Vitamins Blog

Helena – Bab 4 ; Senandung Pilu

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

420 votes, average: 1.00 out of 1 (420 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Author Playlist : Martina McBride – Concrete Angel

Enjoy!

***

Helena meringkuk di atas ranjang hangatnya yang nyaman, bergelung layaknya seorang bayi polos rapuh yang masih belum mengerti arti dunia. Lama ia memejamkan mata, sementara di luar, hujan salju masih turun dengan lebatnya, menyebarkan udara dingin yang membekukan hingga ke tulang.

Ruangan kecil minim cahaya itu dikuasai keheningan berat yang menyesakkan, namun entah kenapa Helena justru sangat menikmatinya. Ia menikmati kesendiriannya. Ia menikmati kesepiannya. Selalu.

“Ibu?” panggilnya lirih, tanpa emosi. Lidahnya tergelitik, merasa terganggu saat kata itu meluncur dari tenggorokannya. Sebuah kata sakti yang selama ini sangat jarang diucapkannya. Sebuah kata yang seringkali mengirimkan gelombang ketakutan di dalam aliran darahnya.

Kenapa dia harus kembali datang ke dalam hidupku? Tanyanya di dalam hati.

Perlahan kelopak matanya kembali terbuka, menampakkan iris hijau indah yang kini kembali terluka. Luka yang disebabkan oleh kenangan-kenangan menyakitkan yang ditorehkan oleh seseorang yang telah melahirkannya ke dunia.

Helena tahu jika kelahirannya tidak diinginkan. Namun bukankah hal itu juga bukan keinginannya? Bukankah seorang anak tidak bisa memilih orangtuanya? Lalu kenapa ibunya begitu membencinya hanya karena Helena terlahir akibat ulah bejad pria brengsek yang telah memperkosanya?

Karena ulah ayahmu aku menderita seumur hidupku!!!

Melihatmu aku seperti melihat bajingan bejad itu!!!

Aku membencimu!!!

Helena tersentak bangun saat suara-suara dari masa lalunya itu kembali datang menghantuinya. Dulu ibunya selalu mengatakan hal itu padanya. Terus berulang-ulang setiap kali dia marah hingga Helena merasa lelah.

Terkadang ia berharap jika ia tidak dilahirkan di dunia. Untuk apa? Tanyanya di dalam hati. Untuk apa ia hidup jika hanya untuk menjadi pelampiasan kemarahan dan rasa benci sosok yang seharusnya menyayanginya?

Helena menghela napas panjang.

Lelah.

Ia benar-benar merasa lelah; lelah oleh rasa benci yang diperlihatkan oleh ibu kandungnya, dan kini ia harus kembali berkompromi dengan masa lalunya karena ibunya kembali datang dalam kehidupannya hanya untuk mengambil seberkas sinar rapuh yang selama ini telah dijaga Helena agar tetap menyala.

Mungkin kebencian ibunya akan hilang dengan kematiannya. Helena tersenyum dalam kesendiriannya. Benar. Mungkin ibunya hanya akan merasa puas saat melihat anak dari pria yang paling dibencinya itu mati.

***

Helena hampir saja membanting pintu apartemennya saat melihat sosok ayah tirinya berdiri di sana dengan senyum lebarnya.

Demi Tuhan, apa yang diinginkan orang ini di depan pintu apartemenku sepagi ini? Keluh Helena di dalam hati.

Wanita itu sama sekali tidak memperlihatkan sikap ramah, sebaliknya ia menyambut pria itu dengan sikap tidak bersahabat. “Apa yang anda inginkan?” tanyanya tanpa ekspresi, namun Andrew sepertinya sama sekali tidak terganggu.

Pria itu masih tersenyum dan menjawab dengan suara bersahabat, “Ibumu memintaku untuk menjemputmu.”

Satu alis Helena terangkat. Ia mendengus pelan, mencemooh maksud kedatangan Andrew yang terdengar menggelikan. “Tolong jangan katakan jika ibuku tengah mengundangku untuk sarapan bersama,” ujarnya sembari mengibaskan telapak tangannya ke udara.

