Vitamins Blog

Loving Mr. Right – Bab 1. Pertemuan Pertama

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

56 votes, average: 1.00 out of 1 (56 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

10 Mei 2009

Malam ini, untuk yang kesekian kalinya, Anna menatap keluar jendela kaca bus.

Beberapa menit lagi, kendaraan yang ditumpanginya  akan membawa wabita itu pergi dari kota kelahirannya menuju London.

Anna berusaha menahan kesedihan dalam diri. Ia memalingkan wajah sementara tangan kirinya menarik kain biru tua penutup jendela bus.

Tidak ada yang perlu disesali, pikirnya.

Dengan sisa uang yang ada, dia akan menyewa flat murah, mencari pekerjaan dan menetap di London.

Aku pasti bisa melaluinya, pikirnya lagi mencoba untuk optimis.

Beberapa saat kemudian, bus malam pun mulai bergerak, menembus kegelapan jalan raya yang dilaluinya, membawanya pergi dari Carmarthen, menuju London.

Perjalanan itu memakan waktu hampir empat jam, dan saat Anna tiba di London, waktu sudah menunjukkan pukul empat pagi. Gadis remaja itu memutuskan untuk duduk bersandar, sejenak memejamkan mata di halte bus tempatnya turun, menunggu hingga matahari terbit. Dan ketika ia terbangun, waktu sudah menunjukkan pukul tujuh pagi.

Anna pun beranjak sembari menarik koper besar berwarna hitam yang dibawanya. Ia mampir di sebuah kedai makanan untuk membeli sepotong roti isi serta secangkir kopi hangat.

Setelah mendapat serta membayar pesanannya, ia kembali berjalan, mencari taman terdekat untuk menikmati sarapan paginya. Dia mendudukkan diri di sebuah kursi taman di Hyde Park, menikmati sarapannya dalam keheningan yang menyesakkan.

Remaja itu sedikit terisak, matanya memanas saat bayangan masa lalu kembali mengusiknya dengan hebat. Senyum hangat ibunya kembali terbayang dalam pikirannya.

Jika kecelakaan itu tidak terjadi, pasti saat ini dia tengah menikmati sarapan dengan menu sederhana yang disiapkan oleh ibunya. Suasana meja makan keluarganya tidak pernah sepi, baik dalam keadaan susah maupun senang, ayahnya selalu bisa menghangatkan suasana, menularkan tawanya kepada orang-orang di sekitarnya.

Anna menggelengkan kepala dengan keras, lalu menghapus kasar air mata yang mengalir dikedua pipinya.

“Bukan saatnya untuk menangis, Anna!” tegurnya pada dirinya sendiri. “Kau seorang Wilson Seorang Wilson tidak mudah menangis, menyerah dan putus asa! Dan kau sangat beruntung karena bisa memiliki orangtua walau hanya sampai usia remaja.”

Gadis remaja itu berusaha mengingatkan dirinya sendiri dengan sorot mata penuh syukur.

Setelah menghabiskan sarapannya, ia kembali berdiri, berjalan sembari menarik koper hitamnya. Berbekal informasi dari salah satu tetangganya di Carmarthen, Anna berjalan menuju salah satu gedung tua di pinggiran Kota London.

Perlu waktu tiga puluh menit hingga akhirnya ia tiba di depan gedung tua itu.

Anna berdiri tegak, mendongakkan kepala menatap gedung tua berlantai lima di depannya. Gedung itu terlihat kotor, catnya berwarna coklat pudar, tidak terurus dan yang paling mengganggu, gedung itu berada di lingkungan kumuh. Tapi, apalagi yang bisa diharapkannya? Untuk saat ini, hanya tempat inilah yang sepertinya sanggup ia sewa.

Melepas napas panjang, ia kembali berjalan masuk ke dalam gedung. Mrs. Lee mengatakan jika saudari jauhnya yang merupakan pemilik gedung tua ini, tinggal di lantai tiga.

Anna menaiki satu demi satu anak tangga melingkar untuk sampai di lantai tiga. Setelah sampai di lantai yang dituju, ia pun mulai mencari kamar nomor 303.

Gadis remaja itu berdeham, mengatur nada suaranya sebelum mengetuk daun pintu hingga beberapa kali. Anna mengetuk-ngetukkan kakinya ke lantai berkarpet usang di bawahnya, sedikit gusar karena pemilik kamar No. 303 itu tidak kunjung membuka pintu. Anna pun kembali mengetuk, sedikit tidak sabar, hingga akhirnya terdengar teriakan keras dari dalam kamar itu.

