah, walau dengan warna yang tidak sesuai dengan kepribadiannya yang sedikit tomboy. Wallpaper itu berwarna merah muda, warna yang tidak terlalu disukainya.

Setelah membongkar semua barang bawaannya, Anna pun segera mengganti pakaian lalu turun untuk membeli bahan makanan. Ia membeli semua bahan makanannya di toko terdekat, lalu mampir disebuah kios penjual loker koran di sudut jalan yang dilaluinya.

Hah, hari ini juga dia harus mencari pekerjaan untuk bisa bertahan di kota ini.

.

.

.

20 Juli 2012

Musim-musim pun berganti dengan cepat setelahnya. Musim panas tahun ini di London terasa lebih panas dari pada tahun-tahun sebelumnya. Anna harus bertahan dengan teriknya sinar matahari saat ia berjalan keluar dari gedung tempatnya tinggal menuju tempat kerjanya yang pertama.

Selama tiga tahun menetap di London, Anna bekerja di tiga tempat yang berbeda setiap harinya. Pukul sepuluh pagi hingga pukul dua siang, dia bekerja menjadi kasir di sebuah restoran makanan cepat saji di pusat Kota London. Pukul tiga sore hingga pukul delapan malam dia bekerja di sebuah restoran masakan Cina sebagai buruh cuci piring, sedangkan pukul sepuluh malam hingga pukul dua dini hari dia bekerja menjadi pelayan di sebuah klub malam murahan di pinggiran kota.

Semua itu dilakukannya demi mewujudkan keinginannya untuk membeli kembali tanah serta rumah pertanian miliknya di Wales. Anna tahu, impiannya itu masih sangat jauh, dan semakin sulit jika ternyata pihak bank sudah menjualnya ke pihak lain. Namun dengan keyakinan kuat, dia percaya jika suatu hari impiannya itu akan menjadi kenyataan.

Malam pun tiba dengan cepat. Anna berjalan terseok-seok menuju tempat kerja ketiganya. Hampir saja dia jatuh mencium trotoar jika saja sepasang tangan kekar tidak menahan bobot tubuhnya. “Kau baik-baik saja?” tanya pria asing yang menolongnya.

Anna mengernyit, saat rasa sakit menyerang kepalanya dengan hebat. Susah payah ia berusaha untuk membuka matanya. Wanita muda itu menggeleng pelan, mengerang, berharap rasa sakitnya segera hilang. “Kepalaku sakit,” akunya kemudian. “Selebihnya aku baik-baik saja,” tambahnya dengan nada kurang meyakinkan.

Pria yang menolongnya itu kini menatapnya dengan sebelah alis terangkat, jelas tak percaya pada wanita yang hampir pingsan di depan matanya. “Dimana rumahmu? Aku bisa mengantarmu pulang.” Tawarnya, ramah. “Tenang, aku bukan penjahat,” tambahnya cepat saat Anna menatapnya dengan ekspresi menyelidik.

“Aku baik-baik saja,” tegas Anna. “Terima kasih untuk tawaran serta bantuanmu tadi. Tempat tujuanku sudah dekat, kok.”

“Kau yakin tidak butuh bantuanku?”

Anna menggelengkan kepala dan tersenyum lemah. Wanita itu melambaikan tangannya, mengucapkan terima kasih untuk kedua kalinya sebelum berbalik pergi menuju klub tempatnya bekerja.

Di belakang punggungnya, Sam menatap punggung Anna lurus. Keras kepala, pikirnya tidak habis mengerti. Dari cara jalannya saja dia bisa tahu jika wanita muda yang ditolongnya itu jauh dari kata baik-baik saja.

Sam menghela napas panjang, sementara jemarinya menyisir rambut pirangnya. Ia tahu jika wanita tadi bukan tanggung jawabnya. Tapi bagaimana jika wanita itu pingsan dan ditemukan oleh orang jahat? Sam menggelengkan kepala pelan, dan dengan langkah mantap ia membuntuti Anna malam ini.

Sam sedikit terkejut saat melihat wanita yang ditolongnya tadi masuk ke dalam pintu samping klub. “Apa dia bekerja disini?” gumamnya, sementara matanya menatap papan nama klub yang tergantung di atas pintu masuk. Sam mengangkat bahunya cuek, lalu dengan langkah ringan ia pun berjalan masuk ke dalam klub malam itu.

Suara musik keras yang menghentak, bau parfum murahan, bau asap rokok bercampur menjadi satu di dalam ruangan temaram itu. Di dalam ruangan itu hanya ada sebuah lampu disko saja yang menyala, berwarna-warni, berputar-putar, menemani pengunjung yang menari di atas lantai dansa.

Sam memilih sebuah kursi kosong di sudut meja bar. Melambaikan tangan ia memanggil seorang pria yang tengah berdiri di belakang meja bar, sementara tangannya sibuk mengeringkan gelas-gelas minuman. “Segelas vodka,” ujar Sam saat bartender berjalan menghampirinya. Sang bartender mengangguk pelan, menuangkan vodka ke dalam sebuah gelas kecil lalu menyodorkannya pada Sam.

Wajah Sam kembali mengernyit saat rasa vodka murahan itu menyapa tenggorokannya. Demi, Tuhan, untuk apa juga di masuk ke dalam klub murahan ini? Kenapa dia harus repot-repot memastikan wanita yang ditolongnya tadi benar-benar baik-baik saja? Sial! Sepertinya ajaran mendiang ibunya untuk menolong sesama telah tertanam di dalam otaknya dengan kuat.

Sam memutar kursi bar yang didudukinya, menatap tajam ke arah sekelompok pengunjung mabuk yang menari konyol di atas lantai dansa. Pandangannya lalu beralih ke sudut ruangan dimana beberapa pasangan bercumbu mesra.

Pria itu menggelengkan kepala pelan. Mungkin seharusnya dia mulai mencari pacar agar bisa melakukan hal yang sama. Sejujurnya, ia bisa dengan mudah menggaet wanita yang cukup disukainya, namun bayang-bayang wanita yang menjadi cinta pertamanya selalu mengganggu hubungannya dengan wanita lain. Sungguh tidak sepantasnya jika kau membayangkan bercinta dengan wanita lain saat kau tengah bercinta dengan kekasihmu. Iya, kan? Hal itulah yang selalu dialaminya selama ini. Bayangan wajah Pia Rodriguez selalu mengikutinya kemanapun dia pergi.

.

.

.

Anna menarik napas panjang saat rasa sakit itu terus berdenyut menyerang kepalanya dengan hebat. Ia merogoh ke dalam tas tangannya, mengambil sebuah aspirin dari dalamnya. Dengan bantuan air putih ia menelan aspirin itu dalam satu teguk, berharap rasa sakitnya sedikit bersahabat, setidaknya hingga pekerjaannya selesai malam ini.

Pakaian super pendek dan ketat tidak membantunya sama sekali. Tubuhnya seolah tercekik oleh pakaian seragam ketat berbahan elastis yang memeluk tubuhnya lekat. “Kau akan baik-baik saja, Anna. Kau akan baik-baik saja!” gumamnya, memberi semangat pada dirinya sendiri.

Dengan langkah panjang ia pun berjalan keluar dari ruang karyawan. Sesekali dia berhenti, menyandarkan tubuhnya pada tembok saat kepalanya kembali berdenyut. “Ayolah…! Kau pasti bisa bertahan!” gumanya lagi.

“Anna, kau baik-baik saja?” tanya Peter dari ujung lorong. Pria tinggi, berkulit putih itu menatap Anna dengan bola mata besarnya yang terlihat cemas.

“Aku baik-baik saja,” sahut Anna sembari menekuk mulutnya ke atas.

“Kau yakin?” tanya Peter lagi. Pria berusia dua puluh enam tahun itu terlihat bingung, ia ingin menolong Anna, tapi disisi lain ia harus mengantarkan minuman pesanan tamu.

Anna mengangguk pelan, melambaikan tangan menyuruh Peter untuk menyelesaikan pekerjaannya. Anna kembali menegakkan tubuhnya selepas kepergian Peter. Memasang topeng tangguh, ia pun memulai pekerjaannya yang terasa lebih lama dari hari biasanya.

Dari tempat duduknya, Sam terus mengamati gerak-gerik Anna. Terkadang dia tersenyum simpul saat dengan lihai Anna mengelak dan melindungi dirinya dari tangan-tangan kurang ajar yang ingin menyentuh tubuhnya.

Ingin sekali Sam bertepuk tangan, karena wanita yang ditolongnya itu mampu membawa diri dan mengontrol emosinya walau dalam keadaan tidak sehat. “Hebat.” Pujinya penuh kekaguman. Dan sejak hari itu, hampir tiap hari Sam datang ke klub murahan itu untuk sekedar melihat Anna. Sam tidak tahu, tapi melihat Anna, ia merasa seperti melihat sosok kakak laki-lakinya dalam versi wanita; tangguh, keras kepala dan angkuh.

.

.

.

Sampai jumpa dibab selanjutnya! ^^

Helena (Bab 8. Rasa Sakit)

9 April 2017 in Vitamins Blog

51 votes, average: 1.00 out of 1 (51 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Author playlist : Bruno Mars – That’s What I Like

***

Enjoy! ^^

***

“Aku akan menjemputmu tepat pukul tujuh malam, jadi kau harus pastikan sudah berpenampilan pantas saat aku datang nanti.” Suara James terdengar begitu tegas saat mengatakannya, tak terbantahkan dan ia hanya bisa tertawa di dalam hati saat melihat perubahan mimik wajah wanita yang duduk di sampingnya ini.

Ah, tidak bisa ia pungkiri, Helena memang terlihat cantik, namun yang membuatnya tertarik pada wanita ini bukan karena alasan fisiknya saja. Helena berbeda dengan wanita yang selama ini dikenalnya, dan itu membuatnya semakin bertekad untuk memiliki wanita itu.

James menipiskan bibir, tanpa sadar menggosok bibir bawahnya dengan telunjuk tangan kanannya, sebuah kebiasaan yang sering dilakukannya saat ia tengah berpikir serius.

Ia pasti hanya merasa penasaran. Ya. Hanya itu. Rasa yang didasari karena penolakan wanita ini. Jika Helena menerimanya dengan senang hati, pasti ia tidak akan segencar ini untuk mengejarnya. Iya, kan? Ah, entahlah. Belakangan ini James seringkali dibuat tidak mengerti oleh perasaannya sendiri jika hal itu menyangkut dengan Helena.

Helena menyempitkan mata. “Aku masih belum setuju,” tukasnya dengan dagu terangkat tinggi. Setidkanya ia akan terus melawan hingga titik terakhir. Berharap jika Tuhan membukakan pintu hati James dan membuat pria itu melupakan keinginan konyol untuk menikah dengannya.

“Ini bukan masalah setuju atau tidak setuju, Sayang,” balas James santai. Ia bertopang dagu, menatap wanita yang duduk di sampingnya dengan tatapan yang sulit diartikan. “Aku calon suamimu, jadi kau sama sekali tidak kuizinkan untuk menolak dan membantah keinginanku.”

“Kau mengatakan jika aku bukan budakmu tapi pada kenyataannya kau memperlakukanku seperti itu!” desis Helena dengan nada tertahan. Tuhan, tolong beri aku kekuatan agar aku bisa bersabar menghadapi pria tidak tahu malu ini, doanya di dalam hati. Dan tolong beri aku kemampuan untuk mengendalikan diri, tambahnya. Karena tidak akan lucu jika aku lepas kendali dan melayangkan sebuah tinjuan telak di wajah James.

“Kau terlihat ingin menghajarku,” gumam James menatap Helena sinis.

Helena melotot, sama sekali tidak mengira jika James bisa membaca pikirannya dengan baik. Apa pria ini peramal? Atau memiliki indra keenam hingga bisa membaca isi pikiran orang lain? Ia berdeham pelan, menyingkirkan semua pikiran konyol yang melintas di dalam kepalanya. “Bisakah kau berhenti bercanda?”

James menaikkan satu alisnya. “Denganmu? Aku bercanda?” cibirnya membuat Helena kembali gemas ingin menghajarnya. Pria itu menggelengkan kepala pelan. “Aku tidak pernah bercanda denganmu, Ann.”

“Berhenti memanggilku dengan panggilan itu!”

“Ann?!” gumam James pelan. “Kenapa?” tanyanya. “Nama itu sesuai denganmu. Terdengar begitu cantik.”

Untuk sesaat Helena merasa tubuhnya membeku, terlalu takjub mendengar ketulusan dalam nada suara pria itu. Ah tidak, pikirnya. Ia pasti tengah berilusi. “Dengar Tuan Smith!” Ia kembali bicara dengan nada dan ekspresi serius. “Aku tidak memiliki gaun yang cocok untuk acara mewahmu itu,” ujarnya beralasa. Well, pada kenyataannya itu memang benar. Helena tidak memiliki gaun yang cukup layak untuk dipakainya. Ia bahkan tidak memiliki peralatan make up lengkap untuk mempercatik dirinya.

“Kau benar-benar miskin,” ejek James angkuh. “Tapi itu bukan masalah,” lanjutnya membuat Helena kembali merasa terpojok. “Aku bisa mengatasinya, Ann. Kau cukup duduk dengan manis di apartemenmu,” terangnya. Ia lalu menatap wanita itu lurus, memperhatikan penampilan Helena dengan seksama. “Dan sepertinya aku tahu apa saja yang kau perlukan untuk tampil sempurna malam ini.”

Helena berusaha mencari jawaban yang sekiranya tidak akan membuatnya lebih malu lagi, namun sayangnya ia gagal. Lebih baik ia menutup mulutnya rapat daripada membuatnya semakin malu.

“Aku akan mengantar semua keperluanmu sore nanti,” lanjut James saat wanita di sampingnya terus membisu. “Beberapa gaun malam, gaun cocktail, sepatu, tas, peralatan make up, hingga perhiasan semua akan kuantar ke apartemenmu.”

“Apa kau sudah gila?” Helena nyaris berteriak saat mengatakannya. “Apa kau bermaksud menyuapku?” tanyanya berang. “Kau tidak perlu mengirim barang-barang itu, aku tidak memerlukannya!”

“Sebagai calon istriku, kau sangat memerlukan barang-barang itu,” sahut James tenang.

“Kenapa kau melakukannya?”

James mengangkat bahunya santai dan menjawab dengan nada ringan, “Karena aku kaya.”

***

Sambil menghela napas ia berjalan menuju gedung apartemennya dengan langkah berat. Emosinya masih belum stabil saat ia dipaksa berhadapan dengan ibu kandungnya yang telah menunggunya tepat di depan pintu apartemennya.

Helena mengangkat satu alisnya. “Kenapa aku banyak sekali mendapat kejutan hari ini?” ujarnya terdengar seperti sebuah ejekan namun Rowena bergeming. Wanita paruh baya itu menatap lurus wajah putrinya, lalu menggeser tubuhnya untuk menghalangi Helena saat putrinya itu berusaha untuk membuka pintu. “Saat ini aku tidak berniat menerima tamu ataupun bertengkar,” ujarnya dengan desahan napas panjang. “Tolong menyingkir dari jalanku!”

“Begitu caramu memperlakukan ibumu?” tanya Rowena membuat Helena tersenyum sinis mendengar nada dingin yang terselip dalam suara ibunya. “Selain tidak tahu diri kau juga sangat tidak sopan, Helena.”

“Benar,” jawab Helena santai. “Aku memang tidak tahu diri dan tidak sopan,” lanjutnya. “Bagaimana bisa aku bersikap seperti itu jika ibu kandungku sendiri tidak pernah mengajariku kedua hal itu?”

“Jangan berpikir jika aku suka melihatmu,” desis Rowena. “Jika bukan untuk kepentingan keluargaku, aku tidak akan sudi untuk menemuimu.”

Helena terdiam. Ada sebuah perasaan asing yang menusuk hatinya saat ini. Sebuah perasaan yang ia sangka telah lama hilang dari dirinya—sakit hati. Ah, kenapa ia harus sakit hati mendengar penolakan ibunya ini? Bukankah ia sudah terbiasa mendengarnya? Lalu kenapa kedua matanya mulai terasa panas oleh desakan air mata?

Rowena pun kembali menatap sinis sosok putri kandung yang kini berdiri di hadapannya. Wajah pucat dan tubuh kurus Helena tak lantas membuatnya tersentuh, justru sebaliknya ia merasa puas karena Helena terlihat sakit dan menderita.

Rasa sakit yang dirasakan putrinya itu tidak sebanding dengan apa yang dirasakannya dulu. Ayah Helena—pria brengsek yang telah menghancurkan masa depannya. Menghancurkan harga dirinya, memaksanya untuk melahirkan dan menjaga Helena hingga putrinya berusia delapan tahun. “Apa aku harus menyesal karena tidak mengajarimu kedua hal itu?” ejeknya membuat Helena mengepalkan kedua tangannya erat. Ia memiringkan kepala ke satu sisi. “Tolong jangan katakan jika kau berharap aku memelukmu dan memberimu penghiburan,” lanjutnya membuat kedua mata Helena semakin memanas.

Rowena mendengus, membuang muka sebelum kembali menatap wajah pucat putrinya dengan angkuh. “Jika bukan karena kebaikan hatiku, kau pasti sudah mati, Helena. Camkan itu!”

Helena tidak menjawab. Ia berusaha menguatkan diri saat rasa dingin mulai merambat naik dari ujung kakinya hingga ujung telapak tangannya yang berkeringat. Dadanya naik turun dengan cepat, napasnya sedikit tersengal dan beberapa detik kemudian tubuhnya terhuyung ke belakang.

Wanita itu menyandarkan tubuhnya ke tembok di belakangnya, sekuat tenaga ia tetap berdiri dengan kedua kakinya yang mulai goyah dan kehilangan tenaga. Dia tidak boleh mendapat serangan panik lagi. Tidak di depan ibunya. Harga dirinya terlalu tinggi untuk itu.

“Pastikan kau menerima lamaran James dengan cepat, Helena!” Rowena kembali bicara, mengabaikan kerapuhan putrinya yang terlihat dengan sangat jelas. “Setelah menikah dengannya, kau bisa menceraikannya, bukan?” ujarnya santai. Rowena menyempitkan mata, “Jangan membenciku, Sayang!”

Helena tidak menjawab. Ia menundukkan kepala saat rasa sakit itu mulai menyerang kepalanya dengan dasyat.

“Yang harus kau benci setengah mati adalah ayah kandungmu,” lanjut Rowena tanpa ampun. Hatinya bahkan tidak tergerak saat melihat tubuh putrinya mulai terjatuh dan terduduk di atas lantai berkapet. “Dialah penyebab kemalanganmu,” lanjutnya dengan kebencian yang terselip dalam nada bicaranya. “Dialah penyebab dari penderitaanmu, karena itu kau harus membencinya hingga liang kuburmu.”

“Siapa?” tanya Helena lirih, setengah berbisik. Suaranya terdengar begitu lemah dan bergetar saat mengatakannya. “Siapa ayahku?” ia kembali bertanya dengan sisa kekuatannya. “Setidaknya aku harus tahu bagaimana sosok pria yang harus kubenci.”

Kalimat yang terlontar dari mulutnya menggantung di udara, lalu menguap layaknya embun yang terkena sinar matahari pagi dan keheningan pun kembali meraja, menyisakan suara napas berat Helena yang terdengar semakin mengkhawatirkan.

Rowena berjongkok, mengulurkan tangan kanannya untuk mengangkat dagu putrinya dengan jemari tangannya yang lentik. Cengkraman itu terasa begitu keras hingga membuat Helena meringis karenanya. “Aku membenci matamu,” bisiknya dingin. “Mata yang selalu mengingatkanku pada ayahmu,” lanjutnya membuat dada Helena semakin sesak oleh rasa sakit yang hebat. “Kau bahkan memiliki warna rambut yang sama dengannya.”

Wanita paruh baya itu mengamati wajah putrinya dengan lekat. “Semua yang ada dalam dirimu hanya mengingatkanku padanya.”

“Dan kurasa sikap Anda pada Helena sudah sangat keterlaluan, Nyonya!”

Rowena menoleh, menatap seorang pria yang kini berdiri menjulang tidak jauh dari tempatnya saat ini.

“Apa Anda tidak bisa melihat jika Helena sedang sakit?” James menyempitkan mata, giginya gemeretak menahan amarah yang siap meledak andai saja ia tidak bisa menahan diri dengan sangat baik. Pria itu berjongkok, membawa wanita yang dalam keadaan setengah sadar itu ke dalam pelukannya. “Sebaiknya Anda pergi,” tukasnya tenang dengan nada mengancam. “Anda tahu betul apa yang bisa aku lakukan pada perusahaan suamimu.”

Rowena melotot. Pria ini benar-benar kurang ajar. Sungguh pasangan yang sangat serasi untuk putrinya yang juga bersifat sama.

“Anda mungkin ibu kandung dari Helena,” lanjut James. “Tapi hal itu tidak akan bisa menghalangiku untuk menghancurkan Anda jika aku mau,” ujarnya membuat Rowena mendesis, merasa terancam. “Jadi sebaiknya Anda pergi, dan mulai detik ini, Helena menjadi tanggung jawabku,” tukasnya sebelum membuka pintu apartemen Helena lalu menutupnya keras, meninggalkan sosok ibu yang kini menatap pintu tertutup itu dengan perasaan marah yang menggebu-gebu.

***

TBC

Helena (Bab. 7 Sebuah Kesepakatan?)

2 Maret 2017 in Vitamins Blog

51 votes, average: 1.00 out of 1 (51 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

***

Enjoy! ^^

***

Author playlist : Ed Sheeran – Shape of You

***

Girl, you know I want your love
Your love was handmade for somebody like me
Come on now, follow my lead
I may be crazy, don’t mind me
Say, boy, let’s not talk too much
Grab on my waist and put that body on me
Come on now, follow my lead
Come, come on now, follow my lead

***

“Sekarang apa kau sudah puas?” Helena mengangkat dagunya angkuh, bertanya kaku saat James menyeringai penuh kemenangan padanya. “Selamat, Tuan Smith, Anda sudah berhasil menyembuhkan ego anda yang terlampau tinggi,” ejeknya kasar namun James sama sekali tidak terpengaruh.

Pria itu mengangkat bahunya ringan, “Sebenarnya egoku sama sekali belum terpuaskan,” ujarnya penuh arti membuat Helena menyempitkan mata, menatapnya dengan rasa tidak suka yang sama sekali tidak ditutupinya walau untuk sekedar sopan santun.

Persetan dengan sopan santun, pikirnya geram. Pria di hadapannya ini bahkan tidak tahu apa arti kata itu, jadi untuk apa ia memperlakukannya dengan baik?

“Aku menciummu setengah mati tapi kau bersikap seperti seorang perawan yang tidak pernah disentuh sebelumnya.” James memasang pose berpikir. “Ah, tidak. Kau lebih buruk,” ralatnya cepat. “Kau terlalu dingin, bahkan lebih dingin dari puncak gunung es.”

“Tolong beri aku ucapan selamat!” ejek Helena penuh kebencian.

James terkekeh. Ia menggoyangkan jari telunjuknya di depan dada. “Dan egoku hanya akan terpuaskan setelah kau telah menjadi Nyonya Smith,” katanya seraya berusaha untuk mengangkat dagu Helena yang terangkat tinggi dengan ibu jarinya. Namun pria itu lagi-lagi mengangkat bahunya cuek saat wanita itu mengelak dan mendelik ke arahnya tajam. “Kurasa kita sudah terlalu lama berbasa-basi,” lanjutnya tenang dengan kedua tangan dilipat di depan dada. “Dan sejujurnya aku mulai lelah berbasa-basi denganmu.”

Helena menipiskan bibir. “Kalau begitu pergi dari kehidupanku,” ujarnya geram. “Aku sama sekali tidak pernah ingat jika aku pernah mengundangmu ke dalam kehidupanku.”

James pun tergelak keras dibuatnya. Dalam satu gerakan cepat ia menangkup wajah Helana dengan kedua tangannya sebelum melayangkan sebuah ciuman singkat. “Sikap keras kepalamu ini-lah yang membuatku sangat tertarik padamu, Ann. Apa kau masih tidak mengerti?”

Gigi Helena gemeretak keras. Pria ini sangat kurang ajar, benar-benar kurang ajar. Bagaimana bisa dengan ringannya ia memanggilnya dengan panggilan itu? “Berhenti memanggilku ‘Ann’!” tukasnya dengan nada mengancam. Helena mengangkat telunjuknya di udara. “Aku tidak suka panggilan itu diucapkan oleh mulutmu—”

“Ah, jadi kau lebih suka aku memanggilmu ‘Honey’?” ejek James memotong ucapan Helena dengan cepat. Ia memiringkan kepalanya ke satu sisi. “Atau ‘Sweety’?”

“Brengsek James, jangan membuat kesabaranku habis!”

“Tidak,” balas James serak membuat Helena secara otomatis mundur beberapa langkah ke belakang. Sikap pria di hadapannya ini membuatnya bingung, terkadang ia merasa jika James begitu berbahaya hingga pertahanan dirinya mengatakan jika ia harus menjauh dari pria itu. “Seharusnya aku yang berkata seperti itu padamu,” tambahnya masih dengan nada yang sama. “Jangan membuat kesabaranku habis, Helena—”

“Atau apa?” tantang Helena dengan sisa-sisa keberaniannya yang masih tersisa dengan begitu menyedihkannya. “Apa kau berencana untuk menghancurkan keluargaku?” cibirnya kaku. “Lakukan saja, Tuan Smith, sungguh aku tidak peduli.”

James menerawang, seolah menimbang-nimbang, lalu menggelengkan kepalaya dengan gerakan pelan. “Untuk apa aku menghancurkan keluargamu?” Ia balik bertanya dengan nada tenang, membuat jantung Helena berdegup kencang yang didorong oleh perasaan tidak nyaman. Dadanya bahkan terasa sangat sesak saat netranya menangkap senyum licik yang sekilas terukir di bibir yang mungkin akan terlihat begitu menggiurkan andai saja keduanya tidak tengah berseteru saat ini.

Pria itu untuk sesaat menundukkan kepala, menekuri kuku-kuku jarinya yang terawatt dengan sangat baik sebelum akhirnya ia kembali mengangkat kepala, dan berkata dengan nada tenang menakjubkan, “Aku lebih suka menghancurkan panti asuhan tempatmu tumbuh besar, Helena.”

***

Helena termenung lama. Ia bahkan tidak bisa berpikir jernih setelah James mengutarakan rencana jahat itu padanya. Helena bahkan tidak melakukan perlawanan berarti saat James memapahnya keluar dari ruang inap VVIP itu, lalu menuntunnya turun hingga turun ke lobby rumah sakit dimana supir pribadi dan kendaraannya telah menunggu.

Perjalanan yang memakan waktu tidak singkat itu terasa sangat canggung. Keduanya tidak mengatakan apa pun untuk waktu lama hingga akhirnya keheningan itu terputus saat James menghela napas keras dan bertanya dengan nada tidak sabar, “Apa kau akan terus diam membisu seperti ini?”

Helena tidak langsung menjawab. Otaknya dipenuhi oleh kemungkinan-kemungkinan buruk yang mungkin saja terjadi jika ia benar-benar membuat masalah dengan seorang James Smith. “Kemana kau akan membawaku?”

Satu alis James diangkat naik. “Ke apartemenmu tentu saja, kau pikir kemana lagi?” tanyanya dengan nada mencemooh.

Helena melirik ke arahnya untuk waktu singkat sebelum akhirnya ia membuang muka, menatap jauh keluar jendela mobil.

“Kau pikir aku akan membawamu ke apartemenku?” ejek James.

Helena tida menjawab. James tidak perlu tahu jika untuk sesaat ia memang berpikir jika pria itu akan memaksanya untuk tinggal bersamanya, terlebih setelah dia mengatakan rencana jahatnya itu padanya.

“Kau terlalu banyak membaca novel romantis, Helena,” ujar James terdengar seperti sebuah ejekan yang menohok hati Helena dengan keras. “Aku tidak akan memaksamu untuk tinggal bersamaku jika kau tidak mau.”

Helena melirik lewat bahunya, menyempitkan mata dan mendesis tajam, “Tapi kau memaksaku untuk menikahimu.”

James menyeringai, mengendikkan bahu dan menjawab ringan, “Itu dua hal yang berbeda,” kilahnya nyaris membuat Helena membenturkan kepalanya pada kepala milik pria batu di sampingnya ini. “Aku bukan tipe pria yang rela menghamburkan uang hanya untuk mendapatkan wanita—”

“Kau berusaha menyuap keluargaku agar kau bisa meminangku.” Bentak Helena dengan napas terengah-engah. Oh, Tuhan, apa pria ini sadar dengan apa yang diucapkannya? Apa mungkin James mabuk hingga dia tidak ingat dengan apa yang pernah dilakukannya?

“Keluargamu hanya meminjam padaku, Helena,” sahutnya tenang. Ia bertopang kaki, lalu menggigit bibir bawahnya sementara tatapan tajamnya terarah pada bibir Helena yang sedikit terbuka. “Mereka akan mengembalikannya sesuai dengan kesepakatan yang akan kami sepakati nantinya,” terangnya membuat gigi Helena kembali gemeretak dengan keras.

James terdiam sejenak untuk mengambil napas dalam. “Kau hanya perlu setuju untuk menikah denganku. Itu saja, apa sulitnya?”

“Apa yang membuatmu memilihku?” tanya Helena serak. Ia mengepalkan kedua tangannya. Menahan kemarahannya adalah hal yang dulu sangat mudah untuk dilakukannya namun setelah bertemu dengan James, kenapa hal itu terasa sangat sulit? Sejak kecil, Helena sudah belajar dan mengerti jika ia harus berjuang keras untuk mendapatkan apa yang menjadi keinginannya.

Helena sudah belajar dari kepahitan masa lalunya jika ia harus terlihat kuat agar tidak diremehkan oleh orang lain, namun kenapa kelemahannya justru harus dilihat oleh James? Hingga detik ini ia bahkan masih tidak bisa memungkiri jika dirinya merasa amat sangat malu setelah pingsan tepat di hadapan pria itu. “Aku bukan wanita yang pantas untuk menjadi istrimu,” lanjutnya tenang. “Aku bukan Cinderella yang pantas untuk seorang pangeran sepertimu.”

Lagi-lagi James tergelak, terdengar begitu renyah di telingan Helena. “Benar dugaanku, kau terlalu banyak membaca novel-novel percintaan, Helena,” ejeknya seraya mencubit gemas hidung mancung wanita itu. “Seorang pria kaya jatuh cinta pada wanita miskin yang dalam hal ini dirimu.” Satu alisnya kembali diangkat saat mengatakannya. James menggelengkan kepala pelan. “Tidak Helena. Aku tidak mencintaimu,” terangnya membuat kedua bahu Helena merosot.

Oh, kenapa ia harus merasa terganggu oleh pengakuan pria itu? Seharusnya ia merasa biasa karena Helena sudah tahu jika James berniat menikahinya hanya untuk memuaskan egonya saja. Tidak lebih.

“Aku memilihmu karena kau berbeda,” lanjut James dengan ekspresi serius. “Dan satu hal yang sudah kau ketahui dengan baik, aku memilihmu karena kau menolakku. Sekarang kau harus camkan di dalam kepalamu jika aku tidak suka ditolak!”

Helena kembali membisu, terlalu malas untuk menyahut ucapan James yang terdengar semakin menyebalkan.

“Ancamanku bukan main-main, Helena,” lanjutnya membuat dada wanita itu kembali terasa sesak, penuh antipati. “Aku tidak akan segan-segan menyakiti ornag-orang yang kau sayangi jika kau berani menolakku,” ujarnya dingin.

Sialan! Maki Helena di dalam hati. Bagaimana bisa pria ini menyembunyikan sifat aslinya dengan sangat baik? Tanyanya penasaran. Seorang James Smith yang terkenal akan keramahan dan kemurahan hatinya ternyata memiliki sisi gelap yang mungkin tidak akan dipercayai oleh orang lain walau seandainya Helena melemparkan kebenaran ini ke wajah mereka.

James kembali menegakkan punggungnya. “Tugas pertamamu sudah menanti, Ann.”

“Berhenti memanggilku dengan panggilan itu!”

Satu alis James terangkat. “Kau tidak bisa melarangku untuk melakukan apa pun yang kuinginkan,” ujarnya tenang membuat Helena hanya bisa mendecih, dan memutar kedua bola matanya, kesal.

Brengsek! Sialan! Umpatnya Helena di dalam hati.

