Vitamins Blog

CHAO XING (朝兴) – Bab 6. Perpisahan

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

384 votes, average: 1.00 out of 1 (384 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

***

Author Playlist : Ambrose Hsu – Xing Fu De Shun Jian

Enjoy! ^-^

***

“Apa pestamu kemarin menyenangkan?” tanya Chao Xing dengan tatapan sinis pada Jian Gui. Dengan gerakan perlahan gadis remaja berusia lima belas tahun itu mengalihkan pandangannya, menatap satu per satu wajah saudaranya yang terlihat salah tingkah saat ini. “Pasti menyenangkan sekali,” ujarnya penuh penekanan sementara Jian Gui hanya bisa berdeham untuk menekan rasa bersalahnya. “Kembang apinya bagus sekali, aku bahkan bisa mendengar suara musiknya yang terus mengalun hingga lepas dini hari,” cibirnya.

Chao Xing terdiam sejenak, memasang ekspresi datar. “Melihat sikap kalian semua, kalian pasti tahu jika Yang Mulia Raja tidak mengundangku, kan?” tanyanya tajam membuat ketujuh pangeran itu kembali bergerak dengan gelisah.

Gadis remaja itu menghela napas kasar, lalu mendudukkan diri di atas kursi batu di dalam gazebo. Dengan gerakan anggun dia mulai memetik senar kecapi. Irama kecapi yang dimainkan olehnya terdengar lembut, begitu rendah menggambarkan kesedihan hatinya saat ini.

“Maafkan aku!” Seketika Jian Gui menghentikan permainan kecapi Chao Xing. Ia mendudukkan diri di atas kursi batu di samping gadis remaja itu, digenggamnya tangan Chao Xing erat, ditatapnya lurus kedua mata adiknya yang terlihat berkaca-kaca. “Aku tidak memiliki kekuatan apa pun untuk menentangnya,” ujarnya dengan nada penuh penyesalan. “Statusku memang seorang putera mahkota, namun pada kenyataannya aku tidak berbeda dengan sebuah boneka yang diatur oleh pemiliknya—ayahanda kita.”

Tubuh Chao Xing bergetar, kepalanya menunduk dalam. Jauh dalam hatinya ia tahu jika semua ini merupakan perintah raja. Ia tidak bisa menyalahkan siapa pun atas ketidakberuntungannya ini.

Chao Xing menghela napas panjang lalu merogoh hanfu-nya untuk mengeluarkan sebuah saputangan sutera bersulam emas dengan motif naga dan ukiran tulisan nama putera mahkota. “Selamat ulang tahun!” ujarnya dengan senyum rapuh yang terlihat mengenaskan. “Maaf karena aku tidak bisa memberimu hadiah mewah,” tambahnya lirih. Air matanya pun jatuh, membuat hati Jian Gui luluh lantak oleh rasa bersalah.

Pangeran Pertama dari Kerajaan Angin itu merengkuh tubuh adiknya yang bergetar hebat lalu menangis dalam pelukannya. “Maafkan aku!” pintanya lembut seraya membelai rambut hitam adiknya. “Tolong maafkan aku!” pintanya lagi, lirih.

***

“Jadi, kalian semua akan pergi keluar istana untuk waktu lama?” Chao Xing meletakkan sumpit di tangannya. Napsu makannya seketika lenyap saat mendengar berita yang kembali membuatnya merasa kehilangan.

Jian Guang meletakkan sebuah potongan daging ke atas mangkuk nasi Chao Xing dan berkata dengan lembut, “Aku, Qiang dan Renshu akan kembali satu tahun atau dua tahun lagi,” hiburnya sama sekali tidak membuat Chao Xing tenang.

“Keadaan Negara sedang genting, karenanya ayahanda memerintahkan kami untuk mengumpulkan informasi di wilayah-wilayah yang sudah ditaklukkan oleh Kerajaan Api,” sambung Renshu. “Putera Mahkota juga ditugaskan untuk menjaga perbatasan utara, karena banyaknya pengungsi dari Kerajaan Air yang berniat menerobos masuk dan mencari perlindungan pada Kerajaan Angin.”

“Apa kita tidak bisa mengizinkan mereka untuk masuk?” tanya Chao Xing dengan kedua alis bertaut. “Mereka merasa tidak aman di negaranya, karenanya mereka mencari perlindungan di wilayah Kerajaan Angin, apa itu salah?”

Jian Guang menggelengkan kepala pelan, lalu menjawab dengan nada bijak. “Tidak salah namun akan jadi masalah jika sisa anggota Kerajaan Air ikut masuk ke dalam wilayah kita.” Ia terdiam sejenak, tersenyum samar karena bisa membahas masalah sepelik ini dengan Chao Xing dengan bebasnya. “Bagaimana jika Kaisar Kerajaan Api menjadikan hal itu sebagai alasan untuk menyerang kita?”