“TUNGGU!!!” teriak seorang wanita, terdengar jengah.

Anna mundur selangkah saat pintu di depannya terbuka dengan cepat. Di depannya kini berdiri seorang wanita paruh baya keturunan Cina dengan ekspresi kusut serta rambut yang digulung oleh roll-an. Wanita paruh baya itu mengenakan daster berbahan katun sebatas lutut dengan warna hijau mencolok.

“Siapa kau?” tanyanya galak dengan ekspresi tajam menatap Anna dari atas kepala hingga ujung kaki.

Anna mencoba menarik mulutnya ke atas, berusaha memberikan kesan baik pada wanita yang akan menjadi induk semangnya. “Perkenalkan, saya Anna Wilson,” tukasnya, memperkenalkan diri sembari menjulurkan tangan kanannya.

Wanita paruh baya di depannya hanya mengernyit dalam mendengar penuturan Anna. Ia terlihat enggan untuk menjabat tangan gadis remaja asing di hadapannya.

Anna pun tersenyum maklum, tanpa menunggu lama ia menarik kembali tangannya yang mulai berkeringat dingin.

“Ah!” wanita paruh baya itu terpekik saat mengingat sesuatu. “Kau–Anna dari Wales. Iya, kan?” tanyanya dengan suara cempreng. Anna mengangguk pelan menjawabnya. “Ayo masuk!” tawarnya sopan. Wanita paruh baya itu melangkah mundur, memberi ruang untuk tamunya masuk.

Dengan patuh Anna pun masuk ke dalam flat itu sementara Nyonya rumah menutup pintu lalu berjalan mengekorinya di belakang.

Anna mencoba untuk memasang ekspresi biasa saat bau-bauan aneh menggelitik indra penciumannya. Dengan hati-hati ia meneliti ruang tamu yang juga berfungsi sebagai ruang keluarga milik Mrs. Zhou. Tidak jauh dari tempatnya berdiri, ia melihat sebuah altar dengan sebuah patung Buddha berwarna emas, lengkap dengan sesaji serta dupa yang menyala. Ah, mungkin bau aneh yang dia cium merupakan bau dupa, pikirnya.

“Namaku Lee Wei. Tapi suamiku bermarga Zhou, jadi panggil aku Mrs. Zhou!” terangnya pada Anna yang mengangguk paham. “Meilin- ah, mungkin kau lebih mengenalnya sebagai Mrs. Lee, sudah menceritakan segala sesuatu tentangmu,” tambahnya cepat. “Tragis sekali nasibmu, Nak. Seharusnya kau kuliah dan tinggal dalam kehangatan keluargamu,” katanya lagi, terdengar simpati.

Tangannya terayun, mempersilahkan Anna untuk duduk di sofa tua bercorak bunga-bunga.

“Apa saya boleh menyewa salah satu flat milik Anda?” tanya Anna sembari mendudukkan diri, mencoba mengalihkan pembicaraan. Sungguh, dia tidak mau dikasihani karena menjadi yatim piatu saat berusia delapan belas tahun. Di luar sana, di atas bumi ini, masih banyak anak-anak yang bahkan tidak mengenal siapa orangtua mereka? Bukankah anak-anak seperti itu lebih kasihan lagi?

“Tentu. Tentu,” jawab wanita paruh baya itu dengan senyum terkembang. “Aku akan memberikan harga murah untukmu untuk sewa flat, dan tambahan beberapa ratus poundsterling lagi untuk sewa tempat tidur, peralatan dapur, lemari serta sofa di dalam flat itu.”

“Tidak masalah, asal harganya cocok dengan keuanganku,” ringis Anna.

Wanita paruh baya itu melambaikan telapak tangannya di udara dan berkata meyakinkan, “kau tidak akan rugi. Biaya yang kau bayar jauh lebih murah daripada orang lain yang menyewa di tempat ini. Kau hanya perlu membayar seribu poundsterling tiap bulannya untuk biaya sewa flat. Harga itu sudah termasuk sewa furniture. Bagaimana?”

Anna terdiam, memasang pose berpikir.

“Jangan pikirkan lagi,” ujar Mrs. Zhou. “Kau tidak akan mendapat harga yang lebih bagus daripada penawaranku.”