“Aku memerlukanmu, si calon istriku untuk mendampingiku untuk jamuan makan, malam ini.”

Helena terbelalak. “Kau pasti bercanda!” pekiknya garang.

“Aku tidak bercanda—”

“Diam dan dengarkan aku!” bentak Helena membuat James terlihat kaget oleh keberanian yang kembali diperlihatkan oleh wanita itu.

Ah, Helena tidak akan membuatnya bosan, pikirnya senang.

“Kau tidak bisa mengaturku untuk melakukan ini dan itu,” ujarnya dengan napas terengah. Helena melirik sekilas ke arah supir pribadi James yang sepertinya sama sekali tidak terganggu oleh pertengkaran di belakang jok kursinya. “Aku bukan budakmu,” tegasnya dengan suara tertahan.

“Kau memang bukan budakku, Ann. Siapa yang mengatakan hal itu padamu?” ujarnya santai. James mencondongkan tubuhnya. “Kau calon istriku. Ingat itu!” bisiknya merdu tepat di telinga kiri wanita itu.

.

.

.

TBC

CHAO XING (朝兴) – Bab. 9 Pertemuan yang Direncanakan

2 Maret 2017 in Vitamins Blog

47 votes, average: 1.00 out of 1 (47 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Author playlist : Xing Yue Shen Hua – OST The Myth 2010

***

Where will you be in a thousand years time?
What would the scenery look like around you?
Our story does not count as beautiful
Yet it is unforgettable

Despite breathing in air from the same sky
I am not able to embrace you
If time, identity and name were changed
I hope I will still remember your eyes  

***

Enjoy!

.

.

.

Dalam ruangan berpenerangan cahaya lilin itu Jian Guo memandang wajah putrinya yang terbaring di atas ranjang. Ia bernapas sepelan mungkin, memastikan jika suara napasnya tidak mengganggu tidur putrinya yang lelap. Ah… walau dalam keadaan minim cahaya sekalipun, Chao Xing terlihat begitu pucat, hingga membuat Jian Guo merasa cemas.

“Yang Mulia…?!” panggil Kasim Ren dengan suara serendah mungkin. “Ampun, Yang Mulia, sudah saatnya Anda kembali ke Istana Emas,” ujarnya mengingatkan dengan nada hormat dan bijak. Sudah tugas Ren untuk mengingatkan rajanya untuk mematuhi protokol kerajaan. Istana Emas merupakan tempat peristirahatan raja, juga tempat dimana ruang kerja pribadinya berada.

“Apa aku tidak bisa tinggal di sini untuk malam ini saja?” Jian Guo balik bertanya, tanpa mengalihkan tatapannya dari wajah Chao Xing. “Aku ingin memastikan jika dia baik-baik saja,” lanjutnya membuat Kasim Ren mengangguk paham.

“Hamba mengerti,” sahut kasim masih dengan nada hormat dan bijak yang sama. Ren bahkan tersenyum tipis saat mengatakannya. Ada kebahagiaan yang menyelinap ke dalam hatinya saat mengetahui jika rajanya mulai menerima Chao Xing sebagai putrinya. Ah, tidak, ralat Kasim Ren cepat. Raja sudah mengakui Sang Putri jauh sebelum ini, batinnya. “Namun Anda tidak bisa melanggar protokol kerajaan,” tambahnya tenang. “Para selir, pejabat serta bangsawan pasti akan bertanya-tanya mengapa Putri Chao Xing diperlakukan sangat istimewa?” jelasnya pelan.

Ren terdiam sejenak, memberi waktu Jian Guo untuk meresapi ucapannya. “Yang hamba khawatirkan—perhatian istimewa yang Anda tunjukkan pada Putri Chao Xing akan membuat putri kerepotan di masa yang akan datang.”

Sekejap kedua mata Jian Guo melebar terlihat marah walau pada akhirnya ia hanya melepas napas panjang tanpa melepaskan pandangannya dari wajah Chao Xing. Ia mengamatinya dengan seksama, seolah-olah memastikan jika putrinya itu masih bernapas dengan teratur.

Dengan gerakan pelan ia pun berdiri, mencondongkan tubuhnya lalu mengulurkan tangan untuk kemudian diletakkannya di atas dahi Chao Xing yang kini sudah bersuhu tubuh normal. “Dia akan baik-baik saja bukan?” tanyanya, terselip nada bersalah dalam suara beratnya saat mengatakannya.

Kasim Ren mengangguk. “Tuan Putri akan segera sembuh,” sahutnya sangat yakin. “Putri akan segera sembuh dan mengganggu saudara-saudaranya yang lain,” tambahnya dengan sebuah senyum yang terukir pada wajah keriputnya yang dimakan oleh usia.

***

Chao Xing melirik lewat bahunya, memastikan jika rencananya kali ini tidak diketahui oleh Dayang Ju maupun hamba sahayanya yang lain. Sekuat tenaga ia mengabaikan rasa sakit yang sesekali masih berdenyut pada kedua betisnya. Yang ada di dalam pikirannya saat ini hanya satu—mencuri lihat para sarjana yang tengah melaksanakan ujian nasional untuk memilih sarjana-sarjana berkualitas untuk menduduki posisi-posisi penting dalam pemerintahan.

Bedebah itu pasti mengikuti ujian lagi untuk kenaikan jabatan, batin Chao Xing yang terus memaksa kedua kakinya berjalan menuju halaman istana yang kini disulap menjadi area tempat ujian nasional dilaksanakan.

Persetan dengan rasa sakit yang kini terus berdenyut dengan hebat, bagaimanapun juga rencana balas dendamnya jauh lebih penting saat ini.

Ia tertawa di dalam hati. Dua tahun lamanya ia sudah menunggu, dan akhirnya hari ini tiba juga. Chao Xing tidak tahu darimana keyakinannya itu berasal, namun satu hal yang pasti—pria brengsek itu tengah ada di dekatnya.

Chao Xing menghela napas berat, sedikit meragu saat berdiri, menatap sebuah pohon yang menjulang tinggi di hadapannya. Ia tidak memiliki cara lain selain naik ke atas pohon itu untuk mendapat pemandangan terbaik. “Apa aku bisa naik dengan kondisi seperti ini?” tanyanya lirih, tidak yakin pada dirinya sendiri.

Setelah melepas napas berat Chao Xing pun membulatkan tekad. Perlahan ia mulai naik dengan hati-hati hingga mencapai dahan tertinggi pada pohon itu. “Si brengsek itu benar-benar mengikuti ujian tahun ini rupanya,” bisiknya dengan seringai puas saat mata tajamnya menemukan apa yang dicarinya—di sana, di barisan kedua—Lee Qiang duduk, terlihat begitu serius mengerjakan soal yang diberikan oleh istana untuk ujian tahun ini.

“Dan aku sangat yakin jika nenek sihir itu pasti tengah menunggumu di depan pintu gerbang istana,” lanjutnya yang diakhiri oleh kekehan panjang.

Chao Xing menyempitkan mata, masih menatap tajam seratus orang sarjana yang tengah mengikuti ujian nasional di halaman istana tanpa menyadari jika tiga orang pria tengah menatapnya dengan ekspresi berbeda-beda.

“Apa yang kau lakukan di atas sana?”

Pertanyaan yang dilontarkan dengan nada marah itu mengejutkan Chao Xing, ia bahkan nyaris terjatuh karenanya. “Kakak Pertama, kau mengagetkanku!” balasnya galak membuat Jian Gui memijat keningnya yang mendadak berdenyut sakit. “Kakak mau melihatku mati karena kaget?” tanyanya lagi, masih dengan nada yang sama.

“Jangan membuatku marah, Chao Xing,” ujar Jian Gui dengan gigi gemeretak. “Sekarang turun dan jelaskan apa yang kau lakukan di sana!” perintahnya mutlak, namun Chao Xing bergeming. Remaja wanita itu terlalu keras kepala untuk melakukan apa yang diperintahkan oleh kakak sulungnya itu.

Chao Xing menatapnya lekat-lekat. “Aku tidak mau turun!”

Ucapan Chao Xing nyaris membuat kesabaran Jian Gui yang sudah menipis itu hilang seutuhnya, namun ucapan Chao Xing selanjutnya membuatnya merasa bersalah.

“Kau pasti akan melaporkanku lagi pada Yang Mulia, iya, kan?” cicit Chao Xing dengan mata berkaca-kaca. “Aku tidak mau dipukul lagi,” tambahnya membuat rasa bersalah dalam diri Jian Gui semakin menumpuk. “Rasanya sangat sakit,” ringisnya dengan ekspresi berlebihan. Chao Xing tahu betul kelemahan Jian Gui, dan saat ini ia akan menggunakannya dengan sangat baik agar apa yang dilakukannya saat ini tidak sampai ke telinga raja. “Apa kakak tega melihatku dipukul lagi?”

Jian Gui menghela napas panjang. “Turunlah!” pintanya dengan nada lembut. “Aku tidak akan melaporkan masalah ini pada Ayahanda,” janjinya, sementara Chao Xing menggigit bibir bawahnya, memasang pose berpikir. “Aku hanya tidak mau kau jatuh dan terluka,” tambahnya dengan nada cemas.

Chao Xing bergeming, tidak langsung menjawab sebelum akhirnya ia mengangguk setuju. “Kau sudah berjanji untuk tidak melaporkanku,” ujarnya saat kedua kakinya sudah kembali menginjak bumi.

Jian Gui mengangguk pelan, sementara kedua orang pria yang berdiri di belakang Jian Gui hanya bisa berdiri, tanpa mengatakan apa pun. Keduanya seolah terhipnotis oleh apa yang terjadi di depan mereka. Baik Bao Lin maupun Guang Li sama sekali tidak menyangka jika seorang Putera Mahkota yang terkenal sedingin es bisa bersikap begitu lembut. Keduanya bahkan heran karena Jian Gui terlihat sama sekali tidak keberatan dengan sikap tidak sopan yang diperlihatkan oleh Chao Xing terhadapnya.

“Jadi, apa yang kau lakukan di atas sana?”

“Jadi, apa yang Kakak Pertama lakukan di tempat ini?” balas Chao Xing.

“Jangan balas pertanyaan dengan pertanyaan lain!”

Chao Xing menggerutu, terlihat kesal namun di satu sisi ia tidak bisa mengabaikan pertanyaan yang dilontarkan oleh Jian Gui.

Hening.

Jian Gui menyempitkan mata, melipat kedua tangannya di depan dada. “Kau mengintip sekelompok pria?” tanyanya dengan seringai jail.

“Maksud kakak apa?” balas Chao Xing sembari mengerjapkan mata bingung. “Aku tidak bermaksud mengintip mereka. Aku… aku hanya ingin tahu bagaimana ujian nasional berlangsung,” kilahnya cepat.

“Benarkah?” Jian Gui kembali bertanya dengan satu alis diangkat.

“Tentu saja benar, kenapa aku harus berbohong?”

Jian Gui mengangkat bahu. “Entahlah,” ujarnya membuat Chao Xing menyempitkan mata. Entah kenapa ia merasa tidak akan menyukai apa yang akan dikatakan oleh Jian Gui selanjutnya. “Umurmu sudah pas untuk menikah. Jadi tidak ada salahnya jika kau mulai memilih calon pendamping yang tepat.”

“Aku tidak akan menikah,” balas Chao Xing serius membuat Jian Gui sangat terkejut. Chao Xing tersenyum, tangan kanannya bergerak untuk menyelipkan anak rambut ke belakang telinganya. “Aku memutuskan untuk jadi pendeta. Hidup di dalam kuil dan menjadi pelayan dewa,” terangnya tenang.

“Jangan bercanda!” Jian Gui mengacak pelan rambut Chao Xing penuh sayang. “Kau masih terlihat pucat. Kenapa kau berkeliaran seorang diri?”

“Aku bosan,” keluh Chao Xing tanpa menatap wajah kakak sulungnya. Ia menunduk, menatap jalan setapak yang diinjaknya saat ini. Sebuah helaan napas kembali terdengar dari wanita itu. “Dayang Ju melarangku untuk banyak bergerak. Dia bilang lukaku bisa terbuka, dan semua dayang-dayangku serta kasim-kasim di kediamanku, mereka semua berkomplot mendukung keputusan Dayang Ju,” adunya membuat Jian Gui menyunggingkan sebuah senyum tipis.

“Lalu kenapa kau bisa berada di sini?”

“Aku membius mereka semua untuk kabur,” terang Chao Xing membuat Jian Gui, Bao Lin dan Guang Li terbelalak. “Demi dewa… aku hanya bercanda,” ujar Chao Xing. Ia terkikik geli saat melihat ekspresi kakak sulungnya. “Dayang Ju pasti tengah mencariku sekarang. Sebaiknya aku segera pulang dan menikmati hari-hari suramku kembali,” tambahnya dengan nada putus asa yang dibuat-buat.

“Kau mau main keluar istana?”

Chao Xing mengerjapkan mata. “Apa boleh?” ia balik bertanya dengan antusias. Chao Xing menarik-narik pelan tangan Jian Gui, memiringkan kepala ke kanan dan ke kiri hingga membuat senyum Jian Gui yang amat sangat jarang terlihat, kembali nampak di wajah tampannya. “Jadi aku boleh main keluar istana?” pekik Chao Xing saat Jian Gui mengangguk pelan. “Aku sayang Kakak Pertama!” serunya sembari memeluk tubuh Jian Gui erat. “Apa kau tahu jika kau sangat tampan?” tanyanya berusaha untuk mengambil hati kakak sulungnya.

Jian Gui terkekeh, lalu berdeham pelan dan kembali memasang ekspresi serius saat berkata. “Kau tidak akan pergi sendiri,” ujarnya membuat senyum di wajah Chao Xing hilang, berganti oleh ekspresi tidak mengerti. “Panglima Liu akan menjadi pengawalmu saat kau pergi keluar istana,” jelasnya membuat Chao Xing dan Guang Li sama-sama terkejutnya.

Chao Xing mengerjapkan mata, ia menatap dua orang pria lain yang berdiri penuh hormat di belakang punggung kakak sulungnya. “Ah, kau!!!” pekiknya saat melihat Guang Li. “Kau kepala prajurit pengadilan yang mesu—”

“Hamba Liu Guang Li memberi salam pada Putri Chao Xing!” potong Guang Li cepat. Dadanya bergemuruh dengan cepat. Pria itu tahu betul apa yang akan dikatakan oleh Chao Xing, dan memutuskan untuk memotong ucapan putri tengil itu. Jabatannya, dirinya serta keluarganya akan berada dalam posisi berbahaya jika Jian Gui mengetahui apa yang terjadi saat Chao Xing dibawa ke kantor pengadilan.

Tidak bisa, pikirnya. Putri tengil itu harus menutup mulutnya dengan rapat, dan ia akan memastikan Chao Xing itu melakukannya walau ia harus melakukan pertukaran untuk hal itu.

Seolah bisa membaca isi pikiran Guang Li, Chao Xing tersenyum penuh arti. Ia memeluk tangan Jian Gui dan berkata dengan nada manis, “Jika bukan karena Panglima Li, aku pasti sudah babak belur,” lapornya membuat air muka Jian Gui berubah geram, saat mengingat bagaimana Chao Xing terluka karena perbuatan penjahat-penjahat itu. “Menempatkanku di bawah perlindungan Panglima Liu merupakan keputusan yang tepat, Kakak Pertama,” tambahnya membuat keringat dingin membasahi punggung Guang Li.

“Tentu saja tepat!” seru Jian Gui seraya membelai rambut Chao Xing penuh sayang. “Jian Guang akan marah besar jika tahu kau terluka,” ujarnya membuat Chao Xing merasa bersalah. “Kakak Keduamu menitipkanmu padaku. Jadi kau harus membantuku, jangan bertindak gegabah atau aku akan memohon pada Ayahanda untuk mengurungmu di rumah. Apa kau mengerti?”

Chao Xing mengangguk pelan.

“Bagus,” ujar Jian Gui puas. Ia terdiam sejenak. “Jadi, kau mau keluar istana kapan?” tanyanya kemudian.

“Siang ini,” jawab Chao Xing antusias.

***

“Woah… takdir memang benar-benar tidak terduga, bukan begitu, Panglima Liu?” Chao Xing bertanya dengan nada mengejek. Keduanya berjalan-jalan santai di jalanan ibu kota siang ini. “Sudah hampir dua minggu aku terkurung di dalam istana dan rasanya rasa sakit di kedua kakiku menghilang begitu saja saat aku keluar dari sangkar emas itu,” tambahnya pelan, sementara Guang Li menutup mulutnya rapat, terlalu malas untuk mebalas ucapan gadis manja yang berjalan di sampingnya.

“Kau jangan khawatir,” lanjut Chao Xing tenang. “Aku tidak akan membocorkan masalah ketidaksopananmu terhadapku beberapa waktu yang lalu,” lanjutnya penuh penekanan. “Tapi ada syaratnya!”

Guang Li menelan kering, bersiap-siap untuk hal terburuk yang akan didengarnya dari mulut Chao Xing.

“Kau harus memproklamirkan kesetianmu padaku!”

Guang Li tidak menjawab, membuat Chao Xing mengibaskan tangan kanannya di udara. “Tenang saja, aku tidak akan memintamu untuk mengkhianati negara,” lanjutnya tenang. Chao Xing terdiam sejenak, memandang Guang Li lurus. “Jadi, bagaimana?”

“Hamba Liu Guang Li bersumpah untuk setia pada Putri Jian Chao Xing. Langit dan bumi menjadi saksi. Dewa Langit akan menghukum hamba dengan petirnya jika hamba melanggar sumpah yang telah hamba ucapkan!”

Chao Xing tersenyum puas. “Bagus. Aku menerima sumpahmu dengan seluruh kerendahan hatiku,” jawabnya riang. Ia kembali berjalan, mengamati sekelilingnya hingga akhirnya ia menemukan apa yang tengah dicarinya. “Sudah kuduga jika penyihir itu ada di tempat ini!” ujarnya setengah berbisik, membuat Guang Li mengernyit lalu mengikuti arah pandangan Chao Xing.

Sialan! Putri dari keluarga bangsawan Liang, batin Guang Li geram. Pria itu bisa dikatakan alergi terhadap Mei Hwa. Guang Li tidak menyukai wanita yang dinobatkan sebagai wanita paling cantik di ibukota.

Sikap manis Mei Hwa dirasanya seperti dibuat-buat, dan Guang Li yakin jika wanita itu memang sengaja melakukannya untuk menebarkan pesona demi mendapatkan pasangan dari kalangan bangsawan dan jika memungkinkan dari keluarga istana.

“Tuan Putri, bisakah kita pergi ke tempat lain?” tanya Guang Li saat Chao Xing berjalan ke arah Mei Hwa dan Lee Qiang berdiri. “Bukankah Pangeran Pertama akan menjemput anda dua jam lagi di Rumah Makan Huo Guo? Sebaiknya kita segera menuju ke tempat itu,” lanjutnya dengan nada membujuk namun Chao Xing bergeming. Dengan langkah mantap dan dagu terangkat wanita itu terus berjalan menuju Mei Hwa dan Lee Qiang berdiri. “Tuan Putri, apa Anda tidak lapar? Rumah makan itu sangat terkenal, Anda harus mencicipi arak dan menu terbaik yang mereka tawar—”

“Ah, maaf aku tidak sengaja menabrakmu!” ujar Chao Xing membuat kalimat yang sudah berada di ujung lidah Guang Li terputus.

Pria itu menghela napas lelah, mengumpat dalam hati karena Chao Xing sengaja menabrakkan tubuhnya pada Mei Hwa. Guang Li menekuk keningnya. Apa Chao Xing dan Mei Hwa saling mengenal? Tanyanya di dalam hati.

“Apa kau tidak punya ma—” Mei Hwa terbelalak. Mulutnya terbuka lebar saat ia mengenali sosok wanita yang baru saja menabraknya. “Chao Xing?!” serunya dengan ekspresi kaget, membuat Lee Qiang terbelalak, memandang Chao Xing dari ujung kaki hingga ujung kepala. “Kau Chao Xing, kan?” tanyanya lagi untuk memastikan.

Chao Xing memiringkan kepala ke satu sisi, pura-pura tidak mengenal dua orang yang kini menatapnya takjub. “Apa aku mengenalmu?” ia balik bertanya dengan anggun. “Apa kita pernah bertemu sebelumnya?” tanyanya lagi membuat kedua mata Mei Hwa semakin melebar.

“Aku Mei Hwa, putri dari Pejabat Liang,” ujar Mei Hwa semangat. “Wah, kau terlihat berbeda,” lanjutnya dengan nada iri yang sama sekali tidak disembunyikannya. “Kau masih mengingatnya, kan Sarjana Lee?” tanyanya pada pria yang berdiri di sampingnya.

Lee Qiang mengangguk, namun tidak mengatakan apa pun.

“Kau memakai sutra terbaik dan perhiasan,” ujar Mei Hwa. “Kau terlihat cantik,” pujinya dengan senyum dipaksakan.

“Seorang wanita hanya memerlukan pakaian yang pas untuk terlihat menawan,” sahut Chao Xing tenang. “Namun yang lebih penting adalah apa yang dimilikinya di sini.” Chao Xing meletakkan tangannya di depan dada. “Seorang wanita tidak sempurna hanya dengan kecantikan fisik yang dimilikinya, ia juga harus memiliki kecantikan hati,” ejeknya membuat Mei Hwa mengepalkan kedua tangannya, kesal.

Mei Hwa mendengus. “Bagaimana bisa seorang wanita muda sepertimu berkeliaran seorang diri tanpa pendamping. Hal itu tidak bisa ditolerir.”

“Aku tidak sendiri,” balas Chao Xing membuat senyum mengejek Mei Hwa hilang. “Aku ditemani oleh seseorang,” terangnya membuat Mei Hwa melirik ke belakang Chao Xing, kedua matanya terbelalak saat mengenali siapa yang menemani Chao Xing saat ini.

“Lama tidak berjumpa, Nona Liang!” Guang Li menyapa sopan, menahan diri untuk tidak menyeret Chao Xing dari tempat ini. Sungguh, ia sama sekali tidak mengira jika Chao Xing dan Mei Hwa saling mengenal, walau sepertinya Mei Hwa belum tahu siapa Chao Xing sebenarnya. “Apa kabar, Sarjana Lee?” tanyanya pada Qiang yang mengangguk hormat.

“Kalian saling mengenal?” Chao Xing mengangkat sebelah alisnya.

“Siapa yang tidak mengenal Tuan Muda dari keluarga bangsawan Liu?” jawab Mei Hwa dengan suara lembut dibuat-buat. “Yang aku heran, bagaimana bisa kau mengenalnya?” tanyanya tajam.

“Kakak pertamaku mengenal Tuan Bo Lin dengan baik, karenanya Tuan Bo Lin meminta Tuan Guang Li untuk mengantarku berkeliling kota,” terangnya membuat mulut Mei Hwa kembali terbuka lebar. Chao Xing mengelus perutnya, lalu melirik ke arah Guang Li, “Aku lapar,” ujarnya dengan bibir mengerucut lucu.

“Aku tahu tempat makan enak di sini,” seru Lee Qiang. “Bagaimana kalau kita makan di Huo Guo?” tawarnya dengan senyum penuh arti. “Aku yang akan membayar tagihannya sebagai pesta pertemuan kita kembali,” tambahnya tanpa melepaskan tatapannya dari wajah cantik Chao Xing.

Chao Xing terkesiap, pura-pura antusias. “Bukankah Kakak Pertama akan menjemputku di sana?” tanyanya pada Guang Li yang terlihat kaget karena Chao Xing memeluk tangannya. “Boleh aku menerima tawarannya, Kak Li?”

“Kak Li?” pekik Mei Hwa terperangah.

“Kenapa?” Chao Xing memiringkan kepala ke satu sisi. “Dia jauh lebih tua dariku, apa aku tidak boleh memanggilnya kakak?” tanyanya pura-pura polos.

“Tuan Guang Li berasal dari keluarga bangsawan terpandang, bagaimana bisa kau memanggilnya ‘kakak’ dengan mudahnya? Kau benar-benar tidak sopan!” ejek Mei Hwa kesal. “Dan asal kau tahu, Tuang Guang Li sudah memiliki tunangan.”

Chao Xing mendongak, menatap Guang Li lurus. “Selama ini aku selalu memanggilmu ‘kakak’, apa kau keberatan?” tanyanya membuat Guang Li tertawa di dalam hati mendengar pertanyaan yang dipenuhi oleh kebohongan itu. “Aku memang bukan berasal dari keluarga bangsawan terpandang sepertimu, apa kau keberatan karena itu.”

“Tentu saja hamb—” Guang Li berdeham, mengingatkan dirinya sendiri untuk mengikuti sandiwara Chao Xing. “Aku tidak keberatan. Apa selama ini aku pernah mengutarakan keberatanku?” ia balik bertanya dengan tenang, membuat Chao Xing tersenyum puas.

“Sekarang kau puas?”

Mei Hwa gemeretak, bertambah kesal saat melihat Chao Xing tersenyum mengejek padanya, sementara di sampingnya—Lee Qiang terlihat begitu terpukau oleh kecantikan Chao Xing.

“Bisakah kita pergi sekarang? Aku sudah sangat lapar,” rengek Chao Xing pada Guang Li, membuat Mei Hwa semakin bertambah kesal.

***

Siang ini Restoran Huo Guo sangat ramai, jauh melebihi hari-hari biasanya, mungkin dikarenakan hari ini adalah hari dimana ujian nasional kerajaan berlangsung, hingga banyak sekali pengunjung dari seluruh penjuru negeri datang untuk menemani sanak-saudara mereka untuk mengikuti ujian nasional tahun ini.

“Apa kakakmu ikut ujian tahun ini?” Lee Qiang bertanya dengan senyum ramah yang nyaris membuat Chao Xing mual. Pria itu mengernyit, “Tapi aku tidak pernah tahu jika kau memiliki kakak laki-lakiu,” lanjutnya penuh tanya.

Chao Xing mengendikkan bahu, “Banyak hal yang tidak kau ketahui tentangku,” jawabnya santai. “Dan tidak, kakakku tidak mengikuti ujian nasional,” tambahnya tenang. Chao Xing kembali menyuapkan potongan daging bebek panggang ke dalam mulutnya lalu menuangkan arak ke dalam cawan milik Guang Li.

“Dari pakaian dan perhiasanmu, kau terlihat berasal dari keluarga bangsawan.” Mei Hwa menimpali. “Kukira kau yatim piatu,” tambahnya membuat Guang Li geram, nyaris marah oleh ketidaksopanan Mei Hwa, namun dengan cepat Chao Xing menepuk-nepuk pergelangan tangan pria itu, seolah-olah mengatakan jika ia bisa mengatasinya. “Apa keluargamu menang judi hingga perekonomianmu makmur?”

Guang Li gemeretak, kesabarannya semakin menipis namun Chao Xing hanya tersenyum simpul menanggapi ucapan kurang ajar Mei Hwa. “Hati-hati dengan ucapanmu, Nona Mei Hwa! Kau tidak tahu dengan siapa kau sedang berbicara!”

Mei Hwa terbelalak, terkejut mendengar nada ancaman dari Guang Li. Mau tidak mau ia kembali bertanya-tanya, siapa Chao Xing sebenarnya? Jika gadis remaja itu merupakan putri dari bangsawan ternama, lalu mengapa ia tumbuh besar di kaki bukit terpencil bersama bibinya?

“Jadi, sudah berapa lama kau tinggal di ibu kota?” Qiang kembali angkat bicara, berusaha memutus ketegangan yang mengganggu. “Atau kau hanya datang berkunjung?” tanyanya lagi masih dengan senyum memikatnya.

Chao Xing harus mengakui jika Lee Qiang sangat tampan, namun sayangnya pria itu tidak memiliki hati yang setampan wajahnya, dan karenanya Chao Xing merasa muak. “Aku menetap tinggal bersama keluarga besarku sejak dua tahun yang lalu,” terangnya pendek.

“Dari keluarga mana kau berasal?” tanya Mei Hwa menyelidik.

“Apa itu penting?”

Mei Hwa memutar kedua bola matanya. “Tentu saja itu penting,” jawabnya sebal. “Ah, ngomong-ngomong, Tuan Liu, apa keluarga Anda diundang datang ke pesta ulang tahun Yang Mulia?” Mei Hwa menutup mulutnya, dengan cepat ia kembali bicara dengan nada bersalah yang terdengar lembut, “Ah, tentu saja keluarga bangsawan Liu diundang. Maaf untuk ketidaksopananku,” ujarnya membuat Chao Xing mendengus kecil. “Lalu bagaimana dengan keluargamu?” Ia mengalihkan pandangannya pada Chao Xing. “Apa keluargamu turut diundang?” tanyanya tajam, meremehkan.

Chao Xing baru saja akan menjawab saat suara berat yang begitu dikenalnya memanggil namanya. “Chao Xing?!”

Ia menoleh lewat bahunya, menatap sosok kakak pertamanya dengan tatapan bangga.

“Apa dia menyulitkanmu?” tanya Jian Gui pada Guang Li yang kini berdiri dengan sikap penuh hormat.

“Sama sekali tidak,” jawabnya dengan kesopanan yang membuat Mei Hwa dan Lee Qiang kembali dibuat bertanya-tanya akan jati diri Chao Xing sebenarnya, terlebih saat mereka melihat keagungan yang terpancar dari sosok yang memperkenalkan diri sebagai kakak Chao Xing ini.

Jian Gui menoleh ke arah Chao Xing, mengernyit dan dengan cepat ia membuka jubah berwarna hitamnya lalu dipakaikannya pada gadis remaja itu. “Dandananmu terlalu menarik perhatian,” ujarnya membuat Chao Xing merengut lucu. “Aku sudah menyulitkanmu, Guang Li. Adikku pasti sangat merepotkan.”

“Aku sama sekali tidak merepotkan!” kilah Chao Xing cemberut membuat Jian Gui mengacak rambutnya gemas. “Apa kita akan pulang sekarang?” tanyanya seraya merapikan rambutnya.

“Apa kau masih mau bermain?” Jian Gui bertanya lembut, sementara Chao Xing mengangguk dengan semangat. “Tapi kita harus segera kembali. Ibunda pasti sangat cemas, lagipula kau belum pulih betul. Kau mau aku dihukum oleh ayahanda karena mengizinkanmu pergi bermain saat kesehatanmu belum pulih betul?”

Chao Xing menggelengkan kepala kuat.

“Kalau begitu tunggu apalagi? Kita pulang sekarang!” perintah Jian Gui tegas. Pria itu begitu terfokus pada Chao Xing hingga mengabaikan Mei Hwa dan Lee Qiang yang menatapnya penuh tanya. “Ucapkan terima kasih karena Guang Li karena bersedia menemanimu hari ini!”

“Terima kasih sudah bersedia menemaniku,” ucap Chao Xing dengan senyum hangat, hingga Guang Li untuk sekejap dibuat salah tingkah.

“Sudah menjadi tugas hamba, Nona Muda,” balasnya sedikit gugup.

“Kau harus menjamunya saat dia datang berkunjung!” Jian Gui mengingatknan, seraya memakaikan tudung jubahnya di kepala Chao Xing. “Kita pulang, Bao Lin!” serunya pada Bao Lin yang sejak tadi tidak mengatakan apa pun. Ketiganya berjalan pergi meninggalkan tiga orang yang menatap kepergian ketiganya dengan ekspresi berbeda-beda.

“Tuan Muda Liu, jika boleh saya tahu, sebenarnya Chao Xing berasal dari keluarga mana? Kenapa Tuan Muda Pertama terlihat begitu menaruh hormat pada kakak Chao Xing?” tanya Mei Hwa penasaran.

Guang Li merogoh hanfu-nya lalu meletakkan beberapa tael emas di atas meja. “Hari ini izinkan aku yang membayar tagihan makanannya,” ujarnya. “Dan mengenai pertanyaan anda, Nona Mei Hwa, yang saya bisa katakan—jangan memandang remeh seseorang, karena anda bisa sangat terkejut jika mengetahui kebenaran yang tidak anda ketahui,” lanjutnya sebelum pamit dan berbalik pergi meninggalkan Mei Hwa dan Lee Qiang dalam kebingungan.

.

.

.

TBC

1. Liu Guang Li

 Liu Guang Li

2. Liu Bo Lin

 Liu Bo Lin

3. Liang Mei Hwa

 Liang Mei Hwa

4. Lee Qiang

Source pics : Pinterest

Source pics : Pinterest

Picture belongs to rightful owner.

Helena (Bab. 6 Kompromi?)