Chao Xing tertegun, terlihat berpikir keras. “Kaisar dari Kerajaan Api terdengar sangat jahat dan ambisius,” katanya dengan kebencian yang terselip dalam nada bicaranya. “Lalu, apa aman jika kalian semua pergi dari istana?” Ia terdiam sejenak. “Maksudku, bagaimana jika musuh mengetahui jati diri kalian? Dan apa tidak apa-apa jika Pangeran Keenam dan Ketujuh masuk ke sekolah militer dalam situasi segenting ini?” tanyanya beruntun dengan nada khawatir.

“Ayahanda Raja sudah memikirkan masalah ini dengan baik,” timpal Jian Ying tenang.

“Lalu, apa kau juga harus ikut dengan Putera Mahkota, Kakak Kelima?” tanya Chao Xing. Ia menunduk, menatap jemarinya yang saling bertaut di atas pangkuannya. “Lalu siapa yang akan menemaniku bermain?” tanyanya parau. “Puteri yang lain tidak ada yang mau bermain denganku, ibu mereka melarang mereka untuk bermain denganku.”

“Kenapa kau harus sedih?” tanya Qiang seraya menepuk bahu Chao Xing. “Kami akan segera kembali untuk bermain denganmu,” hiburnya.

“Berjanjilah kalian akan kembali dengan selamat,” pinta Chao Xing lembut. “Aku menyayangi kalian semua,” lanjutnya dengan sebulir air mata turun menyertainya.

***

Chao Xing tertegun lama, tidak berkedip saat menatap kosong sebuah lahan di hadapannya. Gadis remaja itu berjalan berkeliling, memasang ekspresi serius sebelum akhirnya kembali berdiri dengan kening ditekuk dalam.

Kemarin pohonnya masih ada di tempat ini, batinnya dengan kening ditekuk dalam. “Kenapa pohonnya menghilang?” tanyanya lirih nyaris berbisik. Chao Xing berjalan pelan, membungkuk untuk mengamati tanah tempat pohon itu berdiri dengan angkuh hingga kemarin. Ia kembali menegakkan tubuhnya, bahunya merosot. Di atas tanah itu sama sekali tidak ada jejak apa pun yang memperlihatkan jika pohon tinggi itu pernah berdiri di sana.

Chao Xing menepuk-nepuk pipinya agak keras, berusaha untuk mencari tahu apa ia tengah bermimpi saat ini namun rasa sakit yang menyengat itu membuatnya sadar jika apa yang dialaminya saat ini bukanlah sebuah mimpi. “Dayang?!” panggilnya pada seorang dayang muda yang kebetulan melintas di taman itu. “Kemana pohon di tempat ini?” tanya Chao Xing seraya menunjuk ke titik dimana pohon itu pernah tumbuh.

Dayang muda itu membungkuk untuk memberi hormat dan menjawab dengan nada lembut, “Mohon ampun, Tuan Puteri, namun tidak ada pohon yang pernah tumbuh di sana,” jawabnya membuat Chao Xing terbelalak. Semua orang di dalam istana telah diberi perintah dengan tegas jika di taman ini tidak pernah tumbuh pohon apa pun, dan mereka tidak berani bertanya banyak karena perintah raja adalah mutlak.

“Kau pikir aku gila?” bentaknya marah. Chao Xing berdesis, berkacak pinggang lalu menarik pergelangan tangan dayang itu untuk berjalan dengannya. “Pohon itu kemarin masih berdiri kokoh di tempat ini,” terangnya dengan gigi gemeretak, menahan kesal. “Kemana pohon itu?” tanyanya gemas.

“Pohon apa yang kau maksud Chao Xing?” pertanyaan yang dilontarkan dengan nada penuh wibawa itu membuat tubuh Chao Xing seketika gemetar tanpa alasan. Seolah tahu siapa pemilik suara, Chao Xing dengan gerakan perlahan membalikkan badan, sementara dayang di sebelahnya sudah membungkukkan badan dalam untuk memberi hormat dengan takzim.

“Chao Xing memberi hormat pada Yang Mulia. Yang Mulia panjang umur seribu tahun!”

Raja melambaikan tangannya, mengusir dayang yang bediri di samping Chao Xing untuk pergi sementara beberapa kasim serta pengawal yang menyertai raja berdiri di belakang, menjaga jarak sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh rajanya. “Apa yang kau cari?” tanyanya tanpa mengalihkan tatapannya dari sosok Chao Xing yang masih membungkuk memberi hormat.

Chao Xing menegakkan tubuhnya dan menjawab serak. “Tidak ada, Yang Mulia. Hamba permisi!” ucapnya sebelum kembali memberi hormat untuk berbalik pergi namun langkahnya terhenti saat Jian Guo berkata dengan nada tegas, “Aku belum mengizinkanmu untuk pergi.”

Gadis remaja itu membatu di tempat. Bingung dengan maksud ucapan raja. Bukankah raja tidak menyukainya? Lalu kenapa dia malah memintanya untuk tetap tinggal?

