Vitamins Blog

Lenting Sedaya Part 4 : Gadis Kecil Itu

Bookmark
Please login to bookmarkClose

No account yet? Register

333 votes, average: 1.00 out of 1 (333 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

***

“Ayah.” Witri bergegas menghampiri lalu mencium punggung tangan ayahnya, bahagia menyambut ayahnya yang baru tiba di rumah.

“Hahaha. Anak ayah. Apa kabar? Sepertinya ada yang kangen sama ayah.” Tubuh Witri segera berpindah ke pelukan ayahnya. Terasa tangan besar sang ayah mengusap lembut rambut panjang Witri.

Ayah Witri dapat merasakan rindu yang dirasakan Witri kala anaknya itu menyambutnya tadi, rasa rindu yang terpancar lewat binar matanya.

“Baik yah. Ayah sendiri apa kabar?” Jawab Witri sambil mengangkat pandangan kepada ayahnya yang masih memeluk tubuh Witri.

“Ayah juga baik.” Lengan ayah Witri melepaskan pelukannya, “maaf ayah baru sampai sore ini, tadi ada sedikit kerjaan yang harus ayah kerjakan lagi.”

“Tidak apa-apa ayah. Yang penting ayah sudah dirumah sekarang.” Senyum lembut Witri memberikan pengertian, menghangatkan hati sang ayah yang sangat disayanginya.

Pandangan Witri beralih pada mang Diman, “Terima kasih mang, sudah menjaga ayah Witri tetap baik-baik saja sampai di rumah lagi.” Witri tersenyum pada mang Diman yang sedang menurunkan beberapa kantung yang sepertinya oleh-oleh, dibantu mbok Nah dan pak Min.

“Sudah tugas saya non.” Senyum lebar mang Diman menular pada Witri, ayahnya, dan juga mbok Nah serta pak Min.

“Ya sudah, sekarang lebih baik ayah istirahat dulu.” dapat dirasakan Witri kalau ayahnya sangat lelah.

“Iya. Ayah memang butuh istirahat dan mandi. Ya sudah sebaiknya kita masuk kedalam.”

“Iya, ayah duluan saja. Witri akan membantu membawa barang bawaan ayah.” Tangan Witri hendak meraih koper ayahnya sebelum dicegah oleh pak Min.

“Gak usah non, biar bapak saja yang bawain.” dengan cepat pak Min mengambil koper yang akan dipegang Witri.

“Iya non, biar si mbok sama pak Min yang bawain. Non masuk duluan saja.” Mbok Nah menambahi.

“Ya sudah, mkasih ya mbok, pak Min. Mang Diman sebaiknya juga istirahat mang.” Senyum Witri mengembang.

Bagi orang-orang yang dekat dengan Witri itu, mereka sudah sangat tau akan kelembutan dan kebaikan hati gadis itu pada siapapun, kebaikan yang tanpa syarat dan pandang bulu.

***

Hari ini Witri, Rena dan Genta kembali melakukan aktifitas di kampus. Dan beberapa saat tadi, mereka baru saja makan siang di kantin.

“Duh kenyang banget nih perut.” Tangan mungil Genta membuat gerakan mengelus-ngelus perutnya.

Pernah suatu kali Genta berjalan saat ia kekenyangan setelah makan, saat itu Rena mengejeknya dengan menyebut jalannya jadi mirip seperti anak pinguin gendut yang sangat lucu. Dan Genta benar-benar merajuk saat itu karena disamakan dengan anak pinguin, yang gendut pula. Sampai akhirnya Rena memberinya cakelat batangan kualias super sebagai permintaan maaf, barulah Genta berhenti merajuk.

“Dimana-mana tuh abis makan pasti kenyang baby..” Rena mengacak rambut Genta gemas.

Seperti biasa Witri akan tertawa kalau melihat kelakuan dua sahabatnya itu.

“Makanya ta.. kalau makan itu sesuai porsi..” dengan suara lembut, Witri menasehati Genta.

“Dengerin tuh..anak bayi tuh porsi makannya sesuai anak bayi juga..jangan disamain porsi kuli bangunan..” senyum Rena tertahan.

“Yee.. kan lagi masa pertumbuhan…” bibir Genta cemberut.

Disela senda gurau dan omelan Genta karena mendapat ejekan dari Rena itu, tiba-tiba hp Witri berbunyi.

Witri bergegas mengangkatnya, “Ya ayah.”

“….”

“Masih yah. Witri masih ada kegiatan di kampus siang ini.” Kelopak mata Witri berkedip-kedip seperti mencoba mengerti arah pembicaraan ayahnya.

“…”

“Bandara?” sebuah kerutan kecil muncul di kening Witri.

“…”

Ada jeda yang cukup lama saat Witri terdiam, mungkin ayah Witri sedang menjelaskan sesuatu dari sana.

“Ooh..tapi, maaf yah, Witri benar-benar tidak bisa.” Nada Witri rendah penuh permintaan maaf.

“…”

“Ya ayah.”