Ann masih terdiam, menimang-nimang. “Saya akan mengambilnya,” jawab Anna kemudian, sedikit ragu karena tidak menyangka jika biaya sewa flat di London ternyata bisa menguras lebih dari separuh isi dompetnya. Dengan berat hati ia pun menyerahkan uang sebanyak seribu poundsterling dari dalam dompetnya untuk biaya sewa flat selama satu bulan.

Mrs. Zhou tersenyum saat menerima uang yang disodorkan oleh Anna. Ia lalu bangkit berdiri untuk mengambil sebuah kunci dari dalam lemari di samping meja televisi. “Ayo, akan kuperlihatkan flatmu,” ujarnya, terdengar bersemangat. “Aku sudah membersihkan flat itu saat sepupuku mengatakan jika tetangganya akan datang padaku untuk menyewa flat. Aku juga sudah mengganti seprai, selimut dan sarung bantal agar nyaman kau pakai. Jendela kamarmu juga bisa dibuka, jadi kau tidak perlu takut pengap.” Jelasnya panjang lebar sembari melangkah dengan langkah berat menuju lantai lima.

Hening.

“Ah, sepertinya aku harus diet lagi,” ia mengeluh dengan helaan napas panjang. “Naik ke lantai lima saja nyaris membuatku sesak napas,” tambahnya, melirik sekilas lewat bahunya pada Anna yang berjalan di belakangnya. “Ini dia flatmu,” ujarnya saat berdiri di depan kamar bernomor 509. Mrs. Zhao memasukkan anak kunci di tangannya pada lubang kunci, memutarnya pelan untuk membuka kunci.

Melangkah pelan, Mrs. Zhao masuk ke dalam ruangan itu. Tangannya meraba dinding kanannya, menekan saklar untuk menyalakan lampu. “Tidak buruk, kan?!” katanya, terdengar bangga.

Anna berjalan melewati wanita gemuk itu. Matanya menyisir seluruh ruangan kecil itu. Flat itu terdiri dari satu ruangan yang berfungsi sebagai kamar, ruang tamu, serta dapur, sementara ruangan lainnya berfungsi sebagai kamar mandi.

“Ah, aku lupa. Biaya gas, listrik, tv kabel, internet menjadi tanggunganmu sendiri. Kau mengerti?”

Anna mengangguk pelan.

“Bagus,” ujar Mrs. Zhao senang. “Sebaiknya aku meninggalkanmu agar kau bisa istirahat. Semoga kau betah tinggal disini,” tambahnya cepat sebelum berbalik pergi meninggalkan Anna seorang diri di dalam flatnya.

Ruangan sempit itu seketika hening setelah kepergian Mrs. Zhao. Anna melempar tatapannya ke seluruh penjuru ruangan. Setidaknya tembok ruangan ini dilapisi oleh wallpaper, pikirnya, yah, walau dengan warna yang tidak sesuai dengan kepribadiannya yang sedikit tomboy. Wallpaper itu berwarna merah muda, warna yang tidak terlalu disukainya.

Setelah membongkar semua barang bawaannya, Anna pun segera mengganti pakaian lalu turun untuk membeli bahan makanan. Ia membeli semua bahan makanannya di toko terdekat, lalu mampir disebuah kios penjual loker koran di sudut jalan yang dilaluinya.

Hah, hari ini juga dia harus mencari pekerjaan untuk bisa bertahan di kota ini.

.

.

.

20 Juli 2012

Musim-musim pun berganti dengan cepat setelahnya. Musim panas tahun ini di London terasa lebih panas dari pada tahun-tahun sebelumnya. Anna harus bertahan dengan teriknya sinar matahari saat ia berjalan keluar dari gedung tempatnya tinggal menuju tempat kerjanya yang pertama.

Selama tiga tahun menetap di London, Anna bekerja di tiga tempat yang berbeda setiap harinya. Pukul sepuluh pagi hingga pukul dua siang, dia bekerja menjadi kasir di sebuah restoran makanan cepat saji di pusat Kota London. Pukul tiga sore hingga pukul delapan malam dia bekerja di sebuah restoran masakan Cina sebagai buruh cuci piring, sedangkan pukul sepuluh malam hingga pukul dua dini hari dia bekerja menjadi pelayan di sebuah klub malam murahan di pinggiran kota.