Senyum Andrew semakin lebar, membuat Helena semakin muak karenanya. “Aku tidak bisa,” tolaknya tajam. “Aku memiliki banyak pekerjaan,” lanjutnya sementara tangannya sibuk mengunci pintu apartemennya. Helena kembali berbalik, menatap lurus pria yang kini memasang ekspresi memohon. “Aku tidak mau duduk satu meja makan dengannya,” tukasnya ketir. Helena menggelengkan kepala pelan. “Tolong katakan padanya; aku sudah sarapan, dan aku banyak pekerjaan. Jadi kusarankan sebaiknya kalian pulang dan mengubur dalam keinginan kalian untuk menjadi bagian dari keluarga Smith!”

“Tolong jangan menyulitkan keluargamu sendiri, Helena!” balas Andrew cepat membuat putri tirinya itu menatapnya tak percaya. “Kami akan kesulitan jika kau menolak lamaran Tuan Smith,” tambahnya tanpa bisa menatap wajah Helena.

Helena menyempitkan mata. “Apa maksudmu?” tanyanya tajam. “Apa maksud ucapanmu?” ulangnya seraya mencengkram kerah kemeja Andrew membuat pria paruh baya itu terbelalak, sangat terkejut akan apa yang tengah dilakukan oleh Helena saat ini.

“Pantas saja ibumu begitu membencimu,” desis Andrew membuat amarah Helena meletup-letup semakin hebat. “Kau bukan hanya tidak tahu terima kasih tapi juga sangat barbar!” hinanya tajam.

Namun bukan Helena jika ia tidak bisa membalas penghinaan itu. Wanita itu memiringkan kepala ke satu sisi, sudut bibirnya ditarik ke atas, sangat tipis hingga Andrew merasa tidak nyaman karenanya. “Barbar katamu?” beonya menusuk. “Benar, aku memang barbar,” ujarnya membenarkan, “kedua tanganku sangat gatal,” bisiknya lirih penuh ancaman. “Tanganku sangat gatal ingin menghajarmu!” ancamnya membuat Andrew merinding ngeri.

Bulu kuduk pria itu berdiri seketika, ketakutan menguasainya. Ia tahu jika Helena sangat serius dengan ucapannya, dan jujur saja hal itu membuatnya takut, terlebih saat ia mengingat apa yang dikatakan istrinya mengenai putri tirinya ini—Helena sangat nakal, sulit dikendalikan dan tipe anak pembangkang, karenanya Rowena memutuskan untuk memberikan hak asuh putrinya itu pada Negara.

Ah, Andrew merasa bersyukur kepada Tuhan karena Rowena melakukan hal yang tepat dengan mengirim Helena ke panti asuhan negara.

“Tolong temui ibumu untuk kali ini saja!” Andrew mengubah strategi. Ia tidak akan segan-segan untuk memelas jika hal itu bisa meluluhkan hati Helena. Jika bukan karena ia begitu membutuhkan persetujuan Helena, tentu ia tidak akan mau melakukan hal serendah ini. “Aku akan dalam kesulitan besar jika aku tidak berhasil membawamu bersamaku,” cicitnya membuat Helena melepas cengkraman pada kerah kemeja kotak-kotak pria itu, lalu mundur satu langkah tanpa memutus tatapan tajamnya. “Kumohon…!”

***

Dan Helena tidak mengerti kenapa ia bisa begitu saja mengabulkan pria asing yang mengaku sebagai ayah tirinya itu. Mungkin karena sosok pria itu mirip dengan dosen baik hati yang selalu membantunya saat ia kuliah dulu. Ah, entahlah, Helena tidak tahu.

Helena menekuk wajahnya, sama sekali tidak tersentuh dengan sikap ramah yang tengah diperlihatkan oleh ibunya saat ini. Helena menekan keinginannya untuk mengedarkan tatapannya ke segala penjuru restoran mewah di hotel tempatnya berada saat ini. Ia sama sekali tidak menyangka jika ibunya kaya raya.

“Kau heran kenapa kami bisa menginap di tempat berkelas seperti ini?” Rowena tersenyum, membuat Helena semakin menyempitkan matanya penuh antipasti. “James yang membayar semua tagihannya,” terangnya dengan nada bangga yang terselip di dalam suaranya.

Andrew menganggukkan kepala, ikut tersenyum senang saat istrinya menyebut nama pria yang kini berada di daftar kedua orang yang paling dibenci Helena setelah ibunya. “Tuan Smith sangat baik hati,” puji Andrew membuat Helena semakin muak.

“Kita langsung pada pokok permasalahan,” potong Helena setelah memutar kedua bola matanya, bosan. “Aku tegaskan sekali lagi jika aku tidak akan menikah dengan James. Titik!” serunya membuat acara makan Rowena terhenti seketika.