“…”

“Iya yah.”

Witri menyimpan hp miliknya ke dalam tas sampingnya, kembali melemparkan pandangan pada kedua sahabatnya.

Seperti biasa Rena dan Genta akan memandang Witri, menuntut penjelasan, setelah Witri mendapat telepon dari ayahnya. Bagaimanapun juga, mereka adalah sahabat Witri yang sama-sama tau bagaimana ayah Witri, yang biasanya tak segan-segan menitipkan pesan yang harus diperhatikan siapapun yang bersama putrinya itu, seperti pesan tidak boleh menculik anaknya, tidak boleh terlalu sore mengajak anaknya, tidak boleh terlalu jauh membawa anaknya, dan lain-lain.

Walaupun begitu, bukan berarti Witri selalu menceritakan pada sahabatnya, apa yang ia bicarakan dengan ayahnya saat di telepon. Hanya hal-hal yang perlu dan tidak bersifat pribadi saja yang ia ceritakan pada mereka.

“Ayahku tadi berniat mengajak ke bandara.”

Rena dan Genta sama-sama mengangkat kedua alisnya, menuntut penjelasan lebih. Baru kali ini mereka mendengar ayah Witri membahas sesuatu diluar dari pesan-pesan yang sering disampaikannya seperti biasa.

“Ayah bilang, untuk menyambut kedatangan temannya,, Umm.. lebih tepatnya, kedatangan putra teman ayah.”

Rena dan Genta mangangguk-angguk sembari membuat gerakan bibir seperti membentuk huruf ‘O’ dengan nada yang panjang, serentak seperti paduan suara.

Tiba-tiba Genta berubah semangat, sekarang posisinya menjadi di hadapan Witri dan Rena yang masih berjalan. Ekspresinya menunjukkan raut yang ingin menyampaikan sesuatu yang sangat penting dan mendesak.

“Wit, jangan bilang..putra teman ayah kamu itu..sang pangeran tampan yang selama ini kita tunggu.” Wajah Genta berubah sangat serius bahkan sedikit terkejut.

Rena mendengus panjang mendengar kata-kata Genta, sedangkan Witri, yang sudah sering mendengar kata-kata yang disebutnya sebagai dongeng ‘sang pangeran’ dari Genta, walaupun selalu menganggap kata-kata Genta adalah candaan seperti biasanya, tapi ia tetap menanggapi dengan senyum sembari menggelengkan kepala.

“Ibu cenayang..kita doakan saja yaa..pangeran untuk sang putri akan segera datang..” Rena mengacak rambut Genta lagi.

“Bundaa! lama-lama rambut aku bisa,, AWW!” Genta tiba-tiba berteriak.

Dengan cepat Genta berbalik untuk melihat siapa orang yang menabrak lengannya kirinya, yang membuat ia berteriak kesakitan seperti tadi.

“Eh, jalan pake ma,,” kata-kata Genta terhenti ketika tau siapa orang yang menabraknya barusan.

Witri dan Rena juga sama terkejutnya ketika menyadari apa yang terjadi yang membuat Genta berteriak kesakitan. Mereka bertiga sama sekali tidak menyadari seorang wanita berjalan berlawanan dengan mereka sampai akhirnya menabrak Genta.

“Ups.” Hanya kata itu yang terucap dari wanita itu.

Sosok wanita cantik, namun tertutup dengan sikap angkuh yang sangat kental di wajahnya, dagunya yang sedikit terangkat dengan kaku memberikan kesan meremehkan terhadap lawan bicaranya.

“Bisa gak sih kalau jalan tuh liat pake mata!” Emosi Genta meluap setelah terlepas dari rasa terkejutnya dan melupakan rasa sakit dilengannya.

“Saya rasa kalian yang menghalangi jalan saya.” Sambil melipat kedua tangannya di dada, wanita itu mendengus dan menunjukkan ekspresi malas.

Raut wajahnya sama sekali tidak menunjukkan sikap menyesal setelah menabrak Genta tadi, bahkan nada suaranya sangat enteng dan terdengar menyepelekan.

Emosi Genta makin terpancing sampai ia maju ingin mendamprat wanita itu kalau saja Rena tidak mencekal pergelangan tangannya, mencegahnya untuk tidak bertindak sesuatu yang terlalu jauh.

Dibalik tubuhnya yang mungil serta sifatnya yang manja, tapi Genta bisa berubah menjadi sosok yang sangat garang, terlebih bila ia melihat ada seseorang yang tidak menghargai dan menindas orang lain, paling membuatnya tidak suka.

“Maaf Angel. Kami benar-benar tidak melihatmu, dan tidak bermaksud menghalangi jalanmu.” Buru-buru Witri menengahi.

Menyadari siapa yang berbicara, Angel yang dari tadi menatap Genta, kini melepas kacamata yang sedari tadi ia kenakan, alisnya terangkat, diikuti senyum dingin yang tercetak jelas ketika matanya menatap Witri yang barusan berbicara padanya.