15 Februari 2017 in Vitamins Blog

71 votes, average: 1.00 out of 1 (71 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Author playlist : Jet – Look What You’ve Done

***

Enjoy! ^-^

***

“Suatu kehormatan besar Anda bersedia datang—” Helena terdiam sejenak, melirik sekilas ke arah Rowena yang berdiri di depan pintu. “Anda datang untuk menjengukku bukan?” tambahnya dengan nada mencemooh yang sama sekali tidak disembunyikannya.

Rowena tersenyum samar. Diikuti Andrew di belakangnya, dengan langkah tertata ia berjalan ke arah putrinya. “Aku hanya memastikan sumber uangku baik-baik saja,” balasnya membuat Helena tertawa keras, terlihat puas mendengar jawaban ibu kandungnya itu.

Dengan acuh Helena mengangkat sebelah bahunya. “Setidaknya kau tidak berbasa-basi hanya untuk menyenangkanku.”

“Bisakah kalian hentikan pertengkaran ini?” Andrew berusaha untuk menengahi. Dia cukup lelah melihat pertengkaran keduanya, sementara alasan lainnya, pria itu sangat takut jika sikap istrinya malah membuat Helena semakin muak. “Rowena, putrimu sedang sakit. Bisakah kau sedikit bersabar menghadapinya?”

Helena mendengus, sama sekali tidak tersentuh oleh pernyataan ayah tirinya itu. “Jika kalian datang hanya untuk membujukku, sebaiknya kalian lupakan saja!” ujarnya, setelah jeda panjang. “Aku masih belum berubah pikiran,” tambahnya dingin. Dia berbalik, berusaha untuk tetap tenang di bawah tatapan tajam ibunya. “Jangan mengharapkan sesuatu dariku—”

“Setidaknya kau harus membalas budi karena aku bersedia melahirkanmu, anak tidak tahu diri!” Rowena berkata dengan tenang, sementara Andrew yang duduk di sampingnya hanya bisa menggelengkan kepala pelan. Terlihat menyerah. “Jika bukan karena pengorbananku, kau tidak akan bisa melihat dunia saat ini.”

“Dan kau bangga akan hal itu?” tanya Helena getir. “Setelah kau memperlakukanku dengan begitu buruknya?”

Rowena kembali mengangkat bahunya ringan. “Kau seharusnya menyalahkan takdirmu, Helena.” Ia menjeda. “Kau harus bertanya kepada Tuhan kenapa Dia menjadikanmu sebagai putri dari bajingan yang memperkosaku!” tukasnya penuh penekanan. “Saat aku melihatmu, yang kulihat hanya dia. Dia Si Bajingan brengsek yang sudah menodaiku!”

Helena tidak menjawab.

“Kau pikir bagaimana perasaanku setiap kali aku melihatmu?”

Hening.

Rowena meremat dadanya. “Rasanya aku ingin sekali mati saat teringat kejadian mengerikan itu,” tukasnya dengan nada lebih rendah namun menusuk. “Setiap kali melihatmu, rasanya aku ingin membunuhmu,” tegasnya membuat Helena tersentak, sakit hati.

Kenapa ibunya harus menyalahkannya? Bukan keinginan Helena untuk dilahirkan ke dunia. Bukan keinginan Helena juga terlahir sebagai anak dari hasil pemerkosaan. Kenapa semua kebencian yang dimiliki oleh ibunya harus dilimpahkan kepadanya? Tanya Helena di dalam hati.

“Rowena, tolong hentikan!” pinta Andrew lembut, berusaha untuk menenangkan istrinya, namun Rowena bergeming. Rasa sakit yang dikuburnya dalam kini kembali ke permukaan saat ia menatap Helena yang dilihatnya semakin mirip dengan pria itu. Pria yang sudah menghancurkan masa remajanya. Pria yang telah meredupkan masa depannya.

Rowena mengetatkan rahangnya. Kedua tangannya terkepal erat hingga membuat buku-buku jarinya memutih. “Seharusnya aku memberikanmu pada ayah bejadmu itu saat dengan pongahnya dia kembali datang padaku dan bertanya mengenai dirimu.”

Helena bergerak bangkit hanya untuk kembali terhuyung dan terduduk di sisi ranjangnya. “Apa maksudmu?” tanyanya setengah berbisik.

Apa lagi ini? Tanyanya di dalam hati. Apa maksud ibunya tadi?

“Ya, ayahmu mencarimu,” terang Rowena dengan seringai kejam. “Dia mencarimu dan bermaksud untuk membawamu bersamanya,” lanjutnya. “Dan tentu saja aku mengatakan padanya jika kau sudah mati.”

“Kenapa kau tidak memberitahuku tentang ini?” raung Helena frustrasi. Ya. Seharusnya ibunya mengatakan hal ini padanya sejak lama. Helena seharusnya tahu siapa pria yang menyebabkan penderitaannya selama ini. Ia seharusnya melihat wajah pria yang menjadi ayah biologisnya. Bukankah itu sudah menjadi haknya?

Sungguh, Helena hanya ingin tahu apa pria itu pernah menyesali perbuatannya pada ibunya di masa lalu? Ia hanya ingin tahu hal itu. Hanya itu.

***

Ayahmu sudah mati membawa dosa besarnya terhadapku!

Helena memejamkan mata. Berusaha mengusir air mata yang terus menumpuk dikedua sudut matanya. Rasa sakit itu kembali menyerangnya dengan hebat. Setelah penolakan dari ibu kandungnya sendiri kini ia harus menangisi sebuah kenyataan lain jika ayah biologisnya telah tiada.

Wanita itu tidak tahu apakah kenapa ia harus merasakan kesedihan ini? Bukankah ayahnya tidak pernah ada di dalam kehidupannya? Lalu kenapa ia harus merasa sedih setelah tahu jika pria itu sudah tiada?

Ibunya mungkin saja berbohong untuk menyakitinya. Iya, kan? Helena memeluk tubuhnya sendiri, berharap jika hal itu bisa memberinya sebuah kekuatan untuk tetap bertahan, sayangnya dia tidak mampu untuk berpura-pura kuat karena pada akhirnya air mata itu turun tanpa mampu dibendungnya.

“Apa kau menangis karena merindukanku?”

Helena terbelalak. Setelah kedatangan ibunya yang sama sekali tidak diinginkannya, kenapa sekarang James harus datang juga?

“Aku sangat sibuk beberapa hari ini, jadi aku tidak bisa menjengukmu.” James kembali bicara dengan nada santai, “Ayolah, jangan merajuk hanya karena aku tidak datang melihatmu, Sayang!”

“Siapa yang merajuk karenamu?” bentak Helena sengit.

James menaikkan satu alis. “Ah, jadi kau bukan menangis karena ketidakhadiranku?”

Helena tidak menjawab.

“Hah, kenapa aku merasa sakit hati saat kau mengatakannya?” decak James dengan ekspresi sedih yang berlebihan.

“Bisakah kau berhenti basa-basi dan katakan apa maksud kedatanganmu ke sini?” desis Helena tajam namun James terlihat sama sekali tidak terganggu. Dengan langkah tenang dia berjalan ke arah jendela, berdiri di sana beberapa saat dengan setelan jas kerja berwarna biru tuanya yang sempurna. “Jangan membuang-buang waktu, katakan saja apa maksud kedatanganmu, Tuan Smith!” desak Helena mulai merasa kesal.

James melirik lewat bahunya. “Apa kau sama sekali tidak bisa menangkap maksud dari tindakanku saat ini?” James masih berdiri di sana, menatap Helena dengan ekspresi serius namun wanita itu sama sekali tidak menjawab. Helena terlalu malas menanggapi James saat ini. “Kau benar-benar tidak bisa diandalkan,” desah pria itu terlihat sebal.

“Jadi apa maksudmu?” Helena kembali bertanya.

“Menjemputmu tentu saja,” jawab James datar. “Aku bahkan membawakanmu pakaian ganti. Kau sudah boleh pulang, Helena.”

Helena mengernyit. “Dokter tidak mengatakan apa pun padaku.”

“Karena aku memerintahkannya untuk memberi laporan kesehatanmu padaku,” jelas James dengan seringai penuh kemenangan. Ia melempar tas kertas berisi pakaian yang dijinjingnya ke atas ranjang. “Cepat ganti pakaianmu, aku akan mengantarmu pulang,” tambahnya yang terdengar seperti sebuah perintah.

“Aku tidak akan pulang bersamamu,” tolak Helena tegas. “Lagipula aku harus mengurus biaya administrasi sebelum pulang—”

“Aku sudah menyelesaikannya,” potong James tenang.

“Kenapa kau melakukannya?”

James mengangkat satu bahunya ringan. “Lalu dengan apa kau mau membayar tagihan rumah sakitmu?” tanyanya tenang. “Kau bahkan masih menunggak biaya asuransi kesehatanmu,” tambahnya dingin.

Gigi Helena gemeretak karena marah. Ia tidak mengerti kenapa James bisa sekurang ajar ini? Pria itu sudah sangat keterlaluan. “Bagaimana kau bisa tahu?”

“Aku harus tahu segala sesuatu mengenai calon istriku,” balas James pongah.

“Aku tidak akan menjadi istrimu.”

Keheningan melanda selama beberapa saat. James memiringkan kepala ke satu sisi, terlihat begitu santai menanggapi kemarahan Helena yang nyaris meledak. Helena bahkan harus mengakui jika pria dihadapannya ini memiliki tingkat kesabaran lebih tinggi saat ini dibandingkan dengan saat keduanya bertemu terakhir kali. Namun entah kenapa ia sama sekali tidak menyukai hal itu.

Helena merasa jika James tengah merencanakan sesuatu dibalik sikap tenangnya itu.

“Apa yang sedang kau rencanakan sebenarnya?”

“Memangnya apa yang bisa kurencanakan, Helena?”

“Aku tidak akan heran jika kau tengah merencanakan sesuatu yang kotor untuk menjebakku, Tuan Smith!”

James tergelak. “Aku menyukai keterusteranganmu itu, Ann.”

Helena terhenyak. Panggilan itu. Itu adalah panggilan sayang ibu panti asuhannya dulu padanya. Kenapa James bisa mengetahuinya? “Bagaimana bisa kau—”

James bergerak, melangkah mendekati ranjang dengan penuh percaya diri dan terlihat berkuasa. “Anggap saja aku sudah mengetahui sebagian besar dari masa lalumu, Helena,” bisiknya tepat di depan wajah wanita itu. “Lebih baik kau berkompromi denganku. Dengan begitu kau bisa bebas dari ibumu,” tambahnya dengan suara berat.

Helena tidak tahan lagi. Kedua tangannya terasa sangat gatal. Ia ingin melayangkan satu hingga dua pukulan tepat di wajah James hanya untuk membuat pria itu sadar jika uang tidak bisa membeli segalanya di dunia ini.

“Dan apa salahnya menjadi istri dari seorang James Smith?” tanya James lagi sebelum menyatukan bibir mereka dan satu ciuman panjang, panas yang murni hanya karena nafsu.

CHAO XING (朝兴) – Bab 8. Kekeraskepalaan Chao Xing & Kemarahan Raja

15 Februari 2017 in Vitamins Blog

61 votes, average: 1.00 out of 1 (61 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Author Playlist :  Seasons of Waiting – Cecilia Liu

Waiting for summer, waiting for autumn

Waiting for the next season

I have to wait until the moon becomes full

In order for you to return to my side

Whether I want to see you again or not

I can’t do anything about it, I still miss you

***

Enjoy!

***

Jian Gui bertanya-tanya di dalam hati; kenapa ia begitu tidak sabarnya untuk bertemu dengan Chao Xing? Tadi pagi ia baru saja tiba di istana setelah selama dua tahun ia menjalankan tugas yang diperintahkan oleh Sang Raja. Tugas Jian Gui tidak bisa dibilang mudah, acap kali ia harus terjaga sepanjang malam, ikut berjaga bersama prajurit-prajuritnya untuk memastikan tidak ada satu orang penyusup pun yang masuk ke dalam wilayahnya.

Namun di sisi lain, ia terkadang merasa iba saat melihat kondisi memprihatinkan rakyat dari Kerajaan Awan yang seringkali memohon dan mengiba padanya untuk diizinkan masuk ke dalam wilayah Kerajaan Angin. Mereka berharap mendapatkan perlindungan serta kehidupan yang layak di tanah Kerajaan Angin, namun hal itu pasti akan menimbulkan masalah baru untuk Kerajaan Angin, dan perintah adalah perintah. Selama dua tahun ia menutup rasa kemanusiaannya, menulikan telinganya, ia tetap dengan pendiriannya; melarang para pengungsi itu masuk ke dalam wilayahnya.

Jian Gui melepas napas panjang, menarik tali kekang untuk menghentikan kudanya. Hampir dua jam ia mencari keberadaan Chao Xing, menyusuri jalanan ibu kota, namun seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami, sesulit itu jugalah ia menemukan keberadaan adiknya.

“Puteri mungkin sudah kembali ke istana, Pangeran,” ujar Liu Bo Lin—salah satu panglima Kerajaa Angin. Selama dua tahun ini ia diberi tugas untuk membantu Jian Gui menjaga perbatasan utara. “Mungkin sebaiknya Anda kembali ke istana,” usul Bo Lin. Panglima berusia tiga puluh tahun itu mengedarkan pandangannya ke setiap sudut, ikut mencari keberadaan sang puteri yang menurut laporan salah satu dayang Paviliun Taman Barat tengah berada di ibu kota untuk mencari udara segar.

Sungguh, Bo Lin sama sekali tidak mengerti kenapa seorang puteri bisa memiliki kebebasan sebesar itu untuk keluar istana, terlebih tanpa pengawalan yang semestinya. Bagaimana jika terjadi sesuatu? Tanyanya di dalam hati, dan sepertinya hal itu jugalah yang ada di dalam pikiran Jian Gui saat ini—Pangeran Pertama Kerajaan Angin itu terlihat sangat khawatir.

“Adikku masih berada di tempat ini,” jawab Gui dengan ekspresi serius. “Aku bisa merasakannya,” tambahnya serak. “Anak nakal itu harus diberi hukuman,” ujarnya lagi setelah terdiam lama membuat Bao Lin tersenyum samar, menyadari betapa besar rasa sayang Sang Putera Mahkota pada Puteri yang tengah mereka cari saat ini.

Jian Gui baru saja hendak menyerah dan kembali pulang saat ekor matanya tidak sengaja menangkap sosok yang tengah dicarinya saat ini. Ia mengerjapkan mata berkali-kali, memastikan jika apa yang sedang dilihatnya memang Chao Xing.

Menahan keraguannya ia pun kembali melajukan kudanya, sedikit cepat untuk menyusul langkah Chao Xing yang tengah berlari sekuat tenaga, di belakangnya Gui melihat beberapa prajurit mengejarnya dan memintanya untuk berhenti.

Apa lagi yang dilakukannya sekarang? Tanyanya di dalam hati sementara Bo Lin mengikuti di belakangnya.

“Chao Xing?!” panggilnya dengan nada berat. Ia menghentikan laju kudanya, menghalangi langkah Chao Xing yang kini mendongak dan menatapnya tak percaya. Jian Gui gemertak, menahan marah saat melihat memar dan luka sobek di sudut mulut adiknya. “Naik!” perintahnya mutlak.

Chao Xing bergeming—terlalu kaget, bahagia dan bingung akan apa yang sedang terjadi saat ini. Bagaimana bisa ia bertemu dengan kakak pertamanya dalam kondisi seperti ini? Chao Xing meragu, ia menoleh lewat bahunya, tersentak karena beberapa prajurit yang mengejarnya sudah semakin dekat. Tanpa berpikir lagi ia segera menyambut uluran tangan Jian Gui, tanpa kesulitan berarti ia naik ke atas punggung kuda hitam itu dan Jian Gui pun segera melajukan kudanya menuju arah istana setelah Chao Xing duduk nyaman di atas kudanya.

***

Liu Guang Li—Kepala Prajurit Pengadilan Perfektur Barat membuang napas keras, berusaha untuk mengendalikan emosinya yang kini berada di tingkat mengkhawatirkan. Pria berusia dua puluh lima tahun itu berusaha untuk menahan diri setelah beberapa anak buahnya memberi laporan jika saksi mereka—wanita mengesalkan yang menyamar sebagai pria itu melarikan diri setelah mengelabui para prajurit yang menjaganya.

“Bagaimana bisa? Bagaimana bisa seorang wanita melarikan diri dari penjagaan kalian?” tanyanya dengan rahang mengeras dan gigi gemeretak. Guang mengepalkan kedua tangannya, memastikan jika kedua kepalan tangannya tetap berada di sisi kanan dan kiri tubuhnya, karena sungguh ia benar-benar memerlukan beberapa orang untuk melampiaskan kemarahannya saat ini.

“Nona muda itu meminta izin untuk buang air kecil,” terang seorang prajurit berpangkat rendah dengan tubuh gemetar ketakutan. Guang memang masih terbilang belia untuk jabatan yang dijabatnya namun kemampuan serta kepemimpinannya tidak perlu diragukan lagi. Guang selalu berbuat adil, ia akan memberikan penghargaan setimpal untuk anak buahnya yang berprestasi namun sebaliknya, ia tidak akan segan memberikan hukuman untuk anak buahnya yang telah melakukan kelalaian saat bertugas.

“Dan kalian tidak mengawasinya?” Guang menggebrak meja, membuat dua orang prajurit yang tengah ber-kowtow di hadapannya itu tersentak kaget karenanya. Guang terlalu marah hingga tidak menyadari jika prajuritnya tidak mungkin mengawasi seorang wanita buang air kecil. Resimennya pasti dikenai sanksi moril apabila masyarakat luas mengetahuinya.

Prajurit itu tidak langsung menjawab. “Kami tidak mungkin mengawasinya,” jelas salah satu prajurit dengan suara tercekik. Ia kembali terdiam sejenak, mengumpulkan keberaniannya lalu kembali bicara dengan nada penuh penyesalan, “Kami mengejarnya namun ada seseorang yang menyelamatkannya,” lapornya membuat Guang Li menaikkan satu alisnya ke atas.

“Pria yang menyelamatkannya mengenakan pakaian seperti bangsawan dan menunggang kuda jantan unggul, hamba yakin jika dia putra salah satu bangsawan di kota ini,” lanjutnya sedikit menggebu.

Guang Li terdiam, memasang pose berpikir.

“Kami pantas untuk dihukum, Tuan. Kami akan menerima apa pun hukuman yang Anda berikan,” ujarnya saat Guang Li tak kunjung bicara.

Guang membuang napas keras, yang menjadi pertanyaannya saat ini—siapa wanita asing itu sebenarnya?

Apa benar dia putri seorang bangsawan? Tanyanya di dalam hati.

Guang melempar tatapannya pada kedua prajuritnya yang masih bersujud di atas lantai. Ah, bagaimanapun juga ia harus mengakui jika kedua prajuritnya tidak bersalah seratus persen, keduanya hanya sedang sial karena harus berhadapan dengan wanita menjengkelkan itu. “Pergilah!” tukasnya kemudian membuat kedua orang prajurit itu saling melempar tatapan tak percaya. “Pergi sebelum aku berubah pikiran!” ujar Guang lagi dengan ekspresi serius. “Panggilkan pelukis pengadilan dengan segera. Katakan padanya aku memerlukan bantuannya secepat mungkin!”

“Kami siap menjalankan perintah!” sahut kedua prajurit itu kompak sebelum undur diri untuk mengerjakan perintah atasan mereka.

Ruang kerja Guang kembali hening setelah kepergian keduanya. Dalam keheningan panjang itu Guang berpikir lama, mencoba untuk mengingat-ngingat hal ganjil dari wanita asing yang ditemuinya tadi. Tapi apa?

Wanita itu terlihat begitu tidak asing, pikirnya. Dia mengingatkanku pada seseorang, tapi siapa? Tanyanya lagi di dalam hati. Guang bertopang dagu, memejamkan mata, berusaha untuk mengingat kembali dimana ia pernah melihat wajah yang begitu mirip dengan wanita asing tadi. Dan akhirnya ia pun mendesah, menyerah karena otaknya mendadak terasa buntu.

***

“Apa yang sedang kau pikirkan?” Sebuah pertanyaan yang dilontarkan dengan nada tidak asing itu membuat Guang Li tersentak, lalu menatap tak percaya pada seorang pria yang kini berdiri dengan senyum mengejek yang lama dirindukannya. “Terkejut melihatku?” tanyanya sementara Guang Li berdiri dengan tubuh kaku. “Aish… sepertinya kau sama sekali tidak bahagia melihat kepulangan kakakmu ini,” ujar Bao Lin dengan nada sedih yang berlebihan.

Guang Li tersenyum lebar, bergerak cepat memutari meja kerjanya untuk menyambut kedatangan kakaknya yang mengejutkan. “Kapan kau pulang?” tanyanya setelah emmberikan satu pelukan erat. “Kenapa tidak memberitahu kami jika kau mau pulang?” tanyanya lagi.

“Rombongan kami tiba pagi tadi,” jawab Bao Lin. “Kepulangan kami memang sengaja dirahasiakan,” tambahnya membuat Guang Li mengangguk kecil. “Ah, aku dengar ada masalah siang tadi di pasar,” ujarnya saat Guang Li menuangkan teh ke dalam cangkir keramik sederhana.

Lagi-lagi Guang Li mengangguk pelan, lalu mendesah panjang sebelum mendudukkan diri di sebrang Bao Lin. “Ngomong-ngomong, bagaimana kakak bisa tahu tentang masalah ini?” tanyanya penasaran.

Bao Lin tidak langsung menjawab. Setelah menemukan Chao Xing, Jian Gui dengan gerakan isyarat memerintahkannya untuk mencari tahu resimen asal prajurit yang mengejar sang puteri. Tidak perlu waktu lama untuk Bao Lin menemukan tempat dari prajurit itu berasal, dari seragam yang dikenakannya ia bisa langsung tahu jika prajurit-prajurit itu berasal dari kantor pengadilan tempat adiknya ditugaskan.

“Aku melihat beberapa prajuritmu mengejar seorang wanita yang menyamar sebagai pria,” terangnya tenang. “Apa yang dilakukan wanita remaja itu?” tanyanya lagi, menyelidik. “Apa dia mencuri?”

“Tidak,” jawab Guang Li cepat. “Wanita itu justru saksi untuk kasus kejahatan yang sekarang kutangani,” terangnya serius. “Sayangnya dia melarikan diri.”

“Kejahatan apa yang kau maksud?”

Guang Li mendesah, lalu menatap kakaknya dengan sorot serius. “Kejahatan yang dilakukan oleh penjahat-penjahat yang menyusup dari Kerajaan Air,” terangnya membuat kedua alis Bao Lin bersatu. Guang Li mencondongkan tubuhnya, lalu kembali bicara dengan suara pelan, “Menurut gossip yang beredar, Kepala Keluarga Liang sengaja mempekerjakan penjahat-penjahat itu untuk kepentingan bisnis kotornya.

“Kenapa hakim tidak melakukan penyelidikan mengenai hal ini?” Bao Lin balik bertanya dengan geram. “Apa dia juga terlibat?” tanyanya lagi saat Guang Li tersenyum masam. “Brengsek,” makinya kasar.

“Penjahat itu bahkan tidak segan-segan memukul wanita muda tadi serta seorang wanita lain yang dikatakannya memiliki hutang sangat besar pada mereka,” terang Guang Li membuat Bao Lin terbelalak.

Jadi luka memar pada wajah puteri karena pukulan penjahat itu? Pikir Bao Lin berang. “Apa semua penjahat itu sudah tertangkap?”

Guang Li menggelengkan kepala, “Beberapa kabur, tapi anak buahku tengah memburu keberadaan mereka saat ini.”

“Pasukanku akan membantumu,” ujar Bao Lin mengejutkan. “Aku hanya perlu lukisan wajah mereka untuk memudahkan pencarian,” tambahnya. “Dengar Li, kasus kali ini sangat serius,” ujarnya tenang. “Sebisa mungkin aku mau hakim ataupun kasim tinggi pengadilan jangan sampai mereka mendengar tentang kasus ini. Apa kau mengerti?”

Guang Li tidak menjawab.

“Aku menginginkan laporan lengkapnya hari ini juga,” lanjutnya serius. “Jika benar penjahat-penjahat itu berasal dari wilayah kerajaan lain maka kita wajib melaporkannya pada Yang Mulia. Mereka sudah berani menyakiti rakyat Kerajaan Angin, dan itu salah satu kejahatan besar,” lanjutnya tanpa mengungkapkan jati diri Chao Xing yang sebenarnya. “Untuk itu aku akan melaporkannya terlebih dahulu pada Putera Mahkota,” tambahnya menutup percakapan serius mereka.

***

“Kakak Pertama, aku serius,” ujar Chao Xing seraya mengejar langkah cepat Jian Gui. “Tadi aku terjatuh hingga terluka.”

“Aku meninggalkanmu selama dua tahun, dan selama itu aku berharap jika kau mau berubah walau hanya sedikit,” jawabnya membuat Chao Xing menunduk, merasa bersalah. “Bukan ini yang ingin kulihat setelah dua tahun tidak melihatmu,” tambahnya membuat perasaan Chao Xing semakin terasa diremas.

“Aku kesepian di dalam istana,” cicit Chao Xing pelan. “Tidak ada puteri yang mau bermain denganku.” Ia menundukkan kepala. “Aku bisa gila jika terus berada di dalam istana sepanjang waktu,” tambahnya parau. Chao Xing meremas dadanya yang terasa sakit, sementara kedua matanya mulai terasa panas. “Yang Mulia bahkan menebang pohon tempatku menyendiri. Aku tidak memiliki apa pun di dalam istana setelah kalian pergi.”

Jian Gui bergeming. Dengan cepat ia membuka sarung tangan kulitnya, lalu menyerahkan tali kekang kudanya pada seorang prajurit penjaga istal kuda istana yang berlari ke arahnya. Pria itu mendesah keras, menghentikan langkah kakinya hingga membuat Chao Xing nyaris menabrak punggungnya. “Alasanmu sama sekali tidak membenarkan kecerobohanmu,” balasnya menohok. “Lalu dimana kasim yang mengantarmu?” tanyanya membuat Chao Xing bergerak kikuk.

“Mereka kuperintahkan untuk menunggu di Penginapan Tjiang,” terangnya membuat Jian Gui menyipitkan mata, menatapnya dengan tatapan intimidasi. “Aku sudah biasa pergi tanpa didampingi,” jelasnya cepat dengan suara tergagap. Chao Xing menelan kering, berkeringat dingin. Akan jadi masalah besar jika kakak pertamanya ini mengetahui apa yang telah terjadi sebenarnya, karena ia yakin jika dua orang kasim yang mengantarnyalah yang akan dipersalahkan atas apa yang terjadi padanya.

Rahang Gui mengeras. “Mereka sama sekali tidak bertanggungjawab!” desisnya geram.

“Mereka tidak bersalah,” ujar Chao Xing serak. Ia menggigit bibir bawahnya, begitu gelisah karena nasib kedua kasimnya kini berada diujung tanduk. “Aku yang melarang mereka untuk mengikutiku.” Ia terdiam sejenak, menatap Jian Gui dengan tatapan memohon. “Aku bahkan mengancam akan menghukum mereka jika mereka berani mengikutiku.”

“Kau—”

“Karena itulah, apa yang terjadi padaku murni kesalahanku,” cicit Chao Xing. “Tolong jangan laporkan ini pada Permaisuri,” mohonnya setengah meratap, namun Jian Gui tidak menjawab.

“Kembali ke kediamanmu dan segera obati lukamu!” perintahnya sebelum berbalik pergi meninggalkan Chao Xing yang terlihat frustrasi.

***

“Apa yang membawamu datang menemuiku, Pangeran Pertama?” tanya Jian Guo tenang. Malam sudah sangat larut, namun Jian Gui bersikeras untuk menemuinya malam ini juga. Jian Guo mengangkat wajahnya, menggulung dokumen yang sudah selesai dibacanya lalu menatap lurus putra pertamanya yang kini berjalan ke arahnya untuk menyerahkan sebuah dokumen. “Apa ini?” tanyanya.

“Lapor, Yang Mulia,” Jian Gui menjawab penuh hormat. “Dokumen yang hamba bawa berisi kasus yang baru saja terjadi siang tadi di ibu kota,” terangnya membuat Jian Guo menaikkan satu alis ke arahnya. “Dan dengan berat hati ananda harus melaporkan jika Chao Xing ikut terlibat dalam kasus tersebut.”

Jian Guo tidak menjawab, dengan cepat ia membaca dokumen yang kini berada di tangannya.

Ruangan berpenerangan cahaya lilin itu hening untuk beberapa waktu, hingga akhirnya Jian Guo selesai membaca dokumen di tangannya dan berkata, “Buru sisa komplotannya!” Ia terdiam sejenak, kedua tangannya terkepal erat di atas meja. “Dan pria yang berani memukul Chao Xing, potong kedua tangan pria itu lalu gantung tubuhnya dalam posisi terbalik di alun-alun kota, malam ini juga!” perintahnya tenang. “Aku ingin komplotannya dan penjahat-penjahat lainnya tahu apa resikonya jika mereka berani melakukan kejahatan di wilayahku!”

“Ananda siap menjalankan perintah,” jawab Jian Gui takzim.

“Kasim Ren?!” teriak Jian Guo, membuat kasim tua yang berdiri di depan pintu ruang kerjanya segera masuk ke dalam ruangan dengan tergopoh-gopoh. “Bawa kasim yang membawa Chao Xing keluar istana siang tadi untuk menghadapku secepatnya!”

“Daulat, Yang Mulia!” jawabnya sebelum berjalan mundur untuk melaksanakan apa yang telah diperintahkan oleh sang raja.

***

Dan akhirnya semua dipanggil untuk menghadap Raja malam ini, karena Chao Xing bersikeras untuk ikut hingga Kasim Ren sama sekali tidak bisa menolak, apalagi melawan kekeraskepalaan Sang Puteri yang sudah begitu terkenal diantara pada dayang dan kasim yang pernah melayaninya.

Jian Guo memandang Chao Xing tanpa ekspresi yang kini menatapnya tanpa takut, membuatnya mendesah pelan dan bertanya-tanya di dalam hati kenapa puterinya yang satu ini tidak bisa bersikap manis seperti halnya saudarinya yang lain?

Ia lalu mengalihkan tatapannya pada kedua kasim—Er Shun dan Er Wen yang kini bersujud dengan tubuh gemetar, sementara Ju Fang ikut berlutut begitupun dengan empat dayang Chao Xing yang lain. Mereka seolah berada di sana untuk memberikan dukungan dan membela tuannya hingga darah penghabisan. Menggelikan! Pikir Jian Guo masam.

Jian Guo bertopang dagu, lalu bertanya dengan nada geram, “Apa kalian tahu mengapa kalian dipanggil menghadapku?”

“Ini semua kesalahan hamba, Yang Mulia!” Chao Xing memasang badan, membuat ruangan itu hening seketika, mencekam oleh aura kemarahan Raja. “Mereka semua tidak bersalah,” lanjutnya dengan keberanian yang sungguh mengagumkan namun sangat tidak tepat waktu. “Jika Yang Mulia hendak menghukum, maka hukumlah hamba.”

Raja menggebrak meja dengan marah, membuat seisi ruangan terkecuali Chao Xing langsung jatuh bersujud karenanya. “Berani sekali kau berkata kurang ajar padaku!” raungnya namun Chao Xing tidak gentar, dengan keberanian yang semakin melambung ia kembali bicara. “Hamba hanya tidak mau Anda menghukum mereka karena kesalahan hamba, Yang Mulia.”

“Oh, jadi sekarang kau mengakui jika kau sudah menyulitkan orang-orang di sekitarmu, hah?!” Jian Guo membentak, meninggikan suaranya dengan galak.

Chao Xing berlutut, jatuh bersujud dan menjawab, “Hamba memang bersalah, hukumlah hamba! Mohon Yang Mulia bebaskan mereka. Hamba mohon!”

“Jangan pikir aku tidak akan menghukummu, Chao Xing!” teriak Raja murka. “Kasim Ren, pukul kaki puteri dengan rotan sebanyak lima puluh kali!” perintahnya membuat seisi ruangan itu riuh meminta pengampunan untuk sang puteri, namun Jian Guo bergeming. “Jangan membelanya atau aku akan melipatgandakan hukumannya!” serunya membuat permaisuri, Jian Gui, dan Jian Ying terdiam seketika. “Aku melarang Chao Xing keluar dari kediamannya tanpa perintahku!” tambahnya membuat Chao Xing terduduk lemas.