Semua itu dilakukannya demi mewujudkan keinginannya untuk membeli kembali tanah serta rumah pertanian miliknya di Wales. Anna tahu, impiannya itu masih sangat jauh, dan semakin sulit jika ternyata pihak bank sudah menjualnya ke pihak lain. Namun dengan keyakinan kuat, dia percaya jika suatu hari impiannya itu akan menjadi kenyataan.

Malam pun tiba dengan cepat. Anna berjalan terseok-seok menuju tempat kerja ketiganya. Hampir saja dia jatuh mencium trotoar jika saja sepasang tangan kekar tidak menahan bobot tubuhnya. “Kau baik-baik saja?” tanya pria asing yang menolongnya.

Anna mengernyit, saat rasa sakit menyerang kepalanya dengan hebat. Susah payah ia berusaha untuk membuka matanya. Wanita muda itu menggeleng pelan, mengerang, berharap rasa sakitnya segera hilang. “Kepalaku sakit,” akunya kemudian. “Selebihnya aku baik-baik saja,” tambahnya dengan nada kurang meyakinkan.

Pria yang menolongnya itu kini menatapnya dengan sebelah alis terangkat, jelas tak percaya pada wanita yang hampir pingsan di depan matanya. “Dimana rumahmu? Aku bisa mengantarmu pulang.” Tawarnya, ramah. “Tenang, aku bukan penjahat,” tambahnya cepat saat Anna menatapnya dengan ekspresi menyelidik.

“Aku baik-baik saja,” tegas Anna. “Terima kasih untuk tawaran serta bantuanmu tadi. Tempat tujuanku sudah dekat, kok.”

“Kau yakin tidak butuh bantuanku?”

Anna menggelengkan kepala dan tersenyum lemah. Wanita itu melambaikan tangannya, mengucapkan terima kasih untuk kedua kalinya sebelum berbalik pergi menuju klub tempatnya bekerja.

Di belakang punggungnya, Sam menatap punggung Anna lurus. Keras kepala, pikirnya tidak habis mengerti. Dari cara jalannya saja dia bisa tahu jika wanita muda yang ditolongnya itu jauh dari kata baik-baik saja.

Sam menghela napas panjang, sementara jemarinya menyisir rambut pirangnya. Ia tahu jika wanita tadi bukan tanggung jawabnya. Tapi bagaimana jika wanita itu pingsan dan ditemukan oleh orang jahat? Sam menggelengkan kepala pelan, dan dengan langkah mantap ia membuntuti Anna malam ini.

Sam sedikit terkejut saat melihat wanita yang ditolongnya tadi masuk ke dalam pintu samping klub. “Apa dia bekerja disini?” gumamnya, sementara matanya menatap papan nama klub yang tergantung di atas pintu masuk. Sam mengangkat bahunya cuek, lalu dengan langkah ringan ia pun berjalan masuk ke dalam klub malam itu.

Suara musik keras yang menghentak, bau parfum murahan, bau asap rokok bercampur menjadi satu di dalam ruangan temaram itu. Di dalam ruangan itu hanya ada sebuah lampu disko saja yang menyala, berwarna-warni, berputar-putar, menemani pengunjung yang menari di atas lantai dansa.

Sam memilih sebuah kursi kosong di sudut meja bar. Melambaikan tangan ia memanggil seorang pria yang tengah berdiri di belakang meja bar, sementara tangannya sibuk mengeringkan gelas-gelas minuman. “Segelas vodka,” ujar Sam saat bartender berjalan menghampirinya. Sang bartender mengangguk pelan, menuangkan vodka ke dalam sebuah gelas kecil lalu menyodorkannya pada Sam.

Wajah Sam kembali mengernyit saat rasa vodka murahan itu menyapa tenggorokannya. Demi, Tuhan, untuk apa juga di masuk ke dalam klub murahan ini? Kenapa dia harus repot-repot memastikan wanita yang ditolongnya tadi benar-benar baik-baik saja? Sial! Sepertinya ajaran mendiang ibunya untuk menolong sesama telah tertanam di dalam otaknya dengan kuat.

Sam memutar kursi bar yang didudukinya, menatap tajam ke arah sekelompok pengunjung mabuk yang menari konyol di atas lantai dansa. Pandangannya lalu beralih ke sudut ruangan dimana beberapa pasangan bercumbu mesra.