“Oh,,” satu kata yang seperti mengartikan ‘oh..kau rupanya!’, dari nada suara dan tatapan Angel pada Witri yang sarat akan tatapan merendahkan.

“Baiklah, sepertinya tidak ada yang penting untuk diperpanjang lagi. Sebaiknya aku segera ‘menjauh’, dari sini.” Tatapan Angel terus melekat pada Witri, sembari menekan kata-kata terakhirnya yang penuh arti itu, yang jelas ia tujukan pada Witri.

“Kau!” Genta mencoba berontak dari tangan Rena yang masih mencekal pergelangan tangannya, geram melihat tingkah Angel yang dengan angkuhnya melenggang tanpa sedikitpun meminta maaf.

“Ta, ta, udah. Tidak usah kita layani dia.” Rena mencoba menenangkan Genta yang masih emosi. Bagaimanpun ia harus bersikap bijak dan memberikan pengertian untuk menahan Genta agar tidak semakin emosi, walaupun ia sendiri juga geram melihat tingkah Angel tadi.

“Iya, tapi, dia benar-benar tidak tau etika! Dan aku yakin, pasti dia tadi sengaja mena..”

“Ta, please! Udah..” Witri dengan cepat menyela dan menatap lekat mata Genta. Mencoba membuat Genta beralih untuk melepaskan pandangannya pada punggung Angel yang semakin menjauh.

Genta menatap tatapan Witri itu, ia menggelengkan kepala dan menggigit pipi dalamnya untuk meredakan emosinya, lalu mengalihkan pandangannya dari mata Witri. Ia sangat mengerti arti tatapan sahabatnya itu. Tatapan penuh permohon namun tak terbantahkan.

Bagi Witri sendiri, ia sama sekali tak ingin memiliki masalah dengan sepupunya itu, dan Witri sangat mengerti arti tatapan serta ucapan Angel tadi. Tatapan juga ucapan yang selalu menyudutkan Witri.

***

“Witri mana mbok. Kenapa belum keluar.” Ayah Witri beralih sejenak dari koran yang dibacanya, ketika mbok Nah menyiapkan makanan di meja makan.

“Non Witri masih di kamarnya tuan. Sedang mengerjakan tugas. Sebentar mbok panggilkan.”

Mbok Nah bergegas menuju kamar Witri di lantai dua, dan mengetuk pintu setelah berada di depan kamar Witri.

“Non..”

“Iya mbok.” Witri segera menjawab saat mendengar panggilan Mbok Nah dari depan pintu kamarnya.

“Non sudah ditunggu tuan buat makan malam.”

“Iya mbok, sebentar.”

“Ya sudah mbok tinggal dulu ya non.”

Mbok Nah berjalan kembali ke ruang makan di bawah, melanjutkan untuk menyiapkan makanan di meja makan yang tadi sedikit lagi diselesaikannya.

Tidak lama setelah itu, Witri segera menyusul mbok Nah ke meja makan dimana ayahnya sudah menunggu. Malam ini Ayah Witri memang sedikit lebih cepat untuk makan malam.

“Maaf ayah. Witri terlalu asik mengerjakan tugas jadi tidak memperhatikan waktu.” Cepat-cepat Witri menjelaskan setelah ia duduk, takut ayahnya akan marah.

“Apapun alasannya, kamu jangan sampai lupa waktu untuk makan nak.” Nasehat ayah Witri dengan suara tegasnya.

“Ya ayah, maaf.” Jawab Witri dengan kepala tertunduk.

Witri paling takut kalau ayahnya sudah berkata dengan nada tegas seperti itu, walaupun seumur hidupnya ia belum pernah sekalipun melihat ayahnya marah, apalagi memarahinya.

“Ya sudah, kita makan sekarang.” Ayah Witri lalu memimpin doa.

Seperti biasa makan malam mereka akan berlangsung hening. Witri tidak akan berani membuat percakapan apapun di meja makan, kalau ayahnya tidak lebih dulu membuka percakapan.

“Oh iya, besok malam kita akan kedatangan tamu.”

“Tamu?” Jeda dalam suara Witri, “umm..apa tamu itu..teman yang ayah temui di bandara tadi siang?”

Seperti biasa, benak Witri dapat merasakan apa yang dipikirkan ayahnya, walaupun seringkali pertanyaan seperti itu ia lontarkan dengan nada suara keraguan, dan hanya berupa gumaman pelan.

“Benar, teman yang juga ayah temui waktu di Bandung.”

Witri tampak sedang berfikir. Merasa ingin tau lebih tentang teman ayahnya ini. Ia merasakan kalau teman ayahnya ini seperti sudah sangat dekat dengan ayahnya. Tapi teman yang mana?

Padahal mereka akan berkunjung ke rumah, setidaknya ia berharap ayahnya akan menceritakan tentang keluarga temannya ini. Perasaan Witri mengatakan kalau ayahnya sedang menahan untuk tidak bercerita banyak soal temannya.