Jian Guo terdiam sejenak. “Dan untuk kedua kasim,” ujarnya dingin. “Berikan mereka lima puluh kali pukulan sebagai hukuman atas keteledoran mereka!” serunya. “Laksanakan hukumannya malam ini juga!” perintahnya tegas. “Dan kalian—” ia terdiam, menatap permaisuri, Jian Gui dan Jian Ying secara bergantian. “Kalian tidak boleh menemui Chao Xing selama dia dalam masa hukuman!” putusnya mutlak.

Keesokan harinya, hukuman untuk penjahat-penjahat itu menggemparkan seisi kota. Kondisi kepala penjahat terlihat paling menyedihkan dengan kedua tangan dipotong, dan tubuhnya digantung terbalik di alun-alun ibu kota, hingga akhirnya mati secara perlahan, membuat rakyat merinding ngeri, bertanya-tanya kira-kira kejahatan apa yang dilakukannya hingga raja sendiri-lah yang memberikan hukuman sekeji itu untuknya.

Hakim yang bertugas di kantor pengadilan perfektur barat pun tidak bisa berkata-kata, ia terlalu bingung, hingga tidak mampu menjelaskan pada Pejabat Liang akan apa yang terjadi pada penjahat sekaligus kaki tangan pejabat korup itu. Sementara Guang Li yang terus meminta penjelasan pada Bo Lin hanya bisa menatap kakaknya tak percaya saat pada akhirnya Bo Lin mengemukakan kesalahan besar ketua penjahat itu—penjahat itu telah melukai salah satu puteri raja.

Guang Li menelan kering, teringat perdebatannya dengan gadis tengil itu yang ternyata seorang puteri? Dewa, apalagi ini? Kenapa aku harus berurusan dengan seorang puteri? Tanyanya gelisah.

“Apa ada masalah?” tanya Bo Lin saat melihat ekspresi resah adiknya.

Guang Li menggelengkan pelan. “Tidak ada masalah,” jawabnya sama sekali tidak meyakinkan.

“Ah, ada sesuatu yang ingin kusampaikan,” ujar Bo Lin memutus lamunan singkat Guang Li. “Raja ingin bertemu denganmu,” lanjutnya membuat Guang Li menelan kering. “Tiga hari lagi akan ada jamuan kerajaan untuk merayakan kepulangan empat pangeran. Yang Mulia mengundangmu sebagai rasa terima kasih karena sudah menyelamatkan Puteri Chao Xing.”

Guang Li tertawa kering, berpura-pura merapikan meja kerjanya yang berantakan. “Apa boleh jika aku tidak datang?” tanyanya dengan senyum mengkhawatirkan. “Sepertinya aku belum siap bertemu dengan Raja,” tambahnya terdengar seperti cicitan. Dan aku tidak siap bertemu dengan anggota kerajaan yang lain, terlebih sang puteri, batinnya cemas. Bagaimana jika puteri mengatakan pada Yang Mulia mengenai ketidaksopananku saat membawanya ke kantor pengadilan?

“Tentu saja tidak akan masalah,” jawab Bao Lin tenang membuat kedua mata Guang Li berbinar senang. “Tidak akan masalah jika kau bersedia dipenggal karenanya,” lanjutnya membuat Guang Li pucat pasi.

***

“Panggil Chao Xing untuk makan bersamaku!” titah Jian Guo pada seorang dayang utama. Wanita berumur itu segera membungkukkan badan, berjalan mundur untuk melaksanakan apa yang telah dititahkan oleh rajanya.

Di samping raja, permaisuri tersenyum kecil, hatinya berbunga-bunga karena pada akhirnya raja mau mengakui Chao Xing sebagai putrinya. Sungguh, ia sama sekali tidak menyangka jika hari ini akhirnya akan tiba juga. Setidaknya Mei Rong akan tenang di sana karena putrinya sudah diakui oleh sang raja.

Jamuan makan siang untuk merayakan kepulangan keempat pangeran terus berlanjut penuh keceriaan, keempat pangeran menyantap hidangan di atas meja dengan tenang, sementara para penari dan pemain musik kerajaan masih memainkan keahlian mereka untuk menghibur anggota kerajaan yang hadir dalam jamuan khusus yang diadakan oleh raja siang ini.

“Mana Chao Xing?” tanya Jian Guo saat melihat dayang utama kembali datang seorang diri tanpa membawa Chao Xing bersamanya. Raja menggebrak meja, membuat suasana di dalam ruangan itu mendadak berubah mencekam oleh kemarahannya. “Apa dia berani menentang perintahku?!” bentaknya murka membuat sang dayang segera bersujud untuk memohon ampun dan menjelaskan duduk perkara.

“Ampun, Yang Mulia!” ujar dayang tua itu dengan suara bergetar. “Mohon ampun, hamba tidak bisa membawa Puteri Chao Xing karena kondisi puteri sangat tidak memungkinkan untuk menghadiri undangan anda.”

Jian Guo menyempitkan mata. “Apa maksudmu?”

“Lapor, Yang Mulia,” sahut dayang. “Tuan Puteri sakit parah,” terangnya membuat ekspresi Jian Guo semakin menggelap.

“Chao Xing sakit dan tidak ada yang melaporkan mengenai hal ini padaku?” raungnya murka.

Permaisuri jatuh berlutut, “Ampun, Yang Mulia. Hamba mohon ampun untuk kelalaian ini, namun hamba memiliki alasan kenapa hamba tidak menemui putri beberapa hari ini.” Permaisuri berdeguk, memaksa diri untuk menekan rasa takutnya. “Yang Mulia memerintahkan kami untuk tidak menemui Puteri Chao Xing sebagai bentuk hukuman untuknya,” terangnya, mengingatkan.

Dan Jian Guo pun hanya bisa menghela napas panjang. Bagaimana bisa ia melupakannya? “Panggil Tabib Wu untuk memeriksa keadaan Chao Xing!” perintahnya seraya berdiri, lalu berjalan dengan langkah panjang-panjang menuju kediaman putrinya.

***

Suasana di Paviliun Taman Barat mendadak sibuk oleh kedatangan Raja, Permaisuri, para Selir serta Keempat Pangeran yang datang secara mengejutkan. Tanpa menunggu lama, Jian Guo segera masuk ke dalam kamar Chao Xing. Pria itu terbelalak, rahangnya mengeras saat melihat kondisi putrinya yang menyedihkan. “Mengapa bekas luka pukul di kakinya tidak diobati?” raungnya membuat dua orang tabib yang bertugas untuk mengobati Chao Xing berlutut memohon ampun.

“Ampun, Yang Mulia!” cicit sorang tabib wanita. “Tuan Puteri menolak untuk diobati,” lapornya membuat Jian Guo semakin marah. “Tuan Puteri menolak semua obat, bahkan tidak bersedia saat kami hendak mengoleskan salep untuk luka-luka di kakinya,” tambahnya, ketakutan.

“Bahkan kau tidak bisa membujuknya, Ju Fang?” bentak Jian Guo.

Ju Fang membungkuk, lalu menjawab dengan ketenangan yang mengagumkan, “Tuan Puteri mengancam akan menggigit lidahnya sendiri apabila hamba memaksanya untuk diobati, Yang Mulia. Hamba bersalah. Hamba pantas dihukum.”

“Tidak berguna!” teriak Jian Guo marah. “Cepat periksa keadaannya!” perintahnya saat Tabib Wu datang tergopoh-gopoh, masuk ke dalam kamar itu.

“Aku tidak mau,” Chao Xing berkata lirih, nyaris tidak terdengar namun ucapannya masih berhasil ditangkap dengan baik oleh Jian Guo. Amarah raja semakin meletup karenanya.

“Jangan keras kepala…,” ujar Permaisuri dengan ekspresi cemas. Wanita itu nyaris tidak bisa menahan laju air matanya saat melihat wajah Chao Xing yang begitu pucat dengan bibir nyaris biru sementara dahinya dipenuhi oleh keringat dingin. “Jangan membuat kami semua cemas,” tambahnya seraya melap keringat di dahi Chao Xing dengan ujung gaun tangannya.

Chao Xing perlahan memejamkan mata. Rasa sakit membuat kesadarannya perlahan menghilang namun ia masih bisa berkata dengan angkuh, “Hamba tidak mau diobati!”

Jian Guo menatap wajah putrinya dengan seksama. Yang dilihatnya saat ini hanyalah kekeraskepalaan dan amarah. Chao Xing sangat keras kepala, sangat sulit diatur namun hal itu justru membuatnya teringat akan dirinya sendiri di masa lalu. “Kau harus mau diobati atau aku akan memenggal kepala Ju Fang dan hamba-hamba sahayamu sebagai hukuman untukmu!” Jian Guo mengeluarkan ancaman terakhirnya.

Kesadaran Chao Xing memang sudah menipis namun dari ekspresi putrinya ia tahu jika Chao Xing tidak menganggap main-main ancamannya ini.

“Berikan obat yang terbaik untuknya!” perintah raja tegas. “Pastikan dia meminum obatnya secara teratur dan pastikan luka-luka bekas pukulnya tidak berbekas!” Jian Guo menatap tajam ke arah Tabib Wu. “Kau harus menyembuhkan putriku atau kepalamu yang akan jadi taruhannya!” desisnya sebelum duduk di sebuah kursi yang ada di dalam kamar itu. “Dan kalian…,” ujarnya memandang permaisuri dan para selir yang mengikutinya. “Dan kalian…,” Jian Guo mengulang, terdiam sejenak. “Pergi dan kembali ke kediaman kalian masing-masing!” perintahnya mutlak pada kelima selir yang datang bersamanya.

CHAO XING (朝兴) – Bab. 7 Hari Sial Chao Xing

12 Februari 2017 in Vitamins Blog

178 votes, average: 1.00 out of 1 (178 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Author Playlist : Wanting – Best Plan

The day that you left, my soul sank into eternal sleep.

In the seasons of lethargic sleep, there is no breathing. 

Only you can rouse me.

I often imagine the scene of your reappearance.

On a sunny day, rain suddenly starts pouring, washing away all the grievances of these years.

***

Enjoy!

***

Dua tahun kemudian

Wajah Chao Xing berseri-seri, ia bersenandung riang saat kereta kuda yang ditumpanginya terus berjalan keluar, menjauh dari komplek istana. Setelah kepergian ketujuh saudaranya, ia memohon pada permaisuri untuk diizinkan keluar istana secara teratur setiap bulannya. Ia harus membuat dirinya sendiri bahagia atau berakhir gila karena merasa kesepian.

Perlu usaha keras untuk meyakinkan permaisuri perihal ini, namun Chao Xing tidak menyerah, ia melakukan segala cara termasuk merengek-rengek pada permaisuri untuk diizinkan keluar istana. Ah, sepertinya merengek menjadi salah satu keahliannya saat ini.

Terkadang ia pergi seorang diri dengan menyamar, mengenakan pakaian pria walau hal itu sama sekali tidak bisa menyembunyikan kecantikannya. Kulitnya terlalu putih, tangannya terlalu halus, sementara wajahnya dan tubuhnya terlalu kecil untuk ukuran seorang pria, namun Chao Xing tidak peduli, dengan tenang dan penuh percaya diri dia berjalan di pusat kota, terkadang dia berdiri lama untuk menikmati pertunjukan seni jalanan, atau mampir ke rumah makan yang menghidangkan makanan lezat di kota ini.

Di usianya yang sudah tujuh belas tahun, Chao Xing terlihat semakin cantik. Wajah kekanakannya sudah hilang, karenanya terkadang baik permaisuri maupun Ju Fang bersikeras jika gadis itu harus pergi dengan pengawalan ketat.

Namun bukan Chao Xing namanya jika ia tidak pandai bersilat lidah. Berkali-kali Chao Xing mengatakan jika ia bisa menjaga diri, dan hal itu benar-benar dibuktikannya, namun sayangnya keberuntungannya berakhir hari ini.

“Apa kau mau mati?” teriak seorang pria berperawakan besar kasar. “Berani sekali kau membelanya!” Pria itu melotot marah, sementara tangan kanannya menarik kasar rambut seorang wanita muda berpakaian lusuh yang terus meronta-ronta di atas tanah, memohon untuk dilepaskan. “Keluarganya memiliki banyak hutang padaku, apa kau bisa membayarnya, hah?!!!” teriaknya marah pada Chao Xing.

Chao Xing menghela napas. “Berapa banyak hutangnya padamu?” tanyanya tenang.

“Sepuluh tael emas,” teriak pria berwajah garang itu dengan dengusan kasar. Seketika keributan itu menarik perhatian, menjadikannya tontonan gratis untuk penduduk yang kebetulan tengah berada di sana. Bisik-bisik pun mulai menjalar dengan cepat membuat kerumunan itu semakin besar.

“Dusta! Tuan, dia berdusta!” ujar wanita muda itu dalam ringisan kesakitannya. “Keluargaku tidak berhutang sebanyak itu,” tambahnya cepat membuat pria jahat itu gemeretak lalu menarik rambut wanita itu semakin keras. Sepertinya wanita muda yang tengah diselamatkan oleh Chao Xing belum menyadari jika penyelamatnya seorang wanita.

Chao Xing merogoh saku hanfu­-nya lalu melemparkan sebuah tas kecil berbahan kain sutra berisi uang ke atas tanah. “Di dalamnya terdapat dua puluh tael emas, ambil dan bebaskan dia!” perintahnya tenang membuat penjahat itu tertawa senang.

Pria itu membungkuk, memungut tas kecil itu lalu mengintip isinya. “Kau orang kaya rupanya,” ujarnya membuat perasaan Chao Xing tidak enak.

“Pergi! Atau kau akan menyesal karena berurusan denganku!” Chao Xing nyaris berteriak saat mengatakannya. Dia sama sekali tidak mengerti kenapa orang sejahat ini bisa berkeliaran dengan bebas di wilayah Kerajaan Angin yang makmur?

Chao Xing terdiam, mengamati wajah dan cara berpakaian pria jahat di depannya. “Kau bukan penduduk asli Kerajaan Angin, berani sekali kau berbuat kejahatan di wilayah Raja Jian Guo, apa kau mau mati?!” desisnya dengan tatapan mengancam.

Chao Xing terlalu marah hingga tidak sadar jika komplotan penjahat itu bergerak tanpa suara di belakangnya. Ia begitu terkejut saat tiba-tiba tubuhnya ditarik ke belakang lalu didorong hingga terjerembap jatuh hingga mencium tanah.

Penjahat-penjahat itu tertawa senang, sementara penduduk yang menyaksikannya perlahan membubarkan diri, terlalu takut untuk berurusan dengan penjahat-penjahat itu. “Gadis kecil, seharusnya kau pergi dan urus urusanmu sendiri!” ujar penjahat berperawakan paling besar, tersenyum jahat. “Kau tidak pantas menggurui kami sementara kau pun menipu orang lain dengan menyamar menjadi seorang pria!”

Chao Xing masih terduduk di atas tanah, terbelalak, tidak menyangka jika penyamarannya bisa diketahui dengan mudah.

“Dari keluarga bangsawan mana kau berasal?” tanyanya membuat bulu kuduk Chao Xing merinding. Seketika tubuhnya bergetar oleh rasa takut. Ia merasakan kejahatan yang menguar kuar dari pria yang berdiri dan mencondongkan tubuh di hadapannya ini. Pria itu mengulurkan tangan, menarik paksa penutup kepalanya, membuat rambut hitam legamnya terurai indah hingga menyentuh tanah.

“Berani sekali kau menyentuhku!” desis Chao Xing marah. Dalam hukum kerajaan, seorang pria berkasta rendah dilarang menyentuh wanita bangsawan, terlebih jika wanita itu merupakan putri dari seorang raja. “Kau benar-benar ingin mati rupanya.”

Penjahat itu membungkukkan badan, lalu mendongakkan kepala Chao Xing dengan jarinya. “Kau pasti berharga mahal jika kujual ke rumah bordil,” ia terkekeh lalu memerintahkan anak buahnya untuk membawa Chao Xing pergi bersama mereka. “Ah, bagaimana jika aku meminta tebusan pada keluargamu saja?”

Chao Xing tidak tinggal diam dan menyerah bergitu saja. Ia melakukan perlawanan terakhir. Chao Xing menggapai benda apa pun yang berada di dekatnya lalu dipukulkannya keras tepat ke kepala salah satu penjahat yang berniat untuk membawanya pergi.

Baku tinju dan tendangan tidak terelakan. Chao Xing yang memiliki ilmu bela diri sangat minim hanya bisa berdoa, semoga patroli kerajaan datang untuk membantunya saat ini, atau pengawalnya yang bertugas untuk membawa kereta kuda melihat keributan ini dan datang untuk mencari tahu.

Wanita itu meringis saat sebuah tamparan keras mengenai pipi kanannya, merobek sudut mulutnya hingga berdarah. Chao Xing hampir putus asa saat bala bantuan itu akhirnya tiba.

Lima orang prajurit berkuda yang tengah berpatroli melihat keributan itu dan langsung turun tangan untuk menanganinya. Perkelahian hebat pun tak terelakan sementara Chao Xing memilih untuk mundur ke tepian untuk mengisi kembali tenaganya. Pertarungan itu berlangsung cukup lama, dua orang penjahat dari enam orang berhasil melarikan diri dan terus diburu oleh dua orang prajurit dengan kudanya, sementara empat orang penjahat kini terkapar tak sadarkan diri di atas tanah.

“Nona, apa anda baik-baik saja?” tanya seorang prajurit dengan suara berat.

Chao Xing mendongak, balas menatap pria yang diyakininya sebagai kepala prajurit berkuda kerajaan yang tengah berpatroli. “Aku baik-baik saja,” balasnya kering. “Tolong lihat kondisi nona itu, kurasa dia terluka lebih parah. Penjahat itu nyaris menjualnya ke rumah bordil,” lapor Chao Xing dengan napas sedikit tersengal.

“Anda pun terluka,” balas prajurit itu melihat darah yang keluar dari sudut mulut Chao Xing. “Dada anda sakit?” tanyanya saat wanita itu meringis sembari meremas dadanya.

“Si brengsek itu berhasil memukul dadaku, untung saja aku berhasil menghindar pada pukulan keduanya,” jawabnya membuat pria di hadapannya itu mengerjapkan mata, terkejut karena Chao Xing bisa berkata kasar.

Pria muda itu berdeham, melirik ke arah gadis remaja yang kini sudah ditolong oleh salah satu anak buahnya. “Saya harap anda ikut bersama kami ke kantor pengadilan sebagai saksi.”

Chao Xing terbelalak, “Aku tidak mau menjadi saksi,” tolaknya cepat. Chao Xing memutar otaknya dengan cepat, tatapannya kini terarah pada gadis remaja yang diselamatkannya. “Kau bisa menjadikannya sebagai saksi,” tambahnya dengan keringat dingin pada kedua telapak tangannya. “Aku harus pergi.” Ah, akan jadi masalah besar jika permaisuri mendengar masalah ini. Jika penyamarannya terbongkar, otomatis pejabat di pengadilan akan melaporkan masalah ini pada raja dan raja pasti akan menegur permaisuri karenanya.

Tidak bisa, pikir Chao Xing. Penyamaranku tidak boleh terbongkar!

“Tunggu Nona!” kepala prajurit itu menahan pergelangan tangan Chao Xing yang sudah berbalik untuk melarikan diri. “Anda bisa dihukum karena tidak bisa diajak bekerja sama oleh petugas pemerintah. Sekarang ikut denganku ke kantor pengadilan!” ujarnya seraya menarik Chao Xing untuk naik ke atas kudanya.

***

“Apa maksudmu kita harus menunda rencana penyerangan ke Kerajaan Angin?” Raja Long Wei atau yang kini dikenal dengan Kaisar Long Wei bertanya dengan kemarahan yang tersirat nyata. Tatapan matanya yang tajam kini tertuju lurus pada Perdana Menteri Hui Zhang.

Long Wei mendesis, dan kembali bertanya, “Apa kau meragukan kemampuanku?”

Ruangan balairung itu semakin hening karenanya. Sejak raja baru diangkat hampir lima tahun yang lalu, Kerajaan Api semakin makmur, kekuatan militernya terus bertambah kuat dan sangat ditakuti. Dan dibawah kepemimpinan Long Wei pulalah Kerajaan Api berhasil menaklukkan kerajaan-kerajaan tetangga dan kini membentuk sebuah dinasti besar lalu menobatkan diri sebagai kaisar sebagai pemimpin tertinggi dari lima kerajaan dimana empat kerajaan lainnya telah berhasil ditaklukannya hanya dalam kurun waktu lima tahun.

Long Wei menyapu ke seluruh ruangan dimana semua pejabat, bangsawan serta beberapa personil militer berkumpul dengan kepala menunduk dalam, penuh hormat. “Apa kalian semua meragukan kemampuanku?” tanyanya lagi dengan kemarahan nyata.

Dan mereka yang masih sayang akan nyawanya pun segera berlutut, bersimpuh memohon ampun dan menjawab dengan nada bergetar penuh ketakutan, “Hamba tidak berani. Hamba tidak berani!” ujar mereka kompak, namun Perdana Menteri Hui Zhong bergeming. Dengan tenang pria berusia enam puluh tahun itu ber-kowtow, lalu berkata dengan tenang dan bijaksana, “Hamba tidak bermaksud untuk menyangsikan kemampuan anda, Yang Mulia.”

Dengan gigi gemeretak karena marah Long Wei pun kembali bicara, “Lalu apa maksudmu menghalangi niatku untuk menyerang Kerajaan Angin? Aku sudah menunda rencana penyerangan terhadap Kerajaan Angin selama dua tahun.”

Mereka yang menjadi saksi atas perdebatan kaisar dan perdana menteri pun hanya bisa menunggu dalam diam penuh ketakutan. Memancing kemarahan Long Wei sama saja dengan mempertaruhkan kepala mereka di atas pancungan. Long Wei tidak segan-segan menghukum mati para pejabat, bangsawan serta anggota militer yang menentang kekuasaannya dan dianggapnya berbahaya.

Perdana menteri kembali membungkukkan badan, memberi hormat takzim sebelum kembali bicara dengan nada tenang dan bijaksana. “Yang Mulia, seperti yang kita ketahui, Kerajaan Angin berbeda dengan kerajaan-kerajaan yang telah Anda taklukan sebelumnya,” ia terdiam sejenak, memberi kesempatan pada Long Wei untuk mencerna maksud dari ucapannya. “Kerajaan Angin memiliki kekuatan militer yang sangat kuat, terlebih mereka memiliki rakyat yang sangat patuh pada rajanya. Rakyat Kerajaan Angin tidak segan-segan mengorbankan nyawa mereka jika Raja Jian Guo menghendakinya, sebesar itulah pengabdian rakyat Kerajaan Angin pada rajanya.”

Long Wei tidak langsung menjawab, kemarahannya masih belum sirna saat ia bicara dengan penuh penekanan. “Maksudmu lebih baik kita mengikat hubungan dengan Kerajaan Angin?” Giginya kembali gemeretak. “Kau memintaku untuk mempersunting salah satu putri dari Raja Jian Guo?” teriak Long Wei murka.

Hui Zhong harus mengakui, dirinya begitu ketakutan saat ini, namun ini demi kebaikan negaranya. Perang dengan Kerajaan Angin jelas akan menguras banyak uang, tenaga serta pengorbanan nyawa prajurit yang jauh lebih besar daripada apa yang harus mereka korbankan saat menaklukan empat kerajaan lain selama ini.

“Kalau begitu nikahkan saja salah satu dari adikku dengan pangeran dari Kerajaan Angin,” teriak Long Wei. “Kita semua tahu jika Jian Guo memiliki tujuh orang putra yang telah dewasa, lebih mudah menikahkan putri dari Kerajaan Api dengan salah satu dari ketujuh pangeran itu,” tukasnya beralasan dengan nada lebih rendah namun penuh penekanan. “Dan yang kutahu, putri-putri dari Kerajaan Angin masih sangat belia. Apa kau pikir dia bersedia menikahkan salah satu putrinya denganku?” tanyanya geram. “Kau memintaku untuk menikahi anak kecil?”

“Lapor Yang Mulia, perihal ini bagaimana jika hamba menyelidikinya lebih dalam?”

Long Wei mengernyit, “Kau akan memasukkan mata-mata ke dalam Istana Angin?”

Hui Zhong kembali membungkuk hormat dan berkata, “Satu bulan lagi Raja Jian Guo berulang tahun. Beliau mengadakan pesta besar-besaran untuk merayakannya, baik di dalam istana serta pesta untuk rakyat. Hamba akan datang sebagai perwakilan dari Kerajaan Api untuk mengucapkan selamat,” terangnya tenang. “Dalam waktu yang singkat itu hamba akan mengumpulkan informasi mengenai keluarga besar Raja Jian Guo,” tambahnya membuat Long Wei berpikir serius.

“Aku belum menyetujui rencanamu ini, Perdana Menteri,” jawabnya dengan kemarahan yang nyaris hilang. “Aku akan memutuskan langkah apa yang akan kuambil setelah mendapat laporan darimu nanti,” tambahnya penuh penekanan.

Loving Mr. Right – Bab. 1 Awal Perjalanan

9 Februari 2017 in Vitamins Blog

250 votes, average: 1.00 out of 1 (250 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Kematian kedua orangtuanya memaksa Anna Wilson meninggalkan kampung halamannya di Wales untuk mengadu nasib di London. Kondisi ekonomi yang sulit membuatnya memilih jalan pintas untuk mencari uang hingga akhirnya takdir mempertemukannya dengan Sam Cromwell-seorang pria baik hati yang telah menyelamatkannya dari tepian lubang gelap tak berdasar, membuatnya bergantung pada pria itu.

Namun kenapa perlahan perasaannya berubah saat ia bertemu dengan Dean—kakak tertua Sam. Dean-pria angkuh, menyebalkan, bossy dan terkenal dingin itu memporak-porandakan kehidupan yang mulai ditatanya.

Anna mencintainya, namun masa lalunya menjadi tembok tinggi yang kini berdiri diantara keduanya. Bisakah mereka berkompromi? Atau Anna lebih memilih untuk tetap sendiri?

***

Enjoy!

***

Wales, United Kingdom
09 Februari 2009

“Maaf, Nona, mungkin sebaiknya Anda tidak melihat wajah keduanya.”

Anna mendongak, menatap seorang pria setengah baya yang mengenakan seragam polisi. “Aku harus melihatnya,” sahut Anna bersikeras. Kedua tangannya berkeringat dingin, terkepal erat di sisi tubuhnya. “Mereka orangtuaku,” tambahnya tanpa ekspresi.

Pria itu melihat Anna dengan ekspresi simpati, dengan lembut pria itu menepuk bahu gadis remaja berambut coklat, berusia delapan belas tahun itu. “Jika itu sudah menjadi keputusanmu, baiklah,” jawabnya parau. Pria itu mengangguk pelan pada pria lain di dalam ruangan itu. Pria yang ditatapnya membalas dengan anggukan pelan, tangannya terulur bermaksud untuk membuka kain katun berwarna putih yang kini telah berubah warna, kotor oleh darah.

Wajah Anna memucat seketika saat kain penutup jenazah ayahnya disibak oleh pria penjaga kamar jenazah. Rasa mual menyerangnya dengan hebat, membuatnya mundur beberapa langkah. “Kau baik-baik saja?” tanya polisi paruh baya itu terdengar cemas. “Apa kau masih mau melihat jenazah ibumu?”

“Ya, tolong,” jawab Anna lemah. Bola mata seindah zamrud itu kini terlihat meredup, putus asa.

Penjaga kamar jenazah itu kemudian menyibak kain penutup jenazah Nyonya Wilson- Ibu Anna.

Anna terduduk lemas, bukan hanya wajah tampan ayahnya saja yang rusak, wajah tirus ibunya juga hancur akibat kecelakaan mobil tragis yang menimpa keduanya, pagi tadi. Pecahan kaca mobil melukai wajah keduanya, sementara benturan keras membuat wajah keduanya rusak. Namun ia masih bisa mengenali keduanya dari pakaian yang melekat di tubuh jenazah itu. Pakaian sama yang dikenakan kedua orangtuanya saat pamit pergi ke kota untuk membeli bibit gandum.

“Orangtuamu tidak mengenakan sabuk pengaman,” terang polisi itu.

Gadis remaja itu setengah melamun saat polisi mengatakannya. Dia seringkali mengingatkan kedua orangtuanya agar selalu memasang sabuk pengaman jika berkendara. Namun Tuan Wilson- Ayah Anna selalu berkelakar jika di Wales jarang sekali terjadi kecelakaan. Lalu lintas disini aman, apa yang harus ditakutkan? Katanya, yang dijawab senyuman serta anggukan setuju oleh istrinya.

“Kau masih mau disini?” tanya polisi itu lagi, matanya tak lepas dari Anna yang masih terduduk lemas di atas lantai dingin kamar jenazah.

Anna menggelengkan kepalanya pelan. Hatinya sangat sakit. Orangtuanya orang baik. Mereka sangat taat beribadah. Ayah dan ibunya bahkan tidak pernah mengeluh saat mendapat cobaan dasyat. Tiga tahun yang lalu, Nyonya Wilson divonis menderita kanker usus stadium dua. Namun keduanya selalu tersenyum, pasrah, dan yakin jika Tuhan tidak pernah memberikan cobaan melebihi kemampuan makhluknya. Tapi, kenapa Tuhan mencabut nyawa keduanya dengan cara seperti ini? Tanya Anna di dalam hati.

Sementara penjaga menutup kembali wajah jenazah kedua orangtua Anna, polisi paruh baya itu mengulurkan tangan kanannya, membantu Anna untuk berdiri. Susah payah, Anna akhirnya bisa kembali berdiri dengan bantuan polisi itu, kakinya bergetar setiap kali ia melangkah untuk keluar dari ruangan yang berbau amis. Tuhan, kenapa harus seberat ini cobaan yang Kau berikan padaku? Ratap Anna di dalam hati, pilu.

.

.

.

Ia tidak tahu bagaimana caranya hingga ia bisa kembali ke rumahnya, sore ini. Anna menyandarkan punggungnya pada daun pintu di belakangnya. Kepalanya mendongak, menatap langit-langit rumahnya yang dicat putih.

Tubuhnya merosot ke atas lantai saat kakinya kembali kehilangan tenaga untuk menopang tubuhnya yang juga ikut melemah. Sekarang dia yatim piatu. Dia sebatang kara. Pikiran-pikiran itu menghantuinya. Mulai saat ini tidak akan ada lagi senyum hangat ibunya tiap kali dia pulang ke rumah. Tidak akan ada lagi kelakar heboh ayahnya yang acapkali menggoda dirinya yang hingga saat ini masih betah untuk tidak memiliki kekasih.

“Dad? Mom?” panggilnya lirih. Air mata yang sedari tadi ditahannya kini mengalir deras. Gadis remaja itu mendadak mendapatkan kembali kekuatannya, seperti orang gila dia berlari, mencari dari satu ruangan ke ruangan lainnya, mencari keberadaan kedua orangtuanya. “Dad?!!!” teriaknya parau. “Mom?!!!” teriaknya lagi, terdengar menyedihkan.

Anna terus menangis keras, mengabaikan rasa sesak yang menghantam dadanya keras. Jeritan dan tangisannya semakin menjadi saat gadis remaja itu sampai di kamar kedua orangtuanya di lantai dua. “Jangan bercanda lagi! Aku mohon!” cicitnya lemah, nyaris tanpa suara.

Sore itu dia terus menangis, meringkuk di atas tempat tidur orangtuanya hingga lelah dan jatuh tertidur.

.

.

.

Pemakaman kedua orangtuanya dilaksanakan tiga hari kemudian. Kebaikan hati keduanya semasa hidup membuat banyak orang merasa kehilangan. Mereka menyampaikan rasa duka cita mendalam pada Anna yang terlihat masih tidak percaya dan linglung.

Anna bahkan tinggal lebih lama, berdiri kaku di depan pusara kedua orangtuanya setelah upacara pemakaman selesai.

Namun kehidupan harus terus berlanjut, bukan?

Ia mencoba untuk bangkit. Menekan kesedihannya, menyembunyikannya dengan baik dibalik ekspresinya yang sok kuat. Surat-surat tagihan pun terus berdatangan tiap harinya. Mulai dari tagihan listrik, air, gas, hingga kredit bank yang harus dibayar. Anna menghela napas panjang saat melihat tagihan-tagihan itu. Uang asuransi orangtuanya tidak sebanding dengan hutang yang ditinggalkan oleh ayahnya.