Raut ramah Rowena menguap, digantikan oleh kebencian yang sama sekali tidak disembunyikannya. Wanita itu mengacungkan pisau makan yang tengah digenggamnya ke depan wajah Helena, ia mendesis, dan berkata dengan marah, “Jangan main-main!!!” desisnya penuh ancaman sementara Helena hanya mengangkat bahunya ringan.

“Apa aku terlihat sedang bermain-main?” balasnya santai. Helena tersenyum tipis. Rasanya sangat bahagia saat ia bisa melihat kemarahan dan kejengkelan pada ekspresi ibu kandungnya saat ini. “Kusarankan agar kalian mengubur keinginan konyol kalian untuk memiliki menantu seorang James Smith!” ujarnya mencemooh.

Helena menghela napas panjang, menekuri kuku-kuku jari tangannya yang dipoles warna peach lembut. “Dia pasti sedang mabuk saat datang untuk melamarku pada kalian,” katanya memancing amarah ibunya.

“Aku tidak peduli!!!” Rowena menggebrak meja dengan keras, membuat ketiganya mendadak menjadi pusat perhatian di dalam restoran mewah itu. “Kau akan menikah dengannya, aku bahkan tidak segan-segan untuk mengikatmu jika hal itu bisa menyeretmu ke depan altar untuk menikah dengan James.”

“Kau harus menyeretku dalam keadaan mati untuk itu,” balas Helena dengan ketenangan yang bahkan mengejutkannya. Ia tidak tahu darimana asal ketenangan itu berada hingga ia bisa meladeni amarah ibunya dengan kepala dingin sementara lengan Andrew memeluk bahu Rowena untuk menenangkannya.

Namun bukan Rowena jika dia bisa ditenangkan dengan begitu mudahnya. “Perusahaan ayah tirimu nyaris bangkrut dan hanya James yang bisa menyelamatkannya,” jelasnya kemudian membuat Helena nyaris tergelak keras karenanya.

“James sangat baik hati untuk memberi pinjaman tanpa bunga pada ayahmu,” tambah wanita paruh baya itu dengan suara bergetar karena marah. “Ia bahkan sama sekali tidak keberatan jika ayahmu tidak mengembalikan pinjaman itu hanya dengan syarat kau bersedia menikah dengannya.”

“Kau menjualku,” tukas Helena dingin, tanpa ekspresi. Hatinya kembali berdenyut sakit oleh penghinaan yang tengah dilemparkan oleh ibu kandungnya saat ini. “Demi uang kalian menjualku?” lanjutnya lirih.

“Helena, demi Tu—”

“Sayang,” potong Andrew cepat. Ia kembali meremas bahu Rowena, berusaha untuk menenangkan dan membuat istrinya itu untuk menurunkan nada suarnya karena mereka kembali menjadi pusat perhatian saat ini. “Mungkin kita harus menjelaskannya pada Helena secara detail, jangan membuatnya mengambil kesimpulan yang salah,” pintanya lembut.

Namun Helena tidak akan kembali tertipu. Cukup, tegasnya di dalam hati. Ia tidak akan mau menjadi budak pelampiasan amarah ibunya lagi. Ia tidak akan mau menjadi barang untuk ditukar dengan uang demi kemakmuran keluarga baru ibunya itu.

Ia manusia. Memiliki daging, kulit dan nyawa yang membedakannya dengan barang yang bisa bebas dijual di pasar. Ia memiliki hak untuk memilih.

“Sudah sepantasnya jika kau balas budi padaku, Helena,” desis Rowena kejam. “Jika bukan karena aku, kau tidak aka nada di dunia ini,” tambahnya membuat luka menganga di dalam hati Helena terbuka semakin lebar. “Kau harusnya bersyukur masih bisa hidup hingga sekarang.” Rowena terdiam sejenak untuk mengambil napas. “Dan James bukan pria buruk untuk seorang suami. Dia tampan, kaya, dan terlihat snagat mencintaimu, apa lagi yang kau inginkan?”

Helena tidak menjawab, kedua tangannya terkepal erat hingga nyaris memutihkan buku-buku jari tangannya.