“Maaf yah, apa kita,, maksud Witri, apa Witri pernah bertemu dengan teman ayah ini?”

“Ya.” Ayah Witri menjawab singkat, “Sebaiknya kamu habiskan dulu makanan kamu. Jangan terlalu lama.” Ayah Witri mengambil cangkir berisi teh lalu menyesapnya, kebiasaan ayahnya ketika selesai makan malam.

Witri hanya bisa menelan sisa makanan di dalam mulutnya, yang sebenarnya sudah ia telan sebelum ia melontarkan pertanyaan tadi pada ayahnya. Dari ujung bulu matanya Witri melihat, sang ayah dengan sikap diamnya yang tegas, seolah menjelaskan bahwa ayahnya tidak ingin membahas pertanyaan Witri lebih jauh.

Dan sikap ayahnya barusan menguatkan perasaannya tadi, bahwa sang ayah memang benar-benar tidak ingin bercerita lebih banyak tentang temannya itu. Kalau sudah begitu, Witri tidak akan berani lagi untuk bertanya, sebesar apapun keingintahuannya.

***

“Duuh proposal aku belum disetujui pak Nizam nih.” Genta merungut-rungut.

Hari ini mereka kebetulan sama-sama memiliki jadwal temu dengan dosen pembimbing mereka, untuk membahas proposal yang sebelumnya ditugaskan untuk mereka buat terlebih dulu.

Mereka memang akan ditugaskan membuat proposal untuk disetujui dosen pembimbing, sebelum mereka dapat membuat sketsa dan lukisan dari tema yang ingin mereka angkat.

“Kalian sendiri gimana?” Tanya Genta pada kedua sahabat yang saat ini berjalan di sisi kanan dan kirinya, mirip seperti dua kakak yang sedang mengapit adik kecil mereka.

“Lancar..” Witri dan Rena serentak menjawab, membuat Genta metatap mereka bergantian, masih dengan rungutan bibirnya.

“Iss..kalian menyebalkan.”

“Loh..kok menyebalkan..makanya,,kamu harus lebih semangat dan bersabar ya baby…” lagi-lagi Rena mengacak-ngacak rambut Genta.

Dan lagi-lagi Witri hanya bisa tertawa melihat sahabatnya itu.

“Astaga!” Genta terpekik dengan suara tertelan dan spontan menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan.

Witri dan Rena menjadi terkejut dan bingung, mereka memastikan apakah ada yang menabrak Genta lagi sehingga membuatnya terpekik seperti itu. Tapi itu tidak mungkin, jelas-jelas mereka berdua yang ada di sebelah Genta.

Witri dan Rena menjadi sedikit waspada akibat insiden Genta yang tertabrak oleh Angel kemarin. Bukan apa-apa, mereka hanya takut tidak bisa menahan Genta lagi kalau saja kejadian seperti kemarin terulang kembali.

“Baby, kamu kenapa.” Rena memegang dahi dan memeriksa tubuh Genta, barangkali ada yang sakit atau terluka.

“Kamu kenapa ta?” Witri juga menunjukkan raut cemas.

Tapi yang bersangkutan malah terbengong dengan pandangan lurus kedepan, mulut sedikit terbuka, serta tubuh yang seperti patung. Membuat Witri dan Genta makin menatap lekat Genta. Rena sampai-sampai menggoyang-goyang bahu Genta untuk menyadarkannya.

“Baby,,kamu kena..” Belum selesai Rena bertanya, Genta sudah bersuara.

“Pa,,pa,ngeran.” Gumam Genta, kali ini kepala Genta miring ke satu sisi, masih melihat kedepan.

Langsung saja Witri dan Rena mengikuti arah pandangan Genta.

Dan di sana, di depan gedung kampus mereka, tak berapa jauh dari tempat mereka berdiri di teras gedung saat ini, berdiri seorang pria yang terlihat.. sangat tampan. Ketampanannya benar-benar seperti seorang malaikat.

Pria yang terlihat sangat sempurna. Tubuh tinggi, badan yang tidak terlalu besar namun tercetak kokoh dibalik kaus lengan panjang putih kasualnya, kaca mata bertengger di hidung, dan berdiri di sebelah mobil sport hitamnya.

Beberapa mahasiswi yang akan keluar masuk atau lewat di depan gedung kampus, jelas-jelas terlihat mencuri-curi lirik, bahkan terang-terangan menunjukkan pandangan tertarik pada pria itu.

Witri dan Rena sendiri hanya melihatnya dengan kernyitan di dahi mereka, mencoba memperhatikan siapa pria itu? Walaupun di kampus mereka terdapat berbagai jenis pria, dari yang biasa-biasa saja, tampan, sampai yang benar-benar tampan, tapi mereka yakin kalau pria itu bukan warga kampus mereka. Dari gerak-gerik pria itu, mungkin ia sedang menunggu seseorang.

Di tengah perhatian mereka pada pria disana, tiba-tiba seorang wanita melewati mereka dan berjalan tergesah-gesah menuruni tangga depan gedung. Dan wanita itu, berhenti di depan pria tampan tadi, dengan senyum yang terlalu mengembang.