Pria itu menggelengkan kepala pelan. Mungkin seharusnya dia mulai mencari pacar agar bisa melakukan hal yang sama. Sejujurnya, ia bisa dengan mudah menggaet wanita yang cukup disukainya, namun bayang-bayang wanita yang menjadi cinta pertamanya selalu mengganggu hubungannya dengan wanita lain. Sungguh tidak sepantasnya jika kau membayangkan bercinta dengan wanita lain saat kau tengah bercinta dengan kekasihmu. Iya, kan? Hal itulah yang selalu dialaminya selama ini. Bayangan wajah Pia Rodriguez selalu mengikutinya kemanapun dia pergi.

.

.

.

Anna menarik napas panjang saat rasa sakit itu terus berdenyut menyerang kepalanya dengan hebat. Ia merogoh ke dalam tas tangannya, mengambil sebuah aspirin dari dalamnya. Dengan bantuan air putih ia menelan aspirin itu dalam satu teguk, berharap rasa sakitnya sedikit bersahabat, setidaknya hingga pekerjaannya selesai malam ini.

Pakaian super pendek dan ketat tidak membantunya sama sekali. Tubuhnya seolah tercekik oleh pakaian seragam ketat berbahan elastis yang memeluk tubuhnya lekat. “Kau akan baik-baik saja, Anna. Kau akan baik-baik saja!” gumamnya, memberi semangat pada dirinya sendiri.

Dengan langkah panjang ia pun berjalan keluar dari ruang karyawan. Sesekali dia berhenti, menyandarkan tubuhnya pada tembok saat kepalanya kembali berdenyut. “Ayolah…! Kau pasti bisa bertahan!” gumanya lagi.

“Anna, kau baik-baik saja?” tanya Peter dari ujung lorong. Pria tinggi, berkulit putih itu menatap Anna dengan bola mata besarnya yang terlihat cemas.

“Aku baik-baik saja,” sahut Anna sembari menekuk mulutnya ke atas.

“Kau yakin?” tanya Peter lagi. Pria berusia dua puluh enam tahun itu terlihat bingung, ia ingin menolong Anna, tapi disisi lain ia harus mengantarkan minuman pesanan tamu.

Anna mengangguk pelan, melambaikan tangan menyuruh Peter untuk menyelesaikan pekerjaannya. Anna kembali menegakkan tubuhnya selepas kepergian Peter. Memasang topeng tangguh, ia pun memulai pekerjaannya yang terasa lebih lama dari hari biasanya.

Dari tempat duduknya, Sam terus mengamati gerak-gerik Anna. Terkadang dia tersenyum simpul saat dengan lihai Anna mengelak dan melindungi dirinya dari tangan-tangan kurang ajar yang ingin menyentuh tubuhnya.

Ingin sekali Sam bertepuk tangan, karena wanita yang ditolongnya itu mampu membawa diri dan mengontrol emosinya walau dalam keadaan tidak sehat. “Hebat.” Pujinya penuh kekaguman. Dan sejak hari itu, hampir tiap hari Sam datang ke klub murahan itu untuk sekedar melihat Anna. Sam tidak tahu, tapi melihat Anna, ia merasa seperti melihat sosok kakak laki-lakinya dalam versi wanita; tangguh, keras kepala dan angkuh.

.

.

.

Sampai jumpa dibab selanjutnya! ^^

18 Komentar

  1. alivatukaruzzaman menulis:

    Wahhh,semangatt nulisnyaaa,baguss ceitanyaa.

  2. Lanjut!

  3. ikohJaejoong menulis:

    Cerita baru…saia,suka saia suka :tepuk2tangan

  4. Gak sabar menanti
    Semangat yaaa

  5. Lanjuutkaan .. ??
    Gk sabar nunggu next part

  6. D tunggu lanjutan nyaaaa :MAWARR :MAWARR

  7. menjelanghilang menulis:

    Keren

  8. :MAWARR :MAWARR :MAWARR

  9. ReniPuji_14 menulis:

    menarik heheh

  10. elahraswati menulis:

    Wah…baru ketemu aja sam udah jadi stalkernya anna
    Apa dia suka pd pandangan pertama?

  11. :MAWARR awal cerita yang menari….

  12. Wkwkwk, salker tak
    Seru nih

    1. Seru bangeett

  13. fitriartemisia menulis:

    whoaaa, Sam terpesona sama tangguhnya Anna hohoho

    1. ???

  14. Hsuka bangeeettt

  15. Ditunggu kelanjutannyaa

  16. November in Love menulis:

    Yuhuu…baru baca nih sist…
    Di tunggu bab selanjutnya ya :tebarbunga