“Kau terlalu menilai tinggi dirimu,” desis Rowena, merendahkan. “Terima James atau aku—”

“Aku apa?” potong Helena, menantang. “Apa kau akan memukuliku seperti aku kecil dulu?” tanyanya membuat wajah Rowena memerah karena marah. Helena menatap wajah ibu dan ayah tirinya secara bergantian. “Apa kalian akan membunuhku jika aku tidak mau melakukan apa yang kalian perintahkan?” lanjutnya membuat Rowena berdiri dari tempat duduknya lalu dan melayangkan satu tamparan sangat keras di pipi kanan putrinya itu.

Helena memejamkan mata, menerima perlakuan ini dengan senyum getir yang menyedihkan. “Wanita itu bahkan bergeming saat ibunya menyiramnya dengan jus jeruk, membuat wajah, rambut serta pakaiannya sangat lengket akibatnya.

“Kau sudah puas?” tanya Helena pelan. Ia memiringkan kepala, menepuk pipi kirinya ke hadapan ibunya. “Masih ada satu pipi lagi yang belum kau tampar,” tambahnya tanpa emosi sementara Rowena tersengal, napasnya memburu. “Jika kau sudah puas maka sebaiknya aku pergi.” Helena berdiri, berdecak lalu menggelengkan kepalanya pelan. “Kau membuatku dalam masalah,” ujarnya ringan. “Karena ulahmu ini aku harus kembali ke apartemen untuk berganti pakaian,” tambahnya sebelum berbalik pergi meninggalkan kedua orang tua itu di kursinya dengan campur aduk.

Helena tak kuasa menahan laju air matanya saat ia berdiri di dalam lift. Ia menatap refleksi dirinya pada dinding lift yang terbuat dari stainlessi—penampilannya sangat kacau, ditambah dengan jejak lima jari pada pipi kanannya membuatnya semakin menyedihkan. Pikirannya terlalu kacau saat ini hingga ia tidak menyadari saat seorang pria masuk ke dalam lift dan bertanya, “Apa kau baik-baik saja?”

Wanita itu mendongakkan kepala, menatap seorang pria yang ditaksirnya berusia tiga puluh tahunan, atau lebih? Entahlah, ia tidak peduli. Helena hanya ingin ditinggalkan sendiri saat ini.

“Kau terlihat kacau,” ujar pria itu seraya menyodorkan sebuah sapu tangan sutra dari dalam saku jas mahalnya. “Ambillah! Kau memerlukannya,” tawarnya ramah.

Sesaat Helena bergeming, sebelum akhirnya mengambil sapu tangan itu dari tangan pria asing di sampingnya. “Terima kasih!” ucapnya getir dengan air mata jatuh tak tertahan.

Pria itu tidak sempat membalasnya karena Helena sudah keluar dari dalam lift dengan tergesa. Wanita itu sudah bertekad untuk menemuinya, menemui pria yang menjadi penyebab semua kekacauan ini. Ya, ia akan menemui James Smith dan memberinya pelajaran.

16 Komentar

  1. Terimakasih cerita nya bagus

    Kasian helena
    Huhuhu :PEDIHH

    1. fuyutsukihikari menulis:

      Terima kasih sudah mampir dan baca. :PATAHHATI

  2. Kasian helena punya ibu kaya gitu… Jahaaaaaat bangeeeeettt.. Ayo temui james dan kasih dia pelajaran helenaaa!!!

    1. fuyutsukihikari menulis:

      Masalahnya James juga jahat #NgorekTanah
      Nggak deng. Heuheu.. :owlcerahceria

  3. :PATAHHATI :PATAHHATI :PATAHHATI

  4. Ceritanya bagus. Lanjutkan ya sampe tamat.sangat dinantikan bab selanjutnya

  5. helena oh helena . . . Kasian kau nakkk . . . :PATAHHATI

  6. kan ujung2nya ke duit. emang jahat si rowena. tapi kayaknya ayah tirinya itu dihasut sm rowena deh

  7. Sekali-kali kyx si Rowena perlu di kasih 10 jari kanan kiri deh…..apa perlu aq yg bantuin Helena?? :DOR!

  8. Rowena kurang d tamparrrr….

  9. kesel banged ma emaknya helena deh
    ya ampun nunggu lanjutannya masih lama sementara penasaran dah pasti ini
    plisss cepet donk updatenya hehe

  10. Itu Ibunya tak ada setitik pun rasa sayang ke Helena kah??
    jahat banget sih,,

  11. Jahat banget emang nih emaknya Helena :PATAHHATI

  12. Ceritanyaa bagusss

  13. fitriartemisia menulis:

    emaknya gak suka Helena tapi begitu ya ck

  14. Ditunggu kelanjutannyaa