Sejenak kemudian, Witri, Rena, dan Genta tersadar dari semua pertunjukan itu. Berbeda dengan Genta yang terlihat kecewa dan menjadi sangat acuh setelah tau siapa wanita yang menghampiri pria tadi, Witri dan Rena justru terlihat menahan senyum geli karena ekspresi Genta.

“Ciee, sepertinya ada yang kecewa berat nih..” Rena menyikut pelan lengan Genta.

“Uda deh bun..” Genta mendengus sebal.

“Cie ciee.. ada yang cemburu..” goda Rena lagi.

Witri mengusap-ngusap lengan Genta, tidak tau apakah sikapnya untuk menenangkan atau malahan juga ingin menggoda Genta, karena sebenarnya ia juga sedang menahan tertawa melihat cemberutan Genta sekarang.

Disana, mereka melihat pria itu tengah memegang sebuah kantung kertas berwarna cokelat berpita mungil, lalu menyerahkannya pada Angel.

“Apa mungkin pria itu cowok yang digosipin sebagai pacar Angel waktu itu?” Rena mencoba mengingat kembali gosip tentang Angel yang pernah mereka bicarakan.

“Mungkin dia memang benar pacar Angel yang baru pulang dari Aus..” kata-kata Rena terpotong.

“Udah ah bun,,jangan dibahas. Males banget.” Nada Genta acuh. Sepertinya Genta semakin anti dengan Angel sejak kejadian penabrakan kamarin.

Rena dan Witri kali ini tidak bisa menahan tawa melihat rungutan Genta, padahal Genta benar-benar terlihat cemberut, tapi yang ada hal itu malah membuat wajahnya semakin menggemaskan.

“Ya udah..” dengan suara lembut, Rena mengikuti kemauan Genta, “Eh kayaknya mau ujan nih. Mendung banget. Aku balik sekarang ya. Takut nyetir kalo ujan.” Ucap Rena yang memang takut menyetir sendirian saat sedang hujan.

Sekitar dua tahun lalu Rena pernah mengalami kejadian yang membuatnya cukup trauma. Saat itu Rena sedang menyetir sendirian sekembalinya ia dari suatu acara di rumah sepupunya, dan hari sedang hujan.

Ketika itu, saat beberapa ratus meter lagi ia sampai di rumah, petir menyambar sebuah tiang listrik yang berada hanya beberapa meter saja dari mobilnya, sehingga sangat jelas Rena dapat melihat percikan api yang ditimbulkan, membuatnya gemetar ketakutan.

“Eh jemputan aku juga uda dateng tuh.” Genta menunjuk mobil jemputannya.

Sama seperti Witri, Genta juga selalu diantar jemput oleh supir kemanapun ia pergi. Bukannya Genta tidak pandai menyetir, hanya saja orang tuanya takut kalau-kalau polisi menilangnya karena dikira anak dibawah umur sedang menyetir mobil, alasan dari kedua orang tuanya yang sangat membuat Genta jengkel.

“Ya udah, kalian duluan aja.” Witri tersenyum.

“Beneran kamu gak papa kami tinggalin? Atau kami tunggu nih sampai pak Min datang.”

“Gak usah Ren..kalian duluan aja. Pak Min sebentar lagi datang kok. Ta, kasian tuh supir kamu udah nungguin. Serius, kalian duluan aja.” Senyum Witri masih melekat di bibirnya.

“Ya udah. Kalau gitu kami duluan ya Wit.” Pamit Genta.

Setelah Rena juga berpamitan, sekarang Witri sendirian berdiri di teras gedung ini. Dilihatnya Angel masih di sana bersama pria tadi.

Namun tidak berapa lama, Angel terlihat berbalik melangkah ke dalam gedung setelah memberi lambaian tangan pada pria itu. Witri sedikit heran saat melihat pria itu tak membalas lambaian Angel. Padahal ia pacar Angel. Batin Witri.

Dan disaat itu pula pak Min tiba. Witri bergegas menuju mobil untuk menghindari rintik hujan yang mulai turun, dan saat itu ia berjalan cukup dekat dengan pria tadi yang masih belum beranjak juga.

Entah hanya perasaannya saja, Witri merasa pria itu sedang memperhatikannya dari balik kacamatanya, membuat Witri merasa kikuk dan semakin terburu masuk ke mobil, tidak menyadari sebuah kertas terjatuh dari sisipan buku yang didekapnya.

Dan sekarang, kertas yang ternyata sebuah sketsa, telah berada di tangan pria itu.

***

“Sayang, kamu sudah selesai?”

“Ya ma, sebentar.” Terdengar jawaban dari dalam kamar.

Pintu kamar terbuka, dan wanita yang memanggil tadi memasuki kamar itu.

“Anak mama tampan sekali.” Wanita itu melihat penampilan putranya dari cermin, “Oh iya, apa tadi kamu ketemu dengan anak tante Maya di kampusnya?”