Selama ini, Anna terus berpikir dari mana ayahnya memiliki begitu banyak uang untuk membiayai pengobatan ibunya yang mengidap kanker usus stadium tiga. Namun sekarang ia tahu jawabannya, ayahnya menggadaikan tanah pertanian serta rumah mereka ke bank untuk mendapatkan dana tersebut.

Tiga bulan kemudian, karena besarnya tunggakan kredit yang belum dibayar, Anna pun harus merelakan tanah pertanian serta rumah tempatnya tumbuh dewasa disita dari tangannya, membuatnya terlempar ke jalanannya. Namun ia tidak menangis. Ya, seperti kata orangtuanya, Tuhan tidak pernah memberikan cobaan melebihi kemampuan umatnya.

Dengan langkah mantap, Anna berjalan. Menatap ke depan penuh keyakinan. Dia yakin jika kehidupannya di masa yang akan datang akan kembali membaik. Ya. Saat ini dia hanya perlu keluar dari kota ini. Dan jika sudah waktunya, dia akan kembali untuk mengambil sesuatu yang menjadi haknya sejak awal.

CHAO XING (朝兴) – Bab 6. Perpisahan

9 Februari 2017 in Vitamins Blog

384 votes, average: 1.00 out of 1 (384 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

***

Author Playlist : Ambrose Hsu – Xing Fu De Shun Jian

Enjoy! ^-^

***

“Apa pestamu kemarin menyenangkan?” tanya Chao Xing dengan tatapan sinis pada Jian Gui. Dengan gerakan perlahan gadis remaja berusia lima belas tahun itu mengalihkan pandangannya, menatap satu per satu wajah saudaranya yang terlihat salah tingkah saat ini. “Pasti menyenangkan sekali,” ujarnya penuh penekanan sementara Jian Gui hanya bisa berdeham untuk menekan rasa bersalahnya. “Kembang apinya bagus sekali, aku bahkan bisa mendengar suara musiknya yang terus mengalun hingga lepas dini hari,” cibirnya.

Chao Xing terdiam sejenak, memasang ekspresi datar. “Melihat sikap kalian semua, kalian pasti tahu jika Yang Mulia Raja tidak mengundangku, kan?” tanyanya tajam membuat ketujuh pangeran itu kembali bergerak dengan gelisah.

Gadis remaja itu menghela napas kasar, lalu mendudukkan diri di atas kursi batu di dalam gazebo. Dengan gerakan anggun dia mulai memetik senar kecapi. Irama kecapi yang dimainkan olehnya terdengar lembut, begitu rendah menggambarkan kesedihan hatinya saat ini.

“Maafkan aku!” Seketika Jian Gui menghentikan permainan kecapi Chao Xing. Ia mendudukkan diri di atas kursi batu di samping gadis remaja itu, digenggamnya tangan Chao Xing erat, ditatapnya lurus kedua mata adiknya yang terlihat berkaca-kaca. “Aku tidak memiliki kekuatan apa pun untuk menentangnya,” ujarnya dengan nada penuh penyesalan. “Statusku memang seorang putera mahkota, namun pada kenyataannya aku tidak berbeda dengan sebuah boneka yang diatur oleh pemiliknya—ayahanda kita.”

Tubuh Chao Xing bergetar, kepalanya menunduk dalam. Jauh dalam hatinya ia tahu jika semua ini merupakan perintah raja. Ia tidak bisa menyalahkan siapa pun atas ketidakberuntungannya ini.

Chao Xing menghela napas panjang lalu merogoh hanfu-nya untuk mengeluarkan sebuah saputangan sutera bersulam emas dengan motif naga dan ukiran tulisan nama putera mahkota. “Selamat ulang tahun!” ujarnya dengan senyum rapuh yang terlihat mengenaskan. “Maaf karena aku tidak bisa memberimu hadiah mewah,” tambahnya lirih. Air matanya pun jatuh, membuat hati Jian Gui luluh lantak oleh rasa bersalah.

Pangeran Pertama dari Kerajaan Angin itu merengkuh tubuh adiknya yang bergetar hebat lalu menangis dalam pelukannya. “Maafkan aku!” pintanya lembut seraya membelai rambut hitam adiknya. “Tolong maafkan aku!” pintanya lagi, lirih.

***

“Jadi, kalian semua akan pergi keluar istana untuk waktu lama?” Chao Xing meletakkan sumpit di tangannya. Napsu makannya seketika lenyap saat mendengar berita yang kembali membuatnya merasa kehilangan.

Jian Guang meletakkan sebuah potongan daging ke atas mangkuk nasi Chao Xing dan berkata dengan lembut, “Aku, Qiang dan Renshu akan kembali satu tahun atau dua tahun lagi,” hiburnya sama sekali tidak membuat Chao Xing tenang.

“Keadaan Negara sedang genting, karenanya ayahanda memerintahkan kami untuk mengumpulkan informasi di wilayah-wilayah yang sudah ditaklukkan oleh Kerajaan Api,” sambung Renshu. “Putera Mahkota juga ditugaskan untuk menjaga perbatasan utara, karena banyaknya pengungsi dari Kerajaan Air yang berniat menerobos masuk dan mencari perlindungan pada Kerajaan Angin.”

“Apa kita tidak bisa mengizinkan mereka untuk masuk?” tanya Chao Xing dengan kedua alis bertaut. “Mereka merasa tidak aman di negaranya, karenanya mereka mencari perlindungan di wilayah Kerajaan Angin, apa itu salah?”

Jian Guang menggelengkan kepala pelan, lalu menjawab dengan nada bijak. “Tidak salah namun akan jadi masalah jika sisa anggota Kerajaan Air ikut masuk ke dalam wilayah kita.” Ia terdiam sejenak, tersenyum samar karena bisa membahas masalah sepelik ini dengan Chao Xing dengan bebasnya. “Bagaimana jika Kaisar Kerajaan Api menjadikan hal itu sebagai alasan untuk menyerang kita?”

Chao Xing tertegun, terlihat berpikir keras. “Kaisar dari Kerajaan Api terdengar sangat jahat dan ambisius,” katanya dengan kebencian yang terselip dalam nada bicaranya. “Lalu, apa aman jika kalian semua pergi dari istana?” Ia terdiam sejenak. “Maksudku, bagaimana jika musuh mengetahui jati diri kalian? Dan apa tidak apa-apa jika Pangeran Keenam dan Ketujuh masuk ke sekolah militer dalam situasi segenting ini?” tanyanya beruntun dengan nada khawatir.

“Ayahanda Raja sudah memikirkan masalah ini dengan baik,” timpal Jian Ying tenang.

“Lalu, apa kau juga harus ikut dengan Putera Mahkota, Kakak Kelima?” tanya Chao Xing. Ia menunduk, menatap jemarinya yang saling bertaut di atas pangkuannya. “Lalu siapa yang akan menemaniku bermain?” tanyanya parau. “Puteri yang lain tidak ada yang mau bermain denganku, ibu mereka melarang mereka untuk bermain denganku.”

“Kenapa kau harus sedih?” tanya Qiang seraya menepuk bahu Chao Xing. “Kami akan segera kembali untuk bermain denganmu,” hiburnya.

“Berjanjilah kalian akan kembali dengan selamat,” pinta Chao Xing lembut. “Aku menyayangi kalian semua,” lanjutnya dengan sebulir air mata turun menyertainya.

***

Chao Xing tertegun lama, tidak berkedip saat menatap kosong sebuah lahan di hadapannya. Gadis remaja itu berjalan berkeliling, memasang ekspresi serius sebelum akhirnya kembali berdiri dengan kening ditekuk dalam.

Kemarin pohonnya masih ada di tempat ini, batinnya dengan kening ditekuk dalam. “Kenapa pohonnya menghilang?” tanyanya lirih nyaris berbisik. Chao Xing berjalan pelan, membungkuk untuk mengamati tanah tempat pohon itu berdiri dengan angkuh hingga kemarin. Ia kembali menegakkan tubuhnya, bahunya merosot. Di atas tanah itu sama sekali tidak ada jejak apa pun yang memperlihatkan jika pohon tinggi itu pernah berdiri di sana.

Chao Xing menepuk-nepuk pipinya agak keras, berusaha untuk mencari tahu apa ia tengah bermimpi saat ini namun rasa sakit yang menyengat itu membuatnya sadar jika apa yang dialaminya saat ini bukanlah sebuah mimpi. “Dayang?!” panggilnya pada seorang dayang muda yang kebetulan melintas di taman itu. “Kemana pohon di tempat ini?” tanya Chao Xing seraya menunjuk ke titik dimana pohon itu pernah tumbuh.

Dayang muda itu membungkuk untuk memberi hormat dan menjawab dengan nada lembut, “Mohon ampun, Tuan Puteri, namun tidak ada pohon yang pernah tumbuh di sana,” jawabnya membuat Chao Xing terbelalak. Semua orang di dalam istana telah diberi perintah dengan tegas jika di taman ini tidak pernah tumbuh pohon apa pun, dan mereka tidak berani bertanya banyak karena perintah raja adalah mutlak.

“Kau pikir aku gila?” bentaknya marah. Chao Xing berdesis, berkacak pinggang lalu menarik pergelangan tangan dayang itu untuk berjalan dengannya. “Pohon itu kemarin masih berdiri kokoh di tempat ini,” terangnya dengan gigi gemeretak, menahan kesal. “Kemana pohon itu?” tanyanya gemas.

“Pohon apa yang kau maksud Chao Xing?” pertanyaan yang dilontarkan dengan nada penuh wibawa itu membuat tubuh Chao Xing seketika gemetar tanpa alasan. Seolah tahu siapa pemilik suara, Chao Xing dengan gerakan perlahan membalikkan badan, sementara dayang di sebelahnya sudah membungkukkan badan dalam untuk memberi hormat dengan takzim.

“Chao Xing memberi hormat pada Yang Mulia. Yang Mulia panjang umur seribu tahun!”

Raja melambaikan tangannya, mengusir dayang yang bediri di samping Chao Xing untuk pergi sementara beberapa kasim serta pengawal yang menyertai raja berdiri di belakang, menjaga jarak sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh rajanya. “Apa yang kau cari?” tanyanya tanpa mengalihkan tatapannya dari sosok Chao Xing yang masih membungkuk memberi hormat.

Chao Xing menegakkan tubuhnya dan menjawab serak. “Tidak ada, Yang Mulia. Hamba permisi!” ucapnya sebelum kembali memberi hormat untuk berbalik pergi namun langkahnya terhenti saat Jian Guo berkata dengan nada tegas, “Aku belum mengizinkanmu untuk pergi.”

Gadis remaja itu membatu di tempat. Bingung dengan maksud ucapan raja. Bukankah raja tidak menyukainya? Lalu kenapa dia malah memintanya untuk tetap tinggal?

“Kenapa kau tidak mengantar kepergian kakak-kakakmu?” tanya Jian Guo kemudian tanpa ekspresi. “Kudengar kau cukup dekat dengan mereka,” tambahnya tajam.

Chao Xing menggigit bibir bawahnya, niatnya datang ke tempat ini pagi ini bukan hanya untuk melakukan rutinitas paginya, namun juga untuk mengantar kepergian ketujuh kakaknya, karena ia yakin jika raja tidak mungkin memberinya izin untuk ikut mengantar kepergian ketujuh pangeran itu. Perlahan ia mendongak, balas menatap lurus kedua mata ayahnya untuk kali pertama. “Yang Mulia, apa hamba boleh mengantar kepergian mereka?” ia balik bertanya dengan suara bergetar, menahan puluhan emosi yang berkecamuk di dalam dirinya saat ini.

“Hm… kau boleh mengantar kepergian mereka,” sahut raja datar sebelum berbalik dan berjalan pergi.

***

Matahari baru saja terbit saat ketujuh pangeran menaiki kuda mereka masing-masing. Ketujuhnya sudah memberikan salam penghormatan, siap untuk pergi saat Chao Xing berlari, begitu tergesa dengan wajah berderai air mata.

Jian Guang yang melihatnya pertama kali kembali turun dari kudanya, lalu mencondongkan tubuhnya untuk menerima pelukan erat dari Chao Xing. “Berjanjilah kau akan pulang dengan selamat!” pinta Chao Xing dalam pelukannya.

Jian Guang tersenyum lalu menjawab tidak kalah lembut, “Bukankah kau sudah memintaku berjanji untuk hal yang sama kemarin?” guraunya membuat Chao Xing mencebik. “Baiklah, baiklah… aku berjanji akan pulang dengan selamat,” ujarnya membuat Chao Xing mengangguk puas. Jian Guang pun melepas pelukannya, setengah tidak rela saat adiknya berjalan menuju Jian Gui dan melakukan hal yang sama.

“Berhentilah menangis!” ujar Jian Gui seraya menghapus air mata di kedua pipi adiknya. “Kau terlihat jelek saat menangis,” tambahnya membuat Chao Xing mengangguk pelan. “Belajarlah dengan rajin, jangan terus lari dari Dayang An, apa kau mengerti?”

Chao Xing kembali mengangguk lemah.

“Dan tolong jaga ibuku,” pinta Jian Gui di telinga Chao Xing.

“Aku akan menjaganya,” jawab Chao Xing. “Aku akan menjaganya dengan nyawaku.”

“Bagaimana bisa kau menjaga Permaisuri jika pekerjaanmu hanya menangis dari waktu ke waktu?” sindir Renshu. Namun Pangeran Keempat itu kembali dibuat kaget karena untuk pertama kalinya Chao Xing memeluknya erat. “Hei, jangan membuatku takut!” ujarnya salah tingkah. “Lihat, bulu kudukku meremang karena ulahmu yang tidak biasa ini!”

“Jaga dirimu baik-baik,” ujar Chao Xing mengabaikan protes Renshu. “Kau harus makan dengan baik, tidur cukup dan kau harus ekstra hati-hati, mengerti?” ia mendongak, menatap lurus wajah Renshu yang kini menyunggingkan sebuah senyum tulus. “Jangan membuatku khawatir.”

“Aku mengerti,” balas Renshu seraya mengacak pelan rambut Chao Xing. “Dan kau juga harus bisa menjaga dirimu,” tukasnya. “Jangan membuat kami semua khawatir, mengerti?”

“Aku pasti bisa berubah,” ujar Chao Xing. “Sedikit,” tambahnya cepat dengan senyum jail.

“Sampai kapan kau akan memeluknya?” protes Qiang jengah. “Apa kau tidak akan memberi pelukan pada kami?” lanjutnya seraya menunjuk ketiga saudaranya yang lain.

Chao Xing tersenyum, berlari lalu merentangkan tangan untuk memeluk keempat saudaranya yang lain. “Aku akan merindukan kalian semua,” bisiknya membuat keempat pangeran itu senang. “Aku akan menunggu kalian, karenanya kembalilah dengan cepat,” tambahnya serak.

Helena – Bab 5. Alasan James

9 Februari 2017 in Vitamins Blog

328 votes, average: 1.00 out of 1 (328 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Author Playlist : Robbie Williams – Better Man

***

Send someone to love me. I need to rest in arms

Keep me safe from harmIn pouring rain

Give me endless summer. Lord I fear the cold

Feel I’m getting old. Before my time

As my soul heals the shame. I will grow through this pain

Lord I’m doin’ all I can. To be a better man  

***

Enjoy!

***

James tersenyum, kedua matanya berkilat penuh kemenangan saat melihat sosok Helena di hadapannya saat ini. “Bukankah ini masih terlalu pagi untuk kunjungan kekeluargaan?” tanyanya dengan nada geli yang nyaris membuat Helena menerjang maju untuk menghajarnya dengan keras. Ah, mungkin hanya dengan cara itu James bisa mendapatkan kembali kewarasannya setelah beberapa waktu ini pria itu bersikap seperti remaja tanggung yang tengah jatuh cinta, pikir Helena marah.

“Kau terlihat mengenaskan.” James kembali berkomentar, menatap penampilan menyedihkan Helena dari ujung rambut hingga ujung kaki. “Apa kau menabrak tornado saat perjalanan ke tempat ini?” tanyanya lagi dengan senyum geli yang semakin menyulut amarah Helena.

“Ah, ini adalah salam manis yang kudapat dari ibuku,” sahut Helena membuat James mengangkat satu alisnya dan tersenyum geli.

Helena mengetatkan rahangnya, giginya gemeretak saat ia menghitung di dalam hati hingga sepuluh untuk menenangkan otot-otot sarafnya yang kini berkedut tak terkendali karena marah. “Sebenarnya apa yang ada dalam otakmu?” tanyanya dengan ekspresi datar, sementara James menatapnya dengan ekspresi serius. “Apa kau sadar apa yang sedang kau lakukan sekarang hanya sebuah ide tolol untuk menyenangkan egomu?”

James tidak menjawab.

“Jika kau berniat menyenangkan egomu kenapa kau tidak langsung membeliku alih-alih menikahiku?” Helena kembali bertanya dengan ketenangan yang sangat menakjubkan bahkan untuk dirinya sendiri.

James bergerak, berdiri dari kursi kerjanya lalu berjalan memutari meja kerjanya dengan sikap seorang pemburu yang siap memburu buruannya. Wajah tanpa ekspresinya menjadi sebuah alarm peringatan untuk Helena, sebuah peringatan jika pria di hadapannya ini sangat berbahaya.

“Jadi kau mau aku menyetubuhimu, membayarmu dan memperlakukanmu layaknya seorang pelacur?” desis James sinis. Pria itu berdiri tepat di hadapan Helena, membuat dada wanita itu naik-turun penuh antisipasi. James memiringkan kepala ke satu sisi. “Jadi itu keinginanmu? Memperlakukanmu sebagai seorang pelacur?”

Hening.

“Jangan coba-coba untuk menamparku, Perempuan!” desis James yang dengan gerakan cepat berhasil mencegah tangan Helena yang melayang cepat ke arah pipinya. “Aku bukan pria sabar,” tambahnya membuat Helena semakin terbakar oleh amarah.

“Dan aku bukan wanita yang bisa kau bayar dan gunakan layaknya seorang pelacur!” balas Helena sengit.

James terkekeh, melepaskan pergelangan tangan Helena dengan kasar lalu berjalan menuju sebuah bar mini yang terletak di sisi kiri ruang kerjanya. “Karenanya aku berbaik hati melamarmu secara resmi pada orangtuamu,” ujarnya ringan seraya menuangkan brendi ke dalam gelas kristal mahalnya. Ia mengangkat gelasnya tinggi sebelum menyesap cairan berwarna keemasan itu tanpa melepaskan pandangannya dari wajah Helena yang memerah marah. Ia mengernyit, “Tapi kau malah memintaku untuk memperlakukanku seperti seorang pelacur?” James terdiam sejenak, menatap Helena dengan pandangan mencemooh, “Dimana harga dirimu?”

“Kau mengambil semua harga diriku saat dengan kurang ajarnya kau muncul di hadapan wanita itu!” Helena setengah menjerit saat mengatakannya, membuat James menatapnya dengan satu alis terangkat. Sekuat tenaga ia mencegah air matanya turun, namun rasa panas di kedua matanya tak bisa ditahannya lebih lama. Helena mengusap cepat lelehan air mata di kedua pipinya. Ia memeluk dirinya sendiri, seolah hal itu bisa memberinya kekuatan dan perlindungan dari James. “Apa kesalahanku padamu?” tanyanya kemudian dengan suara bergetar. “Kenapa kau begitu membenciku?” tanyanya lagi membuat James untuk beberapa saat membeku di tempat, lidahnya mendadak kelu hingga rasanya ia nyaris lupa bagaimana caranya untuk bicara.

James memalingkan muka, terlihat kaget mendapat pertanyaan yang sama sekali tidak diduga akan muncul dari mulut Helena. Pria itu mengumpat kasar, lalu kembali memandang Helena dengan tatapan berbeda, sebuah tatapan penuh rasa sakit yang membuat wanita di hadapannya balas menatapnya tidak mengerti.

Dengan langkah panjang-panjang James kembali mengikis jarak diantara mereka. “Karena penolakanmu mengingatkanku padanya!” desis James seraya menguncang-guncang bahu Helena keras. “Kenapa kau harus menolakku?” tanyanya lagi, menatap jauh ke dalam kedua mata Helena. “Kenapa kau harus menolakku?” James mendesis. Cengkraman tangan pria itu semakin menguat membuat Helena meringis kesakitan karenanya, namun James tidak peduli. “Katakan kenapa kau harus menolakku?”

Hening.

“Kenapa kau tidak seperti wanita lainnya?” tanya James lagi kasar. “Kenapa kau harus berbeda dengan mereka?”

“Aku tidak mengerti kenapa kau harus terganggu karenanya?” teriak Helena histeris. Air matanya kembali turun dengan hebat membuat James melepaskan cengkramannya lalu mengumpat kasar. “Kau bisa mencari wanita lain jika aku menolakmu, kenapa kau harus begitu tersinggung? Apa kau tidak pernah mendapat penolakan sebelumnya hingga penolakanku membuat egomu terluka?”

“Kau wanita kedua yang menolakku. Puas?!” bentak James membuat Helena berjengit. “Aku sudah bersumpah jika aku tidak akan pernah ditolak lagi, Helena—”

“Jadi karena itu kau begitu tololnya melamarku pada wanita itu?” potong Helena cepat.

“Dia ibumu!” ujar James terdengar mengingatkan.

Dan kesedihan pun kembali merayap dengan cepat di dalam hati Helena. Tubuhnya mengigil untuk alasan yang sama sekali tidak diketahuinya. Ada perasaan tidak nyaman saat James mengingatkannya akan hubungannya dengan Rowena, membuat Helena jatuh terduduk dengan ekspresi datar.

Napas Helena yang mulai tidak teratur tidak luput dari pengawasan James yang sangat jeli. Pria itu berjalan maju, lalu mencondongkan tubuhnya, terlihat khawatir saat Helena meremas dadanya dengan erat. “Ada apa? Apa kau sakit?”

Helena menggelengkan kepala dengan lemah. Napasnya putus-putus, dadanya berdebar sangat cepat, kepalanya terasa sangat sakit hingga rasanya ia mau mati dan pandangannya dengan perlahan mulai menggelap. Ia bahkan tidak bisa mendengar dengan baik saat James terus memanggil-manggil namanya dengan panik.

Wanita itu tidak ingat kapan terakhir kali ia seperti ini, karena hal itu sudah berlangsung begitu lama dan berhubungan dengan ibu kandungnya—Rowena.

***

“Ada apa dengannya? Apa penyakitnya serius?” tanya James pada seorang dokter kenalannya. Setengah jam lalu ia begitu panik saat Helena pingsan dan dengan cepat ia segera membawa wanita itu ke sebuah rumah sakit ternama yang terletak tidak jauh dari gedung perkantorannya berada. “Katakan sesuatu Adam, jangan membuatku sangat cemas.”

Adam melirik sekilas ke arah Helena yang masih berbaring tidak sadarkan diri di atas ranjang rumah sakit. Ia lalu menepuk bahu James, menggiring teman SMAnya itu untuk keluar dari ruang unit gawat darurat. “Wanita itu mendapat serangan panik.”

“Namanya Helena!” ujar James.

Adam tersenyum penuh arti saat mendengar nada tidak suka dari suara James. “Ah, jadi namanya Helena?” godanya membuat James mendelik ke arahnya. Adam berdeham pelan, kembali bersikap profesional. “Apa Helena sering mendapat serangan panik seperti ini?”

James mengangkat bahu.

“Aku serius James!”

James menyisir kasar rambut dengan jemarinya. “Aku juga serius,” balasnya serak. Ia mengangkat kedua tangannya ke udara, lalu menopangkan punggungnya pada tembok rumah sakit di belakangnya. “Aku kira dia terkena serangan jantung,” ujarnya dengan kedua mata terpejam. “Aku begitu takut saat melihatnya tidak bergerak,” tambahnya seraya mengusap kasar wajahnya.

“Dia kekasih barumu?” tanya Adam berhati-hati.

“Dia calon istriku,” jawab James membuat mulut Adam terbuka lebar. Ia terkekeh, “Kau terkejut?” tanyanya dengan nada bergurau.

Adam menelan dengan susah payah, “Tentu saja aku terkejut. Dasar brengsek! Akhirnya kau menambatkan hatimu juga,” balasnya sembari memukul pelan bahu James yang terlihat kacau. Adam terdiam sejenak. “Apa kalian bertengkar sebelumnya?”

James terdiam, mendesah keras lalu mengangguk pelan. “Apa itu bisa menjadi alasan dia pingsan?”

Adam mengangguk, “Tingkat kesetresan yang berlebihan bisa memacu serangan panik pada beberapa pasien yang memiliki riwayat serangan sebelumnya,” terangnya. “Kau tidak boleh membuatnya stres, James!”

“Kau salah, Adam. Justru calon istriku yang sering membuatku gelisah dan stres sepanjang hari.” James tertawa pelan, lalu mendesah keras dan kembali menatap Adam dengan ekspresi serius. “Tapi tidak ada yang serius dengan Helena, kan? Dia baik-baik saja, kan?” tanyanya dengan nada cemas yang begitu nyata.

“Serangan panik bisa berbahaya, James.” Adam terdiam sejenak untuk mengambil napas. “Helena tidak boleh terlalu lelah, diet, dan stres.” Ujarnya penuh penekanan pada kata terakhirnya. “Kau harus memastikannya untuk bahagia, tidak sulit bukan?”

James tidak menjawab, tatapannya menerawang jauh.

“Aku akan segera memindahkannya ke ruang VIP,” ujar Adam seraya menepuk bahu James. “Jangan khawatir, dia mungkin hanya terlalu lelah karena persiapan pernikahan kalian, dan stress karena pertengkaran kalian,” tambahnya sebelum kembali masuk ke dalam UGD, meninggalkan James dengan sejuta emosi yang sama sekali tidak bisa dipahaminya.

Sekarang apa yang harus dilakukannya? Bagaimana caranya ia membuat Helena bahagia? Tanyanya di dalam hati.

CHAO XING (朝兴) – Bab 5. Punggung Rapuh nan Sepi

7 Februari 2017 in Vitamins Blog

479 votes, average: 1.00 out of 1 (479 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Author Playlist : Soyou – I Miss You

***

Enjoy!

***

“Hamba mohon ampun, Putera Mahkota, tapi Puteri Chao Xing saat ini tidak bisa diganggu.” Ju Fang menundukkan kepala dalam, memohon maaf karena tidak bisa mengizinkan putera mahkota beserta enam orang pangeran lain yang datang berkunjung ke Paviliun Taman Barat untuk menemui Chao Xing. “Tuan puteri tengah beristirahat. Puteri terkena flu parah,” lanjutnya sangat sopan.

Jian Gui menyempitkan mata, lalu bertanya dengan dagu terangkat, “Kau pikir keberadaan kami akan mengganggunya?”

“Mohon ampun, Putera Mahkota, hamba tidak bermaksud seperti itu,” sagut Ju Fang tenang. “Puteri hanya takut jika penyakitnya akan menular pada para pangeran, karenanya beliau menolak untuk menemui pangeran.”

“Bahkan menolakku?” Jian Guang bergerak maju, melirik ke arah pintu kamar Chao Xing yang tertutup rapat. “Aku yang sudah menyelamatkannya, tapi dia juga menolakku?” tanyanya membuat Ju Fang serba salah.

Di satu sisi Chao Xing meminta Ju Fang untuk mengusir halus ketujuh pangeran yang tiba-tiba saja datang berkunjung tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.

“Jika dia menolak kedatangan kita kenapa kita harus memaksanya?” Jian Ying sengaja menaikkan nada suaranya agar Chao Xing bisa mendengarnya dari dalam kamar. Pangeran Kelima dari Kerajaan Angin itu tahu jika Chao Xing sudah membaik dan hanya malas untuk bertemu dengan mereka. Ah, mungkin adiknya itu masih malu atas apa yang terjadi dua hari yang lalu.

“Sebaiknya kita bawa pergi semua makanan lezat ini dan menikmatinya sendiri—”

“Biarkan mereka semua masuk!” teriak Chao Xing dari dalam kamar, memotong ucapan Jian Ying, membuat ketujuh pangeran itu tertawa kecil karenanya.

“Dia benar-benar lemah terhadap makanan enak.” Renshu berkata lirih sembari menggelengkan kepala pelan, lalu dengan hati-hati ia membuka pintu kamar Chao Xing. “Mana Tuan Puteri yang terkena flu?” tanyanya dengan nada menggoda sementara gadis remaja yang dimaksud memasang ekspresi cemberut, lalu mendudukkan diri di atas ranjangnya yang nyaman.

Chao Xing bergerak pelan, menahan rasa sakit di kepalanya yang kembali datang untuk sekejap. Setelah merasa lebih baik, ia pun turun dari ranjang, dibantu oleh Jian Guang untuk duduk di atas sebuah kursi sementara para dayang mulai meletakkan makanan-makanan lezat yang dibawa oleh Pangeran Pertama di atas meja.

“Kalian benar-benar perhatian,” seru Chao Xing penuh haru sementara Jian Guang menyampirkan sebuah mantel di atas pundak Chao Xing.

“Pakaianmu terlalu tipis,” ujarnya saat Chao Xing menatapnya dengan sorot terima kasih.

“Pakaian tidur tentu saja harus tipis,” jawabnya cuek. “Lagipula apa yang harus kukhawatirkan, kalian semua saudaraku,” kilahnya membuat ketujuh pangeran itu menghela napas keras. Dengan santainya Chao Xing mengambil sebuah sumpit, lalu menyuapkan makana-makanan lezat itu ke dalam mulutnya. “Makanan enak memang obat mujarab untuk sakit flu,” kilahnya dengan senyum lebar. “Aku sayang kalian!” tambahnya riang membuat mulut Renshu terbuka lebar, tak percaya. “Lei, ayo makan denganku. Aku tidak mungkin menghabiskan semuanya seorang diri,” tawarnya yang segera disambut Lei dengan anggukan semangat.

“Dia begitu mudahnya mengatakan ‘sayang’ hanya karena disuap dengan makanan enak?” Jian Qiang berdecak, menunjuk ke arah Chao Xing dengan tatapan garang. “Apa kau akan mengatakan hal yang sama pada setiap pria yang memberimu makanan lezat?” tanyanya ketus.

Jian Yong menghela napas, lalu menepuk bahu Qiang pelan. “Apa yang bisa kita harapkan dari anak bandel ini?” tanyanya parau, nyaris sedih karena rasa sayang Chao Xing pada mereka hanya sebanyak makanan lezat yang tersaji di atas meja.

“Chao Xing tidak perlu diberitahu untuk hal itu,” Jian Gui mencoba menengahi. “Kau pasti tahu jika seorang wanita tidak boleh dengan mudah mengatakan ‘sayang’ pada pria, kan?”

Chao Xing mengangguk semangat. Ia menelan makanan di dalam mulutnya dengan cepat dan menjawab ringan, “Tentu saja aku tahu,” ujarnya membuat ketujuh saudaranya menghela napas lega. “Aku hanya akan mengatakannya pada kalian dan juga pada… Zian.”

“Siapa Zian?” tanya ketujuhnya kompak namun Chao Xing hanya mengangkat bahunya acuh, enggan untuk menjawab.

***

“Dayang Ju, apa undangan dari Yang Mulia sudah tiba?” Chao Xing bertanya dengan antusias. Tadi saat berkunjung ke kediaman permaisuri dan hendak kembali ke kediamannya karena permaisuri tidak berada di tempat, ia secara tidak sengaja mendengar percakapan beberapa dayang jika besok malam raja mengadakan jamuan besar-besaran untuk merayakan ulang tahun putera mahkota yang ke dua puluh tahun. Dayang itu mengatakan jika semua keluarga besar kerajaan diundang untuk menghadiri jamuan besar itu, termasuk para pejabat pemerintahan dan keluarga bangsawan, karenanya Chao Xing yakin jika ayahnya itu akan mengundangnya juga.

Ju Fang menghentikan kegiatannya untuk sejenak, lalu melangkah pelan kea rah Chao Xing yang menatapnya dengan mata bulatnya yang indah. “Belum ada undangan yang datang, Tuan Puteri,” jawabnya dengan nada biasa. Dalam hati dayang muda itu tahu jika raja tidak mungkin mengundang Chao Xing ke acara besar itu, namun ia menutup mulut rapat, enggan untuk menyakiti hati majikannya.

Chao Xing menekuk wajahnya dalam, “Aneh,” ujarnya pelan. “Acaranya besok malam tapi masih belum ada undangan untukku.”

“Mungkin kasim yang ditugaskan untuk mengantar undangan masih sibuk berkeliling untuk mengantar undangan-undangan itu.”