“Kenapa kau tidak mengantar kepergian kakak-kakakmu?” tanya Jian Guo kemudian tanpa ekspresi. “Kudengar kau cukup dekat dengan mereka,” tambahnya tajam.

Chao Xing menggigit bibir bawahnya, niatnya datang ke tempat ini pagi ini bukan hanya untuk melakukan rutinitas paginya, namun juga untuk mengantar kepergian ketujuh kakaknya, karena ia yakin jika raja tidak mungkin memberinya izin untuk ikut mengantar kepergian ketujuh pangeran itu. Perlahan ia mendongak, balas menatap lurus kedua mata ayahnya untuk kali pertama. “Yang Mulia, apa hamba boleh mengantar kepergian mereka?” ia balik bertanya dengan suara bergetar, menahan puluhan emosi yang berkecamuk di dalam dirinya saat ini.

“Hm… kau boleh mengantar kepergian mereka,” sahut raja datar sebelum berbalik dan berjalan pergi.

***

Matahari baru saja terbit saat ketujuh pangeran menaiki kuda mereka masing-masing. Ketujuhnya sudah memberikan salam penghormatan, siap untuk pergi saat Chao Xing berlari, begitu tergesa dengan wajah berderai air mata.

Jian Guang yang melihatnya pertama kali kembali turun dari kudanya, lalu mencondongkan tubuhnya untuk menerima pelukan erat dari Chao Xing. “Berjanjilah kau akan pulang dengan selamat!” pinta Chao Xing dalam pelukannya.

Jian Guang tersenyum lalu menjawab tidak kalah lembut, “Bukankah kau sudah memintaku berjanji untuk hal yang sama kemarin?” guraunya membuat Chao Xing mencebik. “Baiklah, baiklah… aku berjanji akan pulang dengan selamat,” ujarnya membuat Chao Xing mengangguk puas. Jian Guang pun melepas pelukannya, setengah tidak rela saat adiknya berjalan menuju Jian Gui dan melakukan hal yang sama.

“Berhentilah menangis!” ujar Jian Gui seraya menghapus air mata di kedua pipi adiknya. “Kau terlihat jelek saat menangis,” tambahnya membuat Chao Xing mengangguk pelan. “Belajarlah dengan rajin, jangan terus lari dari Dayang An, apa kau mengerti?”

Chao Xing kembali mengangguk lemah.

“Dan tolong jaga ibuku,” pinta Jian Gui di telinga Chao Xing.

“Aku akan menjaganya,” jawab Chao Xing. “Aku akan menjaganya dengan nyawaku.”

“Bagaimana bisa kau menjaga Permaisuri jika pekerjaanmu hanya menangis dari waktu ke waktu?” sindir Renshu. Namun Pangeran Keempat itu kembali dibuat kaget karena untuk pertama kalinya Chao Xing memeluknya erat. “Hei, jangan membuatku takut!” ujarnya salah tingkah. “Lihat, bulu kudukku meremang karena ulahmu yang tidak biasa ini!”

“Jaga dirimu baik-baik,” ujar Chao Xing mengabaikan protes Renshu. “Kau harus makan dengan baik, tidur cukup dan kau harus ekstra hati-hati, mengerti?” ia mendongak, menatap lurus wajah Renshu yang kini menyunggingkan sebuah senyum tulus. “Jangan membuatku khawatir.”

“Aku mengerti,” balas Renshu seraya mengacak pelan rambut Chao Xing. “Dan kau juga harus bisa menjaga dirimu,” tukasnya. “Jangan membuat kami semua khawatir, mengerti?”

“Aku pasti bisa berubah,” ujar Chao Xing. “Sedikit,” tambahnya cepat dengan senyum jail.

“Sampai kapan kau akan memeluknya?” protes Qiang jengah. “Apa kau tidak akan memberi pelukan pada kami?” lanjutnya seraya menunjuk ketiga saudaranya yang lain.

Chao Xing tersenyum, berlari lalu merentangkan tangan untuk memeluk keempat saudaranya yang lain. “Aku akan merindukan kalian semua,” bisiknya membuat keempat pangeran itu senang. “Aku akan menunggu kalian, karenanya kembalilah dengan cepat,” tambahnya serak.

11 Komentar

  1. :TERHARUBIRU

  2. sriendahsari menulis:

    Hmmm jadi baper dehh???

  3. Syukur d akhirnya Kaisar mau juga menerima Chao XIng meskipun masih ada rasa gengsi sedikit

  4. Walaah baru aja sodara ini akrab uda dipisahin :dragonbaper

  5. :TERHARUBIRU :PEDIHH

  6. Masih rada sebel sama rajanya

  7. :PATAHHATI

  8. fitriartemisia menulis:

    aku terharuuuuuuuuu huhuhuhu
    ditinggal semua sama kakak2 kece nyaaa :PATAHHATI

  9. :ASAHPISAU2

  10. :ASAHPISAU2 :TERHARUBIRU

  11. Ditunggu kelanjutannyaa