“Iya ma.” Jawab pria itu sambil merapikan pakaiannya.

“Lalu, apa oleh-oleh titipan tante Maya sudah kamu berikan?”

“Sudah ma. Ma, apa penampilanku seperti ini tidak terlalu santai?” Sambil melihat dirinya di cermin, pria itu menilai penampilannya.

Ia mencoba meminta pendapat mamanya untuk menilai juga penampilannya, tak sadar pertanyaan mamanya tadi hanya ia jawab singkat dan sekarang telah teralihkan.

“Tidak sayang. Begitu sudah pas. Lagipula, kedatangan kita malam ini kerumah om Bayu hanya sebatas undangan temu kangen.” Wanita itu menjelaskan sambil tersenyum melihat putranya, “ya sudah, kalau sudah selesai kita turun sekarang, papa dan adikmu sudah menunggu di bawah.”

Saat akan keluar, wanita itu melihat sebuah kertas diatas meja putranya. Dilihatnya dengan seksama lalu tangannya meraih kertas itu.

“Sketsa siapa ini? bagus sekali.”

“Oh itu,, aku memungutnya ma, seorang gadis menjatuhkannya di depan kampus itu tadi.”

“Seorang gadis?”

“Mm, sepertinya nanti saja aku jelaskan ke mama. Bukankah kita sudah ditunggu?” Pria itu membimbing ibunya untuk keluar dari kamar.

Padahal dalam hatinya, ia juga sangat penasaran dengan gadis itu. Seorang gadis yang sebenarnya terus ia perhatikan dari balik kacamatanya, sejak ia melihatnya di luar gedung kampus itu tadi.

***

“Gantara..hahaha.. selamat datang..” Bayu menyalami dan menyambut hangat keluarga Gantara.

“Terima kasih Bayu. Ah sudah lama sekali kami tidak kemari.”

“Ayo, silahkan masuk.”

Gantara dan keluarganya mengikuti Bayu ke dalam.

“Silahkan, mari mari.”

Bayu membimbing tamunya untuk memasuki ruang depan. Sebuah ruangan yang cukup luas tanpa sekat, hanya terdapat dapur mungil dan sebuah kamar kecil di sudut ruangan. Material kayu mendominasi tiap bagian ruangannya, termasuk dinding dan perabotan.

Kesan pertama saat memasuki ruangan ini akan terasa seperti sedang berada di sebuah galeri lukisan, karena memang banyak lukisan-lukisan terpajang di dalamnya. Tetapi bila diperhatikan, ruangan ini memang seperti didesain untuk ruang pertemuan yang berfungsi sekaligus sebagai ruang galeri lukis.

“Ayo, silahkan duduk.” Bayu mengarahkan keluarga Gantara pada satu set kursi dan meja kayu bundar di tengah-tengah ruangan.

“Oh iya Bayu, dimana putrimu?” Tanya Williona, yang memang sangat ingin sekali bertemu dengan putri Bayu.

“Ah iya. Tunggu sebentar. Tadi ia pamit sebentar ke kamarnya,” jelas Bayu, “nah itu dia.”

Pandangan mereka tertuju pada sosok gadis yang baru masuk dari pintu yang berlawanan dengan pintu yang mereka masuki tadi.

“Ini dia putriku.” Bayu memperkenalkan saat putrinya sudah berada di sebelahnya.

“Cantik sekali. Kamu sudah besar sayang.” Williona maju dan memberikan pelukan hangatnya pada putri Bayu.

“Benar. Kamu sudah besar sekarang.” Gantara juga memberi pelukan singkat.

“Witri, apa kamu masih ingat dengan keluarga om Gantara nak?” Bayu bertanya pada Witri.

Sejujurnya, Witri sedikit bingung mengenali keluarga teman ayahnya ini, ia masih mencoba mencari sosok-sosok itu dalam ingatannya, sedangkan mereka sepertinya sudah sangat mengenal Witri.

“Maklum kalau dia lupa,, dulu dia masih kecil saat terakhir kita bertemu.” Williona mengelus lembut rambut Witri.

“Ya sudah, supaya kamu lebih ingat, mari om kenalkan lagi,” Gantara tersenyum hangat, “ini tante Williona istri om, ini Galeo putra om,”

“Galeo.” Galeo maju dan menjabat tangan Witri, diikuti Witri yang juga memperkenalkan dirinya.

“dan ini…” Gantara dan yang lainnya baru menyadari kehilangan satu anggota lagi, yang sedari tadi ternyata sedang asyik melihati lukisan-lukisan yang terpajang di dekat pintu masuk.

“Aro..kemari nak.” Panggil Gantara pada putranya.

Punggung yang tadi membelakangi mereka itu kini berbalik, memperlihatkan sosok pria muda yang kini berjalan mendekati mereka.

“Dan ini Giaro, putra pertama om.” Gantara mengarahkan pandangan Giaro putranya, pada Witri, putri Bayu.