“Kau benar,” Chao Xing mengangguk setuju. “Ah, ngomong-ngomong, hadiah apa yang harus kuberikan pada Pangeran Pertama?” tanyanya kembali terdengar antusias, Ju Fang tidak menjawab, hatinya terlalu sakit karena tahu jika pada akhirnya putri asuhnya ini akan terluka hebat. “Bagaimana jika aku meminta izin pada Permaisuri untuk keluar istana?”

“Hamba rasa itu bukan ide bagus,” sahut Ju Fang cemas.

Chao Xing tersenyum penuh arti. “Jangan khawatir,” ujarnya menenangkan. “Permaisuri pernah berjanji jika beliau akan memberiku izin keluar istana jika aku memang menginginkannya. Aku hanya perlu meminta persetujuannya lagi. Tenang saja, aku tidak akan pergi terlalu lama, dan kuharap kau juga mau ikut pergi bersamaku Dayang Ju,” mohonnya penuh harap.

“Permaisuri pasti tengah sibuk membantu persiapan perayaan ulang tahun putera mahkota, anda akan sulit untuk menemuinya,” bujuk Ju Fang. “Bagaimana jika anda menghadiahkan sebuah sapu tangan sutera dengan hiasan yang anda sulam sendiri?”

Chao Xing tidak langsung menjawab. Keningnya kembali ditekuk dalam saat ia menimbang-nimbang usulan ibu asuhnya. “Baiklah kalau begitu,” sahutnya kemudian. “Apa kau memiliki bahan-bahannya, Dayang Ju?” tanyanya kembali antusias sementara Ju Fang hanya mengangguk pelan dengan sorot mata sedih.

***

Chao Xing masih setia menunggu undangan itu tiba ke kediamannya. Namun hingga keesokan hari undangan itu tidak kunjung tiba.

Gadis remaja itu menunduk, menatap sebuah sapu tangan sutera bersulam emas yang sudah diselesaikannya dalam waktu singkat.

Chao Xing melempar pandangannya ke luar jendela, lalu memutuskan untuk berjalan keluar dari dalam kamarnya menuju sebuah gazebo yang terletak di sisi kanan kediamannya. Ia termenung seorang diri di dalam bangunan itu, menatap kosong kolam teratai di depannya.

Langit sore sudah menggelap. Malam pun tiba, suara musik sudah terdengar di kejauhan namun undangan itu masih belum juga tiba.

Ju Fang mengatakan jika mungkin raja mengkhawatirkan kondisi Chao Xing yang belum pulih seratus persen, namun Chao Xing tahu benar jika itu bukanlah alasan sebenarnya.

Ia kembali diingatkan oleh satu kenyataan yang kini menamparnya dengan keras. Ayahnya masih tidak menginginkannya, karenanya raja tidak mengundangnya untuk menghadiri jamuan besar perayaan ulang tahun Pangeran Jian Gui.

“Puteri,” bujuk Ju Fang lirih. “Ini sudah larut malam, anda harus masuk ke dalam untuk istirahat.”

Chao Xing menggelengkan kepala pelan, lalu tersenyum pahit. “Aku ingin melihat kembang api,” katanya beralasan sementara langit malam terlihat terang oleh percikan kembang api yang ditembakkan ke udara. “Kapan lagi aku bisa melihat langit berhias kembang api?” tambahnya seraya mendongak menatap langit malam. “Tidurlah terlebih dahulu,” cicitnya lirih. “Sebentar lagi aku akan menyusulmu masuk dan istirahat.” Ia terdiam sejenak. “Tidurlah, Dayang Ju! Anda pasti sangat lelah,” ujarnya lirih.

Dan Ju Fang hanya bisa terdiam di tempatnya. Menahan tangis yang sudah berada di sudut-sudut matanya. Wanita itu menatap sedih punggung kecil majikannya yang malam ini kembali terlihat rapuh dan kesepian.

***

Malam itu Chao Xing sama sekali tidak kembali ke kamarnya. Walau tubuhnya terasa sangat lelah, namun kedua matanya enggan untuk terpejam.

Chao Xing menghela napas panjang, sebentar lagi matahari akan terbit. Karena sakit, sudah dua hari ini dia tidak melakukan rutinitas yang selama beberapa tahun terus dilakukannya—berdiri di atas dahan tertinggi hingga matahari terbit.

Rutinitas itu selalu dilakukannya sejak Zian pergi tanpa mengatakan apa pun tiga tahun yang lalu. Chao Xing selalu naik ke atas pohon tinggi, berdiri di atas dahan tertinggi dan berharap ia bisa melihat sosok Zian datang dari ujung jalan menuju ke arahnya.

Chao Xing tersenyum hambar. Sungguh, apa yang dilakukannya saat ini adalah suatu kesia-siaan. Zian tidak mungkin datang ke komplek istana ini. Dan terkadang ia berpikir, apa keputusannya untuk kembali ke istana adalah keputusan yang tepat?

***

“Siapa dia?” Jian Gu bertanya pelan pada seorang kasim yang berdiri di belakangnya sementara kedua mata tajamnya mengamati seorang gadis kecil yang baru saja turun dari atas pohon lalu berjalan setengah diseret. “Aku belum pernah melihatnya sebelumnya,” tambahnya.

“Lapor, Yang Mulia, itu Puteri Chao Xing,” jawab kasim dari belakang punggung raja.

Jian Guo terbelalak, lalu menyempitkan mata, menatap sosok yang ternyata merupakan putri kandungnya sendiri. Ada perasaan aneh yang dirasakannya saat melihat wajah Chao Xing yang terkena sinar fajar pagi ini. Wajah itu, wajah yang begitu mirip dengan mendiang Mei Rong, selir kesayangannya.

Apa ini caramu menghukumku, Rong? Tanyanya di dalam hati. Wajah putrimu begitu mirip denganmu dan justru aku mencampakkannya selama belasan tahun, batinnya lagi.

“Lalu apa yang dilakukannya di tempat ini?” tanyanya lagi saat sosok Chao Xing menghilang di ujung jalan kecil. Jian Guo membalikkan badan, “Kenapa dia naik ke atas pohon?”

“Lapor, Yang Mulia, beberapa kasim dan dayang selalu melihat tuan puteri datang ke tempat ini setiap paginya,” jawab kasim dengan nada suara tertata. “Puteri akan naik hingga dahan tertinggi, dan baru akan turun setelah fajar tiba.”

Jian Guo berekspresi datar. “Apa begitu sering?”

“Setiap hari,” lapor kasim membuat gigi Jian Guo gemertak. “Tapi sudah dua hari ini puteri tidak datang, hamba dengar beliau terkena flu.”

Jian Guo menatap lurus pohon tinggi yang berdiri angkuh di hadapannya. “Tebang pohon itu!” perintahnya membuat kasim tua di belakangnya terbelalak, namun tidak mengatakan apa pun. “Aku ingin pohon itu habis hingga ke akar-akarnya hari ini juga! Kirim sup burung walet serta pil ginseng merah ke kediaman Chao Xing!” tegasnya sebelum berbalik badan, untuk melanjutkan langkahnya menuju kediamannya setelah tadi malam ia menghabiskan malam di kediaman selir kedua.

***

“Apa anda masih belum bisa melupakan Tuan Zian, Nona Muda?” Ju Fang bertanya saat Chao Xing melangkah masuk kembali ke dalam kamarnya.

Chao Xing mendesah, pandangannya menerawang jauh. “Apa aku harus melupakannya, Dayang Ju?” ia balik bertanya, tatapannya beralih pada dayang muda yang telah mengasuhnya selama lima belas tahun ini.

Ju Fang tidak menjawab, membuat Chao Xing kembali bicara dengan suara tersendat. “Aku tidak bisa melupakannya,” akunya lirih. Ia meremas dadanya. “Salahkah jika aku berharap suatu hari nanti aku akan kembali bertemu dengannya?”

Ju Fang tersenyum maklum, lalu membawa putri asuhnya itu ke dalam pelukannya. “Sebenarnya tidak ada yang salah,” ujarnya lembut. “Namun ada baiknya anda melupakan apa yang tertinggal di belakang dan terus berjalan maju.”

Chao Xing mendesah. “Aku belum siap untuk melupakannya,” ujarnya membuat kamar nyaman itu hening untuk beberapa waktu. Ia memejamkan mata erat, mengingat kenangan demi kenangan yang dilewatinya bersama Zian. Terkadang ia bertanya, apa Zian baik-baik saja? Apa dia sudah menikah hingga tidak memiliki waktu untuk mengunjunginya? Atau kemungkinan terburuknya apa pemuda itu sudah tiada?

Sebuah helaan napas berat kembali terdengar memecah keheningan. Perlahan kelopak mata itu kembali terbuka. Jika diingat-ingat, ia tidak pernah menanyakan hal-hal yang bersifat pribadi pada pemuda itu karena Zian pun melakukan hal yang sama.

Bagi Zian, Chao Xing adalah Chao Xing, begitupun sebaliknya.

Chao Xing kembali bicara dengan senyum rapuh yang menyedihkan, “Karenanya aku akan terus menunggunya hingga aku merasa bosan dan menyerah.”

Helena – Bab 4 ; Senandung Pilu

7 Februari 2017 in Vitamins Blog

420 votes, average: 1.00 out of 1 (420 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Author Playlist : Martina McBride – Concrete Angel

Enjoy!

***

Helena meringkuk di atas ranjang hangatnya yang nyaman, bergelung layaknya seorang bayi polos rapuh yang masih belum mengerti arti dunia. Lama ia memejamkan mata, sementara di luar, hujan salju masih turun dengan lebatnya, menyebarkan udara dingin yang membekukan hingga ke tulang.

Ruangan kecil minim cahaya itu dikuasai keheningan berat yang menyesakkan, namun entah kenapa Helena justru sangat menikmatinya. Ia menikmati kesendiriannya. Ia menikmati kesepiannya. Selalu.

“Ibu?” panggilnya lirih, tanpa emosi. Lidahnya tergelitik, merasa terganggu saat kata itu meluncur dari tenggorokannya. Sebuah kata sakti yang selama ini sangat jarang diucapkannya. Sebuah kata yang seringkali mengirimkan gelombang ketakutan di dalam aliran darahnya.

Kenapa dia harus kembali datang ke dalam hidupku? Tanyanya di dalam hati.

Perlahan kelopak matanya kembali terbuka, menampakkan iris hijau indah yang kini kembali terluka. Luka yang disebabkan oleh kenangan-kenangan menyakitkan yang ditorehkan oleh seseorang yang telah melahirkannya ke dunia.

Helena tahu jika kelahirannya tidak diinginkan. Namun bukankah hal itu juga bukan keinginannya? Bukankah seorang anak tidak bisa memilih orangtuanya? Lalu kenapa ibunya begitu membencinya hanya karena Helena terlahir akibat ulah bejad pria brengsek yang telah memperkosanya?

Karena ulah ayahmu aku menderita seumur hidupku!!!

Melihatmu aku seperti melihat bajingan bejad itu!!!

Aku membencimu!!!

Helena tersentak bangun saat suara-suara dari masa lalunya itu kembali datang menghantuinya. Dulu ibunya selalu mengatakan hal itu padanya. Terus berulang-ulang setiap kali dia marah hingga Helena merasa lelah.

Terkadang ia berharap jika ia tidak dilahirkan di dunia. Untuk apa? Tanyanya di dalam hati. Untuk apa ia hidup jika hanya untuk menjadi pelampiasan kemarahan dan rasa benci sosok yang seharusnya menyayanginya?

Helena menghela napas panjang.

Lelah.

Ia benar-benar merasa lelah; lelah oleh rasa benci yang diperlihatkan oleh ibu kandungnya, dan kini ia harus kembali berkompromi dengan masa lalunya karena ibunya kembali datang dalam kehidupannya hanya untuk mengambil seberkas sinar rapuh yang selama ini telah dijaga Helena agar tetap menyala.

Mungkin kebencian ibunya akan hilang dengan kematiannya. Helena tersenyum dalam kesendiriannya. Benar. Mungkin ibunya hanya akan merasa puas saat melihat anak dari pria yang paling dibencinya itu mati.

***

Helena hampir saja membanting pintu apartemennya saat melihat sosok ayah tirinya berdiri di sana dengan senyum lebarnya.

Demi Tuhan, apa yang diinginkan orang ini di depan pintu apartemenku sepagi ini? Keluh Helena di dalam hati.

Wanita itu sama sekali tidak memperlihatkan sikap ramah, sebaliknya ia menyambut pria itu dengan sikap tidak bersahabat. “Apa yang anda inginkan?” tanyanya tanpa ekspresi, namun Andrew sepertinya sama sekali tidak terganggu.

Pria itu masih tersenyum dan menjawab dengan suara bersahabat, “Ibumu memintaku untuk menjemputmu.”

Satu alis Helena terangkat. Ia mendengus pelan, mencemooh maksud kedatangan Andrew yang terdengar menggelikan. “Tolong jangan katakan jika ibuku tengah mengundangku untuk sarapan bersama,” ujarnya sembari mengibaskan telapak tangannya ke udara.

Senyum Andrew semakin lebar, membuat Helena semakin muak karenanya. “Aku tidak bisa,” tolaknya tajam. “Aku memiliki banyak pekerjaan,” lanjutnya sementara tangannya sibuk mengunci pintu apartemennya. Helena kembali berbalik, menatap lurus pria yang kini memasang ekspresi memohon. “Aku tidak mau duduk satu meja makan dengannya,” tukasnya ketir. Helena menggelengkan kepala pelan. “Tolong katakan padanya; aku sudah sarapan, dan aku banyak pekerjaan. Jadi kusarankan sebaiknya kalian pulang dan mengubur dalam keinginan kalian untuk menjadi bagian dari keluarga Smith!”

“Tolong jangan menyulitkan keluargamu sendiri, Helena!” balas Andrew cepat membuat putri tirinya itu menatapnya tak percaya. “Kami akan kesulitan jika kau menolak lamaran Tuan Smith,” tambahnya tanpa bisa menatap wajah Helena.

Helena menyempitkan mata. “Apa maksudmu?” tanyanya tajam. “Apa maksud ucapanmu?” ulangnya seraya mencengkram kerah kemeja Andrew membuat pria paruh baya itu terbelalak, sangat terkejut akan apa yang tengah dilakukan oleh Helena saat ini.

“Pantas saja ibumu begitu membencimu,” desis Andrew membuat amarah Helena meletup-letup semakin hebat. “Kau bukan hanya tidak tahu terima kasih tapi juga sangat barbar!” hinanya tajam.

Namun bukan Helena jika ia tidak bisa membalas penghinaan itu. Wanita itu memiringkan kepala ke satu sisi, sudut bibirnya ditarik ke atas, sangat tipis hingga Andrew merasa tidak nyaman karenanya. “Barbar katamu?” beonya menusuk. “Benar, aku memang barbar,” ujarnya membenarkan, “kedua tanganku sangat gatal,” bisiknya lirih penuh ancaman. “Tanganku sangat gatal ingin menghajarmu!” ancamnya membuat Andrew merinding ngeri.

Bulu kuduk pria itu berdiri seketika, ketakutan menguasainya. Ia tahu jika Helena sangat serius dengan ucapannya, dan jujur saja hal itu membuatnya takut, terlebih saat ia mengingat apa yang dikatakan istrinya mengenai putri tirinya ini—Helena sangat nakal, sulit dikendalikan dan tipe anak pembangkang, karenanya Rowena memutuskan untuk memberikan hak asuh putrinya itu pada Negara.

Ah, Andrew merasa bersyukur kepada Tuhan karena Rowena melakukan hal yang tepat dengan mengirim Helena ke panti asuhan negara.

“Tolong temui ibumu untuk kali ini saja!” Andrew mengubah strategi. Ia tidak akan segan-segan untuk memelas jika hal itu bisa meluluhkan hati Helena. Jika bukan karena ia begitu membutuhkan persetujuan Helena, tentu ia tidak akan mau melakukan hal serendah ini. “Aku akan dalam kesulitan besar jika aku tidak berhasil membawamu bersamaku,” cicitnya membuat Helena melepas cengkraman pada kerah kemeja kotak-kotak pria itu, lalu mundur satu langkah tanpa memutus tatapan tajamnya. “Kumohon…!”

***

Dan Helena tidak mengerti kenapa ia bisa begitu saja mengabulkan pria asing yang mengaku sebagai ayah tirinya itu. Mungkin karena sosok pria itu mirip dengan dosen baik hati yang selalu membantunya saat ia kuliah dulu. Ah, entahlah, Helena tidak tahu.

Helena menekuk wajahnya, sama sekali tidak tersentuh dengan sikap ramah yang tengah diperlihatkan oleh ibunya saat ini. Helena menekan keinginannya untuk mengedarkan tatapannya ke segala penjuru restoran mewah di hotel tempatnya berada saat ini. Ia sama sekali tidak menyangka jika ibunya kaya raya.

“Kau heran kenapa kami bisa menginap di tempat berkelas seperti ini?” Rowena tersenyum, membuat Helena semakin menyempitkan matanya penuh antipasti. “James yang membayar semua tagihannya,” terangnya dengan nada bangga yang terselip di dalam suaranya.

Andrew menganggukkan kepala, ikut tersenyum senang saat istrinya menyebut nama pria yang kini berada di daftar kedua orang yang paling dibenci Helena setelah ibunya. “Tuan Smith sangat baik hati,” puji Andrew membuat Helena semakin muak.

“Kita langsung pada pokok permasalahan,” potong Helena setelah memutar kedua bola matanya, bosan. “Aku tegaskan sekali lagi jika aku tidak akan menikah dengan James. Titik!” serunya membuat acara makan Rowena terhenti seketika.

Raut ramah Rowena menguap, digantikan oleh kebencian yang sama sekali tidak disembunyikannya. Wanita itu mengacungkan pisau makan yang tengah digenggamnya ke depan wajah Helena, ia mendesis, dan berkata dengan marah, “Jangan main-main!!!” desisnya penuh ancaman sementara Helena hanya mengangkat bahunya ringan.

“Apa aku terlihat sedang bermain-main?” balasnya santai. Helena tersenyum tipis. Rasanya sangat bahagia saat ia bisa melihat kemarahan dan kejengkelan pada ekspresi ibu kandungnya saat ini. “Kusarankan agar kalian mengubur keinginan konyol kalian untuk memiliki menantu seorang James Smith!” ujarnya mencemooh.

Helena menghela napas panjang, menekuri kuku-kuku jari tangannya yang dipoles warna peach lembut. “Dia pasti sedang mabuk saat datang untuk melamarku pada kalian,” katanya memancing amarah ibunya.

“Aku tidak peduli!!!” Rowena menggebrak meja dengan keras, membuat ketiganya mendadak menjadi pusat perhatian di dalam restoran mewah itu. “Kau akan menikah dengannya, aku bahkan tidak segan-segan untuk mengikatmu jika hal itu bisa menyeretmu ke depan altar untuk menikah dengan James.”

“Kau harus menyeretku dalam keadaan mati untuk itu,” balas Helena dengan ketenangan yang bahkan mengejutkannya. Ia tidak tahu darimana asal ketenangan itu berada hingga ia bisa meladeni amarah ibunya dengan kepala dingin sementara lengan Andrew memeluk bahu Rowena untuk menenangkannya.

Namun bukan Rowena jika dia bisa ditenangkan dengan begitu mudahnya. “Perusahaan ayah tirimu nyaris bangkrut dan hanya James yang bisa menyelamatkannya,” jelasnya kemudian membuat Helena nyaris tergelak keras karenanya.

“James sangat baik hati untuk memberi pinjaman tanpa bunga pada ayahmu,” tambah wanita paruh baya itu dengan suara bergetar karena marah. “Ia bahkan sama sekali tidak keberatan jika ayahmu tidak mengembalikan pinjaman itu hanya dengan syarat kau bersedia menikah dengannya.”

“Kau menjualku,” tukas Helena dingin, tanpa ekspresi. Hatinya kembali berdenyut sakit oleh penghinaan yang tengah dilemparkan oleh ibu kandungnya saat ini. “Demi uang kalian menjualku?” lanjutnya lirih.

“Helena, demi Tu—”

“Sayang,” potong Andrew cepat. Ia kembali meremas bahu Rowena, berusaha untuk menenangkan dan membuat istrinya itu untuk menurunkan nada suarnya karena mereka kembali menjadi pusat perhatian saat ini. “Mungkin kita harus menjelaskannya pada Helena secara detail, jangan membuatnya mengambil kesimpulan yang salah,” pintanya lembut.

Namun Helena tidak akan kembali tertipu. Cukup, tegasnya di dalam hati. Ia tidak akan mau menjadi budak pelampiasan amarah ibunya lagi. Ia tidak akan mau menjadi barang untuk ditukar dengan uang demi kemakmuran keluarga baru ibunya itu.

Ia manusia. Memiliki daging, kulit dan nyawa yang membedakannya dengan barang yang bisa bebas dijual di pasar. Ia memiliki hak untuk memilih.

“Sudah sepantasnya jika kau balas budi padaku, Helena,” desis Rowena kejam. “Jika bukan karena aku, kau tidak aka nada di dunia ini,” tambahnya membuat luka menganga di dalam hati Helena terbuka semakin lebar. “Kau harusnya bersyukur masih bisa hidup hingga sekarang.” Rowena terdiam sejenak untuk mengambil napas. “Dan James bukan pria buruk untuk seorang suami. Dia tampan, kaya, dan terlihat snagat mencintaimu, apa lagi yang kau inginkan?”

Helena tidak menjawab, kedua tangannya terkepal erat hingga nyaris memutihkan buku-buku jari tangannya.

“Kau terlalu menilai tinggi dirimu,” desis Rowena, merendahkan. “Terima James atau aku—”

“Aku apa?” potong Helena, menantang. “Apa kau akan memukuliku seperti aku kecil dulu?” tanyanya membuat wajah Rowena memerah karena marah. Helena menatap wajah ibu dan ayah tirinya secara bergantian. “Apa kalian akan membunuhku jika aku tidak mau melakukan apa yang kalian perintahkan?” lanjutnya membuat Rowena berdiri dari tempat duduknya lalu dan melayangkan satu tamparan sangat keras di pipi kanan putrinya itu.

Helena memejamkan mata, menerima perlakuan ini dengan senyum getir yang menyedihkan. “Wanita itu bahkan bergeming saat ibunya menyiramnya dengan jus jeruk, membuat wajah, rambut serta pakaiannya sangat lengket akibatnya.

“Kau sudah puas?” tanya Helena pelan. Ia memiringkan kepala, menepuk pipi kirinya ke hadapan ibunya. “Masih ada satu pipi lagi yang belum kau tampar,” tambahnya tanpa emosi sementara Rowena tersengal, napasnya memburu. “Jika kau sudah puas maka sebaiknya aku pergi.” Helena berdiri, berdecak lalu menggelengkan kepalanya pelan. “Kau membuatku dalam masalah,” ujarnya ringan. “Karena ulahmu ini aku harus kembali ke apartemen untuk berganti pakaian,” tambahnya sebelum berbalik pergi meninggalkan kedua orang tua itu di kursinya dengan campur aduk.

Helena tak kuasa menahan laju air matanya saat ia berdiri di dalam lift. Ia menatap refleksi dirinya pada dinding lift yang terbuat dari stainlessi—penampilannya sangat kacau, ditambah dengan jejak lima jari pada pipi kanannya membuatnya semakin menyedihkan. Pikirannya terlalu kacau saat ini hingga ia tidak menyadari saat seorang pria masuk ke dalam lift dan bertanya, “Apa kau baik-baik saja?”

Wanita itu mendongakkan kepala, menatap seorang pria yang ditaksirnya berusia tiga puluh tahunan, atau lebih? Entahlah, ia tidak peduli. Helena hanya ingin ditinggalkan sendiri saat ini.

“Kau terlihat kacau,” ujar pria itu seraya menyodorkan sebuah sapu tangan sutra dari dalam saku jas mahalnya. “Ambillah! Kau memerlukannya,” tawarnya ramah.

Sesaat Helena bergeming, sebelum akhirnya mengambil sapu tangan itu dari tangan pria asing di sampingnya. “Terima kasih!” ucapnya getir dengan air mata jatuh tak tertahan.

Pria itu tidak sempat membalasnya karena Helena sudah keluar dari dalam lift dengan tergesa. Wanita itu sudah bertekad untuk menemuinya, menemui pria yang menjadi penyebab semua kekacauan ini. Ya, ia akan menemui James Smith dan memberinya pelajaran.

CHAO XING (朝兴) – Bab 4. Ikatan yang Kembali Terjalin

5 Februari 2017 in Vitamins Blog

389 votes, average: 1.00 out of 1 (389 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

https://www.youtube.com/watch?v=kBjD8WfehU8

Author playlist : There is a Girl – Zhao Wei

Enjoy! ^^

***

Chao Xing mengangkat rok gaun berwarna merah mudanya tinggi, sekuat tenaga ia berlari untuk melarikan diri dari jebakan Dayang An. Tidak sesuai dengan nama Dayang An yang berarti damai, dayang tua itu malah selalu membawa teror kemanapun dia pergi. Ah… setidaknya itu yang dirasakan oleh Chao Xing selama tinggal di dalam istana.

Gadis remaja berusia lima belas tahun yang baru satu bulan tinggal di istana mewah Kerajaan Angin itu masih terus berlari, mengabaikan napasnya yang tersengal, lelah sementara beberapa dayang muda serta empat orang kasim yang sengaja dikirim dari istana permaisuri terus mengejarnya untuk membawanya menghadap pada Dayang An.

Chao Xing masih bisa bertahan menghadapi pelajaran musik, puisi dan menari, namun ia sama sekali tidak tahan jika dayang berusia lanjut itu memaksanya untuk belajar tata krama istana.

Selama satu bulan ini Chao Xing harus memaksakan diri agar tidak melepas semua perhiasan yang terpasang di atas kepalanya hanya untuk menyenangkan hati permaisuri. Ia juga memaksa dirinya untuk bertahan mengenakan tiga lapis hanfu yang juga sama beratnya dengan perhiasan yang dikenakannya di atas kepala, dan sekarang dayang tua itu memaksanya untuk belajar berjalan, bersikap dan bicara layaknya seorang puteri?

Tidak. Kali ini ia tidak akan menyerah pada tipu muslihat dayang tua itu yang selalu berhasil merayunya dengan sogokan makanan-makanan enak.

Dayang Ju pasti memberitahu Dayang An mengenai kelemahanku, pikir Chao Xing sebal.

“Oh, bukankah itu Chao Xing?” Qiang menghentikan langkahnya, yang pada awalnya berniat untuk mengunjungi raja di balairung istana.

Qiang menyempitkan mata, menatap ke ujung lorong dimana Chao Xing berlari sangat cepat menuju ke arahnya. “Itu benar Chao Xing,” tukasnya pelan.

Jian Gui menaikkan satu alisnya. “Jadi itu Chao Xing?”

Qiang mengangguk, lalu melirik ke arah Jian Guang yang sama sekali tidak memperlihatkan ekspresi apa pun. “Sekarang kalian lihat sendiri, dia sama sekali tidak terlihat seperti seorang puteri,” ujarnya terdengar mengeluh.

Jian Gui terkekeh, lalu menepuk bahu Qiang pelan. “Tidak kusangka, adik kita ternyata begitu manis,” ujarnya membuat Qiang berjengit, berdecak lalu menggelengkan kepala pelan, tanda tidak setuju.

“Tunggu sampai kau lihat sifat aslinya, Pangeran Pertama,” balas Qiang seraya melebarkan tangan kanannya untuk menangkap bagian belakang kerah gaun Chao Xing yang berlari melewatinya. Tidak sopan, pikirnya kesal. Bagaimana bisa adik perempuannya itu berlari melewati empat orang kakaknya begitu saja tanpa memberikan salam penghormatan?

Chao Xing meronta. Kedua matanya berkilat marah, napasnya memburu saat ia menatap lurus ke arah Qiang yang balas menatapnya dengan kedua mata menyipit tajam. “Lepas! Aku tidak punya waktu untuk main-main denganmu!” Ia berkata geram. Chao Xing kembali meronta untuk melepaskan diri namun usahanya gagal.

Napas gadis remaja itu masih memburu saat ia melirik lewat bahunya, dan semakin ketakutan saat dayang serta kasim yang mengejarnya semakin mendekat.

“Siapa yang mau bermain denganmu?” Qiang mencondongkan tubuhnya, mensejajarkan diri dengan Chao Xing yang memiliki postur tubuh lebih pendek darinya. Pangeran berusia sembilan belas tahun itu melayangkan tatapannya pada ketiga saudaranya lalu kembali menatap adik perempuannya itu dengan intens. “Di sini berdiri empat orang saudaramu, tapi kau berlari begitu saja tanpa memberi salam penghormatan pada kami?” tanyanya pelan membuat Chao Xing semakin tidak sabar.

Chao Xing kembali melirik lewat bahunya, lalu menelan kering. Ia harus segera membebaskan diri dari Pangeran Ketiga yang menyebalkan ini, dan ia hanya bisa menyentakkan kedua kakinya ke tanah saat tiga orang pangeran lain datang menghampiri dan menatapnya dengan ekspresi tertarik, membuat usaha melarikan dirinya menjadi semakin sulit.

Selama ini Chao Xing hanya baru bertemu tiga orang kakaknya, karena keempat pangeran lainnya tidak ada satu pun yang datang untuk mengunjunginya, sementara dirinya dilarang keluar dari komplek tempat tinggalnya apabila tidak ada izin dari permaisuri, dan hal itu terpaksa dilakukan permaisuri karena raja memutuskan untuk mengisolasi gadis remaja itu.

“Jadi dia Chao Xing?” Jian Yong tersenyum ramah lalu mengangkat dagu Chao Xing. “Adik kita ternyata sangat manis,” pujinya. “Benar-benar sangat manis,” tambahnya membuat gadis remaja itu memutar bola matanya, bosan.

Jian Yong kembali menegakkan tubuh, memiringkan kepala ke satu sisi dan kembali berkata dengan tenang, “Saat kau dewasa, kau pasti akan mematahkan hati banyak pria,” ujarnya membuat kedua alis Chao Xing bertaut, bingung.

“Lepaskan aku!” Chao Xing kembali bicara dengan nada lebih lembut, menahan diri agar suaranya tidak terdengar bergetar karena marah, namun Qiang bergeming, pria itu terlihat enggan melepaskannya.

“Qiang, hentikan!” Jian Guang angkat bicara. Hatinya mulai melunak saat Chao Xing menatapnya penuh permohonan. Ah, adik perempuannya itu memang selalu menjadikannya tempat perlindungan saat terdesak.

Guang mendesah, menggelengkan kepala pelan. Mungkin aku terlalu memanjakannya, pikirnya.

“Dia akan melarikan diri jika aku melepasnya,” Qiang berkilah, yang segera disetujui oleh Jian Lei.

“Jangan melepasnya, Kak!” sahut Lei semangat membuat Chao Xing mendesis. Lei mundur satu langkah, lalu memilih bersembunyi di belakang Jian Gui saat Chao Xing menatapnya dengan sengit. “Jangan melepasnya!” ulangnya namun dengan nada suara satu oktaf lebih rendah.

Chao Xing kembali meronta, menunggu waktu tepat saat Qiang lengah lalu melayangkan satu tinjuan telak pada perut kakak ketiganya itu. “Sudah kukatakan aku tidak punya waktu untuk main-main!” desisnya saat Qiang jatuh berlutut menahan nyeri akibat pukulan Chao Xing. Ah, siapa yang mengira jika gadis remaja itu bisa memukul seperti seorang pria petarung?

Qiang meringis, menunjuk ke arah Chao Xing sembari meringis sementara keenam saudaranya hanya bisa terbelalak, terlalu takjub bahkan nyaris tidak mempercayai apa yang mereka lihat tadi. Mereka bahkan terlalu terpukau oleh tindakan berani Chao Xing hingga tidak ada satu pun dari mereka yang bergerak untuk mencegah kepergian Chao Xing saat gadis remaja itu kembali berlari dengan cepat meninggalkan ketujuh saudaranya yang membatu di tempat.

Chao Xing kembali panik saat usahanya untuk melarikan diri kembali terhalang oleh tembok tinggi yang berfungsi sebagai pagar istana yang memisahkan zona kediaman anggota kerajaan dengan zona kantor istana.

“Hei, kau!!!” teriaknya keras pada seorang prajurit yang kebetulan tengah melintas. “Aku perintahkan kau untuk membungkuk!” perintahnya penuh wibawa, bahkan Pangeran Jian Gui dibuat kaget mendengar nada perintah adiknya itu.