Sepasang mata hitam dengan sorot lembut dan dalam milik Witri, bertemu dengan sepasang mata cokelat gelap yang tajam, dan sekarang kedua pasang mata itu saling bertatapan, memperlihatkan sorot mata yang sama-sama terkejut.

Tubuh Witri mematung. Sosok yang ia dan sahabatnya lihat di kampus siang tadi, sekarang ada di hadapannya. Pacar Angel. Giaro.. anak om Gantara teman ayah?

Dan banyak lagi pertanyaan-pertanyaan berputar-putar di benak Witri, yang merupakan refleksi dari rasa terkejutnya yang dalam.

“Sayang?” Williona menyentuh lembut lengan Giaro putranya, menyadarkannya.

“Oh, hai.” Suaranya terdengar berat dan dalam. Segera saja Giaro maju, mengulurkan tangannya pada Witri.

“Witri.” Witri menyambut uluran tangan Giaro, memperkenalkan dirinya dengan suara yang sedikit tercekat karena, gugup? Ia sedikit bertanya-tanya kenapa Giaro tidak memperkenalkan diri lagi, apa dia juga sudah mengenalnya?

“Ehem,” Bayu membuat dehaman untuk mengembalikan suasa yang sesaat seakan terhenti, “sepertinya kita perlu duduk kembali. Mari, silahkan.” Bayu tersenyum ramah, walaupun sebenarnya hal itu adalah caranya untuk mengalihkan Giaro yang seperti tak ingin melepas pandangan dan tangannya dari Witri.

Gantara sendiri hanya mengangkat bahu dan menahan senyum pada Bayu, ia juga tau kalau putranya itu sedari tadi terus menatap lekat pada Witri.

“Kamu mau kemana nak?” Bayu melihat Witri yang akan beranjak sesaat setelah mereka duduk.

“Mm..Witri akan membantu mbok Nah menyiapkan minuman yah.”

Dan disaat itu pula mbok Nah datang dengan cekatan membawakan minuman dari dapur kecil di ujung ruangan.

“Ndak usah non. Ini mbok sudah siapkan.” mbok Nah meletakkan minuman di meja.

Karena mbok Nah sudah berkata seperti itu, Witri jadi kembali duduk di kursinya yang berada di sebelah ayahnya, sedangkan tepat didepannya sana, duduk Giaro. Dari ujung bulu matanya Witri dapat melihat mata tajam itu masih setia memperhatikannya.

Dan kenapa rasanya sama seperti perasaannya waktu di kampus tadi? Perasaan kikuk saat Witri merasa mata Giaro sedang memandanginya, bahkan sekarang perasaan itu bercampur dengan perasaan gugup?

“Jadi, semua lukisan ini kamu yang membuat sayang?” Williona menatap Witri, lalu menyapukan pandangan ke lukisan-lukisan di seisi ruangan.

Masih teringat oleh Williona saat pertemuan mereka di Bandung, Bayu menceritakan dengan bangga bahwa putrinya itu sangat berbakat dalam melukis, dan sedang menempuh pendidikan seni lukisnya.

“Mm..iya tante.” Jawab Witri malu-malu.

Witri sedikit heran dengan pertanyaan tante Williona yang terdengar seperti langsung memastikan kalau lukisan-lukisan itu adalah buatan Witri, seperti tante Williona memang sudah tau semua lukisan di ruangan ini adalah buatannya.

“Bagus-bagus sekali loh..” tambah Williona lagi, memuji.

“Iya, terima kasih tante.” Jawab Witri lembut, ditambah dengan senyum manisnya.

“Kamu pemalu sekali sayang, ingat tidak, dulu Giaro paling suka menjahilimu.” Williona tertawa renyah dan diikuti oleh yang lain.

Sedangkan yang dibicarakan hanya tersenyum dan kembali memperhatikan Witri yang sekarang tertunduk malu. Seperti matanya sangat ingin merekam sosok Witri sebanyak-banyaknya.

“Benar, dulu ayah bahkan hampir menjewer telinganya karena menyembunyikan boneka kesayanganmu sampai membuatmu menangis.” Kata-kata Bayu sukses membuat mereka semua tertawa, kecuali Witri yang kini wajahnya makin memerah karena malu.

“Tapi sekarang Giaro bukan anak yang usil lagi, dia sudah menjadi pria dewasa yang penuh tanggung jawab. Jadi, kamu tidak usah khawatir lagi jika bermain dengannya. Bukan begitu, Giaro?” Sebelah alis Gantara terangkat, memandang Giaro dengan senyum yang hanya mereka berdua yang tau artinya.

“Hahaha. Seperti anak-anak kita masih kecil saja kau menyuruh mereka bermain Gantara?” Bayu tertawa dan kembali diikuti yang lainnya, “Oh iya, jadi bagaimana pendidikanmu Galeo?” Kali ini Bayu ingin bertanya pada putra Gantara.

“Saya akan melanjutkan s2 bisnis saya di sini om, di Jakarta.”