Chao Xing benar-benar keturunan klan Jian, pikirnya dengan senyum tipis.

Prajurit itu pun segera memberi hormat, lalu membungkuk sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Chao Xing. Ia tidak perlu tahu siapa gadis remaja yang memerintahkannya untuk membungkuk, karena dari cara bicara dan pakaiannya saja dia sudah bisa menebak jika gadis remaja yang berlari cepat ke arahnya itu bukan gadis bangsawan biasa.

Dan hal selanjutnya yang dilakukan Chao Xing kembali membuat ketujuh saudaranya terbelalak kaget, sementara dayang dan kasim yang mengejarnya menjerit histeris, terlihat ketakutan saat sang Puteri mengangkat rok gaunnya semakin tinggi, meloncat, menjadikan punggung prajurit itu sebagai pijakan untuk naik ke atas tembok dan meluncur turun dengan mulus sebelum akhirnya jatuh ke dalam parit istana dengan suara keras dan menyebabkan air membentuk pilar ke atas.

“Chao Xing!” Guang menjadi orang pertama yang berlari untuk melihat keadaan adiknya itu. Ia terlihat panik, dan semakin panik saat melihat Chao Xing hampir tenggelam karena kesulitan berenang.

Tanpa berpikir panjang Guang pun langsung menceburkan diri ke dalam air parit yang cukup dalam untuk menolong Chao Xing. Dengan gerakan cepat ia menarik Chao Xing naik ke atas permukaan tanah, sementara keenam saudaranya yang lain menunggu di sisi parit dengan ekspresi cemas, namun juga gemas.

“Apa kau baik-baik saja?” Guang bertanya dengan nada khawatir saat Chao Xing duduk dan terbatuk hebat di hadapannya. Ia menghapus jejak-jejak air di wajah adiknya dengan menggunakan ibu jarinya, begitu perlahan seolah-olah takut jika gerakannya menyakiti adiknya itu. “Apa kau terluka?” tanyanya lagi saat Chao Xing menatapnya lurus dengan mata berkaca-kaca.

“Aku hampir mati,” tukas Chao Xing terisak tanpa bisa menahan laju air matanya.

Guang menghela napas panjang, lalu merengkuh untuk memeluk tubuh adiknya yang basah kuyup. “Kau baik-baik saja. Jangan menangis,” hiburnya sembari membelai lembut rambut Chao Xing yang juga basah.

“Tapi aku hampir saja tenggelam jika kakak kedua tidak datang menolongku dengan cepat,” balas gadis remaja itu gemetar. Ia mengangkat tangannya dan kembali berkata dengan wajah sedih. “Gaun ini berat sekali, aku kesulitan berenang ketepian karenanya,” tukasnya beralasan. “Dan kenapa ada parit di sini?” protesnya membuat Guang mengerjapkan mata.

Chao Xing mengalihkan pandangannya, menatap wajah satu per satu orang-orang yang kini mengerubunginya dan tangisnya pun kembali pecah.

“Ada apa? Apa ada yang sakit?” Renshu berlutut, terlihat panik saat adik bandelnya itu mulai menangis dalam pelukan Guang. “Ayo, kami akan membawamu ke tabib istana,” tambahnya masih terlihat cemas, namun Chao Xing menggelengkan kepala pelan dalam dada bidang kakak keduanya.

“Badanku tidak ada yang sakit,” ujarnya pelan membuat Renshu menekuk keningnya dalam.

“Kalau tidak ada yang sakit lalu kenapa kau menangis?” Jian Gui angkat bicara.

Chao Xing mengangkat kepalanya, menatap Jian Gui lurus dan menjawab ketus, “Harga diriku terluka.” Ia terdiam sejenak, memasang ekspresi serius. “Kalian semua harus melupakan kejadian ini!” perintahnya membuat ketujuh saudaranya tertawa keras karenanya, sementara para dayang dan kasim yang mengejarnya segera membalikkan tubuh, sekuat tenaga untuk tidak ikut menertawakan sikap menggemaskan puteri baru mereka.

“Kalian harus melupakan kejadian ini!” Ulang Chao Xing lagi, bertambah kesal namun apa daya, ekspresi cemberutnya malah membuat ketujuh saudaranya itu tertawa semakin keras.

CHAO XING (朝兴) – Bab. 3 Kembalinya Sang Putri

4 Februari 2017 in Vitamins Blog

393 votes, average: 1.00 out of 1 (393 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Loading…

Author playlist : Wanting – You Exist in My Song

Enjoy! ^^

***

Untuk waktu yang lama permaisuri terpaku, duduk di atas kursi riasnya dengan tatapan kosong. Wanita nomor satu di Kerajaan Angin itu lagi-lagi hanya bisa pasrah saat suaminya—Yang Mulia Raja Jian Guo memutuskan jika Chao Xing akan tinggal di Paviliun Taman Barat.

Ming Xia menghela napas berat, ekspresinya terlihat sedih saat menatap satu-satunya benda peninggalan dari ibunda Chao Xing—Selir Mei Rong. Ia meremat sapu tangan sutra bersulam emas di tangannya, seolah-olah ingin meluapkan kesedihannya yang teramat dalam saat ini. Terkadang Ming Xia merasa dirinya amat sangat tidak berguna. Dengan kedudukannya saat ini seharusnya ia bisa memberikan pengaruh pada Raja, namun sebaliknya—kekuasaannya seabagai seorang permaisuri mandul.

“Andai saja aku bisa lebih kuat,” bisiknya mengejek dirinya sendiri. “Apa yang harus kulakukan, Rong?” tanyanya disambut oleh keheningan ruangan mewah yang didominasi oleh warna emas serta merah itu.

Pikirannya kembali melayang jauh. Lima belas tahun sudah berlalu namun sepertinya Sang Raja masih belum berubah pikiran mengenai Chao Xing.

Menempatkan Chao Xing di Paviliun Taman Barat sama saja mengisolasi gadis remaja itu. Raja bahkan terang-terangan mememrintahkan permaisuri agar Chao Xing tidak diizinkan untuk berkeliaran di wilayah-wilayah istana yang sering didatangi oleh Raja.

Raja tidak menginginkan keberadaan Chao Xing terlihat olehnya. Sebuah perintah tegas yang sayangnya sama sekali tidak bisa dibantah oleh Ming Xia.

“Tolong maafkan aku!” Ming Xia berkata lirih dengan suara tercekat. “Aku bahkan tidak bisa membuat putrimu berada lebih dekat dengan Yang Mulia,” tambahnya sendu.

***

Ming Xia tidak bisa menahan untuk tidak tersenyum saat iring-iringan rombongan yang membawa Chao Xing tiba di istana. Wanita itu menunggu di atas anak tangga teratas dengan tidak sabar. Kedua bola matanya berkaca-kaca, dadanya terasa sesak saat sosok yang dinantinya selama lima belas tahun ini akhirnya turun dari dalam kereta kuda.

Permaisuri Kerajaan Angin itu terkesiap, dadanya bergemuruh hebat saat mendapati jika sosok Chao Xing seperti sosok Mei Rong muda yang masih diingatnya dengan baik.

Dibantu oleh dayang kepercayaannya, permaisuri menuruni satu per satu anak tangga yang terbuat dari batu pualam terbaik. Wanita itu sudah sangat tidak sabar untuk merengkuh Chao Xing ke dalam pelukannya.

“Akhirnya kau kembali,” ucapnya sedikit terbata. Ming Xia merengkuh tubuh Chao Xing ke dalam pelukannya, lalu memejamkan mata larut dalam haru yang terasa menyesakkan dada setiap detiknya. “Maaf karena kau harus menunggu begitu lama,” ujarnya parau.

Sambutan hangat permaisuri saat ini jelas mengagetkan Chao Xing. Gadis remaja itu sama sekali tidak menyangka jika ia akan disambut begitu hangat oleh wanita nomor satu di kerajaan ini. Sejenak Chao Xing merasa bimbang, sedikit meragu sebelum akhirnya ia membalas pelukan itu dengan sama eratnya.

Chao Xing menghirup aroma wangi yang menguar dari tubuh Ming Xia. Apa seperti ini aroma seorang ibu? Tanyanya di dalam hati. Hatinya menghangat karenanya, dan perasaan tidak rela pun muncul saat pelukan itu berakhir.

“Selamat datang kembali, Dayang Ju!” sambut permaisuri dengan senyum ramah pada Ju Fang yang kini membungkuk takzim, memberi hormat. Permaisuri mengulurkan tangan kanannya, sementara tangan kirinya dipakainya untuk menggenggam tangan Chao Xing. “Terima kasih karena kau sudah menjaganya dengan sangat baik!” lanjutnya penuh haru.

Ju Fang sama sekali tidak bisa menjawab. Ia hanya mengangguk kecil dan akhirnya ikut larut dalam tangis bahagia ini. Sungguh, ia sama sekali tidak menyangka jika akhirnya nona mudanya akan kembali dipanggil ke istana. Ju Fang merasa jika status dan gelar ‘Puteri’ adalah hak Chao Xing sejak gadis remaja itu dilahirkan, dan sudah sewajarnya jika majikannya mendapatkan kembali apa yang telah menjadi haknya.

Ming Xia mengalihkan pandangannya, menatap satu per satu wajah ketiga pangeran yang hanya berdiri dengan ekspresi tidak terbaca. “Terima kasih karena kalian sudah membawa kembali putriku!” kata Permaisuri tulus pada ketiga pangeran yang hanya membungkuk hormat sebagai jawaban atas ucapan terima kasih itu.

Dibalik sikap penuh hormat ketiganya, ucapan permaisuri jelas mengagetkan semua orang yang berada di tempat itu, namun mereka tidak mengatakan apa pun.

Permaisuri telah menegaskan jika Chao Xing adalah putrinya, maka secara otomatis gadis remaja itu telah menjadi putri angkat dari permaisuri. Sebuah status tinggi mengingat Chao Xing baru saja kembali dari pengasingannya.

Ming Xia kembali tersenyum menawan, lalu menepuk-nepuk punggung tangan Chao Xing dengan penuh kasih. “Apa kau lapar?” tanyanya dengan suara lembut.

“Sangat,” jawab Chao Xing dengan ekspresi lucu hingga membuat permaisuri tertawa pelan, sebuah tawa tulus yang telah lama tidak diperlihatkannya.

“Jangan khawatir,” hibur Ming Xia seraya menuntun Chao Xing untuk jalan berdampingan dengannya. “Ibunda sudah menyiapkan jamuan istimewa untukmu,” ujarnya membuat kedua bola mata Chao Xing berkilat senang.

Ming Xia terdiam sejenak, mengamati wajah cantik kekanakkan putri dari saudari angkatnya. Dengan gerakan halus ia mengulurkan tangan untuk membelai rambut sehitam arang milik Chao Xing. “Kau boleh makan sepuasmu,” bisiknya membuat Chao Xing terbelalak.

“Benarkah?” tanya gadis remaja itu tidak percaya.

Ming Xia mengangguk membuat Chao Xing langsung meloncat girang lalu memeluknya dengan erat. Perilaku spontan itu terjadi begitu saja, layaknya hubungan seorang ibu dan anak yang sangat dekat.

“Permaisuri sepertinya sudah jatuh pada pesona anak bandel itu,” bisik Qiang pada Renshu.

Renshu tersenyum samar dan menjawab sembari menunjuk dengan dagunya ke arah Guang yang ikut tersenyum penuh arti, “Sepertinya bukan hanya permaisuri saja yang sudah terpikat oleh kepolosan Chao Xing.”

***

“Jadi, bagaimana dengan adik kecil kita itu?” tanya Jian Yong—Pangeran Keenam, dengan ekspresi serius. “Apa dia cantik? Pendiam? Menggemaskan?” tanyanya lagi, beruntun.

Qiang menggelengkan kepala pelan. Ia membuka bagian atas hanfu­-nya lalu turun ke dalam kolam air panas untuk ikut berendam. “Dia cukup cantik,” jawabnya tenang, membuat Yong menaikkan satu alisnya, semakin penasaran. “Tapi dia sama sekali tidak menggemaskan.”

“Dia menjengkelkan,” timpal Renshu membuat keempat saudaranya yang lain menatapnya ingin tahu. “Tanya saja pada kakak kedua jika kalian tidak percaya,” ujarnya dengan dengusan pelan namun Guang malah mengangkat bahunya ringan dan menjawab santai, “Chao Xing sangat cantik untuk ukuran gadis remaja yang tumbuh dewasa di pegunungan,” pujinya terang-terangan. “Bagaimana lagi, dia keturunan klan Jian.”

“Kau memuji anak bandel itu?” Renshu terbelalak, nyaris tidak mempercayai pendengarannya namun lagi-lagi Guang mengangkat bahunya ringan. “Apa kalian tahu apa yang ditanyakannya pada permaisuri saat jamuan makan kemarin?”

Putra Mahkota Jian Gui berdecak, dalam pikirannya dia menebak-nebak jika Chao Xing pasti akan menanyakan ayahnya, lalu berusaha untuk mendapatkan perhatian orang nomor satu di kerajaan ini. Gui mencibir, percuma, pikirnya. Akan sangat percuma jika Chao Xing berniat mengambil perhatian ayahandanya, karena Raja telah memutuskan untuk tetap mengasingkan sang puteri di sudut istana ini. Gui menghela napas lalu berkata tanpa ekspresi, “Dia pasti menanyakan mengenai ayahanda.”

Renshu menggelengkan kepala, membuat Gui sedikit terkejut karenanya. Rensu lalu mengangkat jari telunjuknya ke udara, dan menggoyangkannya dengan ekspresi penuh rahasia. “Bukan itu yang ditanyakannya.”

“Lalu apa?” sahut Jian Lei—Pangeran termuda dari tujuh pangeran dari Kerajaan Angin. Pangeran berusia tiga belas tahun itu berenang menuju ke arah Renshu dengan cepat. “Apa yang ditanyakannya, Kakak Keempat?” tanyanya penasaran.

“Dia bertanya dimana letak pohon tertinggi di dalam istana ini,” sahut Renshu santai.

Lei menelan kering, mencerna jawaban kakak keempatnya. “Apa dia berniat untuk gantung diri?” tanyanya lagi dengan ekspresi tegang membuat Renshu untuk pertama kalinya memikirkan kemungkinan itu dengan serius.

Renshu memiringkan kepalanya ke satu sisi. “Aku tidak memikirkannya hingga sejauh itu,” akunya dengan kedua alis bertaut. “Kakak kedua, menurutmu bagaimana?” Renshu menatap Guang dengan ekor matanya.

Guang beranjak bangkit, menyambar sebuah jubah halus yang telah disiapkan oleh para dayang untuk mengeringkan tubuhnya. “Dia tidak berniat untuk bunuh diri,” jawabnya membuat dirinya seketika menjadi pusat perhatian. “Pagi tadi aku melihatnya berjalan dalam kegelapan untuk mencari keberadaan pohon itu,” lanjutnya tenang. Guang terdiam sejenak, lalu kembali bicara dengan nada geli, “Chao Xing memanjat pohon itu, berdiri di atas dahan tertinggi hingga matahari terbit,” terangnya sebelum berjalan pergi meninggalkan kolam permandian air panas dengan langkah cepat.

“Kakak Kedua pasti sedang bercanda, kan?” Jian Ying—Pangeran Kelima yang terkenal akan kepintarannya itu bertanya dengan sudut mulut terangkat. “Seorang puteri memanjat pohon?” tanyanya lagi pada Qiang. “Perilaku macam apa itu?”

Qiang menghela napas panjang, mengangkat bahu dan menjawab dengan gelengan kepala pelan, “Kalian akan terkejut setelah melihatnya nanti.”

“Apa maksudmu?” Jian Gui bertanya penuh wibawa. Sebagai kakak pertama sekaligus putera mahkota secara alami ia telah membawa keagungan putra langit  bersamanya, namun sayangnya hal itu tidak akan mempan pada Chao Xing nantinya.

Kolam pemandian itu mendadak hening untuk beberapa waktu saat keenam pangeran itu larut  dalam pikirannya masing-masing.

“Kakak Pertama, sebaiknya kalian melihatnya dengan mata kepala sendiri,” tegas Qiang memutus keheningan, dan segera disetujui oleh Renshu. “Dan ingat, jangan tertipu oleh wajah manisnya,” tambahnya mengingatkan.

“Apa dia semengerikan itu?” Jian Lei berangsur mundur hingga punggungnya menabrak bebatuan sisi kolam, bulu kuduknya meremang membayangkan kakak perempuan yang belum dikenalnya itu.

Renshu kembali mengangguk pelan. “Yang perlu kalian ingat adalah—jangan pernah menyulut kemarahannya,” ujarnya memperingatkan.

Ketujuhnya sama sekali tidak tahu jika kehidupan mereka yang biasanya abu-abu, akan menjadi berwarna seiring datangnya Chao Xing ke dalam kehidupan mereka.

Helena – Bab. 3 : Pertemuan Kembali yang Tidak Diharapkan

4 Februari 2017 in Vitamins Blog

384 votes, average: 1.00 out of 1 (384 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Author playlist : Beyoncé – Halo

Enjoy! ^-^

***

Helena menarik napas panjang, berusaha meredakan emosi yang berkecamuk di dalam dirinya saat ini. Menjadi bulan-bulanan kemarahan Simon—Kepala Editor tempatnya bekerja paruh waktu terdengar lebih menakutkan untuknya daripada duduk dalam satu mobil yang sama dengan seorang pria yang dengan mudahnya melunturkan topeng yang dikenakannya selama ini.

Wanita muda itu merinding, memeluk tubuhnya sendiri saat mendapati jika perasaan tidak aman itu kini mulai menguasai dirinya dengan hebat, sementara James yang duduk di sampingnya menatapnya dengan sebuah senyum yang nyaris membuat Helena muntah di tempat.

“Bisakah kau berhenti menatapku seperti itu?” tanya Helena tanpa menatap pria yang kini menyunggingkan senyuman lebar. “Aku tidak akan segan-segan untuk menamparmu lagi, Mr. Smith!” tambahnya dengan nada mengancam, namun alih-alih merasa takut, James malah mencondongkan tubuhnya, lalu menepuk-nepuk pipi yang tadi sempat dihadiahi tamparan keras dari wanita asing di sampingnya.

“Kau boleh menamparku hingga puas,” sahutnya dengan nada menggoda. “Kau bahkan boleh mengikatku, mencambukku, atau memukulku jika hal-hal itu biasa kau lakukan dalam permainanmu,” tambahnya membuat kedua mata Helena membola sempurna.

Wanita itu bergerak, berusaha memberi jarak diantara mereka hanya untuk mendapati jika hal yang dilakukannya itu sebuah kesia-siaan.

James memiringkan kepala ke satu sisi, terkekeh lalu mengedipkan mata dengan genit, “Kau sangat menggemaskan, Nona. Ck, melihat tingkah lucumu ini membuatku semakin bergairah,” ujarnya ringan. James bahkan tertawa pelan saat melihat Helena mengepalkan kedua tangan seraya melotot marah ke arahnya.

“Kau benar-benar tidak tahu malu!”

James mengendikkan bahu, terlihat tidak peduli.

“Ucapanmu bisa disalahartikan oleh orang yang mendengar, Mr. Smith,” desis Helena. Kini ia mulai menyesali karena dengan mudahnya ia bersedia untuk ikut ke apartemen James untuk mengambil kamera miliknya.

Sialan! Makinya di dalam hati.

Pria itu mendesah, menyamankan posisi duduknya lalu melirik sekilas ke arah depan dimana supirnya bergeming dan mengerjakan tugasnya dalam diam. “Luther sudah terbiasa mendengar obrolan-obrolan tidak senonohku dengan wanita-wanitaku,” terangnya santai.

“Tapi aku bukan wanita-wanita murahan yang bisa bebas kau gauli untuk memenuhi hasrat biadabmu itu!” desis Helena marah, sementara James menaikkan satu alis menatapnya. “Aku hanya menginginkan hakku yang kau ambil dengan tidak sopannya, Mr. Smith.”

James mendengus, untuk pertama kali ia menatap Helena dengan tatapan tajam penuh misteri, “Hanya waktu yang bisa menjawab pernyataanmu itu, Helena!”

***

Musim dingin, tahun 2015

Helena menggelengkan kepala pelan, berusaha untuk mengenyahkan sosok James yang belakangan ini terus mengusiknya. Sejak pertemuannya dengan James hampir dua bulan yang lalu ia terus dibayang-bayangi sosok pria itu. Bayangan pria itu terasa menerornya di berbagai kesempatan dan itu membuat Helena bingung.

Di usianya yang ke dua puluh empat tahun ia belum pernah jatuh cinta, dan hingga detik ini ia masih beranggapan jika cinta tidak penting.

Ia bisa hidup tanpa cinta dan menghabiskan hidup layaknya seorang biarawati.

Helena menghela napas, lalu menyesap pelan kopi hitamnya penuh nikmat. Di luar hujan salju turun dengan derasnya, membuat jendela apartemen sederhana yang ditinggali oleh Helena itu berembun.

Dari tempatnya berdiri saat ini ia bisa melihat lampu-lampu kota gemerlapan, seperti bintang-bintang yang menghiasi langit malam yang gelap. Helena mendongakkan kepala, mendesah saat mendapati langit dikuasai oleh awan hitam yang menggelayut dengan perkasa. Ah… salju pasti akan terus turun sepanjang malam, pikirnya.

Helena bernapas keras, memutuskan untuk menyelesaikan pekerjaannya yang tertunda saat suara bel pintu apartemennya berbunyi nyaring.

Ia menekuk keningnya dalam, melirik ke arah jam yang tergantung di tembok rumahnya. Siapa yang datang berkunjung semalam ini? Tanyanya di dalam hati, namun pada akhirnya ia tetap berjalan menuju pintu apartemennya untuk mencari tahu.

Helena berdiri mematung, tanpa ekspresi saat mengenali salah satu sosok yang kini berdiri di depan pintu apartemennya. Wanita yang berdiri di sana adalah ibunya, ibu kandungnya yang terakhir kali dilihatnya hampir enam belas tahun yang lalu.

“Apa kau tidak akan mempersilahkan kami untuk masuk?”

Suara itu pun masih dikenalinya dengan baik. Suara yang dulu seringkali digunakan untuk menyakitinya. Wanita itu pun masih terlihat sama catiknya seperti yang diingatnya walau garis-garis halus kini terlihat di wajahnya, namun dia masih terlihat sangat cantik.

“Aku tidak pernah mengajarimu untuk bersikap tidak sopan!” tegur Rowena dengan dagu terangkat.

Helena mengepalkan tangan, melirik ke arah pria paruh baya yang berdiri di samping ibunya. Pria itu memberi sebuah senyum hangat ke arahnya, namun Helena hanya membalasnya dengan satu alis terangkat. “Andrew Miller!” Pria paruh baya itu mengulurkan tangan kanannya, masih tersenyum hangat seolah berusaha melumerkan kebekuan diantara dua wanita yang saat ini masih saling menatap dengan ekspresi berbeda.

“Dia ayah tirimu,” jelas Rowena datar.

“Masuklah,” ujar Helena kemudian tanpa berniat untuk balas menjabat uluran tangan dari Andrew. Pria paruh baya itu terlihat kecewa, namun dengan segera ia menggelengkan kepala pelan, mengikuti langkah istrinya untuk masuk ke dalam apartemen putrid tirinya yang baru kali ini ditemuinya.

“Kopi?” tawar Helena basa-basi. Tidak ada nada bersahabat dalam nada suara maupun gerak-geriknya saat ini. Yang diinginkannya saat ini hanya satu; ibunya lekas pergi dari kehidupannya.

“Tidak perlu repot, kami tidak akan lama.” Rowena membalas dengan nada datar yang sama. Ia melihat ke sekeliling ruangan, “Apartemenmu cukup bagus,” ujarnya tanpa terselip nada memuji di dalamnya.

Helena mengangkat sebelah bahu, “Lumayan,” sahutnya pendek. “Jadi, apa yang membawa kalian ke tempatku?” tanyanya langsung pada pokok masalah. “Dan darimana kalian mengetahui rumahku?”

Ia tentu merasa aneh karena ibu yang sudah tidak ditemuinya selama belasan tahun tiba-tiba saja datang kembali. Ah, entah kenapa Helena merasakan sesuatu yang tidak beres saat ini. “Kalian tidak mungkin datang hanya untuk menanyakan kabarku bukan?” Helena kembali bertanya dengan satu alis terangkat.

“Kau dingin sekali, Helena,” cibir Rowena dengan nada tidak suka yang sama sekali tidak bisa disembunyikannya. “Jadi, bagaimana kabarmu?” tanyanya kemudian membuat Helena menatapnya tak percaya.

“Kabarku baik,” jawab Helena tanpa ekspresi. Ia menghela napas kasar, terlihat semakin jengkel dengan keberadaan ibu kandung serta ayah tirinya saat ini. “Bisakah kalian langsung pada pokok permasalahannya?” tanyanya sinis sementara matanya mengamati kedua orang di depannya dengan curiga.

“Apa kau mengenal seseorang bernama James Smith?” tanya Rowena kemudian, membuat kedua alis Helena menyatu. “Melihat dari ekspresimu aku yakin jika kau mengenalnya.”

“Siapa yang tidak mengenalnya, Sayang?” Andrew menimpali dengan senyum terkembang. “Dia sangat populer, seperti artis papan atas namun dengan tambahan kekayaan yang berlimpah di belakangnya,” tambahnya dengan antusias berlebihan yang membuat Helena semakin curiga.

Rowena mengangguk tipis, menyetujui ucapan suami yang telah dinikahinya selama sepuluh tahun. “James datang dengan rendah hati kepada kami untuk melamarmu secara resmi,” ucap Rowena membuat Helena terhenyak.

Apa maksudnya? Tanya Helena di dalam hati.

“Apa maksudmu James datang untuk melamarku?” tanyanya kemudian dengan suara bergetar oleh emosi. Keduanya hanya bertemu dua kali beberapa bulan yang lalu. Keduanya tidak pernah berkomunikasi lagi setelah Helena mengambil kamera dari pria itu dan sekarang tiba-tiba saja ibunya datang untuk memberinya kabar jika James datang melamarnya? Oh, yang benar saja!

Rowena mengangkat dagunya angkuh, “Kau harusnya merasa sangat bersyukur karena seorang pria seperti James mau berbaik hati melamarmu, Helena. Apa kau tahu jika kau sangat beruntung?”

Helena membuka mulutnya, hendak memprotes ucapan ibu kandungnya namun suaranya tercekat, tersangkut di dalam tenggorokannya. Ia pun kembali menutup mulutnya, terdiam dengan jutaan emosi yang meletup-letup di dalam dirinya.

“James sangat tampan, dan di atas semua itu dia pun sangat kaya,” lanjut Rowena tenang sementara Andrew menganggukkan kepala tanda setuju. “Dimana lagi kau akan mendapatkan pria berkelas seperti James?” tanyanya menohok.

Ketiganya terdiam untuk beberapa waktu yang terasa menyiksa untuk Helena.

“Kami sudah menerima lamarannya, dan kalian akan menikah awal musim semi nanti,” terang Rowena membuat Helena tertawa hebat mendengarnya. “Apanya yang lucu?” Rowena bertanya sinis, terlihat tersinggung oleh sikap tidak sopan yang diperlihatkan oleh Helena saat ini.

Helena menahan diri untuk tidak menyeringai geli. Demi Tuhan, ia sungguh tidak tahu apa yang tengah dipikirkan oleh ibunya saat ini. Helena menghela napas kasar, lalu melipat kedua tangannya di depan dada. “Kalian, terlebih anda, Nyonya, tidak bisa mengaturku untuk menerima seseorang untuk kunikahi.” Ia menggelengkan kepala pelan, “Tidak akan bisa.”

“Tentu saja kau harus menerimanya, Helena!” bentak Rowena marah. Wanita paruh baya itu mencondongkan tubuhnya, tangan kanannya terangkat di udara siap untuk menampar pipi Helena andai saja Andrew tidak mencegahnya dengan cepat.

Pria berambut pirang itu berbisik pelan, meminta istrinya untuk mengendalikan diri, sementara Helena tersenyum tipis. Ibunya ternyata sama sekali tidak berubah, pikirnya miris.

“Helena, kami benar-benar berharap kau mau menerima lamaran James.” Andrew berucap tenang, penuh kehati-hatian. “Apa pun masalah diantara kalian, pasti bisa kalian selesaikan dengan baik bukan?” tambahnya dengan senyum ramah yang sama sekali tidak berhasil meluruhkan kekerasan hati Helena. “Kalian pernah menjadi sepasang kekasih, dan sekarang James serius mau menikahimu, bukankah itu berarti dia benar-benar serius denganmu?”

Helena terbelalak, nyaris kembali tergelak keras setelah mendengar pernyataan ayah tirinya itu. Sepasang kekasih? Yang benar saja!

“Aku tidak mau mendengarnya lagi!” balas Helena sengit serayang bangkit berdiri. “Aku mohon kepada kalian untuk keluar dari rumahku!” pintanya dengan nada sopan dipaksakan. “Dan jangan pernah mengungkit masalah ini lagi. Anggap saja kita tidak pernah bertemu,” pintanya seraya memalingkan muka.

Rowena mendesah, tersenyum mencibir. “Kami akan meninggalkanmu untuk memberimu waktu, tapi kau harus ingat satu hal Helen,” ucapnya dengan nada merendahkan. “Kau harus ingat siapa dirimu,” cibirnya dengan kilatan tidak suka. “Seharusnya kau bersyukur kepada Tuhan karena ada pria baik seperti James yang bersedia menikahi anak tidak jelas seperti—”

“Cukup!!!” raung Helena marah. “Sudah cukup!” teriaknya keras. “Berhenti menghinaku. Kau tidak berhak untuk menghinaku!”

Rowena tersenyum jahat.

“Aku bahkan tidak meminta untuk dilahirkan dari rahimmu,” lanjut Helena dengan suara dan tubuh bergetar oleh amarah. “Sekarang kumohon keluar dari rumahku!” pintanya dengan nada lebih rendah. “Keluar!”

“Masalah ini belum selesai, Helena!”

“Keluar!” rintih Helena dengan kedua mata terpejam, sementara kedua tangannya dipakai untuk menutup kedua telinganya dengan erat. “Keluar!!!” raungnya membuat Rowena dan Andrew terpaksa pergi dan menyerah untuk malam ini.

Helena (Bab 2. Tuan Menjengkelkan)

3 Februari 2017 in Vitamins Blog

379 votes, average: 1.00 out of 1 (379 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Musim gugur, tahun 2015

Emosi James tidak kunjung membaik. Amarahnya masih berada di ubun-ubun saat ia tiba di apartemen mewahnya di daerah jantung Kota New York. Ia berjalan dengan punggung tegak menuju meja bar kecil yang terdapat di ujung ruang santainya. Pria itu membuka tutup botol lalu menuangkan brendy mahal itu ke dalam gelas kristal untuk dirinya sendiri.

Gara-gara Casandra dia batal memiliki teman kencan malam ini. “Brengsek!” makinya kasar. Lalu dia harus menghadapi sang drama queen setelahnya, seolah belum cukup dia kembali harus berhadapan dengan wanita sialan yang diyakininya ingin menguras uangnya.

“Omong kosong!” ujarnya yang diakhiri sebuah umpatan kasar saat ia teringat akan wanita berambut cokelat madu itu. Ia mendesis, meletakkan gelas brendy-nya kasar lalu menyambar kamera yang dirampasnya dari Helena. “Tidak mengenalku, huh?” bisiknya sinis. “Kau akan mendapatkan uang jika kau menjual tubuhmu padaku!” ucapnya dengan gigi gemertuk.

Saat ini tidak ada binar mata menggoda yang selalu diperlihatkannya pada setiap wanita yang ditemuinya. Juga tidak ada binar mata ramah yang selalu diperlihatkannya pada kolega-koleganya. Saat sendirian James bebas menjadi dirinya sendiri—dingin, antipati dan kesepian. James kembali mendengus kasar, sebelum dengan cepat ia menyalakan kamera digital milik Helena. Ia lalu menekan tombol on, menatap layar LCD kamera sementara jari tangan kanannya dengan lincah menekan tombol navigasi.

Satu foto.

Dua foto.

Dua puluh foto telah ditampilkan dan dilihatnya pada layar LCD, namun kenapa tidak ada satu pun foto dirinya dan Casandra di sana? Tidak ada satu pun. Ini tidak mungkin, ujarnya dalam hati. Ia dengan jelas melihat wanita itu mengambil beberapa foto ke arahnya. Dia tidak mungkin salah, kan?