Berbeda dengan Giaro yang telah mendapat gelar master bisnisnya dari salah satu universitas terkemuka di Australia, Galeo masih harus melanjutkan pendidikannya sebelum nantinya ia juga mengemban tanggung jawab menjalankan perusahaan bisnis keluarganya, seperti Giaro sekarang.

“Anak-anakmu memang hebat Gantara. Mereka pekerja keras sepertimu, sama-sama berbakat dalam bidang bisnis.” Puji Bayu pada sahabatnya.

“Siapa dulu papanya..” ucap Gantara bangga, membuat yang lain tertawa lagi.

Gantara sangat suka berbangga, baik itu untuk dirinya sendiri maupun untuk keluarganya, Bayu sangat tau itu. Dan Bayu menganggap hal itu sangat pantas, mengingat bagaimana bakat dan kerja keras sahabatnya itu dalam membangun perusahaannya mulai dari nol, hingga besar seperti sekarang.

Dan pembicaraan mereka terus mengalir. Membicarakan tentang pekerjaan, masa dimana Bayu dan Gantara bersahabat saat SMA dulu, hingga rencana keluarga Gantara yang akan tinggal di Jakarta.

Berbeda dengan Giaro, Galeo yang berusia dua tahun lebih tua dari Witri, lebih banyak mengajak Witri berbicara, bertanya tentang kuliahnya, tentang lukisan, hingga sahabat-sahabat Witri. Sedangkan Giaro lebih banyak menimpali jika ayah Witri ataupun ketika om Gantara dan tante Williona bertanya atau meminta pendapatnya.

Witri sendiri tidak membicarakan kalau dia sudah melihat Giaro di kampusnya tadi. Begitu pula dengan Giaro, tidak menceritakan bahwa dia sudah memperhatikan Witri saat gadis itu di kampusnya siang tadi.

Sebenarnya ada rasa yang membuat Witri merasa terpenjara selama kebersamaan mereka itu. Ya, Pandangan itu, pandangan mata Giaro yang terasa memenjara tubuh Witri karena sorot tajamnya.

Beberapa kali bahkan mata mereka saling bertatapan, membuat Witri cepat-cepat memutus pandangan mata mereka, karena sejujurnya, entah kenapa melihat mata itu, membuat jantungnya, berdebar?

***

Gadis itu. Gadis dengan wajah cantik nan anggun, yang mencuri perhatiannya saat di depan kampus tadi.

Tadinya ia sangat malas kenapa harus mengantar oleh-oleh pesanan tante Maya ke kampus putrinya. Kalau saja bukan mamanya yang memaksa, ia pasti tidak akan mau pergi.

Dan benar saja, beberapa menit saja ia berdiri di sana, ia sudah menjadi pusat perhatian warga kampus itu, terlebih lagi beberapa wanita yang terang-terangan bersikap histeris saat melihatnya, sangat membuatnya tak nyaman.

Sampai ia melihat gadis yang sedang bersama dua temannya itu. Gadis cantik berpenampilan sederhana namun terlihat sangat anggun. Rambut hitam lurusnya, hidung mancung, bibir mungil, senyum manisnya, semuanya terlihat sangat pas untuk wajahnya.

Untung saja ia mengenakan kacamata hitam, sehingga tidak akan kentara kalau ia memperhatikan gadis itu.

Dan barusan, tiba-tiba saja ia bertemu dengan gadis itu, di rumah om Bayu sahabat papa, sebagai putri dari om Bayu?

Kenapa ia sama sekali tidak mengenalinya saat pertama kali melihatnya di kampus tadi? Ah tentu saja ia tidak mengenalinya, dia sudah tumbuh menjadi gadis dewasa. Giaro masih bertanya-tanya tentang semua kebetulan ini.

“Ma, apa benar..”

“Kalau yang ingin kamu tanyakan soal apakah Witri adalah putri kecil om Bayu dulu, maka jawabannya ‘iya’ sayang.” Williona memotong pertanyaan Giaro.

Williona menebak arah pembicaraan anaknya, karena sedari tadi yang dibahasnya hanya berputar-putar tentang hal itu, namun ia masih terlihat ragu untuk bertanya.

“Dialah gadis kecil itu Aro,, gadis kecil yang dulu kau ajak bermain.”

Sejenak, kata-kata ibunya barusan membuat Giaro terdiam, dan apakah tatapan di mata Giaro sekarang adalah tatapan, merasa bersalah?

***

7 Komentar

  1. kenyaberlian menulis:

    di part ini saya buat agak panjang. maksudnya sih mau cb mulai menguak konflik crt. tp maaf ya kalo misalnya tman2 rasa konfliknya blm dpet. saya masih dlm proses belajar.
    :)

  2. :inlovebabe

  3. Lanjuut kan .. konflik ama angel :AKUGAKTERIMA

  4. KhairaAlfia menulis:

    kenapa??
    kok ngerasa bersalah??

  5. Knp tuh jd merasa bersalah?

  6. Hmmm

  7. Ditunggu kelanjutannyaa