James menekuk keningnya dalam. Rasa penasarannya membuatnya melihat lebih banyak foto yang tersimpan di dalam kamera itu. Wanita itu jelas sudah pergi ke beberapa negara selama ini, itu yang bisa disimpulkan James saat melihat hasil jepretan foto yang tersimpan di dalam kamera itu.

Pria itu terus melihatnya dengan gerakan cepat, dan tawanya pun meledak setelah sepuluh menit dia berkutat dengan benda di tangannya itu

Pria itu terus melihatnya dengan gerakan cepat, dan tawanya pun meledak setelah sepuluh menit dia berkutat dengan benda di tangannya itu.

Brengsek! Wanita itu ternyata tidak berbohong. Dia sama sekali tidak mengambil foto dirinya dan Casandra. Wanita itu hanya mengambil beberapa foto bangunan di sebelah restoran tempatnya makan malam bersama dengan Casandra serta foto pejalan kaki yang berlalu-lalang di sekitarnya.

James terkekeh pelan. “Sekarang wanita itu membuatku tersinggung,” gumamnya dengan senyum aneh. “Dia mengabaikanku dan memilih untuk mengambil objek lain?” James mndecih, terlihat tidak suka karena untuk kali pertama dia merasa diabaikan oleh seorang wanita muda yang cantik.

Senyum James kembali terkembang dengan aneh. Pria itu mematikan kamera, lalu membawanya beserta gelas brendy-nya menuju kamar pribadinya.

Siapa pun wanita itu, dia pasti akan kudapatkan, janjinya di dalam hati

Siapa pun wanita itu, dia pasti akan kudapatkan, janjinya di dalam hati. “Selamat datang di duniaku, Nona,” bisiknya menggoda. “Cepat atau lambat kau akan kumiliki seutuhnya.” James tersenyum sinis, sangat yakin jika wanita berambut cokelat madu itu memiliki sifat yang sama dengan wanita-wanita yang selama ini dikencaninya. Wanita itu pasti akan takluk oleh pesona serta kekayaan yang dimilikinya.

Pasti. Tidak akan salah lagi, pikirnya.

“Dan aku juga sangat yakin jika kau akan datang padaku besok,” tambahnya sinting.

***

Helena menegakkan bahu, menetapkan hati jika ia harus melakukan hal ini. Dia harus bisa mengambil kembali kamera miliknya. Benda itu sudah seperti nyawanya. Bukan berarti dia tidak memiliki kamera lain, namun karena kamera itu menjadi favoritnya dalam waktu satu tahun belakangan ini, Helena selalu mengambil foto menggunakan kamera tersebut, dan semua pekerjaannya ada di dalamnya.

Sejujurnya dia cukup terkejut saat tahu jika pria brengsek yang mengambil kameranya kemarin merupakan pemilik salah satu perusahaan penerbitan besar di Negara ini. Double sialan! Pikirnya masam.

Helena kembali dikejutkan karena ia tidak mendapat kesulitan berarti untuk menemui pria yang diketahuinya bernama James Smith. Entahlah, dia merasa jika kedatangannya siang ini sudah ditunggu oleh pria menyebalkan itu. Helena menggeleng pelan, berusaha untuk mengenyahkan pemikiran konyol itu dari dalam kepalanya.

Sayangnya ia kembali merasakan hal aneh lainnya saat seorang wanita berambut pirang, berpenampilan tanpa cela yang memperkenalkan diri sebagai recepsionis perusahaan itu menawarkan diri dengan senang hati untuk mengantarnya ke kantor milik James d...

Sayangnya ia kembali merasakan hal aneh lainnya saat seorang wanita berambut pirang, berpenampilan tanpa cela yang memperkenalkan diri sebagai recepsionis perusahaan itu menawarkan diri dengan senang hati untuk mengantarnya ke kantor milik James di lantai sepuluh. Wanita itu memang bersikap sangat sopan, namun Helena bisa menangkap kesan tidak suka yang diperlihatkan secara samar oleh wanita itu pada dirinya.

“Hai, Sayang. Kenapa baru datang? Aku sudah menunggumu dari tadi,” kata James saat Helena masuk ke dalam ruangan, sementara wanita berambut pirang yang mengantarnya menutup pintu, meninggalkan Helena di dalam wilayah kekuasaan seorang James Smith.

Helena menoleh lewat bahunya, berusaha mencari keberadaan wanita lain yang dipanggil dengan panggilan mesra pria gila di hadapannya ini. Ia menekuk keningnya dalam, lalu menoleh ke arah James yang tersenyum seksi ke arahnya. “Siapa yang kau panggil Sayang?” tanyanya dengan nada dingin dan menusuk. “Jangan basa-basi, aku datang untuk mengambil kamera milikku!” tambahnya masih dengan sikap bermusuhan yang justru membuat James semakin tertarik padanya.

James merengut, pura-pura tersinggung. “Jadi, kau datang hanya untuk mengambil kameramu?” tanyanya dengan nada sedih dipaksakan.

“Jangan main-main, Mr. Smith. Anda tahu apa alasan saya menemui Anda saat ini,” balas Helena dengan nada suara yang semakin tajam. Ayolah, dia tidak punya banyak waktu untuk bermain-main dengan pria semacam James. Dia sangat sibuk, pekerjaannya sudah menunggunya dan dia memerlukan kameranya untuk menyelesaikan pekerjaannya.

Keduanya terdiam sejenak, sementara Helena menekuk keningnya dalam sebelum akhirnya terbelalak saat ia mulai menyadari sesuatu hal. “Jadi kau sudah tahu jika aku tidak memiliki niat untuk memerasmu, kan?” tanyanya dengan suara menuduh.

James mengendikkan bahu. “Aku belum tahu. Aku belum melihat isi kameramu,” dustanya lihai. “Asal kau tahu, aku memang selalu takluk oleh wanita cantik. Dan sekarang kau menaklukkanku dengan pesonamu, Cantik,” ujarnya gombal.

“Simpan rayuanmu pada wanita lain, Sir. Aku bukan wanita yang bersedia membuka lebar kedua kakiku untuk seorang pria perayu sepertimu.”

Bahu James merosot, dari atas kursi kerjanya yang nyaman dia mengamati penampilan cuek Helena. Well, wanita itu memang tidak mengenakan pakaian seksi, namun walau demikian gairahnya terhadap wanita minim ekspresi itu sama sekali tidak berkurang. “Kau menyinggungku, Nona,” ujarnya dengan senyum sensual.

Helena memutar kedua bola mata, ingin rasanya dia mencakar wajah tampan pria menyebalkan itu. “Berhenti main-main, Sir. Aku hanya menginginkan kameraku,” ulangnya dengan nada lebih bersahabat. Ia berpikir mungkin pria ini akan luluh jika dia sedikit memohon dan tidak menentangnya. Demi Tuhan, Helena hanya ingin segera pergi dari tempat ini dan menegaskan di dalam hati jika ke depannya dia tidak boleh berurusan dengan James Smith.

Ia tahu jika ini mungkin akan terdengar terlalu mendramatisir, namun entah kenapa ia merasa jika pria yang selalu mengumbar senyum menggoda di hadapannya ini sangat berbahaya dan licik.

“Sayang sekali aku lupa membawa kameramu. Maaf!”

Suara serak James dan permintaan maaf pria itu sama sekali tidak menggugah hati Helena. Wanita itu benar-benar marah sekarang. Bagaimana bisa pria itu dengan mudahnya mengatakan jika dia tidak membawa kamera miliknya?

“Sialan, kau benar-benar menguji kesabaranku!” bentak Helena tepat di depan wajah James yang masih terlihat begitu tenang walau Helena menggebrak meja kerjanya keras. “Aku memerlukan kamera itu untuk menyelesaikan pekerjaanku,” tambahnya dengan kilat mata serta desisan mengancam.

Helena muak. Dia benar-benar merasa muak karena James mempermainkannya saat ini. Pria itu bahkan terlihat sangat menikmati kemarahannya saat ini. “Jangan pikir hanya karena kau memiliki banyak uangm kau bisa mempermainkan orang lain sesuka hatimu.”

James menelengkan kepala, memasang pose tidak mengerti, sementara jari-jari tangannya saling bertaut di atas meja. “Apa maksudmu?” tanyanya terdengar polos namun menyebalkan di telinga Helena. Pria itu mengangkat sebelah bahunya ringan dan kembali bicara dengan nada meminta maaf, “Pagi ini aku terburu-buru datang ke kantor,” jelasnya. Ia mengambil napas, lalu kembali bicara, “karenanya aku lupa membawa kameramu bersamaku.”

Helena memejamkan mata, sementara jarinya disusurkan ke rambut coktanya yang tergerai hingga di bawah bahu. Perlahan dia menarik napas panjang, lalu menghembuskannya dengan pelan juga. Wanita itu kemudian menghitung di dalam hati hingga sepuluh, sebelum membuka mata dan kembali bicara dengan nada lebih tenang. “Bisa kau minta tolong supir, pembantu atau pegawaimu untuk mengambilnya?” Helena mengangkat kedua tangannya ke udara. “Demi Tuhan, aku benar-benar membutuhkan kamera itu.”

James kembali mengangkat bahu, lalu mengulum sebuah senyum yang tidak disukai oleh Helena. “Kau bisa mendapatkan kameramu kembali,” ucapnya tenang. “Namun aku memiliki sebuah syarat yang harus kau penuhi jika kau benar-benar menginginkan kamera milikmu kembali utuh,” lanjutnya membuat Helena mencondongkan tubuhnya dan mendaratkan sebuah tamparan keras di pipi kanan James.

CHAO XING (朝兴) – Bab 2. Alasan untuk Kembali

3 Februari 2017 in Vitamins Blog

377 votes, average: 1.00 out of 1 (377 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Author Playlist : Reincarnation Realm by Critty

Enjoy! ^-^

***

Dari sudut matanya, Jian Qiang mengamati sekeliling ruangan, sebuah kamar kecil sangat sederhana yang kini ditempatinya bersama Guang dan Renshu.

“Apa kalian yakin jika gadis tadi adalah Chao Xing yang kita cari?” tanyanya membuat Guang yang sudah berbaring di atas ranjang kembali membuka kedua kelopak matanya. Qiang mengibaskan pakaiannya, lalu berjalan mondar-mandir di dalam kamar sempit itu. “Maksudku, dia sama sekali tidak terlihat layaknya seorang puteri kerajaan,” tambahnya dengan ekspresi serius.

Renshu tersenyum tipis, sejenak ia menghentikan kegiatannya yang tengah mempersiapkan tempat untuknya tidur di sisi kanan ranjang, sementara Qiang menempati bagian tengahnya. “Aku tidak menyangka jika kau masih menyangsikan hubungan darah kita dengannya, Qiang,” balasnya dengan satu alis terangkat. Ia terdiam sejenak, “Sifatnya pun sedikit mirip dengan Ayahanda,” lanjutnya cepat sembari menjentikkan jari di udara. “Dan bukankah kau yang tadi begitu menggebu ingin membalaskan dendam Chao Xing pada sarjana itu?” tambahnya usil.

Qiang memutar kedua bola matanya, menjawab ketus. “Aku hanya tidak suka laki-laki itu menghina seorang wanita,” ujarnya dengan nada serius. “Tidak ada yang salah dengan Chao Xing,” tambahnya membuat Guang dan Renshu saling melempar tatapan penuh arti. “Tapi bukan berarti aku sudah mengakuinya sebagai saudariku—” Ucapannya terpotong saat pintu terbuka dengan keras membuat ketiganya menoleh ke arah pintu.

“Bagus, karena aku juga belum mengakui kalian sebagai saudaraku!” balas Chao Xing dengan wajah masam. Kedatangannya jelas mengagetkan ketiga pangeran dari Kerajaan Angin itu. Mereka terbelalak, sama sekali tidak menyangka jika Chao Xing bukan hanya kasar, tapi juga tidak tahu sopan santun.

Demi dewa Langit, Chao Xing menendang pintu? Puteri macam apa yang berani menendang pintu lalu menerjang masuk ke dalam ruangan tanpa permisi? batin Guang miris.

“Apa kau tidak diajarkan untuk mengetuk pintu atau meminta izin terlebih dahulu sebelum masuk ke dalam ruangan milik orang lain?” tegur Renshu dengan nada satu oktaf lebih tinggi. Pria yang terkenal akan ketenangannya itu untuk pertama kali berhasil dibuat jengkel oleh seorang gadis remaja berusia lima belas tahun. “Dan ini sudah malam! Apa yang kau pikirkan hingga berani mendatangi kamar pria di malam hari?”

Chao Xing menyempitkan mata lalu melempar dua buah selimut yang berada di tangannya ke arah Qiang yang langsung ditangkap dengan gesit oleh pria itu. “Ini rumahku, kalian menumpang di sini!” balasnya tidak kalah ketus. “Aku kesini karena Bibi Ju memintaku untuk membawakan tambahan selimut untuk kalian.”

Qiang menekuk wajahnya, “Kau patuh pada perintah seorang dayang?” tanyanya dengan kedua mata melebar.

“Bagi kalian mungkin dia hanya seorang dayang, tapi bagiku dia sudah seperti ibuku,” balas Chao Xing dingin membuat ketiga pangeran itu memalingkan muka, mengalihkan pandangan mereka ke arah manapun selain padanya. Mereka bisa melihat dengan jelas perubahan sikap gadis remaja itu, dan seolah memiliki pemikiran yang sama, ketiganya berpikir; menyulut kemarahan Chao Xing  adalah hal utama yang harus mereka hindari.

Ruangan kembali hening  hingga membuat suasana semakin canggung, terus berlanjut hingga beberapa menit kemudian, lalu Chao Xing menghela napas keras, berbalik untuk menutup pintu di belakangnya.

Sejenak ia meragu, sebelum akhirnya kembali berjalan untuk mendudukkan diri di sebuah kursi kosong di sebelah Qiang. Ia harus membahas masalah kepulangannya malam ini juga, pikirnya letih.

Sembari menghela napas keras, Chao Xing menuangkan teh ke dalam cawan keramik murah untuk dirinya sendiri. “Asal kalian tahu, aku sudah berniat untuk mengentuk pintu sebelum telingaku memanas karena ucapannya,” ujarnya dengan tatapan tajam yang terarah lurus pada Qiang yang balas menatapnya dengan senyum kikuk.

Ia terdiam sejenak untuk mengambil napas dalam dan kembali bicara setelah merasa lebih tenang. “Aku sudah memutuskan untuk tidak ikut bersama kalian,” ujarnya membuat ketiga pria di dalam ruangan itu terperanjat kaget. “Setelah lima belas tahun, kenapa kalian berpikir memanggilku untuk kembali ke tempat itu?” tanyanya lirih.

“Jangan mendramatisir keadaan, Chao Xing!” tegur Qiang tajam. “Jika ayahanda memerintahkanmu untuk pulang, maka kau harus pulang!” tegasnya.

Chao Xing tersenyum pahit. “Dari awal kelahiranku, aku tidak pernah memiliki tempat di sana.”

Hening.

Chao Xing memiringkan kepala ke satu sisi, tatapannya kini terarah lurus pada Qiang. “Kenapa kalian berpikir jika aku akan begitu mudah menerima keputusan Yang Mulia untuk kembali ke tempat itu?”

“Tempat ini sudah tidak aman untuk kau tempati.” Guang kembali angkat bicara memaksa diri untuk tidak berteriak. Ia berusaha keras untuk mengakhiri ketegangan di dalam ruangan itu. “Mungkin kau sudah mendengar jika Kerajaan Awan diserang dan berhasil ditaklukan oleh Kerajaan Api.”

Chao Xing tidak menyahut.

“Tempat ini berada begitu dekat dengan perbatasan wilayah dengan Kerajaan Awan, jika musuh mengetahui identitasmu maka hidupmu berada dalam bahaya,” tambahnya berusaha untuk meyakinkan, namun Chao Xing bergeming. Gadis remaja itu hanya melepas napas panjang.

“Ini masalah serius,” timpal Qiang tidak sabar. “Jika kau tidak memikirkan keselamatanmu, setidaknya pikirkanlah keselamatan Dayang Ju!”

Chao Xing tertegun, terlihat berpikir. Qiang dan Guang kembali saling melempar tatapan penuh arti, dan seolah mengerti, Qiang kembali bicara, menggunakan kelemahan Chao Xing untuk membujuknya pulang. “Apa kau mau jika Dayang Ju terluka atau lebih buruknya mati karena kekeraskepalaanmu ini?”

Chao Xing melotot, marah.

“Kalau begitu singkirkan egomu dan ikut pulang bersama kami besok,” pinta Qiang melembut.

Chao Xing masih berpikir dalam keheningannya. Sejak lama ia memang sudah mendengar perihal perang besar di kerajaan tetangga. Ia juga sebenarnya sangat takut saat mendengar kabar jika raja dari Kerajaan Api yang baru sangat ambisius dan haus darah. Raja baru itu memiliki keinginan untuk menaklukan kerajaan-kerajaan di sekitarnya untuk membangun sebuah dinasti kekaisaran.

Jika Kerajaan Awan sudah ditaklukan, maka tidak menutup kemungkinan jika raja baru itu berniat memperluas wilayah kekuasaannya hingga Kerajaan Angin.

“Apalagi yang kau pikirkan?” tanya Renshu gemas, memutus lamunan panjang Chao Xing. Renshu berdeham, berusaha memasang ekspresi serius saat kembali bicara, “Dengan statusmu nanti, kau bisa mencari bajingan itu.” Renshu tersenyum samar saat berhasil mendapatkan perhatian penuh Chao Xing. “Seorang sarjana pasti bekerja untuk pemerintah bukan? Kau bisa membalas dendam dengan terlihat jauh lebih cantik dari wanita manapun,” lanjutnya dengan ekspresi serius berlebihan.

Chao Xing menggebrak meja, “Kau benar. Aku akan terlihat cantik apabila mengenakan pakaian dan perhiasan yang bagus. Semua itu hanya bisa kudapatkan setelah aku kembali ke istana bukan?”

Ketiga pangeran itu mengangguk dengan cepat, sekuat tenaga menahan diri agar tidak tertawa keras. Mereka lagi-lagi dibuat terkejut oleh pemikiran polos Chao Xing.

Chao Xing mengangguk, berapi-api, “Kalau begitu besok aku ikut pulang bersama kalian,” putusnya semangat. “Aku hanya perlu bersabar agar bisa membalaskan dendamku pada si bedebah dan wanita centil itu!” tambahnya sebelum berbalik pergi meninggalkan ketiga kakaknya yang tertawa tanpa suara setelah kepergiannya.

CHAO XING (朝兴) – Bab 1. Putri yang Patah Hati

2 Februari 2017 in Vitamins Blog

388 votes, average: 1.00 out of 1 (388 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Author Playlist : Xīng yuè shén huà

Enjoy! ^-^

***

“Yang Mulia Permaisuri tiba!” seru seorang prajurit penjaga pintu kediaman Raja. Kedua orang prajurit itu segera berlutut, memberi hormat takzim saat permaisuri berjalan anggun, gaun kebesarannya gemerisik saat melangkah pelan, masuk ke dalam ruang kerja sang raja.

“Ming Xia memberi hormat. Yang Mulia panjang umur hingga ribuan tahun!” Permaisuri memberi hormat, membuat sang raja yang duduk di atas kursi kerjanya untuk sejenak meletakkan kuas di tangannya, menatap permaisurinya lurus.

“Apa yang membuatmu datang menemuiku selarut ini, Permaisuri?” tanya Jian Guo dengan suara beratnya yang berwibawa. Raja Jian Guo merupakan raja ke-6 yang telah berkuasa selama dua puluh tahun lamanya untuk memimpin Kerajaan Angin. Di bawah kepemimpinannya, Kerajaan Angin sangat makmur dengan kekuatan militer yang begitu disegani oleh kerajaan-kerajaan di sekitarnya.

Jian Guo terdiam sejenak, menarik napas dalam dan kembali bicara dengan tenang. “Tidak biasanya kau datang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.”

“Mohon ampun, Yang Mulia!” Permaisuri Ming Xia jatuh berlutut, membuat kedua alis Jian Guo bertaut karena heran. “Hamba mohon maaf jika apa yang hamba sampaikan nanti menyinggung perasaan Anda.”

“Katakan apa maksudmu!” titah Jian Guo. Pria berusia empat puluh tahun itu kini terlihat serius menatap istrinya yang masih berlutut dengan kepala menunduk dalam.

Ming Xia tidak langsung menjawab. Tubuh wanita itu sedikit bergetar. Dia tahu jika apa yang akan dikatakannya nanti bisa menyulut amarah raja, namun hal ini harus dilakukannya demi memenuhi janji yang pernah diucapkannya pada Selir Mei Rong—bahwa dia akan menjaga Chiao Xing dan membesarkannya seperti putrinya sendiri.

“Hamba mendengar kabar jika Putera Naga yang baru dari Kerajaan Api memerintahkan penyerangan terhadap Kerajaan Awan,” Ming Xia mulai kembali bicara dengan kemantapan hati. “Hal tersebut membuat hamba sangat khawatir, Yang Mulia,” lanjutnya sendu. Wanita cantik berusia tiga puluh delapan tahun itu mendongakkan kepala dengan gerakan pelan, lalu kembali menunduk dalam saat tatapannya bersirobok dengan Jian Guo.

“Lalu apa masalahnya?” Jian Guo balik bertanya. Pria itu menaikkan satu alisnya dan kembali berkata dengan nada mengancam, “Apa kau meragukan kemampuanku untuk melindungi negaraku?”

Mingi Xia menggelengkan kepala cepat. “Hamba tidak berani. Hamba tidak berani, Yang Mulia!” serunya berkali-kali, penuh permohonan ampun.

“Lalu apa yang menjadi kekhawatiranmu?”

Permaisuri tidak langsung menjawab. “Chao Xing,” jawabnya lirih. “Puteri Chao Xing yang menjadi kekhawatiran hamba,” tambahnya parau. “Yang Mulia, bukankah puteri berada begitu dekat dengan wilayah perbatasan Kerajaan Angin dan Kerajaan Awan?” tanyanya hati-hati saat Jian Guo berekspresi gelap. “Bagaimana jika statusnya diketahui oleh musuh? Hamba takut sesuatu terjadi padanya.”

“Kau pikir aku peduli akan keselamatannya?” balas Jian Guo terdengar murka.

“Anda seorang raja yang sangat adil,” balas Ming Xia lembut. “Anda seorang ayah yang baik untuk putra dan putri yang anda miliki.”

Permaisuri kembali terdiam sejenak, menarik napas untuk mengumpulkan kembali keberaniannya yang tadi sempat menguap dengan cepat. “Chao Xing, dia putrimu, Yang Mulia. Putri dari selir yang paling anda sayangi. Sudah hampir lima belas tahun dia pergi, tumbuh dewasa di luar istana, bukankah sudah saatnya dia kembali ke tempatnya berasal? Sudah saatnya Chao Xing mengenal saudara-saudaranya.”

Jian Guo memandang permaisuri lurus, rahangnya mengeras oleh amarah yang menjalar cepat di dalam pembuluh-pembuluh darahnya. Berani sekali permaisuri mengingatkannya mengenai hal tabu itu! Pikirnya geram.

“Aku hanya memiliki tujuh orang putra,” desis Jian Guo dengan gigi gemertuk. “Aku tidak memiliki putri!” tambahnya marah. “Berani sekali kau mengingatkanku lagi jika aku memiliki seorang putri dari Mei Rong!!!” raungnya murka.

Ming Xia langsung jatuh bersujud dengan sekujur tubuh gemetar oleh rasa takut sementara air matanya tumpah dengan cepat. “Yang Mulia…” panggilnya sedih. “Selama dua puluh tahun hamba mendampingi Anda, tidak pernah satu kalipun hamba memohon sesuatu pada Anda,” ujarnya bergetar. “Untuk kali ini saja, mohon Yang Mulia Raja berkenan mengabulkan permohonan hamba. Tolong jemput kembali Chao Xing pulang ke istana,” pintanya membuat kedua tangan Jian Guo terkepal erat. “Izinkan hamba menepati janji yang hamba ucapkan pada Selir Mei Rong,” tambahnya sedih. “Hamba berjanji untuk menjaga Chao Xing. Hamba ingin menepati janji itu walau sudah begitu terlambat.”

***

Ju Fang mendongak, menatap jauh ke depan, berharap untuk menemukan tanda-tanda kepulangan tuan puterinya yang sudah pergi meninggalkan rumah sejak tadi pagi.

Wanita itu menghela napas panjang, menyeka peluh di dahinya dengan cepat lalu menyipitkan mata. Senyumnya terkembang, sebelum akhirnya kembali memudar dengan cepat. Ia menelan kering, keranjang sayur di tangannya terjatuh ke atas tanah, dadanya berdegup penuh antisipasi.

“Dewa Langit, apa aku sedang bermimpi?” tanyanya lirih. Ia mengucek pelan kedua matanya, memastikan jika apa yang dilihatnya saat ini bukanlah sebuah ilusi mata—satu pasukan kecil dari Kerajaan Angin datang menyambangi kediamannya?

Apa itu berarti raja menginginkan puteri untuk kembali? Tanyanya di dalam hati, penuh harap. Dan saat kepala pasukan yang tak lain adalah Pangeran Jian Guang—Pangeran Kedua dari Kerajaan Angin turun dari kuda cokelat kemerahan tunggangannya, wanita itu pun jatuh berlutut, memberi hormat takzim.

“Kami datang untuk menjemput kalian pulang ke istana,” ujar Jian Guang tenang.

***

“Kau memberi izin Chao Xing pergi ke tengah kota seorang diri?” tanya Jian Renshu yang merupakan Pangeran Keempat Kerajaan Angin melotot. Pangeran berusia delapan belas tahun yang lahir dari rahim selir ketiga itu menggelengkan kepala, sama sekali tidak percaya jika Dayang Ju bisa memberi Chao Xing kebebasan sebesar itu. “Bagaimana jika sesuatu terjadi padanya?” tanyanya gusar.

“Kau terlalu berlebihan, Pangeran Keempat!” Jian Guang menimpali dengan tenang. Pangeran Kedua itu menyesap teh miliknya dengan tenang, lalu melirik sekilas ke arah Ju Fang yang berekspresi was-was. “Apa Chao Xing sering bepergian seorang diri?”

Ju Fang mengangguk pelan, dan menjawab dengan nada bersalah yang terdengar jelas, “Hamba mohon maaf, namun hamba memang memberikan kebebasan pada Puteri untuk bepergian seorang diri walau sebelumnya Tuan Puteri tidak pernah pergi hingga selama ini.”

“Tanpa pengawalan?” Renshu melotot, mendesis marah. Bagaimanapun juga Chao Xing seorang puteri, jika musuh sampai mengetahui jati diri asli adiknya, maka sudah bisa dipastikan jika adiknya tengah dalam masalah besar saat ini.

“Kemana dia pergi?” Jian Qiang, yang sedari tadi hanya duduk diam akhirnya ikut bicara. Pangeran ketiga itu memerintahkan Renshu untuk duduk dan menenangkan diri. “Mungkin lebih baik jika kita menyusul dan mencarinya,” usulnya kemudian.

“Kali ini Tuan Puteri tidak pergi sendiri, dia pergi bersama Sarjana Lee,” terang Ju Fang, membuat ketiga orang pangeran yang berada di dalam rumah sederhana itu menekuk dalam keningnya.

“Dia pergi bersama seorang pria?” desis Guang menekan kemarahannya. Apa yang akan dikatakan oleh dunia jika tahu seorang Puteri Kerajaan Angin pergi bersama seorang pria dewasa tanpa seorang pendamping?

“Dan bersama putri dari bangsawan Liang,” ralat Ju Fang cepat untuk menghindari kesalahpahaman. “Ketiganya bertemu di perbatasan desa pagi tadi, mereka pergi bersama ke kota untuk menyaksikan perayaan festival musim semi,” terangnya dengan nada khawatir. Ju Fang mengalihkan pandangannya ke arah jendela, menatap langit yang telah dihiasi semburat jingga.

“Aku pulang!” seru seorang wanita muda dari luar rumah, membuat Ju Fang menghela napas penuh kelegaan. “Kenapa ada begitu banyak prajurit dan bendera Kerajaan Angin di luar rumah kita?” tanya Chao Xing saat melangkah masuk ke dalam rumah, wanita muda berusia lima belas tahun itu sama sekali tidak sadar jika ada tiga orang pria asing yang tengah menatapnya, mengamatinya dengan seksama dari tempat duduk mereka masing-masing.

“Nona muda kenapa anda pergi begitu lama?” Ju Fang balik bertanya dengan nada cemas, sementara Chao Xing membuka topi jerami yang dikenakannya lalu meletakkannya secara sembarangan. Ju Fang terdiam, mengamati ekspresi tuannya yang tidak secerah biasanya. “Apa terjadi sesuatu?” tanyanya.

Chao Xing menghela napas kasar, mendengus dan berkata dengan keras, “Aku menghajar Sarjana Lee dulu sebelum pulang ke rumah tadi,” lapornya membuat Ju Fang ternganga. “Dasar pria brengsek!” maki Chao Xing membuat Jian Guang nyaris tersedak dan menyemburkan air teh yang tengah disesapnya nikmat. Dia sama sekali tidak menyangka jika adik tirinya bisa berkata sekasar itu.

“Sialan! Seharusnya aku menendang perut dan pantatnya lebih keras tadi,” raungnya membuat keringat di dahi Ju Fang mengucur semakin deras.

Demi Dewa Langit, Tuan Puteri mohon jangan permalukan diri anda lebih jauh lagi! Ratap Ju Fang di dalam hati.

“Aku juga memasang lalu menyalakan banyak petasan pada tandu milik putri dari bangsawan Liang,” kekeh Chao Xing terlihat puas. “Kau seharusnya melihat bagaimana ekspresi ketakutan Mei Hwa saat petasan itu meletus di dalam tandunya,” tambahnya riang.

Chao Xing terdiam sejenak. “Mereka sangat menyebalkan, seharusnya aku memberi mereka pelajaran yang jauh lebih menyakitkan dari itu!” ujarnya dengan gigi gemertuk menahan marah. “Kalau Zian ada, dia pasti membantuku untuk membalaskan dendam,” tambahnya dengan kepala menunduk dalam.

“Nona Muda?!” panggil Ju Fang lirih. Wanita itu melembutkan suaranya, saat melihat kedua tangan Chao Xing terkepal erat dan tubuhnya bergetar menahan tangis.

Hening.

“Sarjana Lee mengatakan jika Mei Hwa sangat cantik,” ujar Chao Xing dengan senyum kecut. “Dia juga mengatakan jika kecantikan Mei Hwa melebihi kecantikan bunga peoni,” lanjutnya dengan dengusan sebal. “Si brengsek itu bahkan dengan kurang ajarnya membandingkan kecantikan Mei Hwa denganku!” raung Chao Xing dengan emosi meledak-ledak.

“Emosinya sedikit mirip dengan ayahanda,” bisik Jian Renshu yang segera disetujui oleh Jian Qiang, sementara Jian Guang masih sedikit syok melihat sikap adik perempuannya yang jauh dari sikap seorang putri.

“Dia mengatakan jika dibandingkan dengan Mei Hwa, aku ibarat itik buruk rupa,” geram Chao Xing, marah. “Padahal kulitku lebih putih, bibirku lebih merah, hanya saja pakaian dan kulit tanganku jauh lebih kasar dari Mei Hwa yang halus,” katanya sembari menggigit bibir bawahnya. “Zian selalu mengatakan jika aku sangat cantik,” ia menatap Ju Fang lurus. “Zian tidak mungkin membohongiku bukan?” tanyanya serius.

Ju Fang menggelengkan kepala pelan. “Tidak. Tuan Zian tidak berbohong, Nona Muda. Anda sangat cantik, melebihi kecantikan feniks.”

Chao Xing menghela napas kasar, kedua tangannya terkepal erat. “Si Sarjana Lee itu memang bajingan brengsek!” makinya dengan suara bergetar menahan tangis. “Seharusnya aku memotong kemaluannya dan membuatnya menyesali apa yang telah diucapkannya padaku!” raungnya murka.

“Tunjukkan dimana dia tinggal!” sela Jian Qiang tiba-tiba, dengan suara baritone yang mengancam. “Aku yang akan memotong kemaluan pria itu untukmu,” tambahnya membuat Chao Xing mengerjapkan mata dan tersadar jika bukan hanya dia dan Ju Fang saja yang berada di dalam ruangan sederhana itu sore ini.

DayNight
DayNight